i
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh
Anandha Rizka Amalia, S.Ked
G1A220096
PEMBIMBING
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session ini dengan judul “Enchepalitis + Pneumonia + Oral Candidiasis
Anemia + Diare tanpa dehidrasi + Resiko gizi lebih”. CRS ini merupakan
bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Irawan Anasta Putra, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga CRS ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan CRS ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
`
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Tanggal : 21/3/2021
Diberikan oleh : Ibu Pasien
A. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran ±3 jam SMRS
2. Keluhan Tambahan : Kejang, demam, batuk, pilek
`
disertai dengan darah. BAK anak normal. Terdapat bercak putih pada
ujung lidah pasien tanpa disertai keluhan. Riwayat makan anak, hanya
ASI dan bubur saring. Orang tua pasien tidak tau sudah berapa lama
pasien menderita plak tersebut.
5 hari SMRS, demam, batuk dan pilek masih dirasakan. Pasien juga
mengeluhkan sesak napas, sesak napas dirasakan terus-menerus,
memberat dengan posisi tidur terlentang, berkurang saat pasien dalam
posisi duduk atau kepala nya sedikit dinaikkan. pasien menjadi lebih
terlihat gelisah dan rewel. BAB cair sebanyak 2x/hari disertai lendir
tanpa darah.
4 hari SMRS, pasien kembali kejang diseluruh tubuh dirasakan ±5
menit, juga dengan penurunan kesadaran setelah kejang.disertai dengan
demam. Lalu pasien dibawa ke IGD RS Arafah,anak kembali kejang di
seluruh tubuh selama ±2 menit dan terjadi penurunan kesadaran, juga
disertai demam.
Pasien dibawa ke IGD RSUD Raden Mattaher membawa rujukan
dari RS Arafah dengan penurunan kesadaran setelah kejang sejak 3 jam
SMRS. Keluhan lain adalah demam, sesak, batuk dan pilek. Pasien
dirawat di ruangan PICU. Saat PICU, pada hari rawat pertama anak
kembali kejang sebanyak 4 kali selama 2-3 menit pada mata, bibir, dan
seluruh tubuh tanpa disertai demam, dengan pasien tidak sadar baik
sebelum dan sesudah kejang. Saat keadaan pasien mulai stabil, dan
kejang tidak dirasakan kembali dalam 8 jam penghentian pemberian
antikejang, pasien dipindahkan ke ruangan bangsal anak pada hari sabtu,
22 Mei 2021.
`
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-)
Tidak ada keluarga dengan riwayat kejang atau epilepsi.
Riwayat makanan
ASI : Sejak lahir hingga sekarang
Susu botol/kaleng : Sejak dirawat di PICU
Nasi lembek : Umur 3 bulan
`
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Keluarga
Perkawinan :
Umur :
Pendidikan : SD
Penyakit yang pernah diderita : -
Saudara : 3 saudara
Riwayat Pertumbuhan
Berat badan lahir : tidak diukur
Panjang badan lahir : tidak diukur
Lingkar kepala lahir : tidak diukur
Lingkar perut lahir : tidak diukur
Berat badan : 11 kg
Panjang badan : 77 cm
Lingkar kepala : 44 cm
Lingkar lengan atas : 14 cm
Lingkar perut : 46 cm
Riwayat perkembangan
Gigi pertama : -
Tengkurap : 5 bulan
Merangkak :-
Duduk : -
Berdiri : -
Berjalan : -
Berbicara : -
Sering mimpi :-
Aktifitas : Normal
Membangkang :-
`
Ketakutan :-
Kesan : Perkembangan terlambat
Status gizi
Usia 9 bulan dengan berat badan 11 kg dan panjang badan 77 cm. (IMT:
18,55)
- BB/U = >+1 SD Kesan: Resiko berat badan lebih
- PB/U = > -2 SD s.d +3 SD Kesan: Normal
- BB/PB = > +1 SD s.d + 2 SD Kesan: Resiko gizi lebih
- IMT/U = >+1 SD Kesan :Resiko gizi lebih
`
GCS : E2M5V3 = 10
b. Pengukuran
Tanda vital TD :-
Nadi : 150 x/menit, kuat angkat
RR : 46 x/menit
Suhu : 38,2 °C
SpO2 : 91% dengan nasal canul 2 LPM
c. Pemeriksaan Fisik
Mata : Konjungtiva anemis (+/+)
Mulut : Plak putih diujung lidah
Thorax : Retraksi IC (+), Ronki basah halus nyaring (+/+)
`
Alopesia :-
Lain-lain :-
Mata
Palpebra : Nistagmus (-/-) Edema (-/-), cekung (-)
Alis dan bulu mata : Hitam
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : (-/-)
Serumen : (+/+) minimal
Nyeri tekan : (-/-)
Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret : +/+ minimal
Epistaksis : - /-
Lain-lain :-
Mulut dan Gigi
Bentuk : Simetris
Bibir : Sianosis (-) kering (-)
Karies :-
Lidah : Plak putih (+)
Faring
Hiperemis :-
Edema :-
Membran / pseudomembran : -
Tonsil
Warna : Merah muda
Pembesaran :-
Abses / tidak :-
`
Membran / pseudomembran : -
e. Leher
Pembesaran kelenjar leher : -
Kaku kuduk :-
Massa :-
f. Thoraks
Paru
Inspeksi Bentuk : Simetris
Nafas kusmaul : (-)
Retraksi : (+) IC
Sternum : ditengah
Auskultasi Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan : Ronkhi basah halus nyaring (+/+),
wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis terabad di ICS V linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : BJ I BJ II Reguler
g. Abdomen
Inspeksi Bentuk : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi Turgor : Kembali dalam waktu <2 detik
h. Ekstremitas : akral hangat, CRT normal
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Tanda perangsang selaput otak:
- Kaku kuduk: (-)
- Brudzinsky I: (-)
- Brudzinsky II: (-)
- Kernig: (-)
`
Refleks patologis: Refleks fisiologis:
- Babinsky: (-/-) - Reflek bisep: (+/+)
- Chaddok: (-/-) - Reflek trisep: (+/+)
- Gordon: (-/-) - Reflek patella: (+/+)
- Oppenheim: (-/-) - Reflek achilles: (+/+)
Kimia Klinik
`
Na 138.8 136-146 mmol/L
K 3.51 3,34 – 5,1 mmol/L
Cl 102.6 98-106 mmol/L
Hasil:
Pemeriksaan radiografi Toraks proyeksi AP:
Jantung kesan tidak membesar
Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar
Trakea ditengah. Kedua hilus tidak menebal
Infiltrat di perihiler dan parakardial bilateral
Kedua hemidiafragma licin. Kedua kostofrenikus lancip
Jaringan lunak dinding dada terlihat baik
Kesan:
`
Cor dalam batas normal
Infiltrat di perihiler dan parakardial bilateral DD/Bronchopneumonia
Hasil:
Telah dilakukan pemeriksaan Ct scan kepala tanpa kontras, hasil sbb:
Sulci cerebri dan fissure Sylvi tidak melebar
Tak tampak jelas lesi patologis di intraprenkhimal cerebrum dan cerebellum
`
Thalamus, pons, dan medulla oblongata tak tampak kelainan
Sistem ventrikel dan sisterna tidak melebar
Tak tampak pergeseran garis tengah
Sella dan parasella tak tampak lesi
Kedua orbita, sinus paranasal, dan mastoid tak tampak kelainan
Sutura-sutura tampak terbuka (Sesuai usia)
Kesan:
Tidak tampak jelas lesi patologis di intraparenkhimal cerebrum dan cerebellum
Urinalisa 24/05/21
Faeces 24/05/21
`
Warna Kuning Kehijauan Kuning
Konsistensi Cair Lunak
Darah Negative Negative
Telur cacing Negative Negative
Lendir Positive Negative
Leukosit 0-1 0-1
Eritrosit 1-2 0-1
Sisa makanan Negative Negative
Bakteri Positive Negative
`
SGPT 94 14-63 u/l
2. Impresi
EEG saat perekaman ini abnormal mengindikasikan adanya gelombang
epileptogenicity di region frontal kiri.
Hematologi 27/02/21
2.8 PENATALAKSANAAN
A. PICU
1. O2 Nasal kanul 2 lpm
`
2. IVFD D5 1/4 NS 750cc/hari
3. Inj. Ceftriaxone 1x1 gr IV
4. Inj. Deksametason 3x1 mg IV
5. Inj.Phenitoin 2x25 mg
6. Inj.Manitol 3x20cc
7. Nystatin 4x1 ml
8. Zinc 1x20 mg
9. Paracetamol 10cc IV (jika demam ≥38℃)
10. Diet susu 8x30cc via OGT
B. BANGSAL
1. Inj. PCT syr 6 cc (jika demam ≥38℃)
2. IVFD D5 ¼ NS 1000cc/24 jam
3. Inj. Ceftriaxone 1x1 gr
4. Inj.Fenitoin 2x50 mg
5. Zinc.syr 1x 20 mg
6. Nebu ventilator/8 jam
7. Nystatin 4x1 ml
8. Diet ASI + Bubur saring 3x1 hari
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
2.9 Follow Up
`
Tanggal S O A P
Bangsal
24/05/202 Anak Keadaan Enchepalitis - Inj. PCT syr 6 cc (jika
1 tampak umum : + Pneumonia demam ≥38℃)
lemas tampak + Oral - IVFD D5 ¼ NS 1000cc/24
Demam (+) Sakit Candidiasis + jam
Batuk (+) sedang Anemia+Diar - Inj. Ceftriaxone 1x1 gr
Sesak (+) Kesadaran e tanpa - Inj.Fenitoin 2x50 mg
Retraksi (+) : Compos dehidrasi+ - Zinc.syr 1x 20 mg
mentis, Resiko Gizi - Nebu ventilator/8 jam
GCS : 15 Lebih - Diet ASI + Bubur saring
(E4V5M6) 3x1 hari
N : 125x/i
RR : 44
x/i
T : 38 ˚C
SPO2:
98%
25/05/21 - Keadaan Enchepalitis - IVFD D5 ¼ NS
umum : + Pneumonia 1000cc/hr
tampak + Oral - Inj.PCT syr6 cc (jika
sakit Candidiasis + demam ≥38℃)
sedang Anemia+Diar - Zinc syr 1x20 mg
Kesadaran e tanpa - Diet ASI dan bubur
: Compos dehidrasi+ saring 3x1 hari
mentis, Resiko Gizi
GCS : 15 Lebih
(E4V5M6) Pro EEG
N : 164x/i
`
RR : 41
x/i
T : 37.1
˚C
SPO2:
92%
27/05/21 BAB cair Keadaan Enchepalitis - Phenitoin oral 50 mg 2x1
1x/hari umum : + Pneumonia - IVFD D5 ¼ NS
tampak + Oral 1000cc/hr
sakit Candidiasis + - Inj.PCT syr6 cc (jika
sedang Anemia+Diar demam ≥38℃)
Kesadaran e tanpa - Zinc syr 1x20 mg
: Compos dehidrasi+ - Nebu ventolin combivent
mentis, Resiko Gizi
GCS : 15 Lebih
(E4V5M6)
N : 145x/i
RR : 45
x/i
T : 37.1
˚C
SPO2:
97%
`
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.2
2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak
balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit system respiratori, terutama pneumonia.7
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada
anak di bawah umur 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Setiap tahunnya, pneumonia selalu berada pada daftar 10
penyakit terbesar di fasilitas kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2013, prevalensi
pneumonia pada pada bayi adalah 18,5%. Sebesar 15,5% kematian bayi
disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian
pertahun pada anak balita di negara berkembang.7
2.1.3 Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
`
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.7
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan
tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas
kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.7
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data
di Negara maju dapat dilihat di tabel.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.
`
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
tahun – remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza / Parainfluenza
2.1.4 Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut: 7
Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.7
Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia Kesadaran turun, Kesadaran turun,
Sangat Berat letargis letargis
Tidak mau menetek / Tidak mau minum
minum Kejang
Kejang Sianosis
Demam atau Malnutrisi
`
hipotermia
Bradipnea atau
pernapasan ireguler
Pneumonia Napas cepat Retraksi (+)
Berat Retraksi yang berat Masih dapat minum
Sianosis (-)
Pneumonia Takipnea
Ringan Retraksi (-)
`
2.1.5 Patofisiologi
`
2.1.6 Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi
gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-
kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
- Gejala infeksi umum, yaitu: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti: mual, muntah atau diare;
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.
Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat:
- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun – 5 tahun: > 40 kali/menit
Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut:
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
`
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini:
- Napas cepat:
o Anak umur < 2 bulan: > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan: > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun: > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun: > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar:
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
-
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
-
Kejang, letargis atau tidak sadar
-
Sianosis
-
Distres pernapasan berat.10
2.1.7 Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan
infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi
terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
Pemeriksaan Fisik
`
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2
dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-
40.000 /mm2 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau
darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan radiologi
`
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto
rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan
bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.
`
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri,
atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi
bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap
terapi antibiotik.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru.11,12
2.1.8 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia
Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di
rumah
`
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan
pengalaman empiris yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan
mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta epidemiologis.
Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia
ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan
efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah
Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien
HIV diberikan selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol
ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak
memburuk, tidak bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali:
- Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu
makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
- Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada
perubahan, ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk
kembali lagi.
`
- Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani
sesuai pedoman di bawah ini.
Pneumonia rawat inap
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberikan respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral
(15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau
IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB
IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali
pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau
diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara
kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau
sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan
untuk anak dengan pneumonia
`
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman
pasien (Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi
setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi
oksigen
Nutrisi
- Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per
oral, harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube
(NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT
dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan ukuran
lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya
menggunakan yang terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami
overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi
hormon antidiuretik
Kriteria pulang:
-
Gejala dan tanda pneumonia menghilang
-
Asupan peroral adekuat
-
Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
-
Keluarga mengert dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan
dirumah.8,10,11,12
2.1.9 Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan
`
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-
duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi
dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.13,14
2.2 Encephalitis
2.2.1. Definisi
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri,
cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Ensefalitis adalah infeksi yang
mengenai system saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus atau
mikroorganisme lain yang non purulen. Penyebab tersering dari ensefalitis adalah
virus, kemudian herpes simpleks, arbovirus, dan jarang disebabkan oleh
enterovirus, gondongan, dan adenovirus. Ensefalitis bias juga terjadi pada pasca
infeksi campak, influenza, varisella, dan pascavaksinasi Pertusis.
Ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus.
Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis,
atau komplikasi dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau
sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan protozoa seperti
toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat
menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang.
Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap tengkorak dan
menyebabkan kematian.
2.2.2 Epidemiologi
Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. Sekitar 150-
3000 kasus, yang kebanyakan ringan dapat terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat. Kebanyakan kasus herpes virus ensefalitis di Amerika Serikat. Arboviral
ensefalitis lebih lazim dalam iklim yang hangat dan insiden bervariasi dari daerah
ke daerah dan dari tahun ke tahun. St Louis ensefalitis adalah tipe yang paling
umum, ensefalitis arboviral di Amerika Serikat, dan ensefalitis Jepang adalah tipe
yang paling umum di bagian lain dunia. Ensefalitis lebih sering terjadi pada anak-
`
anak dan orang dewasa muda.
2.2.3 Etiologi
Bakteri penyebab ensefalitis adalah staphylococcus aureus, streptokous, E.
serebri sehingga terbentuk abses serebri. Ensefalitis bakterial akut sering disebut
b. Virus
c. Jamur
kesadaran menurun. Suhu badan meningkat, fotofobia, sakit kepala, muntah letargi,
berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama berupa Trias ensefalitis yang
terdiri dari demam, kejang, dan penurunan kesadaran. Manifestasi klinis ensefalitis
sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya
bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa prodormal berlangsung antara 1-4
hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan,
malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang
Pada ensefalitis supuratif akut yang berkembang menjadi abses serebri, akan
timbul gejala-gejala sesuai dengan proses patologis yang terjadi di otak. Gejala-gejala
`
tersebut adalah infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu
nyeri kepala yang kronik, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun.
Gejala klinis ensefalitis pada anak umur lebih 2 tahun lebih khas dibandingkan
anak yang lebih muda. Gejala tersebut antara lain terdapatnya panas, menggigil,
muntah, nyeri kepala, kejang, gangguan kesadaran, dan yang paling utama terdapatnya
tanda-tanda rangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan
Laseque. Yang membedakan meningitis dan ensefalitis dari segi pemeriksaan fisik
kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque, sedangkan pada ensefalitis tidak
2.2.5 Patofisiologi.19
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran
cerna, setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh
dengan secara local: aliran virus terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan
atau organ tertentu, penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah,
kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut dan
menyebar melalui syaraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lender dan
menyebar melalui system persyarafan. Setelah terjadi penyebaran ke otak timbul
manifestasi klinis ensefalitis. Masa Prodromal berlangsung selama 1-4 hari
ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorok, malaise,
nyeri ekstremitas dan pucat.
`
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak.
Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-
pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang
mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak
disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi
infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah
dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis.2
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus
yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus
herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk
ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal,
kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di
pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde
axoplasmic spread misalnya oleh virus- virus herpes simpleks, rabies dan herpes
zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis
aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron
dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh
darah kecil, trombosis, dan mikroglia.2Amuba meningoensefalitis diduga melalui
berbagai jalan masuk, oleh karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat
hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran
`
pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.20
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari
penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan
daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam
bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang
mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai
manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh
lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus
meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang
nyata misalnya mikrosefalus, dll.1
2.2.6 Diagnosis
Selain berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang muncul, ada beberapa
`
pemeriksaan penunjang yang mampu mendiagnosis meningoensefalitis. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis
ensefalitis adalah pemeriksaan pungsi lumbal, pemeriksaan darah, dan
pemeriksaan radiologis.
1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
`
Jenis sel Predominan PMN Predominan MN Predominan MN
Protein Sedikit meningkat Normal/meningkat Meningkat
2. Pemeriksaan Darah
3. Pemeriksaan Radiologis
2.2.7 Penatalaksanaan
`
disebabkan oleh bakteri dapat diberikan klorampenikol 50-75 mg/kg bb/hari
maksimum 4 gr/hari.13,24
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah
sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan
tersebut adalah mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan
perawatan pasien koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian
makanan secara enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, koreksi terhadap gangguan asam basa darah.
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan
fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan
apabila pasien panas. Apabila didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial
dapat diberi Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari dilanjutkan pemberian 0,25-0,5
mg/kgBB/hari. Pemberian Dexamethasone tidak diindikasikan pada pasien tanpa
tekanan intrakranial yang meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol
juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.
Perawatan yang baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik
pada pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada
tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada
pasien herpes ensefalitis (EHS) dapat diberikan Adenosine Arabinose 15
mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada beberapa penelitian dikatakan
pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes ensefalitis dapat menurunkan angka
kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini Acyclovir IV telah terbukti lebih baik
dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan pertama. Dosis Acyclovir 30
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.
2.2.8 Prognosis
Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan kerusakan
otak permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar, masalah berbicara,
kehilangan memori, atau berkurangnya kontrol otot.
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan
umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim
maka prognosisnya jelek dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual,
`
motorik, psikiatri, epileptik, penglihatan atau pendengaran. Sekuele berat juga
harus dipikirkan pada infeksi yang disebabkan oleh virus Herpes simpleks.
`
2.3 Kandidiasis Oral
2.3.1 Definisi
Kandidiasis oral adalah salah satu infeksi fungal yang mengenai mukosa
oral. Lesi ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Candida albicans adalah
salah satu komponen dari mikroflora oral dan sekitar 30-50% orang sebagai karier
organisme ini. Tedapat lima tipe spesies kandida yang terdapat di kavitas oral,
diantaranya adalah:
1. Candida albicans
2. Candida tropicalis
3. Candida krusei
4. Candida parapsilosis
5. Candida guilliermondi
Dari kelima tipe tersebut, Candida albicans adalah yang paling sering
terdapat pada kavitas oral. Candida albicans merupakan fungi yang menyebabkan
infeksi opurtunistik pada manusia. Salah satu kemampuan yang dari Candida
albicans adalah kemampuan untuk tumbuh dalam dua cara, reproduksi dengan
tunas, membentuk tunas elipsoid, dan bentuk hifa, yang dapat meningkatkan
misela baru atau bentuk seperti jamur.
`
2. Faktor Host
a. Faktor lokal
Fungsi kelenjar saliva yang terganggu dapat menjadi predisposisi dari
kandidiasis oral. Sekresi saliva menyebabkan lemahnya dan membersihkan
berbagai organisme dari mukosa. Pada saliva terdapat berbagai protein-protein
antimikrobial seperti laktoferin, sialoperoksidase, lisosim, dan antibodi
antikandida yang spesifik. Penggunaan obat-obatan seperti obat inhalasi steroid
menunjuka peningkatan resiko dari infeksi kandidiasis oral. Hal ini disebabkan
tersupresinya imunitas selular dan fagositosis.
Penggunaan gigi palsu merupakan faktor predisposisi infeksi kandidiasis
oral. Penggunaan ini menyebabkan terbentuknya lingkungan mikro yang
memudahkan berkembangnya jamur kandida dalam keadaan PH rendah, oksigen
rendah, dan lingkungan anaerobik. Penggunaan ini pula meningkatkan
kemampuan adhesi dari jamur ini.
b. Faktor sistemik
Penggunaan obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dapat
mempengaruhi flora lokal oral sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai
untuk jamur kandida berproliferasi. Penghentian obat-obatan ini akan mengurangi
dari infeksi jamur kandida. Obat-obatan lain seperti agen antineoplastik yang
bersifat imunosupresi juga mempengaruhi dari perkembangan jamur kandida.
Beberapa faktor lain yang menjadi predisposisi dari infeki kandidiasis oral adalah
merokok, diabetes, sindrom Cushing’s serta infeksi HIV. Secara umum presentasi
klinis dari kandidiasis oral terbagi atas lima bentuk: kandidiasis
pseudomembranosa, kandidiasis atropik, kandidiasis hiperplastik, kandidiasis
eritematosa atau keilitis angular. Pasien dapat menunjukan satu atau kombinasi
dari beberapa presentasi ini.
`
2.3.3 Klasifikasi
1. Kandidiasis pseudomembranosa
Kandidiasis pseudomembranosa secara umum diketahui sebagai thrush,
yang merupakan bentuk yang sering terdapat pada neonatus. Ini juga dapat terlihat
pada pasien yang menggunakan terapi kortikosteroid atau pada pasien dengan
imunosupresi. Kandidiasis pseudomembran memiliki presentasi dengan plak putih
yang multipel yang dapat dibersihkan. Plak putih tersebut merupakan kumpulan
dari hifa. Mukosa dapat terlihat eritema. Ketika gejala-gejala ringan pada jenis
kandidiasis ini pasien akan mengeluhkan adanya sensasi seperti tersengat ringan
atau kegagalan dalam pengecapan.
2. Kandidiasis atropik
Kandidiasis atropik ditandai dengan adanya kemerahan difus, sering
dengan mukosa yang relatif kering. Area kemerahan biasanya terdapat pada
mukosa yang berada dibawah pemakaian seperti gigi palsu. Hampir 26% pasien
dengan gigi palsu terdapat kandidiasis atropik.
3. Kandidiasis hiperplastik
Kandidiasis hiperplastik dikenal juga dengan leukoplakia kandida.
Kandidiasis hiperplastik ditandai dengan adanya plak putih yang tidak dapat
deibersihkan. Lesi harus disembuhkan dengan terapi antifungal secara rutin.
4. Kandidiasis eritematosa
Banyak penyebab yang mendasari kandidiasis eritematosa. Lesi secara
klinis lesi timbul eritema. Lesi sering timbul pada lidah dah palatum. Berlainan
dengan bentuk kandidiasis pseudomembran, penderita kandidiasis eritematosa
tidak ditemui adanya plak-plak putih. Tampilan klinis yang terlihat pada
kandidiasis ini yaitu daerah yang eritema atau kemerahan dengan adanya sedikit
perdarahan di daerah sekitar dasar lesi. Hal ini sering dikaitkan terjadinya keluhan
mulut kering pada pasien. Lesi ini dapat terjadi dimana saja dalam rongga mulut,
tetapi daerah yang paling sering terkena adalah lidah, mukosa bukal, dan palatum.
`
Kandidiasis eritematosa dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu :
Tipe 1 : inflamasi sederhana terlokalisir atau pinpoint hiperemia.
Tipe 2 : eritematosa atau tipe sederhana yang umum eritema lebih tersebar
meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigi tiruan,
Tipe 3 : tipe granular (inflamasi papilla hiperplasia) umumnya meliputi bagian
tengah palatum durum dan alveolar ridge.
5. Keilitis angular
Keilitis angular ditandai dengan pecahpecah, mengelupas maupun ulserasi
yang mengenai bagian sudut mulut. Gejala ini biasanya disertai dengan kombinasi
dari bentuk infeksi kandidiasis lainnya, seperti tipe erimatosa.
2.3.4 Diagnosis
Kandidiasis oral didiagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dan gejalanya.
Adapun tes tambahan yaitu:
1. Sitologi eksfoliatif
2. Kultur
3. Biopsi jaringan
`
2.3.5 Terapi
Adapun manajemen terapi yang dilakukan pada kandidiasis oral adalah
dengan pengobatan secara topikal. Setelah dilakukan pengobatan topikal maka
dilanjutkan pengobatan selama dua minggu setelah terjadinya resolusi pada lesi.
Ketika terapi topikal mengalami kegagalan maka dilanjutkannya terapi sistemik
karena gagalnya respon obat adalah merupakan pertanda adanya penyakit sistemik
yang mendasari. Follow up setelah 3 sampai 7 hari pengobatan untuk mengecek
efek dari obat-obatan.
Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini kedua.
Pengobatan kandidiasis oral lini pertama yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang terdapat
dalam bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam bentuk krim dan suspensi oral.
Tidak terdapat interaksi obat dan efek samping yang signifikan pada penggunaan
obat nistatis sebagai anti kandidiasis.
2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral 100
mg/ml dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari. Ampoterisin B
menginhibisi adhesi dari jamur candida pada sel epitel. Efek samping pada obat
ini adalah efek toksisitas pada ginjal.
`
3. Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim dan tablet 10 mg. Efek utama pada obat ini adalah rasa sensasi tidak
nyaman pada mulut, peningkatan level enzim hati, mual dan muntah.
2. Flukonazol
Obat ini menginhibisi sitokrom p450 fungal. Obat ini digunakan pada
kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100mg kapsul sekali dalam sehari dalam
dua sampai tiga minggu. Efek samping utama pada pengobatan dengan
menggunakan flukonazol adalah mual, muntah dan nyeri kepala.
3. Itrakonazol
Itrakonazol merupakan salah satu antifungal spektrum luas dan
dikontraindikasikan pada kehamilan dan penyakit hati. Dosis obat adalah 100 mg
dalam bentuk kapsul sehari sekali selama dua minggu. Efek samping utama
adalah mual, neuropati dan alergi.
`
BAB IV
ANALISA KASUS
`
karena infeksi sistemik atau vaksinasi terlebih dahulu. 9 Berdasarkan anamnesis
yang diperoleh, awalnya pasien mengalami infeksi saluran pernapasan atas yaitu
pilek dan batuk selama 1 minggu.
Pada kasus ini, pasien juga ada mengalami sesak nafas yang didahului
pilek, batuk dan demam tinggi sejak 1 minggu SMRS. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan RR = 44 x/menit, retraksi interkosta (+) dan ronkhi basah halus
nyaring (+/+). Pemeriksaan laboratorium rutin menunjukkan adanya leukositosis
17.200/µl dan rontgen toraks memberikan gambaran bronnkopneumonia.
Berdasarkan data tersebut, dipikirkan diagnosis pneumonia pada pasien ini.
Menurut klasifikasi pneumonia, pneumonia yang dialami pasien digolongkan
pneumonia berat untuk anak usia 2 bulan – 5 tahun yaitu terdapatnya takipneu
(RR = 40 x/menit) dan tarikan dinding dada dalam berupa retraksi suprasternal,
interkosta dan subkosta. Pneumonia yang dialami pasien awalnya kemungkinan
disebabkan oleh virus, hal ini diketahui dari anamnesis yang menunjukkan
keluhan demam tinggi, pilek dan batuk berdahak warna putih kental kemudian
terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan
leukositosis (leukosit = 32.900/µl). Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi virus
tidak melebihi 20.000/mm3 sedangkan infeksi bakteri 15.000-40.000/mm3
sehingga diduga pneumonia yang dialami pasien disebabkan oleh infeksi bakteri.
Pada pasien ini juga ditemukan plak keputihan diujung lidah, yang pada saat di
sentuh dengan kassa saat oral hygiene tidak berdarah. Plak putih tampak tidak
dapat dibersihkan. Lesi harus disembuhkan dengan terapi antifungal secara rutin
maka dicurigai oral candidiasis. Oral candidiasis biasanya terjadi pada anak
dengan defisiensi imun (HIV) atau anak yang mengonsumsi imunosupresan.
Setelah diagnosis ditegakkan, langkah selanjutnya adalah tatalaksana yang
sesuai untuk pasien. Pada pasien, terapi yang diberikan cukup sejalan dengan yang
terdapat pada teori. Pasien mendapatkan terapi suportif, yaitu oksigen,
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan pemasangan oropharingeal tube. Menurut
teori, pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri
dikesampingkan dan juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pasien juga
mendapatkan terapi antibiotik yaitu seftriakson 1 gr/hari IV yang dapat menembus
`
sawar darah otak. Untuk terapi simptomatik pasien diberikan antikonvulsan yaitu
inj.phenitoin 2x25 mg kejang. Pasien juga diberikan antipiretik yaitu parasetamol
10 cc IV jika demam. Untuk penatalaksanaan oral candidiasis pada pasien ini,
diberikan antifungal Nystatin 4 x 1 ml.
Penatalaksanaan pneumonia yang diberikan kepada pasien ini sudah cukup
sesuai dengan teori. Pasien mendapat terapi oksigen dengan nasal kanul 2
liter/menit di PICU untuk mempertahankan saturasi oksigen > 92% dan pasien
juga dilakukan pemasangan pulse oxymetry untuk memantau saturasi oksigen.
Pemberian cairan intravena diperlukan untuk cairan rumatan yang dapat
mencukupi kebutuhan pasien dan dilakukan balans cairan yang ketat. Pasien juga
mendapat nebulisasi dengan β2 agonis yaitu Ventolin (salbutamol) tiap 8 jam
untuk memperbaiki mucocilliary clearance. Terapi antibiotik yang didapat pada
pasien adalah antibiotik intravena berupa seftriakson 1 gr/hari karena pneumonia
yang dialami pasien diduga disebabkan oleh infeksi bakteri. Berdasarkan etiologi
pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia 6 bulan – 5 tahun, etiologi
bakteri tersering adalah S.pneumoniae sehingga pemberian antibiotik seftriakson
pada pasien ini sudah tepat dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2
dosis.
Keluhan lain seperti BAB cair kehijauan selama 3 hari dengan frekuensi
2x sehari disertai lendir. Saat Pemeriksaan Fisik, tidak temukan tanda tanda
dehidrasi. Hal ini berarti pasien mengalami diare (defekasi dengan feses cair atau
lembekdengan/tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali) tanpa dehidrasi
didukung dengan ubun-ubun tidak cekung, turgor kembali segera dan mata yang
tidak cekung. Maka dari itu seiring pemberian cairan melalui IV (saat keadaan
pasien tidak sadar) dan melalui oral (saat pasien sadar), pasien juga diberikan
Zinc.syrup 1x20 mg. Pada saluran cerna zink berfungsi sebagai barier, selain itu
juga zink berperan dalam memperbaiki absorpsi air dan elektrolit dari usus,
regeneralisasi cepat epitel usus, meningkatkan respon imun, mempercepat klirens
kuman diare yang patogen dari usus.
Pasien juga diagnosis dengan Anemia, dikarenakan hb pasien yang
menurun dan dari pemeriksaan fisik, konjungtiva pasien anemis. Selain itu pasien
`
juga beresiko gizi lebih sesuai dengan plot pada grafik WHO 2000 dengan Z score
BB/PB +1 SD s.d + 2 SD. Maka dari itu diberikandiet ASI + Bubur saring 3x1
hari sebagai diet pada anak A.
`
BAB V
KESIMPULAN
`
DAFTAR PUSTAKA
10. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA.
Jakarta: RSCM
11. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta:
IDAI
`
13. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta:EGC.
15. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan
anak 2. Jakarta : Infomedika Jakarta ; 2007
18. Soedarmo, Sumarno dkk. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi 1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 1999 : 116
20. Saharso D. Palsi Serebral dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Divisi
Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo Surabaya. Surabaya: FK UNAIR/RS DR. Soetomo, 2006
21. Rohkamm R, Color Atlas of Neurology. New York: Thieme ; 2004. p 288
`
26. Shorvon S. Definition and Epidemiology in Handbook of Epilepsy
Treatment. Ed.3 2010:1-2.
27. Suwarba, IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi Pada Anak.
Saripediatri. Vol.13;2;2011;123-28.
28. Risan NA. Aspek Genetik Pada Epilepsi dalam PIKAB VII Tatalaksana
Terkini di Bidang Nefrologi, Neuropediatri dan Respirologi untuk
Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dari Ilmu Dasar ke Aplikasi Klinis.
(ed) Garna H. 2009; 93-99.
29. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE,
et al. ILAE Official Report: A practical clinical definition of epilepsy.
Epilepsia. 2014;55(4):475–82
30. Engel J. A proposed diagnostic scheme for people with epileptic seizures
and with epilepsy: Report of the ILAE task force on classification and
terminology. Epilepsia. 2001;42(6):796–803.
31. Ropper A. Brown R. Adam And Victor’s Principle of Neurology. In
Epilepsy And Other Seizure Disorders. 2005; 285-86.
`
38. Wijaya JS, Saing JH, Destariani CP. Politerapi Anti-Epilepsi pada
Penderita Epilepsi Anak. Cdk-284 [Internet]. 2020;47(3):191–4. Available
from: http://103.13.36.125/index.php/CDK/article/view/370