Anda di halaman 1dari 58

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220096/ Mei 2021


**Pembimbing/dr. Irawan Anasta Putra, Sp.A

Enchepalitis + Pneumonia + Oral Candidiasis + Anemia + Diare tanpa


dehidrasi + Resiko gizi lebih

Anandha Rizka Amalia, S.Ked*


dr. Irawan Anasta Putra, Sp.A**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER
JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

Enchepalitis + Pneumonia + Oral Candidiasis Anemia + Diare tanpa


dehidrasi + Resiko gizi lebih

Disusun Oleh
Anandha Rizka Amalia, S.Ked
G1A220096

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi Program Studi
Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Mei 2021

PEMBIMBING

dr. Irawan Anasta Putra, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session ini dengan judul “Enchepalitis + Pneumonia + Oral Candidiasis
Anemia + Diare tanpa dehidrasi + Resiko gizi lebih”. CRS ini merupakan
bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Irawan Anasta Putra, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga CRS ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan CRS ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Mei 2021

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Upaya kesehatan terus dikembangkan dan sarana diagnostik


dan terapi terus mengalami kemajuan, namun angka kejadian infeksi
masih terus merupakan tantangan bidang kesehatan. Di Negara sedang
berkembang maupun di Negara maju, penyakit infeksi masih
merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka
kematiannya masih cukup tinggi, di antara penyakit infeksi yang amat
berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) seperti ensefalitis.
Ensefalitis menunjukkan proses inflamasi yang melibatkan parenkim otak.
Permulaan penyakit ini biasanya tiba-tiba, membingungkan secara
diagnostik dan dapat menyebabkan kematian atau kecacatan jika terapi
yang tepat tidak dilakukan dengan cepat, ensefalitis tetap merupakan
keadaan darurat neurologis dan infeksius dengan tingkat kematian yang
tinggi, meskipun ada kemajuan dalam teknik diagnostik, terapi
antimikroba dan penggunaan agen anti inflamasi.¹·²
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Penyakit ini bertanggungjawab terhadap sekitar
18% penyebab kematian anak-anak di seluruh dunia, utamanya di negara-negara
yang akses kesehatannya masih sangat minim dan terbatas. Pneumonia
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah 5
tahun (balita). Pada tahun 2013, prevalensi pneumonia pada pada bayi adalah
18,5%. Sebesar 15,5% kematian bayi disebabkan oleh pneumonia. 2
Kandidiasis oral adalah salah satu infeksi fungal yang mengenai mukosa
oral. Candida albicans merupakan flora normal rongga mulut, saluran pencernaan
dan vagina, jamur ini dapat berubah menjadi patogen jika terjadi perubahaan
dalam diri pejamu. Perubahan yang terjadi pada pejamu tersebut dapat bersifat
lokal maupun sistemik. Lesi kandidiasis ini dapat berkembang di setiap rongga
mulut, tetapi lokasi yang paling sering adalah mukosa bukal, lipatan mukosa
bukal, orofaring dan lidah.

`
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama penderita : An. MA
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 9 bulan (Tanggal lahir : 15/08/2020 )
Nama Ayah : Tn. MH
Nama Ibu : Ny. M
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Tanjung Jabung
MRS tanggal : 18 Mei 2021

2.2 Anamnesis
Tanggal : 21/3/2021
Diberikan oleh : Ibu Pasien
A. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran ±3 jam SMRS
2. Keluhan Tambahan : Kejang, demam, batuk, pilek

3. Riwayat Perjalanan Penyakit :


7 hari SMRS orang tua pasien mengatakan pasien mengalami
demam terus menerus sepanjang hari dan berkurang saat pasien
diberikan obat antidemam. Pasien sempat demam dengan suhu 40℃
disertai kejang. Ketika kejang tubuh anaknya menjadi kaku, matanya
mendelik ke atas dan mulutnya seperti menggigit. Lama kejang
dirasakan antara 2-3 menit. Setelah kejang, anak tidak sadar. Keluhan
batuk berdahak dan pilek berulang juga dirasakan. Dahak pasien
berwarna putih, sedikit, dan kental. Mual dan muntah tidak ada, BAB
cair kehijauan dengan frekuensi 3x sehari disertai lendir.BAB tidak

`
disertai dengan darah. BAK anak normal. Terdapat bercak putih pada
ujung lidah pasien tanpa disertai keluhan. Riwayat makan anak, hanya
ASI dan bubur saring. Orang tua pasien tidak tau sudah berapa lama
pasien menderita plak tersebut.
5 hari SMRS, demam, batuk dan pilek masih dirasakan. Pasien juga
mengeluhkan sesak napas, sesak napas dirasakan terus-menerus,
memberat dengan posisi tidur terlentang, berkurang saat pasien dalam
posisi duduk atau kepala nya sedikit dinaikkan. pasien menjadi lebih
terlihat gelisah dan rewel. BAB cair sebanyak 2x/hari disertai lendir
tanpa darah.
4 hari SMRS, pasien kembali kejang diseluruh tubuh dirasakan ±5
menit, juga dengan penurunan kesadaran setelah kejang.disertai dengan
demam. Lalu pasien dibawa ke IGD RS Arafah,anak kembali kejang di
seluruh tubuh selama ±2 menit dan terjadi penurunan kesadaran, juga
disertai demam.
Pasien dibawa ke IGD RSUD Raden Mattaher membawa rujukan
dari RS Arafah dengan penurunan kesadaran setelah kejang sejak 3 jam
SMRS. Keluhan lain adalah demam, sesak, batuk dan pilek. Pasien
dirawat di ruangan PICU. Saat PICU, pada hari rawat pertama anak
kembali kejang sebanyak 4 kali selama 2-3 menit pada mata, bibir, dan
seluruh tubuh tanpa disertai demam, dengan pasien tidak sadar baik
sebelum dan sesudah kejang. Saat keadaan pasien mulai stabil, dan
kejang tidak dirasakan kembali dalam 8 jam penghentian pemberian
antikejang, pasien dipindahkan ke ruangan bangsal anak pada hari sabtu,
22 Mei 2021.

Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat kejang (+)
 Riwayat keluhan serupa (-)
 Riwayat trauma (-)

`
Riwayat penyakit keluarga :
 Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-)
 Tidak ada keluarga dengan riwayat kejang atau epilepsi.

Riwayat sosial ekonomi :


 Pasien merupakan anak keempat dengan social ekonomi kurang

2.3 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


 Riwayat kehamilan dan kelahiran
Masa kehamilan : 38 minggu
Partus : Normal
Ditolong oleh : Dukun beranak
Tanggal : 15/08/2020
Berat badan lahir : Tidak diukur
Panjang badan : Tidak diukur

 Riwayat makanan
ASI : Sejak lahir hingga sekarang
Susu botol/kaleng : Sejak dirawat di PICU
Nasi lembek : Umur 3 bulan

Nasi Biasa : - Buah : -


Daging : - Kesan : -
Ikan : - Kualitas : -
Telur : - Kuantitas : -
Tempe : - Tahu : -
Sayuran : - Lain-lain : -
 Riwayat Imunisasi
 BCG :-
 DPT :-
 Polio :-
 Campak :-
 Hepatitis B : -

`
 Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

 Riwayat Keluarga
Perkawinan :
Umur :
Pendidikan : SD
Penyakit yang pernah diderita : -
Saudara : 3 saudara

 Riwayat Pertumbuhan
Berat badan lahir : tidak diukur
Panjang badan lahir : tidak diukur
Lingkar kepala lahir : tidak diukur
Lingkar perut lahir : tidak diukur
Berat badan : 11 kg
Panjang badan : 77 cm
Lingkar kepala : 44 cm
Lingkar lengan atas : 14 cm
Lingkar perut : 46 cm

 Riwayat perkembangan
Gigi pertama : -
Tengkurap : 5 bulan
Merangkak :-
Duduk : -
Berdiri : -
Berjalan : -
Berbicara : -
Sering mimpi :-
Aktifitas : Normal
Membangkang :-

`
Ketakutan :-
Kesan : Perkembangan terlambat

 Status gizi
Usia 9 bulan dengan berat badan 11 kg dan panjang badan 77 cm. (IMT:
18,55)
- BB/U = >+1 SD Kesan: Resiko berat badan lebih
- PB/U = > -2 SD s.d +3 SD Kesan: Normal
- BB/PB = > +1 SD s.d + 2 SD Kesan: Resiko gizi lebih
- IMT/U = >+1 SD Kesan :Resiko gizi lebih

 Riwayat penyakit yang pernah diderita


Parotitis :- Muntah berak : -
Pertusis :- Asma :-
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang :-
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak: -
Thypoid :- Kecelakaan :-
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun : - Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal :-
TBC :- Alergi :-
Kejang : (+) Perut kembung: -
Lumpuh :- Otitis Media : -
Batuk/pilek : (+)

2.4 Pemeriksaan Fisik


Pada saat pasien masuk (18/05/21)
a. Keadaan umum : Pasien tidak sadar
Kesadaran : Somnolen

`
GCS : E2M5V3 = 10
b. Pengukuran
Tanda vital  TD :-
Nadi : 150 x/menit, kuat angkat
RR : 46 x/menit
Suhu : 38,2 °C
SpO2 : 91% dengan nasal canul 2 LPM
c. Pemeriksaan Fisik
Mata : Konjungtiva anemis (+/+)
Mulut : Plak putih diujung lidah
Thorax : Retraksi IC (+), Ronki basah halus nyaring (+/+)

Pasien sudah di bangsal(24/05/2021)


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5 = 15
b. Pengukuran
Tanda vital  TD :-
Nadi : 125 x/menit, kuat angkat
RR : 44 x/menit
Suhu : 38 °C
SpO2 : 99 %
Berat badan : 11 kg
Panjang badan : 77 cm
c. Kulit
Sianosis :-
d. Kepala
Bentuk : Normochepal
Ubun-ubun besar : Belum menutup
 Rambut
Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut

`
Alopesia :-
Lain-lain :-
 Mata
Palpebra : Nistagmus (-/-) Edema (-/-), cekung (-)
Alis dan bulu mata : Hitam
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)
 Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : (-/-)
Serumen : (+/+) minimal
Nyeri tekan : (-/-)
 Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret : +/+ minimal
Epistaksis : - /-
Lain-lain :-
 Mulut dan Gigi
Bentuk : Simetris
Bibir : Sianosis (-) kering (-)
Karies :-
Lidah : Plak putih (+)
 Faring
Hiperemis :-
Edema :-
Membran / pseudomembran : -
 Tonsil
Warna : Merah muda
Pembesaran :-
Abses / tidak :-

`
Membran / pseudomembran : -
e. Leher
Pembesaran kelenjar leher : -
Kaku kuduk :-
Massa :-
f. Thoraks
 Paru
Inspeksi  Bentuk : Simetris
Nafas kusmaul : (-)
Retraksi : (+) IC
Sternum : ditengah
Auskultasi  Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan : Ronkhi basah halus nyaring (+/+),
wheezing (-/-).
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis terabad di ICS V linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : BJ I BJ II Reguler
g. Abdomen
Inspeksi  Bentuk : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi  Turgor : Kembali dalam waktu <2 detik
h. Ekstremitas : akral hangat, CRT normal

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Tanda perangsang selaput otak:
- Kaku kuduk: (-)
- Brudzinsky I: (-)
- Brudzinsky II: (-)
- Kernig: (-)

`
Refleks patologis: Refleks fisiologis:
- Babinsky: (-/-) - Reflek bisep: (+/+)
- Chaddok: (-/-) - Reflek trisep: (+/+)
- Gordon: (-/-) - Reflek patella: (+/+)
- Oppenheim: (-/-) - Reflek achilles: (+/+)

2.5 Pemeriksaan Laboratorium


Hematologi Rutin (18/05/21)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 10.5 11-15 g/dl
Hematokrit 33.3 34.5-54 %
Eritrosit 4.94 4.5-5.5 x106/uL
MCV 67.3 80-96 fL
MCH 21.3 27-31 pg
MCHC 31.7 32-36 g/dl
RDW 13.2 %
Trombosit 50.4 150-450 x103/uL
PCT 0.054 0.150-0.400 %
MPV 10.7 7.2-11.1 fL
PDW 22.3 9-13 fL
Leukosit 17.2 4.0-10.0 x103/uL

Hitung Jenis 18/05/21

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Neutrofil 5.44 x103/uL
Limfosit 8.83 x103/uL
Monosit 2.21 x103/uL
Eosinofil 0.179 x103/uL
Basofil 0.501 x103/uL
Neutrofil% 31.7 50-70 %
Lymfosit% 51.5 18-42 %
Monosit% 12.9 2-11 %
Eosinofil% 1.04 1-3 %
Basofil% 2.92 0-2 %

Kimia Klinik

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Elektrolit (18/5/21)

`
Na 138.8 136-146 mmol/L
K 3.51 3,34 – 5,1 mmol/L
Cl 102.6 98-106 mmol/L

Pemeriksaan Rontgen Thorak (18/05/21)

Hasil:
Pemeriksaan radiografi Toraks proyeksi AP:
Jantung kesan tidak membesar
Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar
Trakea ditengah. Kedua hilus tidak menebal
Infiltrat di perihiler dan parakardial bilateral
Kedua hemidiafragma licin. Kedua kostofrenikus lancip
Jaringan lunak dinding dada terlihat baik

Kesan:

`
Cor dalam batas normal
Infiltrat di perihiler dan parakardial bilateral DD/Bronchopneumonia

Pemeriksaan Ct-Scan Kepala (18/05/21)

Hasil:
Telah dilakukan pemeriksaan Ct scan kepala tanpa kontras, hasil sbb:
Sulci cerebri dan fissure Sylvi tidak melebar
Tak tampak jelas lesi patologis di intraprenkhimal cerebrum dan cerebellum

`
Thalamus, pons, dan medulla oblongata tak tampak kelainan
Sistem ventrikel dan sisterna tidak melebar
Tak tampak pergeseran garis tengah
Sella dan parasella tak tampak lesi
Kedua orbita, sinus paranasal, dan mastoid tak tampak kelainan
Sutura-sutura tampak terbuka (Sesuai usia)

Kesan:
Tidak tampak jelas lesi patologis di intraparenkhimal cerebrum dan cerebellum

Urinalisa 24/05/21

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Urine Rutin
Warna Kuning Muda Kuning Muda
Kejernihan Jernih Jernih
PH 8 4-8.5
Leukosit Negative Negative uL
Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
Protein Negative Negative
Glukosa (Reduksi) Normal Normal
Keton Negative Negative
Bilirubin Negative Negative
Eritrosit Negative Negative Ul
Urobilinogen Normal Normal
Nitrit Negative Negative

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Sedimen Urine (24/5/21)
Leukosit 0-1 0-3 /LPB
Eritrosit 0-1 0-2 /LPB
Epithel 0-1 0-5 /LPB
Silinder Negative Negative
Kristal Negative Negative
Bakteri Negative Negative

Faeces 24/05/21

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Faeces Rutin

`
Warna Kuning Kehijauan Kuning
Konsistensi Cair Lunak
Darah Negative Negative
Telur cacing Negative Negative
Lendir Positive Negative
Leukosit 0-1 0-1
Eritrosit 1-2 0-1
Sisa makanan Negative Negative
Bakteri Positive Negative

Hematologi Rutin (25/05/21)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hemoglobin 9.55 11-15 g/dl
Hematokrit 30.9 34.5-54 %
Eritrosit 4.60 4.5-5.5 x106/uL
MCV 67.2 80-96 fL
MCH 20.7 27-31 pg
MCHC 30.9 32-36 g/dl
RDW 13.7 %
Trombosit 742 150-450 x103/uL
PCT 0.363 0.150-0.400 %
MPV 4.90 7.2-11.1 fL
PDW 17.4 9-13 fL
Leukosit 32.9 4.0-10.0 x103/uL

Hitung Jenis 25/05/21

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Neutrofil 17.7 x103/uL
Limfosit 9.06 x103/uL
Monosit 4.92 x103/uL
Eosinofil 0.443 x103/uL
Basofil 0.756 x103/uL
Neutrofil% 53.8 50-70 %
Lymfosit% 27.6 18-42 %
Monosit% 15 2-11 %
Eosinofil% 1.35 1-3 %
Basofil% 2.30 0-2 %

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Faal Hati (25/5/21)
SGOT 180 15-37 u/l

`
SGPT 94 14-63 u/l

Pemeriksaan EEG (25/05/2021)


1. Klasifikasi
EEG Abnormal III (bangun dan tidur stadium III)
- Sharp Wave frontal kiri

2. Impresi
EEG saat perekaman ini abnormal mengindikasikan adanya gelombang
epileptogenicity di region frontal kiri.

Hematologi 27/02/21

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Laju Endap Darah 50 0-20 mm/jam

2.6 Diagnosis Banding


Sesak Kejang Plak putih pada lidah BAB cair >3x
1. Pneumonia 1. Encephalitis Virus 1. Oral Candidiasis 1. Diare tanpa dehidrasi
2. Bronkiolitis 2. Encephalitis Bakteri 2. Difteri 2. Diare dehidrasi
3. Meningitis ringan
4. Meningoensefalitis

2.7 Diagnosis Kerja


Enchepalitis + Pneumonia + Oral Candidiasis + Anemia+Diare tanpa
dehidrasi+ Resiko Gizi Lebih

2.8 PENATALAKSANAAN
A. PICU
1. O2 Nasal kanul 2 lpm

`
2. IVFD D5 1/4 NS 750cc/hari
3. Inj. Ceftriaxone 1x1 gr IV
4. Inj. Deksametason 3x1 mg IV
5. Inj.Phenitoin 2x25 mg
6. Inj.Manitol 3x20cc
7. Nystatin 4x1 ml
8. Zinc 1x20 mg
9. Paracetamol 10cc IV (jika demam ≥38℃)
10. Diet susu 8x30cc via OGT

B. BANGSAL
1. Inj. PCT syr 6 cc (jika demam ≥38℃)
2. IVFD D5 ¼ NS 1000cc/24 jam
3. Inj. Ceftriaxone 1x1 gr
4. Inj.Fenitoin 2x50 mg
5. Zinc.syr 1x 20 mg
6. Nebu ventilator/8 jam
7. Nystatin 4x1 ml
8. Diet ASI + Bubur saring 3x1 hari

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

2.9 Follow Up

`
Tanggal S O A P
Bangsal
24/05/202 Anak Keadaan Enchepalitis - Inj. PCT syr 6 cc (jika
1 tampak umum : + Pneumonia demam ≥38℃)
lemas tampak + Oral - IVFD D5 ¼ NS 1000cc/24
Demam (+) Sakit Candidiasis + jam
Batuk (+) sedang Anemia+Diar - Inj. Ceftriaxone 1x1 gr
Sesak (+) Kesadaran e tanpa - Inj.Fenitoin 2x50 mg
Retraksi (+) : Compos dehidrasi+ - Zinc.syr 1x 20 mg
mentis, Resiko Gizi - Nebu ventilator/8 jam
GCS : 15 Lebih - Diet ASI + Bubur saring
(E4V5M6) 3x1 hari
N : 125x/i
RR : 44
x/i
T : 38 ˚C
SPO2:
98%
25/05/21 - Keadaan Enchepalitis - IVFD D5 ¼ NS
umum : + Pneumonia 1000cc/hr
tampak + Oral - Inj.PCT syr6 cc (jika
sakit Candidiasis + demam ≥38℃)
sedang Anemia+Diar - Zinc syr 1x20 mg
Kesadaran e tanpa - Diet ASI dan bubur
: Compos dehidrasi+ saring 3x1 hari
mentis, Resiko Gizi
GCS : 15 Lebih
(E4V5M6) Pro EEG
N : 164x/i

`
RR : 41
x/i
T : 37.1
˚C
SPO2:
92%
27/05/21 BAB cair Keadaan Enchepalitis - Phenitoin oral 50 mg 2x1
1x/hari umum : + Pneumonia - IVFD D5 ¼ NS
tampak + Oral 1000cc/hr
sakit Candidiasis + - Inj.PCT syr6 cc (jika
sedang Anemia+Diar demam ≥38℃)
Kesadaran e tanpa - Zinc syr 1x20 mg
: Compos dehidrasi+ - Nebu ventolin combivent
mentis, Resiko Gizi
GCS : 15 Lebih
(E4V5M6)
N : 145x/i
RR : 45
x/i
T : 37.1
˚C
SPO2:
97%

`
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.2

2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak
balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit system respiratori, terutama pneumonia.7
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada
anak di bawah umur 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Setiap tahunnya, pneumonia selalu berada pada daftar 10
penyakit terbesar di fasilitas kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2013, prevalensi
pneumonia pada pada bayi adalah 18,5%. Sebesar 15,5% kematian bayi
disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian
pertahun pada anak balita di negara berkembang.7

2.1.3 Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi

`
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.7
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan
tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas
kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.7
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data
di Negara maju dapat dilihat di tabel.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 minggu – 3 Bakteri Bakteri
bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus Haemophillus influenza tipe
pneumoniae B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV

`
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
tahun – remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza / Parainfluenza
2.1.4 Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut: 7
Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.7
Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia  Kesadaran turun,  Kesadaran turun,
Sangat Berat letargis letargis
 Tidak mau menetek /  Tidak mau minum
minum  Kejang
 Kejang  Sianosis
 Demam atau  Malnutrisi

`
hipotermia
 Bradipnea atau
pernapasan ireguler
Pneumonia  Napas cepat  Retraksi (+)
Berat  Retraksi yang berat  Masih dapat minum
 Sianosis (-)
Pneumonia  Takipnea
Ringan  Retraksi (-)

Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia


dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia
ringan yang bisa rawat jalan.

Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS).8


Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap):
- tanpa gejala
hipoksemia Penyakit sangat berat
- dengan gejala (Pneumonia berat)
hipoksemia
- dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk: bukan pneumonia

`
2.1.5 Patofisiologi

Gambar 2. Algoritma Patofisiologi Pneomonia.9

`
2.1.6 Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi
gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-
kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
- Gejala infeksi umum, yaitu: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti: mual, muntah atau diare;
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.
 Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat:
- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun – 5 tahun: > 40 kali/menit
 Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut:
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

`
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini:
- Napas cepat:
o Anak umur < 2 bulan: > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan: > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun: > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun: > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar:
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
-
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
-
Kejang, letargis atau tidak sadar
-
Sianosis
-
Distres pernapasan berat.10

2.1.7 Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan
infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi
terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
Pemeriksaan Fisik

`
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2
dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-
40.000 /mm2 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau
darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan radiologi

`
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto
rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan
bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

Gambar 3. Rontgen infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia
lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi
tumor paru disebut sebagai round pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata
dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar

`
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri,
atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi
bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap
terapi antibiotik.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru.11,12
2.1.8 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia

Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di
rumah

`
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan
pengalaman empiris yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan
mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta epidemiologis.
 Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia
ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan
efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah
Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien
HIV diberikan selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol
ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak
memburuk, tidak bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali:
- Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu
makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
- Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada
perubahan, ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk
kembali lagi.

`
- Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani
sesuai pedoman di bawah ini.
 Pneumonia rawat inap
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberikan respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral
(15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau
IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB
IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali
pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau
diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.
 Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara
kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau
sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan
untuk anak dengan pneumonia

`
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman
pasien (Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi
setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi
oksigen
 Nutrisi
- Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per
oral, harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube
(NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT
dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan ukuran
lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya
menggunakan yang terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami
overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi
hormon antidiuretik
 Kriteria pulang:
-
Gejala dan tanda pneumonia menghilang
-
Asupan peroral adekuat
-
Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
-
Keluarga mengert dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan
dirumah.8,10,11,12
2.1.9 Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan

`
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-
duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi
dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.13,14

2.2 Encephalitis
2.2.1. Definisi
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri,
cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Ensefalitis adalah infeksi yang
mengenai system saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus atau
mikroorganisme lain yang non purulen. Penyebab tersering dari ensefalitis adalah
virus, kemudian herpes simpleks, arbovirus, dan jarang disebabkan oleh
enterovirus, gondongan, dan adenovirus. Ensefalitis bias juga terjadi pada pasca
infeksi campak, influenza, varisella, dan pascavaksinasi Pertusis.
Ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus.
Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis,
atau komplikasi dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau
sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan protozoa seperti
toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat
menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang.
Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap tengkorak dan
menyebabkan kematian.

2.2.2 Epidemiologi
Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. Sekitar 150-
3000 kasus, yang kebanyakan ringan dapat terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat. Kebanyakan kasus herpes virus ensefalitis di Amerika Serikat. Arboviral
ensefalitis lebih lazim dalam iklim yang hangat dan insiden bervariasi dari daerah
ke daerah dan dari tahun ke tahun. St Louis ensefalitis adalah tipe yang paling
umum, ensefalitis arboviral di Amerika Serikat, dan ensefalitis Jepang adalah tipe
yang paling umum di bagian lain dunia. Ensefalitis lebih sering terjadi pada anak-

`
anak dan orang dewasa muda.

2.2.3 Etiologi
Bakteri penyebab ensefalitis adalah staphylococcus aureus, streptokous, E.

Coli, M. tuberculosa dan T. Paliidum. Tiga bakteri yang pertama merupakan

penyebab ensefalitis bacterial akut yang menimbulkan pernanahan pada korteks

serebri sehingga terbentuk abses serebri. Ensefalitis bakterial akut sering disebut

ensefalitis supuratif akut. Sedangkan menurut Riyadi (2010) menyebutkan

penyebab terjadinya ensefalitis yaitu:

a. Berupa bakteri (LDH serum meningkat)

b. Virus

c. Jamur

2.2.4 Manifestasi klinis


Secara umum, gejala berupa trias ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang, dan

kesadaran menurun. Suhu badan meningkat, fotofobia, sakit kepala, muntah letargi,

kadang disertai kaku kuduk jika mengenai meningen. Meskipun penyebabnya

berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama berupa Trias ensefalitis yang

terdiri dari demam, kejang, dan penurunan kesadaran. Manifestasi klinis ensefalitis

sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya

bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa prodormal berlangsung antara 1-4

hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan,

malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang

berat ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron

Pada ensefalitis supuratif akut yang berkembang menjadi abses serebri, akan

timbul gejala-gejala sesuai dengan proses patologis yang terjadi di otak. Gejala-gejala

`
tersebut adalah infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu

nyeri kepala yang kronik, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun.

Pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda deficit neurologis

tergantung pada lokasi dan luas abses.

Gejala klinis ensefalitis pada anak umur lebih 2 tahun lebih khas dibandingkan

anak yang lebih muda. Gejala tersebut antara lain terdapatnya panas, menggigil,

muntah, nyeri kepala, kejang, gangguan kesadaran, dan yang paling utama terdapatnya

tanda-tanda rangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan

Laseque. Yang membedakan meningitis dan ensefalitis dari segi pemeriksaan fisik

ialah pada meningitis didapatkan tanda-tanda perangsangan meningeal seperti kaku

kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque, sedangkan pada ensefalitis tidak

terdapat tanda-tanda tersebut melainkan adanya gejala-gejala fokal kerusakan jaringan

otak tergantung dari lokasi infeksi.2,18

2.2.5 Patofisiologi.19

Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran
cerna, setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh
dengan secara local: aliran virus terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan
atau organ tertentu, penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah,
kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut dan
menyebar melalui syaraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lender dan
menyebar melalui system persyarafan. Setelah terjadi penyebaran ke otak timbul
manifestasi klinis ensefalitis. Masa Prodromal berlangsung selama 1-4 hari
ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorok, malaise,
nyeri ekstremitas dan pucat.

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran

`
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak.
Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-
pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang
mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak
disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi
infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah
dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis.2
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus
yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus
herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk
ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal,
kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di
pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde
axoplasmic spread misalnya oleh virus- virus herpes simpleks, rabies dan herpes
zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis
aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron
dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh
darah kecil, trombosis, dan mikroglia.2Amuba meningoensefalitis diduga melalui
berbagai jalan masuk, oleh karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat
hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran

`
pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.20
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari
penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan
daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam
bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang
mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai
manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh
lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus
meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang
nyata misalnya mikrosefalus, dll.1

Skema 1. Perjalanan Penyakit Meningoensefalitis

2.2.6 Diagnosis
Selain berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang muncul, ada beberapa

`
pemeriksaan penunjang yang mampu mendiagnosis meningoensefalitis. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis
ensefalitis adalah pemeriksaan pungsi lumbal, pemeriksaan darah, dan
pemeriksaan radiologis.
1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Pada meningoensefalitisitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan


serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan
campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati dan bakteri. 11 Infeksi
yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal, biasanya
disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.23
Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan cairan otak
ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula
menurun, klorida menurun.2 Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba
meningoensefalitis yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan
trofozoit amuba.20 Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang
meningkat, kadar glukosa normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal,
tekanan cairan otak normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa
menurun. Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat
ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan
pemindaian CT scan atau MRI kepala.18,21 Pada tabel berikut ditampilkan hasil
analisa cairan serebrospinal.
Tabel 1. hasil analisa cairan serebrospinal pada beberapa jenis
meningoensefalitisitis

Tes Bakterial Virus TBC


Tekanan LP Meningkat Biasanya normal Bervariasi
Warna Keruh Jernih Xanthochromia
Jumlah sel > 1000/ml < 100/ml Bervariasi

`
Jenis sel Predominan PMN Predominan MN Predominan MN
Protein Sedikit meningkat Normal/meningkat Meningkat

Glukosa Normal/menurun Biasanya normal Rendah

2. Pemeriksaan Darah

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit,


kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningoensefalitis purulenta didapatkan
peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya
terdapat kenaikan jumlah leukosit.11 Gangguan elektrolit sering terjadi karena
dehidrasi. Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon
ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun.2 Pada Mycobacterium tuberculosa,
leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan,
pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000,
dan test tuberkulin sering positif.2

3. Pemeriksaan Radiologis

CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat


menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak. Untuk
menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini dapat
dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA
virus. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi
otak difus.23

2.2.7 Penatalaksanaan

Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan


ensefalitis. Satu-satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8
jam selama 10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif
terhadap virus Varicella zoster. Tidak ada manfaat yang terbukti untuk
kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan yang

`
disebabkan oleh bakteri dapat diberikan klorampenikol 50-75 mg/kg bb/hari
maksimum 4 gr/hari.13,24
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah
sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan
tersebut adalah mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan
perawatan pasien koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian
makanan secara enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, koreksi terhadap gangguan asam basa darah.
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan
fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan
apabila pasien panas. Apabila didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial
dapat diberi Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari dilanjutkan pemberian 0,25-0,5
mg/kgBB/hari. Pemberian Dexamethasone tidak diindikasikan pada pasien tanpa
tekanan intrakranial yang meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol
juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.
Perawatan yang baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik
pada pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada
tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada
pasien herpes ensefalitis (EHS) dapat diberikan Adenosine Arabinose 15
mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada beberapa penelitian dikatakan
pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes ensefalitis dapat menurunkan angka
kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini Acyclovir IV telah terbukti lebih baik
dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan pertama. Dosis Acyclovir 30
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.

2.2.8 Prognosis
Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan kerusakan
otak permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar, masalah berbicara,
kehilangan memori, atau berkurangnya kontrol otot.
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan
umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim
maka prognosisnya jelek dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual,

`
motorik, psikiatri, epileptik, penglihatan atau pendengaran. Sekuele berat juga
harus dipikirkan pada infeksi yang disebabkan oleh virus Herpes simpleks.

`
2.3 Kandidiasis Oral
2.3.1 Definisi
Kandidiasis oral adalah salah satu infeksi fungal yang mengenai mukosa
oral. Lesi ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Candida albicans adalah
salah satu komponen dari mikroflora oral dan sekitar 30-50% orang sebagai karier
organisme ini. Tedapat lima tipe spesies kandida yang terdapat di kavitas oral,
diantaranya adalah:
1. Candida albicans
2. Candida tropicalis
3. Candida krusei
4. Candida parapsilosis
5. Candida guilliermondi
Dari kelima tipe tersebut, Candida albicans adalah yang paling sering
terdapat pada kavitas oral. Candida albicans merupakan fungi yang menyebabkan
infeksi opurtunistik pada manusia. Salah satu kemampuan yang dari Candida
albicans adalah kemampuan untuk tumbuh dalam dua cara, reproduksi dengan
tunas, membentuk tunas elipsoid, dan bentuk hifa, yang dapat meningkatkan
misela baru atau bentuk seperti jamur.

2.3.2 Faktor Resiko


Adapun faktor resiko yang mempengaruhi dari infeksi dari kandidiasis oral yaitu:
1. Faktor Patogen
Jamur kandida mampu melakukan metabolisme glukosa dalam kondisi
aerobic maupun anaerobik. Selain itu jamur candida mempunyai faktor-faktor
yang mempengaruhi adhesi terhadap dinding sel epitel seperti mannose, reseptor
C3d, mannoprotein dan Saccharin. Sifat hidrofobik dari jamur dan juga
kemampuan adhesi dengan fibronektin host juga berperan penting terhadap inisial
dari infeksi ini.

`
2. Faktor Host
a. Faktor lokal
Fungsi kelenjar saliva yang terganggu dapat menjadi predisposisi dari
kandidiasis oral. Sekresi saliva menyebabkan lemahnya dan membersihkan
berbagai organisme dari mukosa. Pada saliva terdapat berbagai protein-protein
antimikrobial seperti laktoferin, sialoperoksidase, lisosim, dan antibodi
antikandida yang spesifik. Penggunaan obat-obatan seperti obat inhalasi steroid
menunjuka peningkatan resiko dari infeksi kandidiasis oral. Hal ini disebabkan
tersupresinya imunitas selular dan fagositosis.
Penggunaan gigi palsu merupakan faktor predisposisi infeksi kandidiasis
oral. Penggunaan ini menyebabkan terbentuknya lingkungan mikro yang
memudahkan berkembangnya jamur kandida dalam keadaan PH rendah, oksigen
rendah, dan lingkungan anaerobik. Penggunaan ini pula meningkatkan
kemampuan adhesi dari jamur ini.

b. Faktor sistemik
Penggunaan obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dapat
mempengaruhi flora lokal oral sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai
untuk jamur kandida berproliferasi. Penghentian obat-obatan ini akan mengurangi
dari infeksi jamur kandida. Obat-obatan lain seperti agen antineoplastik yang
bersifat imunosupresi juga mempengaruhi dari perkembangan jamur kandida.
Beberapa faktor lain yang menjadi predisposisi dari infeki kandidiasis oral adalah
merokok, diabetes, sindrom Cushing’s serta infeksi HIV. Secara umum presentasi
klinis dari kandidiasis oral terbagi atas lima bentuk: kandidiasis
pseudomembranosa, kandidiasis atropik, kandidiasis hiperplastik, kandidiasis
eritematosa atau keilitis angular. Pasien dapat menunjukan satu atau kombinasi
dari beberapa presentasi ini.

`
2.3.3 Klasifikasi
1. Kandidiasis pseudomembranosa
Kandidiasis pseudomembranosa secara umum diketahui sebagai thrush,
yang merupakan bentuk yang sering terdapat pada neonatus. Ini juga dapat terlihat
pada pasien yang menggunakan terapi kortikosteroid atau pada pasien dengan
imunosupresi. Kandidiasis pseudomembran memiliki presentasi dengan plak putih
yang multipel yang dapat dibersihkan. Plak putih tersebut merupakan kumpulan
dari hifa. Mukosa dapat terlihat eritema. Ketika gejala-gejala ringan pada jenis
kandidiasis ini pasien akan mengeluhkan adanya sensasi seperti tersengat ringan
atau kegagalan dalam pengecapan.

2. Kandidiasis atropik
Kandidiasis atropik ditandai dengan adanya kemerahan difus, sering
dengan mukosa yang relatif kering. Area kemerahan biasanya terdapat pada
mukosa yang berada dibawah pemakaian seperti gigi palsu. Hampir 26% pasien
dengan gigi palsu terdapat kandidiasis atropik.

3. Kandidiasis hiperplastik
Kandidiasis hiperplastik dikenal juga dengan leukoplakia kandida.
Kandidiasis hiperplastik ditandai dengan adanya plak putih yang tidak dapat
deibersihkan. Lesi harus disembuhkan dengan terapi antifungal secara rutin.

4. Kandidiasis eritematosa
Banyak penyebab yang mendasari kandidiasis eritematosa. Lesi secara
klinis lesi timbul eritema. Lesi sering timbul pada lidah dah palatum. Berlainan
dengan bentuk kandidiasis pseudomembran, penderita kandidiasis eritematosa
tidak ditemui adanya plak-plak putih. Tampilan klinis yang terlihat pada
kandidiasis ini yaitu daerah yang eritema atau kemerahan dengan adanya sedikit
perdarahan di daerah sekitar dasar lesi. Hal ini sering dikaitkan terjadinya keluhan
mulut kering pada pasien. Lesi ini dapat terjadi dimana saja dalam rongga mulut,
tetapi daerah yang paling sering terkena adalah lidah, mukosa bukal, dan palatum.

`
Kandidiasis eritematosa dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu :
Tipe 1 : inflamasi sederhana terlokalisir atau pinpoint hiperemia.
Tipe 2 : eritematosa atau tipe sederhana yang umum eritema lebih tersebar
meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigi tiruan,
Tipe 3 : tipe granular (inflamasi papilla hiperplasia) umumnya meliputi bagian
tengah palatum durum dan alveolar ridge.

5. Keilitis angular
Keilitis angular ditandai dengan pecahpecah, mengelupas maupun ulserasi
yang mengenai bagian sudut mulut. Gejala ini biasanya disertai dengan kombinasi
dari bentuk infeksi kandidiasis lainnya, seperti tipe erimatosa.

2.3.4 Diagnosis
Kandidiasis oral didiagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dan gejalanya.
Adapun tes tambahan yaitu:
1. Sitologi eksfoliatif
2. Kultur
3. Biopsi jaringan

Gambar 2.3 Kultur fungal kandida

`
2.3.5 Terapi
Adapun manajemen terapi yang dilakukan pada kandidiasis oral adalah
dengan pengobatan secara topikal. Setelah dilakukan pengobatan topikal maka
dilanjutkan pengobatan selama dua minggu setelah terjadinya resolusi pada lesi.
Ketika terapi topikal mengalami kegagalan maka dilanjutkannya terapi sistemik
karena gagalnya respon obat adalah merupakan pertanda adanya penyakit sistemik
yang mendasari. Follow up setelah 3 sampai 7 hari pengobatan untuk mengecek
efek dari obat-obatan.

Adapun tujuan utama dari pengobatan adalah .


1. Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor-faktor yang berkontribusi.
2. Untuk mencegah penyebaran sistemik.
3. Untuk mengurangi kekurangnyamanan yang terjadi.
4. Untuk mengurangi perkembangbiakan kandida.

Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini kedua.
Pengobatan kandidiasis oral lini pertama yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang terdapat
dalam bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam bentuk krim dan suspensi oral.
Tidak terdapat interaksi obat dan efek samping yang signifikan pada penggunaan
obat nistatis sebagai anti kandidiasis.

2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral 100
mg/ml dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari. Ampoterisin B
menginhibisi adhesi dari jamur candida pada sel epitel. Efek samping pada obat
ini adalah efek toksisitas pada ginjal.

`
3. Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim dan tablet 10 mg. Efek utama pada obat ini adalah rasa sensasi tidak
nyaman pada mulut, peningkatan level enzim hati, mual dan muntah.

Adapun pengobatan kandidiasis lini kedua yaitu:


1. Ketokonazol
Ketokonazol memblok sintesis ergosterol pada membran sel fungal dan
diserap dari gastrointestinal dan dimetabolisme di hepar. Dosis yang dianjurkan
adalah 200-400 mg tablet yang diberikan sekali atau dua kali dalam sehari selama
dua minggu. Efek samping adalah mual, muntah, kerusakan hepar dan juga
interaksinya dengan antikoagulan.

2. Flukonazol
Obat ini menginhibisi sitokrom p450 fungal. Obat ini digunakan pada
kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100mg kapsul sekali dalam sehari dalam
dua sampai tiga minggu. Efek samping utama pada pengobatan dengan
menggunakan flukonazol adalah mual, muntah dan nyeri kepala.

3. Itrakonazol
Itrakonazol merupakan salah satu antifungal spektrum luas dan
dikontraindikasikan pada kehamilan dan penyakit hati. Dosis obat adalah 100 mg
dalam bentuk kapsul sehari sekali selama dua minggu. Efek samping utama
adalah mual, neuropati dan alergi.

`
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien usia 9 bulan datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran


sejak 3 jam SMRS. 3 jam SMRS, pasien kejang sebanyak 1 kali, lama kejang ± 2-
3 menit, mata pasien melihat keatas, kedua tangan dan kaki kaku. Setelah kejang,
pasien tidak sadarkan diri. 1 minggu SMRS, pasien mengalami demam, pilek dan
batuk. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran: Compos mentis , GCS =
E452M6 = 15, HR = 125 x/menit, RR = 44 x/menit, T = 38ºC, retraksi interkosta
(+), retraksi subkosta (+) dan ronkhi basah halus nyaring(+/+). Dari status lokalis,
didapatkan terdapat plak putih pada ujung lidah. Pemeriksaan status neurologis
pada pasien ini menunjukkan refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (+) dan
rangsangan meningeal (-). Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb = 9,55
gr/dl, leukosit = 32.900/µl dan trombosit = 742.000/µl. Dengan kesan anemia,
leukositosis dan trombositosis. Dari pemeriksaan rontgen toraks didapatkan
bronkopneumonia dan pemeriksaan CT Scan kepala menunjukkan tidak tampak
jelas lesi patologis diintraparenkimal cerebrum dan cerebelum. Dari pemeriksaan
EEG didapatkan kesan abnormal dengan adanya gelombang epileptogenicity di
region frontal kiri.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis ensefalitis, pneumonia dan oral candidiasis. Dari anamnesis
diperoleh bahwa awalnya pasien mengalami keluhan demam terus menerus, batuk
dan pilek berulang. Kemudian kejang dan setelah kejang pasien mengalami
penurunan kesadaran. Secara umum gejala ensefalitis berupa trias ensefalitis yaitu
demam, kejang dan penurunan kesadaran.8,9 Pemeriksaan fisik yang dapat
diperoleh dari pasien ensefalitis adalah ditemukan hiperpireksia, kesadaran
menurun dan kejang.8,9 Dalam kasus ini, pemeriksaan fisik yang didapat adalah
suhu tubuh 38°C dan status neurologis pada pasien ini menunjukkan rangsangan
meningeal (-). Didukung oleh hasil pemeriksaan EEG yang abnormal.
Penyebab terpenting dan tersering ensefalitis adalah virus. Infeksi bisa
terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut atau kronis

`
karena infeksi sistemik atau vaksinasi terlebih dahulu. 9 Berdasarkan anamnesis
yang diperoleh, awalnya pasien mengalami infeksi saluran pernapasan atas yaitu
pilek dan batuk selama 1 minggu.
Pada kasus ini, pasien juga ada mengalami sesak nafas yang didahului
pilek, batuk dan demam tinggi sejak 1 minggu SMRS. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan RR = 44 x/menit, retraksi interkosta (+) dan ronkhi basah halus
nyaring (+/+). Pemeriksaan laboratorium rutin menunjukkan adanya leukositosis
17.200/µl dan rontgen toraks memberikan gambaran bronnkopneumonia.
Berdasarkan data tersebut, dipikirkan diagnosis pneumonia pada pasien ini.
Menurut klasifikasi pneumonia, pneumonia yang dialami pasien digolongkan
pneumonia berat untuk anak usia 2 bulan – 5 tahun yaitu terdapatnya takipneu
(RR = 40 x/menit) dan tarikan dinding dada dalam berupa retraksi suprasternal,
interkosta dan subkosta. Pneumonia yang dialami pasien awalnya kemungkinan
disebabkan oleh virus, hal ini diketahui dari anamnesis yang menunjukkan
keluhan demam tinggi, pilek dan batuk berdahak warna putih kental kemudian
terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan
leukositosis (leukosit = 32.900/µl). Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi virus
tidak melebihi 20.000/mm3 sedangkan infeksi bakteri 15.000-40.000/mm3
sehingga diduga pneumonia yang dialami pasien disebabkan oleh infeksi bakteri.
Pada pasien ini juga ditemukan plak keputihan diujung lidah, yang pada saat di
sentuh dengan kassa saat oral hygiene tidak berdarah. Plak putih tampak tidak
dapat dibersihkan. Lesi harus disembuhkan dengan terapi antifungal secara rutin
maka dicurigai oral candidiasis. Oral candidiasis biasanya terjadi pada anak
dengan defisiensi imun (HIV) atau anak yang mengonsumsi imunosupresan.
Setelah diagnosis ditegakkan, langkah selanjutnya adalah tatalaksana yang
sesuai untuk pasien. Pada pasien, terapi yang diberikan cukup sejalan dengan yang
terdapat pada teori. Pasien mendapatkan terapi suportif, yaitu oksigen,
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan pemasangan oropharingeal tube. Menurut
teori, pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri
dikesampingkan dan juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pasien juga
mendapatkan terapi antibiotik yaitu seftriakson 1 gr/hari IV yang dapat menembus

`
sawar darah otak. Untuk terapi simptomatik pasien diberikan antikonvulsan yaitu
inj.phenitoin 2x25 mg kejang. Pasien juga diberikan antipiretik yaitu parasetamol
10 cc IV jika demam. Untuk penatalaksanaan oral candidiasis pada pasien ini,
diberikan antifungal Nystatin 4 x 1 ml.
Penatalaksanaan pneumonia yang diberikan kepada pasien ini sudah cukup
sesuai dengan teori. Pasien mendapat terapi oksigen dengan nasal kanul 2
liter/menit di PICU untuk mempertahankan saturasi oksigen > 92% dan pasien
juga dilakukan pemasangan pulse oxymetry untuk memantau saturasi oksigen.
Pemberian cairan intravena diperlukan untuk cairan rumatan yang dapat
mencukupi kebutuhan pasien dan dilakukan balans cairan yang ketat. Pasien juga
mendapat nebulisasi dengan β2 agonis yaitu Ventolin (salbutamol) tiap 8 jam
untuk memperbaiki mucocilliary clearance. Terapi antibiotik yang didapat pada
pasien adalah antibiotik intravena berupa seftriakson 1 gr/hari karena pneumonia
yang dialami pasien diduga disebabkan oleh infeksi bakteri. Berdasarkan etiologi
pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia 6 bulan – 5 tahun, etiologi
bakteri tersering adalah S.pneumoniae sehingga pemberian antibiotik seftriakson
pada pasien ini sudah tepat dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2
dosis.
Keluhan lain seperti BAB cair kehijauan selama 3 hari dengan frekuensi
2x sehari disertai lendir. Saat Pemeriksaan Fisik, tidak temukan tanda tanda
dehidrasi. Hal ini berarti pasien mengalami diare (defekasi dengan feses cair atau
lembekdengan/tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali) tanpa dehidrasi
didukung dengan ubun-ubun tidak cekung, turgor kembali segera dan mata yang
tidak cekung. Maka dari itu seiring pemberian cairan melalui IV (saat keadaan
pasien tidak sadar) dan melalui oral (saat pasien sadar), pasien juga diberikan
Zinc.syrup 1x20 mg. Pada saluran cerna zink berfungsi sebagai barier, selain itu
juga zink berperan dalam memperbaiki absorpsi air dan elektrolit dari usus,
regeneralisasi cepat epitel usus, meningkatkan respon imun, mempercepat klirens
kuman diare yang patogen dari usus.
Pasien juga diagnosis dengan Anemia, dikarenakan hb pasien yang
menurun dan dari pemeriksaan fisik, konjungtiva pasien anemis. Selain itu pasien

`
juga beresiko gizi lebih sesuai dengan plot pada grafik WHO 2000 dengan Z score
BB/PB +1 SD s.d + 2 SD. Maka dari itu diberikandiet ASI + Bubur saring 3x1
hari sebagai diet pada anak A.

`
BAB V
KESIMPULAN

Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang


disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Pneumonia
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima
tahun (balita). Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di
negara maju. Berdasarkan WHO pneumonia diklasifikasikan menjadi 3 yaitu
sangat berat, berat dan ringan. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
bergantung pada berat ringannya infeksi. Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, Radiologi, C-
Reactive Protein (CRP), Mikrobiologis.

Ensefalitis adalah radang pada parenkim otak. Penyebab ensefalitis


biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang non- infektif seperti pada proses
dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis. Ensefalitis bisa disebabkan
oleh virus, bakteria, parasit, atau jamur. Meskipun penyebabnya berbeda-beda,
gejala klinis ensefalitis secara umum sama berupa Trias ensefalitis yang terdiri
dari demam, kejang, dan penurunan kesadaran. Manifestasi klinis ensefalitis
sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Diagnosa dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan Lumbal pungsi,
pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan radiologi.

Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik dari jamur Candida


albicans yang menyerang oral. Untuk memastikan penderita terinfeksi kandidiasis
maka dilakukan berbagai pemeriksaan terkait gejala-gejala yang timbul pada
pasien juga dilakukan pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada kandidiasis ini
bergantung atas penyebab serta faktor-faktor yang mendukung terjadinya infeksi
opurtunistik ini.

`
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Departemen Ilmu Kesehatan


Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2011. p 144-147 .

2. Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung:


UNPAD

3. Rudolph C D, Rudolph A M, Hostetter M K, Lister G, Siegel N J.


Rudolph's Pediatrics, 21st Ed. McGraw-Hill. USA. 2003

4. Johnston MV. Encephalopaties: Cerebral Palsy dalam Kliegman: Nelson


Textbook of Pediatrics, 18th ed. eBook Nelson Textbook of Pediatrics,
2007.

5. Ghurye S, McMillan R. Orofacial pain - An update on diagnosis and


management. Br Dent J. 2017;223(9):639–47

6. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross JH,


Arzimanoglou A, penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw
Hill Medical, 2013. h. 288-96.

7. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI.

8. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit


standar WHO. Jakarta: Depkes

9. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology: Clinical Concepts Of


Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta: EGC

10. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA.
Jakarta: RSCM

11. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta:
IDAI

12. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis


dan Terapi. Surabaya.

`
13. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta:EGC.

14. Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in


infants and children. Am fam physician 2004;20:899-908

15. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan
anak 2. Jakarta : Infomedika Jakarta ; 2007

16. Kliegman R M, Behrman R E, Jenson H B, Stanton B F. Kliegman:


Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Saunders, An Imprint of Elsevier.
USA. 2007

17. Ropper A H, Brown R H. Adams and Victor’s Principeples of Neurology,


18th ed. McGraw-Hill. USA. 2005

18. Soedarmo, Sumarno dkk. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi 1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 1999 : 116

19. Hankins GDV, Speer M. Defining the Pathogenesis and Pathophysiology


of Neonatal Encephalopathy and Cerebral Palsy. OBSTETRICS &
GYNECOLOGY 2003;102;628-636

20. Saharso D. Palsi Serebral dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Divisi
Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo Surabaya. Surabaya: FK UNAIR/RS DR. Soetomo, 2006

21. Rohkamm R, Color Atlas of Neurology. New York: Thieme ; 2004. p 288

22. Soetamenggolo TS, Sofyan I. Kelainan Paroksismal dalam Buku Ajar


Neurologi anak. IDAI;(10):190.
23. Kliegman RM, Behrman, Richard E, Jenson. Nelson Textbook of
Pediatric, 18th ed. 2007.
24. WHO. Epilepsy:Manual For Medical and Clinical Officer in
Africa.Geneva;2002;3-4
25. Major P, Thiele EA. Seizure in children: laboratory, diagnosis, and
management. Pediatri Rev 2007;28:405-14.

`
26. Shorvon S. Definition and Epidemiology in Handbook of Epilepsy
Treatment. Ed.3 2010:1-2.

27. Suwarba, IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi Pada Anak.
Saripediatri. Vol.13;2;2011;123-28.
28. Risan NA. Aspek Genetik Pada Epilepsi dalam PIKAB VII Tatalaksana
Terkini di Bidang Nefrologi, Neuropediatri dan Respirologi untuk
Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dari Ilmu Dasar ke Aplikasi Klinis.
(ed) Garna H. 2009; 93-99.

29. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE,
et al. ILAE Official Report: A practical clinical definition of epilepsy.
Epilepsia. 2014;55(4):475–82
30. Engel J. A proposed diagnostic scheme for people with epileptic seizures
and with epilepsy: Report of the ILAE task force on classification and
terminology. Epilepsia. 2001;42(6):796–803.
31. Ropper A. Brown R. Adam And Victor’s Principle of Neurology. In
Epilepsy And Other Seizure Disorders. 2005; 285-86.

32. Engelborghs S, D’hooge R, Deyn PPD. Pathophysiology of Epilepsy. J


Acta Neurol. 2000; (100):210-13.

33. S Nizam Ahmed Susan S Spencer. An approach to the evaluation of a


patient for seizures and epilepsy. 2004;
34. CARTER S, MERRITT HH. Diagnosis and treatment of epilepsy. Am
Pract Dig Treat. 1952;3(7):547–54.
35. Kuzniecky RI. Neuroimaging of epilepsy: Therapeutic implications.
NeuroRx. 2005;2(2):384–93.
36. WHO, Depkes RI. Tatalaksana Kejang dalam Pelayanan Kesehatan Anak
di rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. 2008. Hal:16-17.

37. Naek N. Guideline for Diagnosis and Management of Childhood Epilepsy.


Indian Pediatric. 2007;46:683.

`
38. Wijaya JS, Saing JH, Destariani CP. Politerapi Anti-Epilepsi pada
Penderita Epilepsi Anak. Cdk-284 [Internet]. 2020;47(3):191–4. Available
from: http://103.13.36.125/index.php/CDK/article/view/370

Anda mungkin juga menyukai