Anda di halaman 1dari 81

CASE REPORT STUDY

BANGSAL ANAK
“ Asma + Tuberkulosis+ ISPA+ Cerebral Palsy”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA

Periode 31 Agustus – 23 Oktober 2021

Oleh:
KELOMPOK
II

CAROLINA DYAH ASTUTI, S.Farm 2030122014

HEFIZA HANITA, S.Farm 2030122027

NOVINTRIE MIA DARA, S.Farm 2030122045

QORI ANNISA AKBAR, S.Farm 2030122050

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

PERINTIS INDONESIA

PADANG

1
2021

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang


mengakbitkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan deajat
bervariasi. Manifestasi klinis asam dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas,
dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung
memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus 1.
Serangan asma ditandai dengan penurunan PEF atau FEV. Serangan akut.
Biasanya timbul akibat paparan terhadap faktor pencetus (paling sering infeksi
virus atau alergen), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap
mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang 2.
Meskipun tidak menular atau non communicable diseas (NCD), asma
masih menjadi masalah kesehatan global. Pada anak, penyakit respiratorik kronik
ini merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai dan sejak dua
dekade terakhir angka kejadiannya dilaporkan meningkat baik pada anak-anak
maupun dewasa. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, angka kejadian asma pada anak usia 0-14 tahun adalah 9,2%. Di
seluruh dunia, diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma 1.
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit respiratori yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) yang timbul tidak hanya di negara
berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di Negara Berkembang
maupun di negara maju.berkembang maupun di negara maju 3. Laporan mengenai
TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak pertahun adalah 5
- 6% dari total kasus TB. Pada tahun 1989 WHO memperkirakan bahwa setiap
tahun terdapat 1,3 juta kasus baru TB anak dan 450.000 anak usia < 15 tahun
meninggal dunia karena TB 3.
Selain asma dan TB penyakit ISPA juga merupakan penyakit yang terjadi
pada saluran respiratori. ISPA (infeksi pada saluran pernapasan) sering disebut
juga dengan infeksi respiratori akut (IRA) yang mana terdiri dari infeksi
respiratori akut atas dan infeksi respiratori akut bawah, disebut akut apabila
infeksi berlangsung selama 14 hari, ISPA sendiri disebabkan karena adanya
infeksi baik dari virus maupun bakteri 4. ISPA sering terjadi pada anak, insiden
menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di
negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini
menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151
juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Dari semua kasus yang terjadi
di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit.
Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun.
ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas
(40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%)5.
Cerebral Palsy (CP) merupakan terminologi yang digunakan untuk
mendeskripsikan kelompok penyakit pada pusat pengendalian dan pergerakan.
Gejala dapat berbeda pada setiap penderita dan dapat berubah pada seseorang
penderita, sebagian penderita CP sering menderita penyakit lain termasuk kejang
atau gangguan mental. Jumlah anak-anak dan dewasa yang terkena CP tampaknya
masih tidak banyak berubah atau mungkin lebih meningkat selama 30 tahun
terakhir. Angka kejadian CP berkisar 1,2-2,5 anak per 1000 anak usia sekolah
dini. Penelitian menurjukkan prevalensi CP kongerital derajat sedang sampai
berat mencapai 1,2 per1000 usia 3 tahun. Angka harapan hidup penderita CP
tergantung dari tipe CP dan berat kecacatan motorik. Penelitian di negara yang
sudah berkembang menunjukkan balwa prevalersi CP tidak menurun pada setiap
kelompok berat lahir 6.
Berdasarkan latar belakang dari gangguan berbagai penyakit diatas laporan
ini akan membahas tentang pemahaman perjalanan penyakit, pencegahan dan
penatalaksanaan penyakit Asma, Tuberkulosis Paru, ISPA dan Palsi Serebral di
Bangsal Anak Rumah Sakit Otak DR.Drs.M.Hatta Bukittinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi 1
Asma adalah penyakit respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakbitkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan deajat
bervariasi. Manifestasi klinis asam dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas,
dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung
memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
2.1.2 Klasifikasi Asma1

Tabel 1. Klasifikasi asma

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan kekerapan timbulnya asma


Keterangan :
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja
asma dan dilakukan tatalaksana umum (pengendalian lingkungan, penghindaran
pencetus)selama 6 minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak Kunjungan awal
tatalaksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi.

5
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan Jenjang
tatalaksana jangka panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, Masukkan ke
dalam klasifikasi lebih berat.
2.1.3 Etiologi7
Sel-sel inflamasi ( sel mest, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia
(histamin, leukotrien, platelet-activing factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik
(sitokin, eotaksin) memerentarai proses inflamasi yang terjadi pada saluran
respiratori penderita asma. Inflamasi menyebabkan terjadinya hiperresponsif
saluran respiratori, yaitu kecenderungan saluran respiratori mengalami kontraksi
sebagai respons terhadap alergen, iritasi, infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga
menyebabkan terjadinya edema, peningkatan produksi mukus di paru, masuknya
sel-sel inflamasi ke saluran respiratori, dan kerusakan sel epitel. Inflamasi
respiratori, akibat proliferasi protein matriks ektraselular dan hiperplasia vaskular
yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur yang irreversibel dan
penurunan fungsi paru yang progresif.
2.1.4 Patofisiologi1
a. Obstruksi saluran respiratori
Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan
maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan
dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas
saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator
inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala
asma yang ditemukan. (Gambar 1).

6
Gambar 1. Patofisiologi asma 1

Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai dengan adanya inflamasi
saluran respiratori kronik dan remodeling. Hiperresponsivitas saluran respiratori
diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan oleh
inflamasi.
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang
termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4
dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf
eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori diperkuat oleh
penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi
dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel
sekretori, serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu,
hambatan saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,
kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang
keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular.
Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada
bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan
oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga
menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma.
Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori.

7
Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya
reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi.
b. Hiperreaktivitas saluran respiratori
Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan
patofisiologi yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas
ini belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan berhubungan dengan perubahan
otot polos saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara
sekunder, yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi
dinding saluranrespiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratori selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan
memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan
secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR
atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis, hiperventilasi, udara
kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak memunyai efek langsung
terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat merangsang
pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada
saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin
didapatkan penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.

2.3.5 Diagnosis1
a) Anamnesis 1

Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis


yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat
menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan
karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
1. Gejala timbul secara episodik atau berulang.
2. Timbul bila ada faktor pencetus.

8
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,
rinofaringitis.
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
3. Adanya riwayatalergi pada pasien atau keluarganya.
4. Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
5. Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.
b) Pemeriksaan Fisis1
o Kesadaran o Tanda infeksi
o Suhu tubuh penyerta/komplikasi
o Sesak napas, apakah terdapat o Penilaian derajat serangan asma:
sesak napas ringan/sedang/berat/mengancam
o Tanda gagal napas jiwa
c) Pemeriksaan Penunjang1
o Pemeriksaan Fungsi Paru: Peak Flow Meter, spirometer
o Analisis gas darah: pada asma dapat terjadi asidosis respiratorik dan
metabolic.
o Darah lengkap dan serum elektrolit.
o Foto Toraks: pada asma umumnya tampak hiperaerasi, bisa dijumpai
komplikasiberupa atelektasis, pneumotoraks, dan pneumomediastinum.
2.1.6 Tatalaksana1
a. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
1) Serangan Asma Ringan1
o Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
(completeresponse), berarti derajat serangannya ringan.

9
o Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan,
pasien dapatdipulangkan. Pasien dibekali obat ß-agonis (hirupan atau
oral) yang harus diberikantiap 4-6 jam.
o Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan
steroid oral jangkapendek (3-5 hari). (Evidence D).
o Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu
24-48 jamuntuk evaluasi ulang tata laksana.
o Jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
tersebutditeruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat
jalan. Namun, jikasetelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien
diperlakukan sebagai seranganasma sedang.
2) Serangan Asma Sedang1
o Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya
menunjukkan responparsial (incomplete response), kemungkinan
derajat serangannya sedang. Untuk itu,derajat serangan harus dinilai
ulang sesuai pedoman.
o Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu
diobservasidan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada serangan
asma sedang, diberikankortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon
dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hariselama 3-5 hari. (Evidence A).
o Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat,
pasien yangakan diobservasi di RRS langsung dipasang jalur parenteral
sejak di unit gawat darurat(UGD).
3) Serangan Asma Berat1
o Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkanrespon (poorresponse), yaitu gejala dan tanda serangan
masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman),pasien harus dirawat di
ruang rawat inap.
o Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.
(Evidence B).
o Kemudian dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks.

10
o Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien
harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada pasien dengan
serangan berat dan ancaman hentinapas, foto toraks harus langsung
dibuat untuk mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau
pneumomediastinum.
o Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan koreksiterhadap asidosis.
o Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. (Evidence Dosis
steroid intravena 0,5-1 mg/kg BB/hari.
o Nebulisasi ß-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-
2 jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis,
jarak pemberian dapatdiperlebar menjadi tiap 4-6 jam. (Evidence B).
o Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai
berikut:
o Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan
aminofilin dosis awal(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam
dekstrosa 5% atau garam fisiologissebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-
30 menit.
o Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),
dosis yangdiberikan adalah setengah dosis inisial.
o Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan
sebesar 10-20mcg/ml;
o Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.(Evidence D).
o Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,
sampai dengan24 jam.
o Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.Jika dalam 24
jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obatß-
agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48
jam. Selain itu,steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 24-48 jamuntuk evaluasi ulang tata laksana.

11
o Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi
oksigen (kadarPaO2<60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg). Pada
ancaman henti napas diperlukanventilasi mekanik.
b. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari1
Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan. Setelah di UGD menjalani
nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan
pemberian nebulisasi B-agonis + antikolinergik bila perlu setiap 2 jam. Kemudian,
diberikan steroid sistemik oral (metilprednisolon, prednison, atau triamsinolon).
Pemberian kortikosteroid dilanjutkan sampai 3-5 hari. Jika dalam 8-12 jam
keadaan klinis tetap baik, pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien
serangan tingan yang dipulangkan dari klinik/IGD. Bila dalam 12 jam responsnya
tetap tidak baik, pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tatalaksana
serangan asma berat.
c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap1
o Pemberian oksigen diteruskan
o Jika ada dehidrasi dan asidosis, atasi dehidrasi dengan pemberian cairan
intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis.
o Steroid intravena diberikan secara bolus, ciap 6-8 jam dengan dosis C.5-1
mg/kg BB/hari.
o Nebulisasi B2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-
2 jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
o Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut. 
Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau
garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
 Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4
jam), dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial.
 Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan
sebesar 10-20 µg/ml.
 Empat jam kemudian diberikan aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam

12
 Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,
sampai dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan
pemberian per oral.
 Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan
dengan dibekali obat B-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap
4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu. steroid oral dilanjutkan hingga
pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk re-
evaluasitatalaksana.

Gambar 2. Alur tatalaksana serangan asma pada anak3


Asma Episodik Jarang3
Diobati dengan obat pereda bronkodilator ß2-agonis kerja pendek atau
golongan xantin kerja cepat hanya ketika timbul serangan/gejala.pada asma
episodik jarang masih belum diperlukan antiinflamasi.

13
Asma Episodik Sering3
Penggunaan B-agonist inhalasi lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung
penggunaan pra aktivitas fisik atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali
dalam sebulan merupakan indikasi penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali
Obat steroid hirupan yang sering digunakan pada anak adalah budesonide.
Dosisrendah steroid hirupan adalah 100-200 mcg/hari budesonide (50-
100mcg/hari flutikason) untuk anak 12 tahun, dan 200-400 mcg/hari budesonide
(100-200 mcg/hari flutikason) untuk anak usia di atas 12 tahun. Jika setelah
pengobatan selama 8-12 minggu dengan steroid dosis rendah tidak timbul respon
(masih ada gejala) naikkan dosis steroid hirupan sampai 400 mcg/hari yang
termasuk tatalaksana asma persisten.
Asma Episode Persisten1
Dosis steroid hirupan yang diberikan tergantung pada kasusnya, ada yang
diberikan dari dosis tinggi dahulu kemudian diturunkan hingga dosis rendah atau
sebaliknya Pada keadaan tertentu khususnya pada anak dengan penyakit berat,
dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka
pendek (3-5 hari). Selanjutnya, dosis diturunkan sampai dosis terkecil.
Dosissteroid hirupan yang masih di anggap aman adalah setara dengan budesonide
400 mcg/hari Jika dosis steroid hirupan rendah tidak memberikan respon, dosis
ditingkatkan ke medium yaitu 200-400 mcg/hari budesonide (100-200 mcg/hari
flutikason) untuk anak 12 tahun dan 400-600 mcg/hari budesonide (200-300
mcg/hari flutikason) untuk anak >12 tahun. Atau tetap meberikan dosis
rendahditambahkan long acting B-agonist (LABA), atau Theophylline slow
release (TSR), atau anti leukotriene reseptor (ALTR).

14
Gambar 3. Alur tata laksana asma berdasarkan derajat asma3
Terapi pada asma3:
1. Obat – obat untuk serangan Asma
a. Bronkodilator
Beta Adrenergik Kerja Pendek (Short Acting). Beta adrenergik agonis merupakan
terapi fundamental dan obat pilihan' pada serangan asma. Stimulasi terhadap reseptor-
reseptor beta adrenergik menyebabkan perubahan ATF menjadi cyclic-AMP
sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain juga dapat terjadi, seperti peningkatan klirens mukosilier,
penurunan permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan mediator dari sel
mast. Reseptor ß1terutama terdapat di jantung sedangkan reseptor ß2 berada di
epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh
darah, otot lurik, serta hepar dan pankreas. Golongan obat ini terdiri dari
epinefrin/adrenalin dan ß2 agonis selektif.
b. Epinefrin/Adrenalin
Contoh obat epinefrin/adrenalin. Pada umumnya, epinefrin tidak
ekomendasikan lagi untuk mengobati serangan asma, kecuali jika tidak ada obat
ß2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau
angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol.

15
Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin 1:1000 (1 mg/ml),
dengan dosis 0,01 m/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan sebanyak 3 kali,
dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja adrenalin subkutan adalah 5-15 menit,
efek puncaknya 30–120 menit, durasi efeknya 2-3 jam.
c. ß2-agonis
Selektif Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan
fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6
jam, dosis terbutalin oral 0,05–0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam, fenoterol
0,1 mg/kgBB/kali setiap 6 jam. Pemberian secara oral akan menimbulkan efek
bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2-4 jam. dan lama
kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara inhalasi (dengan inhaler/nebuliser)
memiliki mula (onset) kerja yang lebih cepat (1 menit), efek puncak dicapai dalam
10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian subkutan tidak memberi efek
bronkodilatasi yang lebih baik daripada nebulisasi, sehingga cara ini tidak
dianjurkan jika ada alat nebulisasi. Dosis salbutamol subkutan adalah 10–20
mcg/kgBB/kali sedangkan dosis terbutalin subkutan adalah 5–10 mcg/kg/kali.
Pemberian secara noninvasif. (inhalasi) lebih disukai daripada pemberian
subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien.
Untuk serangan ringan, dapat diberikan metered dose inhaler (MDI) 2–4
semprotan (puff) tiap 3-4 jam, serangan sedang diberikan 6–10 semprotan tiap 1–
2 jam, sedangkan serangan berat memerlukan 10 semprotan. Pemberian dengan
MDI lebih dari 6 semprotan harus dengan pengawasan dokter atau di rumah sakit.
d. Methyl Xanthine (Teofilin Kerja Cepat)
Obat ini sebaiknya diberikan hanya serangan asma berat yang dengan
pemberian kombinasi ß2- agonis dan antikolinergik serta steroid tidak/kurang
memberikan respons. Konsentrasi obat di darah harus dijaga sekitar 10-20 mcg/ml
agar tetap memiliki efek terapi. Dosis aminofilin intravena jika pasien belum
mendapat aminofilin sebelumnya adalah dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB
dilaruckan dalam 20 ml dektrosa 5% atau garam fisiologis, diberikan dalam 20–-
30 menit. Jika pasien sudah mendapat anminofilin kurang dari 12 jam
sebelumnya, dosis diberikan setengahnya. Selanjutnya, aminofilin diberikan
dengan dosis rumatan, yaitu 0,5–1 mg/kgBB/jam. Dosis maksimal aminofilin

16
adalah 16-20 mg/KGBB/hari apabila tidak dapat mengukur konsentrasi plasma
teofilin.
Karena farmakokinetik teofilin dipengaruhi oleh usia pasien, dosis awal
aminofilin berbeda-beda sesuai dengan usia:
• Usia 1-6 bulan: 0,5 mg/kg BB/jam
• Usia 6–11 bulan: 1,0 mg/kg BB/jam
•Usia 1-9 tahun: 1,2–1,5 mg/kg BB/jam
• Usia >10 tahun: 0,9 mg/kg BB/jam

17
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada
konsentrasi obat yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia, dan aritmia.
Secara teori, selain sebagai bronkodilator, keunggulan teofilin pada serangan asma
adalah dapat merangsang pusat respiratorikk dan meningkatkan kontraktilitas otot-
otot respiratorik.
2. Antikolinergik
o Ipratropium bromida
Pemberian kombinasi nebulisasi ß2-agonis dan antikolinergik
(ipratropium bromida) menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada
jika masing- masing obat diberikan secara sendiri-sendiri. Kombinasi ini
sebaiknya diberikan jika 1 kali nebulisasi ß2-agonis tidak/kurang memberikan
respons. Sebaiknya pemberian kombinasi ini dilakukan lebih dulu sebelum
pemberian methyl xanthine. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB,
nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis
sebagai berikut: untuk usia >6 tahun 8–20 tetes; usia kekeringan (minimal) atau
rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8 mg/kg pada orang dewasa); secara
umum, tidak efek samping yang berarti.
3. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan
asma dan pemberiannya merupakan bagian tatalaksana serangan asma, kecuali
pada serangan ringan. Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan
sebagai berikut:
o Terapi inisial inhalasi ß2-agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama
o Serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah mengunakan kortikosteroid
hirupan sebagai controller
o Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya
Pemberian glukokortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling
sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalam
waktu 12– 24 jam. Pemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma,
mencegah perlunya rawat ·inap di rumah sakit, mengurangi gejala, memperbaiki
fungsi paru, serta memperbaiki respons bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh ß2-

18
agonis. Preparat oral yang dipakai adalah prednison, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1–2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3–5
hari. Kortikosteroid intravena (IV) perlu diberikan pada kasus asma yang dirawat
di rumah sakit. Metil-prednisolon merupakan pilihan utama karena memiliki
kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek anti inflamasi yang
lebih besar, serta efek mineralokortikoid yang minimal.
5. Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada
serangan asma berat. Pemberian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak dengan
serangan asma berat yang dirawat di ICU, terutama yang tidak/kurang berespons
terhadap pemberian kortikosteroid sistemik dan nebulisasi berulang dengan ß2-
agonis dan aminofilin.
Dosis magnesium sulfat adalah 25–50 mg/kg BB IV, diberikan selama 1
jam. Kadar magnesium serum sebaiknya di periksa setiap 6 jam, infus magnesium
harus dititrasi untuk menjaga agar kadar di dalam darah tetap sebesar 3,5–4,5
meq/dl. Efek samping obat ini adalah kelemahan otot, penurunan refleks tendon
dalam (deep tendon reflex), hipotensi, takikardia, mual, muntah, flushing kulit,
dan disritmia jantung. Suatu penclitian pendahuluan melaporkan bahwa nebulisasi
kombinasi salbutamol dan magnesium sulfat isotonik menunjukkan hasil yang
lebih baik daripada kombinasi salbutamol dan salin nomal. Namun, penggunaan
magnesium sulfac isotonik secara rutin belum direkomendasikan sampai ada
penelitian lebih lanjut.
6. Mukolitik
Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat
dilakukan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak
optimal. Mukolitik inhalasi tidak mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus
berhati-hati pada serangan asma berat. Inhalasi obat mukolitik tidak menunjukkan
kegunaan dalam menangani serangan așma, pada serangan asma berat bahkan bisa
memperberat batuk dan menghambat aliran napas.
7. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar
pencetusnya bukan infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat

19
diberikan, yaitu pada infeksi respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh bakteri,
seperti adanya tanda-tanda pneumonia, sputum yang purulen, serta jika diduga ada
rinosinusitis yang menyertai asma.
8. Obat Sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan
karena dapat menekan/mendepresi pernapasan. Antihistamin Antihistamin jangan
diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek yang
menguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan karena dapat memperkental
sputum.
Terapi pengendali asma1
a. Steroid inhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan
penting dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat
pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis
budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan
memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan
dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah
timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5
tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup,
memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga.
Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.
b. Agonis ß2 kerja panjang (Long acting ß2-Cagonist, LABA)
Sebagai pengendali asma, agonis ß2 kerja panjang tidak digunakan tunggal
melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis ß2 kerja panjang
dengan Steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid dan agonis ß2 kerja panjang pada
23 anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis
rendah tidak menghasilkan perbaikan.
c. Antileukotrien

20
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak
lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali
tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi
steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan
menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah
terjadinya serangan asma akibat berolahraga. Antileukotrien juga dapat mencegah
Serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita.
d. Teofilin Lepas Lambat
Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat Dapat diberikan
sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi
pada anak usia di atas 5 tahun. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul
pada pemberian dosis tinggi,di atas10mg/kgBB/hari.
e. Anti-imunoglobulinE(Anti-IgE)
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu
mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas
usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat
steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis ß2 kerja panjang namun masih sering
mengalami eksaserbasi Dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab! Diberikan
secara Injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu.

2.2 Tuberkulosis Paru


2.2.1 Definisi8
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB pada anal
usia 0-14 tahun.

2.2.2 Epidemiologi8
TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di negara-negara
berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari seluruh
jumlah populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB
setiap hari Proporsi kasus TB anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada

21
tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011; 8,2% pada
tahun 2012; 7,9% pada tahun 2013; 7,16% pada tahun 2014 dan 9% di tahun
2015. Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi dan 1,2 - 17,3%. Variasi ini
mungkin menunjukan endemisitas yang berbeda antara provinsi, tetapi bisa juga
karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi.
Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif. Tingkat penularan pasien TB
BTA positf 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%,
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah
17% .
2.2.3 Faktor risiko3
1. Risiko infeksi tuberculosis
Anak yang terpapar dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB
positif). Daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat
2. Risiko sakit tuberculosis
Anak yang terinfeksi tuberkulosis belum tentu sakit tuberkulosis, Faktor yang
menyebabkan anak sakit TB :
o Anak usia = 5 tahun mempunyai risiko yang lebih besar mengalami
progesif infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum
berkembang sempurna (imature).
o Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konvensi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
o Malnutrisi
o Keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan,
transplantasi organ dan pengobatan imunosupresif).
o Diabetes mellitus.
o Gagal ginjal kronik
o Sosial ekonomi yang rendah
2.2.4 Klasifikasi TB8
1. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Pasien baru TB

22
Adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan
(<28 dosis)
b. Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih)
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu :
o Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkat dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinik (baik karena benar benar kambuh
atau karena terinfeksi).
o Pasien yang diobati kembali seteah gagal adalah pasien TB yang pernah
diobati atau dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
o Pasien yang diobati kembali setelah putus obat (lost to follow up)
adalah pasien yang pernah diobati atau dinyatakan lost to follow up.
o Lain lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil terakhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
a. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
mycobacterium tuberculosis terhadap OAT :
a. Mono resistan (TB MR) : resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
b. Full resistan (TB PR) : resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistan (TB MDR) resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR). TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT line kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
amikasin).

23
e. Resistan Rifampisin (TB RR) resistan terhadap rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (Konvensional).
2.2.5 Diagnosis2
1. Anamnesis
Gejala umum dari penyakit TB pada anak tidak khas.
a. Nafsu makan kurang.
b. Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun (kemungkinan masalah
gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tata laksana yang
adekuat selama minimal 1 bulan).
c. Demam subfebris berkepanjangan (etiologi demam kronik yang lain perlu
disingkirkan dahulu, seperti infeksi saluran kemih (ISK), tifus, atau
malaria).
d. Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal, atau
tempat lain.
e. Keluhan respiratorik berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau nyeri
dada.
f. Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku atau perut membesar karena cairan atau teraba massa
dalam perut.
2. Pemeriksaan fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
a. Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada
posisi di daerah bawah atau di bawah P5.
b. Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Uji tuberkulin: dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin
PPD secara intra kutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan
memanjang lenganm(longitudinal). Uji tuberkulin positif menunjukkan
adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB) pada anak.
Reaksi uji tuberkulin positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun

24
walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin tidak digunakan
untuk memantau pengobatan TB.
b. Foto toraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan. Gambaran radiologis
yang sugestif TB di antaranya: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis,
atau kalsifikasi.
c. Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum,
untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung dan
Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan
diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan
diagnosis TB.
d. Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan
lain yang dicurigai TB.
e. Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan lain-lain, nilai
diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin sehingga tidak
dianjurkan. Sampai saat ini semua pemeriksaan diagnostik TB hanya dapat
mendeteksi adanya infeksi TB, tapi tidak dapat membedakan ada tidaknya
penyakit TB.
f. Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik
Alur diagnosis TB pada anak8
Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal :
a. Konfirmasi bakteriologis
b. Gejala klinis yang khas TB
c. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan
pasien TB
d. Gambaran foto toraks sugest TB
Alur diagnosis TB digunakan untuk mengkaji diagnosis TB pada anak yang
bergejala TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB. Pada anak yang tidak
bergejala tetapi kontak dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata laksanaanya
menggunakan alur ivestigasi kontak. Indonesia telah menyusun sistem skoring
untuk membantu menegakan diagnosis TB pada anak. Sistem skoring ini

25
membantu dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang
sederna sehingga mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis
TB.
Tabel 3. Sistem skoring TB anak

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga, BTA (-)


BTA (-) / BTA tidak
jelas / tidak tahu
Uji tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm
(Mantoux) atau ≥5 mm pada
imunokom
promais
Berat badan / - BB/TB 90% Klinis gizi buruk -
keadaan gizi atau BB/U <80% atau BB / TB <
70% atau BB/U <
60%
Demam yang tidak - ≥ 2 minggu - -
diketahui
Batuk kronik - ≥ 2 minggu - -

Pembesaran kelenjer - ≥1cm, lebih - -


limfe kolli, aksila, dari 1 KGB
inguinal tidak nyeri
Pembengkakan - Ada pemben - -
tulang / sendi gkakan
pinggul, lutut
Foto toraks Nomal/ Gambaran - -
Kelainan tidak sugestif (menduk
ung TB)
Total skor

Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan


sputum8 :
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan fasilitas yang
tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT
2. Jika pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen tidak dapat
diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks :

a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan foto
toraks :
 Jika anak ada riwayat kontak dengan pasien TB menular, anak dapat
didiagnosis TB dan diberikan OAT.

26
 Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2-4
minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk
pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor total
menggunakan sistem skoring :
 Jika skor total = 6 diagnosis TB dan obati dengan OAT
 Jika skor total < 6 dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat
diagnosis TB dan obati dengan OAT
 Jika skor total < 6 dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat,
observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang
kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
tinggi

27
2.2.6 Patogenis TB8

Gambar 4. Patogenesis TB

*Catatan8 :
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenis
spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi dikemudian
hari
2. komplek primer terdiri dari fokus primer, limfangitis dan limfadenitis regional
3. TB Primer adalah komplek primer dan komplikasi – komplikasinya

28
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen)
atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen) ini disebut
TB tipe dewasa (adult type TB).

2.4.8 Tatalaksana8
Beberapa hal penting dalam tatalaksanaan TB anak adalah :
1. Obat TB diberikan dalam panduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi
2. Pengobatan diberikan setiap hari
3. Pemberian gizi yang adekuat
4. Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara bersama.
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase
intensif ( 2 bulan pertama) dan sisanya fase lanjutan. Pemberian panduan obat ini
ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pengobatan jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadi kekambuhan.

Obat yang digunakan pada TB anak


1. Obat antituberkulosis (OAT)
Anak yang umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit
(pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intesif
hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif , TB berat dan TB tipe dewasa.
Terapi anak dengan BTA negatif menggunakan panduan INH, Rifampisin dan
pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti rifampisin dan INH pada
4 bulan fase lanjutan8.
Table 5. Obat antituberkulosis (OAT)
Nama obat Dosis harian Dosis Efek samping
(mg/kgBB/ha maksial
ri) (mg/hari)
Isoniazid (H) 5-15 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas,
Rifampisin 10-20 500 gastrointestinal, reaksi
(R)* kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan
enzim hati, cairan tubuh
berwarna orange kemerahan

29
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hepar, arthralgia,
(Z) gastrointestinal
Etambutol (E) 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman mata
berkutrang, buta warna merah
hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal.
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
(S)

*Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain

karena dapat mengganggu bioavaibilitas. Rifampisin diabsorbsi dengan baik


melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong ( 1 jam sebelum
makan).Pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (Rifampisin,
isoniazid, pirazinamid dan etambutol atau streptomisin. Pada fase lanjutan

diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan3.

2. Kombinasi dosis tetap OAT (FDC)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatan keteraturan

minum obat, maka disediankan dalam bentuk paket kombipak. Kombipak


untuk pasien anak berisi obat fase intensif yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH
(H) 50 mg dan pirazinamid (Z) 150 mg serta fase lanjutan yaitu rifampisin (R)
75 mg dan INH (H) 50 mg dalam satu paket.

Berat badan (Kg) Fase intensif (2 Fase lanjut (4


Bulan) RHZ Bulan) RH (75/50)
(75/50/150)
5-7 1 Tablet 1 Tablet
8-11 2 Tablet 2 Tablet
12-16 3 Tablet 3 Tablet
17-22 4 Tablet 4 Tablet
23-30 5 Tablet 5 Tablet
>30 OAT Dewasa
Keterangan :
1. Bayi dibawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam
bentuk KDT dan sebaiknya di rujuk ke RS.
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang
diberikan disesuaikan dengan berat badan saat itu.

30
3. Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan berat badan
ideal (sesuai umur).
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah dan di
gerus).
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditela utuh, dikunyah/dikulum
(chewable) atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong atau 1 jam sebelum makan.
7. Bila INH dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10mg/kgBB/hari.
8. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersamaan dan dicampur dalam 1 puyer8.
3. Kortikosteroid
Untuk kasus TB tertentu seperti Meningitis TB, TB miller, efusi pleura TB,
perikarditis TB, TB endobronkial dann peritonitis TB diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, maksimal
60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh, dilanjutan tappering off selama 1-2 minggu3.
4. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik terutama pada
anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan
antiretroviral therapy (ART). Suplementasi piridoksin (5-10mg/hari)
direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi8 .
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

1. Jika anak tidak minum obat > 2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.

2. Jika anak tidak minum obat < 2 minggu di fase intensif atau < 2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukan gejala TB, lanjutan pengobatan sampai selesai3.

2.3 Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA)


2.3.1 Defenisi4
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sering disebut juga degan infeksi
respiratori akut (IRA). Infeksi saluran pernapasan akut terdiri dari infeksi saluran

31
pernapasan atas akut dan infeksi saluran pernapasan bawah akut. Infeksi ini
disebut akut karena berlangsung hingga 14 hari. Infeksi saluran pernapasan atas
akut merupakan infeksi primer respiratori diatas laring neliputi rinitis, faringitis,
tonsilitis, rinosinusitis, termasuk otitis media. Sedangkan pada infeksi saluran
pernapasan bawah akut terdiri dari dari epiglotitis, laringotrakeobronkitis (croup).
Bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia.

2.3.2 Epidemiologi
IRA mencakup 50% dari keseluruhan penyakit pada anak berusia 5 tahun
dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Sebagian besar IRA terbatas pada saluran
pernapasan atas saja (IRAA), hanya sekitar 5% kasus yang melibatkan saluran
pernapasan bawah. IRAA lebih sering dialami oleh anak-anak dari pada orang
dewasa (6-8 kali vs 2-4 kali per tahun). Insidennya meningkat seiring
pertambahan usia, mencapai puncak pada usia 4-7 tahun. IRAA yang disebabkan
oleh bakteri (faringitis Streptococcus) memiliki insidens tertinggi pada usia 5-18
tahun dan jarang dialami pada usia dibawah 3 tahun4.
Infeksi saluran pernapasan akut adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas akibat penyakit menular di dunia. Hampir 4 juta orang meninggal
karena infeksi saluran pernapasan akut setiap tahun, di mana 98% kematian
tersebut disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat kematian
sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan orang tua, terutama di negara
berpendapatan rendah dan menengah. Infeksi pernapasan akut adalah salah satu
penyebab paling umum konsultasi atau perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan,
terutama dalam layanan anak9.

2.3.3 Etiologi
Lebih dari 90% infeksi saluran pernapasan atas akut disebabkan oleh virus.
Vrius tersebut meliputi rinovirus, influenza virus, parainfluenza virus,
adenovirus, coxsackievirus, RSV, corona virus. Sedangkan bakteri penyebab
infeksi saluran pernapasan atas akut adalah streptococcus β-haemolyticus4.
Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, di mana
Streptococcus pneumoniae menjadi penyebab paling umum pneumonia bakteri
dapatan komunitas di banyak negara. Namun, sebagian besar infeksi saluran
pernapasan akut disebabkan oleh virus atau campuran infeksi virus-bakteri.

32
Infeksi pernapasan akut yang memiliki potensi epidemi atau pandemi dan dapat
menimbulkan risiko kesehatan masyarakat memerlukan tindakan kewaspadaan
dan kesiapsiagaan khusus9.
2.3.4 Faktor Resiko9
Insidensi, distribusi, dan akibat dari penyakit infeksi pernapasan akut
bervariasi berdasarkan beberapa faktor, termasuk :
 Kondisi lingkungan, seperti pencemar udara, kepadatan rumah tangga,
kelembapan, kebersihan, musim dan suhu;
 Ketersediaan dan efektivitas perawatan medis dan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) untuk menahan penyebaran,
seperti vaksin, akses ke fasilitas pelayanan kesehatan, dan kapasitas
isolasi;
 Faktor individu, seperti usia, merokok, kemampuan faktor individu untuk
menularkan infeksi, status imun, status gizi, infeksi sebelumnya atas
bersamaan dengan patogen lain, dan kondisi medis yang mendasarinya;
 Karakteristik patogen, seperti mode penularan, transmisibilitas, faktor
virulensi (mis. Gen penyandi toksin) dan beban mikrobial (ukuran
inokulum).
Menurut buku Kapita Selekta Kedokteran (2014), faktor resiko yang
mendasari terjadi nya infeksi saluran pernafasan akut pada bayi dan anak yaitu4 :
 Gizi kurang/buruk
 Tidak mengkonsumsi ASI
 Imunisasi tidak lengkap
 Tingkat sosioekonomi Rendah
 Pendidikan Orang tua rendah
 Berat badan lahir rendah.
2.3.5 Diagnosis4
1. Manifestasi Klinis
1. Rinitis, disebut juga common cold. Coryza, dingin, atau selesma.
Ditandai dengan pilek, hidung gatal, bersin, hidung tersumbat, iritasi
tenggorokan, dapat disertai demam. Selain itu, dapat ditemukan gejala
umum infeksi virus, seperti mialgia, malaise, iritabel. Pemeriksaaan fisis

33
tidak menunjukkan tanda yang khas, dapat ditemukan edema dan eritema
mukosa hidung serta limfadenopati servikalis anterior.
2. Faringitis – Tonsilitis – Tonsilofaringitis Faringitis, tonsilitis,
tonsilofaringitis disebabkan oleh bakteri Streptococcus sp. yang ditandai
dengan nyeri tenggorokan disertai awitan mendadak, disfagia, demam
tinggi (dapat mencapai 40oC), nyeri kepala, dan keluhan gastrointestinal.
Seperti nyeri perut/ muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan faring
hiperemis, tonsil bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher
anterior bengkak dan nyeri, uvula bengkak dan hiperemis, petekie palatum
mole, dan ruam skarlatina (ruam kemerahan seperti sunburn, terdapat rasa
gatal, muncul pada ajah dan leher, menyebar ke dada dan punggung
kemudian ke seluruh tubuh).
3. Faringitis viral
Faringitis viral ditandai dengan rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis,
diare, awitan yang bertahap, melibatkan beberapa mukosa dan adanya
kontak dengan pasien rinitis.
4. Faringitis difteri
Faringitis difteri ditandai dengan membran simetris (dapat meluas dari
batas anterior tonsil hingga ke palatum mole dan atau ke uvula), mudah
berdarah, berarna kelabu pada faring.
5. Rinosinusitis
Rinosinusitis ditandai dengan rinorea, hidung tersumbat, bersin-bersin/
gatal, batuk, nyeri tekan wajah/pipi, nyeri kepala, ingus purulen, post-
nasal drip, napas bau, hiposmia/anosmia dan demam. Pada pemeriksaan
fisik di temukan edema – eritema mukosa hidung disertai dengan rinorea,
nyeri tekan di lokasi sinus, post-nasal drip di dinding belakang faring, dan
deviasi septum nasi/polip sebagai faktor predisposisi.
2. Pemeriksaan Penunjang
1) Faringitis : kultur swab tenggokrok pada faringitis bakterial, bertujuan
untuk mendeteksi adanya bakteri Streptococcus ß-haemolyticus grup
A.
2) Rinosinusitis :

34
 Roentgen : menunjukkan adanya perselubungan homogen, penebalan
mukosa sedikitnya 4 mm atau adanya air fluid level.
 CT-scan sinus pranasal dapat memberikan gambar yang lebih akurat
dari pada roentgen namun bukan pemeriksaan yang harus rutin
dilakukan.
 Pemeriksaan mikrobiologi dengan bahan sekret hidung (yang
umumnya dilakukan, namun akan ditemukan pula kuman yang
merupakan flora normal hidung di samping kuman patogen). Baku
emasnya adalah spesimen yang didapat dari pungsi atau aspirasi sinus
maksilaris (tidak rutin dilakukan pada anak karena memerlukan
anestesi umum). Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan bakteri >104
U/ml.
 Pemeriksaan transluminasi untuk mengetahui adanya cairan di sinus
yang sakit (akan terlihat lebih suram daripada yang sehat).
2.3.6 Tatalaksana4
Sebagian rinitis disebabkan oleh virus sehingga terapi antobiotik tidak
diberikan. Pemberian antibiotik tidak bermanfaat dan juga tidak terbukti dapat
mencegah infeksi sekunder.
1. Terapi nonmedikamentosa, seperti elevasi kepala, minum, dan istirahatyang
cukup bermanfaat untuk tata laksana rinitis.
2. Terapi medikamentosa :
a. Pengobatan simtomatis dengan dekongestan, antihistamin atau
analgetik.
b. Pada faringitis umum nya hanya diberikan terapi simptomatis.
o Apabila terdapat kecurigaan faringitis Stretococcal berikan antibiotik
selama 10 hari : penisilin 15-30 mg/KgBB/hari (3 kali sehari); ampisilin
50-100 mg/KgBB/hari (4 kali sehari); amoksisilin 25-50 mg/KgBB/hari
(3 kali sehari); eritromisin 30-50 mg/KgBB/hari (4 kali sehari).
o Pemberian antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II juga dapat
memberikan efek yang sama, namun tidak diberikan karena risiko
resistensinya lebih besar.

35
c. Pada rinosinusitis dapat diberikan amoksisilin 45 mg/KgBB/hari (2 kali
sehari)
o Pada anak yang alergi amoksisilin dapat diberikan sefodoksim 10
mg/KgBB/hari dosis tunggal atau sefuroksim 30 mg/KgBB/hari (2 kali
sehari).
o Pada anak dengan reaksi alergi berat dapat diberikan klaritomisin 15
mg/KgBB/hari (2 kali sehari) atau azitromisin 10 mg/KgBB/hari pada
hari pertama dan dilanjutkan mg/KgBB/hari dosis tunggal selama 3-4
hari.
o Jika kuman resistensi penisilin dapat diberikan klindamisin 30-40
mg/KgBB/hari (3 kali sehari).
o Pada anak yang tidak kunjung sembuh dengan pemberian amoksisilin,
diberikan amoksisilin-klavunalat dosis tinggi (80-90 mg/KGBB/hari
komponen amoksisilin dan 6,4 mg/KGBB/hari komponan kiavunalat,
dibagi dalam 2 dosis).
3.4 Cerebral Palsy
2.4.1 Definisi10
Palsi serebral adalah suatu keadaan kerusakan jaringan yang menetap dan
tidak berkembang, meskipun gambaran klinisnya dapat berubah selama hidup,
terjadi pada usia dini, dan merintangi perkembangan otak normal dengan
menunjukkan kelainan posis dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa
gangguan korteks serebri, garglia basalis dan serebelum.
2.4.2 Etiologi10
Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu :
a. Pranatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada
janin, misalnya oleh lues, toksoplasma, rubela,dan penyakit inklusi
sitomegali. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar X dan
keracunan kehamilan dapat menimbulkan palsi serevral. kelainan yang
mencolok biasanya gangguan pergerakan dan keterbelakangan mental.
b. Perinatal
 Anoksia/hipoksia : penyebab terbanyak di temukan dalam masa

36
paling perinatal adalah brain injury (cedera otak). Keadaan inilah
yang menyebabkan terjadinya anoksia.
 Pendarahan otak : pendarahan pada subarachnoid akan menyebabkan
penyumbatan CSS sehingga mengakibatkan hidrocefalus.
Pendarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri
sehingga menimbulkan kelumpuhan spastik.
 Prematuritas : bayi kurang bulan memiliki kemampuan kemungkinan
menderita pendarahan otak lebih baik dibandingkan bayi cukup
bulan karena faktor pembeku darah, pembuluh darah, enzim dan
lainnya yang belum sempurna.
 Icterus : pada masa neonatal menyebabkan kerusakan jaringan otak
yang kekal akibat masuknya billirubin ke ganglia basal, misal pada
kelainan inkompatibilitas pembuluh darah.
 Meningitis purulenta : bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannnya akan mengakibatkan gejalan sisa palsi serebral.
c. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu
perkembangan otak dapat menyebabkan palsi serebral. Misalnya pada
trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan luka parut pada otak pasca
bedah.
3.4.3 Klasifikasi Palsi Serebral11
Klasifikasi dibedakan berdasarkan 4 komponen:
1. Jenis kerusakan kerusakan motorik
2. Distribusi anatomi
3. Gangguan terkait
4. Waktu kejadian kausal ( pre, pe, postnatal)
Tone : hipotonik atauhipertonik, penurunan motorik : spastik, ataksik,
diskinetik (distonia atau koreoatetosis atau campuran. Distribusi
anatomi : diplegia, hemiplegia, quadriplegia.
3.4.4 Manifestasi Klinis11
Gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan lokalisasi serta kelainan
bukan motorik yang membuat gambaran klinis serebral palsi. Kelainan fungsi

37
motorik terdiri dari :
a. Spasitisitas
Terdapat peninggian tonus dan refleks yang disertai dengan
klonus dan leks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu
menetap dan k hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur.
Peninggian tonus ini k sama derajatnya pada suatu gabungan otot,
karena itu tampak sifat khas dengan kecenderungan yang terjadi
kontraktur, misalnya lengan m aduksi, fleksi pada sendi siku dan
tangan dalam pronasi jari - jari dalam fleksi schingga posisi ibu jari
melintang di telapak tangan.
Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi sendi paha dan lutut, kaki
dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam flesi plantar dan
telapak kaki berputar kedalam. Refleks tonik leher dan refleks
neonatus menghilang pada waktunya. kerusakan biasanya terletak di
traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung
pada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/monoparesis.
Kelumpuhan keempat anggota, tetapi salah satu anggota gerak
lebih hebat dari yang lain, hemiplegia/hemiparesis adalah kelumpuhan
lengan dan tungkai dipihak yang sama, diplegia/diparesis adalah
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lebih hebat dari lengan,
tetraplegia/tetraparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak,
lengan lebih atau sama hebatya dibandingkan dengan tungkai.
b. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid
(lemas) dan masalah seperti kodok terlentang sehingga muncul seperti
kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah
terjadi perubahan nada otot dari rendah hingga tinggi. Bila terjadi
fenomena muncul fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi
jika dirangsang atau dimulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi
spastis, refleksi otot yang normal dan refleks babinski negstif, tetapi
yang khas adalah reflek neonatal dan tonik refleks leher menetap.
kerusakan biasanya terletak dibatang otak dan disebabkan oleh afiksia

38
perinatal atau ikterus.
c. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan
pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (gerakan involunter). Pada
6 bulan pertama tampak flaksid, tetapi vesudah itu burulah muncul
kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan adanya perubahan
tonus otol. Dapat juga timbul gejala spastisitas dan ataksia, terletak
diganglia basal discbabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada
masa neunatus.
d. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi, Bayi dalam golongan ini
biasnya flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik yang lambat.
Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar. Mulai berjalan
sangat lambat dan semua pergerakan tidak nyaman dan kaku.
kerusakan terletak diserebelum.
e. Terdapat gangguan pendengaran
Terdapat 5 - 10 % anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa
kelainan neurogen terutama persepsi nadi. Sehingga sulit menangkap
kata kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis.
f. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental.
Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah
menyebabkan sukar mengontrol otot tersebut sehingga anak sukut
membentuk kata dan sering tampak anak berliur.
g. Terganggu mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan
kelainan refraksi. Pada keadaan asfiksia yang beratdapat terjadi
katarak.
2.4.5 Diagnosis6
1. Gejala Awal
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang tua
sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak

39
normal. Bayi dengan CP sering mengalami kelambatan perkembangan,
misalnya tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum atau berjalan. Sebagian
mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot/hipotonia; bayi
tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan tonus
otot/hipertonia, bayi tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode
awal tampak hipotonia dan selanjutnya berkembang menjadi hipertonia
setelah 2-3 bulan pertama. Anak-anak CP mungkin menunjukkan postur
abnormal pada satu sisi tubuh.
2. Pemeriksaan Fisik
Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan
kemampuan motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari
riwayat kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar kepala. Refleks
adalah gerakan dimana tubuh secara otomatisasi bereaksi sebagai respon
terhadap stimulus spesifik. Sebagai contoh, jika bayi baru lahir menekuk
kepalanya maka kaki akan bergerak ke atas kepala, dan bayi secara
otomatis akan membentangkan lengannya, yang dikenal dengan refleks
moro, yang tampak seperti gerakan akan memeluk. Secara normal, refleks
tersebut akan menghilang pada usia 6 bulan, tetapi pada penderita CP,
refleks tersebut akan bertahan lebih lama. Hal tersebut merupakan salah
satu dari beberapa refleks yang harus diperiksa. Perlu juga memeriksa
penggunaan tangan, kecenderungan untuk menggunakan tangan kanan
atau kiri. Jika dokter memegang obyek didepan dan pada sisi dari bayi,
bayi akan mengambil benda tersebut dengan tangan yang cenderung
dipakai, walaupun obyek didekatkan pada tangan yang sebelahnya. Sampai
usia 12 bulan, bayi masih belum menunjukkan kecenderungan
menggunakan tangan yang dipilih. Tetapi bayi dengan spastik hemiplegia,
akan menunjukkan perkembangan pemilihan tangan lebih dini, sejak
tangan pada sisi yang tidak terkena menjadi lebih kuat dan banyak
digunakan.
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan
penyakit lain yang menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting,

40
harus ditentukan bahwa kondisi anak tidak bertambah memburuk.
Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai dengan
definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara progresif
kehilangan kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapatmasalah yang
berasal dari penyakit lain, misalnya penyakit genetik, penyakit muskuler,
kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian metabolik dan genetik tidak
rutin dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP. Riwayat medis anak,
pemeriksaan diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus, pengulangan
pemeriksaan akan sangat berguna untuk konfirmasi diagnostik dimana
penyakit lain dapat disingkirkan.
3. Pemeriksaan Neuroradiologik
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan
penyebab CP perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan
kepala, yang merupakan pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur
jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan area otak yang kurang
berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan informasi dari
CT Scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita CP.
MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih,
menghasilkan gambar yang lebih baik dalam hal struktur atau area
abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang dibanding dengan CT scan
kepala. Dikatakan bahwa neuroimaging direkomendasikan dalam evaluasi
anak CP jika etiologi tidak dapat ditemukan. Pemeriksaan ketiga yang
dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak adalah USG kepala.
USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala mengeras dan
UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibanding CT dan MRI,
tehnik tersebut dapat mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan
tidak membutuhkan periode lama pemeriksaannya.
4. Pemeriksaan Lain
Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi
lain yang berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental,
dan visus atau masalah pendengaran untuk menentukan pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan. Jika dokter menduga adanya penyakit kejang,

41
EEG harus dilakukan. EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas
elektrik otak dimana akan menunjukkan penyakit kejang. Pemeriksaan
intelegensi harus dikerjakan untuk menentukan derajat gangguan mental.
Kadangkala intelegensi anak sulit ditentukan dengan sebenarnya karena
keterbatasan pergerakan, sensasi atau bicara, sehingga anak CP mengalami
kesulitan melakukan tes dengan baik. Jika diduga ada masalah visus,
dokter harus merujuk ke optalmologis untuk dilakukan pemeriksaan; jika
terdapat gangguan pendengaran, dapat dirujuk ke otologist. Identifikasi
kelainaenyerta sangat penting sehingga diagnosis dini akan lebih mudah
ditegakkan. Banyak kondisi diatas dapat diperbaiki dengan terapi spesifik,
sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup penderita CP.
2.4.6 Tatalaksana Cerebral Palsy6
Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita CP antara
lain :
1. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah akan
menyebabkan anak tampak selalu berliur. Air liur dapat menyebabkan
iritasi berat kulit dan menyebabkan seseorang sulit diterima dalam
kehidupan sosial dan pada akhirnya menyebabkan anak akan terisolir
dalam kehidupan kelompoknya.
2. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada
mulut, dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat. Nutrisi yang buruk,
pada akhirnya dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi dan
menyebabkan gagal tumbuh.
3. Inkontinentia Urin. Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering
terjadi. Inkontinentia urin ini disebabkan karena penderita CP kesulitan
mengendalikan otot yang selalu menjaga supaya kandung kemih selalu
tertutup. Inkontinentia urin dapat berupa enuresis, dimana seseorang tidak
dapat mengendalikan urinasi selama aktivitas fisik (stress inkonentia), atau
merembesnya urine dari kandung kemih.
CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk
memperbaiki kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan
terapi pada CP adalah mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan

42
normal dengan mengelola problem neurologis yang ada seoptimal mungkin.
Beberapa pendekatan tatalaksana yang direncanakan meliputi obat-obatan untuk
mengontrol kejang dan spasme otot, penyangga khusus untuk kompensasi
keseimbangan otot, pembedahan, peralatan mekanis untuk membantu kelainan
yang timbul, konseling emosional dan kebutuhan psikologis, dan fisik, okupasi,
bicara dan terapi perilaku.
I. Terapi Medikamentosa
Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti
kejang yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan. Obat
yang diberikan secara individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena tidak
ada satu obat yang dapat mengontrol semua tipe kejang. Bagaimanapun juga,
orang yang berbeda walaupun dengan tipe kejang yang sama dapat membaik
dengan obat yang berbeda, dan banyak orang mungkin membutuhkan terapi
kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk mencapai efektivitas
pengontrolan kejang.
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada
penderita CP adalah:
a. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh. Pada anak usia <6
bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >6 bulan
diberikan dengan dosis 0,12 – 0,8 mg/KgBB/hari per oral dibagi dalam 6 –
8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis.
b. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis
yang akan menyebabkan kontraksi otot. Dosis obat yang dianjurkan pada
penderita CP adalah sebagai berikut:
 2 – 7 tahun: Dosis 10 – 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 – 4 dosis.
Dosis dimulai 2,5 – 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis
dinaikkan 5 – 15 mg/hari, maksimal 40 mg/hari.
 8 – 11 tahun: Dosis 10 – 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis.
Dosis dimulai 2,5 – 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis
dinaikkan 5 – 15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari

43
 > 12 tahun: Dosis 20 – 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis.
Dosis dimulai 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan
15 mg/hari, maksimal 80 mg/hari
c. Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga
kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25
mg/hari, maksimal 40 mg/hari.
Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk periode
singkat, tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat
dijelaskan. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya.
mengantuk, dan efek jangka panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang
belum jelas. Satu solusi untuk menghindari efek samping adalah dengan
mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat-obat tersebut.
Botulinum Toxin (BOTOX)
Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan
acetilcholine dari presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot
yang kaku akan menyebabkan kelemahan otot. Kombinasi terapi antara
melemahkan otot dan menguatkan otot yang berlawanan kerjanya akan
meminimalisasi atau mencegah kontraktur yang akan berkembang sesuai dengan
pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang menyebabkan
deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit yang
menyebabkan gait jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau spastisitas pada otot flexor
lutut yang menyebabkan crouch gait. Perbaikan tonus otot sering akibat mulai
berkembangnya saraf terminal, yang merupakan proses dengan puncak terjadi
pada 60 hari.
Baclofen Intratekal
Merupakan GABA agonis yang diberikan secara intratekal melalui pompa
yang ditanam akan sangat membantu penderita dalam mengatasi kekakuan otot
berat yang sangat mengganggu fungsi normal tubuh. Karena Baclofen tidak dapat
menembus BBB secara efektif, obat oral dalam dosis tinggi diperlukan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan jika dibandingkan dengan cara pemberian
intratekal.

44
II. Terapi Fisik, Perilaku dan Lainnya
Terapi CP ditujukan pada perubahan kebutuhan penderita sesuai dengan
perkembangan usia. Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama
kehidupan,msegera setelah diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik
menggunakan gerakan spesifik mempunyai 2 tujuan utama yaitu mencegah
kelemahan atau kemunduran fungsi otot yang apabila berlanjut akan menyebabkan
pengerutan otot (disuse atrophy) dan yang kedua adalah menghindari kontraktur,
dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan menimbulkan posisi
tubuh abnormal. Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan
perkembangan motorik anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut dengan
tehnik Bobath. Dasar dari program tersebut adalah refleks primitif akan tertahan
pada anak CP yang menyebabkan hambatan anak untuk belajar mengontrol
gerakan volunter.
Terapi fisik saat ini dapat membantu anak CP mempersiapkan sekolah
dengan meningkatkan kemampuan untuk duduk, bergerak leluasa atau dengan
kursi roda, atau melakukan tugas misalnya menulis. Pada terapi okupasi, terapis
bekerja dengan anak untuk mengembangkan kemampuan makan, berpakaian, atau
menggunakan kamar mandi. Terapi perilaku merupakan salah satu jalan untuk
meningkatkan kemampuan anak. Terapi ini, menggunakan teori dan tehnik
psikologi, yang dapat melengkapi terapi fisik, bicara dan okupasi. Sebagai contoh,
terapi perilaku meliputi menyembunyikan boneka dalam kotak dengan harapan
anak dapat belajar bagaimana meraih kotak dengan menggunakan tangan yang
lebih lemah.
III. Terapi Bedah6
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan
menyebabkan masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur panjang
otot dan tendon, menentukan dengan tepat otot mana yang bermasalah.
Menentukan otot yang bermasalah merupakan hal yang sulit, berjalan dengan cara
berjalan yang benar, membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang bekerja secara
tepat pada waktu yang tepat dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu
otot dapat menyebabkan cara berjalan abnormal. Teknik kedua pembedahan, yang
dikenal dengan selektif dorsal root rhizotomy, ditujukan untuk menurunkan

45
spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan jumlah stimulasi yang mencapai
otot tungkai melalui saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter berupaya melokalisir
dan memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang mengontrol otot
tungkai.

46
BAB III
TINJAUAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

No. MR 00071xx
Nama Pasien IA (Anak)
Jenis Kelamin Laki-laki
Umur 8 Tahun
Agama Islam
Alamat Lasi Mudo, Candung, Agam
Berat badan/ Tinggi Badan 13 kg/ -
Ruangan Interne Kelas II
Mulai Perawatan 4 Oktober 2021
Keluar RS 12 Oktober 2021

3.2 Riwayat Penyakit


a. Keluhan utama
Sesak nafas 3 hari sebelum masuk RS, sesak pada pagi hari, demam
sejak 4 hari yang lalu dan batuk pilek 2 hari sebelum masuk RS.
b. Riwayat penyakit sekarang
Sesak nafas sejak 3 hari SMRS hingga hari ke 8 di rawat inap, nafas
berbunyi ( Wheezing), batuk berdahak hingga hari ke 8 di rawat inap,
di sertai suhu tubuh panas dari 4 hari SMRS hingga hari ke 9 di rawat
inap ( suhu naik turun setiap hari 360 C s/d 37,50 C).
c. Riwayat penyakit terdahulu
- Asma Bronkial, Cerebral Palsy
d. Riwayat penyakit keluarga
- Asma

47
3.3 Pemeriksaan fisik
3.3.1 Tanda vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis (normal)
GCS : E4M6V5. Total= 15 (normal)
Tekanan Darah :
Nadi : 110x/menit (tinggi)
Pernafasan : 36x/menit (tinggi)
Suhu o
: 36,7 C (normal)
Berat Badan : 13 kg

3.3.2 Status Generalis

1 Kepala : Normal
2 Mata : Normal

3 THT : Normal

4 Mulut : Normal

5 Leher : Normal
6 Jantung : Normal
7 Paru : Wheezing (+), Retraksi (+)

8 Dada dan Payudara : Normal


9 Perut : Normal
10 Urogenital : Normal
11 Anggota Gerak : Lemah seluruh anggota gerak

12 Muskuloskeletal : Normal
13 Kesadaran : Normal

3.3.3 Riwayat Alergi


Pasien alergi terhadap obat Cefotaxim

48
Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan


12/10/2021 Hemoglobin 11,0 -16,5 (g/dl) Normal
11,2
Leukosit 9,48 3,50-9,50 (ribu/µL) Normal
Hematokrit 33 37-47 (%) Rendah
Eritrosit 4,25 4,5-6,5 (juta/µL) Rendah
Trombosit 442 150-450 (ribu/µL) Normal
MCV (rata2 vol sel darah 78,7 80,0-100,0 (fl) Normal
merah)
MCH (rata2 Hb sel) 26,5 27-31 (pg) Rendah
MCHC (rata2 Hb dlm 33,6 33,0-37-0 (g/gl) Normal
darah)
Basofil % 0,3 0-1 (%) Normal
Netrofil % 43,3 50-70 (%) Rendah
Eosinofil % 1,8 1-3 (%) Normal
Limfosit % 49,7 20-40 (%) Tinggi
Monosit % 4,9 4-10 (%) Normal
IG % 1,0 0,0-2,5 (%) Normal
MPV (Mean Platelet 7,7 6,5-12,0 (fl) Normal
Volume)
RDW-CV 12 11,0-16,0 (%) Normal
PCT (Procalcitonin) 0,341 0,108-0,282 (%) Tinggi
AL % 0,6 (%) Normal
PDW (Platelet 8,6 9,0-17,0 (fl) Rendah
Distribution Widht)

a. Diagnosa Utama
Asma serangan berat
b. Diagnosa Sekunder
ISPA, TB Paru, Cerebral Palsy
 Rencana Tatalaksana Medis
- O2 3 L/Menit
- D5% + drip Aminofilin dalam 275 cc 159 tt/i
- Inj. Dexamethasone 3 x 2 mg (IV)
- Ventolin Nebulizer (K/P)
- Ceftriaxon 1x650 mg (IV)

49
- Ambroxol 3x 6,5 mg
- Paracetamol sirup 4x11/4
c. Follow Up Pasien
- Hari Ke-1 ( 04 Oktober 2021)
S :Panas ± 4 hr, S: 37,5° C
Batuk berdahak, nafas sesak,
ke IGD kemarin 3 x nebulizer
O : Kes : normal P: 42x/menit
N: 102x/menit BB: 13 kg
Suhu tubuh: 37,5oC
A : Gannguan jalan napas tidak efektif
P : O2 2 l/i
-Nebulisasi : ventolin respule, 15 menit msh sesak ulangi
lagi
-IVFD D5 ; 159 tt/i (makro)
Sesak: bolus aminopilin 75 mg
1 jam masih sesak ,
beri Drip aminopilin, 75 mg dlm 275 cc D5 159 tt/i 6 jam
- Dexamethasone 3 x 2 mg IV
- Ambroxol 3 x 6,5 mg
- Paracetamol 4 x 1 ¼ cth (k/p)
- diet 1200 kkal
- Hari Ke-2 (05 Oktober 2021)
S : Sesak sejak 2 hari yang lalu, nafas menciut
: Sebelumnya demam, batuk, dan pilek
: Penderita dikenal penderita asma, trakeomalasia + CP
O : KU sakit berat
Kesadaran : normal
T : 36,70 C
Nafas : 36 x/I (dispnea)
Retraksi (+)
Ronki (-)

50
A : Asma serangan berat, ISPA, Suspect
TB, Cerebral palsy
P : O2 3L/i
IVFD D5 159 tt/i
Drip aminopilin 75 mg + 275 cc D5 : 159 tt/i 6 jam
Inj ceftriaxone 1x 650 mg IV
Ambroxol 3 x 6,5
Paracetamol 4 x 1 ¼ cth
Diet 1200 kkal (menyesuaikan dari gizi)
Nebulisasi ventolin (k/p)
Ro foto toraks : AP + Lateral dextra
DL + LED
- Hari Ke-3 (06 Oktober 2021)
S : Sesak (+)
Batuk (+)
Demam (-)
O : KU Sedang
Napas : 38x/i (dyspnea)
Wheezing (+)
Ronki (-)
BB : 13 kg
LED : 65
RO : Infiltrasi, kalsifikasi
A : Asma, TB paru, ISPA, cerebral palsy
P : INH 1 x 130 mg

Rifampisin 1 x 195 mg

PZA 1 x 325 mg

Terapi lain teruskan

51
- Hari Ke-4 (07 September 2021)
S : Sesak (+), Demam (-), Batuk (+), Sesak (+)
O : KU :
Kesadaran : sadar
Lender, wheezing (+) menurun
A : Perbaikan
P : Terapi diteruskan
- Hari Ke-5 (08 september 2021)
S : Sesak (menurun)
Batuk (menurun)
Nafsu makan membaikk
O : KU sakit sedang sadar
T : 36,4 C
Nafas 36x/i
Wheezing (menurun)
: ronki (-)
A : Perbaikan
P : Terapi diteruskan

- Hari Ke-6 (09 september 2021)


S : Ibu menyatakan sesak
O : Pasien tampak nyaman
Napas : 32x/i Suhu : 36 C
A : Gangguan jalan napas
P : Manajemen pernapasan
TTV
Atur posisi semi fovlar kolaborasi

52
- Hari Ke-7(10 Oktober 2021)
S : Sesak (menurun)
Batuk (-)
O : KU sedang sadar
Wheezing (+)
Ronki (-)
A : Perbaikan
P : Cek DL (Darah Lengkap)
IVFD KAEN 1B + KCL 10 Meq : 159 tts/i
Drip aminopilin stop
Salbutamol 3 x 1,6 mg
Terapi lain diteruskan
Dexamethasone stop
- Hari Ke-8 (11 Oktober 2021)
S : Pasien dirawat karena sesak delayed
O : Batuk (-)
A : Gangguan gerak dan fungsi
P : infra Red
Chest therapy
Latihan
- Hari Ke-9 (12 Oktober 2021)
S : Sesak (-), batuk (-)
O : KU sedang
T : 36,7 C
Nafas : 28 x/i
Nadi : 96 x/i
Wheezing (-)
Ronki (-)
A : Perbaikan
P : Perbaikan

53
d. Analisa Terapi
3.8.1 Lembar Pengobatan Pasien di Bangsal Anak
No. Tanggal Pemberian Obat
Nama Frekuensi Rute 04/10 05/10 06/10 07/10 08/10 09/10 10/10
Dagang/ P S S M P S S MP S S M P S S MP S S M P S S MP S S M
Generik O O O O O O O
1 Ambroxol 6,5 3x 1 PO √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
2 Paracetamol 4 x 1 ¼ cth PO √ √ √√ √ √ √√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
syrup
3 Rifampisin
No. 1x1 PO √ √ √
Tanggal Pemberian √
Obat √
195Nama
mg Frekuensi Rute 11/10 12/10 Obat Pulang
4 IsoniazidDagang/
130 1x1 PO P S S M P S S√M √ √ 1. √ Ambroxol√6,5 mg 3x1
mgGenerik O O 2. Rifampicin 195 mg 1x1
5 Pirazinamid 1x1 PO √ √ √ 3. √ √ 325 mg 1x1
Pirazinamid
1 325Ambroxol
mg 6,5 3x 1 PO √ √ √ √
4. Isoniazid 130 mg 1x1
mg
6 Vitacur syr 1 x 1 cth PO √ √ √ √ 5. √
Salbutamol 1,6 √
3x1
2 Paracetamol 4 x 1 ¼ cth PO √ √√ √ √ √√
7 Salbutamol
syrup 3x1 PO
1,6 mg
3 Rifampisin 1x1 PO √ √
8 Inj. 3 x 2 mg IV √ √ √√ √ √ √P √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
195 mg
Dexamethaso
4 Isoniazid
ne 130 1x1 PO √ √
mg U
9 D 5 % Drip 159 tts/ 6 IV √ √ √ √ √ √
5Aminofilin
Pirazinamid jam 1 x 1 PO √ √
L
325 mg
10. Inj. 1 X 650 IV √ √ √ √ √ √
6Cefriakson
Vitacur syr mg1 x 1 cth PO √ A
650 mg
7 Salbutamol 3x1 PO √ √ √
11 KAEN 1 B + /12 jam IV N
1,6 mg
KCL
8 Inj. 3 x 2 mg IV √ STOP G
12. Ventolin
Dexamethaso 2 X 1
Nebune (K/P)
650 mg
9D 5% drip 159 tts/6 IV STOP
aminofilin jam
87
10. Inj. 1 x 650 IV √ √
Cefriakson mg
11 KAEN 1 B + /12 jam IV √ √ STOP
KCL
3.8.2 Lembaran DRP ( Drug Related Problem)
88
Tabel Drug Terapi Problem

No Drug Therapy Problem Check Keterangan/Rekomendasi


List

1. Terapi obat yang tidak


Diperlukan

Terdapat terapi tanpa - Obat yang di berikan sudah sesuai indikasi klinis pasien
indikasi medis - Pemberian ambroxol digunakan untuk terapi mukolitik karena pasien menderita
batuk berdahak
- Pemberian Paracetamol syr sebagai terapi antipiretik karena pasien menderita
demam.
- Pemberian rifampisin digunakan sebagai antibiotik tuberkulosis (OAT) paru.
- Pemberian isoniazid digunakan sebagai antibiotik tuberkulosis (OAT) paru.
- Pemberian pirazinamid digunakan sebagai antibiotik tuberkulosis (OAT) paru.
- Vitacur syr digunakan untuk suplemen menambah nafsu makan dan stamina dalam
masa pertumbuhan anak.
- Salbutamol digunakan untuk meredakan bronkospasme pada pasien karena
menderita asma.
- Dexamethasone injeksi digunakan untuk sebagai agen anti-inflamasi dan menekan
proses peradangan akut.
- Pemberian D 5 % digunakan sebagai terapi parenteral untuk memenehu kalori pada
pasien yang mengalami dehidrasi .
- Pemberian aminopilin digunakan pada obstruksi saluran napas reversibel, asma
akut dan berat.
- Injeksi ceftriaxon digunakan sebagai antibiotik untuk terapi infeksi saluran
pernpasan
- KAEN 1B + KCL sebagai terapi cairan elektrolit pada kasus emergensi (dehidrasi
karena asupan oral tidak memadai)
- Pemberian ventolin nebulizer digunakan untuk meredakan bronkospasme pada
89
asma dan bstruksi saluran napas.
Pasien masih Mencukupi kebutuhan asupan gizi
memungkinkan menjalani Menghindari makanan berlemak/ tinggi kolesterol
terapi non farmakologi - Menjaga pola makan
Menghindari stress
Terdapat duplikasi terapi - Tidak terdapat duplikasi terapi karena obat dengan mekanisme kerja yang berbeda- beda
dan telah sesuai dengan kebutuhan pasien.
- Ambroxol, obat yang dapat mngencerkan sekret saluran napas dengan jalan
memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.
- Paracetamol bekerja menghambat enzim cyclooxygenase, COX-1, COX-2, COX-
3 yang terlibat dalam pembentukan prostaglandin, substansi yang bertindak
mengatur sakit dan diketahui juga sebagai regulator panas pada hipotalamus.
Dengan berkurangnya produksi prostaglandin di otak maka efek rasa sakit dan
demam dapat berkurang.
- Rifampisin bekerja menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari
mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan terbentuknya rantai
dalam sintesis RNA.
- Isoniazid bekerja menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen
penting dalam din ding sel mikobakterium. Isoniazid merupakan prekursor obat
yang diaktifkan oleh Kat G, suatu katalase peroksidase milik mikobakterium.
Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen dengan protein pembawa
asam-asil (AcpM) DAN KasA, suatu sintase protein pembawa beta-ketoasil, yang
menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh sel.
- Pyrazinamid, turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid
jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap
bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH
netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan
bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam
suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah
oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat

- Vitacur syr mengandung kurkumin, kurkumin yang terkandung di dalam kunyit


90
memiliki khasiat yang dapat mempengaruhi nafsu makan karena dapat
mempercepat pengosongan isi lambung sehingga nafsu makan meningkat dan
memperlancar pengeluaran empedu sehingga meningkatkan aktivitas saluran
pencernaan
- Salbutamol bekerja relaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor
beta 2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme
fungsional terhadap bronkokonstriksi.
- Deksametason dengan inhibisi pelepasan asam arachidonat, modulasi substansi
yang berasal dari metabolisme asam arachidonat, dan pengurangan jumlah 5-HT3.
Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi
mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan
menekan respon imun. Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara
mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan
melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi
dengan reseptor protein yang spesiik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan
ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid.
- Aminopilin bekerja dengan menghambat enzim tostodiesterase (PDE) sehingga
mencegah pemecahan CAMP dan cGMP masing-masing menj adi 5'-AMP dan 5-
GMP. Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan CGMP dal am sel
sehingga menyebabkan rel aksası otot polos termasuk otot polos bronkus.
- Ceftriaxon dengan mekanisme kerja antimikroba dengan menghambat sintesis
dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga
dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.
- Dextrose bekerja dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air, dan menyediakan
3,4 kal/g d-glukosa. Dextrose adalah monosakarida dijaaikan sebagl sumber
energi bagi tubun. Dextrose juga berperana pada berbagai tempat metabolisme
protein dan lemak. Dextrose disimpan di tubuh sebagai lemak dan di otot dan hati
sebagai glikogen. Jika diperlukan untuk meningkatkan kadar glukosa secara cepat,
maka glikogen segera akan melepaskan glukosa. Jika suplai glukosa tidak

91
mencukupi maka tubuh akan memobilisasi cadangan lemak untuk melepaskan
atau menghasilkan energi. Dextrose juga mempunyai fungsi berpasangan dengan
protein (protein sparing). Pada keadaan kekurangan gukosa, energi dapat
dihasilkan dari oksidasi fraksi-fraksi asam amino yang terdeaminasi. Dextrose
juga dapat menjadi sumber asam glukoronat, hyaluronat dan kondroitin sulfat dan
dapat dikonversi menjadi pentose yang digunakan dalam pembentukan asam inti
(asam nukleat). Dextrose dimetabolisme menjadi karbondioksida dan air yang
bermanfaat untuk hidrasi tubuh.

Pasien mendapat √ Pasien mengalami efek samping dari pemberian obat rifampisin yaitu perubahan warna urin
penanganan terhadap efek menjadi merah.
samping yang seharusnya - Solusi : Berikan edukasi kepada keluarga pasien bahwa itu normal dan pengobatan dapat
dapat dicegah. diteruskan14

2. Kesalahan obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan telah disesuaikan dengan kondisi pasien:
- Ambroxol 3 x 6,5 mgpo: amlpdo[in diberikan dalam bentuk tablet karena pasien
tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Paracetamol sirup 4 x 1 ¼ sendok takar po: parasetamol diberikan dalam bentuk
sediaan sirup karena pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obatoral
- Rifampisin1 x 195 mgpo : rifampisin diberikan dalam bentuk tablet karena pasien
tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Isoniazid1 x 130 mg tablet po: isoniazid diberikan dalam bentuk tablet karena
pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Pirazinamid1 x 325 mgpo: pirazinamid diberikan dalam bentuk tablet karena
pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Vitacur sirup1 x 1 cthpo: vitacur diberikan dalam bentuk sirup karena pasien tidak
memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Salbutamol 3 x 1,6 mg po: salbutamol diberikan dalam bentuk tablet karena pasien
tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Dexametason injeksi 3 x 2 mgiv: dexametason diberikan dalam bentuk injeksi
92
agar mempercepat efek kerja obat
- Cefriaxon injeksi 1 x 650 mg iv: cefriaxon diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg iv: Ranitidine diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat
- KAEN 1B + KCL / 12 jam inf : KAEN 1B + KCL diberikan dalam bentuk injeksi
agar mempercepat efek kerja obat
- Ventolin nebulizer 2 x 1 : Ventolin nebulizer diberikan dalam bentuk inhaler agar
obat langsung ke paru-paru.
- Dextrosa 5% + aminofilin 75 mg/6 jam diberikan dalam bentuk injeksi yang agar
mempercepat efek kerja obat

Terdapat kontra indikasi - Tidak ada kontra indikasi pada pengobatan.

Kondisi pasien tidak dapat Kondisi pasien dapat disembuhkan oleh obat
disembuhkan oleh obat -

Obat tidak diindikasikan Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan indikasi. (penjelasan pada lembar
untuk kondisi pasien - pengkajian obat)

Terdapat obat lain yang - Pasien tidak ada mendapatkan terapi yang tidak diperlukan. Terapi yang diberikan
lebih efektif sesuai dengan indikasi yang diderita pasien.

3. Dosis tidak tepat


Dosis terlalu rendah - Dosis sudah tepat
Dosis terlalu tinggi -
keterangan : Dosis obat sesuai dengan literatur Dosis obat pasien BB = 13 kg
(IDAI)
a. Ambroxol

a.Paracetamol syr
Dosis anak = 15 mg/kgBB/kali
Dosis Maksimal = 90 mg/kgBB/hari
93
Tanggal :4 oktober 2021 – 11 oktober 2021
Dosis : 15 mg/kgBB/kali x 13 kg = 195 mg/kali
Dosis maksimal 1 hari= 90 mg/KgBB/hari x 13 kg = 1170 mg/hari
Dosis yang diberikan = 120mg/5 ml x 1 1 4 ⁄ cth = 150 mg/kali
= 150 mg x 3 = 450 mg/hari

b. Rifampisin
Dosis anak : 15 mg/KgBB/hari
Dosis maksimum : 500mg/hari
Tanggal : 6 oktober 2021 – 12 oktober 2021
Dosis : 15 mg/kgBB/ hari x 13 kg = 195 mg/hari
Dosis yang diberikan = 195 mg/hari

c. INH
Dosis anak : 10mg/KgBB/Hari
Dosis maksimal : 300mg /hari
Tanggal : 6 oktober 2021 - 12 oktober 2021
Dosis : 10mg/kgBB/ hari X 13 kg = 130 mg/hari
Dosis yang diberikan = 130 mg/hari

d. Pirazinamid
Dosis anak : 15-30mg/kgBB/hari
Dosis maksimum : 2 gram/hari
Tanggal : 6 Oktober 2021 – 12 oktober 2021
Dosis : 15 – 30 mg/kgBB/ hari X 13 kg = 195 - 390 mg/hari
Dosis yang diberikan = 325 mg/hari

e. Dexametason
Dosis anak : 0,1 – 0,25 mg/KgBB/kali
Tanggal : 4 - 9 Oktober 2021
Dosis = 0,1 x 0,25 mg/kgBB/kali x 13 kg = 1,3 – 3,25 mg/kali
= 1,3 – 3,25 mg/kali x 3 = 3,9 mg – 9,75 mg/hari
Dosis yang diberikan = 2 mg / kali
94
= 2 mg x 3 = 6 mg/hari

f. D 5% + Aminopilin
Aminopilin Dosis loading: 8mg/kg IV infus dalam 30 menit
Tanggal : 06 Oktober 2021- 7 oktober 2021
Dosis = 8 mg/kg x 13 kg = 104 mg
Dosis yang diberikan = 75 mg

g. Cefriaxon
Dosis anak: 50 – 100 mg/Kgbb/hari (buku obat dosis anak)
Tanggal : 05 oktober 2021 – 12 oktober 2021
Dosis = 50 –100 mg/KgBB/ hari x 13kg = 650 mg- 1300 mg/hari
Dosis yang diberikan = 650 mg/hari

h. Salbutamol
Dosis anak: 0,1 – 0,15 mg/Kgbb/kali (buku obat dosis anak)
Tanggal : 10 - 12 oktober 2021
Dosis = 0,1 –0,15 mg/KgBB/ kali x 13kg = 1,3 mg- 1,95 mg/kali
= 1,3 – 1,95 mg x 3 = 3,9 – 5,85 mg/hari
Dosis yang diberikan = 1,3 mg/kali
= 1,3 mg x 2 = 2,6 mg/hari

Frekuensi penggunaan - Frekuensi penggunaan obat yang diberikan sudah sesuai


tidak tepat - Ambroxol 3 x 6,5 mg (po), pagi, siang, malam
- Parasetamol syr4 x 1 ¼ sdm (po), pagi, siang, sore, malam
- Rifampisin1x 195 mg (po), pagi
- Isoniazid 1 x 130 mg (po), pagi
- Pirazinamid1 x 325 mg (po), pagi
- Vitacur syr 1 x 1 cth (po), sore
- Salbutamol 3 x 1,6 mg (po), pagi, siang, malam
- Inj dexametason 3 x 2 mg (iv), pagi, siang, malam
- Inj. Cefriaxon1 x 650 mg (iv), pagi
95
- KAEN IB + KCL /12 jam infus (iv),
- Ventolin nebu 2 x 1 (diberikan saat anak sesak, k/p)
- Dextrosa 5% + aminofilin 75 mg/6 jam (iv)
Penyimpanan tidak tepat - Proses penyimpanan obat sudah diletakkan pada tempat yang sesuai pada tempatnya.
Dimana obat disimpan dalam tempat obat pasien

Administrasi obat tidak - Administrasi sudah tepat


Tepat

Terdapat interaksi obat √ Ada interaksi obat 12


Paracetamol syr + Isoniazid = toksisitas parasetamol dapat meningkat
Mekanisme = metabolisme parasetamol yang diubah oleh isoniazid dengan menginduksi
sitokrom P450 isoenzim CYP2EI, sehingga toksisitas parasetamol dapat meningkat dan
menyebabkan hepatotoksisitas
Solusi: membatasi penggunaan parasetamol. Jika pemberian bersama kedua obat tidak
dapat dihindari, monitor pasien agar efek interaksi obat yang terjadi dapat diminimalisir.

Isoniazid + Rifampisin = mekanisme rifampisin meningkatkan metabolisme isoniazid


menjadi metabolik hepatotoksik.
Solusi = dilakukan pemantuan ketat fungsi hati13
4. Reaksi yang tidak
Diinginkan

Obat tidak aman untuk - Obat yang diberikan aman digunakan pasien. Pemberian terapi pada pasien telah
pasien disesuaikan dengan dosis yang tepat untuk pasien (lihat pada tabel DRP
perhitungan dosis)

Terjadi reaksi alergi - Tidak ada masalah. Karena pasien tidak mendapatkan obat cefotaxim, sehingga obat aman
digunakan pasien.

96
Dosis obat dinaikkan atau - Tidak terdapat peningkatan dan penurunan dosis pada terapi pasien, serta tidak ada
diturunkan terlalu cepat dosis terapi yang diberikan pada pasien terlalu tinggi.

Muncul efek yang tidak - Menurut pengamatan, tidak muncul efek yang tidak diinginkan selama pemberian
Diinginkan terapi seperti sinergis, adisi, potensiasi, dan antagonis

5. Ketidak sesuaian
kepatuhan pasien

Obat tidak tersedia - Tidak ada masalah untuk penyediaan obatpasien. Semua obat yang dibutuhkan
pasien telah tersedia di apotek rumah sakit

Pasien tidak mampu - Pasien mampu menyediakan obat karena pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS
menyediakan Obat

Pasien tidak bisa menelan - Pasien masih bisa menelan atau menggunakan obat
atau menggunakan obat

Pasien tidak mengerti - Instruksi penggunaan obat dijelaskan kepada keluarga pasien.
intruksi penggunaanobat - Ambroxol3 x 6,5 mg(po), pagi (08.00), siang (12.00), malam (20.00)
- Parasetamol syr4 x 1 1/4sdm (po),pagi (08.00), siang (12.00), sore (18.00) malam
(20.00)
- Rifampisin1x 195 mg (po), pagi(08.00)
- Isoniazid 1 x 130 mg(po), pagi(08.00)
- Pirazinamid1 x 325 mg (po), pagi (08.00)
- Vitacur syr 1 x 1 cth (po), sore (18.00)
- Salbutamol3 x 1,6 mg (po), pagi (08.00), siang (12.00), malam (20.00)
- Inj dexametason 3 x 2 mg (iv), pagi (08.00), siang (12.00), malam (20.00)
- Inj. Cefriaxon1 x 650 mg (iv), pagi (08.00)
- KAEN IB + KCL /12 jam infus (iv), pagi dan malam
- Ventolin nebu 2 x 1 (diberikan saat anak sesak k,/p)
- Dextrosa 5% + aminofilin 75 mg/6 jam (iv), pagi dnn malam

97
Pasien tidak patuh atau - Pasien patuh menggunakan obat. Obat-obatan untuk pasien rawat inap disediakan dalam
memilih untuk tidak bentuk UDD (Unit Dispensing Dose) untuk pemakaian 1 kali pakai, sehingga ketidak
menggunakan obat patuhan pada pasien dapat teratasi.

6. Pasien membutuhkan
terapi tambahan

Terdapat kondisi yang - Tidak ada kondisi yang tidak diterapi


tidak diterapi

Pasien membutuhkan obat - Pasien tidak membutuhkan obat lain yang sinergis
lain yang sinergis

Pasien membutuhkan - Pasien sudah diberikan terapi profilaksis terhadap kondisinya


terapi profilaksis

3.8.2 Lembar Pengkajian Obat

Jenis obat Rute Dosis Berhenti Indikasi obat Ketepatan Indikasi Komentar dan Alasan

98
Ambroxol 6,5 mg Po 1x1 - terapi mukolitik Tepat indikasi Terapi mukolitik sebagai sekretolitik pada gangguan
saluran napas.
Paracetamol sirup Po 4x1 - Terapi antipiretik Tepat indikasi Terapi untuk menurnkan panas pada pasien
1/4
cth
Rifampisin 195 mg Po 1x1 - Terapi antibiotik untuk Tepat indikasi Berdasarkan rekam medis pasien, pasien didiagnosa TB
mengatasi TB pada
pasien
Isoniazid 130 mg Po 1x1 - Terapi antibiotik untuk Tepat indikasi Berdasarkan rekam medis pasien, pasien didiagnosa TB
mengatasi TB pada pasien
Pirazinamid 325 mg Po 1x1 - Terapi antibiotik untuk Tepat indikasi Berdasarkan rekam medis pasien, pasien didiagnosa
mengatasi TB pada TB
pasien
Vitacur syr Po 1 x 1 cth - Untuk meningkatkan nafsu Tepat indikasi pasien tidak nafsu makan dan sebagai suplemen
makan pasien penambah nafsu makan

Salbutamol 1,6 mg Po 3x1 - Terapi asma dengan Tepat indikasi Pasien didiagnosa menderita asma
meredakan bronkospasme
Inj. Dexamethasone Iv 3 x 2 mg - sebagai agen anti inflamasi Tepat indikasi Pasien mengalami gangguan pernafasan
dan menekan proses
peradangan akut.

D 5 % drip + aminopilin Iv 159 tts/6 jam - obstruksi saluran napas Tepat indikasi Pasien mengalami gangguan pernafasan
reversibel, asma akut dan
berat.

Inj. Ceftriaxon 650 mg IV 1 x 650 mg iv sebagai antibiotik untuk Tepat indikasi Pasien mengalamiinfeksi saluran pernafasan
terapi infeksi saluran
pernpasan

KAEN 1 B + KCL IV /12 jam - terapi cairan elektrolit pada Tepat indikasi Pasien mengalami kekurangan cairan dan nutrisi
kasus emergensi (dehidrasi
karena asupan oral tidak
memadai)
Ventolin Nebu (k/p) Inhal 2x1 - Terapi asma dengan Tepat indikasi Pasien menglami sesak napas
asi meredakan bronkospasme

99
3.8.3 Lembar Kerja Farmasi

3.8.3.1 Pemantauan Efek Terapi (Asuhan Kefarmasian)

100
Tujuan Rekomendasi Parameter Hasil yang Monitoring 4-9-21 5-9-21 6-9-21 7-9-21 8-9-21 9-9-2021 10-10-2021 11-10-2021
Terapi Terapi Monitoring Diharapkan Frekuensi
Untuk Ambroxol 6,5 sputum Sputum encer Setiap hari Batuk Batuk Batuk Batuk (+) Batuk - Batuk (-) Batuk (-)
mengeluarkan lendir mg dan mudah berdaha dan (+) menurun
dari saluran dikeluarkan k pilek
pernapasan dan sehingga batuk
mengurangi cairan berkurang.
staknasi sekresi
Menurunkan demam Paracetamol Suhu tubuh Suhu tubuh Setiap hari 37,5 36,7 37,2 36,4 36 37,1 37,1 37
pada pasien syrup (oC) 36-37,5 °C

Untuk Rifampisin Uji Uji tuberkulin Satu kali Hasil Foto


menyembuhkan 195 mg tuberkulin (-), dan batuk (-) uju thorax :
pasien dan (+), dan tuberkul infiltrasi
mencegah batuk (+), in (+) dan
penyebaran lebih foto thorax kalsifikas
lanjut dari kuman i
TB.
Untuk Isoniazid 130 Uji Uji tuberkulin Satu kali Hasil Foto
menyembuhkan mg tuberkulin (-), dan batuk (-) uju thorax :
pasien dan (+), dan tuberkul infiltrasi
mencegah batuk, foto in (+) dan
penyebaran lebih thorax kalsifikas
lanjut dari kuman i
TB.
Untuk Pirazinamid Uji Uji tuberkulin Satu kali Hasil Foto
menyembuhkan 325 tuberkulin (-), dan batuk uju thorax :
pasien dan (+), dan (-) tuberkul infiltrasi
mencegah batuk, in (+) dan
penyebaran lebih foto thorax kalsifikas
lanjut dari kuman i
TB.

Menambah nafsu Vitacur syr Nafsu Nafsu makan Setiap hari Nafsu Nafsu Nafsu Nafsu Nafsu Nafsu Nafsu makan Nafsu
makani makan bertambah makan makan makan makan makan makan membaik makan
menurun menurun menurun menurun membaik membaik membaik

101
Terapi untuk Salbutamol 1,6 Laju P anak-anak Setiap hari 42 x/i 36 x/i 38 x/i 36/i 36/i 36/i 32 x/i 28 x/i
relasasi otot polos mg pernapasan =20-30x/i
jalan napas (kali/
menit)
Terapi untuk agen Inj. Gejala asma Pasien tidak Setiap hari Mengi (+) Mengi Mengi Mengi (+) Sesak Mengi
anti-inflamasi dan Dexamethason (mengi, mengalami Sesak (+) (+) Sesak nafas (+) (+)
menekan proses e ronki, sesak gejala asma nafas Sesak Sesak nafas (+) Sesak
peradangan akut. nafas) (+) nafas (+) nafas Ronki (-) nafas STOP
(+) (+)
Ronki Ronki (-)
(-)

Untuk terapi pelega D 5% drip Laju P anak-anak Setiap hari 42 x/i 36 x/i 38 x/i 36/i 36/i 36/i
(rekiever) untuk aminopilin pernapasan =20-30x/i
dilatasi jalan napas (kali/
melalui relaksasi menit) STOP
otot polos,
memperbaiki dan
atau menghambat
bronkonstriksi
Untuk terapi Injeksi Kadar PCT PCT = Satu kali 0,341
antibiotik pada ceftriaxon 650 dalam 0,108-0,282
penderita ISPA mg darah
(µg/l)

Terapi untuk KAEN 1B + Tidak Cairan Setiap hari Cairan tubuh Cairan tubuh
menggantikan KCl dehidrasi tubuh dan terpenuhi terpenuhi
cairan dan
elektrolit
nutrisi
terpenuhi

102
Terapi untuk Ventolin Napas Idak terjadi k/p 42 x/i 36 x/i 38 x/i 36/i 36/i 36/i 32 x/i 28 x/i
meredakan Nebulizer bronkospasme
bronkospasme dan obstruksi
pada asma dan saluran napas
obstruksi saluran
napas reversibel
lainnya.

103
3.8.3.2 Lembar Monitoring Efek Samping Obat

No Nama Obat Manifestasi ESO Regimen Cara Mengatasi ESO Evaluasi


Dosis Tgl Uraia
n
1 Ambroxol 6,5 ES ringan pada saluran cerna15 1 x 10 mg po Istirahat yang cukup, 04 – 11 Oktober Pasien tidak
mg Mengkonsumsi air putih yang mengalami efek
cukup samping

Paracetamol Reaksi hipersensitivitas, ruam 3 x 1 sdm Istirahat yang cukup, 04 – 11 Oktober Pasien tidak
2 syr kulit, kelainan darah, Mengkonsumsi air putih yang mengalami efek
hipotensi. Penggunaan jangka cukup. samping
Ruam : gunakan bedak salisil
panjang dan overdosis,
talk.
menyebabkan hepatotoksik15
3 Rifampisin Minor: Perubahan warna urin, 1 x 195 Mayor : Stop rifampicin, segera 06 – 12 Oktober Pasien
195 mg ludah, keringat, sputum, dan mg periksa fungsi hati. mengalami efek
air mata. Minor : Pasien harus diberi tahu samping
Gangguan gastrointestinal bahwa efek samping urin
(mual dan muntah), berwarna merah ini mungkin
Mayor: hepatotoksisitas3 terjadi dan normal3

4 Isoniazid Mayor: gangguan fungsi hati 1 x 130 Mayor : Stop INH bila ada 06 – 12 Oktober Pasien tidak
130 mg Minor: neuropati pertifer mg kecurigaan gangguan hati (kadar mengalami efek
peningkatan kadar transaminase telalu tinggi) , samping
transaminase darah yg tdk segera periksa fungsi hati.
terlalu tinggi dlm 2 bulan
pertama, tetapi menurun Neuropati perifer : Pemberian
sendiri tanpa pengehentian suplemen vitamin B6
obat. 3
5 Pirazinamid Minor: artralgia, hiperurisemia 1 x 325 mg Pasien tidak
325 mg jarang terjadi, anoreksia, dan Minor : pemberian aspirin atau 06 – 11 Oktober mengalami efek
iritasi saluran cerna. 3 NSAID atau paracetamol (NCBI, samping
Mayor : hepatotoksisitas3 2021). Istirahat yang cukup,
104
minum air putih yang cukup,
makan makanan bergizi.

Mayor : segera periksa fungsi


hati
6 Vitacur syr Jika dikonsumsi berlebihan 1 x 1 cth Istirahat yang cukup, makanan Pasien tidak
menyebabkan gangg. saluran yang bergizi 05 – 11 Oktober mengalami efek
penceranaan samping

7 Salbutamol Tremor otot skeletal, sakit 3 x 1,6 mg


1,6 mg kepala, agitasi, palpitasi, dan Istirahat yang cukup, makanan 10 – 11 Oktober Pasien tidak
takikardia. Ketidakseimbangan yang bergizi, pemantauan kadar mengalami efek
ventilasi dan perfusi sehingga kalium darah dan pemeriksaan samping
menimbulkan hipoksemia dan elektrokardiografi
dapat terjadi hipokalemia. 3
8 Inj. Sensitasi alergi, reaksi2 yg 3 x 2 mg IV Istirahat yang cukup 05 – 10 Oktober Pasien tidak
Dexamethas disebabkan komponen steroid mengalami efek
one beupa peningkatan tekanan samping
intraokular dgn kemunkinan
perkembangn terjadi
glaukoma15
9 D 5% drip Sakit kepala, insomnia, 159 tts/ 6 jam Istirahat yang cukup 05 – 10 Oktober Pasien tidak
aminopihili diuresis sementara, ganngguan mengalami efek
n GI16 samping

10 Injeksi Diare dan kolitis, mual dan 1 x 650 mg IV Istirahat yang cukup, 05 – 10 Oktober Pasien tidak
ceftriaxon muntah, rasa tdk enak pd Mengkonsumsi air putih yang mengalami efek
650 mg saluran cerna, sakit kepala, rx cukup samping
alergi berupa ruam15

105
11 KAEN 1 B Infus yang cepat toksik untuk /12 jam Pemberian dengan dosis yang 10 – 11 Oktober Pasien tidak
+ KCl jantung15 sesuai dengan kondisi pasien. mengalami efek
samping

12 Ventolin Sakit kepala, mual, pusing 2 x 1 (k/p) Pemberian bila perlu. 04 – 12 Oktober Pasien tidak
Nebu batuk, gugup, kram otot. mengalami efek
samping

106
BAB IV
PE MBAHASAN
4.1 Pembahasan
Seorang pasien anak laki-laki dengan inisial IA berumur 8 tahun dengan
berat badan 13 kg. Pasien mengalami keluhan utama sesak nafas 3 hari sebelum
masuk RS, sesak pada pagi hari, demam sejak 4 hari yang lalu dan batuk pilek 2
hari sebelum masuk RS. Pasien dirawat di bangsal anak ruang Melati 1 di Rumah
Sakit Otak DR. Drs. Muhammad Hatta pada tanggal 04 September 2021. Riwayat
penyakit sekarang sesak napas. Riwayat penyakit terdahulu pasien adalah asma
bronkial dan Cerebral Palsy.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
normal, nadi 110 kali/menit, pernafasan 36 kali/menit, suhu 36,7 oC, dan berat
badan 13 kg. Dari hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 12 oktober 2021
didapat hasil hematokrit 33 % (normal 37-47 %), eritrosit 4,25 juta/µL (normal
4,5-6,5 juta/µL), MCH 26, 5 (normal 27-31 pg), Netrolfil 43, 3% (normal 50-70
%), Limfosit 49,7% (normal 20-40%), PCT 0,341 % (normal 0,108-0,282 %),
PDW 8,6 (Normal 9,0-17,0 fl). Hasil tes tuberkulin menunjukkan hasil tes positif
dan hasil rontgen foto thorax adalah klasifikasi dengan infltrasi (+),dengan
demikian pasien didiagnosa positif Tuberkulosis. Selain itu pasien juga didiagnosa
menderita Infeksi Saluran Pernafaran Akut (ISPA/IRA) diagnosa tersebut
didukung oleh data laboratorium pasien yang menunjukkan adanya infeksi bakteri
yakni nilai Procalcitonin dalam darah (PCT). Hal ini sesuai dengan teori Iskandar
et al (2010) yang menyatakan bahwa di Indonesia, terdapat beberapa pemeriksaan
laboratorium yang tersedia untuk mendeteksi infeksi bakteri antara lain
procalcitonin (PCT), CRP, hitung leukosit, dan biakan bakteri 17. Penanda
inflamasi, seperti C-reactive protein (CRP), atau penilaian leukosit, tidak spesifik
untuk infeksi bakterial.Banyak bukti yang berkembang mendukung penggunaan
procalcitonin (PCT) untuk meningkatkan diagnosis infeksi bakterial dan sebagai
panduan terapi antibiotik. PCT berhubungan dengan muatan bakteri dan
keparahan dari infeksi18,19,20,21.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kepala, mata, THT, mulut, leher,
jantung, dada, perut, urogenital, anggota gerak, mukuloskeletal, dan kesadaran
dalam keadaan normal Sedangkan pemeriksaan paru adalah TB dan asma.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan fisik, maka
diagnosa utama pasien adalah asma serangan berat sedangkan diagnosa sekunder
pasien adalah ISPA, TB Paru, Cerebral Palsy.
Terapi yang diberikan di IGD adalah O2 3 L/Menit, D5% + drip Aminofilin
dalam 275 cc 159 tt/i, Inj. Dexamethasone 3 x 2 mg (IV), Ventolin Nebulizer (K/P),
inj. Ceftriaxon 1x650 mg (IV), Ambroxol 3x 6,5 mg dan Paracetamol sirup 4x1 ¼
cth. Lembar rekonsiliasi obat pasien menunjukkan adanya reaksi alergi terhadap
cefotaksim.
Berdasarkan wawancara dengan keluarga pasien, diketahui keadaan ibu
lemah saat sedang hamil pasien, pasien lahir dengan cara operasi dan berat badan
pasien saat lahir yaitu 3,1 kg. Tidak ada riwayat penyakit asma dalam keluarga
pasien. Pasien diketahui sudah mengalami kejang ringan sejak umur 4 bulan
dengan durasi kejang lebih kurang 10 detik. Leher pasien baru bisa di angkat sejak
umur 2 tahun dan pasien sudah mengalami sesak nafas sejak umur 5 tahun. Pasien
melakukan kontrol berulang dirumah sakit tiap 6 bulan atau paling banyak 3 kali
setahun. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa suhu tubuh pasien turun naik
sebelum masuk rumah sakit, pasien juga tidak selera makan, pasien tidak
mengkonsumsi nasi dan hanya mengkonsumsi makanan seperti kue, ubi, dll. Saat
ini pasien diketahui mengkonsumsi susu coklat. Selain itu, pasien tidak ada
riwayat penyakit lain sebelumnya yang berhubungan dengan ISPA.
Pada saat pasien dirawat (hari ke dua) pasien mendapatkan obat ambroxol
3x 6,5 mg dan Paracetamol sirup 4x1 ¼ cth, Inj. Dexamethasone 3 x 2 mg,Vitacur
syr 1 x 1 cth, D5% + drip Aminofilin dalam 275 cc 159 tt/i, inj. Ceftriaxon 1x 650
mg. Pada hari ketiga, pasien nilai foto thorax pasien yaitu infiltrasi (+) dan
kalsifikasi sehingga pasien diberi obat OAT yaitu rifampisin, INH, dan PZA. Pada
hari ke tujuh, pasien teri obat dan pemberian injeksi dexamethasone, D 5% drip
amonipilin di stop serta digantikan oleh KAEN 1 B + KCL.
Pada hari ke-semblian di rawat inap, pasien menunjukkan kondisi perbaikan
yang signifikan, sehingga pasien diperbolehkan pulang dengan tetap melanjutkan
terapi rawat jalan secara mandiri yakni terapi farmakologi (obat peroral dari RS)
dan terapi non-farmakologi menghindari pencetus asma, mejaga
sanitasi/kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal, menjaga sirkulasi baru
didalam rumah agar selalu berganti dengan udara yang baru.
Pemberian obat Paracetamol syr sebagai terapi antipiretik karena pasien
menderita demam. Paracetamol bekerja menghambat enzim cyclooxygenase,
COX-1, COX-2, COX-3 yang terlibat dalam pembentukan prostaglandin,
substansi yang bertindak mengatur sakit dan diketahui juga sebagai regulator
panas pada hipotalamus. Dengan berkurangnya produksi prostaglandin di otak
maka efek rasa sakit dan demam dapat berkurang. Dosis sekali pakai untuk anak
adalah 15 mg/KgBB/hari. Untuk anak dengan berat badan 13 kg adalah 195 mg/kali.
Maka dosis yang telah diberikan pada pasien ini sudah tepat. Dosis maksimal 1 hari yaitu
90 mg/KgBB/hari x 13 kg = 1170 mg/hari dan Dosis yang diberikan = 120mg/5 ml x 1 1
4 ⁄ cth adalah 150 mg/kali. Sehingga 150 mg x 3 = 450 mg/hari. Maka dosis yang telah
diberikan pada pasien ini sudah tepat.
Pemberian obat rifampisin digunakan sebagai antibiotik tuberkulosis (OAT)
paru.. Rifampisin bekerja menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari
mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan terbentuknya rantai
dalam sintesis RNA. Dosis sekali pakai untuk anak adalah 15 mg/kgBB/kali. Untuk
anak dengan berat badan 13 kg adalah 195 mg/kali. Dosis yang diberikan yaitu 195
mg/hari. Maka dosis yang telah diberikan pada pasien ini sudah tepat.
Pemberian obat isoniazid digunakan sebagai antibiotik tuberkulosis (OAT)
paru.. Isoniazid bekerja menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan
komponen penting dalam din ding sel mikobakterium. Isoniazid merupakan
prekursor obat yang diaktifkan oleh Kat G, suatu katalase peroksidase milik
mikobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen dengan
protein pembawa asam-asil (AcpM) DAN KasA, suatu sintase protein pembawa
beta-ketoasil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh sel. Dosis
harian untuk anak adalah : 10mg/KgBB/Hari. Untuk anak dengan berat badan 13 kg
adalah 130 mg/hari. Dosis yang diberikan 130 mg/hari. Maka dosis yang telah diberikan
pada pasien ini sudah tepat.
Pemberian obat pirazinamid digunakan sebagai antibiotik tuberkulosis
(OAT) paru. Pyrazinamid, turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif
terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada
keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini
merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada
dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan
diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat . Dosis harian
untuk anak adalah 15-30mg/kgBB/hari. Untuk anak dengan berat badan 13 kg adalah =
195 - 390 mg/hari. Dosis yang diberikan 325 mg/hari. Maka dosis yang telah diberikan
pada pasien ini sudah tepat.
Pemberian obat Salbutamol digunakan untuk meredakan bronkospasme pada
pasien karena menderita asma. Salbutamol bekerja relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor beta 2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP
dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi. Dosis sekali
pakai untuk anak adalah 0,1 – 0,15 mg/Kgbb/kali. Untuk anak dengan berat badan 13 kg
adalah 1,3 mg- 1,95 mg/kali dan untuk harian 1,3 – 1,95 mg x 3 = 3,9 – 5,85 mg/hari.
Dosis yang diberikan 1,3 mg/kali = 1,3 mg x 2 = 2,6 mg/hari. Maka dosis yang telah
diberikan pada pasien ini sudah tepat.
Pemberian obat Dexamethasone injeksi digunakan untuk sebagai agen anti-
inflamasi dan menekan proses peradangan akut. Deksametason merupakan
golongan kortikosteroid dengan mekanisme menginhibisi pelepasan asam
arachidonat, modulasi substansi yang berasal dari metabolisme asam arachidonat,
dan pengurangan jumlah 5-HT3. Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi
neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas
kapiler yang semula tinggi dan menekan respon imun. Deksametason bekerja
dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan
target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma
sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid. Dosis
sekali pakai untuk anak adalah 0,1 – 0,25 mg/KgBB/kali. Untuk anak dengan berat badan
13 kg adalah 1,3 – 3,25 mg/kali yaitu 1,3 – 3,25 mg/kali x 3 adalah 3,9 mg – 9,75
mg/hari. Dosis yang diberikan 2 mg x 3 = 6 mg/hari. Maka dosis yang telah diberikan
pada pasien ini sudah tepat.
Pemberian aminopilin digunakan pada obstruksi saluran napas reversibel,
asma akut dan berat. Aminopilin bekerja dengan menghambat enzim
tostodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan CAMP dan cGMP masing-
masing menj adi 5'-AMP dan 5-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan
akumulasi cAMP dan CGMP dal am sel sehingga menyebabkan rel aksası otot
polos termasuk otot polos bronkus. Aminopilin Dosis loading: 8mg/kg IV infus dalam
30 menit. Untuk anak dengan berat badan 13 kg adalah = 104 mg. Dosis yang diberikan
= 75 mg. Maka dosis yang telah diberikan pada pasien ini sudah tepat.
Ceftriaxon merupakan golongan sefalosporin generasi ke 3 yang digunakan
sebagai antibiotik untuk terapi infeksi saluran pernpasan. Ceftriaxon dengan
mekanisme kerja antimikroba dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel. Dosis anak ceftriaxon 50 – 100 mg/Kgbb/hari. Untuk anak
dengan berat badan 13 kg adalah 650 mg- 1300 mg/hari. Dosis yang diberikan = 650
mg/hari. Maka dosis yang telah diberikan pada pasien ini sudah tepat.
Ventolin nebulizer diberikan kapan perlu saja, obat ini mengandung zat aktif
salbutamol untuk mengobati dan mencegah penyempitan otot-otot yang melapisi
bronkus di paru-paru (bronkospasme) pada penderita asma. Selain ventolin
nebulizer, pasien juga menerima salbutamol peroral dengan dosis 1,3 mg 1 kali
sehari yang bertujuan untuk mengatasi gangguan pernafasan pasien akibat asma
dan infeksi saluran pernafasan akut.
IVFD KAEN 1B + KCL digunakan untuk mencukupi cairan, elektrolit dan
nutrisi pasien. Semua obat yang diberikan kepada pasien sudah sesuai baik
indikasi, interval, cara dan waktu pemberian, rute dan lama pemberian obat telah
sesuai.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
 Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa dari data
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, diagnosa utama
asma serangan berat dan diagnosa sekunder TB, ISPA dan Cerebral
Palsy.
 Terapi obat yang dipilih pada kondisi pasien sudah tepat dan tidak
terdapatnya DRP pada kasus ini.

5.2 Saran
a. Disarankan ke keluarga pasien untuk menghindari pencetus asma pada
pasien
b. Menjaga sanitasi/kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal
c. Menjaga sirkulasi baru didalam rumah agar selalu berganti dengan udara
yang baru
d. Dianjurkan pasien untuk rutin dan teratur minum obat.
e. Menjaga pola makan, perbanyak makan sayur dan buah.
DAFTAR PUSTAKA

1.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
2.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
3.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi
Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
4.
Tanto C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Essentials Medicine.
5.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
6.
Saharso D. 2006. Cerebral Palsy Diagnosis Dan Tatalaksana. Surabaya:
OpenUrika(Relative Multimedia).
7.
Marcdante. Karen. J., Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Essensial. Edisi Keenam.
Diterjemahkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
8.
Kemenkes RI. 2016. Petunjuk Teknis Managemen Dan Tatalaksana TB Anak.
Jakarta : Kemenkes RI.
9.
WHO. 2020. Pusat Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut Berat.
10.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak (BAB 6
Kelainan Perkembangan). Jakarta: IDAI.
11.
Katheme, B, Sims, dkk. 2014. Hanbook Of Pediatric Neurologi. USA :
Lippincoot Williams & Wilkins.
12.
David S. Tatro. (2009). Drug Interaction Facts. Fact and Comparisons
Publising Group dalam Journal Saintech Farma Potensi Interaksi Obat Anti
Tuberkulosis di Instalasi Rawat Inap RSUD X Jakarta Periode 2016. 23-31.
USA
13.
Fita Rahmawati, Rini Handayani, Vivi Gosal. (2006). Kajian Retrospektif
Interaksi Obat di Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta dalam
Journal Saintech Farma Potensi Interaksi Obat Anti Tuberkulosis di Instalasi
Rawat Inap RSUD X Jakarta Periode 2016. Majalah Farmasi Indonesia, 17(4),
177-183.
14.
IDAI. 2013. Formularium Spesialitik Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
15.
Badan POM RI. 2015. Pusat Informasi Obat Nasional.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/52-tuberkulosis-dan-leprosi/521-
antituberkulosis diakses tanggal 15 oktober 2021
16.
Medscape. 2018. Medscape Apps. New York
17.
Iskandar, H.R., Pudjiadi, A., Mulyo, D., Pratiwi, A., Suryatin, Y. 2010. Sari
Pediatri. Vol: 12(4): 233.
18.
Schuetz P, Crain MC, Mueller B. 2008. Procalcitonin and other biomarkers for
the asessment of disease severity and guidance of treatment in bacterial
infections. Advances in sepsis vol 6 no 3.
19.
Pangalila FJ. 2013. Biomarker infeksi-sepsis: Penatalaksanaan infeksi pada
penderita penyakit kritis. Perhimpunan dokter intensive care indonesia,
Jakarta.p.30-7.
20.
Maskoen TT. 2014. Epidemiologi dan predisposisi sepsis: Penatalaksanaan
sepsis dan syok. septik: Surviving sepsis campaign bundle.Perhimpunan dokter
intensive care indonesia, Jakarta: Universitas Sumatera Utara.
21.
Schuetz P, Albrich W, Mueller B. 2011. Procalcitonin for diagnosis of
infection and guide to antibiotic decisions: past, present and future. BMC
medicine 2011, 9:107

Anda mungkin juga menyukai