Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Membicarakan ketuhanan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu agama. Ini
karena inti semua agama harus berpangkalkan dari keyakinan adanya hakikat Tuhan atau yang
diyakini sebagai Tuhan, yaitu “Realitas”, “suatu zat”, atau “sesuatu” yang supranatural, yang
paling tinggi, yang paling agung, yang suci, yang menciptakan dan yang menghidupkan manusia,
tempat bergantug, yang dikagumi sekaligus di takuti dan sebagainya. 1 Di antara agama yang
membicarakan tentang konsep ketuhanan atau teologi, sebagai suatu yang penting untuk
dipahami dan menjadi pegangan hidup umatnya, seperti yang terdapat dalam agama Buddha.
Dalam sejarah, Agama Buddha lahir dimulai dari pengalaman seorang putra raja Sudhodana
(kerajaan sakya) yang bernama Sidharta Gautama. Ia merasa tidak puas menyaksikan kenyataan-
kenyataan hidup yang dialami oleh manusia, pertama ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah
dan menyaksikan betapa usia tua itu menhancurkan ingatan, keindahan, dan keperkasaan. Ia
tidak pernah bertemu orang tua sebelumnya. Kedua ia melihat orang cacat yang tersiksa, ia
merasa terkejut melihat penderitaan demikian dan bergetar. Ia tidak pernah mengalami hal yang
seperi ia lihat. Ketiga ia melihat orang yang sedang manangis dalam duka dan prosesi
pemakaman dan perasaannya terganggu oleh suasana penderitaan karena kematian. Keempat ia
melihat seorang suci sedang mengembara, dengan rasa puas dan gembira, berjalan berkeliling
dengan mangkok derma di tangannya.2 Hal itu mendorong Sidharta Gautama untuk hidup
meninggalkan kemewahan istana, mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

Mengapa Hindu Indonesia Aneka Ragam?

Kategori : Artikel Baru

Beberapa tahun paska Indonesia merdeka Bapak Jawaharlal Nehru Presiden India waktu
itu yang sempat bertandang ke Indonesia, ketika kemudian melihat adanya Hindu versi Bali,
beliau berkomentar: "I sew Hindu everywhere but lam not recognize it" (saya melihat Hindu ada
dimana-mana tapi saya tidak mengenalinya). Maksud kata tidak mengenalinya ini adalah karena
"praktek beracara" (meminjam bahasa hukum) dimana agama Hindu itu dalam mempraktekkan
atau melaksanakan konsep-konsep ajarannya selalu membaur alias "menjelma" atau
bermetamorphosis (muncul dalam bentuknya yang lain) kedalam tradisi, budaya suatu etnis
dimana dia berkembang.

Namun kita, (tentu saja kalau cerdas dan seksama menelitinya) pasti akan bisa
mengenalinya dari beberapa sisi kesamaan yang bersifat substantif dan hakiki dari konsep ajaran
Hindu itu sendiri seperti antara lain beberapa garis besarnya saja yakni : adanya unsur air suci-
nya atau Tirtha. Kemudian ada unsur api (dupa atau pedupaan. Bhs. Bali: pasepan) symbol Dewa
Agni sebagai Dewa Saksi. Kemudian ada konsep Pitra Puja atau penghormatan kepada leluhur
yang ternyata masih terbawa-bawa sampai sekarang oleh masyarakat Indonesia yang walaupun
sudah tidak menganut agama Hindu lagi seperti budaya "Nyekar" ke kuburan walaupun acara ini
kemudian sengaja dicari-carikan tafsir lain seperti katanya hanya bermaksud mendoakan sang
almarhum yang tentu saja maksudnya agar tidak terkesan mengadopsi keyakinan Hindu.

Padahal jika maksudnya hanya mendoakan, mengapa tidak ditempat ibadah saja?
mengapa harus dikuburkan? Kemudian berkiblat kearah gunung yang dalam mitologi Hindu
dianggap sebagai stana para Dewa, dalam hal ini Dewa Ciwa di Gunung Kailasa, sehingga kalau
kita lihat tradisi etnis yang ada dibeberapa wilayah negara kita dimana dalam sesajennya atau
upacaranya pasti selalu ada tumpeng sebagai simbol gunung bahkan ada sesajen bernama
gunungan dengan bahan buah-buahan atau hasil bumi sebagai symbol rasa terimakasih
masyarakat petani kepada Sang Pencipta atas keberhasilan pertanian mereka.

Begitu, juga ada "etnis yang menaruh jasad orang yang meninggal diatas gunung atau
pada tebing-tebing tinggi dengan harapan lebih cepat menyatu atau paling tidak akan lebih dekat
dengan Sang Penciptanya, walaupun mungkin masyarakat awamnya tidak sampai-berfikir ke
arah itu atau mungkin ada yang memberi tafsir lain. Kemudian kiblat yang lain yakni matahari
terbit sebagai sumber dari segala sumber energy (makanya sulinggih Hindu selalu melakukan
Surya Sewana atau hormat/ melakukan pelayanan kepada Dewa Matahari setiap pagi dengan doa
Om Raditya). Atau kiblat laut dimana berstana Dewa Waruna yang diyakini sebagai pelebur
segala mala. Makanya beberapa etnis dinegara kita walaupun sudah tidak mengaku lagi sebagai
Hindu tetapi tetap percaya dan melaksanakan ritual "bersih diri" (istilah Bali : melukat) dilaut
atau di sungai yang notabene bermuara ke laut, sebagaimana tradisi India mandi di sungai
Gangga.

Selanjutnya ada lagi ciri Hindu lain yang masih sangat kental diwarisi dan masih taat
dilaksanakan oleh berbagai etnis di tanah air adalah yang tidak bisa lepas dan upacara
"selametan" yang menggunakan sarana sesajen. Terutama sekali upacara sedekah laut atau
apapun istilahnya sebagai tanda terimakasih kepada Dewa Waruna atau Dewi Gangga yang
kemudian bermetamorphosis kedalam tradisi lokal sebagai "Penguasa Laut Selatan" oleh para
nelayan di Jawa atau ada upacara selametan kepada Dewi Sri (sakti Dewa Wisnu) oleh para
petani padi ini suatu pertanda pengakuan secara tidak langsung terhadap konsep Ketuhanan
Patheisme Hindu, yang sebenarnya juga sangat dilarang oleh kelompok agama-agama
Abrahamik tapi kenyataannya tidak mampu mereka bendung.

Jika anda atau siapa saja umat Hindu melihat gejala atau kriteria ini dilakukan oleh
masyarakat atau etnis-ei.iis dimana saja di Nusantara ini maka yakinlah bahwa mereka itu adalah
saudara anda, saudara kita mantan-mantan penganut Hindu sejak era Kutai hingga Majapahit
yang tercerai berakibat situasi politik dengan runtuhnya Majapahit sebagai pelindung dan
kordinator Hindu se-Nusantara disusul masuknya agama baru yang nota bene agama mission
yang bukan saja sangat pro-aktif tetapi juga repressive.

Keadaan ini bukan saja membuat "ketakutannya" umat untuk menampakkan identitas
dirinya sebagai penganut Hindu tetapi juga membuat terputusnya komunikasi diantara
kelompok-kelompok Hindu yang satu dengan yang lain lebih-lebih dengan kondisi geografis
negara kita yang terdiri dari pulaupulau yang terpisah. Belum lagi dengan kedatangan penjajah
Barat yang juga didomplengi oleh agama mission baru yang lain. Sementara lembaga Parisada
sebagai koordinator atau mediator pemersatu persepsi sesama umat Hindu sebagaimana
fungsinya sekarang, relative baru saja ada sekitar tahun 50-an itupun masih berbau lokal satu
etnis.

Ini berarti beratus-ratus tahun lamanya umat Hindu dari era Kutai, Tarumanegara,
Pajajaran hingga era Majapahit tidak terbina. Mereka menafsirkan ajaran Hindu sesuai
kemampuan tokoh-tokoh lokal di masing-masing daerah secara apa adanya. Faktor inilah yang
mempengaruhi mengapa umat Hindu di Nusantara ini nampaknya seperti berbeda-beda alias ber-
metamorphosis kedalam budaya etnis-etnis setempat (loka drsta). Lihat saja bentuk candi di
India yang tidak persis sama dengan Pura di Bali lebih-lebih dengan budaya Sanggah yang
mungkin tidak ada di Jawa apalagi di India.

Kemudian perbedaan sebutan nama-nama Tuhan (Hyang Widhi di Bali dan Jawa, Nenek
Kaji di Lombok, atau ada lagi Nining Batara atau Debata, atau Ranying Hatala Langit dsbnya).
Begitu juga dengan perbedaan nama, jenis dan istilah upacaranya namun kalau dicari maknanya
pasti akan bertemu dengan intisari yang diklasifikasikan dalam Panca Yadnya. Kemudian
pakaian sembahyangnya termasuk kitab-kitab suci agama versi /tafsir lokalnya (kalau di Bali
dengan berbagai jenis Lontar-nya atau di Jawa dengan istilah : Serat) ini lahir di masing-masing
etnis dimana Hindu itu berkembang dengan istilah atau judul yang mungkin berbeda-beda pula,
termasuk sebenarnya kita tidak perlu heran apalagi mempersoalkan jika umat Hindu Kaharingan
punya juga kitab suci sendiri yang bernama Kitab Panaturan. Begitu juga nama "agamanya" atau
nama keyakinan lokalnya seperti: Kejawen, Sunda Wiwitan, Alok Todolo atau ada juga yang
memberikan sebutan sesuai dengan nama etnisnya.

Penulispun waktu kecil tidak tahu nama agama yang penulis anut. Para orang tua waktu
itu menyebutnya: Game Bali atau Game Tirte. Alasannya sederhana saja yakni karena kita etnis
Bali dan selalu dalam sembahyang menggunakan air suci atau Tirta, namun kalau kita renungkan
TATTWA-TATTWA atau filosofinya akan ketemu pada makna yang sama. Kalau didalam
agama non-Hindu barangkali fenomena ini tidak mungkin atau malah dianggap aliran sesat yang
membahayakan agama alias harus dibasmi atau bisa juga sebaliknya jika populasinya relative
cukup banyak maka "terpaksa" diterima dengan dicari-carikan tafsir lain misalnya dengan di
"dihakimi" secara sepihak sebagai budaya alias bukan agama.

Tapi di Hindu fenomena seperti ini bukan saja mungkin tapi dianggap hal biasa.
Mengapa? Karena faktanya dari segi sistem per-kitab sucian kita saja sudah bisa kita lihat adanya
peng"halal"an tafsir tsb dengan adanya 2 (dua) pengelompokan besar kitab suci kita yakni kitab-
kitab Sruti (Wahyu) dan Smerti (Tafsir). Bahkan pola pikir Hindu yang sangat terkesan lebih
"merdeka dan demokratis" adalah dimana sang penafsir kitab suci tidak mutlak "HARUS"
menjadi otoritas satu Maharsi saja apalagi harus Maharsi dari India saja, karena faktanya
penafsir-penafsir kitab suci Hindu banyak juga orang-orang suci atau para leluhur yang dianggap
suci oleh umatnya dimasing-masing daerah yang notabene adalah orang Indonesia asli dengan
kwalitas "SDM" yang tidak kalah memadai juga.
Sebenarnya fungsi hakiki kitab-kitab tafsir ini secara logika "common sense" adalah
untuk mengatur masalah kemasyarakatan yang notabene bersifat dinamis  atau berkembang
terus. Sehingga tidak ada keharusan dalam Hindu di mana aturan atau hukum yang diterapkan
dizaman "kuda makan besi" harus tetap diterapkan di zaman tekhnologi canggih seperti
sekarang. Kalaupun barangkali masih ada tradisi yang dianggap "menyimpang" dari konsep
Weda sebagai kitab suci induknya, hal ini biasanya tidak bersifat wajib dengan kata lain masih
bisa direvisi bahkan dihapus asal yang penting ada kesepakatan bersama atau Atmanastuti,
contoh: tradisi MESATYA yakni istri (biasanya istri raja) yang gugur dalam perang). Walaupun
ironisnya adalah dimana dalam kasus-kasus "penyimpangan" terhadap Weda ini adalah justru
yang berani melakukan/ mengoreksi adalah pemerintah jajahan dan bukan lembaga umat Hindu.

Faktor inilah yang menyebabkan Hindu itu bisa bersifat fleksibel, bisa menyesuaikan diri
dengan zaman apa saja, bisa berkembang dimana saja, bisa menyesuaikan diri dengan budaya
dan pola pikir masyarakat yang mana saja dengan tidak "merusak" tatanan budaya setempat
apalagi menganggap sebagai "musuh" atau "saingan" sehingga faktanya tidak pernah kita dengar
penyebaran Hindu lewat jalan perang. Kalaupun dalam sejarah kerajaan-krajaan Hindu ada
perang, itu lebih disebabkan karena motif politik atau perebutan kekuasaan dan bukan dalam
hubungan penyebaran agama.

Mungkin karena itulah mengapa dalam sejarah proses penyebaran agama-agama lain.
Malah dalam kenyataan, "rohnya" Hindu bukan saja bisa diterima tapi bahkan bisa menyatu
dengan jiwa penganut Hindu itu sendiri dimana dia berkembang dan menganggap agama yang
dianutnya itu sebagai "agama asli" miliknya sendiri, padahal sebagaimana kenyataan yang kita
ketahui bersama bahwa semua agama yang diakui di Indonesia ini adalah "barang" import.

Sehingga kita tidak usah kaget seandainya mendengar ada saudara kita dari masyarakat
Jawa misalnya (terutama yang bukan Hindu tentunya) ngotot mengatakan bahwa kitab
Ramayana atau Mahabharata itu bukan dari India, bukan milik Hindu tapi kitab asli orang Jawa
katanya. Jadi paradigma berfikir agama yang konsisten mengakui eksistensi perbedaan alias bisa
menyatu dengan lokal genius budaya setempat (Loka Drsta atau Acara) merupakan karakter khas
dari Hindu itu sendiri sekaligus yang membedakannya dari agama-agama lain, dimana yang
tersebut terakhir notabene lebih mengutamakan keseragaman, padahal perbedaan adalah hukum
alam alias Hukum Tuhan (Rta) yang tidak mungkin bisa "dilawan" oleh manusia, bahkan para
ilmuwan pun mengakui ini dengan teori relativenya (identik dengan filsafat Maya dalam Hindu).

Sehubungan dengan itu kita sebenarnya harus heran kalau di zaman dimana umat Hindu
sudah banyak yang "membuka" ajaran agamanya, lalu kita ada mendengar (mudah-mudahan
sudah tidak ada lagi) tokoh Hindu dari Bali yang mau "memaksakan kehendak" mem-Bali-kan
umat Hindu yang berasal dari etnis lain. Hal ini bukan saja berpotensi melahirkan friksi diantara
umat Hindu itu sendiri, tetapi juga kita umat Hindu tidak melihat "fitrah" atau watak asli
agamanya yang mengakui eksistensi perbedaan.

Mengapa orang Bali tidak berkaca pada wajahnya sendiri? Dimana orang Hindu Bali
sendiri dalam praktek agamanya "tidak mau sama" dengan model atau budaya Hindu di Jawa
atau di India tetapi sebaliknya mau memaksakan model budayanya kepada orang lain? Beda
persoalannya jika orang lain karena kesadarannya sendiri memang mau menerima. Karena main
paksa atau main penyeragaman itu bukanlah watak asli pola pikir Hindu. Pembaca boleh percaya
dan boleh tidak, bahwa kalau saja dulunya Indonesia ini tidak pernah punya "fondasi" beragama
Hindu, yakinlah bahwa Indonesia ini tidak akan pernah mengenal atau mewarisi semboyan
Bhineka Tunggal Ika.

Orang Bali tidak akan mengenal istilah Mulat Sarire, begitu juga orang Jawa tidak akan
mengenal istilah Tepo Seliro, karena biasanya agama mayoritas cenderung egois dan cenderung
memarginalkan kelompok minoritas. Mau bukti? Waktu runtuh Majapahit dulu, mengapa umat
Hindu yang masih loyal beragama Hindu harus lari terbirit-birit ke Gunung Bromo atau ke Bali
menyelamatkan diri atau mengapa orang Badui harus "bersembunyi" atau mengisolir diri saat
Kerajaan Pajajaran runtuh? padahal katanya agama baru yang datang kemudian itu adalah agama
perdamaian (tentu menurut kata penganutnya). Oleh karena itu, menyadari fenomena semua ini,
umat Hindu dimanapun berada dari ras atau emis apapun berasal : Bersatulah!!! Tidak usah
membesar-besarkan identitas masing-masing. Tafsir kita boleh sempit, tafsir kita boleh parsial,
tapi yang jelas konsep Hindu tidak sesempit kemampuan tafsir atau sebatas apa yang kita duga.

Agama Hindu di Indonesia


Agama Hindu adalah agama terbesar ketiga di Indonesia. Pada saat ini, sekitar 1,7% dari
penduduk Indonesia menganut agama Hindu, atau mencakup sekitar empat juta orang dari total
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang. Saat ini mayoritas penduduk
beragama Hindu di Indonesia tinggal di pulau Bali yang terkenal karena kebudayaan Hindunya
(dan pemandangan alamnya). Kontras dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia - dan karena
alasan-alasan yang tidak diketahui - kekuatan Islam tidak cukup kuat untuk menghancurkan
penghalang-penghalang yang tinggi dari budaya Bali, sehingga pulau ini tetap memiliki
mayoritas penduduk beragama Hindu sampai saat ini.

Lokasi-lokasi di Indonesia tempat tinggal komunitas-komunitas Hindu yang relatif besar:

1. Bali
2. Sulawesi (Tengah, Selatan dan Tenggara)
3. Kalimantan Tengah
4. Sumatra Selatan (Lampung)

Kedatangan Agama Hindu di Nusantara

Sebelum kedatangan agama Hindu dan Buddha, para penduduk asli nusantara
mempraktekkan berbagai jenis animisme. Namun waktu agama Hindu datang di wilayah barat
nusantara melalui sebuah jalur perdagangan yang dimulai dari Cina sampai ke India pada abad
pertama setelah Masehi, para pemimpin lokal menganggap agama baru ini sebagai sebuah aset
untuk kekuasaan mereka sehingga mereka mulai merepresentasikan diri mereka sebagai dewa-
dewi Hindu, dan dengan cara itu meningkatkan status mereka. Kepercayaan-kepercayaan
animisme yang ada sebelumnya diduga jadi bercampur dengan agama Hindu, dan menghasilkan
agama Hindu jenis perpaduan baru yang mengandung ciri-ciri unik, dan karena itu membuatnya
berbeda dengan agama Hindu di India. Misalnya, sistem kasta tak pernah diterapkan secara ketat
dalam sejarah nusantara.

Sejumlah kerajaan-kerajaan Hindu yang besar didirikan di Kalimantan, Sumatra dan


Jawa antara abad ke-5 sampai abad ke-13; beberapa di antaranya juga menyerap pengaruh agama
Buddha. Kerajaan besar terakhir di wilayah nusantara, Majapahit (berkuasa sekitar 1293-1500),
menunjukkan percampuran yang menarik antara Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme.
Namun setelah Islam menjadi kekuatan sosio-politik sejak abad ke-13, agama Hindu secara
bertahap memudar menghadapi agama baru yang cepat berkembang ini. Pengecualian hanya
terjadi di Bali, di pulau inilah penguasa dari Majapahit (berasal dari Jawa Timur) mengungsi dari
kekuatan-kekuatan Islam yang mengalahkannya di Jawa.

Keberagaman Agama Hindu 

Seperti yang telah diindikasikan oleh peta di atas, komunitas-komunitas Hindu yang
relatif besar bertempat tinggal di Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra (ada kantung-kantung
desa-desa Hindu yang bisa ditemukan di Jawa Timur). Agama Hindu menjadi bercampur dengan
kepercayaan-kepercayaan animisme yang sudah ada di nusantara dan karena itu kita masih tetap
bisa menemukan keanekaragaman kepercayaan Hindu sekarang. Bahkan, di pulau kecil seperti
Bali pun, ada tingkat perbedaan yang menarik antar wilayah di Bali. Di beberapa kasus, terutama
di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Hindu bercampur dengan tradisi-tradisi Islam.

Kendati begitu, tidak semua penduduk Indonesia yang secara statistik beragama Hindu
adalah betul-betul penganut agama Hindu. Menurut hukum Indonesia hanya 6 agama besar yang
dikenali sebagai agama-agama resmi di negara ini, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Konghucu. Terlebih lagi, semua penduduk Indonesia diwajibkan untuk memilih salah satu
dari enam agama ini sebagai agama mereka (ada data identitas agama yang wajib diisi dan
didokumentasikan di Kartu Tanda Penduduk). Untuk kelompok-kelompok yang masih tetap
mempraktekkan animisme, hal ini menjadi sebuah masalah yang serius karena animisme
bukanlah sebuah pilihan agama yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Komunitas-
komunitas ini cenderung memilih agama Hindu sebagai bagian dari identitas di Kartu Tanda
Penduduk mereka karena agama Hindu lebih fleksibel dalam memasukkan unsur-unsur
animisme dibandingkan agama-agama lain. Beberapa contoh adalah suku Tana Toraja di
Sulawesi, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Batak Karo di Sumatra.

Kebudaan dan seni Jawa sangat dipengaruhi oleh periode sejarah Hindu-Buddha. Pada
saat ini, pengaruh tersebut masih tampak dan dilestarikan melalui pertunjukkan-pertunjukkan
wayang yang terkenal, pelestarian dari sejumlah candi-candi yang indah (Borobudur dan
Prambanan adalah yang paling terkenal), banyak kata-kata yang berasal dari bahasa Sansekerta
yang digunakan dalam bahasa-bahasa lokal (dan juga bahasa Indonesia), dan tradisi-tradisi
rakyat yang menjunjung tinggi kepercayaan-kepercayaan Hindu dan kepercayaan-kepercayaan
sebelumnya di dalam sebagian komunitas Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tradisi-tradisi Jawa ini dikenal dengan nama kejawen.

Agama Hindu di Bali

Bali, salah satu tujuan utama pariwisata di Indonesia, tidak hanya terkenal karena pantai-
pantainya, pemandangan alam, dan hamparan sawah padi yang indah namun juga karena tradisi
kebudayaannya yang unik: tradisi agama Hindu Bali yng terdiri terutama dari seni dan ritual.
Agama ini agak berbeda dengan agama Hindu yang dipraktekkan di India karena - sebelum
agama Hindu tiba di Bali - agama ini mengalami perubahan-perubahan radikal di Jawa. Salah
satu ciri yang penting adalah penyatuan kepercayaan Hindu (atau tepatnya kepercayaan kepada
Dewa Siwa/Shivaisme) dengan agama Buddha. Ciri khas ini masih tampak sampai saat ini,
contohnya, beberapa tulisan agama Buddha masih memiliki peran penting dalam agama Hindu
Bali dan pulau ini memiliki sistem imamat yang mencakup orang-orang beragama Hindu dan
beragama Buddha.

Basis teologis dari Hindu Bali berasal dari filosofi India sementara kepercayaan-
kepercayaan animisme menjadi dasar dari berbagai ritual. sebuah kepercayaan penting dari
Hindu Bali adalah bahwa peristiwa-peristiwa alam dipengaruhi oleh para roh. Oleh karena itu,
sesajen, yang dibuat dari hasil-hasil pertanian, dipersembahkan kepada roh-roh. Gunung Agung
(gunung tertinggi di Bali) dipercaya sebagai rumah para dewata dan para leluhur orang Bali.
Oleh karena itu, gunung ini disebut sebagai 'gunung ibu' dan sangat suci bagi orang Bali. Simbol
utama agama Hindu Bali adalah Swastika atau 'roda matahari', bentuknya seperti palang yang
miring dengan lengan-lengan di sisi kanan tiap cabang. Simbol Swastika juga digunakan secara
luas dalam agama-agama di India dan dipercaya bisa membangkitkan 'shakti' atau kekuatan suci
pemberdayaan.

Kenapa Hindu di Bali dan Hindu di India Berbeda?

Penyebab utama perbedaan ajaran Hindu di Bali dan di India yaitu karena Hindu
memiliki sifat lebih moderat dan mampu menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat. Ajaran
Hindu dengan mudah mengalami akulturasi tanpa menghancurkan nilai-nilai kearifan lokal yang
berlaku. Dalam ajaran Hindu, perbedaan cara pandang tidak dipermasalahkan karena sebenarnya
memiliki tujuan dan prinsip yang sama.

Perbedaan pandangan harus diterima karena keberagaman dan kebebasan adalah bentuk
dari kekayaan. Hindu di India mengambil filsafat dari Weda dengan tradisi asli masyarakat India.
Sedangkan Hindu di Bali adalah suatu bentuk perpaduan antara filsafat Weda dan Buddha
dengan upacara serta kultur khas masyarakat Bali. Meskipun berbeda, namun yang menyatukan
keduanya adalah konsep-konsep sakral dalam kitab Weda.
Perayaan Nyepi umat Hindu dari Suku Sind di India Utara (quora.com).

Hal yang Membedakan Hindu di Bali dan di India


Secara kasat mata, banyak sekali yang membedakan antara Hindu di Bali dan Hindu di
India. Masyarakat Hindu di Bali melakukan sembahyang tiga kali sehari yang disebut Tri
Sandhya, sementara di India hanya dua kali saat pagi dan sore. Hindu di India biasanya juga
seorang vegetarian, tapi Hindu Bali tidak. Peribadatan Hindu Bali menggunakan Padsamana dan
dilakukan terbuka, di India memakai Lingga-Yoni dan tertutup.

Orang Hindu di Bali lebih memiliki sopan santun. Ketika ritual peribadatan dimulai,
semua jamaah akan secara otomatis bersikap tenang, tidak banyak berbicara, dan mengikuti
jalannya ritual dengan khusyuk. Masyarakat Hindu di India tidak, mereka dengan tenang bisa
melangkahi sesaji, bahkan berteriak ketika pendeta sedang membacakan doa-doa di kuil.
Sehingga rasanya prosesi ibadah terasa kurang hikmat.

Hari Raya Nyepi menjadi ritual paling besar dalam keagamaan Hindu Bali. Mereka akan
berdiam diri di rumah, meninggalkan segala aktivitas dunia saat Tahun Baru Saka. Bahkan
aktivitas vital di bandara pun akan berhenti selama satu hari. Rasanya umat Hindu Bali akan
merasa sangat terkejut jika melihat perayaan Tahun Baru Saka di India. Ribuan pecalang akan
beramai-ramai berjalan di jalanan sambil membawa gentong di kepala.

Anda mungkin juga menyukai