BIDANG KEPERCAYAAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam, Budaya dan Kearifan Lokal.
Dosen Pengampu : Ayu Faiza Algifahmy, M.Pd.
Disusun Oleh :
BAB I ......................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................ 1
C. TUJUAN ......................................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 2
A. Keyakinan Yang Berkembang Dari Hasil Interelasi ........................................................................ 2
B. Respon Budaya Lokal (Jawa) Terhadap Islam ................................................................................ 5
C. Respon Islam Terhadap Budaya Lokal ............................................................................................ 6
BAB III ....................................................................................................................................................... 8
PENUTUP .................................................................................................................................................. 8
KESIMPULAN ....................................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan agama Islam di Indonesia yang berlangsung secara evolutif telah berhasil
menanamkan akidah Islamiyah dan syari‟ah, memunculkan cipta, rasa, dan karsa oleh
pemeluk-pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang
berkembang secara evolutif pula, baik dari penduduk asli (yang menganut animisme,
dinamisme, veteisme, dan sebagainya) maupun pengaruh dari luar (Hindu-Budha). Yang
menarik, unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan tersingkir
dengan sendirinya, sedangkan yang baik yang mengandung unsur-unsur kepatutan dan
kepantasan, hidup secara berdampingan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja keyakinan yang berkembang dari proses Interelasi?
2. Bagaimana respon Budaya Lokal (Jawa) terhadap Islam?
3. Bagaimana respon Islam terhadap Budaya Lokal?
C. TUJUAN
1. Mengetahui macam-macam keyakinandari proses interelasi.
2. Mengetahui respon Budaya Lokal (Jawa) Jawa terhadap Islam.
3. Mengetahui respon Islam terhadap Budaya Lokal.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Quran (Q.S Al-Baqarah: 148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai
macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus
menerima kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada
masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu kecurigaan tentang
sifat Islam yang anti plural, sangatlah tidak beralasan dari segi ideologis. Bila setiap muslim
memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam Al-Qur`an, tidak perlu lagi
ada ketegangan, permusuhan dan konflik dengan agama-agama lain, selama mereka tidak
saling memaksakan.
Islam sebagai agama adalah agama „suci‟ yang mengklaim diri sebagai penerus dan
penyempurna tradisi agama sebelumnya. Pada giliranya ia membangun tradisi baru yang
berintikan jalinan tiga sendi yaitu, Iman (percaya), Islam (berserah diri), dan Ihsan (berbuat
baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual dan etik behavioral yang
kompleks. Namun penerapannya bisa lentur sehingga dalam batas-batas tertentu ada ruang
yang cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi, dan akomodasi secara jenius dengan
budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama namun artikulasinya bisa
berbeda sesuai dengan konteks lokal dan sosial dimana pemeluknya tinggal dan berada
(Muhaimin AG, 2001: ix)
2
Melalui proses panjang dan berliku, Islam telah diterima oleh mayoritas penduduk dunia
termasuk Indonesia. Namun sesudah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil
dalam bingkai budaya lokal sering tidak dikenali bahkan di salah pahami oleh banyak orang,
terutama pengamat luar. Hal ini bisa dimengerti kalau pemahaman keagamaan yang
mendominasi wacana sosial keagamaan masyarakat Indonesia dan Jawa misalnya, terutama
yang berkembang pada era 1960-an dan yang berkembang sesudahnya, cenderung melihat
tipisnya pengaruh Islam dan kentalnya unsur-unsur Animisme, Hinduisme dan Budhisme pra-
Islam yang memang sebelumnya pernah berakar. Keyakinan yang terlahir dari interelasi
antara Islam dan Budaya Lokal khusunya di tanah Jawa yaitu:
Islam Kejawen
Secara garis besar kebudayaan Jawa dapat dipilahkan dalam tiga kategori identitas
yaitu kebudayaan Pesisiran (di sepanjang Pantura), kebudayaan Banyumasan (Kedu,
Magelang dan Banyumas atau Dulangmas) dan kebudayaan Nagari Agung (kebudayaan
Kraton) yang meliputi eks Karesidenan Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri dan
Malang. Kebudayaan Nagari Agung inilah yang sering disebut sebagai Kejawen.1 Dengan
demikian budaya Kejawen sebenarnya sub kultur dari kebudayaan masyarakat Jawa
(Wong Jowo) di tanah Jawa. Istilah Kejawen dipakai oleh masyarakat untuk menyebut
budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang berada di Yogyakarta
(Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) dan
daerah-daerah di sekitarnya seperti daerah-daerah di eks.karesidenan Surakarta, Malang,
Madiun hingga Kediri.
Islam Kejawen merupakan varian agama Islam yang dianut oleh orang-orang
Jawa. Islam Kejawen, atau disebut juga dengan Agami Jawi, menurut Koentjaraningrat
adalah paham keagamaan perpaduan antara adat keagamaan asli Jawa (animisme dan
dinamisme) dengan agama Hindu-Budha dari jaman Majapahit dan pengaruh agama
Islam dari jaman Demak (Koentjaraningrat 1984: 312; Hadikusuma 1993: 72).
Panembahan Senopati (1588-1601 M), sebagai raja Mataram Islam pertama dapat
1
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa (Semarang : Dahara Prize, 1992), hlm.29
3
dikatakan sebagai the founding father dari agama Islam Kejawen ini (Hadikusuma 1993:
68; Graaf dan Pigeaud 1989).
Islam Kejawen terlahir dari dialektika kesejarahan antara ajaran Islam yang
universal dengan kebudayaan Jawa yang inklusif menerima tradisi dan kebudayaan asing.
Hasil dialektika adalah peleburan dan munculnya identitas dwi tunggal. Warna mistik
Islam dalam kultur Islam Kejawen begitu kental dalam fenomena keberagamaan
masyarakat Jawa. Ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para wali (Walisongo) era
Demak dan sesudahnya dalam menyebarkan dakwah Islam secara kultural.2 Dalam
berdakwah, Walisongo secara konseptual menerapkan metode mauidhoh hasanah wa
mujadalah billati hiya ahsan.3 Metode yang diambil dari ayat al-qur‟an tersebut mereka
pergunakan dalam rangka menghadapi tokoh-tokoh, para pemimpin dan orang
terpandang, seperti lurah, bupati, adipati, raja ataupun para bangsawan yang lain.
Tantangan yang dihadapi Walisongo adalah sistem hirarkis dalam pranata sosial
kemasyarakatan dan budaya mistik kejawen. Untuk menghadapi tantangan tersebut
tepatlah jika Walisongo menggunakan metode ini. Dampaknya, masyarakat Jawa tidak
merasa kaget karena para wali menghargai budaya yang berkembang dan melakukan
2
Dalam berdakwah para Wali mengutamakan pola-pola bijaksana, adaptif dan kompromis sehingga tidak
memunculkan konfrontasi dengan tradisi dan kultur masyarakat local. Lihat Ridin Sofwan, Islamisasi Di Jawa (
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 15. Lihat juga Simuh, Sufisme Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 131
3
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atasa Metode Walisongo (Bandung:Mizan, 1995), hlm. 273
4
dakwah dengan cara yang sangat halus. Oleh karena itu maka terjadilah sinkretisme
pemikiran sehingga menjadi cara keberagamaan yang unik dan kompromis.
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran dengan budaya asing
yang masuk ke wilayah kebudayaan jawa. “Wong Jowo” memiliki kecakapan kultural dalam
beradaptasi dengan berbagai bentuk budaya asing, termasuk salah satunya adalah Islam. Hal
ini terjadi karena sikap mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi
kehidupan.
Karakter masyarakat Jawa yang adaptif dan kompromis terhadap berbagai bentuk budaya
ini juga diperankan ketika menganggapi masuknya Islam dalam masyarakat jawa. Apalagi
para da‟i awal di pulau Jawa memiliki sikap yang tidak konfrontatif, sehingga akulturasi
Islam dalam kebudayaan Jawa semakin memperoleh tempat yang luas. Hasil dari proses
adaptasi ini kemudian memunculkan sikap-sikap yang mutualistik, dan bahkan sinkretik.
Relasi hubungan mutualistik antara Islam dan kebudayaan Jawa ini berlangsung hingga
dewasa ini. Walaupun akhir-akhir ini muncul gerakan neo puritan yang ingin melakukan
purifikasi Islam di berbagai jantung kebudayaan Jawa, akan tetapi formasi kebudayaan Islam
Jawa yang sudah terbentuk masih tetap eksis. Bahkan tradisi-tradisi Islam Jawa menjadi
4
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001) hlm.11
5
identitas khas yang semakin berkembang. Hal ini ditunjukkan dalam upacara-upacara
slametan khas Jawa yang sudah dimasuki unsur-unsur Islam, seperti upacara kehamilan
(mitoni), kematian, khitanan, slametan padi dan berbagai bentuk ritual khas Jawa yang lain.
Apa yang terjadi di Jawa ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh. Sebelumnya
Aceh adalah bagian dari pengaruh kerajaan Sri Wijaya yang beragama Budha. Ketika Aceh
menganut agama Budha maka masyarakat Aceh menerima Budha sepenuhnya seolah-olah
tidak ada tradisi Aceh (local) yang bersinergi dengan budaya Budha. Kedatangan Islam di
Aceh, kemudian menghapus konsistensi sejarah sebelumnya sehingga sisa-sisa kebudayaan
Aceh dan Budha menghilang tanpa bekas. Artinya, di Aceh tidak terjadi sinkretisme dan relasi
yang mutualistik antara kebudayaan local dengan kebudayaan asing yang datang. Hal ini
berbeda dengan realitas yang terjadi di Jawa, khususnya terkait relasi budaya local dan agama
“asing”.
Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton
dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus
menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis
cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami
budaya bangsa lain.
Islam memandang budaya, tradisi/adat yang ada di masyarakat sebagai hal yang memiliki
kekuatan hukum. Seperti dalam salah satu kaidah fiqh yang sering digunakan dalam
menjawab berbagai pertanyaan mengenai hukum adat pada masyarakat, yaitu al-‘adah al-
muhakkamah (adat itu bisa dijadikan patokan hukum). Perlu diketahui bersama bahwa teori
adat ini diambil dari adanya realitas sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan
kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma kehidupan, sedang setiap
individu dalam bermasyarakat dalam melakukan sesuatu itu karena sesuatu tersebut dianggap
6
bernilai, sehingga dalam komunitas mereka memiliki pola hidup dan kehidupan mereka
sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Oleh sebab itu,
jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan perbuatan yang selama ini sudah biasa
dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai, dan nilai-nilai
seperti inilah yang dikenal degan sebutan adat-istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Oleh
karena itulah kebudayaan itu bisa dianggap sebagai perwujudan aktifitas nilai-nilai dan
hasilnya.
7
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Melalui proses panjang dan berliku, Islam telah diterima oleh mayoritas penduduk dunia
termasuk Indonesia. Namun sesudah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil
dalam bingkai budaya lokal sering tidak dikenali bahkan di salah pahami oleh banyak orang,
terutama pengamat luar. Hal ini bisa dimengerti kalau pemahaman keagamaan yang
mendominasi wacana sosial keagamaan masyarakat Indonesia dan Jawa misalnya, terutama
yang berkembang pada era 1960-an dan yang berkembang sesudahnya, cenderung melihat
tipisnya pengaruh Islam dan kentalnya unsur-unsur Animisme, Hinduisme dan Budhisme pra-
Islam yang memang sebelumnya pernah berakar.
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran dengan budaya asing yang
masuk ke wilayah kebudayaan jawa. “Wong Jowo” memiliki kecakapan kultural dalam
beradaptasi dengan berbagai bentuk budaya asing, termasuk salah satunya adalah Islam. Hal
ini terjadi karena sikap mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi
kehidupan. Karakter masyarakat Jawa yang adaptif dan kompromis terhadap berbagai bentuk
budaya ini juga diperankan ketika menganggapi masuknya Islam dalam masyarakat jawa.
Apalagi para da‟i awal di pulau Jawa memiliki sikap yang tidak konfrontatif, sehingga
akulturasi Islam dalam kebudayaan Jawa semakin memperoleh tempat yang luas.
8
DAFTAR PUSTAKA
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atas Metode Walisongo. Bandung:
Mizan.
De Graaf, H.J. dan Pigeud, TH. 1989. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Graffiti Pers,
cetakan III.
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=respon+islam+terhadap+budaya+l
okal&oq=respo Diakses pada 16 September 2021 pukul 21.03