Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH SEMINAR JOURNAL READING

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

GRINSPAN’S SYNDROME
(Rashmi Ganesh Phadnis, Kale Lata, Kadam Vishwas, Ambhore Pallavi)

Pembimbing:
Astrid Widhowaty Santoso, drg.

Disusun Oleh:
Amani Zaskia Puteri 160112200081
Kartikaning Harnung 160112200082
Kartika Yusriya Dinanti 160112200083
Tania Kusuma Wijaya 160112200084

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2021
DAFTAR IS

BAB I TERJEMAHAN JURNAL.....................................................................1


1.1 Pendahuluan..............................................................................................1
1.2 Laporan Kasus...........................................................................................3
1.3 Diskusi.......................................................................................................6
1.4 Kesimpulan................................................................................................9
1.5 Deklarasi Persetujuan Pasien.....................................................................9
1.6 Dukungan Finansial dan Sponsorship.......................................................9
1.7 Kepentingan Konflik.................................................................................9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................10


2.1 Sindrom Grinspan....................................................................................10
2.2.1 Hubungan Diabetes Mellitus dengan Oral Lichen Planus...............11
2.2.2 Hubungan Hipertensi dengan Oral Lichen Planus...........................11
2.2 Diabetes Mellitus.....................................................................................12
2.2.3 Etiologi Diabetes Mellitus...............................................................13
2.2.4 Klasifikasi Diabetes Mellitus...........................................................13
2.2.5 Diagnosis Diabetes Mellitus............................................................14
2.2.6 Patogenesis Diabetes Mellitus.........................................................15
2.2.7 Manifestasi Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus....................17
2.2.8 Manifestasi Oral Diabetes Mellitus..................................................19
2.2.9 Tata Laksana Diabetes Mellitus.......................................................21
2.3 Hipertensi................................................................................................23
2.3.1 Etiologi Hipertensi...........................................................................23
2.3.2 Klasifikasi Hipertensi.......................................................................24
2.3.3 Patofisiologis Hipertensi..................................................................26
2.3.4 Tata Laksana Hipertensi...................................................................27
2.4 Oral Lichen Planus..................................................................................28
2.4.1 Etiologi Oral Lichen Planus.............................................................29
2.4.2 Patogenesis Oral Lichen Planus.......................................................31
2.4.3 Gambaran Klinis Oral Lichen Planus..............................................32
2.4.4 Diagnosis Banding Oral Lichen Planus...........................................34
2.4.5 Diagnosis Oral Lichen Planus..........................................................34
2.4.6 Tatalaksana Oral Lichen Planus.......................................................34

BAB III PEMBAHASAN..................................................................................38

BAB IV KESIMPULAN....................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41
BAB I

TERJEMAHAN JURNAL

Laporan Kasus
Sindrom Grinspan

Abstrak

Sindrom Grinspan, entitas klinis langka yang dilaporkan oleh Grinspan pada

tahun 1966, merupakan tiga serangkai gejala termasuk diabetes mellitus,

hipertensi, dan oral lichen planus yang umum pada orang tua. Diagnosis pasti dari

kondisi ini ditegakkan dengan menghubungkan riwayat medis dan pemeriksaan

klinis bersama dengan interpretasi histopatologis lesi. Kami menyajikan laporan

kasus varian klinis sindrom Grinspan dari pasien wanita berusia 48 tahun dengan

tiga serangkai klinis sindrom Grinspan yang signifikan.

Kata kunci : diabetes mellitus, sindrom grispan, hipertensi, oral lichen planus

1.1 Pendahuluan

Lichen planus adalah kelainan mukokutan kronis yang dimediasi secara

imunologis. Ini pertama kali dijelaskan oleh Dokter Inggris Wilson Erasmus pada

tahun 1869 dan diperkirakan mempengaruhi 0,5% - 1% dari populasi dunia.

Lichen merupakan tumbuhan primitif yang terdiri dari alga simbiosis dan jamur

dan kata planus dalam bahasa latin berarti datar. Lichen planus memiliki

manifestasi klinis yang bervariasi yang mempengaruhi kulit, mukosa mulut, kuku,

mukosa genital, dan kulit kepala. Lesi ini memiliki gambaran klinis dan gambaran

1
2

histologis yang membantu dalam diagnosis. Kondisi ini mungkin terkait dengan

beberapa faktor penyebab/eksasebasi yang meliputi infeksi kronis, penyakit

sistemik, gangguan endokrin, alergi, stres psikologis, kebiasaan mengunyah

tembakau, penyakit graft-versus-host, dan genetika. Berkenaan dengan

patofisiologi, ini adalah penyakit autoimun yang dimediasi sel T di mana sel T

CD8+ memicu apoptosis sel epitel oral di lapisan basal. Namun, penyebab pasti

lichen planus tidak diketahui.

Oral lichen planus (OLP) dapat dikaitkan dengan beberapa penyakit sistemik

lainnya. Pada tahun 1963, Grinspan et al. menemukan hubungan yang menarik

dari OLP dengan diabetes mellitus (DM) dan hipertensi vaskular (tekanan darah)

dan karenanya disebut sindrom Grinspan.

Reaksi lichenoid oral (OLR) dianggap sebagai varian OLP. OLP dan reaksi obat

lichenoid oral memiliki temuan klinis dan histologis yang serupa. Ini terkait

dengan pemberian obat, kontak dengan logam, bahan makanan, atau penyakit

sistemik. Peningkatan kejadian mungkin, sebagian, disebabkan oleh pengenalan

berbagai kategori obat baru yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk

reaksi lichenoid sebagai efek samping. Paling sering, antibiotik, antihipertensi,

senyawa emas, diuretik, antimalaria, dan agen anti-inflamasi nonsteroid

bertanggung jawab untuk reaksi lichenoid. Terapi obat untuk DM dan hipertensi

mampu menghasilkan reaksi lichenoid pada mukosa mulut. Namun, hubungan

tepatnya tidak jelas. Di sini, kami menyajikan kasus OLP yang jarang terjadi pada

pasien dengan riwayat medis diabetes dan hipertensi.


3

1.2 Laporan Kasus

Seorang pasien wanita yang berusia 48 tahun dilaporkan ke Departemen Penyakit

Mulut dan Radiologi dengan keluhan utama berupa adanya sensasi rasa terbakar

di dalam mulut sejak 1 bulan yang lalu, yang menjadi semakin parah apabila

mengonsumsi makanan pedas. Riwayat medis menunjukkan bahwa pasien sudah

mengidap diabetes tipe II selama 15 tahun serta hipertensi selama 12 tahun

terakhir. Pasien diobati dengan Huminsulin-R 1 U/kg/hari serta amlodipine 5 mg

dan metoprolol 50 mg setiap hari. Pemeriksaan fisik umum memperlihatkan

bahwa pasien mendapat asupan nutrisi yang baik tanpa memiliki kebiasaan yang

buruk/merusak.

Pada pemeriksaan klinis ekstraoral, tidak ditemukan limfadenopati servikal

maupun lesi ekstraoral. Pada pemeriksaan intraoral, terdapat lesi difus

tergeneralisasi pada gingiva di bagian bukal dan palatal dengan melibatkan

gingiva margin dan cekat (marginal and attached gingiva), yang menunjukkan

eritema diselingi area hiperkeratosis, memiliki konsistensi lunak serta edema,

tidak terasa nyeri ketika ditekan, terdapat perdarahan saat probing (bleeding on

probing), dan memperlihatkan pola garis putih pada sekitar apikal [Gambar 1 dan

2]. Di bagian mukosa bukal sebelah kanan, terdapat garis-garis/striasi

hiperkeratosis berwarna putih dalam pola retikuler yang memanjang 2 cm dari

sudut mulut hingga retromolar pad. Ketika dipalpasi, garis-garis tersebut tidak

terasa nyeri dan tidak dapat dikerok [Gambar 3].


4

Gambar 1 Foto klinis lesi gingiva (rahang atas sebelah kiri)

Gambar 2 Foto klinis lesi gingiva (rahang atas sebelah kanan)

Gambar 3 Foto klinis lesi pada mukosa bukal

Pemeriksaan yang dilakukan juga meliputi hematologi rutin meliputi kadar

glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan atau postprandial. Selain itu,
5

dilakukan biopsi eksisi pada lesi mukosa bukal yang didahului dengan pemberian

anestesi lokal untuk pemeriksaan histopatologi [Gambar 4]. Hasil pemeriksaan

histopatologi menyatakan bahwa lesi tersebut merupakan lichen planus [Gambar

5]. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan epitel gepeng berlapis

parakeratosis, degenerasi sel basal, infiltrasi sel inflamasi kronis di bagian

subepitel jaringan ikat, dan adanya jaringan fibrosa serta lemak/adiposa pada area

yang lebih dalam. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa lesi tersebut adalah

lichen planus.

Gambar 4 Biopsi eksisi


6

Gambar 5 Gambar histopatologi dari lichen planus

Apabila dilihat korelasi antara latar belakang kondisi sistemik pasien yang

diketahui mengidap diabetes dan hipertensi dengan hasil pemeriksaan

histopatologi terkait temuan lichen planus, maka diagnosis klinis yang ditetapkan

adalah Sindrom Grinspan. Selanjutnya, kortikosteroid topikal dan suplementasi

vitamin diresepkan untuk meringankan gejala oral lichen planus (OLP). Pasien

juga dirujuk ke dokter yang sebelumnya merawatnya, kemudian dokter tersebut

mengubah resep obat rutin pasien. Pasien terus dirawat secara berkala dan diamati

perkembangan lesinya. Setelah dilakukan modifikasi dalam pengobatan pasien,

lesi oral terlihat membaik pada kunjungan 1 bulan setelahnya [Gambar 6].
7

Gambar 6 Kunjungan follow-up

1.3 Diskusi

Lichen planus sering terjadi pada wanita dengan rasio perbandingan wanita: pria

1,4: 1 dan pada kelompok usia dekade ketiga hingga ketujuh dalam hidup. Secara

umum, penyakit ini muncul sebagai enam tipe retikuler klinis (striae putih halus

saling bersilangan pada lesi), atrofi (area lesi eritematosa yang dikelilingi oleh

komponen retikuler), tipe papular, bulosa, plak, erosif atau ulseratif. Kasus ini

menunjukkan tipe retikuler dengan mukosa bukal dan tipe erosif dengan gingiva

lesi. Asosiasi OLP erosif dengan DM dan hipertensi arteri pertama kali dilaporkan

oleh Grinspan. Etiologi pasti di balik korelasi antara unsur-unsur triad

simptomatik ini tidak jelas. Juga disarankan untuk menjadi OLR sebagai efek

samping untuk terapi obat DM dan hipertensi.

Dalam kasus ini, pasien sedang menjalani perawatan medis dengan metoprolol

yang termasuk dalam kelompok obat antihipertensi beta-blocker dan diakui

mampu memproduksi OLR. Ada laporan tentang hubungan antara LP dan DM.

Prevalensi DM pada pasien dengan OLP telah dilaporkan berkisar dari 10%

sampai 85%. Telah diusulkan bahwa disfungsi endokrin pada DM mungkin terkait
8

dengan defek imunologi yang juga dapat berkontribusi pada perkembangan

penyakit OLP.

Prevalensi OLP secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan DM tipe 1 dan

sedikit lebih tinggi pada pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan kontrol.

Ini menunjukkan bahwa berbagai obat untuk hipertensi dan DM dapat

menyebabkan lesi lichen planus. Lebih lanjut, adanya lesi oral pada pasien

diabetes dan hipertensi dapat dikaitkan dengan fakta bahwa pasien ini juga

menderita stres mental yang parah yang dianggap sebagai salah satu faktor

penyebab OLP.

Penatalaksanaan OLP / OLR terutama terdiri dari pengurangan gejala dan periode

tindak lanjut jangka panjang karena kemungkinan terjadinya transformasi

maligna. Kortikosteroid topikal telah terbukti menjadi obat yang paling dapat

diprediksi dan efektif untuk mengendalikan tanda dan gejala OLP. Kadang-

kadang, steroid sistemik diindikasikan untuk pengobatan singkat pada eksaserbasi

parah atau untuk pengobatan lesi bandel yang gagal merespons terapi topikal

dalam waktu singkat. Prednison 0,50-0,75 mg / kg / hari selama <10 hari tanpa

pengurangan dianjurkan oleh banyak dokter. Seringkali, kombinasi terapi topikal

dan sistemik terbukti lebih bermanfaat daripada modalitas tunggal.

Asam retinoat all-trans yang diberikan secara sistemik dan topikal, Vitamin A,

etretinat sistemik, dan isotretinoin sistemik dan topikal semuanya telah

menunjukkan beberapa ukuran efisiensi dalam studi terbuka atau laporan kasus

anekdot. Retinoid topikal biasanya lebih disukai daripada retinoid sistemik karena
9

dapat dikaitkan dengan efek samping yang merugikan seperti disfungsi hati dan

teratogenisitas. Dalam kasus kami, kami telah meresepkan steroid triamcinolone

topikal (0,1%) bersama dengan suplemen Vitamin A dan profilaksis oral lengkap.

Pasien dirawat dalam periode tindak lanjut yang rutin setiap 1 bulan.

Setiap pasien yang dicurigai menderita OLP atau OLR harus ditanyai secara detail

mengenai riwayat medis dan pengobatan sistemik. Penting bagi dokter gigi untuk

mengedukasi pasien mengenai manifestasi oral dari DM dan hipertensi.

Perubahan pengobatan harus dipertimbangkan setelah berkonsultasi dengan

dokter medis pasien. Diagnosis dini, penghentian dan / atau penggantian obat

penyebab, dan strategi manajemen yang tepat sangat penting untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien yang menderita sindrom Grinspan.

Potensi keganasan yang dimiliki lichen planus masih menjadi banyak kontroversi.

Namun, terlepas dari ketidakpastian mengenai kemungkinan transformasi

keganasan OLP saat ini, fakta bahwa transformasi semacam itu dapat terjadi

tampaknya semakin diyakini. Oleh karena itu, pasien dengan oral linchen planus

baik asimptomatik maupun hampir tidak bergejala sangat dianjurkan untuk

ditindaklanjuti secara jangka panjang.

1.4 Kesimpulan

Sindrom Grinspan adalah asosiasi langka dari triad of symptoms: OLP erosif,

DM, dan hipertensi. Penting bagi dokter gigi untuk mengenal tatalaksana medis

pasien DM dan hipertensi. Dengan berperan aktif dalam diagnosis dan pengobatan
10

kondisi rongga mulut yang terkait dengan kedua penyakit ini, dokter gigi juga

dapat berkontribusi dalam pemeliharaan kesehatan optimal individu.

1.5 Deklarasi Persetujuan Pasien

Penulis menyatakan bahwa mereka telah memperoleh semua formulir mengenai

persetujuan pasien. Dalam bentuk pasien telah memberikan persetujuan mengenai

gambar dan informasi klinis lainnya untuk dilaporkan dalam jurnal. Pasien

memahami bahwa nama dan inisial mereka tidak akan dipublikasikan dan akan

dilakukan upaya untuk menyembunyikan identitas mereka, tetapi anonimitas tidak

dapat dijamin.

1.6 Dukungan Finansial dan Sponsorship

Nol.

1.7 Kepentingan Konflik

Tidak ada.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Grinspan

Sindrom Grinspan adalah hubungan yang ada antara lichen planus erosif,

diabetes mellitus, dan hipertensi arterial. Hal ini dilaporkan oleh Grinspan dan

dinamai oleh Grupper dan Avil sebagai "Sindrom Grinspan." (Goyal et al. 2018)

Ini mewakili gangguan yang diinduksi obat, dan lesi lichenoid oral, yang

merupakan varian dari OLP, mungkin merupakan reaksi terhadap obat

antidiabetik dan / atau antihipertensi. Beberapa obat sistemik diketahui

menghasilkan reaksi mukosa mulut yang secara klinis dan mikroskopis mirip

dengan lichen planus. Lesi lichenoid ini dapat dianggap sebagai penyakit itu

sendiri atau sebagai eksaserbasi OLP yang ada karena obat-obatan tertentu. Lesi

ini biasanya unilateral dan dari jenis eritematosa dan ulseratif. Jika dibandingkan

dengan lichen planus, lesi ini biasanya terlihat pada aspek ventral lidah dan

cenderung menghasilkan ulserasi ketebalan yang lebih penuh. (Manuel et al.

2020)

Patogenesis reaksi lichenoid sebagian besar tidak diketahui, dan mungkin

karena interaksi kompleks yang melibatkan obat tersebut, penyakit yang

mendasari pasien, pengobatan lain, faktor genetik dan gaya hidup. Reaksi obat

idiosinkratik dapat terjadi selama konversi metabolik obat menjadi produk reaktif

kimiawi. Akumulasi dari metabolit reaktif ini, atau detoksifikasi yang terganggu,

atau penurunan mekanisme pertahanan seluler terhadap metabolit reaktif ini

tampaknya menjadi faktor pemicu. (Manuel et al. 2020)

10
11

Sejumlah obat yang diduga dapat menimbulkan lesi mulut dengan gambaran

mirip OLP adalah antiinflamasi nonsteroid (AINS), angiotensin-converting (ACE)

inhibitor, beta-blockers, obat hipoglikemik, diuretics, dan penisilinamin. (Sari,

2017). Mekanisme yang tepat dari patogenesis OLP yang diinduksi obat masih

belum jelas. Salah satu teori menunjukkan kerusakan keratinosit pada lapisan

basal epitel dengan pembentukan antibodi. Hubungan tertentu juga disarankan

antara gangguan endokrinologi dalam perjalanan diabetes dan terjadinya cacat

imunologis yang berkontribusi pada perkembangan OLP. (Tomera-niekowal,

2018)

2.2.1 Hubungan Diabetes Mellitus dengan Oral Lichen Planus

Petrou-Amerikanou et al. mengatakan bahwa prevalensi OLP secara

signifikan lebih tinggi pada penderita diabetes tipe 1 dan sedikit lebih tinggi pada

penderita diabetes tipe 2, dibandingkan pada subjek kontrol. (Sari, 2017)

Hubungan ini dapat disebabkan oleh disfungsi endokrin pada DM yang mungkin

terkait dengan defek imunologi sehingga berkontribusi terhadap berkembangnya

OLP. (Mozaffari, 2016) Kejadian OLP sering dikaitkan dengan sejumlah

penyakit autoimun, bahkan OLP sendiri dikategorikan sebagai penyakit autoimun.

Kondisi imun tubuh yang abnormal juga diasosiasikan dengan DM, yakni diabetes

tipe 1, sehingga diduga ada hubungan di antara keduanya. (Petrou-Amerikanou,

1998; Părlătescu, 2020) Periode penyembuhan pada tubuh pasien DM diketahui

lebih lama daripada kondisi normal secara umum, baik pada pasien diabetes tipe 1

maupun 2, sehingga hal tersebut mungkin berkontribusi terhadap kemunculan

OLP. (Părlătescu, 2020) Selain itu, obat antidiabetik tertentu pada penderita DM
12

dapat menimbulkan manifestasi alergi yang menghasilkan reaksi lichenoid.

(Mozaffari, 2016)

2.2.2 Hubungan Hipertensi dengan Oral Lichen Planus

Riwayat penyakit berupa konsumsi agen antihipertensi yang telah

digunakan diduga dapat memicu timbulnya reaksi lichenoid. Walaupun

mekanisme timbulnya reaksi ini masih belum jelas, namun diduga obat

antihipertensi dapat menimbulkan perubahan antigenik keratinosit yang kemudian

akan menstimulasi reaksi imunologi. (Sari, 2017)

Kaptopril diketahui mampu menghasilkan reaksi lichenoid oral. Gugus

sulphydryl dari kaptopril mengubah sistem enzim. Penyimpangan ini dapat

memicu respons imun terhadap antigen epidermal yang menyebabkan reaksi obat

lichenoid. (Ismail, 2007)

2.2 Diabetes Mellitus

Kondisi patologi yang paling umum terjadi pada sistem endokrin pankreas

ialah penyakit diabetes mellitus. Diabetes mellitus merupakan gangguan

metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya kadar/konsentrasi glukosa darah

atau hiperglikemia secara abnormal. (Silverthorn, 2013)

Diabetes mellitus bukanlah suatu penyakit tunggal, melainkan sekelompok

gangguan metabolisme yang menunjukkan fitur serupa yakni hiperglikemia.

Hiperglikemia kronis dan deregulasi metabolik penyerta dari diabetes mellitus

dapat dihubungkan dengan timbulnya kerusakan sekunder di berbagai sistem

organ, terutama ginjal, mata, saraf, dan pembuluh darah. (Kumar, 2013)
13

2.2.3 Etiologi Diabetes Mellitus

Diabetes disebabkan oleh jumlah sekresi insulin yang tidak memadai,

respon yang abnormal dari sel target, atau keduanya. Hal tersebut dapat terjadi

dipengaruhi oleh gaya hidup yang tidak sehat, hingga timbul obesitas. Apabila

individu yang berisiko tinggi mengidap diabetes (kondisi pre-diabetes) tidak

berusaha memperbaiki gaya hidupnya dengan mengubah pola makan dan

olahraga, maka kemungkinan besar ia akan mengalami diabetes di kemudian hari.

(Silverthorn, 2013)

2.2.4 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Diabetes secara umum dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu:

(Silverthorn, 2013)

1) Diabetes Tipe 1

Diabetes tipe 1 ditandai dengan kondisi tubuh yang mengalami kekurangan

sekresi insulin sebagai akibat dari kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini

umumnya dikaitkan dengan kondisi autoimun dimana tubuh gagal mengenali

sel beta sebagai sel tubuh, lalu sel tersebut dihancurkan oleh antibodi dan sel

darah putih. Diabetes tipe 1 terjadi pada 10% penderita dari seluruh kasus

diabetes mellitus.

2) Diabetes Tipe 2

Diabetes tipe 2 terjadi dikarenakan kombinasi dua keadaan, yakni resistensi

perifer terhadap insulin serta respon kompensasi sekresi insulin yang tidak

adekuat (defisiensi insulin relatif). Diabetes tipe 2 juga dikenal dengan sebutan
14

diabetes resisten insulin, karena kadar insulin di dalam darah penderitanya

normal atau bahkan meningkat pada awalnya. Namun dalam proses

perkembangan penyakit selanjutnya, penderita diabetes tipe 2 akan mengalami

kekurangan insulin. Diabetes tipe 2 dialami oleh 80-90% penderita dari seluruh

kasus diabetes mellitus.

Hal yang penting untuk diingat yaitu meskipun kedua tipe diabetes

disebabkan oleh mekanisme patogenik yang berbeda, komplikasi jangka panjang

pada ginjal, mata, saraf, dan pembuluh darah dapat terjadi pada keduanya dan

merupakan penyebab utama morbiditas/kematian. (Kumar, 2013)

2.2.5 Diagnosis Diabetes Mellitus

Tabel II-1 Kriteria Diagnostik Diabetes (Silverthorn, 2013)


Gula Darah 2 Jam
Kriteria Gula Darah Puasa Setelah Oral Glucose
Tolerance Test
Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL
Pre-diabetes 100–125 mg/dL 140–199 mg/dL
Diabetes > 125 mg/dL > 199 mg/dL

Diabetes dapat didiagnosis dengan pemeriksaan gula darah. Diagnosis

diabetes dapat ditegakkan bila pasien mengalami salah satu dari kriteria berikut:

(Kumar, 2013)

1) Kadar random blood glucose (Gula Darah Sewaktu) 200 mg/dL atau lebih

tinggi, dengan tanda dan gejala klinis


15

2) Kadar fasting glucose concentration (Gula Darah Puasa) 126 mg/dL atau lebih

tinggi, lebih dari satu kali

3) Kadar gula darah 2 jam setelah oral glucose tolerance test 200 mg/dL atau

lebih tinggi

Gula darah puasa diperiksa setelah pasien diinstruksikan berpuasa

setidaknya selama 8 jam, kemudian diukur kadar glukosa darahnya. Pada

pemeriksaan gula darah 2 jam setelah oral glucose tolerance test, pasien

diinstruksikan untuk mengonsumsi minuman khusus yang mengandung 75 g

glukosa yang dilarutkan air, lalu kadar glukosa darah diukur setiap 30 menit

selama 2 jam. Individu normal menunjukkan sedikit peningkatan kadar glukosa

darah sesaat setelah meminum air glukosa, tetapi segera kembali normal. Namun,

pasien diabetes menunjukkan kadar glukosa darah yang semakin meningkat.

Peningkatan kadar glukosa darah secara abnormal yang diamati melalui

pemeriksaan gula darah hanya menunjukkan respon tubuh yang tidak normal

terhadap glukosa. Pemeriksaan ini tidak dapat mendeteksi masalah terkait sintesis

insulin, pelepasan insulin, atau tingkat responsif sel target terhadap insulin.

(Silverthorn, 2013)

2.2.6 Patogenesis Diabetes Mellitus

Diabetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun dimana terjadi destruksi

pulau langerhans akibat sel imun efektor yang bereaksi melawan antigen sel beta

endogen. Diabetes tipe 1 paling sering berkembang sejak masa kanak-kanak,

mulai menunjukkan manifestasi saat masa pubertas, dan terus berkembang seiring
16

bertambahnya usia. Meskipun onset klinis diabetes tipe 1 mendadak, serangan

autoimun kronis pada sel beta biasanya telah dimulai bertahun-tahun sebelum

manifestasi penyakit muncul. Manifestasi klinis penyakit berupa hiperglikemia

dan ketosis mulai terlihat setelah lebih dari 90% sel beta dihancurkan. Kelainan

imun yang terjadi pada penderita diabetes tipe 1 adalah kegagalan toleransi diri

pada sel T. Kegagalan toleransi ini mungkin hasil dari beberapa kombinasi defek

delesi klonal pada sel T self-reactive di timus, serta cacat fungsi pada sel T

regulator atau resistensi supresi dari sel T efektor terhadap sel regulator.

Selanjutnya, sel T autoreaktif merespon terhadap antigen diri. Terjadi

autoantibodi melawan berbagai antigen sel beta, termasuk insulin, yang terdeteksi

dalam darah pada 70% hingga 80% penderita diabetes. (Kumar, 2013)

Seperti kebanyakan penyakit autoimun, pathogenesis diabetes tipe 1 juga

melibatkan interaksi antara faktor kerentanan genetik dan faktor lingkungan.

Melalui studi asosiasi genom, telah diidentifikasi lebih dari 20 lokus yang

mengalami kerentanan diabetes tipe 1. Dari jumlah tersebut, lokus kerentanan

utama untuk diabetes tipe 1 adalah gen HLA-D, CTLA4 dan PTPN22. Selain itu,

faktor lingkungan seperti adanya infeksi virus (khususnya virus gondong, rubella,

dan coxsackie B) dapat menjadi pemicu awal. Hal tersebut terjadi karena beberapa

antigen virus mirip dengan antigen sel beta (molekuler mimikri). Namun, teori ini

masih perlu dikaji. (Kumar, 2013)

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit multifaktorial yang kompleks. Faktor

lingkungan seperti gaya hidup dan pola makan sangatlah berperan, serta berkaitan

dengan kondisi obesitas. Faktor genetik juga terlibat dalam pathogenesis,


17

dibuktikan dengan tingkat kesesuaian penyakit 35% hingga 60% pada kembar

monozigotik, sedangkan pada kembar dizigotik hanya separuhnya. Tidak seperti

tipe 1, tipe 2 ini tidak terkait dengan gen yang terlibat dalam toleransi dan regulasi

kekebalan tubuh, sehingga bukti yang menunjukkan tipe ini terkait dengan kondisi

autoimun terbilang kurang. Kelainan metabolik yang menjadi ciri diabetes tipe 2

adalah (1) penurunan kemampuan jaringan perifer untuk merespon insulin

(resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel beta yang manifestasinya berupa sekresi

insulin yang tidak memadai dalam menanggulangi resistensi insulin dan

hiperglikemia. Resistensi insulin memicu timbul dan berkembangnya

hiperglikemia, diikuti dengan hiperfungsi sel beta kompensasi dan

hiperinsulinemia pada tahap awal perjalanan penyakit. (Kumar, 2013)

2.2.7 Manifestasi Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus

Gejala dari kondisi hiperglikemia antara lain poliuria, polidipsia, penurunan

berat badan, polifagia, dan penglihatan kabur. Penurunan pertumbuhan dan

kerentanan terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai hiperglikemia kronis.

Diabetes yang tidak terkontrol dapat mengancam jiwa melalui timbulnya

hiperglikemia dengan ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar nonketotik. (ADA,

2005)

Komplikasi jangka panjang dari diabetes meliputi retinopati dengan potensi

kehilangan penglihatan; nefropati yang menyebabkan gagal ginjal; neuropati

perifer dengan risiko ulkus, amputasi, dan sendi Charcot pada kaki; dan neuropati

otonom yang menyebabkan gangguan gastrointestinal, genitourinari, dan

kardiovaskular serta disfungsi seksual. Pasien dengan diabetes memiliki insidensi


18

yang tinggi terhadap penyakit aterosklerosis kardiovaskular, arteri perifer, dan

serebrovaskular. Hipertensi dan abnormalitas metabolisme lipoprotein juga sering

ditemukan pada penderita diabetes. (ADA, 2005)

Diabetes diketahui sebagai salah satu faktor risiko utama berkembangnya

penyakit kardiovaskular, dan hampir dua pertiga penderita diabetes diperkirakan

meninggal karena gangguan kardiovaskular. Pada penderita diabetes, sel tubuh

tidak dapat menggunakan glukosa sehingga beralih menggunakan lemak dan

protein sebagai sumber energi. Tubuh memecah lemak menjadi asam lemak yang

selanjutnya dikandung dalam darah. Selain itu, kadar kolesterol plasma meningkat

sehingga LDL-C yang berlebih di dalam darah akan dicerna oleh makrofag.

Rangkaian peristiwa tersebut memicu timbulnya aterosklerosis. Apabila tidak

diberi perawatan, penyumbatan pembuluh darah kecil dan sedang di ekstremitas

bawah dapat menyebabkan hilangnya sensasi dan gangren (kematian jaringan)

pada kaki. Selain itu, aterosklerosis pembuluh darah besar dapat menyebabkan

serangan jantung dan stroke. (Silverthorn, 2013)


19

2.2.8 Manifestasi Oral Diabetes Mellitus

Bagan 1 Manifestasi oral diabetes serta mekanisme dan keterkaitan satu dengan lainnya
(Gandara, 2011)

Diabetes mellitus dapat mempengaruhi keadaan jaringan rongga mulut

secara signifikan. Diabetes umumnya menyebabkan perubahan pada jaringan

periodontal, mukosa mulut (oral mukosa), fungsi kelenjar saliva, dan fungsi saraf

di mulut (oral neural), serta meningkatkan risiko karies. Dari sekian banyak

manifestasi diabetes di rongga mulut, periodontitis paling sering terjadi. Insidensi

periodontitis meningkat dan dapat menjadi lebih parah pada penderita diabetes.

Selain periodontitis, lesi oral non-periodontal serta kondisi penurunan fungsi juga

ditemukan pada pasien dengan diabetes. Kelainan yang timbul antara lain berupa

mulut kering akibat disfungsi kelenjar saliva, sensasi mulut terbakar atau

neuropati lain, lesi oral mukosa seperti reaksi lichenoid/lichen planus, dan infeksi

jamur seperti kandidiasis. Penting bagi klinisi untuk mengenali dan memahami

lesi oral yang mungkin terjadi pada pasien yang mengalami diabetes guna
20

membantu dalam upaya mendeteksi pasien diabetes yang belum terdiagnosis,

mengevaluasi kondisi, dan memantau terapi. (Gandara, 2011; Sari, 2017)

Mukosa mulut dalam kondisi normal dilindungi oleh saliva dengan jumlah

dan kualitas yang adekuat. Saliva berperan dalam menyediakan lubrikasi,

pembersihan, buffer pH, dan protein antimikroba (sekretori IgA). Selain itu,

lapisan epitel dan kelenjar saliva minor pada mukosa mulut berkontribusi dalam

menyediakan imunitas bawaan berupa peptida dan protein antimikroba (α- dan β-

defensins, histatin). Kedua fitur utama tersebut mempengaruhi kemampuan

jaringan lunak mulut dalam bertahan terhadap aktivitas mikroba yang merugikan;

paparan berlebihan terhadap trauma mekanis (contoh: defek restorasi gigi yang

tajam, gigi tiruan yang tidak pas); atau trauma kimiawi (contoh: merokok,

konsumsi alkohol yang berlebihan). Oleh karena itu apabila komponen di mukosa

mulut berada dalam kondisi normal, maka kesehatan dari rongga mulut dapat

dipertahankan. (Gandara, 2011)

Kondisi yang sama tidak terdapat pada penderita diabetes karena penderita

mengalami gangguan respon imun tubuh dan penurunan fungsi kelenjar saliva.

Hal tersebut menyebabkan penderita diabetes berisiko tinggi mengalam lesi oral

mukosa serta kelainan lainnya pada rongga mulut. Kelainan pada jaringan lunak

mulut 10 kali lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes dibandingkan pada

pasien non-diabetes. Gangguan respon imun tubuh penderita diabetes dipicu oleh

kondisi hiperglikemia kronis yang meningkatkan aktivitas kolagenase sehingga

kolagen akan terurai. Selanjutnya, terjadi perubahan vaskuler (mikroangiopati)

pada membran basalis yang menyebabkan gangguan transport nutrisi serta migrasi
21

dan aktivitas sel imun ke jaringan tubuh, termasuk jaringan pada rongga mulut.

Selain itu, penurunan fungsi kelenjar saliva pada pasien diabetes dipengaruhi oleh

perubahan vaskuler atau disfungsi saraf otonom yang menurunkan kemampuan

kelenjar saliva untuk memberi respon terhadap stimulasi hormonal atau neural.

Penurunan fungsi kelenjar saliva juga dapat disebabkan oleh efek samping dari

terapi obat anti-diabetes. (Gandara, 2011; Sari, 2017)

2.2.9 Tata Laksana Diabetes Mellitus

Tujuan dari perawatan pada penderita diabetes adalah untuk memperbaiki

kondisi hiperglikemia yang dialami pasien guna mencegah terjadinya komplikasi.

Individu dengan diabetes tipe 1 mengalami kekurangan jumlah sekresi insulin

sehingga butuh diberi terapi berupa injeksi insulin. Perawatan bagi penderita

diabetes tipe 1 yang sering kali mengalami ketoasidosis adalah injeksi insulin,

disertai terapi penggantian cairan dan elektrolit tubuh. Sebelum dikembangkannya

ilmu di bidang rekayasa genetika, sebagian besar sumber bahan untuk injeksi

insulin berasal dari pankreas babi, sapi, dan domba. Namun, selanjutnya

perusahaan bioteknologi mulai melakukan kloning gen insulin dari manusia untuk

memproduksi insulin manusia artifisial. Seiring berkembangnya zaman, ilmuwan

juga mulai mengembangkan teknik untuk menanamkan encapsulated beta cells ke

dalam tubuh, dengan harapan individu penderita diabetes tipe 1 tidak perlu lagi

mengandalkan injeksi insulin rutin. (Silverthorn, 2013)

Terapi yang direkomendasikan untuk sebagian besar penderita diabetes tipe

2 dan pre-diabetes adalah berolahraga serta menurunkan berat badan. Berolahraga

dapat menurunkan hiperglikemia karena otot yang sedang digunakan berolahraga


22

tidak membutuhkan insulin untuk pemanfaatan glukosa (insulin independent).

Pada sebagian pasien, menurunkan berat badan berhasil menghilangkan resistensi

insulin mereka. Selain itu, pasien juga dapat diberi perawatan berupa terapi obat.

Obat yang digunakan untuk mengobati diabetes tipe 2 bekerja dengan (1)

merangsang sel beta untuk mensekresikan insulin, (2) memperlambat pencernaan

atau penyerapan karbohidrat di usus, (3) menghambat keluaran glukosa hati, atau

(4) membuat sel target lebih responsif terhadap insulin. Banyak obat anti-diabetes

jenis baru yang mekanisme kerjanya meniru kerja hormon endogen. Misalnya,

pramlintide yang merupakan analog dari amylin yaitu hormon peptida yang

disekresi bersamaan dengan insulin. Amylin membantu mengatur keadaan

homeostasis glukosa setelah individu makan dengan memperlambat pencernaan

dan penyerapan karbohidrat. Amylin juga mengurangi asupan makanan dengan

menekan nafsu makan secara sentral, serta menurunkan sekresi glukagon. Terapi

obat berbasis hormon lainnya adalah analog dari inkretin yaitu exendin-4

(Byetta®). Inkretin tersebut diambil dari senyawa yang ditemukan pada saliva

reptil monster gila yang beracun. Exendin-4 memiliki empat efek utama yakni

meningkatkan produksi insulin, menurunkan produksi glukagon, memperlambat

pencernaan, meningkatkan rasa kenyang, dan menurunkan berat badan. Dalam

fisiologi tubuh yang normal, kerja dari hormon amylin dan inkretin menciptakan

suatu siklus pengaturan untuk penyerapan glukosa dan metabolisme glukosa

sesudah makan. Sesudah individu makan, glukosa yang ada di usus akan memicu

pelepasan inkretin (GIP dan GLP-1). Kedua inkretin berjalan melalui sirkulasi

menuju pankreas, lalu memicu sekresi insulin dan amylin. Kemudian, amylin
23

bekerja pada saluran gastrointestinal untuk memperlambat laju makanan

memasuki usus, sementara insulin bekerja pada sel target guna menjalankan

pengambilan dan pemanfaatan glukosa. (Silverthorn, 2013)

2.3 Hipertensi

Hipertensi yang dikenal dengan nama penyakit darah tinggi adalah suatu

keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah di atas ambang batas normal

yaitu 120/80 mmHg. (Wijayanto, 2013) Penyakit ini merupakan salah satu

masalah kesehatan utama masyarakat yang umum terjadi di negara berkembang

dan negara maju. Hipertensi bermanifestasi secara akut dan agresif yang dikenal

dengan sebutan hipertensi ganas/malignant, namun lebih sering secara

asimtomatik atau tanpa gejala yang dikenal sebagai hipertensi jinak/benign.

Hipertensi termasuk penyakit berbahaya karena dapat meningkatkan risiko

penyakit stroke, jantung koroner aterosklerotik, hipertrofi jantung, gagal jantung,

diseksi aorta, demensia vaskuler, dan gagal ginjal. (Kumar, 2013)

2.3.1 Etiologi Hipertensi

Tabel 1 Tipe dan penyebab hipertensi (Kumar, 2013)


No Tipe Hipertensi Penyebab
.
1. Hipertensi Primer/Esensial Idiopatik
2. Hipertensi Sekunder Ginjal
Glomerulonefritis akut
Penyakit ginjal kronis
24

Vaskulitis ginjal
Arteri stenosis ginjal
Polikistik
Tumor ginjal (menghasilkan renin)
Endokrin
Hiperfungsi adrenokortikal
Hormon eksogen
Akromegali
Hipo/Hipertiroidisme
Kehamilan (pre-eklampsia)
Kardiovaskuler
Peningkatan volume intravaskuler
Peningkatan cardiac output
Peningkatan rigiditas aorta
Poliartritis nodosa
Saraf
Psikogenik
Peningkatan tekanan intrakranial
Stres akut
Sleep apnea

2.3.2 Klasifikasi Hipertensi

World Health Organization (WHO), International Society of Hypertension

(ISH), serta The Seventh Joint National Committee (JNC-7) pada Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure mengelompokkan

tingkat tekanan darah berdasarkan angka tekanan darah sistolik dan diastolik dari

tekanan darah, yaitu sebagai berikut: (Kaplan, Victor, and Flynn 2010;

Kuswardhani 2006)
25

Tabel 2. Klasifikasi tingkat tekanan darah WHO (Kaplan et al. 2010; Kuswardhani 2006)

Tekanan Darah Tekanan Darah


No Kategori
Sistolik Diastolik

1. Optimal <120 <80

2. Normal <130 <85

3. Normal-tinggi 130-139 85-89

4. Hipertensi derajat 1 (ringan) 140-159 90-99

5. Subkelompok borderline 140-149 90-94

6. Hipertensi derajat 2 (sedang) 160-179 100-109

7. Hipertensi derajat 3 (berat) ≥180 ≥110

8. Hipetensi sistolik terisolasi ≥140 <90

9. Hipertensi diastolik terisolasi <140 ≥90

Tabel 3. Klasifikasi tingkat tekanan darah JNC-7 (Kaplan et al. 2010; Kuswardhani 2006)

No. Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik

1. Normal <120 <80

2. Prehipertensi 120-139 80-89

3. Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

4. Hipertensi derajat 2 160-179 100-109

5. Hipertensi derajat 3 ≥180 ≥110

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab yang terbagi

menjadi (Datin 2014):

1) Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial Hipertensi yang penyebabnya tidak

diketahui (idiopatik), walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hid up


26

seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90%

penderita hipertensi.

2) Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial Hipertensi yang diketahui

penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah

penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal

atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Umumnya hipertensi sekunder

dapat disembuhkan dengan penatalaksanaan penyebabnya secara tepat

2.3.3 Patofisiologis Hipertensi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II

dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang

peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung

angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin

(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang

terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II

inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua

aksi utama. (Nuraini 2015)

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan

rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada

ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,

sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga

menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian


27

intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah.(Nuraini 2015)

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.

Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada

ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi

ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya

konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume

cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan

darah. (Nuraini 2015)

2.3.4 Tata Laksana Hipertensi

Penanganan hipertensi menurut JNC VII bertujuan untuk mengurangi angka

morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovakuler dan ginjal. Untuk mengurangi

tekanan darah akibat hipertensi secara umum dapat dilakukan dengan dua cara

sebagai berikut:

1. Non Farmakologis

Kebiasaan merokok, menurunkan berat badan berlebih, konsumsi alkohol

berlebih, asupan garam dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan

konsumsi buah dan sayur.

2. Farmakologis

Obat yang digunakan untuk hipertensi sangat banyak dan mencakup berbagai

kategori dalam hal fungsi dan tindakannya. Karakteristik dari obat hipertensi

dapat dilihat pada Tabel 3.


28

Tabel 4. Karakteristik Obat Antihipertensi (Southerand et al. 2016)

Kelas Obat Efek Samping Dental Mekanisme Kerja

Berikatan dengan reseptor beta,


 lichenoid reactions sehingga menghambat aktivitas saraf
Beta Blocker  Dry mouth simpatetik (menurunkan kontraksi dan
 Perubahan rasa detak jantung, cardiac output, dan
tekanan darah)

 lichenoid reactions Mencegah pembentukan angiotensin II,


 Batuk kering mengurangi aktivitas saraf simpatetik
ACE Inhibitor  Ruam sehingga menyebabkan vasodilatasi,
 Burning mouth cegah sekresi aldosteron
 angioedema

Menghambat adsorpsi NaCl dan air


 lichenoid reactions pada tubulus ginjal sehingga
Diuretic  Dry mouth meningkatkan produksi urin,
 altered taste menurunkan volume darah dan
(acetazolamide) menurunkan tekanan darah
Menghambat kerja angiotensin II
Angiotensin II  Dry mouth dengan memblok reseptor angiotensin
II menyebabkan vasodilatasi pembuluh
Receptor  Angioedema darah glomerulus sehingga
Blocker  Taste lost menurunkan tekanan darah

 Gingival
enlargement Mereduksi kandungan kalsium
Calcium
 Dry mouth intraseluler, menstimulasi vasodilatasi
Channel
 Altered taste pembuluh darah, menurunkan detak
Blockers
jantung
 Erythema
multiform

Secara klinis, tidak ada manifestasi pada rongga mulut yang diakibatkan

langsung oleh hipertensi, tetapi penggunaan obat-obatan antihipertensi sering

menimbulkan efek samping. Penggunaan obat-obatan antihipertensi dapat


29

menimbulkan manifestasi oral seperti mulut kering/xerostomia, gingival

enlargement, gingivitis, dan lichenoid reactions. (Yuan and Woo 2015)

2.4 Oral Lichen Planus

Oral lichen planus (OLP) adalah penyakit mukokutaneus kronis yang

bersifat autoimun yang melibatkan mukosa rongga mulut berupa inflamasi kronis

yang mengenai epitel berlapis squamosa. Penyebab lichen planus tidak diketahui

pasti, diduga adanya infiltrasi limfosit T (CD4 dan CD8) ke basal membran

sehingga terjadi peradangan kronis, menimbulkan perubahan epitel, jumlah

deposit fibrinogen yang banyak pada membran basal, sehingga terjadi kerusakan

lapisan sel basal epitel. (A. P. Sari et al. 2017)

Stres, genetik, makanan, obat-obatan, plak gigi, penyakit sistemik dan

higiene mulut yang buruk diduga menjadi pemicu terjadinya OLP. Penyakit ini

umum terjadi, yaitu mengenai sekitar 1-2% populasi dan lebih sering mengenai

wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 2:1. OLP umumnya terjadi pada

individu antara 30-60 tahun. (Naomi and Titiek 2009)

2.4.1 Etiologi Oral Lichen Planus

a. Genetik

Genetik dari kondisi penyakit ini memegang peranan penting. Frekuensi HLA-

A3 yang lebih tinggi dilaporkan menyebabkan lichen planus. (Krupaa et al.

2015)

b. Faktor psikologi
30

Faktor psikologis dianggap berperan dalam patogenesis OLP. Dalam beberapa

penelitian, eksaserbasi OLP telah dikaitkan dengan periode stres psikologis dan

kecemasan. (Mccullough, Alrashdan, and Cirillo 2017)

c. Pengobatan sistemik

Obat sistemik seperti beta blocker, obat antiinflamasi nonsteroid, anti malaria,

diuretik, hipoglikemik oral, penicillamine, obat retroviral oral dilaporkan untuk

memulai atau memperburuk lichen planus oral dan reaksi lichenoid oral.

(Krupaa et al. 2015)

d. Penyakit hati kronis dan virus hepatitis C

Hubungan antara penyakit hati kronis pertama kali dikemukakan oleh Mokni et

al 1941. Masih terdapat kontroversi dalam identifikasi penyebab dalam

hubungan antara kedua kondisi ini. Namun, heterogenitas geografis,

keberadaan alel antigen leukosit manusia-DR 6 (HLA-DR) didalilkan terkait.

Hubungan virus hepatitis C dan lichen planus oral ini paling umum di daerah

Mediterania dan Jepang. Terapi interferon dan terapi ribavirin yang digunakan

dalam pengobatan infeksi virus hepatitis C juga dikatakan dapat memperburuk

kondisi. (Krupaa et al. 2015)

e. Hipertensi dan Diabetes Mellitus

Hubungan antara OLP, diabetes mellitus, dan hipertensi pertama kali

dijelaskan oleh Grinspan. Triad tersebut kemudian dinamai sebagai sindrom

Grinspan. Meskipun sindrom Grinspan dapat dilihat secara klinis, hubungan

antara tiga kondisi mungkin merupakan temuan kebetulan atau mungkin OLR
31

untuk obat yang digunakan untuk mengelola hipertensi atau diabetes daripada

sindrom yang sebenarnya. (Mccullough, Alrashdan, and Cirillo 2017)

f. Disfungsi Tiroid

Hubungan antara OLP dan disfungsi tiroid baru-baru ini diteliti dalam

penelitian retrospektif Finlandia yang mengkonfirmasi hubungan antara OLP

dan hipotiroidisme. (Mccullough, Alrashdan, and Cirillo 2017)

g. Dental material

Dental material seperti amalgam gigi, bahan resin gigi, restorasi komposit

dilaporkan menyebabkan insiden tinggi reaksi lichenoid oral dan lichen planus

oral. Mereka dikatakan menghasilkan lesi hipersensitivitas kontak. (Krupaa et

al. 2015)

h. Mengunyah tembakau

Zain dkk. mengusulkan istilah "betel quid linchenoid lesion" untuk lesi yang

berkembang di daerah mengunyah tembakau dan penempatannya di mukosa

mulut. Ini digambarkan sebagai lichen planus oral seperti lesi. Secara klinis lesi

berwarna putih, guratan tak berevolusi yang tidak dapat dikerok. Itu memiliki

presentasi linier, bergelombang atau paralel. (Krupaa et al. 2015)

2.4.2 Patogenesis Oral Lichen Planus

Penyebab lichen planus tidak diketahui pasti, diduga adanya infiltrasi

limfosit T (CD4 dan CD8) ke basal membran sehingga terjadi peradangan kronis,
32

menimbulkan perubahan epitel, jumlah deposit fibrinogen yang banyak pada

membran basal, sehingga terjadi kerusakan lapisan sel basal epitel. Mekanisme

nonspesifik, yaitu degranulasi sel mast dan aktivasi MMP-1mengakibatkan

akumulasi sel T, kerusakan membran oleh protease sel mast dan apoptosis

keratinosit. Idealnya pertahanan membran basal dipertahankan oleh keratinosit

basal karena adanya sekresi kolagen 4 dan laminin 5 ke membran basal epitel.

Keratinosit melindungi membran basal dengan menerima sinyal sel sebagai onset

apoptosis. Kondisi ini berkaitan dengan penyakit kronis. MMP-9 mendegradasi

kolagen 4, mengaktivasi peningkatansel-T, meningkatkan rusaknya membran

basal. Kemokin berperan dalam menarik limfosit dan sel mast yang akan merilis

kimase dan TNF-α. Peningkatan IFN-γ oleh CD4 menurunkan efek supresi

regulasi imun TGF-β1 dan meningkatkan regulasi ekspresi MHC kl II keratinosit

dan CD8. TGF-β1 berfungsi sebagai kontrol imun dan respon inflamasi.

Penurunan TGF-β1 sebagai predisposisi inflamasi pada autoimun. Kerusakan

pada basal membran dan hiperkeratinisasi menghasilkan lesi klinis yang khas.

(Abbas AK, 2015) (Murphy K, 2017) (Ade Puspa Sari, 2017).


33

Gambar 7 (Sugerman P.2016) (Ade Puspa Sari,2017)

2.4.3 Gambaran Klinis Oral Lichen Planus

Oral lichen planus memiliki enam gambaran klinis klasik yaitu tipe retikuler

(Wickham’s striae), tipe erosif, tipe atrofi,tipe plak, tipe papula, dan tipe bulosa.

Lokasi pada rongga mulut simetris dan bilateral atau multipel, pada mukosa bukal

(80%), lidah (65%), bibir (25%),serta gingiva, dasar mulut, palatum (10%). Tipe

retikular merupakan bentuk umum dari OLP. Biasanya muncul dengan gambaran

striae-striae keratotik putih (Wickham’s striae) dengan batas eritema. (Sugerman

P, 2016)

Gambaran klinis dari lichen planus pada kulit dengan karakteristik papula

berwarna ungu, gatal, poligonal,plak sering terjadi pada permukaan fleksor lengan
34

dan kaki. Diagnosis klinis OLP ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang

khas (Wickam’s striae) pada mukosa mulut dan lesi pada kutan, serta gambaran

histopatologi jaringan. (Sugerman P, 2016)

Oral lichen planus dianggap sebagai kondisi praganas dengan transformasi

bervariasi antara 0,5- 2%,selama periode risiko 5 tahun meningkat menjadi

squamous cell carcinoma, biasanya dari lesi OLP tipe erosif dan atrofi. (Sugerman

P, 2016)

Bentuk tipe plak dari OLP mulai dari bentuk rata, halus hingga irregular.

Biasanya ditemui pada lidah dan mukosa bukal. Tipe retikular dan plak biasanya

tidak menimbulkan rasa sakit. Bentuk erosif merupakan bentuk umum yang kedua

dari OLP, berupa gambaran area eritema dan ulserasi. Apabila terdapat pada

gingiva, maka disebut deskuamatif gingivitis. Tipe ini biasanya menimbulkan rasa

sakit dan ketidaknyamanan pada pasien. Bentuk atropik dari OLP biasanya difus,

eritematus yang dikelilingi striae putih. Sedangkan bentuk bula dari OLP biasanya

muncul pada mukosa bukal dan daerah lateral dari lidah. Bentuk bulla ini biasanya

langsung pecah dan meninggalkan gambaran erosif.

2.4.4 Diagnosis Banding Oral Lichen Planus

Diagnosis banding dari OLP adalah leukoplakia, karsinoma sel skuamosa,

discoid lupus eritematous, kandidiasis kronis, pemfigus vulgaris, benign mucous

membrane pemphigoid, lichenoid reaction, erythema multiforme, hypersensitivity

mucositis dan graft-versus-host disease. (Ravina, 2009)


35

2.4.5 Diagnosis Oral Lichen Planus

Diagnosis OLP dapat ditegakkan jika gambaran klinisnya khas berupa

striae-striae menyerupai jala jala (wickham’s striae), berwarna putih, berbatas

eritema,bilateral pada mukosa bukal,gingiva,lateral lidah. (Sugerman P, 2016;

Ade Puspa Sari, 2017)

Diagnosis OLP dapat ditegakkan apabila gambaran klinisnya khas yaitu

munculnya bentuk retikular yang klasik. (Ravina, 2009) Bentuk retikular dari

OLP merupakan bentuk yang paling sering muncul, yaitu berupa lesi berwarna

putih yang berbentuk seperti jalajala penghubung dan garis yang saling

bertumpuk, menyebar dilatarbelakangi oleh daerah yang eritema dan biasanya

jarang menimbulkan keluhan. Tindakan biopsi biasanya dilakukan apabila

gambaran yang khas pada OLP tidak ada, terutama pada tipe erosif dan digunakan

untuk memantau potensi keganasan dari OLP. Resiko berkembangnya OLP

menjadi karsinoma sel skuamosa adalah sebanyak 10 kali lebih tinggi dari

populasi yang sehat.

2.4.6 Tatalaksana Oral Lichen Planus

Sebenarnya tidak perlu perawatan pada OLP terutama tipe retikular dan

plak. Perawatan hanya diberikan untuk mengurangi panjang dan keparahan dari

gejala simtomatis, terutama pada lesi atropik dan ulseratif. Menurut beberapa

literatur dikatakan bahwa perawatan OLP dapat berupa kortikosteroid, retinoid,

cyclosporine, dan phototherapy. Sebagai tambahan, terdapat beberapa obat yang

juga dipakai yaitu dapsone, griseofulvin, lysosomotropic amines, azathioprine dan


36

mycophenolate mofetil yang digunakan baik sebagai pengobatan sendiri ataupun

steroid sparing agents.

Pengobatan pada pasien ini berbeda dengan pengobatan pada pasien OLP

umum lainnya. Ada beberapa faktor yang dipertimbangkan yaitu kondisi rongga

mulut, penyakit sistemik yang mungkin memperparah kondisi lesinya, pemilihan

obat yang diberikan dan kepatuhan pasien terhadap instruksi perawatan.

Pemberian multivitamin yang mengandung vit B kompleks (vit B1 50 mg, vit B2

25 mg, vit B6 10 mg, vit B12 5mcg, nikotinamida 100 mg, ca pantotenat 18,4

mg), vit C 500 mg berfungsi sebagai terapi suportif. Vit B kompleks dalam bentuk

koenzim berperan sebagai katalis dan regulator pada reaksi biokimia dalam tubuh

sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh penderita melalui kecukupan

asupan vitamin yang dibutuhkan dan mencegah terjadi gangguan metabolik

fungsional yang menyebabkan berkurangnya asupan vitamin. Vitamin C berperan

sebagai koenzim dan antioksidan. Vitamin C mempercepat perubahan residu

prolin dan lisin pada prokolagen menjadi hidroksiprolin dan hidroksilisin pada

sintesis kolagen, sehingga dapat mempercepat proses kesembuhan.

Pasien diberikan edukasi, untuk menghindari makanan pedas, asam dan

berbumbu yang dapat merangsang nyeri pada lesi dan perlu kerjasama yang baik

antara pasien dan dokter agar perawatan dapat dilakukan dengan tuntas sehingga

tidak terjadi rekurensi. Dibutuhkan kerjasama dengan dokter spesialis penyakit

dalam untuk memonitor kadar glukosa darah pasien dan dokter spesialis jiwa
37

untuk perawatan stresnya serta kontrol berkala ke Poli Penyakit Mulut untuk

memonitor kondisi rongga mulut pasien.

Penatalaksanaan OLP / OLR terutama terdiri dari pengurangan gejala dan

periode tindak lanjut jangka panjang karena kemungkinan terjadinya transformasi

maligna. Kortikosteroid topikal telah terbukti menjadi obat yang paling dapat

diprediksi dan efektif untuk mengendalikan tanda dan gejala OLP. Kadang-

kadang, steroid sistemik diindikasikan untuk pengobatan singkat pada eksaserbasi

parah atau untuk pengobatan lesi bandel yang gagal merespons terapi topikal

dalam waktu singkat. Prednison 0,50-0,75 mg / kg / hari selama <10 hari tanpa

pengurangan dianjurkan oleh banyak dokter. Seringkali, kombinasi terapi topikal

dan sistemik terbukti lebih bermanfaat daripada modalitas tunggal.

Asam retinoat all-trans yang diberikan secara sistemik dan topikal, Vitamin

A, etretinat sistemik, dan isotretinoin sistemik dan topikal semuanya telah

menunjukkan beberapa ukuran efisiensi dalam studi terbuka atau laporan kasus

anekdot. Retinoid topikal biasanya lebih disukai daripada retinoid sistemik karena

dapat dikaitkan dengan efek samping yang merugikan seperti disfungsi hati dan

teratogenisitas. Dalam kasus kami, kami telah meresepkan steroid triamcinolone

topikal (0,1%) bersama dengan suplemen Vitamin A dan profilaksis oral lengkap.

Pasien dirawat dalam periode tindak lanjut yang rutin setiap 1 bulan.

Setiap pasien yang dicurigai menderita OLP atau OLR harus ditanyai secara

detail mengenai riwayat medis dan pengobatan sistemik. Penting bagi dokter gigi

untuk mengedukasi pasien mengenai manifestasi oral dari DM dan hipertensi.


38

Perubahan pengobatan harus dipertimbangkan setelah berkonsultasi dengan

dokter medis pasien. Diagnosis dini, penghentian dan / atau penggantian obat

penyebab, dan strategi manajemen yang tepat sangat penting untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien yang menderita sindrom Grinspan.

Potensi keganasan yang dimiliki lichen planus masih menjadi banyak

kontroversi. Namun, terlepas dari ketidakpastian mengenai kemungkinan

transformasi keganasan OLP saat ini, fakta bahwa transformasi semacam itu dapat

terjadi tampaknya semakin diyakini. Oleh karena itu, pasien dengan oral linchen

planus baik asimptomatik maupun hampir tidak bergejala sangat dianjurkan untuk

ditindaklanjuti secara jangka panjang.


BAB III

PEMBAHASAN

Grinspan (1965) menemukan adanya keterkaitan antara OLP, DM, serta

hipertensi. Adanya keterkaitan dan asosiasi di antara ketiga penyakit tersebut pada

pasien kemudian dikenal dengan sebutan Sindrom Grinspan. (Manuel, 2020)

Menurut laporan kasus, diketahui bahwa pasien sudah mengidap diabetes tipe 2

selama 15 tahun serta hipertensi selama 12 tahun terakhir sehingga pasien diberi

terapi berupa injeksi insulin dengan huminsulin, serta konsumsi obat amlodipine

dan metropolol. Setelah dilakukan pemeriksaan terkait keluhan di rongga mulut

pasien, ditemukan adanya lesi oral yang merupakan OLP.

Penyakit hipertensi yang dialami oleh pasien selama 12 tahun terakhir dapat

dikaitkan dengan penyakit DM yang telah diidap pasien selama 15 tahun (sejak 3

tahun sebelumnya). Lebih dari 50% penderita DM tipe 2 mengalami hipertensi.

Resistensi insulin berperan pada patogenesis hipertensi diawali dengan insulin

yang merangsang saraf simpatis, meningkatkan reabsorbsi natrium ginjal,

mempengaruhi transport kation, dan akhirnya mengakibatkan hipertrofi sel otot

polos pembuluh darah yang menyebabkan naiknya tekanan darah. (Yulianti,

2014)

Pada pasien dengan sindrom grinspan, OLP dapat terjadi karena adanya

reaksi yang ditimbulkan oleh obat antihipertensi dan/atau antidiabetes. (Manuel,

2020) Konsumsi obat antihipertensi berupa amlodipine dan metoprolol oleh

pasien diduga dapat memicu timbulnya reaksi lichenoid oral, yang merupakan

salah satu varian dari OLP. Walaupun mekanisme timbulnya lesi ini masih belum

38
40

jelas, namun diduga obat antihipertensi dapat menimbulkan perubahan antigenik

keratinosit yang kemudian akan menstimulasi reaksi imunologi. (Sari, 2017)

Terlepas dari temuan bahwa OLP dapat terjadi karena reaksi obat, insidensi

OLP tercatat lebih sering ditemukan pada pasien DM dengan persentase 14-85%

menurut berbagai studi. (Părlătescu, 2020) Penyakit diabetes tipe 2 yang diderita

pasien diduga berhubungan dengan lesi oral berupa OLP dengan tipe retikuler dan

erosif (bulla/vesikel/ulseratif disertai atrofik) pada rongga mulut pasien. Penelitian

yang dilakukan oleh Părlătescu serta Bagan et al. menunjukkan bahwa bentuk

OLP ulseratif dan atrofik lebih sering ditemukan pada pasien DM jika

dibandingkan dengan pasien non-DM. Kemungkinan penyebab dari kemunculan

OLP ulseratif pada pasien DM tersebut adalah karena periode penyembuhan pada

tubuh pasien DM lebih lama daripada kondisi normal secara umum. (Părlătescu,

2020) Selain itu, hubungan ini dapat disebabkan oleh disfungsi endokrin pada DM

yang mungkin terkait dengan defek imunologi sehingga berkontribusi terhadap

berkembangnya OLP. (Mozaffari, 2016)

Faktor lain yang turut berperan dalam mekanisme timbulnya reaksi

lichenoid oral meliputi interaksi yang terjadi dengan melibatkan terapi obat-

obatan lainnya, serta faktor genetik dan faktor gaya hidup. (Manuel, 2020) Faktor

risiko kemunculan OLP juga termasuk stress dan gelisah. (Părlătescu, 2020) Oleh

karena itu, stress mental yang dialami oleh pasien pada kasus dianggap sebagai

salah satu faktor penyebab OLP.


BAB IV

SIMPULAN

Sindrom Grinspan adalah asosiasi langka dari triad of symptoms, yaitu OLP

erosif, DM, dan hipertensi. Penting bagi dokter gigi untuk mengenal tata laksana

medis bagi pasien yang mengalami DM dan hipertensi dengan berperan aktif

dalam menetapkan diagnosis dan merencakan pengobatan terhadap lesi oral

berupa OLP pada rongga mulut yang terkait dengan kedua penyakit tersebut. Pada

laporan kasus ini, pasien didiagnosis mengalami sindrom Grinspan dan diberi

pengobatan steroid triamcinolone topikal (0,1%) bersama dengan suplemen

Vitamin A serta profilaksis oral lengkap. Penghentian/penggantian obat penyebab

harus dipertimbangkan setelah berkonsultasi dengan dokter medis pasien. Pasien

dirawat dalam periode tindak lanjut yang rutin setiap 1 bulan. Dokter gigi dapat

berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita sindrom

Grinspan dengan strategi manajemen yang tepat.

40
DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and molecular immunology. 8 th edition.


Elsevier; 2015.p.315-36

Ade Puspa Sari, dkk: Tatalaksanaoral lichen planus akibat stres pada diabetes
melitus. Makassar Dent J 2017; 6(3): 96-105

American Diabetes Association. Position Statment: Diagnosis and Classification


of Diabetes Mellitus. Diabetes Care. 2005;28(1):37-42.

Datin, Info. 2014. “Mencegah Dan Mengontrol Hipertensi AgarTerhidar Dari


Kerusakan Organ Jantung, Otak, Dan Ginjal.” 2–4.

Fitri, Dina Rianti. 2007. “Diagnose Enforcement and Treatment of High Blood
Pressure.” 4:47–51.

Gandara BK, Morton TH. Non-Periodontal Oral Manifestations of Diabetes: A


Framework for Medical Care Providers. Diabetes Spectrum. 2011;24(4):199-205.

Goyal, Lata, Narinder Dev Gupta, Namita Gupta, and Ziauddin Ahmad. 2018.
“Grinspan Syndrome with Periodontitis : Coincidence or Correlation ?” Journal of
Indian Society of Periodontology 22 (3): 263–65. https://doi.org/10.4103/jisp.jisp.

Ismail S, Kumar S, Zain R. Oral lichen planus and lichenoid reaction:


etiopathogenesis, diagnosis, management and malignant transformation. J Oral
Sci 2007; 49(2): 89-106

Kaplan, NM, RG Victor, and JT Flynn. 2010. Kaplan’s Clinical Hypertension.


10th ed. Dallas: Lippincott Williams & Wilkins.

Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia:

41
43

Elsevier; 2013.

Krupaa, R Jayasri, S Leena Sankari, K M K Masthan, and E Rajesh. 2015. “Oral


Lichen Planus : An Overview.” Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences 7
(April): 158–62. https://doi.org/10.4103/0975-7406.155873.

Kuswardhani, RA Tuty. 2006. “Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia.”


Jurnal Penyakit Dalam 7(2):135–40.

Lavanya N, Jayanthi P, Umadevi KR, Ranganathan K. Oral lichen planus: An


update on pathogenesis and treatment. J Oral Maxillofac Pathol 2011; 15(2).
PMCID: PMC3329692. doi: 10.4103/0973-029X. 84474. Pp. 127–32

Manuel R, Manappallil RG, Martin AM, Chacko A, Shalu S, Manuel S. Case


Report Grinspan’s Syndrome. BMH Med J. 2020;7(1):20–22.

Mccullough, Michael J, Mohammad S Alrashdan, and Nicola Cirillo. 2017. Oral


Lichen Planus. https://doi.org/10.1007/978-3-319-28100-1.

Mozaffari, Hamid Reza, Roohollah Sharifi, and Masoud Sadeghi. 2016.


“Prevalence of Oral Lichen Planus in Diabetes Mellitus: A Meta-Analysis Study.”
Acta Informatica Medica 24 (6): 390–93.
https://doi.org/10.5455/aim.2016.24.390-393.

Murphy K, Weaver C. Janeway's immunobiology. Kenneth Murphy, Casey


Weaver. 9th edition. New York : Garland Science/Taylor & Francis LLC;
2017.p.643-83

Naomi, Ravina, and Tarigan Titiek. 2009. “Tantangan Dalam Perawatan Oral
Lichen Planus Pada Pasien Diabetes Melitus.” Indonesian Journal of Dentistry 16
(4): 8–17.
44

Nuraini, Bianti. 2015. “Risk Factors of Hypertension.” 4:10–19.

Părlătescu1 I, Nicolae C, Oancea R, Funieru C. Oral lichen planus and diabetes: A


clinical study. Rom J Diabetes Nutr Metab Dis. 2020;27(4):303-308

Petrou-Amerikanou C, Markopoulos AK, Belazi M, Karamitsos D, Papanayotou


P. Prevalence of oral lichen planus in diabetes mellitus according to the type of
diabetes. Oral Diseases. 1998;4:37-40

Sari, Ade Puspa, Dwi Setianingtyas, Iwan Hernawan, and Bagus Soebadi. 2017.
“Tatalaksana Oral Lichen Planus Akibat Stres Pada Diabetes Melitus
Management of Oral Lichen Planus due to Stress in Diabetes Mellitus.” Makassar
Dent Journal, 96–106.

Sari, Liza Meutia, and Harum Sasanti. 2017. “Perawatan Topikal Intensif
Gingivitis Deskuamasi - Oral Lichen Planus Pada Pasien Hipertensi (Laporan
Kasus).” Indonesian Journal of Dentistry, 157–63.

Sari R, Herawati D, Nurcahyanti R, Wardani PK. Prevalensi periodontitis pada


pasien diabetes mellitus (Studi observasional di poliklinik penyakit dalam RSUP
Dr. Sardjito). Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 2017;3(2):98-104

Silverthorn DU, Johnson BR, Ober WC, Garrison CW, Silverthorn AC. Human
Physiology An Integrated Approach. 6th ed. Boston: Pearson; 2013.

Southerand, Janet H., Danielle G. Gill, Cesar Y. Cardona, and Charles P. Mouton.
2016. “Dental Management in Patients with Hypertension : Challenges and
Solutions.” 111–20.

Sugerman P. Oral lichen planus. 2016. American Academy of Oral and


Maxillofacial Pathology, International Association for Dental Research. Taken
from www.emedicinemedscape.com
45

Tomera-niekowal, Izabella, Kamila Grabowska-Szelag, and Barbara Kesek. 2018.


“Lichen Planus Coexisting with Diabetes Mellitus and Hypertension (Grinspan’s
Syndrome ) – Description of Two Cases.” Journal of Stomatology, 449–56.

Wijayanto W, Satyabakti P. Hubungan tingkat pengetahuan komplikasi hipertensi


dengan keteraturan kunjungan penderita hipertensi usia 45 tahun ke atas. J Berk
Epidemiol. 2014;2(1):24–33.

Yuan, Anna and Sook-bin Woo. 2015. “Adverse Drug Events in the Oral Cavity.”
Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology 119(1):35–47.

Yulianti SR, Mukaddas A, Faustine I. Profil Pengobatan Pasien Diabetes Mellitus


Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUD Undata Palu Tahun 2012. Online Jurnal of
Natural Science. 2014;3(1):40-46.

Anda mungkin juga menyukai