Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK JUNI 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN


ANAK DENGAN DOWN SINDROM

Disusun Oleh :
Wa Ode Irma Nuraini
C014202250

SUPERVISOR PEMBIMBING
dr. Rahadi Arie Hartoko., Sp.KFR

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah ‘Azza wa jalla yang berkat
rahmat, anugrah, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat ini
dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Rahadi Arie
Hartoko,Sp.KFR selaku pembimbing refarat kami pada bagian Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
referat ini. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca agar kedepannya kami dapat memperbaiki dan
menyempurnakan tulisan kami. Kami berharap agar referat yang kami tulis ini
berguna bagi semua orang dan dapat digunakan sebaik-baiknya sebagai sumber
informasi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Makassar, 28 Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.............................................................................1
1.2 TUJUAN.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3
2.1 SINDROM DOWN.................................................................................3
2.2 GAYA ASUH ORANG TUA..................................................................5
2.2.1 GAYA PENGASUHAN.......................................................................5
2.2.2 DIMENSI PENGASUHAN..................................................................8
2.2.3 PENGARUH GAYA ASUH TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK
DENGAN SINDROM DOWN......................................................................8
BAB III KESIMPULAN....................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anak adalah anugerah dan dambaan bagi setiap keluarga. Dan setiap
orang tua pada umumnya menginginkan seorang anak yang mampu mandiri
serta berkembang secara normal dan optimal. Namun pada kenyataanya tidak
semua anak terlahir dalam keadaan yang sempurna. Tidak sedikit anak-anak
dengan keterbelakangan fisik, mental, intelektual, sosial dan emosional dalam
perkembangannya, sehingga memerlukan pendidikan dan pelayanan khusus(1).
Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penangggulangan
Kemiskinan (TNP2K), hingga tahun 2011 jumlah anak dengan berkebutuhan
khusus di Indonesia mencapai 18 ribu anak, termasuk di dalamnya anak
dengan sindrom down(1). Sementara itu World Heatlh Organization (WHO)
mengestimasikan terdapat satu kejadian sindrom down per 1.000 kelahiran
hingga 1 per 1.100 kelahiran di seluruh dunia. Setiap tahunnya, sekitar 3.000
higga 5.000 anak lahir dengan kondisi ini(2).
Sindrom down merupakan kelainan kromosam yang disebabkan oleh
trisomi kromosom 21 pada saat terjadinya pembuahan antara sel sperma dan
sel ovum. Seorang anak dengan sindrom down memiliki gangguan pada
intelektual, keterlambatan fungsi adaptif dan beriniteraksi dengan lingkungan
sosiak, sehingga mempengaruhi aspek kemandirian anak(1).

Saat ini telah banyak didirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi para
penyandang disabilitas, termasuk anak dengan sindrom down. Pelayanan dan
bimbingan yang diberikan SLB terhadap anak dengan sindrom down memang
memberikan kontribusi dalam ketercapaian kemandirian anak. Akan tetapi,
layaknya sekolah biasa pada umumnya SLB hanya bersifat sementara dan
kontribuasi yang diberikan dalam mendidikan anak tidaklah lebih besar
dibandingkan pada saat di rumah(2). Anak dengan sindrom down memerlukan
perhatian khusus dari orangtua dan dan peranan dari orangtua itu sendiri
sangatlah penting dalam perkembangan anak(1). Maka dari itu, pola

1
pengasuhan yang diberikan orang tua akan sangat berperan dalam tumbuh
kembang anak dengan sindrom down(1).

1.2. Tujuan
Referat ini dibuat dengan tujuan pembelajaran sekaligus
menyelesaikan tugas MPPD dalam stase ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Down

2.1.1 Definisi dan Manifestasi Klinis

Sindrom down adalah kelainan genetik yang paling mudah dikenali,


menyebabkan penderitanya mengalami kecacatan/disabilitas intelektual.
Normalnya, setiap sel pada tubuh manusia memiliki 46 kromosom, akan tetapi
seseorang dengan down sindrom memiliki kelebihan kromsom pada semua atau
beberapa sel, yakni penambahan kromoson 21. Kromoson 21 ini
bertanggungjawab dalam perkembangan karakter dan fisik seseorang(3).

Sindrom down adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi


kelainan genetik yang tidak hanya mencangkup kelainan fisik anak tapi juga
mental/psikologis, dan komplikasi medis lainnya. Kondisi ini membuat anak
dengan sindrom down semakin kesulitan dalam memproses informasi,
menggabungkan dan menggunakan bahasa, serta mengembangkan emosi(4).

Sindrom down dikategorikan menjadi 3 kelompok, yakni trisomi 21,


translokasi dan mocaicsm. Trisomi 21 adalah jenis yang paling umum dan terlihat
pada sekitar 95% dari kasus(3).

Faktor resiko sindrom down dapat berbeda, tergantung jenis sindrom


down. Namun secara umum meliputi(5) :

1) Usia ibu saat hamil


2) Genetik turunan orang tua
3) Riwayat melahirkan anak dengan sindrom down
4) Kekurangan asam folat
5) Faktor lingkungan

Individu dengan sindrom down dapat memiliki tampilan fisik sebagai


berikut(3):

1) Brachycephaly dengan oksiput datar, fontanel terbuka lebar


2) Profil muka yang datar (flat facial profile)

3
3) Lidah yang besar yang tidak sebanding dengan ukuran mulut
4) Bentuk kuping yang abnormal
5) Bentuk mata yang ke atas (oblique palpebral fissures)
6) Jarak yang berlebihan antara jempol kaki dan jari terlunjuk (sandal gap)
7) Tangan pendek dan lebar
8) Lipatan pada ujung mata (epichantal folds), lipatan telapak tangan tunggal
9) Ukuran jari kelima yang kecil (clinodactyly)
10) Hipotonia
11) Hiper-ekstenbiliyas/hiper-fleksibilitas
12) Tidak adanya reflex moro
Gambar 1. Gambaran klinis anak dengan sindrom down(3)

2.2.2 Terapi

Selama tiga dekade terakhir, terjadi peningkatan harapan hidup pasien


dengan sindrom down, hal ini terjadi karena tingkat perawatan yang semakin baik
dan manajemen dini komplikasi. Kendati demikian, sampai saat ini tidak ada obat
untuk menyembuhkan sindrom down. Peningkatan perkembangan dan perilaku
anak dengan sindrom down sangat tergantung pada komorbiditas yang dimiliki,
status sosial ekonomi, lingkungan rumah dan pendidikan tingkat orang tua(3).

Beberapa komponen perawatan yang penting diperhatikan(3) :

1) Dokter harus waspada terhadap potensi gejala penyakit refluks


gastroesofageal, penyakit celiac, apnea saat tidur, dislokasi atlantoaksial
2) Imunisasi sesuai jadwal; Vaksin pneumokokus diberikan setelah usia 2
tahun jika anak memiliki masalah jantung atau paru kronis

4
3) Intervensi dini: terapi fisik, okupasi, dan wicara
4) Pemeriksaan kromosom secara menyeluruh
5) Pelatihan kejuruan, kebersihan dan perawatan diri
6) Memberikan penjelasan tentang pubertas, dan perawatan ginekologi
7) Selama masa remaja dan dewasa berikan pendidikan seksual, dan
konseling mengenai hubungan interpersonal, risiko pelecehan seksual,
kontrasepsi dan penyakit menular seksual
8) Konseling genetik pada orang tua, dan pemeriksaan menyeluruh sebelum
melahirkan

2.2 Pola Asuh Orang Tua

2.2.1 Gaya Pengasuhan

Gaya pengasuhan orang tua didefiniskan sebagai gaya perilaku yang


diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Gaya
asuh juga merupakan suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak,
orang tua memberikan stimulasi kepada anak dengan mengubah tingkah laku,
pengetahuan dan nilai yang dianggap paling tepat agar anak mampu mandiri,
tumbuh dan berkembang secara optimamal(6).

Menurut Gunarsa, gaya asuh orangtua merupakan gaya interaksi antara


anak dengan orangtua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik
(makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi
atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku pada masyarakat agar anak
dapat hidup selaras dengan lingkungan(7).

Pada tahun 1971 Diana Baumrind menulis sebuah karya dengan judul
development of parenting styles. Dari tulisanya ini, Ia mengembangkan tiga gaya
pengasuhan yakni gaya asuh otoritatif, otoriter dan permisif. Gaya asuh yang
berbeda mencerminkan karakter orang tua yang juga berbeda, dimana gaya asuh
ini digunakan dalam interaksi kepada anaknya. Setiap gaya asuh merupakan
gabungan dari daya tangap dan tuntutan yang diberikan orang tua(8).

5
Gaya asuh otoritatif digambarkan sebagai gaya asuh yang tegas, jelas,
fleksibel tetapi tidak restriktif dan kaku(7). Dalam gaya asuh otoritatif, orang tua
berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang
dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima,
menjelaskan alasan yang rasional yang mendasari setiap tuntutan serta saling
menghargai antar hak anak dan orang tua(2). Gaya asuh ini mengacu pada gaya
asuh yang hangat dan responsif, dengan memberikan penjelasan, memperlakukan
anak sebagai individu dan memberikan motivasi terhadap keputusan anak. Gaya
asuh ini memberikan hasil terbaik terhadap perkembangan anak(9).

Orang tua otoriter menekankan kontrol orang tua dengan menuntut


kepatuhan, sering menggunakan hukuman, dan memberikan sedikit kehangatan,
kasih sayang, atau pengasuhan. Orang tua dengan gaya asuh ini mempertahankan
standar yang kaku dan mutlak bagi anak-anak mereka, menggunakan tindakan
hukuman dan kekerasan pada saat keyakinan anak-anak bertentangan dengan
keyakinan mereka. Mereka sering membatasi otonomi anak dan memiliki
komunikasi kurang baik dengan anak. Pengasuhan otoriter dikaitkan dengan
beberapa hasil negatif termasuk harga diri yang rendah, penurunan kebahagiaan,
penurunan keberhasilan akademik, peningkatan penggunaan alkohol dan narkoba,
dan peningkatan kecemasan(9).

Sedangkan orang tua dengan gaya asuh permisif memiliki kontrol orang
yang terbatas meskipun mereka bersikap hangat, dan tidak banyak menuntut
kepada anak-anak. Mereka sepenuhnya menerima keinginan dan tindakan anak
anak. Mereka berusaha menggunakan akal sehat dan mendiskusikan keputusan
dan aturan keluarga dengan anak-anak mereka, tetapi tidak pernah menerapkan
kekuatan untuk mencapai tujuan pengasuhan. Gaya pengasuhan permisif dikaitkan
dengan hasil anak yang lebih negatif termasuk penurunan kontrol diri,
kemandirian, dan keberhasilan akademis(10). Gaya asuh permisif biasanya
dilakukan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain sehingga lupa
untuk mengasuh dan mendidikan anak dengan baik(2).

6
2.2.2 Dimensi Pengasuhan

Fokus studi terbaru saat ini terlah beralih dari yang awalnya menilai gaya
pengasuhan tertentu menjadi menilai dimensi pengasuhan, yang didefinisikan
sebagai fitur, kualitas, dan skema deskriptif yang menjelaskan tentang pola asuh.
Ketika gaya pengasuhan memandang pola asuh sebagai sesuatu yang kategori
yang pasti, dimensi pengasuhan lebih melihat pola asuh secara berkelanjutan,
dimana orang tua bisa memiliki poin yang tinggi atau bahkan rendah pada
masing-masing dimensi pengasuhan. Hal ini merupakan salah satu kritik terbaik
untuk teori Baumrind, dimana orang tua bisa saja tidak sepenuhnya cocok dengan
satu gaya pengasuhan. Oleh karena itu dimensi pengasuhan berbeda dengan gaya
pengasuhan yang berbicara lebih luas. Hal ini memungkinkan kita untuk lebih
memahami pola asuh orang tua secara rinci dan lengkap. Terdapat enam dimensi
pengasuhan yakni, warmth-rejection, structure-chaos, autonomy support-
coercion(11).

Warmth didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan cinta,


kasih sayang, perhatian, rasa senang, penghargaan, penerimaan, kedekatan dan
dukungan emosional(11).

Rejection adalah kebalikan dari kehangatan dan mengacu pada


ketidaksukaan orang tua kepada anak. Hal ini terkait dengan permusuhan,
keengganan, kekerasan, over-reaktivitas, mudah marah, evaluasi kritis,
penghinaan, permusuhan dan penolakan(11).

Structure pertama kali dibahas dalam literatur parenting dalam kaitannya


dengan sikap disiplin dan kontrol dan didasarkan pada harapan yang konsisten
dan batasan yang jelas yang ditawarkan orang tua kepada anak mereka. Hal ini
merupakan dimensi yang paling menonjol pada gaya pengasuhan otoritatif,
dimana orang tua memberikan penjelasan atas segala aturan dan mungkin
memberi sanksi apabila diperlukan. Termasuk pula didalamnya ketegasan,
pengawasan, organisasi, regulasi, penetapan aturan, dan keteraturan rutinitas
sehari-hari(11).

7
Chaos adalah kebalikan dari structure, didalamnya termasuk perilaku
kurang konsistensi/disiplin, tidak ada keteraturan, sering disebut sebagai kontrol
longgar. Orang tua yang memanfaatkan gaya asuh ini dapat mengganggu
kemampuan anak-anak untuk mencapai tujuan mereka dan menyebabkan
kebingungan pada anak. Selain itu, mereka tidak konsisten, tidak menentu, tidak
dapat diprediksi, sewenang-wenang, dan tidak dapat diandalkan(11).

Autonomy support adalah istilah yang menggambarkan kurangnya


paksaan/tuntutan yang diberikan orang tua. Hal ini dapat meningkatkan
kemandirian, mendukung anak dalam eksplorasi dan mengemukakan pendapat
pribadi, memungkinkan anak untuk bebas mengekspresikan ide dan tindakan, dan
mendorong kontribusi anak dalam pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah(11).

Coercion adalah kebalikan dari autonomy support. Sering dianggap


sebagai inti dari gaya asruh otoriter, dimana orang tua memaksa dan menuntut
kepatuhan anak, membatasi dan terlalu mengontrol, bahkan memberikan hukuman
fisik pada anak. melalui penggunaan metode disiplin hukuman seperti hukuman.
Orang tua cenderung cepat menghukum tanpa memberikan alasan atau penjelasan
kepada anak. Selain itu, orang tua cenderung mencoba untuk mengubah atau
mengontrol bagaimana anak berpikir. Dimensi pengasuhan ini justru memberikan
dampak negatif pada anak dimasa mendatang(11).

2.3 Pengaruh Pola Asuh Terhadap Perkembangan Anak dengan Sindrom


Down

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan


pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya anak. Dengan kata lain, secara
ideal perkembangan anak akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Di
dalam keluarga, orangtualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan
membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri(7).

Kemandirian seorang anak terbentuk melalui suatu proses perkembangan


yang disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Hurlock (1999), pola asuh orang

8
tua, jenis kelamin dan urutan posisi anak dapat mempengaruhi kemandirian anak.
Selain itu, Ali dan Asrori (2006) juga menyebutkan hal yang senada, bahwa pola
asuh, sistem pendidikan dan gen berperan dalam membentuk kemandirian. Teori
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Evania dkk (2020) yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya asuh otoritatif dengan
kemandirian anak down sindrom dalam melakukan activity daily living pada 33
orang yang memiliki anak dengan sindrom down. Didapatkan hubungan yang
positif dan signifikan antara gaya asuh otoritatif dengan kemandirian anak.
Berdasarkan hasil crosstab ditemukan asosiasi signifikan antara pendidikan akhir
orang tua, usia anak, pikiran orang tua terhadap kondisi anak, perasaan orang tua
memiliki anak sindrom down, perlakuan orang tua untuk meningkatkan
kemampuan anak dan perlakukan orang tua terhadap kondisi anak dengan
kemandirian anak sindrom down dalam melakukan activity daily living. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi gaya otoritatif yang diterpakan orang tua maka
semakin tinggi kemandirian anak sindrom down(12).

Sebuah studi deskriptif yang dilakukan oleh Nadia (meneliti mengenai


gaya pengasuhan orang tua dalam upaya pembentuan kemandirian anak sindrom
down di Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur,
menjelaskan bahwa gaya asuh orang tua sangat berperan dalam kemandirian anak
dengan sindrom down. Didapatkan bahwa orang tua yang terlalu memberikan
perhatian penuh pada anak, justru akan membuat anak semakin bergantung pada
orang tua(2). Hal ini sejalan dengan teori Diana Baumrind mengenai gaya asuh
permisif(10).

Walaupun teori Baumrind telah menjelaskan bahwa gaya asuh otoritatif


memberikan hasil yang baik pada anak, namun beberapa penelitian justru
menunjukan kecenderungan orang tua pada anak dengan sindrom down untuk
menggunakaan gaya asuh permisif dibandingkan gaya asuh otoritatif (11). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Philips, Conners dan Smith menyebutkan bahwa
ternyata gaya asuh yang dimiliki kelompok orang tua yang memiliki anak sindrom
down lebih sering menggunakan gaya asuh permisif dan lebih sedikit yang
menggunakan gaya asuh otoritatif dibandingkan dengan kelompok orang tua pada

9
anak dengan typically developing. Hal ini mungkin terjadi karena orang tua
beranggapan bahwa dengan memberikan apa yang anak inginkan untuk sementara
waktu dapat menghilangkan perilaku bermasalah pada anak secara sementara,
selain itu anggapan ini juga dapat meredakan stress yang dialami orang tua akibat
perilaku buruk anak mereka(10). Walaupun demikian, distribusi data menunjukan
bahwa skor gaya asuh yang dimiliki kelompok orang tua dengan gaya asuh
otoritatif pada anak dengan sindrom down berada pada level sedang-tinggi, dan
skor sedang-rendah pada kelompok orang tua dengan gaya asuh permisif. Studi ini
tidak menjelaskan pengaruh tipe pengasuhan terhadap perilaku anak(11).

Untuk mengetahui lebih lanjut, studi yang dilakukan Philips, Conners dan
Smith juga menilai tingkat stress yang dialami oleh kedua kelompok orang tua.
Diapatkan bahwa kelompok orang tua pada anak dengan sindrom down memiliki
tingkas stress dibanding kelompok orang tua pada anak typically developing(11).
Hal ini selaras dengan penelitan yang dilakukan oleh Dabrowska (16). Keadaan ini
disebabkan anak dengan sindrom down memiliki banyak permasalahan tingkah
laku, merupakan faktor resiko dari banyak penyakit, memiliki tuntutan
pengasuhan yang tinggi, peningkatan beban keuangan, rendahnya motivasi baik
dari internal atau eksternal, dan penurunan kepercayaan diri sebagai seorang ibu.
Kondisi ini menyebabkan kelompok orang tua pada anak dengan sindrom down
cenderung menggunakan pola pengasuhan yang justru memberi hasil negatif pada
perkembangan anak dibandingkan menggunakan pola pengasuhan yang
memberikan hasil positif pada anak(11).

Disisi lain, studi ini berusaha mencari tahu hubungan antara dimensi
pengasuhan (warmth-rejection, structure-chaos, autonomy support-coercion) dan
pengaruhnya terhadap perilaku anak pada kedua kelompok. Sebagaimana yang
diharapkan, dimensi pengasuhan yang buruk memiliki korelasi positif dengan
masalah perilaku pada anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kecenderungan
orang tua dalam menggunakan dimensi pengasuhan yang buruk, maka semakin
tinggi pula masalah perilaku pada anak. Orang tua dengan dimensi pengasuhan
chaos dan coercion cenderung memiliki tingkat stress yang lebih tinggi, dan

10
tingkat stress yang tinggi ini berpotensi menimbulkan masalah perilaku pada
anak(11).

Studi lain menjelaskan ketika orang tua melakukan aktivitas fisik bersama
anak di luar rumah (warmth and structure), hal ini membuat anak merasa lebih
percaya diri dan merasa lebih diterima, mengurangi perasaan rendah diri anak,
meningkatkan perkembangan koordinasi motorik pada anak dan meningkatkan
kemampuan interaksi sosial mereka(13). Ketika orang tua dengan anak sindrom
down memiliki penerimaan yang baik (warmth) terhadap kondisi anaknya, dan
membantu mengembangkan bakat unik yang dimiliki anak (automomy support),
hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri anak, sehingga anak mampu bersaing
dengan anak lainnya, meskipun disisi lain anak memiliki kekurangan(14).

Seorang ibu dari anak perempuan dengan down sindrom yang berusia 7
tahun menceritakan bahwa setelah anaknya melakukan pertunjukan balet, seorang
tamu yang turut menyaksikan pertunjukan itu mengirimkan pesan kepadanya, ia
berkata “Terimakasih telah memperlakukan anak yang ‘mampu’ ini dengan sangat
baik dan anggun. Betapa menyenangkan baginya bisa mendapatkan pelajaran
yang berharga untuk hidupnya, Ia belajar keseimbangan, ritme, daya ingat,
motoric halus, motoris kasar. Terimakasih telah menunjukkan kemampuannya
bukan kecacatannya” (15).

Seorang ibu dari anak laki-laki (dengan sindrom down) berusia 11 tahun berbagi
kisah tentang perjalannya bersama sang anak berbelanja di toko bahan makanan,
“Dia memegang keranjang yang berisi bahan makanan yang telah saya tulis dalam
daftar, dia berbelanja sendiri dibantu dengan pelayan toko. Saya melihat seorang
anak yang membaca, membuat keputusan dan berinteraksi dengan sopan, dan itu
dilakukan sendirian” (15).

11
BAB III

KESIMPULAN

Anak dengan sindrom down tetap mampu berkembang dan bersaing


dengan anak lainnya, walaupum disisi lain ia tetap memiliki kekurangan.
Perkembangan yang mereka raih bergantung pada bagaimana pola yang
diterapkan orang tua kepada mereka, baik itu dimensi ataupun pola.

Ketika orang tua mampu menerapkan pola asuh yang positif, maka hal ini
akan memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan anak. Begitu pula
sebaliknya, ketika orang tua cenderung menggunakan pola asuh yang negatif,
justru hal ini berdampak pada perkembangan anak dan akhirnya membuat orang
tua semakin stress/tertekan. Maka dari itu, merupakan tantangan kedepannya bagi
orang tua untuk tetap dapat menerapkan pola asuh yang positif ditengah kondisi
yang mungking terlihat ‘negatif’.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahma MS, Indrawati ES. PENGALAMAN PENGASUHAN ANAK


DOWN SYNDROME ( Studi Kualitatif Fenomenologis Pada Ibu Yang
Bekerja ). 2017;7(Nomor 3):223–32.
2. Uswatun Hasanah N. Pola Pengasuhan Orang Tua Dalam Upaya
Pembentukan Kemandirian Anak Down Sindrom. Share Soc Work J.
2015;5.
3. Agarwal Gupta N, Kabra M. Diagnosis and management of Down
syndrome. Indian J Pediatr. 2014;81(6):560–7.
4. Nurmalita T, Kristiana IF, Airlangga U, Airlangga U. Coping Parents ’
Strategy with Down Syndrome ( DS ) Children. 2019;04(01):54–75.
5. Indonesia KKR. Pusat Data dan Informasi - Sindrom Down. 2019.
6. Hidayat F, Fisioterapi PS, Kesehatan FI, Surakarta UM. HUBUNGAN
PERAN ORANG TUA DENGAN TUMBUH KEMBANG ANAK DOWN
SYNDROME USIA 1-3 TAHUN. 2019;
7. RIZKA NURUL RAMADHANI SINAGA. KEMANDIRIAN ANAK
DOWN SYNDROME DITINJAU DARI POLA ASUH ORANGTUA.
Univesitas Sumatera Utara; 2018.
8. Baumrind D. The Discipline Controversy Revisited. Fam Relat.
1996;45(4):405.
9. Baumrind D. Baumrind1991.Pdf [Internet]. Vol. 11, Sage Journals. 1991.
p. 56–95. Available from:
https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0272431691111004
10. Phillips BA, Conners F, Curtner-Smith ME. Parenting children with down
syndrome: An analysis of parenting styles, parenting dimensions, and
parental stress. Res Dev Disabil [Internet]. 2017;68(June):9–19. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ridd.2017.06.010
11. Conners F, Co-chair C, Barber A. a Comparison of Parenting Dimensions
Between Mothers of Children. 2014;
12. Ritto EY, Elisabeth MP. Pola Asuh Otoritatif dengan Kemandirian Anak
Down Syndrome dalam Melakukan Activity Daily Living.

13
2020;1(April):41–5.
13. Alesi M. Investigating parental beliefs concerning facilitators and barriers
to the physical activity in down syndrome and typical development. SAGE
Open. 2017;7(1).
14. Duranovic M. A child with Down syndrome - Challenge for families,
kindergartens and schools. New Trends Issues Proc Humanit Soc Sci.
2017;3(5):32–41.
15. Farkas L, Cless JD, Cless AW, Nelson Goff BS, Bodine E, Edelman A.
The Ups and Downs of Down Syndrome: A Qualitative Study of Positive
and Negative Parenting Experiences. J Fam Issues. 2019;40(4):518–39.
16. Dabrowska A, Pisula E. Parenting stress and coping styles in mothers and
fathers of pre-school children with autism and Down syndrome. J Intellect
Disabil Res. 2010;54(3):266–80.

14

Anda mungkin juga menyukai