Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“ELEMEN-ELEMEN PENDIDIKAN INKLUSI”


DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
PENDIDIKAN INKLUSI

DOSEN PENGAMPU:
M. Dani Wahyudi, S.Pd.I., M.Pd

DISUSUN OLEH
KELAS 5A
KELOMPOK 3

Tri Rohmah Putri Pratiwi 1910125120036


Maulidiya 1910125120031
Try novia Putri 1910125220106
Muhammad Fakhrizan Ikhsan 1910125310028
Risma Santi 1910125320016

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
BANJARMASIN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT pemilik semesta alam atas

karunia dan rahmat-Nya, sehingga makalah ini dapat di selesaikan tepat waktu.

Sebelumnya kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak M. Dani Wahyudi,

S.Pd.I., M.Pd. selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Inklusi yang

sudah membimbing kami dalam tugas makalah ini.

Dalam makalah ini kami akan memaparkan tentang materi Elemen-

Elemen Pendidikan Inklusi semoga makalah yang kami susun mudah di pahami

oleh pembaca, dan dapat di terapkan nantinya dalam kegiatan mengajar. Kami

harap makalah ini dapat berguna bagi pembaca maupun kami selaku penulis

makalah.

Di dalam makalah ini mungkin terdapat banyak kekurangan dan jauh dari

kata sempurna di dalamnya, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan

saran pembaca dalam tujuan penyempurnaan makalah yang kami susun. Akhir

kata kami memohon maaf jika dalam penulisan makalah ini terdapat kata-kata

yang kurang berkenan, kami mohon maaf.

Banjarmasin, 23 Agustus 2021

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG............................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................1

C. TUJUAN / MANFAAT PENULISAN...................................................................2

BAB II...............................................................................................................................3

PEMBAHASAN................................................................................................................3

A. Welcoming School.................................................................................................3

B. Welcoming Teacher...............................................................................................4

C. Kolaboratif versus Kompetisi.................................................................................6

D. Kurikulum yang Fleksibel......................................................................................8

E. Layanan Individual...............................................................................................10

F. Mengakomodir Perbedaan....................................................................................12

G. Kerjasama dengan Berbagai Pihak.......................................................................13

H. Team Work..........................................................................................................15

I. Guru Pembimbing Khusus (GPK)........................................................................17

BAB III............................................................................................................................20

PENUTUP.......................................................................................................................20

A. KESIMPULAN....................................................................................................20

B. SARAN................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi


khusus. Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah,
yaitu: peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap
warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk
memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibilitas dan
aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan
informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.
Untuk menciptakan sekolah inklusif yang baik, tentunya diperlukan
berbagai elemen-elemen pendukung agar pendidikan tersebut berjalan dengan
lancar. Untuk itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai elemen elemen pada
pendidikan inklusif.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu Welcoming School?


2. Apa itu Welcoming Teacher?
3. Bagaimana menekankan kolaboratif versus kompetisi sebagai elemen
pendidikan inklusif?
4. Bagaimana kurikulum yang fleksibel sebagai elemen pendidikan
inklusif?
5. Apa itu layanan individual sebagai elemen pendidikan inklusif?
6. Bagaimana mengakomodir perbedaan sebagai elemen pendidikan
inklusif?
7. Bagaimana bekerjasama dengan berbagai pihak sebagai elemen
pendidikan inklusif?
8. Bagaimana bekerja tim sebagai elemen pendidikan inklusif?
9. Apa perlunya guru pendamping khusus sebagai elemen pendidikan
inklusif?

1
C. TUJUAN / MANFAAT PENULISAN

1. Untuk mengetahui welcoming school


2. Untuk mengetahui welcoming teacher
3. Untuk mengetahui menekankan Kolaboratif versus kompetisi sebagai
elemen pendidikan inklusif
4. Untuk mengetahui kurikulum yang fleksibel sebagai elemen
pendidikan inklusif
5. Untuk mengetahui layanan individual sebagai elemen pendidikan
inklusif
6. Untuk mengetahui mengakomodir perbedaan sebagai elemen
pendidikan inklusif
7. Untuk mengetahui bekerjasama dengan berbagai pihak sebagai elemen
pendidikan inklusif
8. Untuk mengetahui bekerja tim sebagai elemen pendidikan inklusif
9. Untuk mengetahui perlunya guru pendamping khusus sebagai elemen
pendidikan inklusif

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Welcoming School
Welcoming school dimaknai sebagai sekolah yang ramah, terbuka dan
menjadi sekolah yang siaga. Ramah dimaksudkan sebuah sekolah menjadi
tempat yang menyenangkan, nyaman dan aman bagi setiap warga sekolah.
Terbuka artinya setiap masyarakat (terutama masyarakat sekitar) bisa dan
mudah mengakses sekolah sebagai tempat untuk belajar, tanpa ada
diskriminasi. Siaga artinya sekolah menajdi tempat untuk meningkatkan
sumber daya, mengatasi berbagai permasalahan, bahkan diharapkan bisa
mengentaskan masyarakat dari keterpurukan masa depan. Ketika komunitas
sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja bersama-sama untuk
meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan
mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini
merupakan salah satu ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming School).
Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca
(Salamanca Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan
untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu institusi. Hal ini bisa
dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar (all children can learn), setiap anak
berbeda (each children are different) dan perbedaan itu merupakan kekuatan
(difference ist a strength), dengan demikian kualitas proses belajar perlu
ditingkatkan melalui kerjasama dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas
atau masyarakat. Seperti halnya kondisi nyata di sekolah, hampir setiap kelas
senantiasa ada sebagian murid dalam kelas yang membutuhkan perhatian
lebih, karena termasuk ABK, seperti: hambatan penglihatan, atau
pendengaran, fisik, atau mental kecerdasan atau emosi, atau perilaku-sosial,
autis dan lainnya, sehingga mereka membutuhkan akses fisik dan modifikasi
kurikulum serta mengadaptasikan metode pengajarannya agar semua murid
dapat menyesuaikan diri secara efektif dalam semua kegiatan sekolah.

3
Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) semua komunitas sekolah
mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua
murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and
secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of self), untuk
membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate),
untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk
mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a changing
world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi
kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).
Beberapa langkah yang bisa dilakukan agar sekolah mendapat predikat
welcoming school antara lain:
1) Peraturan sekolah yang ramah
2) Jemput bola dengan melakukan pendataan dan memotivasi masyarakat
untuk bersekolah
3) Mempertimbangkan aksesbilitas
4) Mempunyai tempat untuk aktifitas orangtua anak
5) Sekolah yang melindungi siswa dari bahaya kecelakaan, penculikan,
peredaran narkoba, dan kekerasan.
6) Sekolah yang mempertimbangkan kesehatan.

B. Welcoming Teacher
Sampai saat ini profesi pendidik masih mendapat tempat yang mulia di
tengah-tengah masyarakat, walaupun diyakini tidak sebaik pada zaman dulu.
Perkembangan zaman, termasuk perkembangan teknologi, membuat
pergeseran cara pandang masyarakat terhadap guru. Apapun pergeseran yang
ada, profesi guru harus tetap ada, sebab guru menjadi jembatan peralihan
generasi ke generasi selanjutnya. Setidaknya ada empat kompetensi yang
banyak dituntut oleh masyarakat, yaitu kompentensi kepribadian, kompetensi
professional, kompetensi pedagogic, dan kompentensi social. Bahkan sejak
zamannya Ki Hajar Dewantara, guru dituntut untuk “ing ngarsa sing tulada,
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Munculnya paradigm

4
pendidikan inklusif, selain kompetensi diatas, guru dipersyaratkan mempunyai
predikat welcoming teacher. (Yuwono & Utomo, 2016).
Welcoming teacher dapat dimaknai menjadi guru yang ramah. Guru yang
ramah bukan hanya berarti guru yang lemah lembut dan santun, akan tetapi
mempunyai arti yang lebih luas yaitu guru yang dapat memnuhi kebutuhan
peserta didik. Secara garis besar kebutuhan siswa dapat dibagi menjadi tiga
ranah yaitu kebutuhan pengembangan kognitif, afektif dan psikomotor.
Pendidikan seringkali mengabaikan kebutuhan afektif dan biasanya leiih
menonjolkan pemenuhan kebutuhan kognitif, bahkan seringkali guru tidak
memahami akan kekuatan kognitif seseorang. Hal yang sering terjadi justru
guru “memperkosa” kognitif anak. Kebutuhan afektif anak antara lain
kebutuhan akan rasa kasih sayaang, harga diri, dan penghargaan dan
sebagainya. ( Yuwono & Utomo, 2016).
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjadi guru yang bersatatus “welcoming
teacher” adalah:
1) Guru harus mengetahui kondisi fisik maupun psikis peserta didik,
termasuk kesehatan, intelegensi anak, sifat/karakter anak, dan
sebagainya.
2) Guru yang penolong, bukan guru yang mudah memberikan
hukuman/panisment
3) Guru yang tidak mempermalukan anak
4) Guru yang dapat mengatasi jika ada anak yang dipermalukan oleh
orang lain
5) Guru yang empati terhadap hambatan belajar siswa
6) Guru yang sesegera mungkin berusaha mengatasi hambatan belajar
siswa
7) Guru yang selalu memperhatikan perkembangan anak
8) Guru yang dapat menjalin hubungan baik dengan orangtua anak dan
pihak-pihak lainnya.
Inti dari guru yang ramah adalah guru yang sangat dinantikan kehadirannya
oleh siswa. Jika guru tidak hadir maka siswa merasa ada sesuatu yang hilang.
Jika anda seorang guru, anda bisa menganalisis apakah anda termasuk guru

5
yang ramah (guru yang disenangi atau guru yang diharapkan kehadirannya
oleh siswa) atau guru yang otoriter (guru ang galak/guru yang tidak disenangi
atau guru yang tidak diharapkan kehadirannya oleh siswa), seperti contoh
berikut. “ Kepala sekolah memberitahu kedapa siswa kelas III SD, bahwa guru
yang biasa mengajar (Ibu Siti Hamidah) tidak hadir karena sakit. Kepala
sekolah berkata, “anak-anak, hari ini Ibu Siti Hamidah tidak hadir karena
sakit....” Jika anak-anak bersorak gembira, maka bisa sebagai pertanda
mungkin Bu Siti Hamidah tidak diharapkan kehadirannya, jika anak-anak
mempertanyakan ketidakhadirannya dan merasa kehilangan, bisa dijadikan
pertanda bahwa Ibu Siti Hamidah termasuk guru yang diharapkan
kehadirannya (guru yang ramah).” (Yuwono & Utomo, 2016).

C. Kolaboratif versus Kompetisi


Kolaborasi adalah proses di mana dua individu atau kelompok
bekerja bersama untuk tujuan bersama, bermanfaat satu sama lain dengan
mengupayakan hasil yang diinginkan. Clark dan Bremen (2009)
mendefinisikan kolaborasi sebagai bagunan sistem interdependen untuk
mencapai tujuan bersama yang tidak dapat dicapai jika dikerjakan sendiri.
American School Counselor Association (ASCA, 2005) menggaris bawahi
peran kolaborasif dalam Model Nasional, yang mengatakan bahwa “school
counsellor build effective team by encouraging genuine collaboration
among all schools staff to work toward the common goal of equity,
access, and academic success of every student” yang bermakna bahwa
konselor atau guru bimbingan konseling di sekolah membangun tim yang
efektif dengan mendorong kolaborasi yang asli antara semua staf sekolah
untuk bekerja meraih tujuan bersama dari ekuaitas, akses, dan
keberhasilan akademik setiap siswa”. Allen (1994) menjelaskan syarat
mendasar untuk usaha kolaboratif meliputi adanya kepercayaan, rasa
hormat, keterbukaan, proses mendengarkan aktif, komunikasi yang jelas,
dan kemampuan pengambilan resiko. Syarat tersebut merupakan bentuk
kompetensi yang sesuai dengan standar kompetensi yang dimiliki oleh
tiap konselor atau guru BK.

6
Kolaborasi antara sekolah dan komunitas menjadi kunci keberhasilan
pendidikan inklusif. Sejumlah literatur pendidikan inklusi mengindikasikan
bahwa membangun jaringan antara sekolah dan organisasi yang relevan
telah menjadi pendekatan yang efektif untuk 88 membangun praktik
pendidikan inklusif di negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Hong
Kong (Hardy & Woodcock, 2015; Walton & Nel, 2012; Malinen &
Savolainen, 2012).
Sedangkan kompetisi merupakan sifat bersaing yang memang selalu ada
pada diri manusia. Hal ini sudah menjadi kodrati. Namun, jika sifat
tersebut tidak dikelola dengan baik akan bisa menimbulkan dampak yang
tidak baik bagi diri seseorang maupun bagi orang lain. Sebagian orang
mengatakan bahwa persaingan berpotensi menimbulkan sesuatu yang
menyakitkan. Berbagai fenomena persaingan terbukti membuat kondisi
yang sering tidak kondusif, misalnya dalam pertandingan sepakbola. Para
pemain bisa saja sportif, namun terkadang para suporter yang sering tidak
bisa menerima kekalahan, sehingga justru membuat kegaduhan, bahkan
tidak jarang berujung kerusakan dan beberapa orang menjadi korban
kematian.
Nuansa kompetisi juga selalu ada di lembaga pendidikan yang disebut
sekolah. Kompetisi sering dijadikan cara oleh sekolah maupun orangtua
untuk memotivasi belajar siswa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
kompetisi cukup efektif untuk bisa meningkatkan motivasi belajar,
bahkan prestasi belajar belajar siswa. dan Sejauh prestasi ini belum belajar
dikaji yang secara didorong mendalam dengan apakah kompetisi motivasi
berdampak kepada perkembangan lainnya, misalnya perkembangan sosial
dan emosi. Kompetisi bisa jadi dapat menghalalkan segala cara untuk
meraihnya. Hal ini terkadang membuat seseorang tergadaikan
kejujurannya hanya karena untuk meraih yang terbaik di sekolahnya.
Dengan elemen pendidikan inklusif yaitu bagaimana menekankan
kerjasama daripada persaingan. Kerjasama akan mendidik siswa menjadi
manusia y ang santun, berlatih empati dan tentu untuk mengasah
kepedulian sosial. Kerjasama juga akan membuat setiap siswa untuk

7
saling melengkapi dan menerima. Kerjasama membuat semua siswa tidak
ada yang tidak berperan. Manusia tidak ada yang sempurna. Pada diri
manusia tentu ada kelebihan dan kekurangan. Kesempurnaan akan
tercipta jika kita melakukan kerjasama. Membiasakan kerjasama membuat
manusia berbudaya, berkarakter, saling menghargai, saling menyayangi
sesama. Jika seseorang mempunyai kelebihan, hidup akan bermakna jika
saling berbagi. Jika manusia ada sesuatu yang kurang, tentu membutuhkan
uluran/bantuan orang lain. Betapa indahnya jika kerjasama tercipta dalam
kehidupan.

D. Kurikulum yang Fleksibel


Fleksibilitas kurikulum sangat diperlukan, terlebih jika sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif ada siswa yang berkebutuhan khusus
(ABK). Ada empat model kurikulum pendidikan inklusif untuk
disesuaikan dengan kondisi ABK, yaitu: duplikasi, substitusi, modifikasi,
dan omisi.
1. Duplikasi Kurikulum
Model duplikasi kurikulum adalah model kurikulum untuk ABK
yang menggunakan kurikulum yang ada di sekolah reguler. Model ini
diterapkan karena anak mempunyai tingkat kesulitan yang setara dengan
siswa ratarata/reguler. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik
yang tidak mengalami hambatan intelektual, seperti pada anak tunanetra,
tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik
tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian
kecenderungannya perlu memodifikasi proses dan modifikasi evaluasi.
Misalnya peserta didik tunanetra menggunakan huruf Braille, dan
tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat, bahasa bibir ( lips reading
total (komtal) dalam penyampaiannya.
2. Modifikasi Kurikulum
Modifikasi kurikulum adalah penggunaan kurikulum siswa
ratarata/reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum baik sebagian atas

8
seluruh perangkat kurikulum mulai dari ranah tujuan (misalnya
Kompetensi Dasar, Indikator materi pembelajaran), isi kurikulum proses
pembelajaran, maupun bentuk evaluasinya. Tidak semua ABK
memerlukan modifikasi pada seluruh perangkat kurikulum.
Kecenderungannya hanya memerlukan pada sebagian perangkat kurikulum
saja. Anak yang modifikasi memerlukan modifikasi pada seluruh komponen
kurikulumnya yaitu anak yang mengalami ketunagrahitaan ABK jenis ini
cenderung memerlukan modifikasi mulai dari tujuan kurikulum, isi
kurikulum, proses pembelajaran dan evaluasi. Bentuk modifikasi
kurikulum yang diperuntukan bagi anak tuna grahita yaitu berkisar pada
penurunan tingkat kesulitan materi berimbas pada semua aspek perangkat
kurikulum. pembelajaran yang Bagiamana untuk ABK yang lain?
Modifikasi kurikulum untuk ABK yang tidak mengalami hambatan
intelegensi, modifikasinya disesuaikan dengan hambatan dan potensi anak.
Bisa jadi untuk komponen tujuan dan isi kurikulum tidak memerlukan
modifikasi, tetapi pelaksanaan pembelajaran atau evaluasi memerlukan
modifikasi kurikulum.
3. Substitusi Kurikulum
Substitusi kurikulum adalah penggantian sebagian komponen
kurikulum yang ada (kurikulum bagi anak reguler) untuk disesuaikan
bagi ABK. Model kurikulum ini mengisyaratkan beberapa bagian
kurikulum anak ratarata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih
setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat apakah
kurikulum yang ada dibutuhkan oleh ABK dan juga disesuaikan dengan
situasi dan kondisinya. Jika memang materi yang ada tidak dibutuhkan
oleh ABK atau ABK yang tidak mungkin untuk melakukannya, maka
dipikirkan materi penggantinya.
4. Omisi Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu
ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat
berfikir setara dengan anak rata-rata.

9
E. Layanan Individual
Tidak dipungkiri bahwa, Pelaksanaan pembelajaran akan lebih efektif dan
efisien jika dilaksanakan secara klasikal. Rasio guru-siswa menjadi perdebatan
yang sampai saat ini belum memiliki titik temu. Di Indonesia,  biasanya hanya
terdapat satu orang guru untuk menangani seluruh siswa dalam satu kelas. Di
sisi lain, beberapa ahli pendidikan mengatakan bahwa  pendidikan yang baik
jika setidaknya di dalam satu kelas terdapat dua orang guru yang menangani
siswa. Apalagi jika di salah satu kelas ada anak yang memerlukan perhatian
khusus karena memiliki hambatan belajar.
Kajian tentang efektifitas dan eflsiensi sering kali mengabaikan mutu
pendidikan, kekuatan guru untuk menangani siswa, dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan kualitas pendidikan. Seringkali kajian tentang efektifitas dan
efisiensi hanya mempertimbangkan faktor ekonomi, efisiensi tenaga, dan
efesiensi waktu. Maka dari itu di indonesia dalam satu kelas sudah terbiasa
satu orang guru ada yang menangani 45 siswa. Bahkan dibeberapa sekolah
bisa lebih dari itu. Di beberapa negara yang telah memenuhi pendidikan
inklusif dengan  baik (seperti Australia dan Norwegian misalnya), satu kelas
setidaknya ada dua orang guru untuk menangani sekitar 20-25 siswa. Hal itu
merupakan standar umum. Jika di dalam kelas ada siswa yang cukup berat,
bisa lebih dari dua orang guru yang menanganinya.
Teori tentang layanan individual dalam  setting   pendidikan inklusif,
dimaksudkan jika ada siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara
klasikal. Siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara klasikal
tersebut maka dilayani kebutuhan pendidikannya dengan layanan individual
(layanan pendidikan yang berbeda dengan anak - anak pada umumnya). Anak
- anak yang paling banyak mendapatkan layanan individual yaitu anak - anak
yang termasuk kategori ABK.
Sebenarnya layanan individual tidak hanya diberlakukan bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK permanen) saja, namun bisa jadi bagi anak yang
sebenarnya tidak berkebutuhan khusus permanen (ABK temporer). ABK
temporer adalah anak yang mengalami hambatan belajar namun sifatnya
sementara dan jika ditangani dengan benar maka anak akan bisa mengikuti

10
pembelajaran layaknya anak - anak pada umumnya (anak reguler). Jika anak
sudah kembali seperti layaknya anak - anak pada umumnya maka anak
tersebut tidak disebut ABK lagi.
Bagaimana implementasi layanan individual di sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diawali
pemahaman bahwa sekolah yang menyelenggarakan paradigma pendidikan
inklusif tidak diperkenankan untuk mehomogenkan siswa dan juga sebisa
mungkin anak - anak dalam keadaan apapun tetap dilayani kebutuhan
pendidikannya dalam satu kelas. Menurut Sapon Shevin (2004), anak - anak
akan belajar dengan nyaman jika belajar dengan teman sebaya. Berdasarkan
hal tersebut maka sebisa mungkin layanan individual tetap dilakukan di dalam
kelas dimana teman - teman lainnya belajar secara klasikal. Jika memang ada
anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan  belajarnya tersebut
bisa mengganggu anak - anak lainnya (misalnya ada anak Autis sedang
tantrum), maka diperkenankan untuk sementara layanan individual dilakukan
diluar kelasnya yaitu dengan cara ditarik dari kelasnya dan jika telah selesai
maka anak tersebut dikembalikan ke kelasnya. Beberapa contoh layanan
individual yang dilakukan dikelas regular yaitu:
1. Jika salah satu peserta didik ada yang tunanetra dan sedang belajar
tentang peta, maka anak-anak yang lain belajar dengan menggunakan
peta gambar seperti biasanya, maka tunanetra belajar dengan
menggunakan peta raba (peta timbul) yaitu peta yang jika diraba
dengan tangannya akan mendapatkan informasi tentang gambaran
suatu daerah/negara.

2. Di salah satu sekolah dasar (SD) penyelenggara pendidikan inklusif


terdapat anak tunagrahita. Guru sedang mengajar matematika sampai
bilangan 100. Ternyata anak tunagrahita tersebut sulit untuk diajari
sampai angka 100, maka anak tungrahita tersebut diajari hanya sampai
puluhan dan belajarnya tetap di kelas sebaiknya ada GPK (Guru
Pendidikan Khusus) yang mendampinginya.

11
F. Mengakomodir Perbedaan
Sesuai dengan filosofi pendidikan inklusif, bahwa pada dasarnya setiap
manusia yang satu dengan manusia yang lain pasti berbeda. Beberapa
diantaranya ada yang mirip. Mirip bukan berarti sama. Perbedaan merupakan
sesuatu yang kodrati. Secara garis besar perbedaan dibagi menjadi dua, yaitu
perbedaan yang “wajar” dan perbedaan yang “ekstrim”.
Perbedaan yang wajar maksudnya perbedaan yang biasa dan sebagian
besar menjadi ciri pembeda untuk mengenal seseorang. Beberapa contoh yang
termasuk kategori perbedaan yang wajar antara lain : warna kulit, tinggi
badan, bentuk wajah, latar belakang ekonomi, agama, dan lain-lain. Selama ini
perbedaan kategori wajar sudah tidak menjadi masalah di sekolah, terutama di
sekolah umum. Misalnya siswa yang berasal dari latar  belakang ekonomi
yang miskin sudah dapat bersekolah. Begitu juga di sekolah-sekolah umum
sudah terbiasa dengan siswa yang berbeda-beda warna kulit. Bagaimana
dengan perbedaan yang ekstrim?
Perbedaan yang ekstrim dimaknai sebagai sebuah perbedaan yang
mencolok. Seseorang yang termasuk kategori perbedaan yang ekstrim bisa
jadi hanya orang tersebut yang mengalami/memiliki. Contohnya ada satu anak
yang hanya mempunyai kaki satu, sedangkan anak-anak lainnya kakinya
lengkap. Contoh lainnya ada anak yang mempunyai IQ di bawah 70
(tunagrahita), sedangkan anak-anak lainnya ber-IQ rata-rata (90-110).
Perbedaan yang ekstrim paling banyak berasal dari mereka yang termasuk
ABK (anak berkebutuhan khusus). Perbedaan yang ekstrim masih sering
dipermasalahkan di sekolah umum. Mereka yang berbeda ekstrim (ABK)
masih banyak yang bersekolah di SLB. Di era pendidikan inklusif ini,
bagaimana mereka bisa ditangani di sekolah umum.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang siswa-siswanya heterogen,  bukan
homogeny. Beberapa sekolah yang berusaha untuk menghomogenkan
siswanya tetap saja tidak bisa seratus persen homogeny. Contohnya sekolah
hanya menerima anak-anak yang mempunyai rangking 10 besar, ada juga
sekolah yang hanya menerima anak-anak yang gifted. Kedua contoh fenomena
tersebut bisa jadi homogeny dalam IQ, namun tetap saja masih terdapat

12
keunikan pada masing-masing individu. Kesimpulannya manusia ternyata
tidak bisa dihomogenkan. Kehidupan yang normal adalah kehidupan yang
heterogen.
Kondisi sekolah (lebih spesifik kondisi kelas) yang heterogen, sangat
memungkinkan berbagai strategi/metode pembelajaran yang mengarah kepada
pendewasaan sosial bagi peserta didik akan bisa diterapkan. Salah satu
contohnya yaitu metode belajar dengan teman sebaya/tutor teman sebaya.
Bagaimana bisa terjadi jika seluruh siswanya adalah mempunyai kemampuan
yang tinggi, atau seluruh siswanya mempunyai kemampuan yang rendah? Jika
seluruh siswanya mempunyai kemampuan yang tinggi, sangat sulit untuk
menerapkan metode belajar teman sebaya, sebab mereka tidak perlu kawan
lain mengajarinya. Sebaliknya jika seluruh siswa satu kelas kemampuannya
rendah, maka tidak ada yang mampu untuk mengajarinya. Fenomena tersebut
sering terjadi di sekolah umum.

G. Kerjasama dengan Berbagai Pihak


Prinsip dasar keberlangsungan Pendidikan inklusif adalah adanya
Kerjasama dari semua pihak, dimana satu dengan yang lain saling
memberikan pengaruh baik positif atau negative. Mereka yang terlibat dalam
Pendidikan inklusif adalah anak-anak ABK, siswa regular, guru sekolah,
orang tua ABK, orang tua regular, karyawan, dan tenaga professional terkait.
Sekolah harus dapat mempersiapkan mereka sekaligus melibatkannya dalam
peran-peran yang dapat mereka lakukan agar proses pembelajaran di kelas
inklusif dapat terlaksana dengan baik.

1. Orang Tua ABK


Sekolah harus melibatkan orangtua sesuai peran yang dapat dilakukannya,
karena keberhasilan Pendidikan iklusif sangat ditentukan oleh partisipasi aktif
mereka. Sekolah harus memiliki komunikasi yang baik terhadap orangtua
ABK. Hal ini menjadi penting agar orangtua dan sekolah memiliki kesamaan
pandangan terhadap perlakuan dan tugas-tugas yang akan diberikan pada anak

13
disekolah. Dukungan orangtua sangat membantu anak melewati masa-masa
sulitnya. Orangtua dapat menyediakan lingkungan rumah yang postif, bantuan
dalam belajar dan hal lain yang dibutuhkan anak.
2. Guru Sekolah
Dalam proses pembelajaran dikelas, gurulah yang memegang kendali
terutama mendorong, membimbing dan memberikan fasilitas belajar agar
ABK dapat mencapai tujuannya sekaligus terlayani dengan baik. Sebagai
instrumen utama dalam keberhasilan proses pembelajaran dalam kelas
sekaligus sebagai instruktur kelas yang memberikan arahan dalam setiap
bahasan pembelajaran, guru inklusif dituntut lebih kreatif dan kompetitif
dalam mengelola kelas, karena adanya siswa berkebutuhan khusus yang
menjadi bagian dari kelas.
3. Orangtua Siswa Reguler
Orangtua siswa regular perlu diberikan sosialisasi dan penyuluhan tentang
siswa ABK dan kelas inklusif, hal ini menjadi penting agar tidak terjadi
penolakan dari mereka karena kekhawatiran yang berlebihan terhadap
kehadiran siswa ABK di kelas dan kesalahan pengetahuan tentang siswa ABK.
Disamping itu, orangtua regular dapat diberikan wawancara tentang
Pendidikan inklusif dan karakteristik anak ABK, agar lebih baik. Merekapun
perlu diberi pelatihan tentang membangun empati terutama untuk memberikan
wawasan tentang ABK serta pelatihan membangun empati.
4. Siswa Reguler di Kelas Inklusi
Perlunya memberikan pengertian dan wawasan tentang filosofi inklusif
dan pemahaman tentang ABK agar mereka memiliki kesiapan mental dalam
menyambut keberadaan siswa ABK nantinya sekaligus menjadi partner belajar
siswa ABK. Siswa regular perlu diberikan pemahaman tentang manfaat
bekerjasama dengan siswa ABK, agar mereka mau menerima dan bekerjasama
dengan siswa ABK di kelas. Dengan empati yang dimiliki siswa regular
diharapkan mereka menerima kehadiran siswa ABK dengan baik dan mampu
berkolaborasi dalam memahami materi pelajaran.
5. Karyawan

14
Karyawan di sekolah inklusif perlu juga dipersiapkan dan diberi wawasan
tentang Pendidikan inklusi dan pelatihan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
ABK, karena mereka adalah bagian dari komunitas sekolah yang akan
berhadapan dengan siswa ABK. Sikap empati dan menerima siswa ABK ini
akan menjadi model bagi siswa disekolah.
6. Tenaga Profesional Terkait
Sekolah perlu membangun jaringan Kerjasama dengan professional yang
terkait dengan perkembangan anak yaitu dokter yang bertugas memantau
aspek perkembangan fisik anak, psikolog yang membantu aspek psikologis
dan konsultan perkembangan anak.

H. Team Work

Teamwork bisa diartikan kerja tim atau kerjasama, team work atau kerja
sama tim merupakan bentuk kerja kelompok dengan keterampilan yang saling
melengkapi serta berkomitmen untuk mencapai target yang sudah disepakati
sebelumnya untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien. Harus
disadari bahwa teamwork merupakan peleburan berbagai pribadi yang
menjadi satu pribadi untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan tersebut
bukanlah tujuan pribadi, bukan tujuan ketua tim, bukan pula tujuan dari
pribadi yang paling populer di tim.
Dalam sebuah tim yang dibutuhkan adalah kemauan untuk saling
bergandeng-tangan menyelesaikan pekerjaan. Bisa jadi satu orang tidak
menyelesaikan pekerjaan atau tidak ahli dalam pekerjaan A, namun dapat
dikerjakan oleh anggota tim lainnya. Inilah yang dimaksudkan dengan kerja
tim, beban dibagi untuk satu tujuan bersama.
Saling mengerti dan mendukung satu sama lain merupakan kunci
kesuksesan dari teamwork. Jangan pernah mengabaikan pengertian dan
dukungan ini. Meskipun terjadi perselisihan antar pribadi, namun dalam tim
harus segera menyingkirkannya terlebih dahulu. Bila tidak kehidupan dalam
tim jelas akan terganggu, bahkan dalam satu tim bisa jadi berasal dari latar
belakang divisi yang berbeda yang terkadang menyimpan pula perselisihan.

15
Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa kebersamaan sebagai
anggota tim di atas segalanya.
Keakraban tim yang sukses biasanya ditandai dengan sikap akrab satu
sama lain, setia kawan, dan merasa senasib sepenanggungan. Para anggota tim
saling menyukai dan berusaha keras untuk mengembangankan dan
memelihara hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal menjadi sangat
penting karena hal ini akan merupakan dasar terciptanya keterbukaan dan
komunikasi langsung serta dukungan antara sesama anggota team.
Teamwork merupakan sarana yang sangat baik dalam menggabungkan
berbagai talenta dan dapat memberikan solusi inovatif suatu pendekatan yang
mapan, selain itu ketrampilan dan pengetahuan yang beranekaragam yang
dimiliki oleh anggota kelompok juga merupakan nilai tambah yang membuat
teamwork lebih menguntungkan jika dibandingkan seorang individu yang
brilian sekalipun.
Teamwork dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu yang
bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan. Kumpulan individu-individu
tersebut memiliki aturan dan mekanisme kerja yang jelas serta saling
tergantung antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu sekumpulan orang
yang bekerja dalam satu ruangan, bahkan didalam satu proyek, belum tentu
merupakan sebuah teamwork. Terlebih lagi jika kelompok tersebut dikelola
secara otoriter, timbul faksi-faksi di dalamnya, dan minimnya interaksi antar
anggota kelompok. Beberapa isu di dalam tim :
1. Adanya tugas (task) dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
pelaksanaan pekerjaan. Hal ini seringkali merupakan topik utama yang
menjadi perhatian team.
2. Proses yang terjadi di dalam teamwork itu sendiri, misalnya bagaimana
mekanisme kerja atau aturan main sebuah team sebagai suatu unit kerja
dari perusahaan, proses interaksi di dalam team, dan lain-lain
Keuntungan pengambilan keputusan dalam tim :
1. Keputusan yang dibuat secara bersama-sama akan meningkatkan motivasi
team dalam pelaksanaanya.

16
2. Keputusan bersama akan lebih mudah dipahami oleh team dibandingkan
jika hanya mengandalkan keputusan dari satu orang saja

I. Guru Pembimbing Khusus (GPK)

a) Pengertian Guru Pembibing Khusus (GPK)


Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang bertugas mendampingi anak
berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajar di kelas reguler yang
berkualifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang pernah mendapatkan
pelatihan tentang penyelenggaraan sekolah inklusi. Guru Pembimbing Khusus
adalah guru yang memiliki kualifikasi /latar belakang Pendidikan Luar Biasa
(PLB) yang bertugas menjembatani kesulitan Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) dan guru kelas/mapel dalam proses pembelajaran serta melakukan
tugas khusus yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya.
b) Peran dan Tugas Guru Pembibing Khusus (GPK)
Guru Pembimbing Khusus (GPK) sebagai center of education yang
mempunyai tugas penting dalam pendampingan anak berkebutuhan khusus,
mempunyai tugas dan peran dalam penyelenggaraan sekolah inklusi yang
dijabarkan dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009 yang meliputi: (1)
menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas
dan guru mata pelajaran, (2) membangun system koordinasi antara guru ,
pihak sekolah dan orang tua peserta didik, (3) melaksanakan pendampingan
anak berkelainan pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru
kelas/guru mata pelajaran/guru bidang studi, (4) memberikan bantuan layanan
khusus bagi anak-anak berkelainan yang mengalami hambatan dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remidi ataupun
pengayaan, (5) memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan
membuat catatan khusus kepada anak-anak berkelainan selama mengikuti
kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru, (6)
memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan/atau guru
mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada
anak-anak berkelainan.

17
Adanya kewajiban berupa tugas, tentunya juga harus dibarengi adanya hak
yang harus diperoleh oleh Guru Pembimbing Khusus (GPK) menyangkut
pelaksanaan tugas-tugasnya. GPK perlu pengakuan atas tugas yang
dilaksanakan, baik berupa SK sebagai GPK dari dinas terkait dalam hal ini
Dinas Pendidikan setempat. Selanjutnya juga pengakuan atas jam mengajar di
sekolah inklusi yang berhubungan langsung dengan Angka Kredit sebagai
bahan untuk kenaikan pangkat. Disisi lain, GPK disamping bertugas di
Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai sekolah induknya, mereka juga harus
datang ke sekolah inklusi yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak jarang,
jarak yang ditempuh tidaklah dekat, artinya tidak bisa hanya dengan berjalan
kaki. Berkaitan dengan hal tersebut tidak dipungkiri mereka harus
mengeluarkan biaya perjalanan, hal ini diharapkan menjadi perhatian,
khususnya dari pemangku tugas yang diberi wewenang dalam
penyelenggaraan sekolah inklusi.
Hal lain yang juga mesti jadi perhatian bagi penyelenggara sekolah
inklusi adalah, penerimaan dan pengakuan warga sekolah terhadap keberadaan
Guru Pembimbing Khusus (GPK) di sekolah inklusi. Kehadiran mereka
dinantikan dan dibutuhkan oleh warga sekolah khususnya guru kelas dan guru
mata pelajaran. Mereka dalam bertugas bukan berdiri sendiri, namun saling
berkolaborasi dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Tidak jarang terjadi misunderstanding antara pihak sekolah inklusi
mengenai peran dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) di sekolahnya.
Tanggung jawab terhadap anak berkebutuhan khusus dikelasnya tetap
dipegang oleh guru kelas, bukan diserahkan sepenuhnya kepada GPK.
Melainkan antara guru kelas dan GPK saling bekerjasama dalam melayani
anak berkebutuhan khusus, mulai dari mengidentifikasi anak, mengasesmen
anak, sampai kepada menyusun Program Pembelajaran Individual (PPI) bagi
anak tersebut. Program Pembelajaran Indi- 6 vidual (PPI) ini terkadang juga
tidak semua anak berkebutuhan khusus membutuhkannya. Disinilah GPK
berperan yaitu sebagai tempat berbagi pengalaman bagi guru kelas dan guru
mata pelajaran, karena tidak semua guru di sekolah reguler paham siapa dan

18
bagaimana menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus serta apa pembelajaran
yang dibutuhkan mereka sesuai dengan kekhususan anak tersebut

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

• Welcoming School dimaknai sebagai sekolah yang ramah, terbuka, dan

menjadi sekolah yang siaga. Elemen-elemen dalam pendidikan inklusif akan

menciptakan “Welcoming School”.

• Welcoming teacher dapat dimaknai menjadi guru yang ramah yaitu guru

yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik.

• Menekankan kerjasama daripada persaingan dapat memunculkan motivasi

belajar dengan cara yang lebih ramah.

• Ada empat model kurikulum pendidikan inklusif untuk disesuaikan

dengan kondisi ABK, yaitu: duplikasi, substitusi, modifikasi, dan omisi.

• Layanan individual dalam setting pendidikan inklusif, dimaksudkan jika

ada siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara klasikal.

• Sebuah sekolah yang baik adalah sekolah yang dapat mengakomodir

perbedaan siswanya, entah perbedaan wajar maupun ekstrim. Sekolah yang

baik adalah sekolah yang siswa nya heterogen, bukan homogen.

• Implementasi pendidikan inklusif disetiap sekolah perlu didukung oleh

sebuah lembaga yang mendukung, salah satu nya adalah resource center (pusat

sumber penanganan ABK).

• Pendidikan inklusif akan berjalan dengan baik jika prinsip piramida

inklusif terpenuhi dengan baik, yaitu kebijakan inklusif, budaya inklusif, dan

praktek secara nyata.

20
• Indonesia memerlukan Guru Pendamping Khusus/GPK yang bertugas

menangani hambatan belajar terutama hambatan belajar yang disebabkan

karena anak didik tergolong ABK.

B. SARAN

Penulis berharap makalah tentang profesi kependidikan ini dapat

bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi para calon pendidik, dan saran dari

penulis adalah agar para calon pendidik nantinya dapat menjadi pendidik yang

professional. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan

kami mohon maaf, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari

pembaca.

21
DAFTAR PUSTAKA

Rahim, A. 2016. Pendidikan Inklusif Sebagai Strategi Dalam Mewujudkan


Pendidikan Untuk Semua. Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 3,
Nomor 1 hlm.68-71.

Yuwono, I. & Utomo. 2016. Pendidikan Inklusif Paradigma Pendidikan Ramah


Anak. Banjarmasin: Pustaka Banua.

Utomo, I. Y. 2021. Pendidikan InklusI. Yogyakarta: Deepublish.

Ni’matuzahroh & Yupi Nurhamida. 2016. Individu Berkebutuhan Khusus &


Pendidikan Inklusif. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

Zakia, Dieni Laylatul. 2015. Guru Pembimbing Khusus (GPK): Pilar Pendidikan
Inklusi

Anggraini, D. dkk. 2017. Makalah: Elemen-Elemen Pendidikan Inklusif.


Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.

Amka. 2019. Pendidikan Inklusif Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus di


Kalimantan Selatan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 4 (1).
(Online). Diakses pada tanggal, 21 Agustus 2021.

Yuliawanti, R. Peran Kolaboratif Konselor di Sekolah Inklusif. Jurnal Ide guru.


Vol. 4 (1). (Online). Diakses pada tanggal 22 Agustus 2021.

Imam Yuwono, M., & Utomo, M. 2015. Pendidikan Inklusif (Paradigma Pendidikan
Ramah Anak). Banjarmasin: Pustaka Banua.

22

Anda mungkin juga menyukai