Anda di halaman 1dari 5

KELOMPOK

Kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan yang sama.
Meski tujuan itu tidak diutarakan, namun dapat dipastikan apabila terbentuk kelompok maka
akan terbentuk pula tujuan. Contohnya saja, dalam suatu diskusi. Kita disuruh untuk
mendiskusikan suatu kasus, mungkin pertamanya tidak terdapat tujuan tertentu didalam
pandangan kita, namun setelah masuk kedalam kelompok, pada intinya kita akan sama-sama
memecahkan kasus yang diberikan. Juga dikarenakan kita adalah makhluk sosial yang tidak
menutup kemungkinan untuk melakukan interaksi dengan orang lain. Untuk itulah diperlukan
kelompok.

A. Tahap Perkembangan Kelompok

Sebagai makhluk sosial, individu memiliki kebutuhan yang kuat untuk hidup bersama
dengan individu-individu lain di dalam kelompok dan melalui hidup berkelompok individu dapat
mengembangkan kemanusiaannya. Dengan demikian secara umum tidak ada individu yang tidak
ingin hidup bersama orang lain., kelompok merupakan suatu alat untuk mendapatkan berbagai
kebutuhan individu. Individu menjadi milik kelompok karena mereka mendapatkan berbagai
kepuasan sebaik mungkin melalui organisasi yang tidak dengan mudah mereka dapatkan melalui
cara lainnya. kelompok merupakan suatu kumpulan orang yang berinteraksi satu sama lain
secara teratur dalam suatu periode tertentu, dan merasakan adanya ketergantungan diantara
mereka dalam rangka mencapai satu atau lebih tujuan bersama. keberadaan dua orang atau lebih
yang melakukan interaksi dan saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Namun ini tidak berlaku bagi sekumpulan individu yang tidak memenuhi unsur-unsur
di atas.

Menurut Tuckman (dalam Suzanne Janasz, Karen Dowd dan Beth Scheider, 2009)
kelompok tumbuh dan berkembang melalui serangkaian tahapan, mulai dari tahap forming
(pembentukan), strorming (goncangan), norming (pembentukan norma), performing (melakukan
atau melaksanakan), adjourning (penangguhan).

1. Tahap Pertama: Pembentukan (Forming)

Pada tahap ini kelompok sudah terbentuk, tetapi anggota kelompok belum mengenal satu
sama lain, dan bahkan jika mereka melakukan sesuatu, muncul perasaan ketidakpastian karena
anggota kelompok belum memiliki kesempatan untuk mengenal satu sama lain dan menetapkan
tujuan kelompok. Disini kelompok melakukan uji peran kepemimpinan, menemukan kesamaan
kepribadian dan perbedaan, dan membuat beberapa pengungkapan awal.

2. Tahap Kedua: Goncangan (Storming)

Pada tahap ini, di antara anggota kelompok timbul beberapa perbedaan seperti arah,
kepemimpinan, gaya kerja dan pendekatan, dan persepsi tentang kualitas yang diharapkan dan
produk akhir. Sama halnya dengan hubungan antar manusia lainnya, konflik tidak dapat
dihindari. Saat konflik pertama di antara anggota kelompok muncul, beberapa atau semua
anggota mulai merasa kurang antusias terhadap kelompok dan bahkan mungkin saja meragukan
kelompok akan mencapai tujuannya secara bersama-sama. Dalam tahap ini, jika pemimpin dan
anggota kelompok tidak bisa mengatasi konflik yang ada, kelompok tersebut akan menjadi
kelompok yang tidak berhasil dalam mencapai tujuan kelompok.

3. Tahap Ketiga: Membangun Norma (Norming)

setelah anggota kelompok menyelesaikan konflik, anggota kelompok merasa memiliki


kemampuan baru untuk mengekspresikan kritik yang konstruktif, mereka merasa menjadi bagian
dari sebuah kelompok kerja dan memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan akan
berhasil. Pada tahap ini, anggota kelompok bisa menghindari konflik yang tidak penting dan
sailing percaya satu sama lain.

4. Tahap Keempat: Melakukan atau Melaksanakan (Performing)

Pada tahap Melakukan atau Melaksanakan (Performing), status keanggotaan anggota


kelompok sudah stabil, tugas sudah jelas, dan perhatian anggota kelompok lebih pada ganjaran.
Anggota kelompok sangat termotivasi untuk menyelesaikan tugas mereka dan pusat perhatian
lebih pada tujuan kelompok daripada kepentingan individu.

5. Tahap Kelima: Penangguhan (Adjourning)

Setelah berhasil menyelesaikan tugas atau tujuan, kelompok dapat bubar secara permanen
atau beristirahat sementara. Beberapa kelompok mungkin mendapatkan anggota baru atau
menerima tujuan baru. Pada tahap Penangguhan, anggota akan merasa kecewa jika pengalaman
itu positif, atau rasa terima kasih jika pengalaman itu negatif. Tugas pada tahap ini adalah untuk
mengendurkan ikatan kelompok untuk kemudian menindaklanjuti tugas-tugasnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kelompok adalah agregat sosial dimana anggota-anggotanya
yang saling tergantung, dan setidak-tidaknya memiliki potensi untuk melakukan interaksi satu
sama lain. Untuk menjadi suatu kelompok, ada tahap-tahap yang dilaksanakan oleh tiap individu.
Di dalam tahap-tahap tersebut terdapat masalah-masalah yang akan menimpa kelompok tersebut.
Jika kelompok tersebut tidak dpat melewati masalah tersebut, maka kelompok itu akan menjadi
kelompok yang tidak berhasil dalam tujuannya.

B. Kelompok formal dan nonformal

Sebagai makhluk sosial, interaksi dengan invidu lain menjadi suatu kebutuhan demi
tercapai kesejahteraan dalam masyarakat. Dari interaksi tersebut, pembentukan kelompok pun
dilakukan agar tercipta keharmonisan antar individu dan kerjasama dalam mencapai tujuan
bersama. Dari pembentukan kelompok tersebut terdapat dua macam kelompok, yaitu kelompok
formal dan informal.

Kelompok formal merupakan kelompok yang dibentuk dengan struktur organisasi dan
peraturan tegas. Peraturan sengaja dibuat oleh para anggota untuk mengatur hubungan antar
anggota. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencapai apa diharapkan di dalam
kelompok. Contoh dari kelompok informal, antara lain sekolah, perusahaan, universitas

Kelompok Informal merupakan kelompok yang dibentuk dengan tidak adanya struktur
dan organisasi. Terbentuknya suatu kelompok informal dapat ditimbulkan oleh banyak faktor,
diantaranya: adanya rasa kebersamaan, identifikasi diri, perhatian dari sesama anggota
kelompok.

Kelompok Informal dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

a) Horizontal Cliques

Yaitu kelompok informal yang keanggotaannya terdiri dari orang-orang yang berada pada
tingkatan manajemen sama dan bekerja dalam bidang yang sama.contoh, dokter sesame dokter

b) Vertical Cliques

Yaitu kelompok informal yang keanggotaannya terdiri dari orang-orang yang berada pada
tingkatan manajemen yang berbeda-beda, akan tetapi dalam suatu bidang yang sama.dokter dan
perawat

c) Random Cliques

Yaitu kelompok informal yang keanggotaannya terdiri dari orang-orang yang berasal dari
berbagai tingkatan manajemen dan yang berasal dari berbagai bidang.di perusahaan contohnya.

Di dalam kelompok formal biasanya akan terbentuk kelompok informal. Hal tersebut
dapat terjadi antar anggota akibat dari kesamaan tujuan. Tujuan kelompok formal akan semakin
mudah tercapai apabila kelompok informal yang terbentuk, contohnya persahabatan, juga
memiliki tujuan yang searah dengan kelompok formal. Namun apabila tujuan bertentangan,
maka dapat menimbulkan hambatan lain dalam kelompok formal.

C. Tipe Kelompok berdasarkan efektifitasnya

Pseudo adalah kelompok yang anggotanya mendapat tugas untuk bekerja sama namun
sebenarnya tidak ingin melaksanakannya. mereka bicara namun saling bersaing.contohnya
salesman.

Tradisional adalah kelompok yang pasrah, namun mereka bisa untuk menerima itu, kenapa di
bilang seperti itu, ketika mereka dituntut untuk bekerja sama mereka lakukan. namun mereka
tidak termotifasi untuk membagi informasi dg yang lain. hanya karena tuntutan.

kelompok efektif adalah anggotanya yang komit dan saling betanggung jawab untuk
memaksimalkan keberhasilan anggota yg lain. maksudnya jika yang satu berhasil maka anggota
lainpun ikut berhasil.

kinerja tinggi adalah tingkat komitmen lebih tinggi lagi dari efektif sangat peduli terhadap
anggota kelompoknya selalu siap untuk membantu ,tapi jarang kelompok yang bisa untuk
mncapai tingkat ini.

D. Peran persepsi dalam hubungan antar pribadi

Persepsi adalah sebuah proses mengorganisasi dan menginterpretasikan informasi


sehingga menjadi berarti (King, 2011). Persepsi merupakan hasil dari pemaknaan pesan tiap
individu. Persepsi bisa saja tidak sesuai dengan realitas dan perilaku individu biasanya lebih
berdasarkan pada persepsinya
(keyakinan) bukan kepada realitas yang ada. Ketidaksesuain antara realitas dan persepsi terjadi
akibat adanya perbedaan seorang individu dalam menginterpretasikan yang ditangkap oleh
inderanya.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi, sebagai berikut:

1. Karakteristik dari individu (ada dalam diri sendiri) seperti sikap, motif, minat,
pengalaman masa lalu, dan sebagainya. Kecenderungan seseorang dalam mengartikan hal baru
yang dikaitkan dengan pengalaman masa lalu. Selain itu, keadaan emosi juga berperan ketika
pertama kali berjumpa hal baru yang akan memberikan kesan tersendiri kepada dirinya.

2. Karakteristik dari target (orang lain), misalnya menarik atau tidak, gerakan, suara,
ukuran dan lain sebagainya. Ada semacam pengertian bahwa wanita bersifat emosional, kurang
rasional, kurang mandiri, mudah menangis dan teliti dalam bekerja, sedangkan pria lebih
mandiri, tidak mudah menangis, dan lebih rasional. Hal tersebut yang dapat menjadi
pertimbangan dalam mempersepsi (perceiver).

3. Situasi yang merupakan konteks dari lingkungan sekitar ketika hubungan


interpersonal dilakukan. Dalam situasi ini dibagi menjadi dua konteks, yaitu konteks fisik dan
konteks sosial. Konteks fisik berupa segala sesuatu yang dapat terlihat dan yang menyertai pada
saat hubungan interpersonal tersebut berlangsung, seperti meja, ruang, penerangan, dan
sebagainya. Sedangkan konteks sosialberupa segala hal yang berhubungan dengan target atau
orang lain, seperti jabatan, status sosial ekonomi, dan sebagainya.

Dalam melakukan persepsi, sebagian orang memilih “jalan pintas” untuk mempercepat
penyimpulan persepsi yang dilakukan. Padahal pengambilan jalan pintas tersebut dapat
menyesatkan karena dapat mengakibatkan distorsi (kesalahan) dalam persepsi itu sendiri.
Beberapa jalan pintas yang digunakan, meliputi:

1. Persepsi yang selektif, yaitu individu menginterpretasi apa yang dilihatnya secara
selektif berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikapnya namun tidak menghiraukan
bagian informasi yang dirasakan mengancam atau dianggap tidak relevan. Seperti menggunakan
filter, menyaring hanya apa yang sesuai dengan harapannya atau yang diiinginkan. Contohnya
Siska suka dengan BlackBerry dan dia membeli barang tersebut tanpa memperdulikan bahaya
radiasi yang dimiliki BlackBerry (BB) karena dia sudah terlanjur melihat BB sebagai barang
yang sangat fungsional.
2. Proyeksi, yaitu mengatribusikan sikap, karakteristik atau keterbatasannya sendiri pada
orang lain. Orang yang curang atau berbohong bisa berasumsi semua orang juga curang dan
berbohong.

3. Setreotipi,yaitu menilai seseorang atau kelompok berdasarkan penilaian umum.


Contohnya orang Jawa halus, anak bungsu manja, orang Madura kasar.

4. Halo Effect,yaitu perasaan positif mengenai sebuah karakteristik pada


individu mempengaruhi penilaiannya mengenai karakteristik yang lain. Misalnya menilai
seseorang yang kelihatannya berjas memakai sepatu pantofel sebagai intelek atau terpelajar.

F. Membangun kelompok yang efektif

Karena berbagai kemajuan teknologi dan kompetisi global, banyak jabatan


menuntut adanya kolaborasi diantara manusia antar departemen atau antar keahlian. Pada
intinya, pikiran orang banyak akan lebih baik ketimbang pikiran satu orang saja. Membangun
sebuah kelompok adalah suatu proses memilih, mengembangkan, memberikan kemudahan, dan
melatih kelompok kerja agar berhasil mencapai tujuan bersama. Di dalamnya mencakup
memotivasi anggota-anggota agar merasa bangga dalam melaksanakan tugas kelompoknya.
Pembangun tim harus mampu memenuhi tuntutan tugas (kualitas hasil, tepat waktu, dsb.) dan
memenuhi kebutuhan anggota-anggota kelompok (adil, tidak konflik, dsb.)

Melalui kerjasama dan saling berbagi pengetahuan serta ketrampilan, sebuah kelompok
seringkali mampu menyelesaikan tugas secara efektif, ketimbang dilakukan oleh seorang
individu. Untuk bisa menjadi efektif, sebuah kelompok harus melakukan tiga hal.

Pertama, mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh kelompok. Hal ini dimaksudkan agar suatu
kelompok fokus dengan arah dan tujuannya. Kedua, mempertahankan hubungan yang baik antar
anggota kelompok. Ini pun penting agar dapat menghasilkan luaran yang maksimal.
Ketiga,menyesuaikan diri terhadap kondisi yang berubah dari lingkungannya. Hal ini dimaksud
agar kelompok fleksibel terhadap perkembangan maupun kondisi diluar kelompok yang dapat
berubah dan menjadi cepat tanggap untuk menyelesaikan masalah karenanya.

Johnson dan Johnson (2008) mengajukan tujuh pedoman untuk membangun kelompok
yang efektif, yaitu:

1. Menetapkan sasaran kelompok yang jelas, operasional dan relevan sehingga menciptakan
saling ketergantungan yang positif dan membangkitkan komitment yang tinggi dari setiap
anggotanya.

2. Membangun komunikasi-dua-arah yang efektif dalam kelompok dimana setiap anggota dapat
mengkomunikasikan gagasan dan perasaannya secara tepat dan jelas. Komunikasi merupakan
dasar dari interaksi manusia serta berfungsinya kelompok. Ini sangat penting saat sekelompok
orang mengusahakan pencapaian sebuah tujuan bersama.

3. Memastikan bahwa setiap anggota berkesempatan untuk menjadi pemimpin dan berpartisipasi.
Partisipasi setara dan kepemimpinan memastikan bahwa semua anggota berinvestasi dalam kerja
kelpompok, komit untuk menerapkan keputusan kelompok, dan puas dengan keanggotaannya.

4. Memastikan bahwa kekuasaan dibagi di antara anggota kelompok dan bahwa pola pengaruh
bervariasi sesuai dengan kebutuhan dari kelompok, bukan pada otoritas ataupun karakter
kepribadian.

5. Menyesuaikan prosedur pengambilan keputusan dengan situasinya, yaitu keseimbangan antara


waktu dan sumberdaya yang dimiliki kelompok dengan metode pengambilan keputusan yang
dipilih.

7. Melibatkan kontroversi yang konstruktif melalui ketidaksetujuan dan tantangan terhadap


kesimpulan dan penalaran satu sama lain, sehingga akan meningkatkan pengambilan keputusan
dan pemecahan masalah yang kreatif.

8. Menghadapi dan memecahkan konflik secara konstrutktif. Konflik kepentingan bisa terjadi
akibat kebutuhan dan tujuan yang tidak selaras, langkanya sumberdaya maupun adanya
persaingan.

​Adalah kemustahilan bila suatu kelompok tidak terdapat konflik. Dalam menangani
konflik terdapat dua kepentingan yang menjadi pertimbangan, yaitu tujuan atau sasaran
kelompok atau hubungan antar anggota kelompok. Lima strategi dasar bisa digunakan untuk
mengangani konflik kepentingan adalah:

1. Berkolaborasi.

Strategi kolaborasi sangat menghargai tujuan maupun hubungan. Bila baik tujuan maupun
hubungan dianggap sama-sama pentingnya, untuk menyelesaikan konflik individu akan memilih
pemecahan masalah negosiasi.

Akomodasi

Dalam strategi akomodasi, hubungan dianggap sangat penting, sedangkan tujuan memiliki
derajat kepentingan yang rendah. Individu yang cenderung menggunakan strategi ini, dalam
menghadapi konflik dengan orang lain, cenderung lebih mempertahankan kualitas hubungan dan
cenderung akan mengorbankan tujuannya sendiri. Cara ini dapat saja dilakukan apabila tujuan
tidak begitu penting dan apabila kualitas hubungan tidak dijaga akan lebih berdampak buruk.

2. Konfrontasi

Strategi konfrontasi menganggap hubungan tidak penting sedangkan tujuannya sangat


penting, oleh karena itu individu ini akan mencoba untuk mengalahkan lawan dengan memaksa
mereka untuk menyerah sehingga ia dapat mencapai tujuannya. Mengakibatkan terganggu atau
bahkan terputusnya hubungannya dengan anggota kelompok lain yang terlibat konflik dengannya
itu.

3. Kompromi

Strategi ini menganggap tujuan dan hubungan dengan anggota kelompok lainnya sama-sama
cukup penting. Strategi kompromi sering digunakan ketika terjadi konflik, ingin terlibat dalam
pemecahan masalah negosiasi tetapi tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukannya.

4. Menghindar

Apabila terlibat konflik dengan orang lain, seseorang dengan strategi menghindar cenderung
menarik diri menghindari konflik. Ketika tujuan tersebut adalah tidak penting dan kelompok
tidak perlu menjaga hubungan dengan orang lain, strategi ini dapat dipilih.

Anggota kelompok yang efektif akan menghadapi konflik dan terlibat dalam mengatasi
konflik tersebut dengan cara negosiasi integratif. Jika negosiasi gagal, mediasi dapat
terjadi. Apabila konflik berhasil diselesaikan secara konstruktif, efektivitas kelompok akan
meningkat. Oleh karena itu konflik merupakan aspek penting dan sangat diperlukan guna
meningkatkan efektivitas kelompok.

Anda mungkin juga menyukai