Anda di halaman 1dari 55

REFERAT

Skizofrenia

OLEH :

Prima Fasriantyssa Umar Balulu

09401611014

PEMBIMBING UTAMA :

dr. Yazzit Mahri, Sp.KJ, M.Kes

PEMBIMBING PENDAMPING :

dr. Fatir M Natsir

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3

A. Definisi............................................................................................... 3
B. Epidemiologi …………………………………………………….. 4
C. Etiologi …………………………………………………………... 5
D. Patofisiologi …………………………………………………….. 10
E. Gambaran klinis ………………………………………….…….. 16
F. Diagnosis ………………………………………………………... 20
G. Klasifikasi ……………………………………………………….. 23
H. Penatalaksanaan ………….…………………………………….. 32
I. Diagnosis Banding ……………………….…………………….. 47
J. Prognosis ………………………………………………………… 49

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 51

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFARAT

SKIZOFRENIA

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian akhir

Kepranitraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokeran Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Sofifi

Disusun Oleh :

Prima Fasriantyssa Umar Balulu

(09401611014)

Menyetujui

Dokter Pembimbing

dr. Yazzit Mahri, Sp.KJ, M.Kes


NIP.198309152011011004

3
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah penyakit kejiwaan umum yang dapat mempengaruhi


pikiran, emosi dan perilaku seseorang. Seseorang dengan penyakit ini akan sulit
untuk memahami kenyataan yang ada di sekitar mereka. Mereka dapat mendengar
suara yang tidak didengar oleh orang sekitarnya. Mereka memiliki pikiran dan
kecurigaan seperti percaya bahwa orang lain dapat membaca pikiran dan
mengancam mereka. Hal ini mengakibatkan seseorang yang mengalami hal ini
akan merasakan ketakutan dan sangat gelisah. Umumnya terjadi pada usia remaja
dan dewasa muda.1

Prevalensi gangguan jiwa di seluruh dunia menurut data World Health


Organization (WHO) pada tahun 2019, terdapat 264 juta orang mengalami
depresi, 45 juta orang menderita gangguan bipolar, 50 juta orang mengalami
demensia, dan 20 juta orang jiwa mengalami skizofrenia. 2 Meskipun prevalensi
skizofrenia tercatat dalam jumlah yang relative lebih rendah dibandingkan
prevalensi jenis gangguan jiwa lainnya berdasarkan National Institute of Mental
Health (NIMH), skizofrenia merupakan salah satu dari 15 penyebab besar
kecacatan di seluruh dunia, orang dengan skizofrenia memiliki kecendrungan lebih
besar peningkatan resiko bunuh diri (NIMH, 2019).3 Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia/psikosis di
Indonesia sebanyak 7% per 1000 rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa dari
1000 rumah tangga, terdapat 70 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah
tangga (ART) dengan pengidap skizofrenia/psikosis dan dari data tersebut
menunjukan bahwa prevalensi skizofrenia/psikosis di Maluku Utara sebanyak
4,8%, skizofrenia/psikosis tertinggi terdapat di Tidore Kepulauan sebanyak 16,7%
dan Halmahera Tengah sebanyak 10,7%.4

4
Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1966, dalam bidang kesehatan jiwa
usaha-usaha Pemerintah meliputi: (1) Memelihara kesehatan jiwa dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, (2) Menggunakan keseimbangan jiwa
dengan menyesuaikan penempatan tenaga selaras dengan bakat dan
kemampuannya, (3) Perbaikan tempat kerja dan suasana kerja dalam perusahaan
dan sebagainya sesuai dengan ilmu kesehatan jiwa, (4) Mempertinggi taraf
kesehatan jiwa seseorang dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat,
(5) Usaha-usaha lain yang dianggap perlu oleh Menteri Kesehatan.5

Penatalaksanaan skizofrenia masih terus diteliti dan belum ada obat yang
dapat menyembuhkan penyakit ini, namun penyakit ini dapat dikontrol dengan
obat antipsikotik seperti risperidone atau haloperidol, psikoterapi seperti cognitive
behavioral therapy (CBT), terapi komunitas dan suportif serta terapi pengendalian
diri sendiri. Obat antikolinergik seperti trihexyphenidyl atau diphenhydramine
juga dapat diberikan jika muncul efek ekstrapiramidal akibat penggunaan
antipsikotik.6

Kunci prognosis pasien skizofrenia adalah kepatuhan pasien terhadap


pengobatan karena tingginya angka ketidakpatuhan pada pasien dengan penyakit
jiwa, termasuk skizofrenia. Kepatuhan pasien akan menentukan apakah pasien
mampu hidup secara mandiri dan memiliki kualitas hidup yang baik. Sebaliknya,
penyakit yang tidak ditangani dengan optimal akan menyebabkan komplikasi,
seperti depresi, bahkan kematian.7

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Gangguan ini pertama kali diamati oleh Emil Kraeplin yang


memperhatikan perjalanan penyakit dengan deteriorasi kronis serupa pada
penyakit demensia, namun berkembang pada usia muda, dan tidak diikuti oleh
adanya penemuan gangguan organik di otak yang terdeteksi pada saat itu, sehingga
dinamakan sebagai Dementia praecox. Kemudian pada tahun 1911, Eugen Bleuler
menemukan adanya perbedaan mendasar antara gangguan ini dengan demensia
sehingga kemudian mengubah istilah dementia praecox yang dianggap kurang
sesuai menjadi skizofrenia (jiwa / kepribadian yang terpecah). Bleuler juga
kemudian mengembangkan 4 faktor fundamental dalam menegakkan diagnosa
skizofreni, yang terangkum dalam konsep 4A (affect blunting, disturbance of
association, autism, and ambivalence).8

Stuart (2007) menjelaskan bahwa skizofrenia merupakan penyakit otak


yang persisten dan juga serius yang bisa mengakibatkan perilaku psikotik,
kesulitan dalam memproses informasi yang masuk, kesulitan dalam hubungan
interpersonal, kesulitan dalam memecahkan suatu masalah. Di Indonesia sendiri
pembagian subtipe skizofrenia berdasarkan pada PPDGJ III juga dibagi menjadi
sembilan subtipe yaitu skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terinci
(undifferentiated), residual, simpleks, depresi pasca-skizofrenia, skizofrenia
lainnya dan skizofrenia YTT.9

6
B. EPIDEMIOLOGI

Di amerika serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1%, yang


berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama
masa hidupnya. Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) yang disponsori
National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup
sebesar 0,6 sampai 1,9 persen. Menurut DSM-IV-TR. Insidensi tahunan
skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi
genetik (cth., insiden lebih tinggi pada orang yang lahir di daerah perkotaan negara
maju). Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan
angka insiden serta prevalensinya secara kasar merata diseluruh dunia. Di A.S.,
kurang lebih 0,05 persen populasi total menjalani pengobatan untuk skizofrenia
setiap tahun dan hanya sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia
mendapatkan pengobatan, meskipun penyakit ini termasuk berat.8

Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5


sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik. Angka kejadian pada
pria setara dengan wanita, tetapi kedua jenis kelamin tersebut berbeda awitan dan
perjalanan penyakitnya. Awitan terjadi lebih dini pada pria dibanding wanita yaitu
sekitar umur 8 sampai 25 tahun pada pria dan umur 25 sampai 35 tahun pada
wanita (Sadock, et al., 2015). Faktor genetik juga berperan dalam pravelensi
skizofrenia. Beberapa penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia
telah banyak dilakukan. Pravelensi angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-
1,8%; bagi saudara kandung adalah 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua
yang menderita skizofrenia adalah 7-16%; bagi kedua orang tua menderita
skizofrenia 40-60%; bagi kembar dua telur (heterozigot) adalah 2-15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) adalah 61-86% (Maramis, 2009).10

7
C. ETIOLOGI
Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit yang tunggal
namun kategori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan
kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak yang
serupa. Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai skizofrenia, tetapi hasil
penelitian menurut Kaplan & Sadock menyebutkan etiologi skizofrenia yaitu :

1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis
(missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis
selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan
obat, stress psikososial , dan trauma.8

2. Biokimia

a. Hipotesis Dopamin
Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas
dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua
pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat
antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin), berkorelasi dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2
(D2). Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang
terkenal adalah afetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak
menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan
dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak,
hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi
mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak yang terlibat juga tidak
dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan mesolimbik paling
sering disebut. Peran signifikan dopamin dalam patofisiologi
8
skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur konsentrasi plasma
metabolit utama dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan adanya
korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat dan tingkat
keparahan gejala yang timbul pada pasien Penurunan asam
homovalinat berkorelasi dengan perbaikan gejala pada setidaknya
beberapa pasien. 8

b. Serotonin
Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam penelitian
skizofrenia sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakan bahwa
obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) (contohnya, Klozapin,
Risperidon, Sertindol) memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten.
Secara spesifik, antagonism pada reseptor 5-HT2 serotonin ditekankan
sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan
meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait antagonism-D2. 8

c. Norepinefrin
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik
jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus
seruleus dan bahwa efek terapeutik beberapa obat antipsikotik mungkin
melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik alfa-1 dan adrenergik
alfa-2. Meski hubungan antara aktivitas dopaminergik dan
doradrenergik masih belum jelas, terdapat peningkatan jumlah data
yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sitem
dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps
yang sering. 8

d. GABA
Neurotransmitter asam amino inhibitorik, asam γ-aminobutirat
(GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofernia. Data
yang tersedia sejalan dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien
skizofernia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di
hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergik inhibitorik secara teoretis
9
dapat mengakibatkan hiperaktiitas neuron dopaminergic dan
noradrenergic. 8

e. Glutamat
Hipotesis yang diajukan tentang glutamat mencakup hiperaktivitas,
hipoaktivitas dan neurotoksisitas terinduksi glutamate. Glutamat
dilibatkan karena ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamate,
menimbulkan sindrom yang menyerupai skizofrenia. 8

f. Neuropeptida
Dua neuropeptide, kolesistokinin dan neurotensin, ditemukan
disejumlah regio otak yang terlibat dalam skizofernia. Konsentrasinya
mengalami perubahan pada keadaan psikotik. 8

3. Faktor genetik
Serangkaian studi genetik secara meyakinkan mengusulkan adanya
komponen genetik dalam pewarisan sifat skizofrenia. Pada tahun 1930-an,
studi klasik mengenai genetika skizofrenia menunjukan bahwa seseorang
memiliki kecenderungan menderita skizofrenia bila terdapat anggota keluarga
yang mengidap gangguan tersebut dan kecenderungan seseorang mengalami
skizofrenia berkaitan dengan pendekatan hubungannya kembar monozigotik
memiliki angka kejadian bersama yang paling tinggi. 8

4. Psikososial

a. Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik


Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar.
Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap munculnya gejala
skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi

10
terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam. Pada
pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas
terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase
perkembangan selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam
hubungan interpersonal. Gejala positif diasosiasikan dengan onset akut
sebagai respon terhadap faktor pemicu dan erat kaitanya dengan adanya
konflik. Gejala negatif berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan
gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat
kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan
kerusakan ego yang mendasar. 8

b. Teori Belajar
Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi
dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua
yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan
interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena
pada masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk. 8

c. Teori Tentang Keluarga


Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non
psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang
pagtologis yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang
harus dihadapi oleh pasien skizofrenia. 8

d. Teori Sosial
Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan
gangguan skizofrenia. Data pendukung mengenai penekanan saat ini
adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset
dan keparahan penyakit. 8

5. Faktor lainnya
11
a. Umur
Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1,8 kali lebih besar menderita
skizofrenia dibandingkan umur 17-24 tahun.11

b. Jenis kelamin
Proporsi skiofrenia terbanyak adalah laki-laki (72%) dengan
kemungkinan laki-laki berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami
kejadian skizofrenia dibandingkan perempuan. Kaum pria lebih mudah
terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang menjadi penopang utama
rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup,
sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa
dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi
kehidupan dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun beberapa sumber
lainnya mengatakan bahwa wanita lebih mempunyai risiko untuk
menderita stress psikologik dan juga wanita relatif lebih rentan bila
dikenai trauma. Sementara prevalensi skizofrenia antara laki-laki dan
perempuan adalah sama.8

c. Pekerjaan
Pekerjaan Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja
adalah sebesar 85,3% sehingga orang yang tidak bekerja kemungkinan
mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia
dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan lebih
mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar
hormon stres (kadar katekolamin) dan mengakibatkan
ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja memiliki rasa optimis
terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja.11

d. Status ekonomi
12
Status ekonomi Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali
untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status
ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi
kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan
kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor
yang menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan
kesehatan. Himpitan ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi
berbagai peristiwa yang menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab
gangguan jiwa bukan sekadar stressor psikososial melainkan juga
stressor ekonomi. Dua stressor ini kaitmengait, makin membuat
persoalan yang sudah kompleks menjadi lebih kompleks.12

D. PATOFISIOLOGI

Teori tentang sebab-sebab skizofrenia adalah sebagai berikut :


1. Teori somotogenesis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami
kemunculan skizofrenia sebagai akibat dari berbagai proses biologis
dalam tubuh, kelainan badaniah. Antara lain :

a. Keturunan
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Telah
dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 persen - 0,8 persen ;
bagi saudara kandung 7-15 persen; bagi anak dengan salah satu
orang tua menderita skizofrenia 7-16 persen; bila kedua orang
tua menderita skizofrenia 7-16 persen; bila kedua orang tua
menderita skizofrenia 40-68 persen; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2-15 persen; kembar satu telur (monozigot) 61-86
persen. 13
Tetapi pengaruh keturunan tidak sesederhana seperti hukum-
hukum Mendel, ada sangkaan bahwa potensi untuk terkena
13
skizofrenia adalah turunan. Potensi ini mungkin kuat, mungkin
juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak (Maramis,
2004).13

b. Endokrin
Dahulu dikira skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu
gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan berhubung dengan
sering timbulnya skizofrenia pada waktu kehamilan dan
klimakterium. Tetapi hal ini tidak terbukti. 13

c. Metabolisme
Ada yang menyangka skizofrenia disebabkan oleh suatu
gangguan metabolisme, karena penderita akan tampak pucat
dan tidak sehat. Nafsu makan berkurang dan berat badan
menurun (Maramis, 2004). 13

d. Susunan saraf pusat


Ada yang mencari penyebab skizofrenia ke arah kelainan
susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau kortek otak.
Tetapi kelainan patologis yang ditemukan itu mungkin
disebabkan oleh perubahan-perubahan postmortem atau
merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan (Maramis,
2004). 13

2. Teori Psikogenik, yaitu skizofrenia sebagai suatu gangguan fungsional


dan penyebab utama ialah konflik, stres psikologik dan hubungan antar
manusia yang mengecewakan. 13

a. Teori Adolf Meyer

14
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah, kata
Meyer (1906), sebab sampai sekarang para ilmuwan tidak dapat
menemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang
khas pada susunan saraf. Sebaliknya Meyer mengakui bahwa
penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia
(Maramis, 2004). 13

b. Teori Sigmund Freud


Bila kita memakai formula Freud, maka pada skizofrenia
terdapat :
1) Kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab
psikogenik ataupun somatik.
2) Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi
dan terjadi suatu regresi ke fase narsisme.
3) Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (transference)
sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin (Maramis,
2004). 13

c. Teori Eugen Bleuler (1857-1938)


Tahun 1911 Bleuler menganjurkan supaya lebih baik dipakai
istilah “skizofrenia”, karena nama ini dengan tepat sekali
menonjolkan gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa terpecah-
pecah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir,
perasaan dan perbuatan (schizoc = pecah-pecah bercabang,
phren = jiwa) (Maramis, 2004). 13

Hipotesis dopamin, teori patofisiologis tertua, mengemukakan bahwa psikosis


disebabkan oleh dopamin berlebihan di otak. Hipotesis ini mengikuti penemuan
bahwa klorpromazin, obat antipsikotik pertama, adalah antagonis dopamin
postsinaps (Kelly, 2016). Sebuah meta-analisis terbaru dari tinjauan sistematis
yang dilakukan sejak tahun 2000 menemukan penurunan materi abu-abu yang
15
konsisten di beberapa wilayah otak, termasuk lobus frontal, cingulate gyri, dan
daerah temporal medial. Peningkatan ukuran ventrikel yang sesuai juga diamati
dan juga penurunan materi putih di korpus callosum. Perubahan volume
hipokampal mungkin terkait dengan penurunan dalam pengujian neuropsikologis.
Alih-alih penurunan jumlah neuron di daerah otak yang terkena, penurunan dalam
komunikasi aksonal dan dendritik antara sel dapat mengakibatkan hilangnya
konektivitas yang dapat menjadi hubungan penting dengan adaptasi neuron dan
homeostasis SSP.(Dipiro et al, 2014)14

Gambar 2.2.Jalur dopaminergik pada otak manusia (Crocker, 1994)

Dopamin adalah modulator neurotransmiter yang lama dipahami memainkan peran


penting dalam skizofrenia. Empat jalur dopamin utama telah terlibat dalam
neurobiologi skizofrenia dan efek samping obat antipsikotik: (1) mesolimbik, (2)
mesokorteks, (3) nigrostriatal, dan (4) tuberoinfundibular.

1. Hiperaktif jalur dopamin mesolimbik dapat mendasari beberapa gejala


positif skizofrenia (Marcsisin, 2017).15 Proyek jalur dopamin
mesolimbik memproyeksikan dari sel-sel tubuh dopaminergik di daerah
tegmental ventral batang otak ke terminal akson di salah satu daerah
limbik otak, yaitu nucleus accumbens pada striatum ventral. Jalur ini

16
diperkirakan memiliki peran penting dalam beberapa perilaku
emosional, termasuk gejala positif psikosis, seperti delusi dan
halusinasi. Jalur dopamin mesolimbik juga penting untuk motivasi,
kesenangan, dan penghargaan (Stahl, 2013).16

Gambar 2.3. Aktivitas Hiperdopaminergik di Jalur Mesolimbik (Stahl, 2013)

2. Jalur mesokorteks juga muncul dari batang otak namun diproyeksikan


ke daerah korteks. Gejala negatif dan kognitif skizofrenia mungkin
terkait dengan penurunan aktivitas di jalur mesokorteks, yang dapat
menyebabkan penurunan neurotransmisi dopamin di daerah korteks
seperti korteks prefrontal.

17
Gambar2.4.Aktivitas Hipodopaminergik di jalur Mesokorteks (Stahl, 2013)

3. Proyek jalur nigrostriatal dari substantia nigra ke ganglia basal


(Marcsisin, 2017).15 Jalur dopamin nigrostriatal adalah bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal, dan mengendalikan gerakan motorik.
Kekurangan dalam dopamin di jalur ini menyebabkan gangguan
gerakan termasuk penyakit Parkinson, ditandai dengan kekakuan,
akinesia / bradikinesia (mis., Kurang pergerakan atau perlambatan
gerakan), dan tremor. Kekurangan Dopamin di ganglia basalis juga bisa
menghasilkan akathisia (sejenis kegelisahan), dan distonia (gerakan
memutar terutama wajah dan leher). Jalur ini merupakan tempat utama
tindakan antipsikotik klasik, yang dianggap sebagai situs utama
antipsikotik pemblokiran dopamin (Stahl, 2013).16

4. Jalur tuberoinfundibular, yang memproyeksikan dari hipotalamus ke


hipofisis anterior (Marcsisin, 2017).15 Biasanya, neuron ini aktif dan
menghambat pelepasan prolaktin. Namun, dalam keadaan pasca
persalinan, aktivitas neuron dopamin ini menurun. Tingkat prolaktin
dapat meningkat selama menyusui sehingga laktasi akan terjadi. Jika
fungsi neuron dopamin tuberoinfundibular terganggu oleh lesi atau
18
obat-obatan, tingkat prolaktin juga dapat meningkat. Peningkatan
tingkat prolaktin dikaitkan dengan galaktorea (sekresi payudara),
amenore (kehilangan ovulasi dan periode menstruasi), dan
kemungkinan masalah lain seperti disfungsi seksual (Stahl, 2013).16

E. GAMBARAN KLINIS

1. Fase klinis
a. Fase prodromal
Fase prodromal adalah tanda dan gejala awal suatu penyakit.
Pemahaman pada fase prodromal menjadi sangat penting untuk deteksi
dini, karena dapat memberi kesempatan atau peluang yang lebih besar
untuk mencegah berlarutnya gangguan, disabilitas dan memberi
kemungkinan kesembuhan yang lebih besar jika diberi terapi yang
tepat. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia berupa cemas, depresi,
keluhan somatik, perubahan perilaku dan timbulnya minat baru yang
tidak lazim. Gejala prodromal tersebut dapat berlangsung beberapa
bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis pasti skizofrenia
ditegakkan. Keluhan kecemasan dapat berupa perasaan khawatir, was-
was, tidak berani sendiri, takut keluar rumah, dan merasa diteror.
Keluhan somatik dapat berupa nyeri kepala, nyeri punggung,
kelemahan dan gangguan pencernaan. Perubahan minat, kebiasaan dan
perilaku dapat berupa pasien mengembangkan gagasan abstrak, filsafat
dan keagamaan. Munculnya gejala prodromal ini dapat terjadi dengan
atau tanpa pencetus, misalnya trauma emosi, frustasi karena
permintaannya tidak terpenuhi, penyalahgunaan zat, berpisah dengan
orang yang dicintai.8

19
b. Fase aktif
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara
klinis yakni kekacauan alam pikir, perasaan dan perilaku. Penilaian
pasien terhadap realita mulai terganggu dan pemahaman dirinya buruk
atau bahkan tidak ada. Diagnosis pada pasien gangguan skizofrenia
dapat ditegakkan pada fase aktif, biasanya terdapat waham, halusinasi,
hendaya penilaian realita, serta gangguan alam pikiran, perasaan dan
perilaku.8

c. Fase Residual
Pada fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala
klinis skizofrenia, hanya tersisa beberapa gejala sisa, misalnya berupa
penarikan diri, hendaya fungsi peran, perilaku aneh, hendaya perawatan
diri, afek tumpul afek datar, merasa mampu meramal atau peristiwa
yang belum terjadi, ide atau gagasan yang aneh, tidak masuk akal.8

2. Gejala klinis

Skizofrenia adalah penyakit kronis dengan gejala heterogen. Skizofrenia dapat


digolongkan pada tiga dimensi, yakni gejala positif, gejala negatif. Gejala
positif meliputi, halusinasi, waham, gaduh gelisah, dan perilaku aneh serta
bermusuhan. Gejala negatif meliputi afek tumpul atau datar, menarik diri,
berkurangnya motivasi, miskin kontak emosional, pasif, apatis, dan sulit
berpikir abstrak. Gejala-gejala ini juga dikaitkan dengan hendaya sosial dan
pekerjaan pada pasien skizofrenia.8

a. Deskripsi umum
Penampilan pasien skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat
berantakan, menjerit-jerit dan teragitasi sehingga orang yang terobsesi
tampil rapi, sangat pendiam dan imobil diantara kedua kutub ini, pasien
dapat bersifat cerewet serta mungkin mempertontonkan postur bizar.
Perilaku mereka dapat menjadi teragitasi atau kasar, yang tampaknya
20
tanpa provokasi namun biasanya merupakan respon terhadap
halusinasi. Sebaliknya pada stupor katatonik, yang sering disebut
sebagai katatonia, pasien tampak tak bernyawa dan mungkin
menunjukan seperti membisu, negativisme dan kepatuhan otomatis.
Pasien skizofrenia seringkali tampil tidak rapi, tidak mandi dan
berpakaian terlalu tebal untuk temperatur yang ada. 8

b. Mood, perasaan dan afek


Dua gejala afektif yang umum pada skizofernia adalah menurunnya
responsivitas emosional, terkadang cukup parah hingga dapat disebut
sebagai anhedonia, serta emosi yang tidak tepat dan sangat aktif seperti
kemarahan, kebahagiaan dan ansietas yang ekstrim. Afek yang datar
atau menumpul dapat menjadi gejala penyakit itu sendiri, efek samping
pengobatan antipsikotik parkinsonia. 8

c. Gangguan preseptual
Panca indera yang manapun dapat dipengaruhi pengalaman
halusinatorik pada pasien skizofrenia. Meski demikian, halusinasi yang
paling umum adalah auditorik, dengan suara-suara yang seringkali
mengancam, bersifat cabul, menuduh atau menghina. Dua atau lebih
suara dapat saling bercakap-cakap atau satu suara dapat mengomentari
kehidupan atau perilaku pasien. 8

d. Halusinasi senestetik
halusinasi senestetik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya
keadaan organ tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestetik
mencakup sensasi terbakar pada otak, sensasi terdorong pada pembuluh
darah. Serta sensasi tertusuk pada sumsum tulang. 8

21
e. Ilusi

Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distrosi citra


atau sensasi yang nyata, sementara halusinasi tidak didasarkan pada
citra atau sensasi yang nyata. Bila ilusi atau halusinasi terjadi, klinisi
sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan adanya kausa terkait zat
untuk gejala tersebut, bahkan jika pasien telah didiagnosis skizofrenia.8

f. Pikiran
Gangguan pikiran merupakan gejala yang paling sulit dipahami banyak
klinisi dan mahasiswa namun mungkin menjadi gejala inti skizofrenia.
Pembagian gangguan pikir menjadi gangguan isi pikir, bentuk pikir dan
proses pikir adalah salah satu cara menjerikannya. 8

g. Isi pikir
Gangguan isi pikir mencerminkan ide, kepercayaan dan interpretasi
pasien terhaddap rangsangan. Waham, contoh gangguan isi pikir yang
paling jelas, bervariasi pada skizofernia dan dapat berbentuk kejar
(persekutorik), kebesaran, religious atau somatik. 8

h. Bentuk pikir
gangguan bentuk pikir secara objektif dapat diamati pada bahasa tutur
atau tertulis seorang pasien. Gangguan ini mencakup asosiasi longgar,
melantur, inkoherensi, tangensialitas, sirkumstansialitas, neologisme,
ekolalia, verbigerasi, word salad dan mutisme. 8

i. Proses pikir
Gangguan proses pikir menyangkut bagaimana suatu ide dan bahasa
dirumuskan. Pemeriksa menyimpulkan suatu gangguan dari apa dan
bagaimana pasien berbicara, menulis atau menggambar. 8

22
j. Orientasi
Pasien skizofrenia biasanya berorientasi terhadap orang, waktu dan
tempat. Tidak adanya orientasi semacam itu mengharuskan klinis untuk
menyelidiki kemungkinan adanya gangguan otak neurologis atau
medis. 8

k. Memori
Memori, seperti yang diujikan pada pemeriksaan status mental,
biasanya intak. Namun, terkadang mustahil meminta pasien
mengerjakan uji memori dengan baik, padahal dengan uji memori ini
kemampuannya dapat dikaji secara adekuat. 8

l. Daya nilai dan tilikan


Secara klasik, pasien skizofrenia digambarkan memiliki tilikan buruk
terhadap sifat dan keparahan gangguannya. Hal yang disebut tilikan
kurang dikaitkan dengan buruknya kepatuhan terhadap pengobatan.
Saat memeriksa pasien skizofernia, klinisi sebaiknya mendefinisikan
secara cermat berbagai aspek tilikan, seperti kewaspadaan akan gejala,
kesulitan bergaul dengan orang dan alasan atas masalah-masalah
tersebut. Informasi semacam itu dapat bermanfaat secara klinis dalam
menentukan strategi pengobatan dan secara teoretis berguna untuk
memformulasikan area otak yang berperan dalam tilikan kurang yang
diamati tersebut. 8

F. DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis skizofrenia pada PPDGJ-III atau ICD-10 yakni sebagai berikut:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala tersebut kurang jelas) :

23
a. Isi pikiran
1) Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang
atau bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda;
2) Thought incertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing
dari luar masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya; dan
3) Thought broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain.17

b. Waham atau Delusinasi


1) Delusion of control, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
2) Delusion of influence, yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
3) Delusion of passivity, yaitu waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar.
4) Delusion perception, yaitu pengalaman indrawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat. 17

c. Halusinasi berupa suara yang berkomentar secara terus menerus


terhadap perilaku pasien yang mendiskusikan perihal pasien di antara
mereka sendiri; atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian tubuh. 17

d. Waham-waham menetap lainnya, yang menurut budaya setempat


dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu atau kemampuan di atas manusia
biasa. 17

24
2. Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:

a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang
tidak relevan atau neologisme.

c. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi


tubuh tertentu (posturing) atay fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor.

d. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons
emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial,
tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neureptika. 17

3. Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal). 17

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan
penarikan diri secara sosial. 17

25
G. KLASIFIKASI SKIZOFRENIA
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan dalam
PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai
berikut :

1. Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam


jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering lama
kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau gejala-
gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Skizofrenia paranoid
memiliki perkembangan gejala yang konstan. Gejala-gejala yang mencolok
adalah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan
halusinasi. Pemeriksaan secara lebih teliti juga didapatkan gangguan proses
pikir, gangguan afek, dan emosi. 17

Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya


mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita
sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid, mudah tersinggung, suka
menyendiri dan kurang percaya pada orang lain.Berdasarkan PPDGJ III,
maka skizofrenia paranoid dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir
berikut :

1. Memenuhi kriteria umum diagnostik skizofrenia


2. Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
a. Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang saling berkomentar
tentang diri pasien, yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.

26
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin
ada tetapi jarang menonjol.

c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham


dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.

d. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta


gejalakatatonik secara relatif tidak nyata / tidak menonjol. 17

Pasien skizofrenik paranoid memiliki karakteristik berupa preokupasi satu


atau lebih delusi atau sering berhalusinasi. Biasanya gejala pertama kali
muncul pada usia lebih tua daripada pasien skizofrenik hebefrenik atau
katatonik. Kekuatan ego pada pasien skizofrenia paranoid cenderung lebih
besar dari pasien katatonik dan hebefrenik. Pasien skizofrenik paranoid
menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon
emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe skizofrenik lain. Pasien
skizofrenik paranoid biasanya bersikap tegang, pencuriga, berhati-hati, dan
tak ramah.Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.Pasien
skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka
secara adekuat didalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak
terpengaruhi oleh gangguan psikosis mereka dan cenderung tetap intak. 17

2. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)

Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa


remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan
proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double
personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau
27
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia heberfenik.
Waham dan halusinasi banyak sekali. 17
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis
apabila terdapat butir-butir berikut Memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia :
1. Diagnosis hebefrenik biasanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

2. Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan


pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu
menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan
dan hampa perasaan.
b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate),
sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri
(self-satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau
oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai
(grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang
diulang-ulang (reiterated phrases).
c. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren. 17

3. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir


umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi
biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and
hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan
(determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku
penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
(aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu
28
preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang
memahami jalan pikiran pasien. 17

3. Skizofrenia Katatonik (F20.2)

Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah
katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu penderita tidak
menunjukkan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Gejala paling
penting adalah gejala psikomotor seperti:

1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup


2. Muka tanpa mimik, seperti topeng
3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama,
beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
4. Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul dalam
mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan
6. Terdapat grimas dan katalepsi17

Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini
dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat
hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya
dan tidak dipengaruhi rangsangan dari luar. 17

Penderita terus berbicara atau bergerak saja, menunjukan stereotipi,


manerisme, grimas dan neologisme, tidak dapat tidur, tidak makan dan
minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan kadang-kadang
kematian (karena kehabisan tenaga dan terlebih bila terdapat juga penyakit
lain seperti jantung, paru, dan sebagainya) 17

29
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis
apabila terdapat butir-butir berikut :

1. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.


2. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :

a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap


lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau
mutisme (tidak berbicara):
b. Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil
dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar
atau aneh);
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakkan kearah yang berlawanan);
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya);
f. Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan
anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari
luar); dan
g. Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat-kalimat.
h. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi
perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia
mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai
tentang adanya gejala-gejala lain.
i. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat

30
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau
alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan
afektif. 17

Pasien dengan skizofrenia katatonik biasanya bermanifestasi salah satu dari


dua bentuk skizofrenia katatonik, yaitu stupor katatonik dan excited
katatonik. Pada katatonik stupor, pasien akan terlihat diam dalam postur
tertentu (postur berdoa, membentuk bola), tidak melakukan gerakan
spontan, hampir tidak bereaksi sama sekali dengan lingkungan sekitar
bahkan pada saat defekasi maupun buang air kecil, air liur biasanya
mengalir dari ujung mulut pasien karena tidak ada gerakan mulut, bila
diberi makan melalui mulut akan tetap berada di rongga mulut karena tidak
adanya gerakan mengunyah, pasien tidak berbicara berhari-hari, bila
anggota badan pasien dicoba digerakkan pasien seperti lilin mengikuti
posisi yang dibentuk, kemudian secara perlahan kembali lagi ke posisi
awal. Bisa juga didapati pasien menyendiri di sudut ruangan dalam posisi
berdoa dan berguman sangat halus berulang-ulang.

Pasien dengan excited katatonik, melakukan gerakan yang tanpa tujuan,


stereotipik dengan impulsivitas yang ekstrim. Pasien berteriak, meraung,
membenturkan sisi badannya berulang ulang, melompat, mondar mandir
maju mundur.Pasien dapat menyerang orang disekitarnya secara tiba-tiba
tanpa alasan lalu kembali ke sudut ruangan, pasien biasanya meneriakkan
kata atau frase yang aneh berulang-ulang dengan suara yang keras,
meraung, atau berceramah seperti pemuka agama atau pejabat.Pasien
hampir tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan sekitar, biasanya asik
sendiri dengan kegiatannya di sudut ruangan, atau di kolong tempat
tidurnya.

Walaupun pasien skizofrenia katatonik hanya memunculkan salah satu dari


kedua diatas, pada kebanyakan kasus gejala tersebut bisa bergantian pada
pasien yang dalam waktu dan frekuensi yang tidak dapat
diprediksi.Seorang pasien dengan stupor katatonik dapat secara tiba-tiba

31
berteriak, meloncat dari tempat tidurnya, lalu membantingkan badannya ke
dinding, dan akhirnya dalam waktu kurang dari satu jam kemudian kembali
lagi ke posisi stupornya.

Selama stupor atau excited katatonik, pasien skizofrenik memerlukan


pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri
atau orang lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya
malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh
dirinya sendiri.

4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F20.3)

Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah


dimasukkan kedalam salah satu tipe PPDGJ mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III
yaitu:

1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


2. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
3. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia. 17

5. Depresi Pasca-Skizofrenia (F20.4)

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :

1. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis


umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
2. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya)
3. Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.

32
4. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai. 17
6. Skizofrenia Residual (F20.5)

Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya
satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah
gejala negatif yang lebuh menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan
psikomotor, penurunan aktivitas, afek tumpul, pasif dan tidak ada inisiatif,
kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta
buruknya perawatan diri dan fungsi sosial. Untuk suatu diagnosis yang
meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :

1. Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya


perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi
muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri
dan kinerja sosial yang buruk.
2. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia.
3. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari
skizofrenia.
4. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negative tersebut. 17

33
7. Skizofrenia Simplex (F20.6)

Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis


apabila terdapat butir-butir berikut :

1. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena


tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari :
a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari
episode psikotik
b. Dan disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan
penarikan diri secara sosial.
2. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.

Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa


pubertas.Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi
dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali.Pada permulaan mungkin penderita
mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau
pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang
yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau
penjahat. 17

8. Skizofrenia lainnya (F20.8)


9. Skizofrenia YTT (Yang tak Tergolongkan) (F20.9)

34
H. PENATALAKSANAAN
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :

1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang


mempunyai sifat individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.
2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar
monozigotik adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti
untuk menyarankan bahwa factor lingkungan dan psikologis yang tidak
diketahui tetapi kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan
gangguan.
3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan
terapetik tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan
gangguan yang memiliki berbagai segi.8
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian
telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikkan
klinis. 12

1. Farmakologi
Algoritma dan Guidline terapi
a. Pilihan antipsikotik harus dipandu dengan mempertimbangkan
karakteristik klinis pasien dan profil efek samping dan efek
obat.
b. Tahapan dapat dilewatkan tergantung pada gambaran klinis atau
riwayat kegagalan antipsikotik.
c. Episode pertama atau sebelumnya tidak pernah diobati dengan
SGA
d. Antipsikotik
Obat antipsikotik mampu mengurangi gejala psikotik dalam berbagai
kondisi, termasuk skizofrenia. Obat ini juga mampu memperbaiki mood
dan mengurangi kecemasan dan gangguan tidur, tapi bukan pengobatan
pilihan saat gejala ini merupakan gangguan utama pada pasien nonpsikotik.
35
Neuroleptik adalah subtipe obat antipsikotik yang menghasilkan insidensi
ekstrapiramidal efek samping (EPS) yang tinggi pada dosis efektif secara
klinis, atau katalepsi pada hewan laboratorium (Katzung & Trevor et al,
2013).19 Dibandingkan dengan FGA, SGA dikaitkan dengan risiko efek
samping motorik yang lebih rendah (tremor, kekakuan, kegelisahan, dan
dyskinesia) (Kelly et al, 2016). Obat antipsikotik "atipikal" sekarang adalah
jenis obat antipsikotik yang paling banyak digunakan (Katzung & Trevor et
al, 2013)

Penggolongan

1. OBAT ANTI-PSIKOSIS TIPIKAL (TYPICAL – ANTI PSYCHOTICS)19

a. Phenothiazine
• Rantai Aliphatic : CHLORPROMAZINE

• Rantai Piperazine : PERPHENAZINE


TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
• Rantai Piperidine : THIORIDAZINE
b. Butyrophenone : HALOPERIDOL
c. Dhphenyl – butyl – piperidine : PIOMOZIDE

2. OBAT ANTI-PSIKOSIS ATIPIKAL (ATYPICAL ANTI


PSYCHOTICS)19

a. Benzamide : SULPRIDE
b. Dibenzodiazepine : CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
ZOTEPINE

36
c. Benzisoxazole : RISPERIDON
ARIPIPRAZOLE

Indikasi Penggunaan19

Gejala Sasaran : SINDROM PSIKOSIS


Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis
- Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing
ability), bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang
terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan daya
tilikan diri (insight) terganggu.
- Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala
POSITIF : gangguan asosiasi pikiran (inkohherensi), isi pikiran yang
tidak wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan
perasaan (tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak
terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF : gangguan perasaan
(afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses pikir (lambat, terhambat),
isi pikiran yang stereotip dan tidak ada insiatif, perilaku yang sangat
terbatas dan cenderung menyendiri (abulia).
- Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi
dalam gejala : tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan
melakukan kegiatan rutin.
- Sindrom Psiosis dapat terjadi pada :
- Sindrom Psikosis Fungsional : Skizofrenia, Psikosis paranoid,
Psikosis Afektir, Psikosis Reaktif singkat dll
- Sindrom Psikosis Organik : Sindrom Delirium, Dementia,
Intoksikasi alkohol, dll. 19

37
Mekanisme Kerja
Hipotesis : Sindrom Psikosis terjadi berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter Dopamine yang meningkat. (Hiperaktivitas sistem
dopaminergik sentral).
Mekanisme kerja Obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade
Dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di Otak, khususnya di
sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor
antagonists), sehingga efektif untuk gejala POSITIF. Sedangkan Obat
anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2
Receptors”, juga terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-
dopamine antagonists), sehingga efektif juga untuk gejala NEGATIF. 19

Efek Samping
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa :
- Gejala ekstrapiramidal (GEP) dapat berbentuk antara lain:
1. Parkinsonisme (gejala penyakit parkinsonisme) yakni
hipokinesia (daya gerak berkurang, berjalan langkah
demi langkah) dan kekakuan anggota tubuh , kadang-
kadang tremor tangan dan keluar liur berlebihan.
2. Akathisia yaitu selalu ingin bergerak, tidak mampu
duduk diam tanpa mengerakkan kaki, tangan atau tubuh.
3. Dyskinesia tarda yaitu gerakan abnormal tak-sengaja,
khususnya otot-otot muka dan mulut yang dapat menjadi
permanen.
4. Sindroma neuroleptika maligne berupa demam,
kekakuan otot dan GEP (gejala ekstrapiramidal).
- Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif
menurun).

38
- Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik:
mulut kering, kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat,
mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama
jantung).
- Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik
(Jaundice), hematologik (agranulocytosis), biasanya pada
pemakaian jangka panjang.
- Efek samping dapat juga “irreversible” : tardive dyskinesia
(gerakan berulang involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang,
dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut
menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang
(terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping
ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis (non dose
related). 19
Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan,
bisa dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h, (dopamine depleting
agent), pemberian obat antiparkinson atau L-dopa dapat memperburuk
keadaan. Obat pengganti anti- psikosis yang paling baik adalah Clozapine
50-100 mg/h. 19
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urine lengkap, fungsi
hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian akibat
overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat
yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lavage lambung” bila
obat belum lama dimakan. 19

Interaksi Obat
• Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensial efek samping obat dan
tidak ada bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-
psikosis). Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine potensial efek
hipotensif.
39
• Antipsikosis + Antidepresan trisiklik efek samping antikolinergik
meningkat (hati- hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma,
ileus, penyakit jantung).
• Antipsikosis + ECT= dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis
pada pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy)
oleh karena angka mortalitas yang tinggi.
• Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun,
kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis
antikonvulsan harus lebih besar (dose-related). Yang paling minimal
menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol.
• Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun
disebabkan gangguan absorbsi. 19

Cara Penggunaan
Pemilihan Obat
• Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 19

Anti-Psikosis Mg.Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks. Piramidal


Chlorpromazine 100 150 – 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 – 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 – 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 – 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 – 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 – 100 + + ++++
Pimozide 2 2–6 + + ++
Clozapine 25 25 – 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 – 100 + + +
Sulpiride 200 200 – 1600 + + +
Risperidone 2 2–9 + + +
Quetiapine 100 50 – 4-- + + +
Olanzapine 10 10 – 20 + + +
Aripiprazole 10 10 – 20 + + +

40
• Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis
yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen.

• Misalnya pada contoh sbb:


Chlorpromazine dan Thiridazine yang efek samping sedatif kuat
terutama digunakan terhadap Sindrom Psikosis dengan gejala
dominan : gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran,
perasaan dan perilaku, dll. Sedangkan Trifluoperazine, Fluphenazine,
dan Haloperidol yang efek samping sedatif lemah digunakan terhadap
Sindrom Psikosis dengan gejala dominan : apatis, menarik diri,
perasaan tumpul, kehilangan minat dan insiatif, hipoaktif, waham,
halusinasi, dll. Tetapi obat yang terakhir ini paling mudah
menyebabkan timbulnya gejala ekstrapiramidal pada pasien yang
rentan terhadap efek samping tersebut perlu digantikan dengan
Thioridazine (dosis ekivalen) dimana efek samping ekstrapiramidalnya
sangat ringan. Untuk pasien yang sampai timbul “tardive dyskinesia”
obat anti psikosis yang tanpa efek samping ekstrapiramidal adalah
Clozapine.

• Apabila obat anti-psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis


dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai,
dapat diganti dengan obat anti-psiosis lain (sebaiknya dari golongan
yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek
samping belum tentu sama.

• Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya,


jenis obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolelir
dengan baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang.

41
• Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi
pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi,
bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan
obat antipsikosis –atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada
penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolelir efek samping
ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala
ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication). 19

Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
- Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
- Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari
efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak
begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3
hari  sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom
Psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  “dosis
optimal”  dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap
2 minggu  “dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun
(diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu)  tapering off (dosis diturunkan tiap 2
– 4 minggu) stop. 19

Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”
terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
Pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5
– 5 kali.

Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa


hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak
42
langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu
bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut
disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-
metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.

Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan


selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama
sekali. Untuk “Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap
setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.

Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil sekali. Pada penghentian yang mendadak dapat
timbul gejala “Cholinergic Rebound” : gangguan lambung, mual, muntah,
diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan
pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im),
tablet Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h). Oleh karena itu pada penggunaan
bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila sudah tiba waktu
penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson. 19

Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis “Long acting” (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau
Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu, sangat berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang
tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan peroral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian
baru ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Pemberian obat anti-psikosis
“long acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance

43
therapy) terhadap kasus Skizofrenia 15-25 % kasus menunjukkan toleransi
yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal. 19

Perhatian Khusus
• Efek samping yang sering timbul dan tindakan mengatasinya :
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan
Hipotensi Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa
adrenergic blockade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi
Noradrenaline (Norepinephrine) sebagai “alpha adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat
“alfa dan beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta adrenergic
tetap ada dan dapat terjadi shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung
bangun setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar
5 – 10 menit.
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate
(LEVOPHED Abbot atau RAIVAS – Dexa Medica atau Vascon-
Fahrenheit) Ampul 4 mg/4 cc dalam infus 1000 ml dextrose 5% dengan
kecepatan infus 2-3 cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan
gejala ekstrapiramidal / Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya
dengan tablet Trihexyphenidyl (Artane) 3 – 4 x2 mg/hari, sulfas
atropine 0,50 – 0,75 mg (im). Apabila sindrom parkinson sudah
terkendali diusahakan penurunan dosis secara bertahap, untuk
menentukan apakah masih dibutuhkan penggunaan obat anti parkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih
lama dari 3 bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak
dianjurkan pemberian “antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat
mempengaruhi penyerapan/absorpsi obat anti-psikosis sehingga
kadarnya dalam plasma rendah dan dapat menghalangi manifestasi

44
gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat
anti-psikosis agar tercapai dosis efektif.
• “Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapat diulangi
setiap 2 jam, dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya
dalam 6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom
Psikosis (agitasi, hiperaktivitas psikomotor, impulsif menyerang,
gaduh, gelisah, perilaku destruktif dll).
• Kontraindikasi :
- Penyakit hati (hepato-toksik)
- Penyakit darah (hemato-toksik)
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang)
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung)
- Febris yang tinggal (thermoregulator di SSP)
- Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak, dll)
- Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran
makin memburuk)
• Pemakaian Khusus
- Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak
dengan hiperaktif, emosional labil dan perilaku destruktif. Juga
sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan
emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200
mg/hari.
- Haloperidol dosis kecil untuk “Gilles de la Tourette’s
Syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai
antara umur 2 sampai 15 tahun. Terdapat gerakan-gerakan
involunter berulang, cepat dan tanpa tujuan, yang melibatkan
banyak kelompok otot (tics). Disertai tics vokal yang multipel
(misalnya suara “klik”, dengusan, batuk, menggeram,
menyalak, atau kata- kata/kata kotor/koprolalia). Pasien mampu
menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai
beberapa jam.
45
- Sindrom Neuropletik Maligna (SNM) merupakan kondisi
mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat
psikosis (khususnya pada “long acting” dimana risiko ini lebih
besar). Semua pasien yang diberikan obat anti-psikosis
mempunyai risiko untuk terjadi SNM tetapi dengan kondisi
dehidrasi, kelelahan atau malnutrisi, risiko ini akan menjedi
lebih tinggi.
• Pada pasien usia lanjut atau dengan Sindrom Psikosis Organik, obat
anti- psikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping
otonomik (hipotensi ortostatik) dan sedasi-nya yaitu golongan “high
potency neuroleptics”, misalnya Haloperidol, Trifluoperazine,
Flupherazine atau anti-psikosis atipikal. Penggunaan pada wanita
hamil, berisiko tinggi anak yang dilahirkan menderita gangguan saraf
ekstrapiramidal. 19

Perawatan di Rumah Sakit


Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :
1. Untuk tujuan diagnostik.
2. Menstabilkan medikasi.
3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.
4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.
5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien
dan system pendukung masyarakat.
Sejak diperkenalkan diawal tahun 1950-an medikasi antipsikotik telah
menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia. Tetapi, antipsikotik
mengobati gejala gangguan dan bukan suatu penyembuhan skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu
mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah
sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan.

46
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan
hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus di arahkan untukk
mengikat pasien dengan fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya,
keluarga angkat, board and care homes, dan half way house. Pusat
perawatan di siang hari ( day care center ) dan kunjungan rumah kadang-
kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode
waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari
pasien.8

Prinsip-Prinsip Terapetik
1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan
diobati
2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada
pasien harus digunakan lagi.
3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam
minggu pada dosis yang adekuat.
4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu
adalah jarang diindikasikan.
5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin
yang diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode
psikotik.8

Pemeriksaan Awal

Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang
cukup singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali
clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri
pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap
dengan indeks sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada

47
wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari
30 tahun.
Kontraindikasi Utama Antipsikotik :
1. Riwayat respon alergi yang serius
2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan
berinteraksi dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi
sistem saraf pusat.
3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organic atau
audiopatik.
4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antipsikotik
dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.8

2. Non farmakologi

a. Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat
diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak
menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk
tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan
banyak bergaul.

1) Terapi Perilaku
Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
keterampilan social untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan
komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah
yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan. Dengan
demikian frekuensi perilaku mal adaptif atau menyimpang
dapat diturunkan.

48
Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )
Sering dinamakan terapi keterampilan sosial ( social skills
therapy ). Terapi ini dapat secara langsung membantu dan
berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi terapi
farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan penggunaan
kaset videon orang lain dan pasien permainan simulasi ( role
playing ) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang
keterampilan yang telah dilakukan.

2) Terapi Berorientasi Keluarga


Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk
mengidentifikasik dan menghindari situasi yang kemungkinan
menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul pada
pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan
masalah secara cepat.
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas
dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya lama
dan kecepatannya.
Di dalam session keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi
harus mengendalikan intensitas emosional dari session.

b. Terapi psikoreligius
Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata
mempunyai manfaat misalnya, gejala-gejala klinis gangguan
jiwa skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi keagamaan yang
dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dankajian kitab suci.

c. Terapi fisik berupa olahraga.


d. Berbagai kegiatan seperti kursus atau les (Sinaga, 2007).20

49
I. DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat

Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis
atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan
oleh suatu zat, diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat
kondisi medis umum, atau gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi
psikiatrik dari banyak kondisi medis nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam
perjalanan penyakit, seringkali sebelum perkembangan gejala lain. Dengan
demikian klinisi harus mempertimbangkan berbagai macam kondisi medis
nonpsikiatrik dii dalam diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa adanya gejala
fisik yang jelas. Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus
mengikuti tiga pedoman umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik.
Pertama, klinisi harus cukup agresif dalam mengejar kondisi medis
nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya gejala yang tidak lazim atau
jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi harus
berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap, termasuk
riwayat gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus
mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan
pada pasien dengan diagnosis skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien
skizofrenia mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita tumor otak
yang menyebabkan gejala psikotik dibandingkan dengan seorang pasien
skizofrenik.8

2. Berpura-pura dan Gangguan buatan

Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu diagnosis


yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi sebenarnya tidak
menderita skizofrenia. Orang telah menipu menderita skizofrenia dan dirawat
dan diobati di rumah sakit psikiatrik. Orang yang secara lengkap
mengendalikan produksi gejalanya mungkin memenuhi diagnosis berpura-pura
(malingering); pasien tersebut biasanya memilki alasan financial dan hukum

50
yang jelas untuk dianggap gila. Pasien yang kurang mengendalikan pemalsuan
gejala psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan
(factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan skizofrenia seringkali
secara palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik untuk mendapatkan
bantuan lebih banyak atau untuk dapat dirawat di rumah sakit. 8

3. Gangguan Psikotik Lain

Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan
gangguan skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia
karena memiliki lama (durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi
kurang daripada enam bulan. Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah
diagnosis yang tepat jika gejala berlangsung sekurangnya satu hari tetapi
kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak kembali ke tingkat fungsi
pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang tepat jika
sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama
skizofrenia. 8

Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala
skizofrenia lainnya atau suatu gangguan mood. 8

4. Gangguan Mood

Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan
depresi. Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relative singkat
terhadap lama gejala primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan
status mental, klinisi harus menunda diagnosis akhir atau harus menganggap
adanya gangguan mood, bukannya membuat diagnosis skizofrenia secara
prematur. 8

51
5. Gangguan Kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu cirri


skizofrenia; gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang adalah
gangguan kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan
kepribadian, tidak seperti skizofrenia, mempunyai gejala yang ringan, suatu
riwayat ditemukannya gangguan selama hidup pasien, dan tidak adanya onset
tanggal yang dapat diidentifikasi. 8

J. PROGNOSIS

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10


tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia,
hanya kira-kira 10-20 % pasien dapat digambarkan memliki hasil yang baik.Lebih
dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan
di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat,
dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut,
skizofrenia memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan
sejumlah faktor telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.8

Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-60%
dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia
mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30% dari
pasien terus mengalami gejala yang sedang dan 40-60% dari pasien terus
terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya. 8

52
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang Tidak ada factor pencetus


jelas
Onset tidak jelas
Onset akut
Riwayat social dan pekerjaan
Riwayat sosial, seksual premorbid yang buruk
dan pekerjaan
premorbid yang baik Prilaku menarik diri atau autistic

Gejala gangguan mood Tidak menikah, bercerai atau janda/


(terutama gangguan duda
depresif)
Sistem pendukung yang buruk
Menikah
Gejala negatif
Riwayat keluarga
gangguan mood Tanda dan gejala neurologist

Sistem pendukung yang Riwayat trauma perinatal (Kapla

n&
baik Sadock

Buku
Tidak ada remisi dalam 3 tahun Ajar
Gejala positif
Banyak relaps

Riwayat penyerangan
Psikiatri Klinis)8

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Sie M. Schizophrenia Clinical Features and Diagnosis. Clinical Pharmacist. 2011


February; 3; 41-44.
2. WHO. (2019). Schizophrenia. October, 4–7.
3. NIMH. (2019). Schizophrenia Definition Age-Of-Onset for Schizophrenia Prevalence
of Schizophrenia Burden of Schizophrenia. 58(2008), 7–10.
https://doi.org/10.1111/jphs.12027/epdf
4. Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS). Journal of
Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/10.1088/1751-
8113/44/8/085201
5. Kementrian Kesehatan. Undang Undang No 3 Tahun 1966 Tentang Kesehatan Jiwa
https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1966_3.pdf ( di akses tgl 12
september 2021)
6. Howes OD, McCuthcheon R, Bartolomeis A et al. Treatment-Resistant Schizophrenia:
Treatment Response and Resistance in Psychosis (TRRIP) Working Group Consensus
Guidelines on Diagnosis and Terminology. 2016 December; 1-14.
7. Preda A, Bota RG. Schizophrenia. BMJ. 2018. Diakses dari: https://bit.ly/2UsyxYe
8. Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School of
Medicine New York;
9. Stuart G.W.(2007). buku saku keperawatan jiwa (edisi 5), Alih bahasa, Ramona P.
Kapoh, Egi Komara Yudha, EGC, Jakarta.
10. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga.
11. Erlina S, Pramono D, editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien
rawat jalan di rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat. Berita Ked
Masy. 2010; 26(2):71-80.
12. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Dalam Erlina S, Pramono D, editor.
Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di rumah sakit
jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat. Berita Ked Masy. 2010; 26(2):71-80.

54
13. Maramis, W. F. 2004. Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan 8. Surabaya: Airlangga
University Press.
14. Wells B. G., DiPiro J. T., Schwinghammer T. L., dan DiPiro C. V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. United States: McGraw-Hill Education.
15. Michael J Marcsisin, Jason B Rosenstock, Jessica M Gannon.2017. Schizophrenia
and related disorders. Oxford UniversityPress,
16. Stahl, S M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and
Practical Applications. 4th ed. New York: Cambrigde University Press.
17. Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma
Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.
18. Katzung B. G., Masters S. B., dan Trevor A. J. 2012. Basic & Clinical Pharmacology
Twelfth Edition. United States: The McGraw-Hill Companies, Inc.
19. Maslim, R., 2007, Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi 3.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
20. Sinaga, B R. 2007. Skizofrenia dan diagnosis banding. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

55

Anda mungkin juga menyukai