Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

BIDANG KEPERCAYAAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam, Budaya dan Kearifan Lokal.
Dosen Pengampu : Ayu Faiza Algifahmy, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Novi Aryaningsih (2001016043)


2. Cindy Nurlaela (2001016053)
3. Erwin Abdi Prayoga (2001016061)

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
DAFTAR PUSTAKA

BAB I ......................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................ 1
C. TUJUAN ......................................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 2
A. Keyakinan Yang Berkembang Dari Hasil Interelasi ........................................................................ 2
B. Respon Budaya Lokal (Jawa) Terhadap Islam ................................................................................ 5
C. Respon Islam Terhadap Budaya Lokal ............................................................................................ 6
BAB III ....................................................................................................................................................... 8
PENUTUP .................................................................................................................................................. 8
KESIMPULAN ....................................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan agama Islam di Indonesia yang berlangsung secara evolutif telah berhasil
menanamkan akidah Islamiyah dan syari‟ah, memunculkan cipta, rasa, dan karsa oleh
pemeluk-pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang
berkembang secara evolutif pula, baik dari penduduk asli (yang menganut animisme,
dinamisme, veteisme, dan sebagainya) maupun pengaruh dari luar (Hindu-Budha). Yang
menarik, unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan tersingkir
dengan sendirinya, sedangkan yang baik yang mengandung unsur-unsur kepatutan dan
kepantasan, hidup secara berdampingan.

Kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat yang sudah memiliki budaya tersendiri,


ternyata membuat Islam dengan budaya setempat mengalami akulturasi, yang pada akhirnya
tata pelaksanaan ajaran Islam sangat beragam. Namun demikian, Al-Qur‟an dan As-Sunnah
sebagai sumber hukum Islam tetap menjadi ujung tombak di dalam suatu masyarakat muslim,
sehingga Islam begitu identik dengan keberagaman. Dalam makalah ini akan dijelaskan
bagaimana interelasi Islam dan budaya lokal, juga respon budaya lokal terhadap Islam dan
sebaliknya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja keyakinan yang berkembang dari proses Interelasi?
2. Bagaimana respon Budaya Lokal (Jawa) terhadap Islam?
3. Bagaimana respon Islam terhadap Budaya Lokal?

C. TUJUAN
1. Mengetahui macam-macam keyakinandari proses interelasi.
2. Mengetahui respon Budaya Lokal (Jawa) Jawa terhadap Islam.
3. Mengetahui respon Islam terhadap Budaya Lokal.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keyakinan Yang Berkembang Dari Hasil Interelasi


Islam sebagai ajaran keagamaan yang lengkap, memberi tempat pada dua jenis
penghayatan keagamaan. Pertama, eksoterik (zhahiri), yaitu penghayatan keagamaan yang
berorientasi pada formalitas fiqhiyah atau pada norma-norma dan aturan-aturan agama yang
ketat. Kedua, esoterik (bathini), yaitu penghayatan keagamaan yang berorientasi dan
menitikberatkan pada inti keberagamaan dan tujuan beragama. Tekanan yang berlebihan
kepada salah satu dari dua aspek penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang
menyalahi ekuilibrium (tawâzun) dalam Islam.

Al-Quran (Q.S Al-Baqarah: 148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai
macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus
menerima kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada
masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu kecurigaan tentang
sifat Islam yang anti plural, sangatlah tidak beralasan dari segi ideologis. Bila setiap muslim
memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam Al-Qur`an, tidak perlu lagi
ada ketegangan, permusuhan dan konflik dengan agama-agama lain, selama mereka tidak
saling memaksakan.

Islam sebagai agama adalah agama „suci‟ yang mengklaim diri sebagai penerus dan
penyempurna tradisi agama sebelumnya. Pada giliranya ia membangun tradisi baru yang
berintikan jalinan tiga sendi yaitu, Iman (percaya), Islam (berserah diri), dan Ihsan (berbuat
baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual dan etik behavioral yang
kompleks. Namun penerapannya bisa lentur sehingga dalam batas-batas tertentu ada ruang
yang cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi, dan akomodasi secara jenius dengan
budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama namun artikulasinya bisa
berbeda sesuai dengan konteks lokal dan sosial dimana pemeluknya tinggal dan berada
(Muhaimin AG, 2001: ix)

2
Melalui proses panjang dan berliku, Islam telah diterima oleh mayoritas penduduk dunia
termasuk Indonesia. Namun sesudah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil
dalam bingkai budaya lokal sering tidak dikenali bahkan di salah pahami oleh banyak orang,
terutama pengamat luar. Hal ini bisa dimengerti kalau pemahaman keagamaan yang
mendominasi wacana sosial keagamaan masyarakat Indonesia dan Jawa misalnya, terutama
yang berkembang pada era 1960-an dan yang berkembang sesudahnya, cenderung melihat
tipisnya pengaruh Islam dan kentalnya unsur-unsur Animisme, Hinduisme dan Budhisme pra-
Islam yang memang sebelumnya pernah berakar. Keyakinan yang terlahir dari interelasi
antara Islam dan Budaya Lokal khusunya di tanah Jawa yaitu:

Islam Kejawen

Secara garis besar kebudayaan Jawa dapat dipilahkan dalam tiga kategori identitas
yaitu kebudayaan Pesisiran (di sepanjang Pantura), kebudayaan Banyumasan (Kedu,
Magelang dan Banyumas atau Dulangmas) dan kebudayaan Nagari Agung (kebudayaan
Kraton) yang meliputi eks Karesidenan Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri dan
Malang. Kebudayaan Nagari Agung inilah yang sering disebut sebagai Kejawen.1 Dengan
demikian budaya Kejawen sebenarnya sub kultur dari kebudayaan masyarakat Jawa
(Wong Jowo) di tanah Jawa. Istilah Kejawen dipakai oleh masyarakat untuk menyebut
budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang berada di Yogyakarta
(Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) dan
daerah-daerah di sekitarnya seperti daerah-daerah di eks.karesidenan Surakarta, Malang,
Madiun hingga Kediri.

Islam Kejawen merupakan varian agama Islam yang dianut oleh orang-orang
Jawa. Islam Kejawen, atau disebut juga dengan Agami Jawi, menurut Koentjaraningrat
adalah paham keagamaan perpaduan antara adat keagamaan asli Jawa (animisme dan
dinamisme) dengan agama Hindu-Budha dari jaman Majapahit dan pengaruh agama
Islam dari jaman Demak (Koentjaraningrat 1984: 312; Hadikusuma 1993: 72).
Panembahan Senopati (1588-1601 M), sebagai raja Mataram Islam pertama dapat

1
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa (Semarang : Dahara Prize, 1992), hlm.29

3
dikatakan sebagai the founding father dari agama Islam Kejawen ini (Hadikusuma 1993:
68; Graaf dan Pigeaud 1989).

Dari kedua wilayah (kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) inilah


maka kemudian tradisi Kejawen berkembang. Istilah Islam dipakai dalam tradisi Kejawen
sebagai bentuk perpaduan sinkretik-mutualistik sekaligus menjadi identitas tersendiri
yang berbeda dengan identitas Islam puritan maupun identitas Jawa. Islam Kejawen
adalah agama Islam yang telah beradaptasi dengan kultur dan tradisi Nagari Agung yang
kemudian dapat menciptakan sebuah identitas penggabungan antara budaya jawa dan
islam menjadi religiusitas Islam dengan warna Jawa. Budaya Islam Kejawen merupakan
bentuk sinkretisme firman suci dengan kultur lokal sehingga Islam Kejawen merupakan
salah satu bentuk fenomena keberagamaan yang sarat dengan muatan muatan tradisi
religius yang bercorak sufistik-mistis.

Islam Kejawen terlahir dari dialektika kesejarahan antara ajaran Islam yang
universal dengan kebudayaan Jawa yang inklusif menerima tradisi dan kebudayaan asing.
Hasil dialektika adalah peleburan dan munculnya identitas dwi tunggal. Warna mistik
Islam dalam kultur Islam Kejawen begitu kental dalam fenomena keberagamaan
masyarakat Jawa. Ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para wali (Walisongo) era
Demak dan sesudahnya dalam menyebarkan dakwah Islam secara kultural.2 Dalam
berdakwah, Walisongo secara konseptual menerapkan metode mauidhoh hasanah wa
mujadalah billati hiya ahsan.3 Metode yang diambil dari ayat al-qur‟an tersebut mereka
pergunakan dalam rangka menghadapi tokoh-tokoh, para pemimpin dan orang
terpandang, seperti lurah, bupati, adipati, raja ataupun para bangsawan yang lain.
Tantangan yang dihadapi Walisongo adalah sistem hirarkis dalam pranata sosial
kemasyarakatan dan budaya mistik kejawen. Untuk menghadapi tantangan tersebut
tepatlah jika Walisongo menggunakan metode ini. Dampaknya, masyarakat Jawa tidak
merasa kaget karena para wali menghargai budaya yang berkembang dan melakukan

2
Dalam berdakwah para Wali mengutamakan pola-pola bijaksana, adaptif dan kompromis sehingga tidak
memunculkan konfrontasi dengan tradisi dan kultur masyarakat local. Lihat Ridin Sofwan, Islamisasi Di Jawa (
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 15. Lihat juga Simuh, Sufisme Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 131
3
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atasa Metode Walisongo (Bandung:Mizan, 1995), hlm. 273

4
dakwah dengan cara yang sangat halus. Oleh karena itu maka terjadilah sinkretisme
pemikiran sehingga menjadi cara keberagamaan yang unik dan kompromis.

B. Respon Budaya Lokal (Jawa) Terhadap Islam


Islam Jawa secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya di
tanah Jawa. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena di pulau Jawa
terdapat budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa, seperti budaya Sunda
dengan bahasa Sunda (Jawa Barat), budaya Betawi dengan bahasa Melayu Betawi (Jakarta)
dan budaya Madura dengan bahasa Madura (Jawa Timur bagian utara dan timur).4 Adapaun
masyarakat Jawa yang dimaksud di sini adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau
Jawa yang berbahasa Jawa. Masyarakat Jawa (Wong Jowo) merupakan masyarakat yang
melahirkan dan menopang kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa sendiri dalam pengertian
yang lebih luas meliputi sub-sub kultur yang ada di tanah Jawa.

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran dengan budaya asing
yang masuk ke wilayah kebudayaan jawa. “Wong Jowo” memiliki kecakapan kultural dalam
beradaptasi dengan berbagai bentuk budaya asing, termasuk salah satunya adalah Islam. Hal
ini terjadi karena sikap mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi
kehidupan.

Karakter masyarakat Jawa yang adaptif dan kompromis terhadap berbagai bentuk budaya
ini juga diperankan ketika menganggapi masuknya Islam dalam masyarakat jawa. Apalagi
para da‟i awal di pulau Jawa memiliki sikap yang tidak konfrontatif, sehingga akulturasi
Islam dalam kebudayaan Jawa semakin memperoleh tempat yang luas. Hasil dari proses
adaptasi ini kemudian memunculkan sikap-sikap yang mutualistik, dan bahkan sinkretik.
Relasi hubungan mutualistik antara Islam dan kebudayaan Jawa ini berlangsung hingga
dewasa ini. Walaupun akhir-akhir ini muncul gerakan neo puritan yang ingin melakukan
purifikasi Islam di berbagai jantung kebudayaan Jawa, akan tetapi formasi kebudayaan Islam
Jawa yang sudah terbentuk masih tetap eksis. Bahkan tradisi-tradisi Islam Jawa menjadi

4
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001) hlm.11

5
identitas khas yang semakin berkembang. Hal ini ditunjukkan dalam upacara-upacara
slametan khas Jawa yang sudah dimasuki unsur-unsur Islam, seperti upacara kehamilan
(mitoni), kematian, khitanan, slametan padi dan berbagai bentuk ritual khas Jawa yang lain.
Apa yang terjadi di Jawa ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh. Sebelumnya
Aceh adalah bagian dari pengaruh kerajaan Sri Wijaya yang beragama Budha. Ketika Aceh
menganut agama Budha maka masyarakat Aceh menerima Budha sepenuhnya seolah-olah
tidak ada tradisi Aceh (local) yang bersinergi dengan budaya Budha. Kedatangan Islam di
Aceh, kemudian menghapus konsistensi sejarah sebelumnya sehingga sisa-sisa kebudayaan
Aceh dan Budha menghilang tanpa bekas. Artinya, di Aceh tidak terjadi sinkretisme dan relasi
yang mutualistik antara kebudayaan local dengan kebudayaan asing yang datang. Hal ini
berbeda dengan realitas yang terjadi di Jawa, khususnya terkait relasi budaya local dan agama
“asing”.

C. Respon Islam Terhadap Budaya Lokal


Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat keseluruhan
ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu dan memiliki ajaran
yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun. Dengan
kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk segala waktu dan tempat (shalihun likulli
zaman wa makan).

Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton
dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus
menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis
cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami
budaya bangsa lain.
Islam memandang budaya, tradisi/adat yang ada di masyarakat sebagai hal yang memiliki
kekuatan hukum. Seperti dalam salah satu kaidah fiqh yang sering digunakan dalam
menjawab berbagai pertanyaan mengenai hukum adat pada masyarakat, yaitu al-‘adah al-
muhakkamah (adat itu bisa dijadikan patokan hukum). Perlu diketahui bersama bahwa teori
adat ini diambil dari adanya realitas sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan
kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma kehidupan, sedang setiap
individu dalam bermasyarakat dalam melakukan sesuatu itu karena sesuatu tersebut dianggap

6
bernilai, sehingga dalam komunitas mereka memiliki pola hidup dan kehidupan mereka
sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Oleh sebab itu,
jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan perbuatan yang selama ini sudah biasa
dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai, dan nilai-nilai
seperti inilah yang dikenal degan sebutan adat-istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Oleh
karena itulah kebudayaan itu bisa dianggap sebagai perwujudan aktifitas nilai-nilai dan
hasilnya.

7
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
 Melalui proses panjang dan berliku, Islam telah diterima oleh mayoritas penduduk dunia
termasuk Indonesia. Namun sesudah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil
dalam bingkai budaya lokal sering tidak dikenali bahkan di salah pahami oleh banyak orang,
terutama pengamat luar. Hal ini bisa dimengerti kalau pemahaman keagamaan yang
mendominasi wacana sosial keagamaan masyarakat Indonesia dan Jawa misalnya, terutama
yang berkembang pada era 1960-an dan yang berkembang sesudahnya, cenderung melihat
tipisnya pengaruh Islam dan kentalnya unsur-unsur Animisme, Hinduisme dan Budhisme pra-
Islam yang memang sebelumnya pernah berakar.
 Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran dengan budaya asing yang
masuk ke wilayah kebudayaan jawa. “Wong Jowo” memiliki kecakapan kultural dalam
beradaptasi dengan berbagai bentuk budaya asing, termasuk salah satunya adalah Islam. Hal
ini terjadi karena sikap mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi
kehidupan. Karakter masyarakat Jawa yang adaptif dan kompromis terhadap berbagai bentuk
budaya ini juga diperankan ketika menganggapi masuknya Islam dalam masyarakat jawa.
Apalagi para da‟i awal di pulau Jawa memiliki sikap yang tidak konfrontatif, sehingga
akulturasi Islam dalam kebudayaan Jawa semakin memperoleh tempat yang luas.

8
DAFTAR PUSTAKA

Hariwijaya, M. 2006. Islam Kejawen Yogyakarta: Gelombang Pasang.

Sofwan, Ridin. 2000. Islamisasi Di Jawa. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atas Metode Walisongo. Bandung:
Mizan.

Sujamto, 1992. Refleksi Budaya Jawa. Semarang : Dahara Prize.

Khadziq. 2009. Islam Dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Sukses Offset.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

De Graaf, H.J. dan Pigeud, TH. 1989. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Graffiti Pers,
cetakan III.

https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=respon+islam+terhadap+budaya+l
okal&oq=respo Diakses pada 16 September 2021 pukul 21.03

Anda mungkin juga menyukai