Skizofrenia
OLEH :
09401611014
PEMBIMBING UTAMA :
PEMBIMBING PENDAMPING :
UNIVERSITAS KHAIRUN
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Definisi............................................................................................... 3
B. Epidemiologi …………………………………………………….. 4
C. Etiologi …………………………………………………………... 5
D. Patofisiologi …………………………………………………….. 10
E. Gambaran klinis ………………………………………….…….. 16
F. Diagnosis ………………………………………………………... 20
G. Klasifikasi ……………………………………………………….. 23
H. Penatalaksanaan ………….…………………………………….. 32
I. Diagnosis Banding ……………………….…………………….. 47
J. Prognosis ………………………………………………………… 49
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 51
2
LEMBAR PENGESAHAN
REFARAT
SKIZOFRENIA
Disusun Oleh :
(09401611014)
Menyetujui
Dokter Pembimbing
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1966, dalam bidang kesehatan jiwa
usaha-usaha Pemerintah meliputi: (1) Memelihara kesehatan jiwa dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, (2) Menggunakan keseimbangan jiwa
dengan menyesuaikan penempatan tenaga selaras dengan bakat dan
kemampuannya, (3) Perbaikan tempat kerja dan suasana kerja dalam perusahaan
dan sebagainya sesuai dengan ilmu kesehatan jiwa, (4) Mempertinggi taraf
kesehatan jiwa seseorang dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat,
(5) Usaha-usaha lain yang dianggap perlu oleh Menteri Kesehatan.5
Penatalaksanaan skizofrenia masih terus diteliti dan belum ada obat yang
dapat menyembuhkan penyakit ini, namun penyakit ini dapat dikontrol dengan
obat antipsikotik seperti risperidone atau haloperidol, psikoterapi seperti cognitive
behavioral therapy (CBT), terapi komunitas dan suportif serta terapi pengendalian
diri sendiri. Obat antikolinergik seperti trihexyphenidyl atau diphenhydramine
juga dapat diberikan jika muncul efek ekstrapiramidal akibat penggunaan
antipsikotik.6
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
6
B. EPIDEMIOLOGI
7
C. ETIOLOGI
Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit yang tunggal
namun kategori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan
kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak yang
serupa. Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai skizofrenia, tetapi hasil
penelitian menurut Kaplan & Sadock menyebutkan etiologi skizofrenia yaitu :
1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis
(missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis
selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan
obat, stress psikososial , dan trauma.8
2. Biokimia
a. Hipotesis Dopamin
Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas
dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua
pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat
antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin), berkorelasi dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2
(D2). Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang
terkenal adalah afetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak
menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan
dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak,
hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi
mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak yang terlibat juga tidak
dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan mesolimbik paling
sering disebut. Peran signifikan dopamin dalam patofisiologi
8
skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur konsentrasi plasma
metabolit utama dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan adanya
korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat dan tingkat
keparahan gejala yang timbul pada pasien Penurunan asam
homovalinat berkorelasi dengan perbaikan gejala pada setidaknya
beberapa pasien. 8
b. Serotonin
Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam penelitian
skizofrenia sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakan bahwa
obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) (contohnya, Klozapin,
Risperidon, Sertindol) memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten.
Secara spesifik, antagonism pada reseptor 5-HT2 serotonin ditekankan
sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan
meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait antagonism-D2. 8
c. Norepinefrin
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik
jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus
seruleus dan bahwa efek terapeutik beberapa obat antipsikotik mungkin
melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik alfa-1 dan adrenergik
alfa-2. Meski hubungan antara aktivitas dopaminergik dan
doradrenergik masih belum jelas, terdapat peningkatan jumlah data
yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sitem
dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps
yang sering. 8
d. GABA
Neurotransmitter asam amino inhibitorik, asam γ-aminobutirat
(GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofernia. Data
yang tersedia sejalan dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien
skizofernia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di
hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergik inhibitorik secara teoretis
9
dapat mengakibatkan hiperaktiitas neuron dopaminergic dan
noradrenergic. 8
e. Glutamat
Hipotesis yang diajukan tentang glutamat mencakup hiperaktivitas,
hipoaktivitas dan neurotoksisitas terinduksi glutamate. Glutamat
dilibatkan karena ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamate,
menimbulkan sindrom yang menyerupai skizofrenia. 8
f. Neuropeptida
Dua neuropeptide, kolesistokinin dan neurotensin, ditemukan
disejumlah regio otak yang terlibat dalam skizofernia. Konsentrasinya
mengalami perubahan pada keadaan psikotik. 8
3. Faktor genetik
Serangkaian studi genetik secara meyakinkan mengusulkan adanya
komponen genetik dalam pewarisan sifat skizofrenia. Pada tahun 1930-an,
studi klasik mengenai genetika skizofrenia menunjukan bahwa seseorang
memiliki kecenderungan menderita skizofrenia bila terdapat anggota keluarga
yang mengidap gangguan tersebut dan kecenderungan seseorang mengalami
skizofrenia berkaitan dengan pendekatan hubungannya kembar monozigotik
memiliki angka kejadian bersama yang paling tinggi. 8
4. Psikososial
10
terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam. Pada
pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas
terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase
perkembangan selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam
hubungan interpersonal. Gejala positif diasosiasikan dengan onset akut
sebagai respon terhadap faktor pemicu dan erat kaitanya dengan adanya
konflik. Gejala negatif berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan
gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat
kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan
kerusakan ego yang mendasar. 8
b. Teori Belajar
Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi
dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua
yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan
interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena
pada masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk. 8
d. Teori Sosial
Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan
gangguan skizofrenia. Data pendukung mengenai penekanan saat ini
adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset
dan keparahan penyakit. 8
5. Faktor lainnya
11
a. Umur
Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1,8 kali lebih besar menderita
skizofrenia dibandingkan umur 17-24 tahun.11
b. Jenis kelamin
Proporsi skiofrenia terbanyak adalah laki-laki (72%) dengan
kemungkinan laki-laki berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami
kejadian skizofrenia dibandingkan perempuan. Kaum pria lebih mudah
terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang menjadi penopang utama
rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup,
sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa
dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi
kehidupan dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun beberapa sumber
lainnya mengatakan bahwa wanita lebih mempunyai risiko untuk
menderita stress psikologik dan juga wanita relatif lebih rentan bila
dikenai trauma. Sementara prevalensi skizofrenia antara laki-laki dan
perempuan adalah sama.8
c. Pekerjaan
Pekerjaan Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja
adalah sebesar 85,3% sehingga orang yang tidak bekerja kemungkinan
mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia
dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan lebih
mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar
hormon stres (kadar katekolamin) dan mengakibatkan
ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja memiliki rasa optimis
terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja.11
d. Status ekonomi
12
Status ekonomi Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali
untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status
ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi
kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan
kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor
yang menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan
kesehatan. Himpitan ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi
berbagai peristiwa yang menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab
gangguan jiwa bukan sekadar stressor psikososial melainkan juga
stressor ekonomi. Dua stressor ini kaitmengait, makin membuat
persoalan yang sudah kompleks menjadi lebih kompleks.12
D. PATOFISIOLOGI
a. Keturunan
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Telah
dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 persen - 0,8 persen ;
bagi saudara kandung 7-15 persen; bagi anak dengan salah satu
orang tua menderita skizofrenia 7-16 persen; bila kedua orang
tua menderita skizofrenia 7-16 persen; bila kedua orang tua
menderita skizofrenia 40-68 persen; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2-15 persen; kembar satu telur (monozigot) 61-86
persen. 13
Tetapi pengaruh keturunan tidak sesederhana seperti hukum-
hukum Mendel, ada sangkaan bahwa potensi untuk terkena
13
skizofrenia adalah turunan. Potensi ini mungkin kuat, mungkin
juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak (Maramis,
2004).13
b. Endokrin
Dahulu dikira skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu
gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan berhubung dengan
sering timbulnya skizofrenia pada waktu kehamilan dan
klimakterium. Tetapi hal ini tidak terbukti. 13
c. Metabolisme
Ada yang menyangka skizofrenia disebabkan oleh suatu
gangguan metabolisme, karena penderita akan tampak pucat
dan tidak sehat. Nafsu makan berkurang dan berat badan
menurun (Maramis, 2004). 13
14
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah, kata
Meyer (1906), sebab sampai sekarang para ilmuwan tidak dapat
menemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang
khas pada susunan saraf. Sebaliknya Meyer mengakui bahwa
penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia
(Maramis, 2004). 13
16
diperkirakan memiliki peran penting dalam beberapa perilaku
emosional, termasuk gejala positif psikosis, seperti delusi dan
halusinasi. Jalur dopamin mesolimbik juga penting untuk motivasi,
kesenangan, dan penghargaan (Stahl, 2013).16
17
Gambar2.4.Aktivitas Hipodopaminergik di jalur Mesokorteks (Stahl, 2013)
E. GAMBARAN KLINIS
1. Fase klinis
a. Fase prodromal
Fase prodromal adalah tanda dan gejala awal suatu penyakit.
Pemahaman pada fase prodromal menjadi sangat penting untuk deteksi
dini, karena dapat memberi kesempatan atau peluang yang lebih besar
untuk mencegah berlarutnya gangguan, disabilitas dan memberi
kemungkinan kesembuhan yang lebih besar jika diberi terapi yang
tepat. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia berupa cemas, depresi,
keluhan somatik, perubahan perilaku dan timbulnya minat baru yang
tidak lazim. Gejala prodromal tersebut dapat berlangsung beberapa
bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis pasti skizofrenia
ditegakkan. Keluhan kecemasan dapat berupa perasaan khawatir, was-
was, tidak berani sendiri, takut keluar rumah, dan merasa diteror.
Keluhan somatik dapat berupa nyeri kepala, nyeri punggung,
kelemahan dan gangguan pencernaan. Perubahan minat, kebiasaan dan
perilaku dapat berupa pasien mengembangkan gagasan abstrak, filsafat
dan keagamaan. Munculnya gejala prodromal ini dapat terjadi dengan
atau tanpa pencetus, misalnya trauma emosi, frustasi karena
permintaannya tidak terpenuhi, penyalahgunaan zat, berpisah dengan
orang yang dicintai.8
19
b. Fase aktif
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara
klinis yakni kekacauan alam pikir, perasaan dan perilaku. Penilaian
pasien terhadap realita mulai terganggu dan pemahaman dirinya buruk
atau bahkan tidak ada. Diagnosis pada pasien gangguan skizofrenia
dapat ditegakkan pada fase aktif, biasanya terdapat waham, halusinasi,
hendaya penilaian realita, serta gangguan alam pikiran, perasaan dan
perilaku.8
c. Fase Residual
Pada fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala
klinis skizofrenia, hanya tersisa beberapa gejala sisa, misalnya berupa
penarikan diri, hendaya fungsi peran, perilaku aneh, hendaya perawatan
diri, afek tumpul afek datar, merasa mampu meramal atau peristiwa
yang belum terjadi, ide atau gagasan yang aneh, tidak masuk akal.8
2. Gejala klinis
a. Deskripsi umum
Penampilan pasien skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat
berantakan, menjerit-jerit dan teragitasi sehingga orang yang terobsesi
tampil rapi, sangat pendiam dan imobil diantara kedua kutub ini, pasien
dapat bersifat cerewet serta mungkin mempertontonkan postur bizar.
Perilaku mereka dapat menjadi teragitasi atau kasar, yang tampaknya
20
tanpa provokasi namun biasanya merupakan respon terhadap
halusinasi. Sebaliknya pada stupor katatonik, yang sering disebut
sebagai katatonia, pasien tampak tak bernyawa dan mungkin
menunjukan seperti membisu, negativisme dan kepatuhan otomatis.
Pasien skizofrenia seringkali tampil tidak rapi, tidak mandi dan
berpakaian terlalu tebal untuk temperatur yang ada. 8
c. Gangguan preseptual
Panca indera yang manapun dapat dipengaruhi pengalaman
halusinatorik pada pasien skizofrenia. Meski demikian, halusinasi yang
paling umum adalah auditorik, dengan suara-suara yang seringkali
mengancam, bersifat cabul, menuduh atau menghina. Dua atau lebih
suara dapat saling bercakap-cakap atau satu suara dapat mengomentari
kehidupan atau perilaku pasien. 8
d. Halusinasi senestetik
halusinasi senestetik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya
keadaan organ tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestetik
mencakup sensasi terbakar pada otak, sensasi terdorong pada pembuluh
darah. Serta sensasi tertusuk pada sumsum tulang. 8
21
e. Ilusi
f. Pikiran
Gangguan pikiran merupakan gejala yang paling sulit dipahami banyak
klinisi dan mahasiswa namun mungkin menjadi gejala inti skizofrenia.
Pembagian gangguan pikir menjadi gangguan isi pikir, bentuk pikir dan
proses pikir adalah salah satu cara menjerikannya. 8
g. Isi pikir
Gangguan isi pikir mencerminkan ide, kepercayaan dan interpretasi
pasien terhaddap rangsangan. Waham, contoh gangguan isi pikir yang
paling jelas, bervariasi pada skizofernia dan dapat berbentuk kejar
(persekutorik), kebesaran, religious atau somatik. 8
h. Bentuk pikir
gangguan bentuk pikir secara objektif dapat diamati pada bahasa tutur
atau tertulis seorang pasien. Gangguan ini mencakup asosiasi longgar,
melantur, inkoherensi, tangensialitas, sirkumstansialitas, neologisme,
ekolalia, verbigerasi, word salad dan mutisme. 8
i. Proses pikir
Gangguan proses pikir menyangkut bagaimana suatu ide dan bahasa
dirumuskan. Pemeriksa menyimpulkan suatu gangguan dari apa dan
bagaimana pasien berbicara, menulis atau menggambar. 8
22
j. Orientasi
Pasien skizofrenia biasanya berorientasi terhadap orang, waktu dan
tempat. Tidak adanya orientasi semacam itu mengharuskan klinis untuk
menyelidiki kemungkinan adanya gangguan otak neurologis atau
medis. 8
k. Memori
Memori, seperti yang diujikan pada pemeriksaan status mental,
biasanya intak. Namun, terkadang mustahil meminta pasien
mengerjakan uji memori dengan baik, padahal dengan uji memori ini
kemampuannya dapat dikaji secara adekuat. 8
F. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis skizofrenia pada PPDGJ-III atau ICD-10 yakni sebagai berikut:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala tersebut kurang jelas) :
23
a. Isi pikiran
1) Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang
atau bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda;
2) Thought incertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing
dari luar masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya; dan
3) Thought broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain.17
24
2. Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang
tidak relevan atau neologisme.
d. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons
emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial,
tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neureptika. 17
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan
penarikan diri secara sosial. 17
25
G. KLASIFIKASI SKIZOFRENIA
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan dalam
PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai
berikut :
26
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin
ada tetapi jarang menonjol.
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah
katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu penderita tidak
menunjukkan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Gejala paling
penting adalah gejala psikomotor seperti:
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini
dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat
hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya
dan tidak dipengaruhi rangsangan dari luar. 17
29
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis
apabila terdapat butir-butir berikut :
30
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau
alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan
afektif. 17
31
berteriak, meloncat dari tempat tidurnya, lalu membantingkan badannya ke
dinding, dan akhirnya dalam waktu kurang dari satu jam kemudian kembali
lagi ke posisi stupornya.
32
4. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai. 17
6. Skizofrenia Residual (F20.5)
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya
satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah
gejala negatif yang lebuh menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan
psikomotor, penurunan aktivitas, afek tumpul, pasif dan tidak ada inisiatif,
kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta
buruknya perawatan diri dan fungsi sosial. Untuk suatu diagnosis yang
meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
33
7. Skizofrenia Simplex (F20.6)
34
H. PENATALAKSANAAN
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :
1. Farmakologi
Algoritma dan Guidline terapi
a. Pilihan antipsikotik harus dipandu dengan mempertimbangkan
karakteristik klinis pasien dan profil efek samping dan efek
obat.
b. Tahapan dapat dilewatkan tergantung pada gambaran klinis atau
riwayat kegagalan antipsikotik.
c. Episode pertama atau sebelumnya tidak pernah diobati dengan
SGA
d. Antipsikotik
Obat antipsikotik mampu mengurangi gejala psikotik dalam berbagai
kondisi, termasuk skizofrenia. Obat ini juga mampu memperbaiki mood
dan mengurangi kecemasan dan gangguan tidur, tapi bukan pengobatan
pilihan saat gejala ini merupakan gangguan utama pada pasien nonpsikotik.
35
Neuroleptik adalah subtipe obat antipsikotik yang menghasilkan insidensi
ekstrapiramidal efek samping (EPS) yang tinggi pada dosis efektif secara
klinis, atau katalepsi pada hewan laboratorium (Katzung & Trevor et al,
2013).19 Dibandingkan dengan FGA, SGA dikaitkan dengan risiko efek
samping motorik yang lebih rendah (tremor, kekakuan, kegelisahan, dan
dyskinesia) (Kelly et al, 2016). Obat antipsikotik "atipikal" sekarang adalah
jenis obat antipsikotik yang paling banyak digunakan (Katzung & Trevor et
al, 2013)
Penggolongan
a. Phenothiazine
• Rantai Aliphatic : CHLORPROMAZINE
a. Benzamide : SULPRIDE
b. Dibenzodiazepine : CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
ZOTEPINE
36
c. Benzisoxazole : RISPERIDON
ARIPIPRAZOLE
Indikasi Penggunaan19
37
Mekanisme Kerja
Hipotesis : Sindrom Psikosis terjadi berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter Dopamine yang meningkat. (Hiperaktivitas sistem
dopaminergik sentral).
Mekanisme kerja Obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade
Dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di Otak, khususnya di
sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor
antagonists), sehingga efektif untuk gejala POSITIF. Sedangkan Obat
anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2
Receptors”, juga terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-
dopamine antagonists), sehingga efektif juga untuk gejala NEGATIF. 19
Efek Samping
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa :
- Gejala ekstrapiramidal (GEP) dapat berbentuk antara lain:
1. Parkinsonisme (gejala penyakit parkinsonisme) yakni
hipokinesia (daya gerak berkurang, berjalan langkah
demi langkah) dan kekakuan anggota tubuh , kadang-
kadang tremor tangan dan keluar liur berlebihan.
2. Akathisia yaitu selalu ingin bergerak, tidak mampu
duduk diam tanpa mengerakkan kaki, tangan atau tubuh.
3. Dyskinesia tarda yaitu gerakan abnormal tak-sengaja,
khususnya otot-otot muka dan mulut yang dapat menjadi
permanen.
4. Sindroma neuroleptika maligne berupa demam,
kekakuan otot dan GEP (gejala ekstrapiramidal).
- Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif
menurun).
38
- Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik:
mulut kering, kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat,
mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama
jantung).
- Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik
(Jaundice), hematologik (agranulocytosis), biasanya pada
pemakaian jangka panjang.
- Efek samping dapat juga “irreversible” : tardive dyskinesia
(gerakan berulang involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang,
dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut
menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang
(terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping
ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis (non dose
related). 19
Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan,
bisa dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h, (dopamine depleting
agent), pemberian obat antiparkinson atau L-dopa dapat memperburuk
keadaan. Obat pengganti anti- psikosis yang paling baik adalah Clozapine
50-100 mg/h. 19
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urine lengkap, fungsi
hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian akibat
overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat
yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lavage lambung” bila
obat belum lama dimakan. 19
Interaksi Obat
• Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensial efek samping obat dan
tidak ada bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-
psikosis). Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine potensial efek
hipotensif.
39
• Antipsikosis + Antidepresan trisiklik efek samping antikolinergik
meningkat (hati- hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma,
ileus, penyakit jantung).
• Antipsikosis + ECT= dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis
pada pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy)
oleh karena angka mortalitas yang tinggi.
• Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun,
kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis
antikonvulsan harus lebih besar (dose-related). Yang paling minimal
menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol.
• Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun
disebabkan gangguan absorbsi. 19
Cara Penggunaan
Pemilihan Obat
• Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 19
40
• Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis
yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen.
41
• Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi
pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi,
bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan
obat antipsikosis –atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada
penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolelir efek samping
ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala
ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication). 19
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
- Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
- Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari
efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak
begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3
hari sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom
Psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan “dosis
optimal” dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap
2 minggu “dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun
(diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2
– 4 minggu) stop. 19
Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”
terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
Pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5
– 5 kali.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil sekali. Pada penghentian yang mendadak dapat
timbul gejala “Cholinergic Rebound” : gangguan lambung, mual, muntah,
diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan
pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im),
tablet Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h). Oleh karena itu pada penggunaan
bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila sudah tiba waktu
penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson. 19
Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis “Long acting” (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau
Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu, sangat berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang
tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan peroral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian
baru ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Pemberian obat anti-psikosis
“long acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance
43
therapy) terhadap kasus Skizofrenia 15-25 % kasus menunjukkan toleransi
yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal. 19
Perhatian Khusus
• Efek samping yang sering timbul dan tindakan mengatasinya :
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan
Hipotensi Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa
adrenergic blockade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi
Noradrenaline (Norepinephrine) sebagai “alpha adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat
“alfa dan beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta adrenergic
tetap ada dan dapat terjadi shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung
bangun setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar
5 – 10 menit.
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate
(LEVOPHED Abbot atau RAIVAS – Dexa Medica atau Vascon-
Fahrenheit) Ampul 4 mg/4 cc dalam infus 1000 ml dextrose 5% dengan
kecepatan infus 2-3 cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan
gejala ekstrapiramidal / Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya
dengan tablet Trihexyphenidyl (Artane) 3 – 4 x2 mg/hari, sulfas
atropine 0,50 – 0,75 mg (im). Apabila sindrom parkinson sudah
terkendali diusahakan penurunan dosis secara bertahap, untuk
menentukan apakah masih dibutuhkan penggunaan obat anti parkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih
lama dari 3 bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak
dianjurkan pemberian “antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat
mempengaruhi penyerapan/absorpsi obat anti-psikosis sehingga
kadarnya dalam plasma rendah dan dapat menghalangi manifestasi
44
gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat
anti-psikosis agar tercapai dosis efektif.
• “Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapat diulangi
setiap 2 jam, dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya
dalam 6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom
Psikosis (agitasi, hiperaktivitas psikomotor, impulsif menyerang,
gaduh, gelisah, perilaku destruktif dll).
• Kontraindikasi :
- Penyakit hati (hepato-toksik)
- Penyakit darah (hemato-toksik)
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang)
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung)
- Febris yang tinggal (thermoregulator di SSP)
- Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak, dll)
- Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran
makin memburuk)
• Pemakaian Khusus
- Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak
dengan hiperaktif, emosional labil dan perilaku destruktif. Juga
sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan
emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200
mg/hari.
- Haloperidol dosis kecil untuk “Gilles de la Tourette’s
Syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai
antara umur 2 sampai 15 tahun. Terdapat gerakan-gerakan
involunter berulang, cepat dan tanpa tujuan, yang melibatkan
banyak kelompok otot (tics). Disertai tics vokal yang multipel
(misalnya suara “klik”, dengusan, batuk, menggeram,
menyalak, atau kata- kata/kata kotor/koprolalia). Pasien mampu
menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai
beberapa jam.
45
- Sindrom Neuropletik Maligna (SNM) merupakan kondisi
mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat
psikosis (khususnya pada “long acting” dimana risiko ini lebih
besar). Semua pasien yang diberikan obat anti-psikosis
mempunyai risiko untuk terjadi SNM tetapi dengan kondisi
dehidrasi, kelelahan atau malnutrisi, risiko ini akan menjedi
lebih tinggi.
• Pada pasien usia lanjut atau dengan Sindrom Psikosis Organik, obat
anti- psikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping
otonomik (hipotensi ortostatik) dan sedasi-nya yaitu golongan “high
potency neuroleptics”, misalnya Haloperidol, Trifluoperazine,
Flupherazine atau anti-psikosis atipikal. Penggunaan pada wanita
hamil, berisiko tinggi anak yang dilahirkan menderita gangguan saraf
ekstrapiramidal. 19
46
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan
hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus di arahkan untukk
mengikat pasien dengan fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya,
keluarga angkat, board and care homes, dan half way house. Pusat
perawatan di siang hari ( day care center ) dan kunjungan rumah kadang-
kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode
waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari
pasien.8
Prinsip-Prinsip Terapetik
1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan
diobati
2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada
pasien harus digunakan lagi.
3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam
minggu pada dosis yang adekuat.
4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu
adalah jarang diindikasikan.
5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin
yang diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode
psikotik.8
Pemeriksaan Awal
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang
cukup singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali
clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri
pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap
dengan indeks sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada
47
wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari
30 tahun.
Kontraindikasi Utama Antipsikotik :
1. Riwayat respon alergi yang serius
2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan
berinteraksi dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi
sistem saraf pusat.
3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organic atau
audiopatik.
4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antipsikotik
dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.8
2. Non farmakologi
a. Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat
diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak
menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk
tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan
banyak bergaul.
1) Terapi Perilaku
Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
keterampilan social untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan
komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah
yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan. Dengan
demikian frekuensi perilaku mal adaptif atau menyimpang
dapat diturunkan.
48
Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )
Sering dinamakan terapi keterampilan sosial ( social skills
therapy ). Terapi ini dapat secara langsung membantu dan
berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi terapi
farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan penggunaan
kaset videon orang lain dan pasien permainan simulasi ( role
playing ) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang
keterampilan yang telah dilakukan.
b. Terapi psikoreligius
Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata
mempunyai manfaat misalnya, gejala-gejala klinis gangguan
jiwa skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi keagamaan yang
dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dankajian kitab suci.
49
I. DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis
atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan
oleh suatu zat, diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat
kondisi medis umum, atau gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi
psikiatrik dari banyak kondisi medis nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam
perjalanan penyakit, seringkali sebelum perkembangan gejala lain. Dengan
demikian klinisi harus mempertimbangkan berbagai macam kondisi medis
nonpsikiatrik dii dalam diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa adanya gejala
fisik yang jelas. Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus
mengikuti tiga pedoman umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik.
Pertama, klinisi harus cukup agresif dalam mengejar kondisi medis
nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya gejala yang tidak lazim atau
jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi harus
berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap, termasuk
riwayat gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus
mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan
pada pasien dengan diagnosis skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien
skizofrenia mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita tumor otak
yang menyebabkan gejala psikotik dibandingkan dengan seorang pasien
skizofrenik.8
50
yang jelas untuk dianggap gila. Pasien yang kurang mengendalikan pemalsuan
gejala psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan
(factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan skizofrenia seringkali
secara palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik untuk mendapatkan
bantuan lebih banyak atau untuk dapat dirawat di rumah sakit. 8
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan
gangguan skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia
karena memiliki lama (durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi
kurang daripada enam bulan. Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah
diagnosis yang tepat jika gejala berlangsung sekurangnya satu hari tetapi
kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak kembali ke tingkat fungsi
pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang tepat jika
sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama
skizofrenia. 8
Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala
skizofrenia lainnya atau suatu gangguan mood. 8
4. Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan
depresi. Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relative singkat
terhadap lama gejala primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan
status mental, klinisi harus menunda diagnosis akhir atau harus menganggap
adanya gangguan mood, bukannya membuat diagnosis skizofrenia secara
prematur. 8
51
5. Gangguan Kepribadian
J. PROGNOSIS
Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-60%
dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia
mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30% dari
pasien terus mengalami gejala yang sedang dan 40-60% dari pasien terus
terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya. 8
52
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda
n&
baik Sadock
Buku
Tidak ada remisi dalam 3 tahun Ajar
Gejala positif
Banyak relaps
Riwayat penyerangan
Psikiatri Klinis)8
53
DAFTAR PUSTAKA
54
13. Maramis, W. F. 2004. Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan 8. Surabaya: Airlangga
University Press.
14. Wells B. G., DiPiro J. T., Schwinghammer T. L., dan DiPiro C. V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. United States: McGraw-Hill Education.
15. Michael J Marcsisin, Jason B Rosenstock, Jessica M Gannon.2017. Schizophrenia
and related disorders. Oxford UniversityPress,
16. Stahl, S M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and
Practical Applications. 4th ed. New York: Cambrigde University Press.
17. Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma
Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.
18. Katzung B. G., Masters S. B., dan Trevor A. J. 2012. Basic & Clinical Pharmacology
Twelfth Edition. United States: The McGraw-Hill Companies, Inc.
19. Maslim, R., 2007, Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi 3.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
20. Sinaga, B R. 2007. Skizofrenia dan diagnosis banding. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
55