Oleh :
1
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN
2. Ketua Peneliti
a. Nama lengkap dengan gelar Ir. Mercu Mahadi
b. Pangkat/Golongan/NIP Penata III/c/132089902
c. Jabatan Sekarang Lektor
d. Fakultas Fakultas Seni Rupa dan Desain
e. Universitas ISI Denpasar
f. Alamat Kantor Jalan Nusa Indah Denpasar
g. Telepon/Faks/E-mail (0361) 227316/ (0361) 236100/ isidenpasar
@ yahoo.com
3. Jumlah Peneliti 3 orang, 2 orang peneliti dan 1 orang tenaga
lapangan
4. Lokasi Penelitian Kabupaten Gianyar
5. Kerja sama -
6. Jangka Waktu Penelitian 6 bulan
7. Biaya Penelitian Rp. 8.000.000,-
(delapan juta rupiah)
A.n. Dekan
Pembantu Dekan I, FSRD ISI Denpasar Denpasar, 18 Agustus 2008
Ketua Peneliti
Menyetujui
Kepala Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat ISI Denpasar
2ii
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
yang berjudul “Bangunan Padmasana : Kajian Struktur Dan Penerapan Motif Hias
Tradisional Bali”
2. Dekan Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar.
Indonesia Denpasar.
5. Bapak Kepala Desa Batubulan, atas segala fasilitas dan informasi yang
iii
3
Sebagai akhir kata, penelitian ini masih banyak kekurangannya, mengingat
adanya kritik dan saran dari berbagai fihak, demi lebih lengkapnya penelitian ini.
khususnya dalam bidang penerapan motif hias tradisional Bali terutama pada
bangunan suci.
Penulis
iv
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
RINGKASAN ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 6
2.1 Pengertian Pura .................................................................... 6
2.2 Pengertian Padmasana .......................................................... 8
2.3 Pengertian Motif Hias Tradisional Bali ............................... 9
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 13
3.1 Sumber Data ......................................................................... 13
3.2 Teknik Pengumpulan Data ................................................... 13
3.2.1 Observasi ................................................................... 13
3.2.2 Wawancara ................................................................ 14
3.2.3 Studi Kepustakaan ..................................................... 14
3.2.4 Dokumentasi ............................................................. 14
3.3 Instrumen Penelitian............................................................. 14
3.4 Lokasi Penelitian .................................................................. 15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 16
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................... 16
4.1.1 Kondisi Geografis Desa Batubulan ........................... 16
4.1.2 Mata Pencaharian ...................................................... 18
4.1.3 Agama dan Kepercayaan........................................... 19
v5
4.2 Sekilas Tentang Sejarah Bangunan Padmasana ................... 20
4.3 Fungsi Dan Jenis Padmasana .............................................. 23
4.4 Tata Letak Bangunan Padmasana ........................................ 24
4.4.1 Struktur Bangunan Padmasana ................................. 25
4.4.2 Penerapan Motif hias Tradisional Bali Pada
Bangunan Padmasana............................................... 28
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 35
5.1 Simpulan .............................................................................. 35
5.2 Saran ..................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
6
DAFTAR GAMBAR
7
vii
RINGKASAN
viii
8
Motif Keketusan (geometris), terdiri dari motif kakul-kakulan, batun timun,
ganggong, emas-emasan, ceracap, mute-mutean, dan tali ilut. Motif tumbuh-
tumbuhan atau pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra
sari, patra olanda, patra cina, dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari
motif karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang
bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari mahluk-
mahluk mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang nala, naga
anantabhoga, naga taksaka, garuda, dan angsa.
Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen
penghias bangunan, disamping juga mengandung nilai-nilai filosofis dan simbolis.
ix
9
BAB I
PENDAHULUAN
sebagai wujud rasa bhakti dalam memelihara kedamaian hidup baik lahir maupun
batin, melahirkan berbagai bentuk dan jenis kesenian antara lain : seni patung,
seni lukis, seni ukir/kriya, seni arsitektur, seni tari, seni karawitan, dan seni suara,
1982 : 25).
unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka
(bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala).
Berbagai jenis kesenian berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan
yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada
setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran
yang menerapkan motif hias tradisional Bali, yang terinspirasi dari bentuk-bentuk
1
Di Bali pada suatu tempat suci (Pura) biasanya dilengkapi dengan
sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah
timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat
disucikan oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan dengan bangunan candi-candi
yang ada di Jawa, padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai
alas duduk patung dewa. Gambar semacam ini tidak hanya kita temui pada
bangunan candi yang ada di Jawa, akan tetapi juga pada candi-candi yang ada di
Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa
sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk dari perwujudan dewa
berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten perwujudan itu berbentuk
“lamak”. Lamak biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron dan ambu yang
Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya (Titib, 2001 : 106).
Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi ini kemudian
menjadi dasar bahwa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud bunga teratai
Konsep bangunan padmasana yang kita warisi sampai saat ini di Bali
2
Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem
dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan
bahwa pada waktu, Danghyang Nirartha tiba di Bali, beliau merasakan memasuki
mulut naga, dan melihat ada bunga teratai (padma) yang sedang mekar tetapi
sayang sarinya tidak ada. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama
Hindu sudah berkembang dengan baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan
kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Hyang Widhi.
Pemujaan yang hanya ditujukan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur inilah yang
mengurangi penggunaan patung patung dewa yang dipuja, tidak seperti yang ada
sebelumnya, dimana pelinggih meru dan gedong pada masa lalu hanya
difungsikan sebagai pemujaan dewa-dewa dan roh leluhur (Cudamani, 1998 : 51).
menerapkan konsep Triangga terdiri dari bagian kaki yang disebut nistama
angga (tepas), bagian badan (madya angga) atau batur, dan bagian kepala (utama
angga), yang juga disebut sari. Bangunan padmasana di buat dalam bentuk ruang
disusun dengan material batu padas, batu bata, dan penerapan tata motif hias yang
lebih tempat pemujaan, seperti halnya padmasana yang dipandang sebagai simbol
3
bumi. Motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi
dari bentuk-bentuk yang ada di alam, merupakan ciptaan Tuhan, seperti batu-
mitologi lainnya. Stilisasi dari bentuk-bentuk alam dalam bentuk motif hias
masyarakat Bali, kemudian dikenal dengan motif hias tradisional Bali. Penerapan
4
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan dan sumber informasi
dari struktur dan bentuknya, serta penerapan motif hias tradisional Bali, yang
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pura
Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan roh suci leluhur dimohom turun ke dunia
untuk bersthana di sthana yang sudah disediakan yang disebut pura, dengan aneka
nama, jenis, serta fungsi dari pelinggihnya. Pura seperti halnya meru atau candi
merupakan simbol dari kosmos, sorga, atau kahayangan. Sorga atau kahayangan
candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut (Titib, 2001 :
88).
Pada mulanya istilah pura berasal dari kata Sansakerta yang berarti kota
atau benteng, yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.
penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci, dipakai setelah
dipakai.
abad ke 16, datanglah seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang
dewa dengan roh leluhur. Hal inilah yang mendorong Danghyang Nirartha
6
membuat tempat pemujaan berbentuk padmasana yang terletak di arah airsanya,
yaitu arah timur laut, menghadap barat daya, dalam lingkup areal suatu pura,
untuk memuja Sang Hyang Widhi, yang sekaligus membedakan tempat pemujaan
kahyangan atau parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja
terhadap leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan pengertian bahwa
pura adalah simbol gunung Mahameru tempat pemujaan dewa dan bhatara. Tidak
tradisi Bali yang termuat dalam beberapa lontar, menyatakan tanah yang layak
dipakai sebagai tempat suci adalah tanah yang berbau harum, “gingsih”,
sedangkan tempat-tempat yang ideal adalah tempat yang indah, disamping vibrasi
Untuk membuat pura yang indah, harus memenuhi aturan yang tertuang
dalam Asta kosala kosali dan Asta bhumi (arsitektur tradisional Bali). Demikian
pula halnya dalam penerapan motif hias yang senantiasa menghiasi sebuah pura.
Sejak seseorang mulai masuk dari candi bentar, menuju kori agung, sampai ke
Jeroan pura adalah puncak gunung yang maha suci. Sang Hyang Widhi bersthana
7
2.2 Pengertian Padmasana
Kata padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai, dan
asana yang berarti tempat duduk atau sikap duduk. Dalam agama Hindu dan
Buddha, teratai dipakai simbol tempat duduk para dewa. Dipilihnya bunga
Bunga teratai akar dan pangkalnya tumbuh di dalam lumpur yang busuk,
batangnya berada di air dan bunganya ada di atas air. Dengan demikian bunga
teratai hidup di tiga alam. Dalam agama Hindu Ida Sang Hyang Widhi disebutkan
bertahta di atas tiga alam yakni bhur, bwah dan swah yang dianggap sebagai
Bunga teratai, walaupun hidup di air tetap tidak basah oleh air. Oleh karena
itu bunga teratai dipakai sebagai lambang kesucian, bebas dari ketidakterikatan,
menyebabkan bunga teratai sebagai simbol sthana Ida Sang Hyang Widhi.
Meskipun kelopak bunga teratai itu lebih dari delapan kelopak, tetapi di
dalam mitologi selalu dilukiskan berjumlah delapan, sebagai simbol Ida Sang
Hyang Widhi yang mempunyai sakti delapan dewa yang dikenal dengan istilah
Lebih lanjut dijelaskan dalam buku Padmasana, dalam filsafat Hindu alam
semesta ini seumpama Ida Sang Hayang Widhi yang dikenal dengan sebutan
dimana atma sebagai penguasanya. Dengan demikian bhuwana alit adalah bentuk
8
mini dari bhuwana agung yang memiliki tatanan yang sama. Hiasan bhadawang
nala yang terdapat pada bangunan padmasana merupakan dasar dari bhuwana
yang juga memakai gambar bhadawang nala dan naga. Dengan kata lain maka
dapatlah dijelaskan bahwa padmasana itu merupakan gambaran dari bumi ini
sebab yang menjadi dorongan; tindakan seseorang, dasar pikiran atau pendapat,
sesuatu yang menjadi pokok dalam cerita, gambaran dsb. ( Poerwadarminta, 1985
: 655). Motif adalah dasar warna; latar belakang warna; dasar ragam untuk
aransemen lagu; ragam; bentuk; alasan dasar (Partanto, 1994 : 486). Hias adalah;
corak hiasan pada kain, hiasan bagian rumah, bangunan suci dan sebagainya
tradisional Bali adalah bentuk dasar atau elemen pokok penciptaan suatu hiasan
sehingga bisa menjadi identitas motif hias daerah tertentu pula. Motif hias atau
9
tujuan untuk menghias suatu benda, sehingga benda yang dihias tersebut
mempunyai nilai tambah baik dari segi finansial ataupun spiritual. Tidak jarang
suatu motif hias atau ornamen mengandung makna simbolis, filosofis, yang
pula. Ciri hakiki dari benda-benda alam yang dijadikan motif hias, masih
keindahannya. Motif hias atau ornamen sengaja dibuat untuk menghiasi bagian-
Motif hias dalam hal ini dibuat dengan cara digambar, dipahat maupun dicetak
untuk meningkatkan nilai suatu benda, baik bangunan (arsitektur) maupun karya
Motif hias atau ornamen merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada
dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran motif hias sebagai hasil kreasi
tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu pula. Namun pola dalam konteks
tertentu dapat berarti lain, misalnya dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe
dari suatu barang yang akan diproduksi (Sukarman dalam Suardana, 2007 : 7).
Stilisasi dari bentuk-bentuk alam yang diwujudkan dalam bentuk motif hias atau
ornamen bisa diterapkan pada kain seperti hiasan pada ider-ider, umbul-umbul,
batik, dan hiasan parba. Hiasan pada kayu seperti ulon, saka, kori, plawah
gamelan, dan peralatan rumah tangga. Sedangkan pada batu padas seperti
10
pembuatan patung-patung perwujudan, hiasan pepalihan pada rumah tinggal, dan
bangunan suci. Kebiasaan membuat hiasan yang bernuansa lokal secara turun-
tumurun, atau sudah mentradisi tersebut, oleh masyarakat Bali kemudian dikenal
dengan motif hias tradisional. Dalam pengertian tradisional bumi terbentuk dari
lima unsur yang disebut Panca Mahabutha, yakni apah (zat cair), teja (sinar), bayu
(angin), akhasa (udara), dan pertiwi (tanah bebatuan/zat padat). Kelima unsur
mencari, mengolah dan menempatkan motif hias yang mengambil tiga kehidupan
Adapun jenis-jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain sebagai
berikut :
– Kakul-kakulan
– Batun timun
– Ganggong
– Emas-emasan
– Ceracap
– Mute-mutean
– Patra Punggel
11
– Patra Samblung
– Patra Sari
– Patra Olanda
– Patra Cina
– Karang Gajah
– Karang Guak
– Karang Tapel
– Karang Boma
– Karang Sae
– Karang Bentulu
Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen
mengikuti bentuk dan struktur dari bangunan tersebut, yang mencerminkan tiga
unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka
alam atas.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat
diperoleh dari informan sebagai data primer. Selain data primer juga digunakan
data sekunder sebagai data penunjang yakni data yang diperoleh dari studi
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.2.1. Observasi
Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti, yakni bangunan padmasana yang ada di
Pura Puseh Desa Adat Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Hal
ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap berkenaan dengan keadaan
13
3.2.2. Wawancara
Metode ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang lengkap
pustaka, dalam hal ini peneliti akan menelaah beberapa literatur baik berupa buku,
lontar, jurnal, majalah maupun surat kabar, yang ada signifikansinya terhadap
penelitian.
3.2.4. Dokumentasi
Adalah bukti-bukti tertulis atau benda-benda peninggalan yang berkaitan
dengan peristiwa penting. Banyak peristiwa yang terjadi di masa lampau bisa
dipelajari melalui dokumen. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berupa buku-buku, lontar, foto-foto bangunan padmasana, hasil karya seni
pahat dan sebagainya.
wawancara yang dilengkapi dengan buku catatan, tape recorder, dan kamera
fotografi. Alat-alat ini digunakan untuk mencatat dan merekam berbagai informasi
14
jika dikaji dari aspek struktur bentuk, dan penerapan motif hias tradisional Bali.
Sementara itu, kamera fotografi digunakan untuk memotret beberapa bagian dari
bangunan padmasana yang lengkap dengan motif hias tradisional Bali yang
tersebut memiliki potensi seni khususnya seni ukir batu padas dengan motif hias
tradisional Bali, yang diterapkan pada bangunan suci (pura) dan juga rumah
tinggal.
15
BAB IV
Gianyar, Provinsi Bali. Desa Batubulan terletak di sebelah barat daya kota
Gianyar, dengan orbitasi jarak ke kota kecamatan 3 km, jarak ke kota kabupaten
17 km, dan jarak ke kota provinsi 10 km (Profil Desa Batubulan 2004 : 6). Desa
kerajinan patung batu padas dan kerajinan ukir kayu yang sudah dikenal oleh
berbagai kalangan.
Gianyar, Provinsi Bali. Desa Batubulan letaknya sangat strategis, dan mempunyai
arti tersendiri bagi masyarakat Desa Batubulan, sebagai penunjang pariwisata dan
sebagai tujuan kunjungan parwisata Bali bagian timur. Luas Desa Batubulan
seluruhnya sekitar 644,52 ha, yang terdiri dari persawahan 301,41 ha, tegalan
9,52 ha, pemukiman penduduk 327,46 ha, dan fasilitas umum 6,13 ha. Desa
Batubulan terdiri dari 15 banjar dinas antara lain : 1). Banjar Tegaltamu, 2).
Banjar Tegal Jaya, 3). Banjar Pengembungan, 4). Banjar Denjalan, 5). Banjar
Batur, 6). Banjar Pengambangan, 7). Banjar Telabah, 8). Banjar Pagutan Kaja,
9). Banjar Pagutan Kelod, 10). Banjar Tubuh, 11) Banjar Kalah, 12). Banjar
16
Kapal, 13). Banjar Tegeha, 14). Banjar Sasih, dan 15). Banjar Muntur. Dalam
konteks Desa Pakraman, Desa Batubulan terdiri dari tiga Desa Pakraman yakni
Desa Pakraman Tegaltamu, Desa Pakraman Jero Kuta, dan Desa Pakraman
lebih kurang 70 meter dari permukaan laut. Curah hujan pertahun rata-rata 2000 -
3000 m m, dan keadaan suhu berada 30-32 oC. Tanahnya sangat subur,
relatif dekat dengan laut sangat cocok untuk tanaman kelapa dan mangga. Letak
wilayahnya sangat strategis, dan dekat dari pusat pemerintahan ibu kota provinsi,
sehingga menjadi incaran banyak orang yang memiliki banyak uang untuk
yang berjejer di pinggir jalan, dan terhimpun dalam suatu pekarangan rumah.
Dalam suatu pekarangan rumah terdapat berbagai bangunan yang dapat dibedakan
bangunan tempat tinggal (rumah). Selain itu muncul pula jenis bangunan berupa
17
artshop-artshop untuk memajang hasil produk kerajinan patung batu padas,
ukiran kayu, dan perak, yang menjadi mata pencaharian masyarakat Desa
antara lain : sebagai pematung batu padas, seni ukir kayu, pedagang, dan
Ciri agraris juga masih tetap terlihat, karena masyarakat Desa Batubulan
juga cukup banyak bekerja pada sektor pertanian. Sejalan dengan perkembangan
kunjungan wisata, maka berkembang pula jenis pekerjaan disektor lain yaitu,
sebagai pematung batu padas, seni ukir kayu, dan sebagai wiraswasta. Desa
Batubulan memiliki sumber daya alam yang sangat potensial bila dikembangkan
Sektor pertanian, dalam hal ini pertanian lahan basah tetap menjadi mata
luas, dengan menerapkan pola tanam padi, dan palawija. Pertanian lahan kering
18
terutama tegalan dan pekarangan tersedia cukup luas, ditanami berbagai jenis
Sektor kerajinan ukiran kayu dan patung batu padas menjadi mata
daerah Batubulan sebagai daerah tujuan wisata. Hal ini bisa dilihat dari adanya
peningkatan jumlah pemilik usaha kerajinan patung batu padas dan ukiran kayu di
desa tersebut dewasa ini. Meningkatnya minat generasi muda yang berkecimpung
dalam bidang kerajinan ukiran dan patung batu padas, bisa menambah pendapatan
Batubulan juga hidup dari sektor kesenian yakni atraksi Barong Dance yang
dalam bentuk Tri Murti, yang mempunyai tiga wujud manifestasi yakni Brahma
yang menciptakan, Wisnu melindungi serta memelihara, dan Siwa sebagai pelebur
segala yang ada. Selain meyakini adanya kekuatan Sang Hyang Widhi, penduduk
masyarakat Desa Batubulan juga percaya kepada dewa-dewa dan roh yang
19
menempati suatu tempat keramat, kepercayaan itu dibuktikan antara lain dengan
identitas Desa Pakraman Batubulan. Segala aktivitas keagamaan dan adat diatur
oleh Desa Pakraman yang berkaitan dengan khayangan tiga sebagai tempat
upacara pemujaan sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi. Agama Hindu
mengenal adanya ajaran catur marga, yaitu empat jalan untuk mendekatkan diri
kepada Hyang Widhi, yakni bhakti marga, karma marga, jnana marga, dan raja
marga.
Diantara empat jalan ini bhakti marga banyak dilakukan oleh masyarakat
keikhlasan untuk berkorban. Rasa cinta melahirkan seni sebagai ungkapan rasa
bhakti untuk kepentingan adat dan agama. Hal ini bisa kita lihat pada tempat suci
material kayu maupun batu padas, dengan menerapkan berbagai macam bentuk
motif hias (ornamen), sebagai ungkapan rasa bhakti kepada Hyang Widhi.
tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dengan demikian, pada suatu tempat suci (pura) biasanya dilengkapi dengan
20
bangunan padmasana. Bangunan padmasana terletak di arah airsanya, yaitu arah
timur laut pada sebuah pura, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa
Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan dengan
bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa. Gambar semacam ini tidak hanya
kita temui pada bangunan candi yang ada di Jawa, akan tetapi juga pada candi-
Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa
sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk dari perwujudan dewa
berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten perwujudan itu berbentuk
“lamak”. Lamak biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron dan ambu yang
Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya (Titib, 2001 : 106).
Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi ini kemudian
menjadi dasar mengapa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud bunga
dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan
21
bahwa pada waktu, Danghyang Nirartha tiba di Bali, beliau merasakan memasuki
mulut naga, dan melihat ada bunga teratai (padma) yang sedang mekar tetapi
sayang sarinya tidak ada. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama
Hindu sudah berkembang dengan baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan
kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Hyang Widhi.
yang dimaksudkan sebagai bunga teratai tanpa sari. Beliau kemudian mengurangi
penggunaan patung patung dewa yang dipuja, tidak seperti apa yang sudah ada
sebelumnya di Bali, pelinggih meru dan gedong pada masa lalu hanya difungsikan
ataupun patung dwarapahala sebagai penjaga pintu masuk. Hal ini disebabkan
sejak Danghyang Nirartha ada di Bali, patung-patung perwujudan dewa itu dibuat
dalam bentuk banten seperti banten perwujudan dewa-dewi, banten catur, atau
yang paling sederhana berbentuk daksina atau tapakan (Ibid, 1998 : 3).
padmasana memiliki peranan yang cukup penting pada setiap pura, yang
dipandang sebagai simbol bumi dengan segala isinya, dan sebagai tempat
22
4.3 Fungsi Dan Jenis Padmasana
Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Menurut lontar Catur Wariga
menurut tempatnya. Padmasana yang terletak di arah airsanya yaitu timur laut
adalah linggih Sanghyang Siwa Raditya, padmasana yang terletak di sebelah timur
adalah linggih Sanghyang Iswara, yang berada di sebelah selatan adalah linggih
padmasana ini memakai dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga (Cudamani,
1998 : 44).
tidak menggunakan dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga. Padmasana
merupakan linggih atau sthana permanen dari dewa-dewa tertentu sesuai dengan
dalam arti tidak permanen yang memiliki bentuk yang lebih sederhana.
Padma Capah, bangunan ini mirip dengan padmasari, akan tetapi bentuk
dan ukurannya sangat sederhana, lebih kecil dan rendah. Adapun yang
disthanakan di tempat tersebut adalah spirit (roh) yang mempunyai status lebih
23
4.4 Tata Letak Bangunan Padmasana
Untuk memuja Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, dan Dewa-
pemujaan adalah berupa bangunan suci, yang dibangun di tempat yang dianggap
suci atau tempat-tempat yang disucikan. Dalam berbagai bentuk dan fungsi
utama, madya, dan sederhana. Pura dalam berbagai bentuk dan fungsi
pemujaannya terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan
komposisi di pekarangan pura yang dibagi menjadi tiga zone. Zone utama yang
persembahyangan. Zone tengah disebut jaba tengah, sebagai tempat persiapan dan
pengiring upacara. Zone depan yang disebut jaba sisi, sebagai tempat peralihan
pelinggih berjajar utara selatan di sisi timur menghadap ke barat, dan sebagian
lagi ada di sisi utara menghadap ke selatan. Pada sebuah pura, padmasana, meru,
pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Padmasana
pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang
sebagai linggih Sanghyang Siwa Raditya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok
24
pembatas (penyengker) pekarangan yang disakralkan. Pada bagian-bagian sudut
Pintu masuk di depan atau di jaba pura memakai candi bentar, dan pintu masuk ke
jaba tengah atau ke jeroan memakai kori agung dengan berbagai macam bentuk
108).
yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka
alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep
Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan),
utama angga, (bagian kepala). Dilengkapi dengan berbagai bentuk motif hias
yang terinspirasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam. Di Bali berbagai jenis
kesenian baik seni patung, seni lukis, seni ukir/kriya, seni arsitektur, seni tari seni
karawitan, dan seni suara berhubungan erat dengan agama merupakan satu
kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian
pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan
dengan pepalihan, akan tetapi tidak mempunyai atap. Tinggi padmasana sekitar 3
sampai 4 meter dengan dasar segi empat atau bujur sangkar, lebar sisi-sisinya
25
terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, bagian badan atau batur, dan bagian
kepala yang disebut sari. Bangunan padmasana di buat dalam bentuk ruang yang
Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan batu bata
berupa pepalihan dengan segala macam variasi yang berpedoman pada pakem-
bagenda, palih wayah, palih bacean, palih taman sari, bagian-bagian suatu
pepalihan yang disebut cakep gula, cakep sari, pepiringan, sebitan, gemulung,
Gambar 1.
Tampak Depan Padmasana
Sumber : Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982
26
Gambar 2.
Tampak Samping Padmasana
Sumber : Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982
Gambar 3.
Pelinggih Padmasana di Pura Puseh, Desa Adat Batubulan
27
4.4.2 Penerapan Motif hias Tradisional Bali Pada Bangunan Padmasana
bangunan selalu diberi hiasan atau ornamen, lebih-lebih tempat pemujaan seperti
halnya padmasana yang dipandang sebagai simbol bumi (bhuwana agung). Motif
hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-
bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan,
Stilisasi dari bentuk-bentuk alam dalam bentuk motif hias (ornamen) yang
motif hias tradisional Bali. Penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan
Dari bagian bawah atau bagian kaki bangunan padmasana yang disebut
tepas, terdapat motif hias bhadawang nala (kura-kura) yang dililit oleh dua ekor
naga yakni naga Anantabhoga dan Basuki. Kemudian di atasnya yakni pada
setiap sudut terdapat motif hias karang gajah/asti, di tengah-tengah sejajar dengan
motif hias Karang Gajah tersebut terdapat motif Karang Bentulu dan Karang
Daun. Di atas motif Karang Gajah yang menghiasi ke empat sudut bangunan
padmasana, terdapat motif hias Karang Tapel, yang pada bagian bawahnya
dikombinasikan dengan motif Karang Simbar, yang juga menghiasi bagian sudut
bangunan. Di atas karang Tapel terdapat motif hias Karang Guak yang juga
28
menghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, dikombinasikan dengan Karang
Simbar dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan atau
Pada bagian tengah atau badan bangunan padmasana yang disebut batur,
yakni pada bagian belakang badan padmasana terdapat motif hias garuda
terdapat motif hias Karang Guak, yang dikombinasikan dengan Karang Simbar
dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan seperti emas-
emasan, kakul-kakulan, ceracap dan batun timun. Pada bagian belakang di atas
motif hias garuda terdapat motif hias angsa yang sedang mengepas-ngepaskan
sayapnya.
terdapat ulon. Pada ulon belakang singhasana terdapat motif Sang Hyang
Acintya. Dilihat dari sikap tari Sang Hyang Acintya tersebut mengingatkan kita
pada tari Sivanataraja dalam menciptakan alam semesta. Pada bagian belakang
“gunungan” (kayonan). Ulon bagian samping kiri dan kanan dihiasi dengan motif
keagungan dari bangunan padmasana itu sendiri, yang diterapkan pada bidang
29
padmasana disamping mengadung nilai-nilai estetis, filosofis, juga mengandung
nilai-nilai simbolis antara lain : motif hias bhadawang nala, sebagai simbol gerak
Naga Anantabhoga adalah simbol kemurahan akan sandang, pangan dan papan
yang tidak akan habis-habisnya. Naga Basuki adalah simbol kekuatan air yang
menjadi sumber kehidupan mahkluk, atau sebagai lapisan yang menutupi kulit
bumi ini. Garuda membawa tirta amerta adalah pelaku utama dalam cerita
amerta (air kehidupan) antara dewa dan raksasa, dengan kemenangan difihak para
Sedangkasn motif hias angsa yang sedang mengepas ngepaskan sayapnya adalah
simbol kesucian dan keindahan abadi (Titib, 2001 : 108). Angsa juga disimbolkan
sebagai Omkara, Brahman atau Atman, yakni sebagai simbol manusia yang ingin
kembali kepada Sang Hyang Widhi, yang juga disebut amoring acintya.
Sedangkan Naga Taksaka bersayap berarti udara atau atmosfir yang mengambil
30
Gambar 4.
Motif Hias Bhadawang Nala, Naga Anantabhoga, dan Naga Basuki yang
menghiasi bangunan Padmasana di Pura Puseh Desa Adat Batubulan.
Gambar 5.
Motif Hias Karang Gajah/asti kombinasidengan patra punggel
31
Gambar 6.
Motif Hias Karang Guak dan Karang Simbar
Gambar 7.
Motif Hias Karang Tapel kombinasi dengan patra punggel
32
Gambar 8.
Motif Hias Karang Bentulu kombinasi dengan patra punggel
Gambar 9.
Motif Hias Garuda
33
Gambar 10.
Motif Hias Keketusan (kakul-kakulan)
Gambar 11.
Motif Hias Keketusan (emas-emasan)
34
BAB V
5.1 Simpulan
berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan yang terjalin erat
sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci
seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif
hias tradisional Bali sebagai cerminan rasa bhakti kepada Sang Pencipta.
sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah
timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat
Konsep bangunan padmasana yang kita warisi sampai saat ini di Bali
Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem
35
Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (Pura) belum
dilengkapi padmasana.
mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam
tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga
yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga,
padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batu-
mitologi lainnya.
tumbuhan atau pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra
sari, patra olanda, patra cina dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari
motif karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang
bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari mahluk-
mahluk mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang nala, naga
Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen
simbolis.
36
5.2 Saran
tata cara yang sudah ada seperti tertuang dalam Asta bhumi dan Asta Kosala
kosali, (arsitektur tradisional Bali). Dalam penerapan motif hias tidak semata-mata
Motif Hias Tradisional Bali dari perspektif lain, baik dari segi bentuk, fungsi dan
maknanya bagi masyarakat, dengan penerapan metode dan referensi yang lengkap
37
DAFTAR PUSTAKA
Darmika, I Wayan. 1987. Ragam Hias Pada Pura Sebagai Sumber Inspirasi, Tugas
Akhir Program Studi Seni lukis, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI
Yogyakarta.
Redig I Wayan, 1997. Ciri-ciri Ikonografi Beberapa Arca Hindu di Bali (Studi
Banding Dahulu dan Sekarang). Dinamika Kebudayaan Bali, Denpasar
: Upada Sastra.
Sudara, I Gusti Nyoman. 1983. Kumpulan Pola Hias Bali. Denpasar : Sekolah
Menengah Seni Rupa.
Susila Patra, I Made. 1985. Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam
Rumah Tinggal Adati Bali. PN. Balai Pustaka.
38
Sika, Wayan. t./th. Kumpulan Ragam Hias Bali. Pembinaan SMK., Direktorat
PMK. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soepratino, 1983. Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa. Semarang : PT. Effhar.
Titib, I Made. 2001. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita
Urs Ramseyer, 1977. The Art and Culture Of Bali. New York : University Press.
Yuda Triguna, Ida Bagus Gde. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya
Dharma
39
LAMPIRAN
40
Curriculum Vitae Ketua Peneliti
Riwayat Pendidikan
Pengalaman Penelitian
41
Curriculum Vitae Anggota Peneliti
Riwayat Pendidikan
Pengalaman Penelitian
42