Anda di halaman 1dari 177

DAFTAR ISI

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS CEREBRAL PALSY SPASTIK


QUADRIPLEGIDENGAN MODALITASHYDROTHERAPY....................................................1
Defenisi......................................................................................................................7
HEMILAGIA..................................................................................................................11
Definisi.....................................................................................................................11
KELAINAN SUSUNAN SARAF TEPI...................................................................................1
POLIOMYELITIS............................................................................................................16
Definisi.....................................................................................................................16
PARAPLEGIA................................................................................................................20
DEFINISI...................................................................................................................22
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK).........................................................................................................................72
COMBUSTIO.................................................................................................................86
Terdapat penangan berdasarkan durasi waktu setelah kontak, yaitu;...................110
DUA PULUH EMPAT JAM PERTAMA (HARI 1)................................................110
Survei Sekunder.......................................................................................................112
DUA PULUH EMPAT JAM KEDUA (HARI II)....................................................112
Terapi Luka Bakar Termal.....................................................................................112
Terapi Luka Bakar Kimia........................................................................................113
Terapi Luka Bakar Elektrik....................................................................................114
Jenis Parut Akibat Luka Bakar(7).............................................................................118
Gambar 8. Keloid.....................................................................................................119
Gambar 9. Parut Hipertrofik...................................................................................119
Tabel 2. Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik(6)......................................120
Gambar 10. Kontraktur..............................................................................................121
a. Dermabrasi.......................................................................................................122
Gambar 9. Dermabrasi.............................................................................................123
Gambar 10. Skin Graft.............................................................................................124
DAFTAR PUSTAKA
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS
CEREBRAL PALSY SPASTIK
QUADRIPLEGIDENGAN
MODALITASHYDROTHERAPY

Oleh:

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Cerebral palsy spastik quadriplegiadalah suatu disabilitas yang
paling umum terjadipada anak-anak karena adanya permasalahan selama
kehamilan, persalinanmaupun pasca kelahiran.Cerebral palsy spastik
quadriplegitermasuk suatu kelainan yangdisebabkan oleh perkembangan
otak yang tidak normal atau adanyakerusakan pada bagian otak yang
mengontrol otot dan gerakan (Reddihough& Collins, 2003). Kelainan
Cerebral palsy spastik quadriplegitermasuk kelainan yang
menjadiperhatian khusus karena jumlah prevalensi stabil setiap tahun sejak
tahun1985 hingga tahun 2000 yaitu terdapat 2-4 kasus dalam setiap
1000kelahiran di dunia pertahunnya yang tercatat menderita cerebral
palsy(Braun, et al, 2016).
Tingkat keparahan Cerebral palsy spastik quadriplegiditentukan
olehkebutuhanpenderita untuk mendapatkan bantuan dari orang lain.
Berdasarkan GMFCS (Gross Motor Function Classification System)
(Rosenbaum, et al.,2002) terdapat lima level klasifikasi derajat keparahan
penderita cerebralpalsy. Level pertama menunjukkan gejala yaitu
penderita masih dapatberjalan, naik tangga, lompat namun secara pelan.
Pada level ini penderitamembutuhkan bantuan minimal dari keluarga
karena penderita dapatberjalan tanpa keterbatasan. Gejala pada level kedua
penderita memilikiketerbatasan dalam berjalan namun masih dapat
berjalan tanpa bantuanorang lain. Level ketiga, penderita memerlukan
pegangan untuk berjalan.Level keempat, penderita memiliki keterbatasan
dalam bergerak sehinggaharus menggunakan kursi roda namun masih
dapat menggerakan kursi rodasendiri. Pada level kelima adalah level yang
membutuhkan bantuan oranglain terutama orang tua untuk mendorong
kursi roda karena tidak dapatmenggerakkan anggota badannya.
Di Negara Indonesia, Cerebral palsy spastik quadriplegitermasuk
jenis kelainan yangmendapat perhatian khusus karena termasuk dari
delapan jenis kecacatanyang di data oleh pemerintah.Sejak tahun 2007
data penyandang disabilitasdi Indonesia dikumpulkan melalui Riskesdas
(Riset Kesehatan Dasar).Berdasarkan hasil survei Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) yangdiselenggarakan oleh kementrian kesehatan,
prevalensi anak denganCerebral palsy spastik quadriplegidi Indonesia
adalah 0,09% dari jumlah anak berusia 24-59bulan pada tahun 2013
(Buletin jendela data dan informasi, 2014).
Keterbatasan yang dialami penderita Cerebral palsy spastik
quadriplegimembuat anaktidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan
harus mendapatkanbantuan dari orang lain (Graham, et al., 2016).
Keluarga merupakankelompok sosial yang memiliki hubungan paling
dekat dan memiliki fungsiperawatan, sosialisasi pada anak, dukungan
emosi dan materi, sehinggamemiliki kewajiban serta tanggung jawab
untuk membantu danmenyediakan kebutuhan antara anggotanya (Lestari,
2012). Keluarga akanmencurahkan waktu dan tenaganya untuk mengatur
gizi, kesehatan,pengobatan, rehabilitasi dan terapi untuk anak Cerebral
palsy spastik quadriplegi (Borzoo, Nickbakht, & Jalalian, 2014).

Terkait untuk mengurangi beberapa hambatan pada anak Cerebral


Palsyini, ada beberapa solusi pemecahan, salah satunya yaitu dengan
melakukanfisioterapi. Fisioterapi ini memiliki tujuan utama untuk
mengurangi hambatanyang dimiliki anak Cerebral palsy spastik
quadriplegidalam hal kemampuan alat geraknya (tulang,ototdan sendi),
untuk meningkatkan kemampuan motorik yang sangatberfungsi dalam
kehidupan sehari-hari terutama untuk menunjangpendidikannya. Sehingga
Fisioterapi sangat diperlukan untuk anak CerebralPalsy, agar hambatan
dalam fisik yang dimiliki oleh anak dapat diminimalisir.Layanan
fisioterapi berperan penting untuk mengatasi permasalahan fisik
yangtimbul pada anak cerebral Palsy, sesuai dengan peran fisioterapi
menurutPeraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 80 tahun
2013 bab 1pasal 1 ayat 2 tentang penyelenggaraan dan praktik
fisioterapi.“Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan
kepadaindividu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara
danmemulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan
denganmenggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak,
peralatan (fisik,elektroterapeutik, mekanik) pelatihan fungsi komunikasi”.
Berdasarkandefinisi tersebut, maka layanan fisioterapi ini memang sangat
perlu diberikankepada anak Cerebral Palsy, karena anak Cerebral palsy
spastik quadriplegimemiliki hambatan dalam fungsi gerak nya sehingga
perlu di ditingkatkan.
Menurut Novita Intan A. (2010: 1) Fisioterapi merupakan bagian
dariilmu kedokteran yang berupa intervensi fisik non-farmakologis dengan
tujuanutama kuratif dan rehabilitatif gangguan kesehatan. Fisioterapi atau
terapifisik, secara bahasa merupakan teknik pengobatan dengan modalitas
fisik(fisika).Aplikasi fisioterapi dewasa ini terus menerus
mengalamiperkembangan baik dari sisi prosedur pelaksanaan maupun alat-
alatpendukung.Sebagai contoh (hydrotherapy).Hidroterapi atau terapi
dengan air, merupakan sebuah langkah penanganan untuk mengurangi
tingkat kekakuan pada anak Cerebral palsy spastik quadriplegi(CP).Anak
CP biasanya mengalami kesulitan bergerak karena kekakuan pada otot-
ototnya. Ketika di air, umumnya otot-otot yang kaku akan lebih mudah
digerakkan.Pada anak yang mengalami kesulitan bergerak karena
kekakuan, ketika di air, umumnya dia akan lebih mudah bergerak. Dengan
demikian diharapkan spastisitas anak akan berkurang mengingat adanya
bantuan berupa dorongan air yang sifatnya bisa melenturkan gerak tubuh.
Meskipun tidak semua anak dengan gangguan tersebut dapat diberikan
terapi air, tapi terapi ini bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang terjadi pada anak Cerebral palsy spastik
quadriplegisangatlah kompleks. Maka penulis dalam karya tulis ini
merumuskan masalahsebagai berikut:
1. Apakah ada manfaat dilakukan pemberian
hydrotherapyterhadap penurunan tingkat spastisitas?
2. Apakah ada manfaat pemberian latihan hydrotherapy
terhadap peningkatan kemampuan fungsional berdiri
dan berjalan pada penderita Cerebral palsy spastik
quadriplegidengan gangguan fungsional berdiri dan
berjalan?
3. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kasus
Cerebral palsy spastik quadriplegidengan modalitas
hydrotherapy untuk menurunkan spastisitas otot
anak/pasien?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui manfaat Hydrotherapy terhadap penurunan
tingkat spastisitas pada penderita cerebral palsy, dan untuk
mengetahui manfaat hydrotherapydalam membantu meningkatkan
kemampuan fungsional berdiri dan berjalan pada penderita
cerebral dengan gangguan fungsional berdiri dan berjalan.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Cerebral
palsy spastik quadriplegidengan modalitas hydrotherapy untuk
menurunkan spastisitas otot pada anak.

D. Manfaat penelitian
a. Bagi institusi
Sebagai referensi tentang mengetahui penatalaksanaan fisioterapi
pada kasusCerebral palsy spastik quadriplegidengan modalitas
hydrotherapy.
b. Bagi pendidikan
Memberikan informasi ilmiah tentang penanganan Cerebral palsy
spastik quadriplegibagi peneliti selanjutnya
c. Memberikan informasi serta gambaran tentang Cerebral palsy
spastik quadriplegipada masyarakat yang meliputi penyebab serta
gejala,dan bagaimana cara menangani Cerebral palsy spastik
quadriplegi
d. Bagi penulis
Mendalami pengetahuan tentang penggunaan hydrotherapy pada
penyandang cerebral palsy
E. Batasan masalah
Dengan banyaknya metode fisioterapi yang dapat digunakan pada
kasus Cerebral palsy spastik quadriplegi telah terbukti bahwa
hydrotherapy memiliki manfaat besar bagi paien cerebral palsy. Maka
pasien memilih hydrotherapy sebagai penatalaksanaan fisioterapi pada
kasus Cerebral palsy spastik quadriplegiini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi

Cerebral palsy(CP) merupakan suatu keadaan dimana terjadi


kelumpuhanotak yang menghambat tumbuh kembang anak.Brunner
dan Suddarthmengartikan kata cerebral itu sendiri adalah otak,
sedangkan palsy adalahkelumpuhan, kelemahan, atau kurangnya
pengendalian otot dalam setiappergerakan atau bahkan tidak
terkontrol.Kerusakan otak tersebut mempengaruhisistem dan
penyebab anak mempunyai koordinasi yang buruk,
keseimbanganyang buruk, pola-pola gerakan yang abnormal atau
kombinasi dari karakterkaraktertersebut (Hidayat, 2010).
A. Etiologi
Di dalam tahapan terjadinya kerusakan yang menyebabkan
cerebral palsysecara umum dapat terjadi dalam 3 tahapan, yaitu:
1) Prenatal yaitu kerusakanyang terjadi ketika bayi/anak masih
dalam kandungan (pre natal). Factor-faktoryang menyebabkan
terjadinya kerusakan otak, antara lain:faktor herediter ataugenetic,
anoksia (anemia,shockpada kehamilan, gangguan
plasenta,inkompatibilitas Rh), infeksi pada ibu (infeksi virus rubella,
bakteri danparasittoksoplasmosis, cytomegalovirus, virus herpes,
syphilis), trauma, faktor metabolicmalformasi otak.Pada tahapan
inilah paling banyak terjadi kerusakan otak karenaotak belum matur
(indriastuti, 2004).
2) Perinatal / Natalyaitukerusakan yangterjadi saat proses
melahirkan biasanya meliputi: anoksia (obstruksi
pernafasan,atelektasis, separasi prematur plasenta, over dosis sedasi,
kelahiran sungsang),trauma (disporposi kepala panggul), prematuritas,
sectio caesaria.
3) Post natalyaitu kerusakan yang terjadi setelah melahirkan yaitu
saat kehidupan awal bayi,pada tahap ini disebabkan oleh: trauma
(fraktur tulang tengkorak, kontusioserebri), infeksi (meningitis,
encefalitis),kecelakaan serebrovaskular, anoksia(syok, keracunan,
nyaris tenggelam), tumor otak.

B. Patologi
Pada Cerebral palsy spastik quadriplegiterjadi kerusakan pada
pusat motorik danmenyebabkan terganggunya fungsi gerak yang
normal. Pada kerusakan korteksserebri terjadi kontraksi otot yang
terus menerus dimana disebabkan oleh karenatidak terdapatnya
inhibisi langsung pada lengkung refleks.Cerebral palsy spastik
quadriplegitipe quadriplegi disebabkan adanya lesi cortex
cerebripadalobus frontalis area 6 tepatnya medial dan lateral. Bila
derajat lesi pada sisimedial lebih besar,maka akan terjadi spastik yang
lebih kuat pada kedua tungkai.Gyrus precentralis berfungsi sebagai
area motorik, berurutan dari medial kelateral merupakan proyeksi pola
gerak pada tungkai, punggung, lengan, danwajah. Dan serabut-serabut
asosiasi pada white matter di otak yang mana secaranormal berfungsi
sebagai penghalusan suatu aktivitas (Chusid, 2003).
C. Tanda dan gejala klinis
Tanda dan gejala yang spesifik dari penderita cerebral
palsyspastikquadriplegiadalah terjadi spastisitas pada otot-otot
keempat anggota gerakekstremitas atas dan bawah, meningkatnya
reflek tendon, stretch reflek yangberlebihan, hiperkontraktilitas otot
dan klonus yang terjadi pada anggota gerakbaik atas maupun bawah
sehingga penderita mengalami kesulitan untukmempertahankan
keseimbangannya.Pada kasus diatas memiliki beberapa pola
spastisitas.Pola spastisitas padaanggota gerak atas adalah adduksi dan
internal rotasi bahu, fleksi siku, pronasilengan bawah, fleksi dan
ulnar deviasi wrist dan fleksi jari-jari.Sedangkan padaanggota gerak
bawah adalah adduksi dan internal rotasi hip, fleksi knee,
plantarfleksi dan inversi ankle serta fleksi jari-jari (Stephen, 1972).
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka konsep

Etiologi

1. Prenatal
2. Perinatal

Cerebral palsy quadriplegi

Problematika Fisioterapi

1.Spastisitas otot Modalitas terpilih


2.Penurunan kekuatan otot Hydrotherapy (Halliwick concept)
3. Ganguan keseimbangan

4. Kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari

Hasil

1. Penurunan spastisitas

Etiologi

 Vaskuler : Hemorrhagic cerebri, stroke,


neuropati diabetic.
 Invektif : Ensefalitis, meningitis, dan
abses otak
 Neoplastik : Glioma, meningloma
Definisi  Trauma : Laserasi otak, hematoma
subdural karena suntikan bius local
Hemi = setengah
HEMILAGIA diberikan secara cepat viA intra arteri
 Genetik : cerebral palsy
Plegia = Kelumpuhan

Adalah kerusakan/kelumpuhan pada seluruh


daerah korteks piramidalis sesisi yang
menimbulkan kelumpuhan pada Upper Motor
Neuron pada belahan tubuh sisi kontra lateral.
HEMIPLEGIA

Muscle yang bekerja MUSCLE


dominan:

1. Gluteus maximus
2. Gluteus medius Muscle yang mengalami ketrbatasan: ROM
3. Illiopsoas : Psoas
1. Shoulder : Flexi – Ekstensi
1. Quadrisep femoris : rectus
major & illiacus
femoris,vastus Abduksi – adduksi
medialus,vastus 2. Elbow : Pronasi – Supinasi
Flexi – Ekstensi
cateralis,vastus intermedius.
3. Wrist : Palmar – Dorsa
2. Hamstring : Aposisi- reposisi
Semitendinosis,semimenitran 4. Hip : Flexi – ekstensi
osus,bicep femoris Abduksi – adduksi
3. Gastroknemius & soleus 5. Knee : Flexi – Ekstensi
4. Trisep Eksternal rotasi – internal
5. Ekstensor retina culum rotasi
6. Palmarislongis 6. Ankle : Plantar - Dorsal
7. Abductor policis brevis

NEURO

1. Fasialis 8. Ischiadicus
2. Muscubcutaneus 9. saphenus
3. Radialis 10. tibialis
4. Medianus
5. Ulnalis
6. Protenius Comunis
7. Fibularis Profundus
8. Fibularis Superficialis
KELAINAN SUSUNAN SARAF TEPI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf menerima rangsangan dari sekitarnya dan dari dalam tubuh

sendiri, serta mengarahkan fungsi tubuh dengan memperngaruhi aktivitas otot dan

fungsi saraf otonom. Gangguan Sistem Saraf dapat disebabkan oleh beberapa hal,

seperti kelainan genetic, penyakit degeneratif, tumor, lesi mekanik (trauma),

perdarahan, iskemia, gangguan metabolic sistemik (hipoglikemia, hiperglikemia,

uremia, gagal hati, gangguan endokrin, dll), dan kelainan elektrolit.

Berbagai penyebab yang lain meliputi obat – obatan, toksin (missal, logam

berat, alcohol), radiasi, inflamasi, dan infeksi (virus, bakteri, prion, dan penyakit

autoimun. Fungsi efektor diperifer (reseptor sensorik, otot, dan organ yang

dipersarafi oleh system saraf otonom), konduksi saraf perifer, fungsi medulla

spinalis, dan/atau system saraf supraspinal dapat terganggu akibat gangguan

system saraf.

Kerusakan pada efektor perifer akan menyebabkan gangguan fungsi

tertentu, yang dapat bersifat local (mengenai satu otot) atau bersifat umum

(mengenai seluruh otot). Kerusakan seperti ini dapat mengakibatkan aktivitas

yang berlebihan (misalnya kram otot yang bersifat involuntary atau aktivitas

reseptor sensorik yang tidak adekwat dengan kesalahan persepsi sensorik), atau

defisit fungsional (paralisis otot atau defisit sensorik). Meskipun reseptor sensorik

38
tetap utuh, persepsi sensorik terutama melalui mata atau telinga, dapat terganggu

jika bagian transmisi mengalami kerusakan.

Penyakit Saraf dan Otot adalah merupakan bagian dari penyakit saraf yang

disebabkan terganggunya fungsi saraf tepi atau otot. Untuk memahami penyakit

tersebut perlu dikuasai anatomi, fisiologi, biokemistri dan farmakologi sistem

saraf baik pusat maupun tepi. Susunan Saraf Pusat terdiri dari Otak dan Medula

Spinalis sedangkan Susunan Saraf Tepi terdiri dari sel saraf dan serabut-

serabutnya yang dapat berasal dari otak seperti saraf kepala (saraf kranialis) atau

medula spinalis seperti radiks dan nervi spinales.


BAB II
TEORI

2.1 Anatomi

Saraf Tepi yang termasuk saraf kepala meliputi:

1. n. olfaktorius

2. n. optikus

3. n. oftalmikus

4. n. trokhlearis

5. n. trigeminus

6. n. abduscens

7. n. fasialis

8. n. vestibulocochlearis

9. n glossofaringeus

10. n. vagus

11. n. accessories

12. n. hipoglosus

Saraf Tepi yang termasuk saraf spinales kebanyakan bergabung menjadi

satu sehingga dikenal sebagai nervi servikales, nervi torakales, nervi lumbales,

dan nervi sakrales. Gabungan saraf tepi semacam ini disebut juga pleksus,

sehingga dikenal pleksus servikotorakales (gabungan radiks C1-8 dan T1) dan

pleksus lumbosakrales (gabungan radiks L1-5 dan S1-5).

2.2 Patomekanisme

38
Gangguan faal pada saraf tepi dapat berasal dari gangguan biokemistri

seperti terganggunya keseimbangan air dan elektrolit, inflamasi (radang), proses

keganasan, trauma dan lain sebagainya.

Untuk mempercepat hantaran impuls yang berupa muatan listrik dari

proksimal ke distal serabut saraf (akson) mempunyai selubung yang disebut

mielin. Mielin diproduksi oleh sel Schwann yang membalut akson dan pada titik

tertentu mempunyai takik yang disebut nodus Ranvier. Adanya nodus Ranvier

memungkinkan hantaran listrik meloncat sehingga lebih cepat sampai ke efektor

(serabut saraf eferen), atau sebaliknya dari reseptor lebih cepat sampai ke sentral

(serabut saraf aferen). Tidak semua serabut saraf bermielin, ada juga serabut saraf

yang kecil dan pendek tidak bermielin dan saling menghubungkan sesama sel

saraf di otak. Pada penyakit saraf tepi kerusakan dapat terjadi pada akson, disebut

aksonopati, atau pada mielin (mielinolisis) dan kombinasi keduanya dapat saja

terjadi. Pada gangguan di akson, proses kesembuhan berlangsung lama, tidak

demikian halnya bila pada mielin lebih besar kemungkinan cepat kembali seperti

semula.

2.3 Poliomielitis Anterior Akuta

Salah satu diantara penyakit saraf tepi yang populer adalah polio yang

nama selengkapnya adalah poliomielitis anterior akuta. Sesuai namanya bagian

yang terkena sebenarnya adalah mielum bagian anterior yang disebut juga kornu

anterior sehingga lesi yang ditimbulkan berupa kelumpuhan tipe perifer karena

inti sel saraf di kornu anterior mengalami nekrosis. Akibatnya adalah serabut saraf

yang terkena terutama aksonnya tidak berfungsi lagi dan otot yang dipersarafi

lama kelamaan (dan proses berlangsung cepat) menjadi atrofi. Otot yang atrofi
menjadi kecil dan ekstremitas memerlukan bantuan alat untuk dapat berfungsi

kembali.

Tidak ada terapi khusus pada polio sehingga terapi pada penyakit ini lebih

bersifat suportif.

Hindari menggunakan terapi suntik pada penderita yang panas saat

epidemi polio sedang berjangkit (outbreak) karena akan memicu lebih banyak sel

saraf yang mati. Kehati-hatian ini juga menjadi penting karena makin banyaknya

kegiatan sueing di tengah masyarakat. Pencegahan penyakit ini adalah dengan

melaksanakan vaksinasi polio di masyarakat.

2.4 Guillain Barre Syndrome

Nama lain:

1. Acute idiopathic poly (radiculo) neuritis,

2. Acute inflammatory (demyelinating) polyneuropathy,

3. Infectious polyneuritis,

4. Landry-Guillain-Barre syndrome

5. French Polio

6. Landry’s ascending paralysis

7. Landry Guillain Barré syndrome.

Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah suatu penyakit otoimun yang

bersifat akut. Sebenarnya jarang ditemukan, dimana sel-sel sistim imun

menyerang selubung myelin saraf tepi. Saraf tepi menghubungkan otak dan

medulla spinalis dengan bagian tubuh lain. Kerusakan pada saraf tepi akan

menimbulkan gangguan hantaran sinyal sebagai akibatnya otot akan berkurang

38
kekuatannya, penyebab sebenarnya penyakit ini belum diketahui tetapi dapat

dipicu oleh infeksi, operasi dan vaksinasi.

Gejala pertama biasanya adalah panas atau demam yang dapat tinggi atau

sedang dan pada hari ketiga diikuti oleh kelemahan dan kesemutan (gringgingen)

di kedua tungkai. Kemudian gejala ini akan memanjat keatas. Pada keadaan yang

parah terjadi kelumpuhan total. Penyakit ini mengancam nyawa bila otot

pernafasan diserang. Pada keadaan seperti ini diperlukan respirator. Keadaan yang

parah akan berlangsung beberapa pekan, kemudian menjadi stabil dan membaik

dengan perawatan yang baik pula. Ada pula perbaikan yang memakan waktu

sangat lama hingga beberapa tahun. Pengobatan biasanya dilakukan dengan obat-

obatan dan penggantian plasma (plasma exchange).

Penyakit ini termasuk kelompok penyakit neuropati perifer. Ada beberapa

jenis GBS, tetapi bila tidak diberi keterangan lain maka yang dimaksud adalah

GBS dalam bentuk umum.

2.5 Epidemiologi

Insidens 1 atau 2 orang per 100,000 penduduk.[6] Seringkali parah dan

menunjukkan kelumpuhan memanjat mula-mula kaki dan tungkai kemudian

lengan dan tangan juga terkena tidak terkecuali otot pernafasan dan wajah. Karena

merupakan lesi saraf tepi makan refleks tendon akan menghilang. Dengan

pengobatan yang segera dengan penggantian plasma maka diharapkan

kesembuhan segera terjadi. Pemberian imunoglobulin menolong. Dan jangan

dilupakan pengobatan penunjang seperti pemberian neurotropik vitamin. Sebagian

besar pasen dapat pulih normal kembali. GBS juga menjadi penyebab

kelumpuhan yang tidak disebabkan oleh cedera di dunia.


2.6 Patomekanisme

Untuk memahami terjadinya GBS dapat diuraikan sebagai berikut:

Serabut saraf terdiri dari lembaran myelin yang membungkus akson.

Akson sendiri adalah perpanjangan sel saraf yang menjulur sampai ke bagian

tubuh yang akan di persarafi oleh saraf tersebut. Misalnya N. Ischiadicus

mempunyai kelompok sel saraf yang terletak di cornu anterior medula spinali

segmen lumbal dan kumpulan aksonnya membentuk saraf N. Ischiadicus yang

mempersarafi otot-otot tungkai (AA).

Otak adalah kumpulan sel-sel otak yang banyak sekali jumlahnya. Untuk

dapat menggerakkan anggota tubuh seperti lengan dan tungkai maka dari otak sel

otak tersebut akan menjulurkan bagian sel otak yang disebut akson. Akson akan

terus berjalan sepanjang tubuh dan mencapai organ yang ditujunya (AA). Otak

terdiri dari dua belahan yang disebut hemisfer. Hemisfer serebri sebelah kiri erat

tugasnya dengan tugas menghitung dan bicara bahasa sedangkan hemisfer sebelah

kanan erat tugasnya dengan seni dan ketrampilan ruang. Otak mempunyai banyak

lekuk untuk menghemat ruang yang akan mampu menampung 200 milyar sel otak

yang terdiri dari sel otak neuron dan sel glia (AA). Lobus frontalis mengontrol

fikiran, perencanaan, mengorganisasikan, menyelesaikan masalah, daya ingat

jangka pendek dan gerakan.

 Lobus parietalis menginterpretasikan informasi sensorik, rasa, suhu, dan

sentuhan.

 Lobus oksipitalis memproses bayangan yang masuk melalui mata dan

38
menghubungkan dengan memori yang tersimpan.

 Lobus temporalis memproses informasi yang masuk melalui

penghiduan/penciuman, rasa, dan suara. Juga berperan dalam daya ingat

(AA).

Serebelum terletak dibawah otak belakang oksipital. Tugasnya

menyelaraskan informasi sensor dari mata, telinga, dan otot untuk koordinasi

gerak. Kerusakan menimbulkan intention tremor tubuh bergetar ketika akan

mengambil sesuatu.

Batang Otak bertugas menghubungkan otak dengan medulla spinalis

mengawasi fungsi kehidupan yang vital seperti detak jantung, nafas dan tekanan

darah. Di daerah ini pula terletak kendali tidur dan kesadaran (AA).

2.7 Struktur Dalam Otak

Berfungsi untuk emosi dan daya ingat/memori. Dikenal sebagai system

limbic terdiri dari pasangan-pasangan, di kedua belah otak.

Thalamus bekerja sebagai pintu gerbang pesan yang masuk antara otak

dan medulla spinalis Hipothalamus mengontrol emosi dan mengatur suhu, makan

dan tidur. Hippocampus mengirimkan ingatan untuk disimpan di tempat yang

disediakan di otak dan dapat di panggil kembali bila dibutuhkan (AA).

2.8 Sel Saraf

Sel Saraf memiliki dua tipe cabang yaitu neurite atau akson dan dendrite.

Dendrit membawa impuls dari luar kea rah sel dan neurite membawa impuls dari

sel kea rah luar. Sel saraf saling berhubungan dengan sesame sel saraf melalui
dendrite tersebut sehingga tercipta komunikasi yang efeisien dan cepat sekali

(AA).

2.9 Susunan Saraf Tepi

Saraf tepi adalah semua saraf di tubuh keluar dari otak dan medulla

spinalis. Bekerja sebagai penghantar antara otak dan anggota tubuh. Misalnya

tangan menyentuh setrika panas maka seketika tangan akan ditarik karena

informasi panas dibawa ke otak dan otak memerintahkan untuk menarik tangan

dari setrika. Ini hanya beberapa milidetik (AA).

2.10 Neurotransmitters

Neuron berhubungan dengan sel lain melalui impuls elektrik yang

mendorong neurotransmitter lepas dari ujung sel saraf.

Neurotransmiter lepas ke sinaps suatu celah antara dua sel saraf dan

menempel ke reseptor di sel penerima. Proses ini terjadi berulang antara neuron ke

neuron. Semuanya ini memungkinkan terjadinya gerakan, pikiran, perasaan dan

kemampuan untuk berkomunikasi (AA).

Pada GBS terjadi gangguan pada saraf tepi sehingga kekuatan kedua

tungkai dan ekstremitas dapat terkena. Klasifikasi

Terdapat enam jenis GBS yaitu:

 Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) gangguan

terutama terjadi berupa kerusakan selubung saraf myelin dari sel.

 Miller Fisher syndrome (MFS) adalah jenis yang jarang karena berupa

38
kelumpuhan yang menurun dari atas ke bawah jadi kebalikan dari GBS.

Mula-mula otot mata yang terserang sehingga terjadi trias

ophthalmoplegia, ataxia, dan areflexia. Antibodi Anti-GQ1b sering

dijumpai pada 90% kasus.

 Acute motor axonal neuropathy (AMAN),[8] atau Chinese Paralytic

Syndrome, menyerang motorik yaitu pada nodes of Ranvier dan banyak

(prevalen) di China dan Mexico. Merupakan serangan auto-immune pada

axoplasm saraf tepi. Sering terjadi pada musim tertentu dan penyembuhan

lebih cepat. Pada pasen akan terdapat anti-GD1a antibodi[9]. Antibody

Anti-GD3 banyak dijumpai pada AMAN.

 Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN) serupa dengan AMAN

hanya juga disertai serangan pada serabut saraf sensorik dengan kerusakan

aksonal. Seperti AMAN juga disebabkan serangan oto imun terhadap

aksoplasma saraf tepi. Penyembuhan lambat dan inkomplit.

 Acute panautonomic neuropathy imerupakan jenis yang jarang dari GBS

sering disertai ensefalopati dengan mortalitas yang tinggi. Kematian

disebabkan pembesaran jantung dan disritmia, gangguan berkeringat dan

kekurangan air mata. Fotofobia, keringnya rongga hidung dan mukosa

mulut, gatal, mual dan muntah sering terjadi dan disfagia. Konstipasi juga

dapat terjadi yang tidak hilang dengan laksan. Dan bisa pula berganti

dengan diare. Gejala awal biasanya lelah dan lemas seperti lethargy,

fatigue, sakit kepala, dan menurunnya kemauan, malas, lalu diikuti

gangguan otonomik seperti pusing bila berdiri, mata kabur, nyeri perut,

diare, mata kering, dan gangguan kencing. Yang paling sering adalah
pusing bila berdiri, gangguan gastrointestinal dan kencing dan gangguan

berkeringat.

 Bickerstaff’s brainstem encephalitis (BBE), jenis lain dari Guillain-Barré

syndrome. Ditandai oleh acute onset ophthalmoplegia, ataxia, gangguan

kesadaran, hyperreflexia or Babinski’s sign (Bickerstaff, 1957; Al-Din et

al.,1982). Perjalanan penyakit monofasik atau sering relaps. Gangguan

patologi terutama di batang otak, pons, midbrain, dan medulla. Meski pada

fase awal terlihat parah prognosis baik. Diagnosis dengan MRI.

Sebagian pasen BBE mempunyai hubungan dengan axonal Guillain-Barré

syndrome, menjadi indikasi bahwa kedua penyakit ini mempunyai

kesamaan.

Pada GBS terjadi gangguan pada saraf tepi sehingga kekuatan kedua

tungkai dan ekstremitas dapat terkena.

Klasifikasi

Terdapat enam jenis GBS yaitu:

 Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) gangguan

terutama terjadi berupa kerusakan selubung saraf myelin dari sel.

 Miller Fisher syndrome (MFS) adalah jenis yang jarang karena berupa

kelumpuhan yang menurun dari atas ke bawah jadi kebalikan dari GBS.

Mula-mula otot mata yang terserang sehingga terjadi trias

ophthalmoplegia, ataxia, dan areflexia. Antibodi Anti-GQ1b sering

dijumpai pada 90% kasus.

 Acute motor axonal neuropathy (AMAN),[8] atau Chinese Paralytic

Syndrome, menyerang motorik yaitu pada nodes of Ranvier dan banyak

38
(prevalen) di China dan Mexico. Merupakan serangan auto-immune pada

axoplasm saraf tepi. Sering terjadi pada musim tertentu dan penyembuhan

lebih cepat. Pada pasen akan terdapat anti-GD1a antibody [9]. Antibody

Anti-GD3 banyak dijumpai pada AMAN.

 Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN) serupa dengan AMAN

hanya juga disertai serangan pada serabut saraf sensorik dengan kerusakan

aksonal. Seperti AMAN juga disebabkan serangan oto imun terhadap

aksoplasma saraf tepi. Penyembuhan lambat dan inkomplit.

 Acute panautonomic neuropathy imerupakan jenis yang jarang dari GBS

sering disertai ensefalopati dengan mortalitas yang tinggi. Kematian

disebabkan pembesaran jantung dan disritmia, gangguan berkeringat dan

kekurangan air mata. Fotofobia, keringnya rongga hidung dan mukosa

mulut, gatal, mual dan muntah sering terjadi dan disfagia. Konstipasi juga

dapat terjadi yang tidak hilang dengan laksan. Dan bisa pula berganti

dengan diare. Gejala awal biasanya lelah dan lemas seperti lethargy,

fatigue, sakit kepala, dan menurunnya kemauan, malas, lalu diikuti

gangguan otonomik seperti pusing bila berdiri, mata kabur, nyeri perut,

diare, mata kering, dan gangguan kencing. Yang paling sering adalah

pusing bila berdiri, gangguan gastrointestinal dan kencing dan gangguan

berkeringat.

 Bickerstaff’s brainstem encephalitis (BBE), jenis lain dari Guillain-Barré

syndrome. Ditandai oleh acute onset ophthalmoplegia, ataxia, gangguan

kesadaran, hyperreflexia or Babinski’s sign (Bickerstaff, 1957; Al-Din et

al.,1982). Perjalanan penyakit monofasik atau sering relaps. Gangguan


patologi terutama di batang otak, pons, midbrain, dan medulla. Meski pada

fase awal terlihat parah prognosis baik. Diagnosis dengan MRI.

Sebagian pasen BBE mempunyai hubungan dengan axonal Guillain-Barré

syndrome, menjadi indikasi bahwa kedua penyakit ini mempunyai

kesamaan.

Gejala dan Tanda (Signs and symptoms)

Penyakit GBS ditandai dengan gangguan kelemahan yang bersifat

simetris. Pada awalnya menyerang kedua tungkai dan kemudian berangsur-

angsur naik ke lengan. Pasen biasanya mengeluh kedua tungkai terasa berat

dan merasakan seperti ada beban dan perasaan gringgingen serta tebal. Ada

juga rasa disestesia (numbness atau tingling). Penyakit berlanjut keatas dalam

waktu beberapa jam atau hari dan kemudian otot wajah dan lengan mulai

lemah. Sering kali saraf otak bagian bawah terkena. Disebut juga kelumpuhan

tipe bulbar dan menimbulkan oropharyngeal dysphagia, dengan kesulitan

menelan mengisap air liur dan sulit bernafas. Sebagian besar pasen perlu

perawatan rumah sakit (MRS) dan sekitar 30% perlu bantuan ventilator [11].

Kelemahan otot wajah dapat terjadi tapi otot mata jarang terkena. Bila otot

wajah dan otot mata terkena maka kemungkinan besar kasus tersebut adalah

Sindroma Miller-Fisher (varian Miller-Fisher). Hilangnya sensorik biasanya

berupa sensasi proprioception (rassa posisi) dan areflexia (hilangnya refleks

tendo) tanda khas GBS. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu biasanya ringan.

Dan semsasi nyeri bahkan bertambah pada otot yang terkena. Rasanya seperti

nyeri orang yang kelelahan. Nyeri ini biasanya hilang sendiri dan dapat diobati

dengan analgesic biasa. Gangguan kandung kencing dapat terjadi pula pada

38
kasus yang parah. Tetapi bersifat sementara. Bila gangguan kandung kencing

berlebihan perlu dipertimbangkan kelainan medulla spinalis.

Demam jarang ada dan bila ada harus dipikirkan kemungkinan suatu

sebab yang lain.

Pada keadaan yang berat hilangnya fungsi otonom dapat terjadi berupa

tekanan darah yang naik dan turun berfluktuasi, hipotensi orthostatik dan

aritmia jantung.

Penyebab paralisi akut Guillain-Barré Syndrome dapat dihubungkan

dengan faktor blokade sodium channel di cairan spinal (cerebrospinal fluid

(CSF)). Gangguan pemberian SIADH dapat terjadi akibat pemberian air dan

garam secara intravena yang tidak tepat. Gejalanya serupa dengan progressive

inflammatory neuropathy.[12]

Penyebab

Semua bentuk Guillain-Barré syndrome merupakan akibat respons

immune terhadap antigen asing (seperti infeksi) yang menjadi salah sasaran.

Target sebenarnya dari antigen tersebut diduga adalah gangliosides, suatu

bahan alami yang terdapat dalam junlah besar dalam saraf manusia.

Sedangkan infeksi penyebab paling sering adalah bakteri Campylobacter

jejuni.[13] Namun demikian 60% kasus tidak diketahui kuman penyebabnya,

dimana diduga dapat berupa virus influenza atau semacam reaksi imun

terhadap virus influenza.

Akibat serangan otot imun terhadap saraf tepi adalah kerusakan mielin

selaput pembungkus saraf dan gangguan hantaran saraf.sehingga

menimbulkan kelumpuhan otot dan gangguan otonomik dan sensorik.


Pada kasus yang ringan akson mungkin tidak terlalu terganggu dan

penyembuhan kembali cepat berlangsung dengan remielinasi. Sebaliknya pada

kasus yang parah terjadi kerusakan akson dan penyembuhan berlangsung

lama. Diperkirakan 80% kasus GBS terhadi kehilangan mielinof sedangkan

pada yang dua puluh persen kehilangan akson.

Guillain–Barré Syndrome tidak seperti multiple sclerosis (MS) dan

penyakit ALS (Lou Gehrig’s disease (ALS), yang menyebabkan kerusakan

otak dan medulla spinalis.

Diagnosis

Diagnosis GBS ditegakkan dengan adanya kelumpuhan yang akut,

areflexia, tidak ada demam saat kelumpuhan, dan hasil pemeriksaan cairan

spinal. Cairan spinal diperoleh dari pungsi lumbal dan pemeriksaan

elektromiografi (EMG) berupa tes hantaran saraf pada otot yang lumpuh.

 Cairan spinal (cerebrospinal fluid)

Disosiasi albumino sitologis sering dijumpai berupa albumin tinggi tetapi

jumlah sel tetap. Protein naik hingga 100–1000 mg/dL, tanpa disertai

kenaikan jumlah sel (pleositosis). Bila dijumpai sel meningkat maka

diagnosis GBS perlu dipertimbangkan.

 Elektrodiagnosis

Pemeriksaan Electromyography (EMG) dan nerve conduction study (NCS)

dapat menunjukkan latensi yang memanjang dan perlambatan hantaran atau

blok hantaran dan potensial aksi kompleks pada kasus demielinating. Pada

kerusakan akson dapat amplitude menurun tanpa perlambatan hantaran.

38
Kriteria Diagnosis

Utama

 Kelumpuhan yang progresif, simetris kedua tungkai atau disertai lengan

akibat neuropati.

 Areflexia

 Penyakit berlangsung lebih dari 4 pekan.

 Faktor Eksklusi sebab-sebab lain.

Pendukung

 Kelumpuhan yang relative simetris dan adanya nyeri atau rasa tebak pada

tungkai yang terkena

 Gangguan sensori ringan

 Gangguan saraf fasial dan saraf otak lain

 Tidak ada demam

 Perubahan temuan cairan spinal (CSF)Elektrodiagnostik ada tanda

demielinasi

Diagnosis Banding

 acute myelopathies dengan chronic back pain dan sphincter dysfunction

 botulism dengan hilangnya refleks pupil yang cepat

 diphtheria dengan disfungsi oropharyngeal yang cepat

 Lyme disease polyradiculitis dan kelumpuhan karena gigitan kutu (tick-

borne)

 porphyria dengan nyeri abdomen, kejang, psikosis

 vasculitis neuropatia
 poliomyelitis dengan demam dan tanda meningeal

 CMV polyradiculitis pada pasen dengan immunokompromis

 neuropatia pada penyakit kritis

 miastenia gravis

 Keracunan dengan organofosfat, keracunan bahan hemlock, thallium, atau

arsen

 Kelumpuhan karena virus West Nile

 astrositoma spinal

 Penyakit Motor Neuron

 Virus West Nile dapat menimbulkan penyakit neurologis yang fatal seperti

ensefalitis, meningitis, Guillain-Barre syndrome, dan mielitis anterior

 Ensefalomielitis Mialgik Parah/Sindroma Fatig Kronik.

POLIOMYELITIS

BAB 1
PENDAHULUAN

Definisi

Poliomielitis (polio, paralisis infantile) adalah penyakit menular


oleh infeksi virus yang bersifat akut. Predileksi virus ialah merusak sel-sel
neuron motorik kornu anterior masa kelabu medula spinalis (anterior horn
cells of the spinal cord) dan batang otak (brain stem) yang berakibat
kelemahan atau kelumpuhan otot (paralisis flaksid akut) dengan distribusi
dan tingkat yang bervariasi serta bersifat permanen.

A. Epidemiologi, etiologi, dan transmisi

Poliomielitis adalah suatu penyakit paralisis atau lumpuh yang


disebabkan oleh virus. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan manusia
merupakan satu-satunya reservoir untuk poliomielitis. Poliomielitis sedikit
lebih banyak menyerang anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dan

38
lebih sering dialami oleh anak-anak yang tidak mendapatkan vaksinasi,
terutama bagi mereka yang tinggal di daerah yang penduduknya padat dan
dengan sanitasi yang buruk.
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi dari genus enterovirus yang
dikenal dengan poliovirus. Terdapat tiga serotipe dari poliovirus, yaitu:
poliovirus tipe 1 (Brunhilde/PV1), tipe 2 (Lansing/PV2), dan tipe 3
(Leon/PV3).
Transmisi penyakit ini sangat mudah lewat oral-oral (orofaringeal)
dan fekal-oral (intestinal). Polio sangat infeksius antara 7-10 hari sebelum
dan sesudah timbulnya gejala, tetapi transmisinya mungkin terjadi selama
virus berada di dalam saliva atau feses.

B. Patofisiologi
Poliovirus masuk kedalam tubuh melalui mulut, menginfeksi sel
yang pertama ditemuinya, yaitu di faring dan mukosa saluran cerna. Virus
ini masuk dan berikatan dengan immunoglobulin-like receptor, yang
dikenal sebagai reseptor poliovirus atau CD 155, pada membran sel. Di
dalam sel-sel saluran cerna, virus ini bertahan selama sekitar 1 minggu,
kemudian menyebar ke tonsil, jaringan limfoid saluran cerna dan kelenjar
limfa mesenterik dan servikal dimana virus ini berkembang biak.
Selanjutnya, virus ini masuk ke dalam aliran darah. Poliovirus dapat
bertahan dan berkembang biak dalam darah dan kelenjar limfa untuk
waktu lama, kadang-kadang hingga 17 minggu.

C. Jenis-jenis poliomielitis

Polio paralitik
Denervasi jaringan otot skelet sekunder oleh infeksi poliovirus
dapat menimbulkan kelumpuhan. Tanda-tanda awal polio paralitik ialah
panas tinggi, sakit kepala, kelemahan pada punggung dan leher,
kelemahan asimetris pada berbagai otot, peka dengan sentuhan, susah
menelan, nyeri otot, hilangnya refleks superfisial dan dalam, parestesia,
iritabilitas, konstipasi, atau sukar buang air kecil. Kelumpuhan umumnya
berkembang 1-10 hari setelah gejala awal mulai timbul Prosesnya
berlangsung selama 2-3 hari, dan biasanya komplit seiring dengan
turunnya panas.

Polio spinal
Polio spinal adalah tipe poliomielitis paralisis yang paling sering
akibat invasi virus pada motor neuron di kornu anterior medula spinalis
yang bertanggung jawab pada pergerakan otot-otot, termasuk otot-otot
interkostal, trunkus, dan tungkai. Kelumpuhan maksimal terjadi cukup
cepat (2-4 hari), dan biasanya timbul demam serta nyeri otot. Virus dapat
merusak otot-otot pada kedua sisi tubuh, tetapi kelumpuhannya paling
sering asimetris. Kelumpuhan seringkali lebih berat di daerah proksimal
dari pada distal.

Polio bulbar

Terjadi kira-kira 2% dari kasus polio paralitik. Polio bulbar terjadi


ketika poliovirus menginvasi dan merusak saraf-saraf di daerah bulbar
batang otak. Destruksi saraf-saraf ini melemahkan otot-otot yang
dipersarafi nervus kranialis, menimbulkan gejala ensefalitis, dan
menyebabkan susah bernafas, berbicara, dan menelan. Akibat gangguan
menelan, sekresi mukus pada saluran napas meningkat, yang dapat
menyebabkan kematian.

Polio bulbospinal
Kira-kira 19% dari semua kasus polio paralitik yang memberikan
gejala bulbar dan spinal; subtipe ini dikenal dengan polio respiratori atau
polio bulbospinal. Poliovirus menyerang nervus frenikus, yang mengontrol
diafragma untuk mengembangkan paru-paru dan mengontrol otot-otot
yang dibutuhkan untuk menelan

D. Gejala klinik
Gejala klinik bermacam-macam dan digolongkan sebagai berikut:
1. Jenis asimtomatis
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala klinik sama sekali
karena daya tahan tubuh cukup baik. Jenis ini banyak terdapat waktu
epidemi.
2. Jenis abortif
Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala
seperti infeksi virus lainnya, yaitu: malaise, anoreksia, nausea, muntah,
nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
3. Jenis non-paralitk
Gejala kliniknya hampir sama dengan poliomielitis abortif, hanya nyeri
kepala, nausea, dan muntah lebih hebat. Terdapat tanda-tanda rangsangan
meningeal tanpa adanya kelumpuhan. Suhu bisa naik sampai 38-39ºC
disertai nyeri kepala dan nyeri otot. Bila penderita ditegakkan, kepala akan
terjatuh kebelakang (head drops). Bila penderita berusaha duduk dari
sikap tidur maka kedua lututnya ditekuk dengan menunjang kebelakang
dan terlihat kekakuan otot spinal (tripod sign).
4. Jenis paralitik
Gejala kliniknya sama seperti pada jenis non-paralitik, kemudian disertai
kelumpuhan yang biasanya timbul 3 hari setelah stadium preparalitik.

E. Diagnosis
Diagnosis poliomielitis paralitik ditegakkan berdasarkan anamnesis
yaitu adanya kelumpuhan flaksid yang mendadak pada salah satu atau
lebih anggota gerak dengan refleks tendon yang menurun atau tidak ada

38
pada anggota gerak yang terkena, yang tidak berhubungan dengan
penyebab lainnya, dan tanpa adanya gangguan sensori atau kognitif.
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan
tenggorok pada minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai beberapa
minggu. Bila pemeriksaan isolasi virus tidak dapat dilakukan, maka
dipakai pemeriksaan serologi berupa tes netralisasi dengan memakai
serum pada fase akut dan konvalesen. Selain itu bisa juga dilakukan
pemeriksaan complement fixation (CF). Diagnosis laboratorik biasanya
berdasar-kan ditemukannya poliovirus dari sampel feses atau dari hapusan
faring. Antibodi dari poliovirus dapat didiagnosis, dan biasanya terdeteksi
di dalam darah pasien yang terinfeksi. Hasil analisis cairan serebrospinal
yang diambil dari pungsi lumbal didapati adanya peningkatan jumlah
leukosit serta protein juga sedikit meningkat. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan khusus yaitu kecepatan hantar saraf dan elektromiografi.
Diagnosis banding ialah meningitis tuberkulosis, sindroma
Guillain-Barre, mieltis transversa, dan ensefalitis.

F. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering ditemukan, yaitu: equinus foot (club
foot), deformitas, gangguan pergerakan sendi, skoliosis, osteoporosis,
neuropati. dan komplikasi akibat tirah baring lama.

G. Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit. Pemulihan motorik pada
poliomielitis umumnya cukup baik. Pada kasus polio spinal, bila sel-sel
saraf rusak total maka kelumpuhan dapat menetap. Prognosis buruk pada
bentuk bulbar. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan fungsi pusat
pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas

H. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan
menghindari daerah endemis

PENATALAKSANAAN

Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:


1) Istirahat selama fase akut.
2) Penderita diisolasi selama fase akut.
3) Terapi simtomatik untuk meringankan gejala.
4) Dilakukan fisioterapi untuk mengurangi kontraktur, atrofi, dan atoni otot.
Otot-otot yang lumpuh harus dipertahankan pada posisi untuk mencegah
deformitas. Dua hari setelah demam menghilang dilakukan latihan gerakan
pasif dan aktif.
5) Akupunktur dapat dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan
6) Terapi ortopedik dilakukan bila terjadi cacat karena kontraktur dan
subluksasi akibat terkenanya otot di sekitar sendi dan lain-lain.

A. Program rehabilitasi medik


1) Fase akut (< 2 minggu)
Ditekankan tindakan suportif dan upaya pencegahan kerusakan sel-
sel kornu anterior medula spinalis yang permanen serta mencegah
kecacatan, yang meliputi:
- Istirahat di tempat tidur (sebaiknya dirawat di rumah sakit) dan diet
yang adekuat
- Aktivitas fisik dan trauma dihindari selama fase preparalitik
- Karena adanya demam dan nyeri otot, diberikan obat analgetik dan
kompres hangat untuk mengurangi nyeri dan spasme otot
- Posisi tidur diatur yang nyaman bagi anak dan cegah kontraktur,
kalau perlu dengan splinting. Pada awalnya otot-otot terasa nyeri,
sehingga anak menolak untuk meluruskan tungkainya. Secara lembut
dan pelan luruskan lengan dan tungkainya sehingga anak berbaring
dalam posisi yang baik. Buat lengan, pinggul (hip, dan tungkai selurus
mungkin. Berikan penyokong pada kaki. Untuk mengurangi nyeri,
letakkan bantalan di bawah lutut.

2) Fase subakut (2 minggu - 2 bulan)


Latihan pasif atau latihan aktif yang ringan dapat mulai diberikan.
Pada akhir fase ini, penderita bisa di latih berdiri.
3) Fase penyembuhan (2 bulan – 2 tahun)
Pada fase ini dilakukan pemeriksaan manual muscle test (MMT)
pertama, untuk menentukan pemberian jenis ortosis pada anggota
gerak dengan kekuatan otot kurang dari 3.
4) Fase kronis (> 2 tahun)
Bila sampai 2 tahun setelah lumpuh tidak terjadi perbaikan
kekuatan otot, maka ortosis dipakai seumur hidup untuk mencegah
komplikasi yang lain, misalnya: karena adanya perbedaan panjang
tungkai dan tanpa koreksi akan menimbulkan skoliosis, atau karena
adanya kekuatan otot pergelangan kaki yang tidak seimbang tanpa
koreksi, maka akan terjadi pes equinus.

38
Kadang-kadang pada fase ini memerlukan tindakan operasi bila
terdapat pemendekan otot atau kontraktur sendi yang tidak dapat
diperbaiki dengan tindakan fisioterapi maupun dengan ortosis. Pada
penderita poliomielitis selain dilakukan latihan penguatan untuk otot-
otot yang mengalami kelemahan, juga perlu dilakukan latihan
penguatan pada otot-otot yang tidak mengalami kelemahan, terutama
otot-otot ekstremitas superior, untuk persiapan penggunaan ortosis atau
alat bantu seperti wheelchair dan crutches.

B. Ortosis untuk penderita poliomielitis


Terdapat beberapa jenis ortosis untuk penderita poliomielitis, yaitu :
1) Hip knee ankle foot orthosis (HKAFO)
2) Knee ankle foot orthosis (KAFO)
3) Ankle foot orthosis (AFO)

C. Perubahan bantuan dan pertolongan terhadap anak yang menderita


poliomielitis
Terdapat jenis latihan dan ortosis untuk penderita poliomielitis anak,
yaitu :
1) Latihan lingkup gerak sendi
2) Latihan duduk dengan memakai sandaran yang membantu mencegah
kontraktur
3) Latihan aktif extremitas inferior dengan bantuan, untuk meningkatkan
kekuatan dan mempertahankan lingkup gerak sendi
4) Latihan di dalam air, dengan berjalan, mengapung, dan berenang
5) Wheelboard atau wheelchair dengan bantuan untuk mencegah atau
mengoreksi kontraktur dini. Juga melatih lengan untuk persiapan
penggunaan crutches.
6) Penggunaan braces untuk mencegah kontraktur dan persiapan untuk
berjalan
7) Latihan mulai berjalan dan untuk keseimbangan di parallel bar
8) Berjalan dengan machine atau walker
9) Menggunakan crutches yang di modifikasi seperti walker untuk
keseimbangan
10) Menggunakan under arm crutches
11) Menggunakan forearm cruthes
12) Menggunakan cane atau tanpa bantuan pada ekstremitas superior
PARAPLEGIA

I. Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak disadari betapa rumitnya mekanisme


yang mengatur gerakan kedua tungkai yang dinamakan “berjalan” itu. Secara
otomatis seseorang berjalan ke tempat yang dituju. Memang, “berjalan”
berlalu secara otomatis menurut pola-pola tertentu sesuai minat untuk pergi
ke suatu tempat dapat menggerakkan kedua tungkai secara serentak untuk
berjalan cepat atau perlahan sesuai dengan tujuan kepergian itu. Akan tetapi,
alangkah terkejutnya bila seseorang merasakan bahwa tungkainya tidak
bergerak sesuai dengan kehendaknya.

Perasaan bahwa cara melangkahkan tungkai tidak normal adalah


pengungkapan ini suatu penyakit yang lama-kelamaan menjurus ke
kelumpuhan tungkai secara unilateral atau Bilateral. Dokter umum yang
seyogyanya bekerja di garis depan harus menanggapi keluhan yang bersifat
“gangguan berjalan” dengan prihatin, oleh karena pada tahap dini sekali,
banyak penyakit medulla spinalis, cerebellum, dan cerebrum mengungkapkan
dirinya dalam bentuk “gangguan berjalan”. Hal ini dapat terjadi oleh karena
ketiga komponen tersebut, (medulla spinalis, cerebellum dan cerebrum)
merupakan system saraf pusat yang mengendalikan seluruh aktivitas
eksternal maupun internal tubuh kita. Cedera medula spinalis (CMS)
merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering
menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih
banyak dijumpai pada usia produktif ini seringkali mengakibatkan penderita
harus terus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena
paraplegia atau tetraplegia.

38
Paraplegia merupakan paralysis permanen dari tubuh yang disebabkan
oleh luka atau penyakit yang dipengaruhi oleh medulla spinalis. Pada luka
medulla spinalis tulang belakang, biasanya rusak di suatu tempat di
sepanjang tulang belakang tersebut akan sembuh, tetapi jaringan saraf pada
medulla spinalis tidak dapat sembuh. Kerusakan saraf inilah yang
menyebabkan kehilangan permanent pada fungsi dan berakibat pada kondisi
yang disebut paraplegia
DEFINISI

Paraplegia adalah kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral/


transversal di medulla spinalis di bawah tingkat cervical (pada segmen thoracal,
lumbal atau sacral pada medulla spinalis). Kelumpuhan yang terjadi tergantung
level/segmen medulla spinalis yang terlibat. Kelumpuhan dapat diakibatkan oleh
terputusnya hubungan motomeuron dengan otot atau karena perusakan pada
ototnya sendiri serta motor end plate yang disebut dengan kelumpuhan Lower
Motor Neuron (LMN) dan kelumpuhan ini bersifat lemas.

Jika kelumpuhan bersifat kaku, maka secara anamnesa dapat disimpulkan


bahwa kerusakan terjadi pada Upper Motor Neuron (UMN).

KLASIFIKASI

1. Paraplegia spastika

Paraplegia spastika merupakan kelumpuhan pada, tungkai dan bagian


bawah tubuh yang bersifat kaku. Paraplegia ini memperlihatkan tanda:
kelumpuhan UMN yang disebabkan oleh lesi bilateral/transversal di medulla
spinalis di bawah tingkat cervical. Adapun tanda kelumpuhan UMN itu
adalah:

a.Tanda spastisitas

b. Tonus otot meninggi atau hipertonia

Gejala tersebut diatas terjadi karena, hilangnya inhibisi korteks motorik


tambahan terhadap, inti-inti intrinsik medulla spinalis. Hipertonia
merupakan ciri khas bagi disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan
UMN. Pada paraplegia akan dapat dilihat hipertonia dalam posisi fleksi
dan ekstensi. Apabila paraplegia disebabkan oleh lesi yang terutama.
merusak serabut dan penghantar impuls pyramidal saja maka disebut
paraplegia dalam ekstensi.
38
c.Hiperfleksia

Pada kerusakan diwilayah susunan UMN refleks tendon lebih peka


daripada keadaan biasa (normal). Keadaan abnormal itu dinamakan
hiperfleksia, dalam hal im gerak otot bangkit secara berlebihan, kendati
perangsangan pada tendon sangat lemah. Hiperfleksia merupakan
keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan
ekstralpiramidal tidak di sampaikan kepada motor neuron.
d. Klonus

Hiperfleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot
reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan
masih berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhan disertai oleh klonus
kaki.

e.Refleks patologik

Pada kaki, gerak otot reflek patologik berupa gerakan dorsoekstensi ibu
jari kaki serta pengembangan jari kaki lainnya, sebagai jawaban atas
penggoresan terhadap bagian lateral telapak kaki (Refleks Babinski) atau
kulit sekitar maleolus lateral (Refleks Chaddock) atau kulit yang
menutupi os tibia, (Refleks Oppenheim) atau atas pijatan pada betis
(Refleks Gordon) atau atas pijatan pada tendon Achilles (Refleks
Schaeffer).

f. Tidak ada atrofi pada otot - otot yang lumpuh

Dalam hal kerusakan pada serabut-serabut penghantar impuls motorik


UMN, motor neuron tidak dilibatkan atau dibebaskan. Oleh karena itu
otot-otot yang lumpuh masih dapat mengecil, tidak musnah melainkan
menjadi ramping akibat otot tidak aktif digerakkan. Atrofi karena hal
tersebut dikenal sebagai “Difuse Atrophy”.

g. Refleks Automatisme Spinal

Pada penderita paraplegia akibat lesi transversal di medulla spinalis


bagian atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak padahal kedua
tungkai lumpuh apabila penderita terkejut.

h. Adanya Retensio Urinae dan Gangguan Defekasi dan Miksi


Sebagian besar paraplegia jenis spastika dilengkapi dengan gangguan
defekasi dan gangguan miksi. Manifestasi kelumpuhan anggota gerak
kedua sisi tidak jarang didahului dengan retensio urinae.

38
2. Paraplegia Flaccida

Merupakan kelumpuhan kedua tungkai yang memperlihatkan tanda-


tanda LMN disebabkan oleh lesi bilateral dibagian perifer susunan
neuromuskulus, yaitu lower motoneurone,motor and plate dan otot. Berbeda
dengan paraplegi spastika, kelumpuhan kedua tungkai flaksida tidak
memperlihatkan batas defisit sensorik pada tubuh yang jelas.
Tanda-tandanya sebagai berikut:

a.Bersifat flaksiditas, yaitu kelemasan.

Dalam konteks keluhan “lesu-letih-lemah” yang mendasari gangguan


gerakan.

b. Hilangnya reflek tendon (areflesia) dan tidak adanya reflek patologik.

Seluruh gerakan, baik yang voluntar maupun yang reflektorik.


c.Tonus otot menghilang.

Karena lesi LMN bagian afferen lengkung refleks berikut “gamma-loop”

tidak berfungsi lagi.

d. Atrofi otot cepat terjadi.

Musnahnya motor neuron berikut dengan aksonnya, berarti pula bahwa


kesatuan motoriknya runtuh, sehingga atrofi cepat terjadi.

e.Gangguan miksi tidak selalu mengiringi kelumpuhan.

II. Etiologi

Etiologi paraplegia berdasarkan klasifikasinya dibagi menjadi dua, yaitu


lesi pada UMN dan lesi pada LMN.

Lesi pada UMN meliputi:

a. Kompresif (penekanan) dapat disebabkan oleh: Neoplasma, Abses Epidural,


Hemorrhagic Epidural, Herniated Disk, kompresif dari fragmen tulang
vertebra yang fraktur.

b. Vasculer: Emboli, perdarahan, Arteriovenous, Malformations.


38
c. Peradangan (inflamasi): Myelitis Transversa, Multiple Sclerosis.
d. Infeksi:

i. Viral : Herpes simpleks type II

ii. Bacterial : Syphilis, TBC, Listeria etc.

iii. Parasit : Schistosomiasis, Toxoplasmosis


e. Perkembangan: Syringomyelia, Scoliosis

f. Metabolic: Subacute Combined Degeneration

g. Herediter: Familial Spastic Paraplegia, Scoliosis


Lesi pada LMN terbagi menjadi kelumpuhan Neurogenic yang mengenai
anterior motor neuron dan miogenik yang. mengenai ototnya.

1. Lesi neurogenik, meliputi:

a.Motorneuron disease

b. Polyneuropatia bilateral
c.Poliomyelitis Anterior Acuta

2. Lesi miogenik, meliputi:

a.Distrofia musculorum: herediter

b. Miopati: bukan herediter dan bukan infeksi


c.Miositis: infeksi

III. EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medulla spinalis dalam 1


tahun di Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Dari
jumlah diatas penyebab terbanyak terutama karena kecelakaan mobil, diikuti
karena jatuh, luka tembak dan cedera olahraga. Penyebab non traumatic yang
paling sering menyebabkan paraplegia adalah tumor tulang belakang.

IV. PATOFISIOLOGI

Meskipun berjalan merupakan gerakan volunter, namun setelah gerakan


berjalan dimulai, seluruh fleksi dan ekstensi otot kedua tungkai dalam
melaksanakan gerakan berjalan terjadi secara otomatis. Gerakan tersebut
menujukkan kerapian, keserasian dan ketangkasan yang menakjubkan.
Koordinasi dan sinkronisasi gerakan otot kedua tungkai tersebut diatur secara
38
integrative. Bilamana salah satu komponen dari sistem saraf tidak menjalankan
tugas sebagaimana mestinya, maka akan timbul gangguan gerakan volunter.
Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan sistem saraf
disebut lesi. Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional akibat
perdarahan, trombosis atau embolisasi, dapat juga karena perdarahan, degenerasi
dan penekanan oleh proses pendesakan ruang dan sebagainya.

Tiap lesi di medulla spinalis yang merusak daerah kortikospinal lateral


menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di
bawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (transversal) medulla
spinalis pada tingkat thorakal atau tingkat lumbal atas, contohnya T5 akan
mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada di bawah
T5. Lesi transversal yang merusak segmen T5 itu tidak saja memutuskan jaras
kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap lintasan ascendens dan
descendens lainnya. Di samping itu, kelompok motorneuron yang berada di
dalam segmen T5 ikut rusak, ini berarti bahwa pada, tingkat lesi kelumpuhan itu
bersifat LMN. Jadi pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN dan di bawah
tingkat lesi terjadi kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN di tingkat lesi
melanda kelompok otot yang merupakan sebagian kecil dari muskulator toraks
dan abdomen. Mengingat peranan, kelompok otot tersebut tidak begitu
menonjol, maka tidak begitu jelas seperti halnya jika kelumpuhan LMN di
tingkat lesi itu melanda sebagian muskulator anggota gerak. Di bawah batas
tersebut, tands-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap,
namun pada toraks tanda-tanda UMN tidak dapat ungkapkan lesi-lesi di segmen
lumbal paling bawah dan sacral merusak motorneuron-motorneuron berikut
dengan terminalia serabut-serabut kortikospinal, sehingga kelumpuhan kedua
tungkai akibat lesi itu bersifat LMN. Kelumpuhan yang melanda bagian bawah
tubuh yang terlukis di atas dinamakan paraplegi.

Lesi pada medulla spinalis (pada segmen tertentu) dapat menyebabkan


terjadinya paraplegi yang bersifat spastic ataupun flaccid pada area tubuh yang
diinnervasi oleh segmen medulla spinalis. Pada paraplegia spastic, akan
memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan UMN, sedangkan pada paraplegia
flaccid, pada pemeriksaan akan memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan LMN,
yang disebabkan oleh lesi bilateral di bagian perifer susunan neuromuskulus,
yaitu lower motorneuron, motor end plate dan otot. Berbeda dengan paraplegia
spastika, kelumpuhan kedua tungkai, anggota gerak flaccid tidak
memperlihatkan batas deficit sensorik yang jelas pada tubuh, juga gangguan
miksi tidak selalu kelumpuhan. Secara berturut-turut lesi di bagian perifer,
susunan neuromuskulus dapat merusak atau mengganggu fungsi motorneuron,
radiks ventralis yang ikut menyusun pleksus dan saraf tepi, motor end plate dan
otot. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apakah kerusakan terletak di
persarafannya atau di ototnya. Untuk itu dapat dipergunakan table berikut untuk
membandingkan lesi pada UMN, LMN tipe neurogenik atau LMN tipe
miogenik.
Table 22-1. Signs That Distinguish Patterns of Weakness

Sign Upper Motor Neuron LMN Neurogenic LMN Myogenic


Atrophy None Severe Mild
Fasciculations None Common None
Tone Spastic Decreased Normal/decreased
Distribution of weakness Pyramidal/regional Distal/segmental Proximal
Tendon reflexes Hyperactive Hypoactive/absent Normal/hypoactive
Babinski’s sign Present Absent Absent

Sistem saraf pusat terdiri atas otak, (cerebrum dan cerebellum) dan
medulla spinalis. Otak merupakan pusat dan pikiran dan interpretasi terhadap
lingkungan eksternal.Sedangkan medulla spinalis merupakan kumpulan saraf-
saraf yang menghubungkan otak dengan organ tubuh dan sebaliknya.

7
Medulla spinalis dilindungi dari bagian dalam menuju luar oleh cairan
cerebrospinal,selaput otak dan tulang vertebrata.Medulla spinalis tersusun atas
segmen-segmen yang sama dengan tulang vertebra,namun karna pertumbuhan
make segmen medulla spinalis semakin kebawah semakin menjauhi segmen
tulang vertebra yang sesuai.Dimana segmen-segmen itu adalah:

1. Segmen cervical terdiri dari C1-C8

2. Segmen Sacral terdiri dari S1-s5

3. Segmen thorakal terdiri dari T1-T12

4. Segmen lumbal terdiri dari L1-L5

5. Segmen Coccygea terdiri dari Co1-co3

Segala aktivitas susunan saraf pusat yang dapat dilihat, didengar, direkam
dan diperiksa berwujud gerak otot. Gerak jalan, gerak otot wajah otot yang
menentukan sikap tubuh dan gerak otot skeletal apapun merupakan manifestasi
eksternal susunan saraf pusat Otot-otot skeletal dan neuron yang menyusun
susunan neuromuskular volunter, yaitu sistem yang mengurus dan sekaligus
melaksanakan gerakan yang dikendalikan oleh kemauan. Secara anatomik
sistem tersebut terdiri atas:
1. Upper Motor Neuron (UMN)

Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik, kelompok UMN dibagi


dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal.

a.Susunan Piramidal

Semua neuron yang menyalurkan impuls motorikk secara langsung ke


UMN atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok UMN.
Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni gyrus precentralis. Oleh
karena itu, maka gyrus tersebut dinamakan korteks motorik. Korteks
motorik ini terdapat pada lapisan ke lima dan masing-masing memiliki
hubungan dengan gerak otot tertentu yang berada di korteks motorik
yang menghadap ke fisura longitudinalis cerebri mempunyai koneksi
menuju otot kaki dan tungkai bawah. Peta itu, dikenal sebagai
humankulusmotorik (gambar I).

Dari bagian mesial gyrus precentalis (area 4: corteks motorik) kebagian lateral
bawah, secara berurutan terdapat peta gerakan kaki, tungkai bawah, tungkai atas,
pinggul, abdomen atau thoraks, bahu, lengan, tangan jari-jari, leher, wajah, bibir,
otot pita suara, lidah & otot penelan.

Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron


yang membentuk inti motorik syaraf kranial & motoneuron di kornu
anterius medulla spinalis. Akson-akson tersebut menyusun jaras
kortikobulbar-kortikospinal (gambar2)
b. Susunan Ekstrapiramidal
Berbeda dengan uraian sederhana tentang susunan pyramidal, susunan
ekstrapyramidal terdiri atas komponen-komponen, yakni: korpus
striatum, globus pallidus, inti thalamik, nukleus subthalamikus,
substantia nigra, komotio reticularis batang otak, cerebellum dan korteks
motorik tambahan, yaitu area 4,6 dan 8. Komponen-komponen tersebut
dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing
komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar, yang
dikenal sebagai sirkuit.

2. Lower Motor Neuron

Neuron yang menyalurkan impuls motorik pada bagian perjalanan terakhir


keseluruhan otot skeletal dinamakan lower motorneuron. Lower
motorneuron dibedakan menjadi 2 bagian: ά motorneuron berukuran besar
dan menjulurkan akson tebal ke serabut otot ekstrafusal dan yang lain. γ
motor neuron, berukuran kecil, akhirnya halus dan mensarafi serabut otot
intrafusal. Dengan perantaraan kedua macam motorneuron itu, impuls otorik
dapat mengemudikan keseimbangan tonus otot yang diperlukan untuk
mewujudkan setiap gerakan tangkas. Tiap motorneuron menjulurkan hanya
satu akson, tapi pada ujungnya setiap akson bercabang-cabang, setiap
cabang mensarafi seutas serabut otot, dengan demikian setiap akson dapat
berhubungan dengan sejumlah serabut otot.

Tugas motorneuron hanya menggalakkan sel-sel serabut otot. Otot lumpuh


ringan (paresis) atau lumpuh mutlak (paralisis) bergantung pada jumlah
motorneuron yang rusak. Oleh karena motorneuron dengan sejumlah serabut
otot yang dipersarafinya merupakan satu kesatuan, maka kerusakan
motorneuron membangkitkan keruntuhan pada serabut otot yang termasuk-
unit motorinya, lalu otot yang terkena akan atrofi atau mengecil. Di samping
itu, dapat terlihat juga adanya kegiatan abnormal pada serabut otot sehat
yang tersisa, yang disebut fasikulasi.
3. Motor End Plate
Akson menghubungkan sel serabut otot melalui sinaps, sebagaimana neuron
berhubungan dengan neuron lain. Bagian otot yang bersinaps itu dikenal
sebagai ‘motor end plate’. Inilah alat perhubungan antara neuron dan otot.

V. GEJALA

Seperti yang kita tahu paraplegi adalah paralisa bagian bawah dari tubuh
termasuk tungkai yang diakibatkan karena adanya lesi / tekanan akibat tumor
pada medulla spinalis.

Manifestasi klinis dari penyakit ini adalah berbentuk spastic dan flaccid.
Spastic adalah suatu keadaan dimana terjadi lesi bilateral atau transversal di
medulla spinalis pada bagian bawah dan pada tingkat cervical. Keadaan spastic
ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :

Akut

Ditandai dengan adanya gejala dislokasi atau fraktur pada tulang


belakang akibat suatu trauma atau karena lesi vaskuler berupa trombosis,
trombosis pada arteri spinalis, hematomielia, aneurisma aorta disektans
Sub akut

Keadaan ini disebabkan karena adanya gangguan imunologi dengan


gejala myelitis postvaccinalis atau postinfeksiosa dan myelopati
nekrotikans

Sub Kronis

Dengan manifestasi seperti spondilitis TBC, tumor spinal dan abses


epidural. Sedangkan pada anak – anak terdapat gejala cerebral palsy.
Kronik

Terjadi gejala ALS ( Amiotropic Lateral Sclerosis ), gangguan miksi,


defekasi, retensi urine yang mendahului kelumpuhan anggota gerak
kedua sisi
Flaccid adalah suatu kelumpuhan yang memiliki manifestasi berupa lesi
pada Lower Motor Neuron ( LMN ) pada motor end plate.

VI. DIAGNOSA
1. Anamnesa

Kebanyakan kasus kelumpuhan dapat dikenal dari anamnesanya saja,


namun demikian, diagnosa yang mantap harus ditetapkan setelah hasil
pemeriksaan fisik-diagnosa dan laboratori dianalisa secara tuntas.

Dengan diketahuinya riwayat penyakit kasus kelumpuhan masing-masing


maka strategi pengarahan dalam penyusunan anamnesa kasus kelumpuhan dapat
diatur seluas-luasnya. Relevansi berbagai pertanyaan dibawah ini akan lebih
dimengerti dan nilainya lebih dihargai.

Bagaimana mula timbulnya? Langsung lumpuh? …... Sedikit demi


sedikit dalam beberapa jam, hari, minggu, bulan? …… Setelah istirahat?

….. Setelah minum bir, makan obat? ….. Langsung setelah membedol
tanaman? ….. Langsung setelah mendorong kendaraan yang mogok
dijalan? ….. Setelah tidur dikursi? ….. dst.

Bagaimana dengan kesadarannya sebelum & setelah menjadi lumpuh?


Bagaimana dengan kesehatan setelah mengidap kelumpuhan? Sedang

diobati untuk TBC, tumor ganas, hyperthyroidea, hipertensi, diabetes,

penyakit jantung, pernah mendapat serangan epilepsi, dst.?

Adakah anggota keluarga dekat/jauh yang mempunyai kelumpuhan


seperti ini?

Sudah berapa kali anda mendapat kelumpuhan seperti ini?

Bagaimana dengan soal makanan dan obat-obat yang anda makan?


Apakah anda sehari-hari makan daging, ikan, tempe, tahu & sayur-
sayuran? ….. Apakah anda sedang makan obat TBC? ….. obat kencing
(diuretik)? …... obat antireumatik (kortison)? ….. obat asma (kortison)?

….. dst.
Esensi dalam penyusunan kasus paraplegia terletak pada penentuan faktor
etiologinya. Gambaran penyakitnya tidak sukar untuk didiagnosa, maka strategi
pengarahan dipusatkan pada lajunya perjalanan atau perkembangan penyakit,
apakah akut, sub-akut, sub kronik ataupun kronik. Adakah infeksi sebelumnya
telah mendapat trauma tulang belakang dan pernah menderita tuberculosis atau
pernah dioperasi karena tumor ganas. Jawabannya akan menunjuk pada jenis
kausa yang harus diselidiki dalam pemeriksaan fisik diagnostic dan pemeriksaan
radiologi atau khusus. Paraplegia spastika akut yang terjadi secara serentak
dapat disebabkan oleh dislokasi atau fraktur tulang belakang akibat trauma atau
lesi vascular (thrombosis dari arteri spiralis, hematomyelia, aneurisma aorta
disektans). Yang berkembang agak lambat, tetapi masih dapat dijuluki sub-akut
ialah paraplegia spastic akibat proses imunologik (myelitis post-vaccinalis atau
post infeksiosa dan myelopati nekrotikans), sedangkan paraplegia yang
berkembang secara sub-kronik disebabkan oleh spondifitis TBC, tumor spinal
dan abses epidural.

Paraplegi spastic pada anak-anak umumnya merupakan gejala cerebral


palsy atau manifestasi penyakit herediter yang. menyertai keterbelakangan
mental. Biasanya anggota gerak kedua sisi selalu disertai deficit sensorik pada
permukaan yang terletak di bawah lesi. Sebagian besar kasus paraplegia
kelompok ini dilengkapi dengan gangguan miksi dan defekasi. Bahkan, tidak
jarang retensi urin mendahului manifestasi kelumpuhan anggota gerak kedua

sisi.

Anamnesa paraplegia akibat fraktur atau dislokasi tulang belakang cukup


jelas karena adanya trauma yang langsung menimbulkan paraplegia. Jika lesi
vascular yang mendasari paraplegia akut, maka gejala yang timbul akibat
terjadinya aneurisma disektans dapat diceritakan sewaktu mengeluarkan tenaga
dengan menahan nafas seperti kalau mengangkat barang berat atau mendorong
kereta yang mogok di jalan, terasa timbul perasaan nyeri tajam di belakang
tubuh yang serentak disusul dengan gejala shock dan paraplegia.

Paraplegia sub-akut yang disebabkan oleh proses imunologi mempunyai


anamnese yang cukup khas. Setelah 10 hari atau beberapa minggu sembuh dan
cacat, sakit leher dengan demam, pasien merasa, pegal dan nyeri di tulang
belakang dan tidak lama kemudian, timbullah paraplegia. Paraplegia akibat
tumor berkembang secara sub-akut atau kronik tergantung pada jenis tumor.
Tumor intradural atau intramedular lebih cepat mengakibatkan timbulnya
paraplegia daripada tumor ekstradural, sebelum pasien tidak dapat berjalan, ia
dapat mengeluh tentang pegal-pegal atau sakit punggung yang terasa saat
berbaring. Kemudian, setinggi tumor dada terasa seolah-olah terikat atau
parestetik. Tidak lama kemudian pasien merasa. terganggu saat berjalan. Dalam
melakukan gerakan berjalan, kedua tungkai tidak menuruti kehendak diri atau
kemantapan dalam berjalan hilang karena adanya kelemahan dalam otot-otot
yang ringan dapat diperberat oleh adanya ataksia. Retensi urin dan gangguan
defekasi dapat berkembang berikutnya. Waktu tidur malam dapat timbul
automatismus spinal yang berarti bahwa tungkai dapat bergerak secara spontan
untuk sejenak tapi berulang-ulang. Pada pemeriksaan di tempat kelemahan otot-
otot kedua tungkai dengan tanda-tanda UMN.

Pada paraplegia akibat spondilitis tuberkulosa, didapat anamnesa yang


tidak jauh berbeda dengan sindroma, kompresi medulla spinalis akibat tumor.
Hanya pegal-pegal di punggung sudah dapat diperjelas dengan adanya gibus
angularis. Perasaan seolah-olah dada terikat yang umum pada tumor spinal,
mempunyai equivalensia pada spondilitis tuberkulosa dalam bentuk nyeri
radikular yang timbul pada waktu batuk, bersin atau thoraks bergerak.
Perjalanan dan perkembangan penyakit kira-kira sama dengan tumor spinal

2.PEMERIKSAAN
A. Inspeksi

a. Kemampuan untuk menggerakkan otot


b. Gaya berjalan pasien

c. Atropi

B. Palpasi

Sistem Sensorik

Pada kerusakan UMN defisit sensorik berupa suhu, raba, nyeri,


tekan mempunyai batas yang jelas.

Pada kerusakan LMN defisit tersebut diatas tidak berbatas

jelas.

Tes modalitas sensorik dapal menggunakan kapas untuk raba,


jarum untuk nyeri, dan gelas dengan air hangat atau dingin untuk
suhu, dapat membantu kita untuk mengetahui segmen medulla
spinalis yang mengalami lesi dengan bantuan susunan sebagai
berikut
System Motorik

Tonus otot :

Dapat diperiksa dengan menggunakan tes tungkai bergoyang


menurut Wartenberg :

- Hipertonia menunjukkan kerusakan UMN

- Hipotonia menunjukkan kenwkan LMN


Klonus otot :

Pada kerusakan UMN terdapat klonus pada kaki.


1) Refleks-refleks
A. Refleks Fisiologis : refleks yang memang ada
pada orang sehat.

a. Refleks Superficial : Refleks ini menghilang pada kerusakan

UMN

i. Refleks Kulit Dinding Perut

Kulit dinding perut digores dengan gagang ujung palu refleks


atau ujung kunci. Refleks kulit dinding perut menghilang
pada lesi piramidalis. Hilangnya refleks ini yang
berkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding
perut adalah khas bagi lesi di susunan pyramidal.

ii. Refleks Kremaster dan Refleks skrotal

Penggoresan dengan pensil, ujung gagang palu refleks atau


ujung kunci terrhadap kulit bagian medial akan dijawab
dengan elevasi testis Ipsilateral. Refleks kremaster
menghilang pada lesi di segmen L1-L2, juga pada usia lanjut.

iii. Refleks Gluteal

Refleks ini terdiri dari gerakan reflektorik otot gluteus


Ipsilateral bilamana digores atau ditusuk dengan jarum atau
ujung gagang pada refleks. Refleks gluteal menghilang jika
terdapat lesi di segmen L4-S1.

iv. Refleks Anal Eksterna

Refleks ini dibangkitkan dengan jalan penggoresan atau


ketukan terhadap kulit atau mukosa daerah perianal.
b. Refleks Tendon Profunda (Deeptendon Reflexes): pada
kerusakan UMN terjadi Hyperrefleksia, pada kerusakan LMN
terjadi Arefleksia.

i. Refleks otot dinding perut (Bagian atas T8-T9, bagian tengah

T9-TIO, bagian bawah T11-T12)

Sikap : Pasien berbaring terlentang dengan kedua


tangan lurus disamping badan.
Stimulasi : Ketukan pada jari atau kayu penekan lidah
yang ditempatkan pada bagian atas, tangah dan
bawah dinding perut.

Respons : Otot dinding perut yang bersangkutan


mengganjal.

ii. Refleks tendon lutut (L2-3-4, N. Femoralis)


Sikap :

a.Pasien duduk dengan kedua kakinya digantung

b. Pasien duduk dengan kedua kakinya ditapakkan


diatas lantai

c.Pasien berbaring terlentang dengan tungkainya


difleksikan di sendi lutut

Stimulasi : Ketukan pada tendon patella

Respons : tungkai bawah berekstensi.


iii. Refleks biseps femoris

Sikap : pasien berbaring terlentang dengan tungkai


sedikit ditekukan ke sendi lutut

Stimulus : ketukan pada jari di pemeriksa yang di


tempatkan pada tendon M. biseps femoris

Respons : Kontraksi M. biseps femoris

iv. Refleks tendon Achilles (L5, S1-2, N. Tibialis)


Sikap :
a.Tungkai ditekukkan di sendu lutut dan kaki
didorsofleksikan

b. Pasien berlutut di atas tempat periksa dengan


kedua kaki bebas

B. Refleks Patologis

Lesi ini hanya muncul pada orang yang mengalami lesi atau
kerusakan pada UMN. Refleks-refleks ini mempunyai respon yang
sama pada perangsangan yang berbeda dimana hasil respon tersebut
disebut “Babinski Response” atau “Ekstensor Plantar Response”
yaitu pada perangsangan tertentu jempol kaki (hallux) mengalami
dorsoekstensi dan pengembangan jari kaki lainnya.

Metode perangsangan sebagai berikut:

1) Refleks Babinski

Penggoresan pada kulit plantar bagian lateral.


2) Refleks Chaddock

Penggoresan terhadap kulit dorsum pedis pada bagian lateralnya


atau penggoresan terhadap kulit di sekitar maleolus eksterna.
3) Refleks Oppenheim

Pengurutan dari proksimal ke distal secara keras dengan ibu jari


terhadap kulit yang menutupi os tibia atau pengurutan itu
dilakukan dengan menggunakan sensi interfalangeal jari telunjuk
dari jari tengah dari tangan yang mengepal.

4) Refleks Gordon

Cara membangkitkan “response plantar response” itu ialah


dengan memencet betis secara keras.
5) Refleks Shaeffer

Cara membangkitkan respons tersebut ialah dengan memencet


tendon Achilles secara keras.
6) Refleks Gonda

Respons patologik tersebut diatas timbul pada penekukan (plantar


fleksi) maksimal dari jari kaki keempat.

7) Refleks Bing

Dibangkitkan dengan memberikan rangsang tusuk pada kulit


yang menutupi metatarsal kelima.

3. Pemeriksaan Penunjang

1) Laboratorium

- Darah : tidak spesifik

- Urine : ada infeksi, leukosit dan eritrosit meningkat, bila sudah


berlangsung lama

- Liquor : bila etiologinya infeksi dapat ditemukan sel-sel leukosit

2) Foto

- Plain : ditemukan fraktur vertebrae


VII. PENGOBATAN

a. Obat

Jika terjadi kontusio/transeksi/kompresi medulla spinalis maka


dapat kita terapi dengan
i. Metil Prednisolon 30 mg/kg BB bolus intevena selama 15 menit,
dilanjukan dengan 5,4 mg/kg BB 45 menit setelah bolus selama

23 jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.


ii. Tambahkan profilaksis stress ulkus : Antacid/Antagonis H2

Sedangkan apabila terdapat Comotio medulla spinalis fraktur atau


dislokasi tidak stabil harus disingkirkan, jika pemulihan sempurna
pengobatan tidak diperlukan.

Antibiotik bila etiologi penyakit sesuai dengan

jenis bakterinya

Immunomodulator pada myelitis transversa

contoh: Kortikosteroid (prednisone), Azathioprine

Kemoterapi pada keganasan

b. Fisioterapi

adalah bentuk pelayanan Kesehatan yang ditujukan kepada individu


dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan
(fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi.
Tujuan Fisioterapi adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan secara
optimal, agar dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai
dengan peran dan fungsinya dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini
ditujukan kepada semua orang yang membutuhkan dengan tidak
membedakan bangsa, suku kepercayaan, politik, dan status sosoial
ekonomi.
Fisioterapi untuk pasien Paraplegia Kelumpuhan adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan hilangnya gerakan dan / atau
sensasi karena kerusakan sistem saraf. Mengetahui tingkat yang tepat
dari cedera sangat membantu dalam memprediksi bagian mana dari
tubuh akan dipengaruhi oleh kelumpuhan dan hilangnya fungsi.
Fisioterapi untuk pasien paraplegia yaitu:

1. Alat : Giger MD. Dimana merupakan suatu terapi dinamis


koordinasi yang efisien untuk melatih pasien dengan lesi CNS
2. Pemanasan, dengan air hangat atau sinar. Dapat mengurangi
kekakuan plantar fascia dan mengurangi nyeri tumit dengan
sangat simple.

3. Latihan : Sesuai dengan ROM (Range of Motion)


c. Operasi

Bila ada fraktur dengan menggunakan operasi tehnik Harrison rods


stabilization (Instrumen Harrison) yaitu menggunakan batang distraksi baja tahan
karat untuk mengoreksi dan stabilisasi derformitas vertebra.
Prinsip dasar tehnik Harrison dalam perawatan trauma deformitas spinal
adalah adanya kemauan dan dukungan dari pasien, mengikuti rehabilitas sejak

dini & untuk mencegah deformitas yang lebih parah.

Tindakan operasi diindikasikan pada kasus:

a. Reduksi terbuka pada dislokasi

b. Cedera terbuka dengan benda asing atau tulang dengan canalis


spinalis.

c. Lesi parsial medulla spinalis dengan Hematmielia yang


progresif.

Dapat juga kita lakukan tindakan segera pada cedera medulla spinalis,
tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medulla spinalis
diperburuk oleh penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau
hypoxia pada jaringan saraf yang sudah terganggu.

i. Letakkan pasien pada alas keras dan datar untuk pemindahan

ii. Beri bantal, guling atau bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah
pergeseran
iii. Tutupi dengan selimut untuk menghindari hawa panas badan

iv. Bawa pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas penanganan


kasus medulla spinalis

VIII. KOMPLIKASI

Beberapa, komplikasi yang tidak jarang muncul pada penderita paraplegia


akibat kurangnya perawatan

Decubitus Ulcer
Autonomic Dysreflexia
Osteoporosis

Deep Vein Trombosis (DVT)


Infeksi Saluran Kemih

Pneumonia

Emboli paru
Heterotopic Ossification
Spasticity

Cardiovaskuler Disease

39
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di era globalisasi seperti sekarang ini masyarakat di Indonesia dituntut untuk


serba cepat diantaranya dalam hal ekonomi, kesehatan, maupun informasi. Tidak
sedikit pula wanita yang telah berumah tangga, memilih hanya sebagai ibu rumah
tangga saja, akan tetapi banyak juga wanita yang memilih untuk berkarir. Bukan
hal yang tak lazim lagi apabila sekarang ini banyak sekali wanita di Indonesia
yang telah berkarir dalam bidangnya masing-masing. Tuntutan rutinitas pekerjaan
yang begitu padat serta menyita waktu terkadang menjadi alasan banyaknya
wanita sekarang ini sulit untuk menjaga kesehatan.

Wanita di zaman sekarang ini bisa dibilang memiliki pola hidup yang kurang
baik, seperti tidak rutin berolah raga, tidak mengatur pola makan secara baik,
serta mudah stress, semua itu merupakan pola hidup yang tidak sehat dan bisa
memancing penyakit untuk menyerang kesehatan tubuh setiap wanita di masa
kini. Ada sebuah penyakit yang terbilang cukup menarik untuk diketahui setiap
wanita khususnya yang berusia produktif di Indonesia sekarang ini yakni penyakit
kista. Kista memiliki banyak jenis, diantaranya adalah kista folikel, kista korpus
luteum, kista denoma, kista dermoid, kista hemorrhage, kista lutein, kista
polikistik ovarium, kista coklat atau yang disebut juga dengan endometriosis
(Saol, 2010).

Pada dasarnya kista dimiliki setiap manusia, baik pria maupun wanita, akan
tetapi kista yang ada di dalam tubuh pria tidak berpotensi untuk menjadi sebuah
penyakit. Sedangkan pada wanita kista berpotensi menjadi penyakit yang
berbahaya apabila mulai aktif di dalam tubuh wanita.

Endometriosis dapat terjadi pada sekitar 5–15% wanita usia reproduktif pada
populasi umum, dan pada 40% wanita yang mencari pengobatan infertilitas.
Lebih sering terjadi pada wanita usia 25-35 tahun, jarang pada wanita premenars
dan postmenopause. Prevalensi endometriosis secara umum juga terlihat lebih
rendah pada wanita dengan ras hitam dan Asia dibandingkan dengan Kaukasia.
Prevalensi kejadian endometriosis berdasarkan visualisasi organ pelvis dapat
diestimasi dengan :

 1% dari wanita yang menjalani bedah mayor dengan semua indikasi


ginekologis
 1 sampai 7 % dari wanita yang ditubektomi steril

 12 sampai 32% dari wanita usia reproduktif yang dilakukan laparoskopi


diagnostik terhadap keluhan nyeri pelvis

 9 sampai 50% wanita women yang dilakukan laparoskopi karena


infertilitas

 50% dari remaja perempuan yang dilakukan laparoskopi evaluasi terhadap


nyeri pelvis kronis atau dysmenorrhea.

Pengaruh status sosioekonomi, ras dan umur pada angka prevalensi


endometriosis juga sangat kontroversial. Penundaan kehamilan dikatakan
meningkatkan risiko endometriosis, sehingga kejadian endometriosis dikatakan
lebih sering pada wanita dengan kelas ekonomi tinggi dimana wanita tersebut
lebih sering menunda kehamilan. Namun hal ini mungkin juga diakibatkan oleh
karena wanita tersebut mempunyai kans lebih tinggi untuk mendapat pelayanan
medis.

Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka


kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5 – 15% dapat ditemukandi
antara semua operasi pelvic. Yang menarik adalah bahwa endometriosis
lebihsering ditemukan pada wanita yang tidak menikah pada umur muda, dan
tidak mempunyai banyak anak.

Di Amerika Serikat, endometriosis timbul pada 7 – 10% populasi,


biasanya berefek pada wanita usis produktif. Prevalensi endometriosis pada
wanita infertileadalah sebesar 20 – 50% dan 80% pada wanita dengan nyeri pelvis.
Terdapatketerkaitan keluarga, dimana resiko meningkat 10 kali lipat pada wanita
dengankeluarga derajat pertama yang mengidap penyakit ini (Kapoor, 2009).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari kista endometriosis dan laparotomy ?
2. Apa etiologi dari kista endometriosis?
3. Bagaimana anatomi fungsional pada anak kista endometriosis?
4. Bagaimana patofisiologi dari kista endometriosis?
5. Bagaimana tanda dan gejala dari kista endometriosis?
6. Bagaimana pencegahan dari kista endometriosis?
7. Bagaimana prognosis dari pasien kista endometriosis?
8. Bagaimana patient safety yang dilaksanakan?
9. Bagaimana underlying process pada kasus kista endometriosis?
10. Bagaimana proses fisioterapi pada kista endometriosis?

C. TUJUAN MAKALAH

1. Mengetahui definisi dari kista endometriosis dan laparotomy.


2. Mengetahui etiologi dari kista endometriosis.
3. Mengetahui anatomi fungsional pada anak kista endometriosis.
4. Mengetahui patofisiologi dari kista endometriosis.
5. Mengetahui tanda dan gejala dari kista endometriosis.
6. Mengetahui pencegahan dari kista endometriosis.
7. Mengetahui prognosis dari pasien kista endometriosis.
8. Mengetahui patient safety yang dilaksanakan.
9. Mengetahui underlying process pada kasus kista endometriosis.
10. Mengetahui proses fisioterapi pada kista endometriosis.
BAB II

PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI KASUS

a. Definisi

1. Kista Endometriosis
Endometriosis adalah implan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma)
abnormal mirip endometrium yang tumbuh di sisi luar kavum uterus,dan
memicu reaksi peradangan menahun. (Heriansyah 2011)
Kista yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip
dengan selaput dinding rahim yang tumbuh di luar rahim) menempel di
ovarium dan berkembang menjadi kista. Kista ini sering disebut juga sebagai
kista coklat endometriosis karena berisi darah coklat-kemerahan. Kista ini
berhubungan dengan penyakit endometriosis yang menimbulkan nyeri haid
dan nyeri senggama. Kista ini berasal dari sel-sel selaput perut yang disebut
peritoneum. (Safitri,2011)

2. Laparatomi
Bedah Laparatomi adalah tindakan operasi pada daerah abdomen
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang
dilakukan pada bedah digesif dan kandungan. Adapun tindakan digesif yang
sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi. (Smeltzer, 2001).
Tindakan bedah yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah
laparatomi adalah berbagai jenis operasi. Contohnya operasi uterus, operasi
ovarium, operasi ileus selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi
dengan bedah digesif dan kandungan. (Smeltzert, 2001).
Post operatif Laparatomi merupakan tahapan setelah proses pembedahan
pada area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter (2005)
dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu
periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase post
operatif. Proses pemulihan tersebut membutuhkan perawatan post laparatomi.
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang di
berikan kepada klien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen.

b. Etiologi

Penyebabnya bisa karena infeksi kandungan menahun, misalnya keputihan


yang tidak ditangani sehingga kuman-kumannya masuk kedalam selaput perut
melalui saluran indung telur. Infeksi tersebut melemahkan daya tahan selaput
perut, sehingga mudah terserang penyakit.
Endometriosis ini disebabkan oleh karena siklus haid yang tidak berjalan
dengan baik sehingga darah kotor yang seharusnya terbuang dengan lancar
menjaditersumbat dan menetap didalam rahim wanita tersebut dan menjadi
semakin membesar karena terus-menerus tertampung, ini terjadi karena gangguan
hormon estrogen dan progesteron didalam tubuh wanita tidak seimbang
(Nasdaldy, 2009).
Apabila ada akibat, maka pasti ada penyebabnya, begitu juga dengan
penyakit kista endometriosis ini, yang tergolong tinggi kasusnya pada wanita
usia produktif. Berikut beberapa hal yang dapat mendorong terbentuknya kista
endometriosis yakni:
1. Pola makan, jika banyak makan makanan berlemak dan kurang serat, maka
lemak yang berlebih akan susah dipecah oleh tubuh sehingga dapat berlanjut
dengan gangguan hormon. Demikian juga dengan pola makan yang tidakteratur,
mengkonsumsizat-zat tambahansintetik pada makanan secara tidak sengaja.
2. Faktor psikologis, misalnya stres, depresi. Pola hormon sangat dipengaruhi oleh
stres, sehingga menyebabkan jumlah hormon tidak terkendali / terganggu. Hal
ini berdampak pada perkembangan kista yang tergantung pada hormonal,
seperti kista endometriosis.
3. Faktor genetik, ada sebagian orang yang secara genetik lebih besar
kecenderungannya untuk menderita kanker. Ada pula orang yang secara
genetik lebih kecil kemungkinannya. Sebab itu, jika dalam riwayat kesehatan
keluarga ada beberapa orang yang diketahui mendrita kanker.
4. Gaya hidup tidak sehat, misalnya kurang olahraga, merokok.

Dari penjelasan yang ada di atas bahwa bisa ditarik kesimpulan bahwa
sebagian besar masalah yang ada ditimbulkan oleh kemajuan zaman yang
menuntut segala sesuatunya serba instan dan tuntutan rutinitas yang padat menjadi
faktor kuat penyebab kista endometriosis terjadi pada kaum wanita khususnya
wanita yang berusia produktif yang menjalani rutinitasnya sebagai wanita karir.

c. Anatomi Fungsional
Anatomi fisiologi sistem reproduksi wanita dibagi menjadi 2 bagian yaitu: alat
reproduksi wanita bagian dalam yang terletak di dalam rongga pelvis, dan alat
reproduksi wanita bagian luar yang terletak di perineum.
1. Alat genitalia wanita bagian luar

Gambar 2.1
a. Mons veneris / Mons pubis
Disebut juga gunung venus merupakan bagian yang menonjol di bagian depan
simfisis terdiri dari jaringan lemak dan sedikit jaringan ikat setelah dewasa
tertutup oleh rambut yang bentuknya segitiga. Mons pubis mengandung banyak
kelenjar sebasea (minyak) berfungsi sebagai bantal pada waktu melakukan
hubungan seks.

b. Bibir besar (Labia mayora)


Merupakan kelanjutan dari mons veneris berbentuk lonjong, panjang labia
mayora 7-8 cm, lebar 2-3 cm dan agak meruncing pada ujung bawah. Kedua bibir
ini dibagian bawah bertemu membentuk perineum, permukaan terdiri dari:
1. Bagian luar
Tertutup oleh rambut yang merupakan kelanjutan dari rambut pada mons
veneris.
2. Bagian dalam
Tanpa rambut merupakan selaput yang mengandung kelenjar sebasea (lemak).

c. Bibir kecil (labia minora)


Merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit, terletak dibagian dalam bibir
besar (labia mayora) tanpa rambut yang memanjang kea rah bawah klitoris dan
menyatu dengan fourchette, semantara bagian lateral dan anterior labia biasanya
mengandung pigmen, permukaan medial labia minora sama dengan mukosa
vagina yaitu merah muda dan basah.

d. Klitoris
Merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat erektil, dan
letaknya dekat ujung superior vulva. Organ ini mengandung banyak pembuluh
darah dan serat saraf sensoris sehingga sangat sensitive analog dengan penis laki-
laki. Fungsi utama klitoris adalah menstimulasi dan meningkatkan ketegangan
seksual.
e. Vestibulum
Merupakan alat reproduksi bagian luar yang berbentuk seperti perahu atau
lonjong, terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette. Vestibulum terdiri
dari muara uretra, kelenjar parauretra, vagina dan kelenjar paravagina. Permukaan
vestibulum yang tipis dan agak berlendir mudah teriritasi oleh bahan kimia,
panas, dan friksi.

f. Perinium
Merupakan daerah muskular yang ditutupi kulit antara introitus vagina dan
anus. Perinium membentuk dasar badan perinium.

g. Kelenjar Bartholin
Kelenjar penting di daerah vulva dan vagina yang bersifat rapuh dan mudah
robek. Pada saat hubungan seks pengeluaran lendir meningkat.

h. Himen (Selaput dara)


Merupakan jaringan yang menutupi lubang vagina bersifat rapuh dan mudah
robek, himen ini berlubang sehingga menjadi saluran dari lendir yang di
keluarkan uterus dan darah saat menstruasi.

i. Fourchette
Merupakan lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis, terletak pada
pertemuan ujung bawah labia mayoradan labia minora. Di garis tengah berada di
bawah orifisium vagina. Suatu cekungan kecil dan fosa navikularis terletak di
antara fourchette dan himen.
2. Alat genitalia wanita bagian dalam

Gambar 2.2 Organ Interna Wanita ( Bobak, IM, 2000 )

a. Vagina

Vagina adalah suatu tuba berdinding tipis yang dapat melipat dan mampu
meregang secara luas karena tonjolan serviks ke bagian atas vagina. Panjang
dinding anterior vagina hanya sekitar 9 cm, sedangkan panjang dinding posterior
11 cm. Vagina terletak di depan rectum dan di belakang kandung kemih. Vagina
merupakan saluran muskulo-membraneus yang menghubungkan rahim dengan
vulva. Jaringan muskulusnya merupakan kelanjutan dari muskulus sfingter ani
dan muskulus levator ani oleh karena itu dapat dikendalikan.
Pada dinding vagina terdapat lipatan-lipatan melintang disebut rugae dan
terutama di bagian bawah. Pada puncak (ujung) vagina menonjol serviks pada
bagian uterus. Bagian servik yang menonjol ke dalam vagina di sebut portio.
Portio uteri membagi puncak vagina menjadi empat yaitu: fornik anterior, fornik
posterior, fornik dekstra, fornik sinistra.

Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam


susu dengan PH 4,5. Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi.
Fungsi utama vagina yaitu sebagai saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan
darah menstruasi, alat hubungan seks dan jalan lahir pada waktu persalinan.

b. Uterus
Merupakan jaringan otot yang kuat, berdinding tebal, muskular, pipih, cekung
dan tampak seperti bola lampu / buah peer terbalik yang terletak di pelvis minor
di antara kandung kemih dan rectum. Uterus normal memiliki bentuk simetris,
nyeri bila ditekan, licin dan teraba padat.
Uterus terdiri dari tiga bagian yaitu: fundus uteri yaitu bagian corpus uteri yang
terletak di atas kedua pangkal tuba fallopi, corpus uteri merupakan bagian utama
yang mengelilingi kavum uteri dan berbentuk segitiga, dan seviks uteri yang
berbentuk silinder. Dinding belakang, dinding depan dan bagian atas tertutup
peritoneum sedangkan bagian bawahnya berhubungan dengan kandung kemih.
Untuk mempertahankan posisinya uterus disangga beberapa ligamentum,
jaringan ikat dan peritoneum. Ukuran uterus tergantung dari usia wanita, pada
anak-anak ukuran uterus sekitar 2-3 cm, nullipara 6-8 cm, dan multipara 8-9 cm.
Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan yaitu peritoneum, miometrium / lapisan
otot, dan endometrium.
1) Peritoneum
a. Meliputi dinding rahim bagian luar
b. Menutupi bagian luar uterus
c. Merupakan penebalan yang diisi jaringan ikat dan
d. pembuluh darah limfe dan urat saraf
e. Meliputi tuba dan mencapai dinding abdomen
2) Lapisan otot
a. Lapisan luar: seperti “Kap”melengkung dari fundus uteri menuju
ligamentum.
b. Lapisan dalam: berasal dari osteum tuba uteri sampai osteum uteri
internum.
c. Lapisan tengah: terletak di antara kedua lapisan tersebut membentuk
lapisan tebal anyaman serabut otot rahim. Lapisan tengah ditembus oleh
pembuluh darah arteri dan vena. Lengkungan serabut otot ini membentuk
angka dan sehingga saat terjadi kontraksi pembuluh darah terjepit rapat
dengan demikian perdarahan dapat terhenti.

3) Semakin ke arah serviks otot rahim makin berkurang dan jaringan ikatnya
bertambah. Bagian rahim yang terletak antara osteum uteri internum
anatomikum yang merupakan batas dan kavum uteri dan kanalis servikalis
dengan osteum uteri histologikum (dimana terjadi perubahan selaput lendir
kavum uteri menjadi selaput lendir serviks) disebut istmus. Istmus uteri ini
akan menjadi segmen bawah rahim dan meregang saat persalinan.

4) Kedudukan uterus dalam tulang panggul ditentukan oleh tonus otot rahim
sendiri, tonus ligamentum yang menyangga, tonus otot-otot dasar panggul,
ligamentum yang menyangga uterus adalah ligamentum latum, ligamentum
rotundum (teres uteri) ligamentum infindibulo pelvikum (suspensorium
ovarii) ligamentum kardinale machenrod, ligamentum sacro uterinum dan
ligamentum uterinum.
a) Ligamentum latum
1. Merupakan lipatan peritoneum kanan dan kiri uterus meluas sampai ke
dinding panggul
2. Ruang antara kedua lipatan berisi jaringan ikat longgar dan mengandung
pembuluh darah limfe dan ureter
3. Ligamentum latum seolah-olah tergantung pada tuba fallopi
4. Ligamentum rotundum (teres uteri)
5. Mulai sedikit kaudal dari insersi tuba menuju kanalis inguinalis dan
mencapai labia mayus
6. Terdiri dari otot polos dan jaringan ikat
7. Fungsinya menahan uterus dalam posisi antefleksi
b) Ligamentum infundibulo pelvikum
1. Terbentang dari infundibulum dan ovarium menuju dinding panggul
2. Menggantung uterus ke dinding panggul
3. Antara tuba fallopi dan ovarium terdapat ligamentum ovarii proprium
c) Ligamentum kardinale machenrod
1. Dari serviks setinggi osteum uteri internum menuju panggul
2. Menghalangi pergerakan uterus ke kanan dan ke kiri
3. Tempat masuknya pembuluh darah menuju uterus
4. Ligamentum sacro uterinum. Merupakan penebalan dari ligamentum
kardinale machenrod menuju os sacrum

e) Ligamentum vesika uterinum


1. Dari uterus menuju ke kandung kemih
2. Merupakan jaringan ikat yang agak longgar sehingga dapat mengikuti
perkembangan uterus saat hamil dan persalinan

5) Pembuluh darah uterus


a Arteri uterina asenden yang menuju corpus uteri sepanjang dinding lateral
dan memberikan cabangnya menuju uterus dan di dasar endometrium
membentuk arteri spinalis uteri
b Di bagian atas ada arteri ovarika untuk memberikan darah pada tuba
fallopi dan ovarium melalui ramus tubarius dan ramus ovarika.

6) Susunan saraf uterus


Kontraksi otot rahim bersifat otonom dan dikendalikan oleh saraf simpatis dan
parasimpatis melalui ganglion servikalis fronkenhouser yang terletak pada
pertemuan ligamentum sakro uterinum.

c. Tuba Fallopi
Tuba fallopi merupakan saluran ovum yang terentang antara kornu uterine
hingga suatu tempat dekat ovarium dan merupakan jalan ovum mencapai rongga
uterus. terletak di tepi atas ligamentum latum berjalan ke arah lateral mulai dari
osteum tubae internum pada dinding rahim. Panjang tuba fallopi 12cm diameter
3-8cm. Dinding tuba terdiri dari tiga lapisan yaitu serosa, muskular, serta mukosa
dengan epitel bersilia.

Tuba fallopi terdiri atas :


1. Pars interstitialis (intramularis) terletak di antara otot rahim mulai dari osteum
internum tuba.
2. Pars istmika tubae, bagian tuba yang berada di luar uterus dan merupakan
bagian yang paling sempit.
3. Pars ampuralis tubae, bagian tuba yang paling luas dan berbentuk “s”.
4. Pars infindibulo tubae, bagian akhir tubae yang memiliki lumbai yang disebut
fimbriae tubae.
Fungsi tuba fallopi :
1. Sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai kavum uteri.
2. Untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi.
3. Sebagai saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi.
4. Tempat terjadinya konsepsi.
5. Tempat pertumbuahn dan perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai
bentuk blastula yang siap mengadakan implantasi.

d. Ovarium
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi ovum,
ovulasi, sintesis, dan sekresi hormon – hormon steroid. Letak: Ovarium ke arah
uterus bergantung pada ligamentum infundibulo pelvikum dan melekat pada
ligamentum latum melalui mesovarium.
Jenis: Ada 2 bagian dari ovarium yaitu:
1) Korteks ovarii
a. Mengandung folikel primordial
b. Berbagai fase pertumbuhan folikel menuju folikel de graff
c. Terdapat corpus luteum dan albikantes
2) Medula ovarii
a. Terdapat pembuluh darah dan limfe
b. Terdapat serat saraf
c. Parametrium ,
Parametrium adalah jaringan ikat yang terdapat di antara ke dua lembar
ligamentum latum.
Batasan parametrium
1. Bagian atas terdapat tuba fallopi dengan mesosalping
2. Bagian depan mengandung ligamentum teres uteri
3. Bagian kaudal berhubungan dengan mesometrium.
4. Bagian belakang terdapat ligamentum ovarii

d. Patofisiologi
Kista yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip dengan
selaput dinding rahim yang tumbuh di luar rahim) menempel di ovarium dan
berkembang menjadi kista. Kista ini sering disebut juga sebagai kista coklat
endometriosis karena berisi darah coklat-kemerahan. Kista ini berhubungan
dengan penyakit endometriosis yang menimbulkan nyeri haid dan nyeri
senggama. Kista ini berasal dari sel-sel selaput perut yang disebut peritoneum.
Penyebabnya bisa karena infeksi kandungan menahun, misalnya keputihan yang
tidak ditangani sehingga kuman-kumannya masuk kedalam selaput perut melalui
saluran indung telur.Infeksi tersebut melemahkan daya tahan selaput perut,
sehingga mudah terserang penyakit. Gejala kista ini sangat khas karena berkaitan
dengan haid. Seperti diketahui, saat haid tidak semua darah akan tumpah dari
rongga rahim ke liang vagina, tapi ada yang memercik ke rongga perut. Kondisi
ini merangsang sel-sel rusak yang ada di selaput perut mengidap penyakit baru
yang dikenal dengan endometriosis. Karena sifat penyusupannya yang perlahan,
endometriosis sering disebut kanker jinak.

Dinding dari rongga kelenjar terdiri dari lapisan epitel kolumnar tinggi dan
dapat juga terdiri dari lebih satu lapisan. Bukti adanya perdarahan dapat diamati
di luar rongga kelenjar. Bentuk spindle atau sel stellate dapat diamati pada area
interstitial yang edematous di sekitar rongga kelenjar. Sel atipik tidak tampak
pada pemeriksaan sel-sel ini. Endometrioma adalah massa soliter, non neoplastik,
berbatas tegas yang mengandung jaringan endometrium dan juga seringkali darah.

Endometrioma secara klinis bisa dikenali dengan perabaan pada palpasi bila
massa berukuran besar atau hanya muncul sebagai nyeri pelvis kronik dan nyeri
abdomen. Kebanyakan kasus terjadi di dalam pelvis, namun pada endometrioma
atipikal, endometrioma dapat ditemukan pada usus, thorax, dan dinding abdomen.
Banyak dari pasien ini sebelumnya menjalani operasi ginekologi atau seksio sesar
dan histerektomi. Endometrioma dinding abdomen banyak dijumpai pada pasien
dengan riwayat operasi ginekologi. Penemuan khas dari kasus endometriosis
adalah dijumpainya implan endometriosis, endometrioma dan perlengketan atau
adhesi. Implan yang terbentuk dapat sangat kecil sampai dengan beberapa
sentimeter, dapat merupakan lesi implan superfisial ataupun tertanam cukup
dalam. Penampakan warna dari implantasi endometriosis ini bisa berubah selama
siklus menstruasi, dapat membesar dan mengalami kongesti dan mengalami
perdarahan seiring dengan perdarahan siklus menstruasi. Implan endometriosis
lebih mudah diamati saat fase sekresi siklus menstruasi. Saat ini lesi
endometriosis akan mengeluarkan respons inflamasi dengan pembentukan area
perdarahan, proses fibrotik dan pembentukan perlengketan.

Kista endometriosis (endometrioma) biasanya terjadi di dalam ovarium


sebagai akibat dari perdarahan intra ovarium berulang. Lebih dari 90%
endometrioma adalah pseudokista yang terbentuk akibat invaginasi korteks
ovarium, yang kemudian tertutup oleh pembentukan jaringan adhesi.
Endometrioma dapat sepenuhnya menggantikan jaringan ovarium normal.
Dinding kista umumnya tebal dan fibrotik dan biasanya memiliki perlekatan
fibrotik dan adanya area dengan perubahan warna. Di dalam kista umumnya
terdapat cairan kental, berwarna gelap, berisi produk darah yang sudah
berdegenerasi dimana penampilan ini menyebabkan kista endometriosis atau
endometrioma ini sering disebut kista coklat. Kebanyakan endometrioma terjadi
pada ovarium kiri. Endometrioma bilateral terjadi dalam 50 % kasus dan bisa
ditemukan cukup besar walau jarang melebihi diameter 15 cm. Lokasi lain dari
endometriosis selain ovarium adalah ligament uterus (ligamentum latum
posterior, ligament sacro uterine), cavum Douglas, peritoneum rongga pelvis,
tuba falopi, daerah rektosigmoid dan kandung kemih. Lesi yang besar dan lesi
dengan dinding noduler harus diperiksa untuk menyingkirkan keganasan.
Endometriosis biasanya akan mengalami regresi alami setelah menopause.

e. Tanda Dan Gejala


Gejala-gejala endometriosis umumnya terasa paling parah sebelum dan selama
siklus menstruasi berlangsung. Gejala – gejala yang dapat ditemui pada penderita
endometriosis antara lain :
1. Nyeri di perut bagian bawah dan di daerah panggul
Tanda paling umum adalah rasa sakit yang hebat pada perut bagian bawah,
bisa terasa sesekali, ataupun terus-menerus. Rasa sakit ini seringkali menjadi
lebih parah jika si penderita melakukan aktivitas melelahkan.
2. Rasa sakit yang berlebihan saat menstruasi
Endometriosis terjadi saat jaringan endometrium tumbuh di luar rahim. Pada
penderita endometriosis, jaringan tersebut juga mengalami proses penebalan
dan luruh yang sama dengan siklus menstruasi. Tetapi darah di luar rahim
akhirnya mengendap dan tidak bisa keluar karena terletak di luar rahim.
Endapan tersebut beserta dengan jaringan di sekitarnya akan mengalami iritasi.
Hal ini dapat mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa saat menstruasi.
3. Pendarahan yang berlebihan saat menstruasi
4. Menstruasi yang tidak teratur (misalnya spotting sebelum menstruasi)
5. Rasa sakit saat buang air besar serta kecil
Jaringan endometrium yang melekat pada usus besar atau kandung kemih bisa
menyebabkan pembengkakan perut, nyeri ketika buang air besar, perdarahan
melalui rektum selama menstruasi atau nyeri perut bagian bawah ketika
berkemih.
6. Dispareunia (nyeri ketika melakukan hubungan seksual)
Rasa nyeri pada penderita endometriosis biasanya juga dirasakan saat
melakukan hubungan seksual karena peradangan yang terjadi pada
endometrium menimbulkan rasa sakit yang dapat menyebar di area perut
danpanggul. Proses iritasi yang berlangsung terus menerus ini menyebabkan
pembentukan jaringan parut dan perlengketan di dalam tuba dan ovarium, serta
di sekitar fimbrie tuba. Perlengketan ini bisa menyebabkan pelepasan sel telur
dari ovarium ke dalam tuba falopii terganggu atau tidak terlaksana. Selain itu,
perlengketan juga bisa menyebabkan terhalangnya perjalanan sel telur yang
telah dibuahi menuju ke rahim. Itulah mengapa penderita endometriosis sulit
mendapatkan keturunan.
Pada penderita endometriosis, jaringan endometrium yang melekat pada
ovarium atau struktur di sekitar ovarium bisa membentuk massa yang terisi
darah (endometrioma). Kadang endometrioma pecah dan menyebabkan nyeri
perut tajam yang timbul secara tiba-tiba (Syamsir dan Iwan, 2007).

f. Pencegahan
Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencegah kista
endometriosis ini:
1. Rutin berolah raga, seperti senam aerobik, senam yoga, maupun lari pagi, agar
tubuh tetap sehat bugar, membakar lemak agar tidak obesitas, serta asupan
oksigen di dalam tubuh tercukupi.
2. Mengkonsumsi buah-buahan segar seperti: jeruk, kiwi, apel, pir, anggur,
stroberi. Begitu juga sayur-sayuran yang berserat seperti: kangkung, bayam,
brokoli agar proses pembuangan kotoran di dalam tubuh menjadi lancar.
3. Mengurangi kebiasaan pola mengkonsumsi makanan- makanan berlemak,
terlalu pedas, makanan olahan, dan yang berpengawet zat kimia, minum-
minuman bersoda seperti soft drink, karena zat kimia yang ada dalam
makanan maupun minuman berpengawet mampu memancing pertumbuhan
kista di dalam tubuh wanita.

4. Melakukan juga aktifitas yang menyenangkan namun tetap sehat seperti


liburan berekreasi ke tempat-tempat yang bisa menghilangkan kejenuhan atau
stress setelah melakukan rutinitas yang padat dan menyita waktu serta tenaga.
5. Istirahat secukupnya, dan jangan telat makan, karena asupan gizi harus
seimbang.

Sedangkan langkah pengobatan yang harus diambil oleh


penderitakista endometriosis tidak berbeda jauh dengan langkah pencegahan
dalam hal menjaga pola konsumsi, tingkat stress, adapun langkah lain selebihnya
sebagai berikut:
1. Rutin melakukan pemeriksaan klinis ginekologi untuk mendeteksi adanya kista
atau pembesaran ovarium lainnya, pemeriksaan USG, bila perlu dengan alat
Doppler untuk mendeteksi aliran darah, pemeriksaan petanda tumor (tumor
marker), pemeriksaan CT-Scan / MRI bila dianggap perlu.
2. Tipe olah raga yang dianjurkan bagi wanita penderita kista endometriosis ialah
senam yoga, karena dengan senam ini keadaan tubuh bisa menjadi lebih santai,
dan pikiranpun menjadi tenang, agar tingkat stress akibat rutinitas sehari-hari bisa
hilang dan tidak menjadi beban yang berdampak negatif bagi kesehatan. Namun
tipe olah raga yang berat tidak dianjurkan bagi penderita kista endometriosis ini,
karena dapat menimbulkan goncangan pada rahim yang akan menyebabkan rasa
sakit yang sangat hebat.
3. Operasi, kista endometriosis juga bisa diobati melalui langkah pembedahan
atau pengangkatan kista yang melekat pada dinding rahim wanita, namun langkah
inipun tidak sepenuhnya dapat berhasil, karena kista tersebut bisa muncul kembali
suatu saat kemudian, karena banyak sebab, selain karena pola makan yang salah,
gangguan hormon
4. Menunggu masa menopause, wanita akan berhenti menstruasi saatmencapai
masa menopause yakni ketika memasuki usia 45 – 55 tahun, karenapada tahap ini
wanita akan berhenti mengeluarkan darah kotor yang adapadatubuh, sehingga
kista endometriosis akan terhenti masaperkembangannyadan kistanya akan
hilang dengan sendirinyakarena organ rahimya telah tidak berfungsi lagi.
5. Rutin mengkonsumsi obat dari dokter maupun menjalani terapi penyembuhan
tradisional seperti minum kunir putih yang dipercaya dapatmengobati kista
endometriosis.

g. Prognosis
Pada pasien yang mengalami pembedahan radikal, 3% akan mengalami
endometriosis kembali. Sedangkan pasien yang mengalami pembedahan
konservatif, 10% akan menderita kembali pada 3 tahun pertama dan 35% pada 5
tahun pertama. Pemeriksaan CA 125 secara serial mungkin berguna untuk
memperkirakan kemungkinan rekurensi setelah terapi.
Endometriosis tak dapat disembuhkan total, namun gejala dapat dikendalikan
dengan obat-obatan dan kemandulan sebagian besar dapat teratasi dengan
tindakan operatif. Umumnya penyakit akan mereda setelah menopause. Angka
kekambuhan dalam 5 tahun pasca operasi konservatif diperkirakan sekitar 20 – 40
%. (Syamsir dan Iwan, 2007).
Kesimpulan :
1. Quo ad vitam : baik
2. Quo ad sanam : baik
3. Quo ad functionam : baik
4. Quo ad cosmeticam : baik

h. Pasien Safety

Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien,pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk
meminimalkan resiko (Depkes 2008).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011,
keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan
hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Tujuh Standar Keselamatan Pasien Standar keselamatan pasien menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Pasal 7 ayat (2) meliputi:
1. Hak pasien
Standarnya adalah pasien & keluar ganya mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana & hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya
KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). Kriterianya adalah sebagai berikut:
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas
dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan,
pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya
KTD.

2. Mendidik pasien dan keluarga


Standarnya adalah RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban
& tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriterianya adalah keselamatan
dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien adalah
partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RSharus ada sistim dan mekanisme
mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien & keluarga
dapat:
a. Memberik an info yang benar, jelas, lengkap dan jujur
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;


Standarnya adalah RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan dengan kriteri sebagai berikut:
a. Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
b. Koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber
daya
c. Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
d. Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien. Standarnya adalah RS harus mendisain proses
baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor & mengevaluasi kinerja
melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, & melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta KP dengan kriteria sebagai berikut:
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik,
sesuai dengan”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil
analisis

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien


a. Pimpinan dorong & jamin implementasi program KP melalui penerapan
“7 Langkah Menuju KP RS”.
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP
& program mengurangi KTD.
c. Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit &
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP.
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji, & meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.
e. Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja RS & KP, dengan criteria sebagai berikut:
a) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b) Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden,
c) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
d) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain
dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan
analisis.
e) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden,
f) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
g) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan
h) Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
i) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien


a. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan
mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
b. RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut:
a) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
keselamatan pasien.
b) Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
Training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
c) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna
mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien.

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien


Standarnya adalah:
a. RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk
memenuhi kebutuhan informasi internal & eksternal.
b. Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat, dengan criteria
sebagai berikut:
1. Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait
dengan keselamatan pasien.
2. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk
merevisi manajemen informasi yang ada.

Klinik fisioterapi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta


melaksanakan beberapa aturan tentang pasien safety, seperti :

 Terapis mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memegang atau


melakukan terapi terhadap pasien.

 Terapis menggunakan sarung tangan dan masker saat melakukan


terapi.
 Alat terapi dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
 Terapis selalu berhati-hati saat melakukan terapi latihan dengan pasien

Komunikasi antara kepala klinik dan pelaksana sudah terjalin dengan baik.
i. Underlying Procces
Infeksi kandungan menahun (keputihan yang tidak
ditangani)

Kuman masuk ke dalam selaput melalui indung telur

Elur

Infeksi tersebut melemahkan daya tahan selaput perut

Saat haid tidak semua darah akan tumpah dari rongga


rahim ke liang vagina, tapi ada yang memercik ke
rongga perut. Kondisi ini merangsang sel-sel rusak
yang ada di selaput perut dan terjadi Kista
Endometriosis.

Dilakukan laparotomi / ooforectomy kanan

Adanya kerusakan jaringan

Muncul proses inflamasi

Terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin,


serotonin, bradikinin, histamin, substansi P dan
lekotrein)
Mengaktivasi nosiseptor (reseptor nyeri) berupa saraf
A delta dan saraf C

Merangsang saraf perifer menyalurkan impuls ke


medulla spinalis

Menuju ke PHC (Posterior Horn Cell) atau thalamus


(pusat sensori pertama dipersepsikan)

Impuls nyeri melewati Gate Control (Substansia


Gelatinosa)

Impuls masuk ke Cortex Cerebri untuk persepsi


intensitas dan lokasi nyeri

Persepsi Nyeri selesai

Gangguan Mobilisasi
B. DESKRIPSI PROBLEMATIKA FISIOTERAPI

1. Assessment Fisioterapi
a. Keterangan Umum Penderita

Nama : Ny. Siti Maryati

Umur : 40 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Patangpuluhan, Wirobrajan 3/215 RT 01/01

Nomor Rekam Medik : 664555

Data Medis Rumah Sakit / Klinik

Radiologi : Tidak ada

Laboratorium : Hb  14,1 g/dl


Leukosit  8,8 rb/uL

USG : terdapat Kista Endometriosis

b. Anamnesis

√⃝Autoanamnesis⃝ Heteroanamnesis

1. Keluhan Utama

Nyeri pada bekas luka jahitan operasi, nyeri saat bergerak


2. Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri pada saat haid, dokter menyampaikan terdapat kista endometriosis


bagian kanan, kemudian dilakukan operasi pada 2 Agustus 2016 di RS
PKU Kota Yogyakarta

- Pasien mengeluh nyeri pada luka jahitan bekas bekas operasi dan
kesulitan bergerak
3. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta
- Tidak ada

c. Pemeriksaan Objektif

1. Vital Sign
Blood Pressure : 114/68 mmHg
Heart Rate : 110 x/menit
Respiratory Rate : x/mnt
Temperature :
2. Pemeriksaan Sistemik Khusus
Muskuloskeletal : Nyeri saat melakukan gerakan
- Dari tidur ke duduk
- Dari duduk ke berdiri
- Saat berjalan
: Tidak dilakukan Kardiopulmonal
: Tidak dilakukan Neuromuskuler
: Tidak dilakukan
Integument
3. Pengukuran Khusus
Muskuloskeletal : Skala VAS = 6
Kardiopulmonal : Tidak dilakukan

Neuromuskuler : Tidak dilakukan


: Tidak dilakukan
Integument
2. Impairment
Nyeri pada lika bekas incisi (pembedahan Laparotomi / Ooforektomi)
Kesulitan dalam mobilisasi
3. Functional Limitation
Pasien kesulitan menggerakkan kaki
Pasien kesulitan bangkit dari tidur ke duduk dan duduk ke berdiri
4. Participation Restriction
Pasien belum bisa melakukan aktivitas berjualan di warung

C. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
1. Intervensi Fisioterapi
a) Posisi Pasien : Duduk
b) Posisi Terapis : Berdiri di samping pasien
c) Pelaksanaan Terapi
Terapis memberikan edukasi mengenai posisi mengangkat barang yang benar,
pasien tidak diperkenankan mengangkat barang berat, tidak
diperkenankan mengangkat kaki >45

d) Dosis: 2x sehari

1. Latihan pernafasan perut atau abdominal breathing exercise


Sikap berbaring terlentang kedua tangan di samping badan, kedua kaki
ditekuk pada lutut dan santai.
Bentuk latihan pernapasan perut (1) letakkan tangan kiri di atas perut,
(2) lakukan pernafasan diafragma, yaitu tarik nafas melalui hidung, tangan
kiri naik ke atas mengikuti dinding perut yang menjadi naik, (3) lalu
hembuskan nafas melalui mulut. Frekuensi latihan adalah 12-14 per menit.
Lakukan gerakan pernafasan ini sebanyak 8 kali dengan interval 2 menit.
(Mochtar, 1998)
Gambar 2.3 Latihan pernapasan perut (Mochtar, 1998) 2)
Latihan untuk bahu, siku dan jari-jari.

Untuk bahu, posisi tidur telentang, pasien diminta menggerakkan bahunya


secara aktif ke arah fleksi, ekstensi (mengangkat lengan ke depan dan ke
belakang), abduksi-adduksi (mengangkat lengan ke samping badan),
sircumduksi secara bergantian kanan dan kiri.
Untuk siku, posisi tidur terlentang, pasien diminta untuk menekuk dan
meluruskan sikunya secara bergantian kanan dan kiri.
Untuk jari-jari, posisi tidur terlentang, pasien diminta untuk menggerakkan
jari-jari tangannya, genggam – lemas, dan semua gerakan diatas diulang
sampai 3 x 8 hitungan.

2. Positioning
Tujuan : melatih transfer dari telentang ke miring.
Pelaksanaannya :
pasien diminta untuk berubah posisi dari terlentang ke posisi miring kanan
dan kiri secara bergantian dalam waktu 15 menit kemudian ganti posisi.

3. Gerak Aktif
Posisi pasien berbaring terlentang kedua tungkai lurus, kemudian pasien
diminta menekuk dan meluruskan pergelangan kaki (dorsi fleksi dan plantar
fleksi), gerakan memutar ke dalam dan ke luar (inversi dan eversi) dan
gerakan memutar pergelangan kaki kedalam dan keluar (sirkumduksi),
dilanjutkan dengan menekan lutut ke bawah secara bergantian kanan dan kiri.
Semua gerakan diatas dilakukan sebanyak 3x8 hitungan.
Gambar 2.4
Bentuk latihan aktif pada kaki (Mochtar, 1998)

4. Latihan duduk
Bila pasien tidak ada keluhan dapat dilanjutkan dengan latihan duduk.
Dari posisi tidur terlentang ke posisi duduk dilakukan dengan cara kedua
tungkai dirapatkan, salah satu lutut sedikit di tekuk, kemudian tubuh diputar
miring bersamaan dengan kedua tungkai kesisi tempat tidur. Kedua tungkai
bawah diturunkan dari Bed sambil mendorong tubuh ke posisi duduk dengan
menggunakan dorongan kedua tangan, kemudian terapis harus menanyakan
kepada pasien apabila pusing atau mual serta dapat dilihat pada wajah pasien
apakah pucat atau tidak.

5. Latihan berdiri
Untuk latihan berdiri dimulai dari urutan latihan duduk sampai pasien
sudah duduk di tepi Bed dengan kaki menggantung, dilanjutkan pasien
menggeser pantat dan tubuhnya ke salah satu sisi tangannya untuk
menapakkan salah satu kakinya di lantai, hal ini dilakukan dengan kedua
tungkai tetap merapat. Setelah menapak lalu berdiri tegak dan tetap harus
ditanyakan oleh terapis pada pasien adakah keluhan pusing dan mual. Jika
tidak ada keluhan dapat dilanjutkan dengan latihan berjalan di sekitar Bed.

6. Latihan relaksasi

Tidur terlentang, kedua tungkai lurus dan sedikit terbuka, kedua lengan
rileks di samping badan. Dibawah lutut dan kepala diganjal bantal. Tutup
mata, lemaskan seluruh tubuh, tenang, dilakukan pernafasan teratur dan
berirama.

Gambar 2.5
Gerakan-gerakan sebelumnya tetap dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan :
1. Latihan jongkok-berdiri
Posisi awal berdiri tegak, kaki terbuka selebar bahu, tangan berpegangan
pada tepi bed, dilakukan gerakan jongkok dengan tangan masih berpegangan
dan berdiri kembali perlahan-lahan. Pada latihan ini sebatas toleransi pasien,
sehubungan dengan masih adanya nyeri.

Gambar 2.6
Latihan jongkok – berdiri (Mochtar, 1998) 2)
2. Latihan pembentukan sikap tubuh yang benar.
Posisi berdiri tegak kemudian dilakukan sikap membawa berat badan
langsung di atas lekukan kaki dan ratakan semua jari kaki di atas lantai, tekankan
lutut ke belakang secara perlahan. Otot-otot panggul dikencangkan, otot-otot perut
ditarik ke dalam, rongga dada dikembangkan, tarik kepala ke atas, luruskan
tengkuk. Pertahankan sikap ini sampai 8 hitungan kemudian rileks. Diulang
hingga 8 kali.

Gambar 2.7
Latihan pembentukan sikap tubuh yang benar (Mochtar, 1998)

2. Evaluasi Fisioterapi
Setelah dilakukan dua kali terapi diantaranya :
a. 3 Agustus 2016 : breathing exercise, mika miki, gerak aktif, edukasi
duduk setelah 2 jam dilakukan terapi latihan.
b. 4 Agustus 2016 : edukasi
ADL Diperoleh hasil bahwa :
Pasien mengalami peningkatan nyeri (ditunjukkan skala VAS 5  6).
ADL pasien mengalami peningkatan (pasien sudah mampu duduk, berdiri,
dan berjalan).

Tindak Lanjut :

- Melakukan latihan di rumah sesuai anjuran fisioterapis


Mengikuti saran dan edukasi sesuai anjura fisioterapis
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

PATOLOGI

A.  Definisi

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) didefinisikan sebagai penyakit yang


dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
responinflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya
(WHO,2006)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah :
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. (Smeltzer 2001)

B.  Etiologi

Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi
faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara
lain adalah:

1.  Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar
pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90%
kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat
PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status
merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita
PPOK adalah perokok. 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK.
Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita
PPOK.

2.  Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu
silika, atau pekerja yang terpapar debu katun, debu gandum, dan debu asbes, mempunyai
risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.

3.  Polusi udara

Pasien yang mempunyai gangguan paru akan semakin memburuk gejalanya dengan
adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari asap dapur, asap pabrik, dll.

            Sedangkan risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah:

1.  Usia

Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami < 1% pasien
PPOK.

2.  Jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK
pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.

3.  Adanya gangguan fungsi paru

Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,


misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa
kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru
mengalami penurunan fungsi paru-parulebih besar sejalan dengan waktu daripada yang
fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK.
Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir
dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.

C.  Patofisiologi

Penyempitan saluran pernafasan terjadi pada bronkitis kronik maupun pada emfisema
paru. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda
obstruksi. Pada bronkitis kronik sesak nafas terutama disebabkan karena perubahan pada
saluran pernafaasan kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit,
berkelok-kelok dan kadang terjadi obliterasai.

Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernafasan besar juga
berubah. Timbul terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga
saluran pernafasan lebih menyempit. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi
maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran
pernafasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita emfisema paru dan
bronchitis kronik, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak
tertutup. Akibat cepatnya saluran pernafasan menutup serta dinding alveoli yang rusak,
akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari
kerusakannya, dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/ tidak ada, akan tetapi perfusi
baik. sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah alveoli, tidak sama dan
merata. Timbul hipoksia dan sesak nafas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. terjadi HT pulmonal, yang dalam
jangka lama dapat timbulkan kor pulmonal.

D. Manifestasi klinis

1.  Batuk produktif 

           Batuk produktif ini disebabkan oleh inflamasi dan produksi mukusyang berlebihan


di saluran nafas.

2.  Dispnea

           Terjadi secara bertahap dan biasanya disadari saat beraktivitas fisik. Berhubungan
dengan menurunnya fungsi paru-paru dan tidak selalu berhubungan dengan rendahnya
kadar oksigen di udara.

3.  Batuk kronik 

           Batuk kronis umumnya diawali dengan batuk yang hanya terjadi pada   pagi hari
saja kemudian berkembang menjadi batuk yang terjadi sepanjanghari. Batuk biasanya
dengan pengeluaran sputum dalam jumlah kecil(<60ml/hari) dan sputum biasanya jernih
atau keputihan.Produksi sputum berkurang ketika pasien berhenti
merokok   (GOLD,2005)

4.   Mengi, Terjadi karena obstruksi saluran nafas

5.  Berkurangnya berat badan

           Pasien dengan PPOM yang parah membutuhkan kalori yang lebih besar hanya


untuk bernapas saja. Selain itu pasien juga mengalamikesulitan bernafas pada saat makan
sehingga nafsu makan berkurangdan pasien tidak mendapat asupan kalori yang cukup
untuk mengganti kalori yang terpakai.Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya berat
badan pasien.

6.  Edema pada tubuh bagian bawah


Pada kasus CPOD yang parah, tekanan arteri pulmonary meningkatdan ventrikel kanan
tidak berkontraksi dengan baik. Ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah ke
ginjal dan hati akan timbul edema padakaki, kaki bagian bawah, dan telapak kaki.
Kondisi ini juga dapatmenyebabkan edema pada hati atau terjadinya penimbunan cairan
pada abdomen (acites)

E.    Problematika Fisioterapi

        Permasalahan fisioterapi pada pasien ini adalah sebagai berikut :

1.Adanya sesak nafas

2.Adanya batuk dengan sputum yang sulit keluar

3.Spasme otot- otot bantu pernafasan

4.Penurunan ekspansi sangkar Thorak

5.Penurunan toleransi aktifitas

BAB II

LAPORAN PELAKSANAAN PRAKTEK KOMPREHENSIF

A. Keterangan Umum Penderita

Nama                    : I. S

Umur                     : 72 Th

Jenis Kelamin       : Laki-laki

Agama                  : Islam

Pekerjaan             : Pensiunan PNS

Alamat                   :  Lamper Lor Semarang Selatan, Kodia Semarang.

B. Segi Fisioterapi

1.    Anamesis ( Auto)
a)    Keluhan Utama :

                  Adanya Sesak nafas, Batuk dengan dahak yang sulit     dikeluarkan

b)    Tempat keluhan    : Pada dada pasien

c)    Waktu/Onset         : Malam hari dan cuaca dingin

d)    Penyebab keluhan : Tidak jelas penyebabnya, tp saat masih bekerja pasien sering


mengendarai sepeda motor.

e)    Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan :

Faktor yang memperberat, saat pasien melakukan aktivitas yang berat seperti mengangkat
barang,cuaca dingin, dan jalan jauh.

Faktor yang memperingan, saat diistirahatkan pasien merasakan nyaman.

f)     Riwayat pengobatan :

± 3 Tahun  yang lalu pasien periksa di dokter spesialis penyakit dalam RSUP Dr. Kariadi
dengan keluhan sesak napas dan batuk-batuk, disana diberikan obat-obatan inhalasi saat
itu pasien mengkonsumsi obat selama 1 minggu,batuk hilang sementara setelah itu
kambuh lagi saat ini pasien kontrol rutin tiap 6 bulan sekali. Pasien menjalani Fisioterapi
± 1 tahun yang lalu sampai saat ini pasien sudah merasakan ada perubahan dari sesak dan
batuk sudah mulai berkurang.

2.    Pemeriksaan Fisik

a)    Tanda-Tanda Vital :

1.Tekanan darah             : 100/ 60 mmHg

2.Denyut nadi                  : 72 x / menit

3.Pernapasan                  : 22 x / menit

b)    Inspeksi :

Statis       :  wajah pasien sedikit pucat, pasien tampak tenang, Postur sedikit


kyposis.

Dynamis :   pola napas abdominal, Saat berjalan pasien terlihat sedkit khyposis,


base tungkai lebar          

c)    Palpasi :
(1)  Suhu pada dada dan punggung sama dengan suhu daerah lainnya.  

(2)  Spasme pada otot pembantu pernafasan , terutama upper trapezius,


sternocleidomastoideus dan pectoralis mayor dan minor

d)    Auskultasi :

(1)     wheezing (+)

(2)     Ronchi (+) ( paru kiri,lobus bawah,segmen lateral )

e)    Gerakan Dasar :

(1) Gerak Aktif :

Pasien mampu melakukan gerakan respiratif yaitut inspirasi dan ekspirasi.

Rongga dada pasien mampu mengembang dan mengempis saat bernafas, namun
kurang maksimal karena sesak nafas dan adanya spasme otot bantu pernafasan.

(2) Gerak Pasif : Tidak dilakukan

(3) Gerak Isometrik Melawan Tahanan : Tidak dilakukan

3.    Pemeriksaan Spesifik  (Ft D)

a)Antropometri Sangkar Thorax

Titik pengukuran Inspirasi Exspirasi selisih

Axilla 77 cm 76 cm 1 cm

Costa 4-5 75 cm 73 cm 2 cm

xyphoideus 70 cm 68 cm 2 cm
b)Spirometri

Parameter Measured Pre # 1 % Pred

FVC 1.76 2.86 62

FEV1 1.48 2.19 68

FEV1/FVC 84.1 7.3 131

c) Skala Borg nilai 3 (sedang)

Sesak Nafas Keterangan

0 Tidak ada

0,5 sangat sangat ringan

1 Sangat ringan

2 Ringan

3 Sedang

4 Sedikit berat

5 Berat

6 Sangat berat

7 Sangat-sangat berat

8 maksimal

d) Auskultasi

(1) Wheezing (+)

(2) Ronchi (+), (Paru Kiri Lobus bawah segmen lateral Basal)

e)Pola pernapasan : Pernapasan Diafragma


4.    Diagnosis Fisioterapi

a)    Impairment :

(1) Adanya keluhan sesak nafas

(2)Adanya batuk disertai dahak sulit keluar

(3)Adanya spasme otot pernapasan

(4)Penurunan Expansi Thorak

b)    Fungsional limitation :

(5)  Toleransi aktivitas fungsional menurun karena pasien mengalami sesak nafas

5.    Program / Rencana Fisioterapi

a)  Tujuan Fisioterapi

(1)          Jangka pendek :

      Mengurangi sesak nafas

Membantu mengeluarkan sputum

Mengurangi spasme otot bantu pernpasan

Meningkatkan ekspansi sangkar thorak

Membantu mengeluarkan sputum

(2)          Jangka panjang :

Melanjutkan program jangka pendek

Meningkatkan aktivitas fungsional

b)  Modalitas Fisioterapi

(1)          Teknologi alternatifexercise

c.   Postural drainage

d.   Tapotement

e.   Batuk efektif

f.    Mobilisasi sangkar thorak


(2)          Modalitas terpilih :

a.    Infra Red.

Tujuan penyinaran untuk mendapatkan relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung
juga untuk memperbaiki sirkulasi darah (fasodilatasi pmbuluh darah).

b.    Breathing Exercise.

Latihan ini bertujuan untuk memperbaiki ventilasi udara, melatih pernafasan diafragma,
memelihara elastisitas jaringan paru-paru dan menjaga expansi thorax.

c.    Postural Drinage

Merupakan suatu teknik untuk mengalirkan sekresi dari berbagai segmen menuju saluran
nafas yang lebih besar, dengan menggunakan pengaruh gravitasi dan  pengaruh    posisi
pasien yang sesuai dengan letak sputumnya. Sebelum dilakukan PD memperbanyak
minum dahulu, ± 1 jam sebelum dilakukan PD.

d.    Tapotement

Tujuannya untuk memindahkan sputum ke cabang bronkus utama yang kemudian pasien
disuruh untuk batuk.

e.    Batuk efektif

Batuk merupakan suatu gerakan reflek untuk mengeluarkan benda asing atau sputum dari
dalam saluran pernafasan

f.     Terapi latihan (Mobilisasi sangkar Thorak)

Latihan ini meliputi gerakan-gerakan pada trunk dan anggota gerak


atas,dapat  dilakukan  bersamaan dengan  breathing  exercise. Sehingga otot-otot
pernafasan dan otot bantunya yang mengalami ketegangan akan menjadi rilex

(3)          Edukasi :

1)  Pasien di anjurkan melanjutkan latihan nafas sendiri di rumah,

2)  Istirahat jika terjadi keluhan sesak nafas / nyeri dada saat sedang aktifitas,

3)  Pakai jaket bila udara dingin,

4)  Meminum air putih banyak dan hangat,

5)  menghindari asap rokok dan polusi,

6)  pasien diminta untuk menjaga kebersihan lingkungan.


(4)          Rencana Evaluasi :

1)  Expansi Sangkar Thorax Dengan Antopometri

2)  Derajat Sesak Nafas Dengan Skala Borg

3)  Uji Faal Paru Dengan Spirometri

4)  Auskultasi dengan Stethoscope

C. Pelaksanaan Fisioterapi :

1)            Infra Merah

         Persiapan Alat              : Siapkan alat kemudian cek keadaan                    lampu, cek


kabel, ada yang terkelupas atau tidak.

         Persiapan Pasien         : Posisikan pasien senyaman mungkin, bebaskan area yang


akan diterapi dari kain atau pakaian, sebelum diterapi kulit harus kering dan dilakukan tes
sensibilitas terlebih dahulu serta berikan informasi yang jelas tentang tujuan terapi
mengenai apa yang akan dirasakan dan apa yang tidak boleh dilakukan selama terapi.

   Pelaksanaan : Alat diatur sedemikian rupa, sehingga lampu sinar infra merah dapat
menjangkau daerah dada dan punggung dengan jarak 30-45 cm. Posisi lampu sinar infra
merah tegak lurus daerah yang akan diterapi. Setelah semuanya siap alat dihidupkan,
kemudian atur waktu 10- 15 menit. Selama proses terapi berlangsung fisioterapi harus
mengontrol rasa hangat yang diterima pasien, jika selama pengobatan rasa nyeri, pusing,
ketegangan otot meningkat.Dosis harus dikurangi dengan menurunkan intensitasnya,
dengan sedikit menjauhkan sinar infra merah. Hal ini berkaitan dengan adanya over dosis.
Setelah proses terapi selesai matikan alat dan alat dirapikan seperti semula.

2)            Breathing Excercise

Persiapan Pasien      : pasien rileks, pasien duduk ditepi Bed

Pelaksanaan              : Pasien diinstruksikan untuk menarik nafas panjang melalui hidung


dan mengeluarkannya secara pelan- pelan melalui mulut pengulangan 2-5 kali.

3)            Postural Drinage dan Tapotemen


Persiapan Alat              :  Bantal

Persiapan Pasien         : Pasien pada posisi gravitasi untuk memudahkan pengeluaran


sekret yaitu miring kekanan sedikit diganjal bantal bagian samping perut.

Pelaksanaan                   : Terapis melakukan tapotement pada daerah lateral costa kiri


pasien dengan posisi tangan membentuk arcus gerakan fleksi ekstensi. Latihan dihentikan
bila ada keluhan dari pasien seperti nyeri dada dan jantung berdebar.

4)            Mobilisasi Sangkat Torak

Persiapan Pasien          : Pasien tidur telentang

Pelaksanaan                   : Pasien diberi contoh oleh

Terapis kemudian disuruh untuk mengulanginya, pasin disuruh ambil nafas panjang
melalui hidung bersamaan dengan itu pasien menggerakkan kedua lengannya keatas,
kemudian             disuruh untuk menghembuskannya secara pelan-pelan
melalui        mulut sambil kedua tangannya diturunkan. Ulangi 1-8 kali.

5)            Batuk Efektif

                        Persiapan Pasien      : Posisi pasien duduk ditepi bed

Pelaksanaan              : Tarik nafas pelan & dalam   dengan pernafasan diafragma, Tahan


nafas 2 detik atau hitung sampai 2 hitungan Batukkan 2 kali dengan mulut sedikit
terbuka. Batuk pertama akan melepaskan  secret atau mucus dari    tempatnya dan batuk
kedua akan mendorong keluar mucus tersebut. Batuk yang efektif adalah yang
bersuara“hollow “. Sebagian penderita harus didorong untuk berani batuk. Sugesti dapat
diberikan dengan cara terapis batuk  mendahului penderita.

D. EVALUASI

1.    Expansi Sangkar Thorax Dengan Antopometri

Titik pengukuran Inspirasi Exspirasi selisih

Axilla 78 cm 76 cm 2 cm

Costa 4-5 76 cm 73 cm 3 cm

xyphoideus 71 cm 68 cm 3 cm

2.    Derajat Sesak Nafas Dengan Skala Borg


Sesak Nafas Keterangan

0 Tidak ada

0,5 sangat sangat ringan

1 Sangat ringan

2 Ringan

3 Sedang

4 Sedikit berat

5 Berat

6 Sangat berat

7 Sangat-sangat berat

8 maksimal

3.    Uji Faal Paru Dengan Spirometri ( Tidak dilakukan )

4.    Auskultasi dengan Stethoscope ( Bunyi Ronchi berkurang )

E.  HASIL TERAPI SESAAT :

                                1.    Sesak nafas sedikit bertambah

                                2.    Sputum sudah dapat dikeluarkan

                                3.    Spasme otot pernafasan sudah agak berkurang dan pasien merasa


nyaman dari keadaan sebelumnya

                                4.    Peningkatan ekspansi sangkar thorax yang di dukung dengan


mobilisasi sangkar thorak
BAB III

PENUTUP

A.   PEMBAHASAN

        PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) didefinisikan sebagai penyakit yang


dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.

        Dari proses pelaksanaan fisioterapi bahwa dalam mengurangi spasme, mengeluarkan


sputum dan menmbah ekspansi sangkar Thorak dapat dilakukan dengan :

1.    Infra Merah, Mekanisme, Infra Merah menghasilkan Efek thermal kemudian


terjadi  vasodilatasi pembuluh darah maka akan membuat rileksasi otot² bantu pernafasan
menjadi baik dan sesak nafas berkurang

2.    Postural Drinage, Tapotement, Breathing Exercise,Batuk efektip, Latihan Mobilisasi


Sangkar Thorak.

Adanya sputum dalam saluran pernafasan yang sulit keluar dan penurunan ekspansi
sangkar thoraxs, dengan postural drinage maka akan mengalirkan sekresi dari berbagai
segmen menuju saluaran nafas yang lebih besar kemudian lakukan tapotement untuk
memindahkan sputum ke bronkus utama setelah itu berikan breathing excercise dan
pasien disuruh batuk untuk mengeluarkan benda asing atau sputum dalam saluran nafas
dan instruksikan kepada pasien untuk mengerakan anggota gerak atas kombinasikan
dengan Breathing excercise maka ekspansi sangkar thorax akan bertambah.

B.   KESIMPULAN

        Untuk kesimpulan pasien atas nama I.S umur 72 tahun drngan diagnose PPOK
dengan keluhan sesak dan batuk dengan dahak sulit dikeluarkan mempunyai beberapa
permasalahan antara lain adanya sesak nafas, dahak yang sulit keluar, adanya spasme
pada otot bantu pernafasan dan dan penurunan ekspansi sangkar thorak yang akhirnya
menggangu aktivitas fungsional sehari- hari. Infra Merah, Breathing Exercise, Postural
drainage, Tapotement, batuk efektif dan mobilisasi sangkar thorak mempunyai peran
penting dalam mengatasi permasalahan fisioterapi tersebut.

C.   SARAN
1.    Fisioterapi

a)    Harus memahami dan mengerti tentang fisiologi pernapasan, sehingga mendapatkan


hasil yang maximal dalam pemeriksaan dan pengobatan

b)    Dalam memberikan latihan sebaiknya dilakukan scara bertahap sesuai dengan


toleransi pasien.

c)    Menambah pengetahuan agar dapat mengikuti perkembangan fisioterapi dan


mempunyai pola fikir yang baik dalam melaksanakan peran dan fungsinya.

2.    Pasien

a)    Hendaknya pasien mau bekerja sama dengan terapis yaitu mau menghindari hal-hal
yang dapat memperparah kondisi.

b)    Apabila dalam melakukan aktivitas merasa sesak nafas maka pasien segera untuk
istirahat.

c)    Hendaknya pasien menghindari asap rokok atau merokok dan debu yang dapat
menimbulkan sesak.

3.    Keluarga

a)    Menyarankan agar selalu memberikan dukungan mental kepada penderita, sehingga


penderita mempunyai semangat dalam melakukan latihan dan pengobatan.

b)    Menganjurkan untuk menjaga kebersihan lingkungan setempat dari polusi

c)    Keluarga sebaiknya mengawasi semua aktivitas pasien agar tidak terjadi sesak nafas
saat beraktivitas.

4.    Masyarakat

a)    Menyarankan kepada masyarakat untuk segera mungkin berobat jika terjadi keluhan
seperti masalah diatas.

b)    Menyarankan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan dan tidak menimbulkan


polusi udara.

COMBUSTIO

BAB I

PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter.
Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif
tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk
penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang
mengalami luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210
penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti
mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri,
angka luka bakar tersebut makin meningkat.

Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbukan


efek sistemik yang sangat kompleks.Luka bakar biasanya dinyatakan dengan
derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar.Beratnya luka bergantung
pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan
kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
prognosis.1

ANATOMI & FISIOLOGI KULIT

Kulit adalah organ terbesar di tubuh, tidak hanya berfungsi sebagai sawar mekanis
antara lingkungan eksternal dan jaringan dibawahnya, tetapi secara dinamis juga
terlibat dalam mekanisme pertahanan dan berbagai fungsi lain. Kulit terdiri dari
dua lapisan, epidermis disebelah luar dan dermis disebelah dalam.2

A. EPIDERMIS
Epidermis terdiri dari banyak lapisan sel epitel. Lapisan epidermis di
bagian dalam terdiri dari sel- sel berbentuk kubus yang hidup dan cepat
membelah diri, sementara sel-sel di lapisan luar mati dan menggepeng.
Epidermis tidak mendapatkan pasokan darah langsungr dan hanya
mendapatkan makanan melalui difus nutrien dari jaringan epidermis di
bawahnya. Sel-sel epidermis berikatan erat satu sama lain melalui pada
desmosom titik yang berhubungan dengan intrasel untuk membentuk
suatu lapisan pembungkus kohesif yang kuat. Selama pematangan sel
penghasil kreatinin, terjadi akumulasi filamen-filamen keratin secara
progresif yang saling berikatan silang di sitoplasma. Sewaktu sel-sel di
bagian luar mati, yang tertinggal hanya inti kreatinin fibrosa yang
membentuk skuama keras-gepeng dan menjadi lapisan kreatinisasi
protektif-kuat. Skuama pada lapisan keratinisasi paling luar yang
terkelupas atau tanggal akbiat abrasi, secara terus-menerus di ganti melalui
pembelahan sel dilapisan epidermis sebelah dalam. Lapisan
kreatinisasinya bersifat kedap udara, cukup kedap air dan sulit untuk
ditembus oleh sebagian besar bahan. Lapisan ini juga berfungsi menahan
lewatnya bahan dalam kedua arah antara tubuh dan lingkungan eksternal.
Epidermis mengandung empat jenis sel : 2

 Sel kreatinosit
 Melanosit
 Sel langerhans
 Sel granstein

Lapisan epidermis ada 6, yaitu :

1. Stratum dysjunctum
2. Stratum corneum
3. Stratum lucidum
4. Stratum granulosum
5. Stratum spinosum
6. Stratum basale

Fungsi epidermis sendiri yaitu :

 Melindugi dari kekeringan


 Pelindung dari masuknya bakteri
 Melindungi dari toksin
 Menjaga keseimbangan cairan: menghindari kehilangan cairan
yang berlebihan
 Neuronsensori dan interaksi sosial

B. DERMIS
Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang mengandung banyak serat elstin
(untuk peregangan) dan serat kolagen (untuk kekuatan), serta sejumlah
besar pembuluh darah dan ujung-ujung saraf khusus.Jaringan penyambung
padat berbentuk irregular yg mensupport epdermis dan berikatan dng
jar.subcutan ( hypodermis)
Tebal : 0,6 mm – 3 mm,pada wanita lebih tipis dibanding pria.2
Pembuluh darah dermis tidak hanya memasok darah kedermis dan
epidermis tetapi, juga berperan penting dalam mengatur suhu. Kaliber
pembuluh-pembuluh darah ini,dan dengan demikian volume darah yang
mengalir didalamnya dapat di kontrol untuk mengubah-ubah tingkat
pertukaran panas antara pembuluh permukaan kulit ini dengan lingkungan
eksternal. Reseptor-reseptor di ujung perifer serat saraf aferen di dermis
mendeteksi tekanan,suhu,nyeri,dan masukkan somatosensorik lainnya.
Ujung-ujung saraf eferen didermis mengontrol kaliber pembuluh darah,
ereksi rambut,dan sekresi oleh kelenjar eksokrin. Dermis dibagi mennjadi :
2

 Superficial yang tipis yang dikenal dengan papilary layer,


terdapat fibroblast, serat elastin dan kolagen tipe 3 serta
banyak terdapat kapiler.
 Dan bagian yang paling tebal yang dikenal dengan
reticularlayer,terdapat serat kolagen tipe 2, terisi matriks
ekstrasel yang mengandung dermatan sulfat dan
glikosaminoglikan,sel fibroblas,makrofag,lymfosit dan mast
cells. Membentuk garis paralel dengan permukaan tubuh
diuat lines of Langer → surgical important minimize scar
tissue.

Fungsi dermis sendiri yaitu :

 Melindungi dari trauma dengan elastisitas, daya tahan dan


komponennya.
 Menjaga keseimbangan cairan melalui regulasi aliran darah
kulit
 Termoregulasi melalui control aliran darah.
 Faktor pertumbuhan dan arah kontak pada replikasi
epidermis dan perbaikan dermis.

C. Hypodermis ( subcutaneous tissue)


Hypodermis merupakan bagian dalam dari lapisan reticular layer.Jaringan
penyambung jarang terbungkus oleh serabut kolagen, serta banyak
mengandung jaringan lemak terutama bagian perut dan pinggul yg dapat
mencapai ketebalan 3 cm → lapisan ini disebut panniculus adiposus.2

Gambar 1. Anatomi kulit


,

Kelenjar eksokrin kulit terdiri dari kelenjar dari kelenjar sebasea,yang


menghasilkan sebum, suatu bahan berminyak yang melunakkan dan membuat
kulit kedap air, dan kelenjar keringat, yang mengahsilkan keringat pendingin.
Folike rambut mengahsilkan rambut, yang didistribusi dan fungsinya minimal
pada manusia. Selain itu kulit juga mensintetis vitamin D dengan adanya sinar
matahari. 2
BAB I

DEFINISI&ETIOLOGI

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas
dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase
syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik
maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar,
penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:3
 Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka,
dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat
membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat
alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh
yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar
akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
 Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan
semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan
berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya
menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit
sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan
keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang
menandai permukaan cairan.
 Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang
tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi
inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas
distal di paru.
 Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
oklusi jalan nafas akibat edema.
 Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan
luka bakar tambahan.
 Zat kimia (asam atau basa)
 Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi

Patofisiologi

Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada
luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang.
Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan
mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring
yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan
mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual
dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60%
hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi


mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis.

Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran
napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial
ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan
eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam
invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau
pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng
yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.

Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah


terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan
keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-
mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II
menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler
di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang
didarahinya nanti.

Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan


kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar
demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif,
seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran
kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus.
Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di
darah.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh
dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa
elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam
mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik
jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami
kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik.Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase
mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.

Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala
yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak
Curling.

Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan


protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi,
metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga
memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama
didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita
menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian,
korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila
luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak
berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka
bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.4

Gambar 2. Patofisiologi luka bakar


Fase Pada Luka Bakar

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka
bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok


Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada
saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan
adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan
gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang
timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan
(luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi
jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut
hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan
jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan
berlangsung lama

Pembagian zona kerusakan jaringan:

1. Zona koagulasi, zona nekrosis


Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi
protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan
ini mengalami nekrosisbeberapa saat setelah kontak.Oleh karena itulah
disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona
koagulasi.Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai
kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no
flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon
inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan
mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa
vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular.Tergantung keadaan
umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami
penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.

Diagnosis

Diagnosaluka bakar didasarkan pada:


a. Luas luka bakar
b. Derajat (kedalaman) luka bakar
c. Lokalisasi
d. Penyebab

Indikasi Rawat Inap

Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk


dirawat inap bila:

1. Luka bakar derajat III > 5%


2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan,
kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama)  risiko signifikan
untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma
mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada
sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

Klasifikasi Luka Bakar

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu dan lama pajanan suhu
tinggi. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar karena
kontak dengan api atau listrik juga memperdalam luka bakar. Bahan pakaian yang
dipakai penderita seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah
meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.4

Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu:


 Luka Bakar Derajat I:
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superfisial), kulit hiperemik
berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf
sensorik teriritasi.Biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara
sempurna.Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

Gambar 3. Luka bakar derajat I


 Luka Bakar Derajat II:
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung
saraf sensorik teriritasi. Dibedakan menjadi 2 bagian:
A. Derajat II dangkal/superfisial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
corium/dermis.organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea
masih banyak. Semua ini merupakan benih-benih epitel.Penyembuhan
terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk
sikatrik.Gejala yang timbul adalah sangat nyeri, terdapat lepuhan yang
timbul beberapa menit, bula atau blister yang berisi cairan eksudat yang
keluar dari pembuluh darah akibat permeabilitas dindingnya
meningkat.Komplikasi jarang terjadi, terkadang timbul infeksi sekunder
pada luka.
B. Derajat II dalam/deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa jaringan
epitel hingga tinggal sedikit.Organ-organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjar sebaseatinggal sedikit.Gejala yang timbul
berupa rasa nyeri pada luka yang lebih superfisial, warna merah muda,
hipoestesia (rasa nyeri sedikit), dan bula atau blister tidak
karakteristik.Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut
hipertrofi.Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu
bulan.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam ini tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat
III.

Gambar 4. Luka bakar derajat II

 Luka Bakar Derajat III:


Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang.Organ kulit mengalami
kerusakan, tidak ada lagi sisa elemen epitel.Tidak dijumpai bullae, kulit yang
terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam
kering.Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung saraf
sensorik rusak.Terjadi koagulasi protein dan epidermis dan dermis yang
dikenal sebagai escar, yang dapat menyebabkan kompartemen sindrom.
Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan, pada
kebanyakan kasus untuk melindungi jaringan di bawah kulit dilakukan skin
graft.

Gambar 5. Luka bakar derajat III

Luas Luka Bakar


Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya
kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak.Seiring dengan
peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi
kehilangan cairan secara evaporasi, dan viskositas plasma meningkat dengan
resultan pembentukan mikrotrombus.Hilangnya cairan dapat menyebabkan syok
hipovolemik, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap
resusitasi.Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi
metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar
dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat
untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:1

 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili ± 1% luas permukaan tubuh. luas luka
bakar hanya dhitung pada pasien dengan derajat luka II (IIA & IIB) atau III.

 Rumus 9 atau Rule of Nine untuk orang dewasa.


Pada dewasa digunakan “Rumus 9”, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri
masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.Rumus ini membantu
menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Gambar 6. Presentase luka bakar

Kepala dan leher  9%


Lengan  18%
Badan depan  18%
Badan belakang  18%
Tungkai  36%
Genitalia  1%
Total  100%

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih
kecil.Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal “Rumus 10” untuk bayi, dan “Rumus 10-15-20” untuk anak.

Gambar 7. Rumus menentukan luas luka bakar


 Metode Lund and Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di
kepala anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan
pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan
tubuh pada anak dapat menggunakan “Rumus 9” dan disesuaikan dengan
usia:
o Pada anak dibawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%.
Torso dan lengan presentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0,5% untuk tiap
tungkai dan turunkan presentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.
o
Tabel 1. Lund and Browder Chart
Pembagian Luka Bakar
1. Luka bakar ringan
 Luka bakar dengan luas < 15% pada dewasa
 Luka bakar dengan luas < 10% pada anak dan usia lanjut
 Luka bakar dengan luas < 2% pada segala usia (tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum)

2. Luka bakar sedang (moderate burn)


 Luka bakar dengan luas 15-25% pada dewasa, dengan luka bakar derajat
III < 10%
 Luka bakar dengan luas 10-20% pada anak usia < 10 tahun atau dewasa
> 40 tahun, dengan luka bakar derajat III < 10%
 Luka bakar dengan derajat III < 10% pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum

3. Luka bakar berat (major burn)


 Derajat II-III > 20% pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas
usia 50 tahun
 Derajat II-III > 25% pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama
 Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
 Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan
luas luka bakar
 Luka bakar listrik tegangan tinggi
 Disertai trauma lainnya
 Pasien-pasien dengan resiko tinggi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan
MODS

Penatalaksanaan
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya
dengan menyelimuti dan menutupi bagian yang terbakar untuk menghentikan
pasokan oksigen pada api yang menyala. Korban dapat mengusahakannya dengan
cepat menjatuhkan diri dan berguling agar bagian pakaian yang terbakar tidak
meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya
dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin
atau melepaskan baju yang tersiram air panas.

Pertongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam


daerah luka bakar dengan air atau menyiraminya dengan air mengalir selama
sekurang kurangnya lima belas menit. Proses koagulasi protein sel di jaringan
yang terpajan suhu tinggi berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga
destruksi tetap meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah
yang terbakar dan mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama. Oleh
karena itu merendam bagian yang terbakar selama 15 menit pertama dalam air
sangat bermanfaat untuk menurunkan suhu jaringan sehingga kerusakan lebih
dangkal dan diperkecil. Dengan demikian luka yang sebenarnya menuju derajat
dua dapat berhenti pada derajat satu, atau luka yang akan menjadi derajat tiga
dihentikan pada tingkat dua atau satu. Pencelupan atau penyiraman dapat
dilakukan dengan air apa saja yang dingin, tidak usah steril.

Pada luka bakar ringan, prinsip penanganan utama adalah mendinginkan


daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-
sisa sel epitel untuk berploriferasi dan menutup permukaan luka. Luka dapat
dirawat secara tertutup atau terbuka.

Pada luka bakar berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar
ringan, kalau perlu dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala
syok. Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan nafas, diberikan
campuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi edema laring, dipasang
endotrakeal tube atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk
membebaskan jalan nafas, mengurangi ruang mati dan memudahkan pembersihan
jalan nafas dari lendir atau kotoran.Bila ada dugaan keracunan CO, diberikan
oksigen murni.

Perawatan lokal adalah mengoleskan luka dengan antiseptik dan


membiarkannya terbuka untuk perawatan terbuka atau menutupnya dengan
pembalut steril untuk perawatan tertutup.Kalau perlu, penderita dimandikan
terlebih dahulu.Selanjutnya diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau
toksoid. Analgesik diberikan bila penderita kesakitan.1

Terdapat prinsip terapi pada luka bakar yang dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Terapi fase akut
1. Hentikan dan hindarkan kontak langsung dengan penyebab luka bakar.
2. Menilai keadaan umum penderita: adanya sumbatan jalan nafas, nadi,
tekanan darah dan kesadaran (ABC)
- Bila terjadi obstruksijalan nafas: Bebaskan jalan nafas
- Bila terjadi shock: segera infuse (grojog) tanpa memperhitungkan
luas luka bakar dan kebutuhan cairan (RL).
- Bila tidak shok: segera diinfus sesuai dengan perhitungan
kebutuhan cairan.
3. Perawatan luka
- Luka dicuci dan dibersihkandengan air steril dan antiseptic
- Bersihkan luka dengan kasa atau handuk basah, inspeksi tanda-
tanda infeksi, keringkan dengan handuk bersih dan re-dress pasien
dengan menggunakan medikasi topikal. Luka bakar wajah
superficial dapat diobati dengan ointment antibacterial. Luka
sekitar mata dapat diterapi dengan ointment antibiotik mata topical.
Luka bakar yang dalam pada telinga eksternal dapat diterapi
dengan mafenide acetat, karena zat tersebut dapat penetrasi ke
dalam eschar dan mencegah infeksi purulen kartilago.
- Obat- obat topical yang digunakan untuk terapi luka bakar seperti:
silver sulfadiazine, contoh Silvaden, Burnazine, Dermazine, dll.
- Kulit yang terkelupas dibuang, bulae (2-3 cm) dibiarkan
- Bula utuh dengan cairan > 5 cc dihisap, < 5 cc dibiarkan
Bula sering terjadi pada jalur skin graft donor yang baru dan pada
luka yang ungraft. Membrane basal lapisan epitel baru kurang
berikatan dengan bed dari luka bakar.Struktur ini dapat mengalami
rekonstruksi sendiri dalam waktu beberapa bulan dan menjadi
bullae.Bulla ini paling baik diterapi dengan dihisap dengan jarum
yang bersih, memasang lagi lapisan epitel pada permukaan luka,
dan menutup dengan pembalut adhesif.Pembalut adhesive ini dapat
direndam.
- Pasien dipindahkan ke tempat steril
- Pemberian antibiotic boardspectrum bersifat profilaksis.
- Berikan analgetik untuk menghilangkan nyeri dan antacid untuk
menghindari gangguan pada gaster.
- Berikan ATS untuk menghindari terjadinya tetanus
- Pasang catheter folley untuk memantau produksi urine pasien
- Pasang NGT (Nasogastric tube), untuk menghindari ileus paralitic.
b. Terapi fase pasca akut
- Perawatan luka
- Eschar  escharectom (Eschar : jaringan kulit yang nekrose,
kuman yang mati, serum, darah kering)
- Gangguan AVN distal karena tegang (compartment
syndrome)escharotomi atau fasciotomi
- Kultur dan sensitivity test antibiotikaAntibiotika diberikan
sesuai hasilnya
- Dimandikan tiap hari atau 2 hari sekali
- Kalau perlu pemberian Human Albumin
- Keadaan umum penderita
Dilihat keadaan umum penderita dengan menilai beberapa hal seperti
kesadaran, suhu tubuh, dan sirkulasi perifer.Jika didapatkan penurunan
kesadaran, febris dan sirkulasi yang jelek, hal ini menandakan adanya
sepsis.
- Diet dan cairan

Terdapat penangan berdasarkan durasi waktu setelah kontak, yaitu;

DUA PULUH EMPAT JAM PERTAMA (HARI 1)

Survei primer :

A & B (Airway &Breathing)

Adakah trauma inhalasi: anamnesa, suara serak (stridor)→observasi selama


24 jam bila perlu pasang ET atau lakukan trakheostomi.

Perhatikan adanya stridor (mengorok), suara serak, dahak berwarna jelaga


(black sputum), gagal napas, bulu hidung yang terbakar, bengkak pada
wajah.Luka bakar pada daerah orofaring dan leher membutuhkan tatalaksana
intubasi (pemasangan pipa saluran napas ke dalam trakea/batang tenggorok)
untuk menjaga jalan napas yang adekuat/tetap terbuka. Intubasi dilakukan di
fasilitas kesehatan yang lengkap.6

C (Circulation)

Dilakukan resusitasi cairan.Bila penderita syok maka diatasi dulu syoknya


dengan infus RL diguyur sampai nadi teraba atau tekanan darah
>90mmHg.Baru kemudian lakukan resusitasi cairan.Cairan yang dibutuhkan
dalam penanganan syok tidak dihitung.Resusitasi cairan yang sering
digunakan adalah cara Baxter.

Pastikan luas luka bakar untuk perhitungan pemberian


cairan.Pemberian cairan intravena (melalui infus) diberikan bila
luas luka bakar >10%.Bila kurang dari itu dapat diberikan cairan
melalui mulut.Cairan merupakan komponen penting karena pada
luka bakar terjadi kehilangan cairan baik melalui penguapan karena
kulit yang berfungsi sebagai proteksi sudah rusak dan mekanisme
dimana terjadi perembesan cairan dari pembuluh darah ke jaringan
sekitar pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya
pembengkakan (edema). Bila hal ini terjadi dalam jumlah yang
banyak dan tidak tergantikan maka volume cairan dalam pembuluh
darah dapat berkurang dan mengakibatkan kekurangan cairan yang
berat dan mengganggu fungsi organ-organ tubuh.6

Baxter dengan rumus :

4cc x kgBB x %luka bakar

Setengah dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama dan sisanya
diberikan selama 16 jam berikutnya. Cairan yang diberikan biasanya RL
karena terjadi defisit ion Na.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah cara Evans :

1. %luka bakar x kgBB menjadi NaCl per 24 jam

2. %luka bakar x kgBB menjadi ml plasma per 24 jam

Keduanya merupakan pengganti cairan yang hilang akibat edema.Plasma


diperlukan untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh darah dan
meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan keluar dan
menarik kembali cairan yang telah keluar.

3. Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan, diberikan


2000cc glukosa 5% per 24jam.

Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya dalam
16 jam berikutnya.

- Pasang kateter untuk memonitor produksi urin. Diharapkan produksi urin


½ - 1cc/KgBB/jam
- Pasang CVP pada luka bakar >/=40% dan pada penderita yang
mengalami kesulitan untuk mengukur tekanan darah.

Survei Sekunder

 Penilaian luas luka bakar dan derajat kedalamannya. Biasanya dihitung


sebelum resusitasi cairan definitive
 Pasang NGT. Untuk dekompresi penderita yang mengalami ileus paralitik
dan untuk memasukkan makanan
 Cuci luka dengan NaCl dan savlon, keringkan, olesi dengan salep
(Dermazin) kemudian rawat luka secara tertutup
 Pemeriksaan laboratorium darah dan Analisa Gas Darah tiap 24 jam
 Pemberian analgetika dan antibiotika
Luka bakar termal, listrik dan bahan kimia membutuhkan penanganan dan
pengobatan yang berbeda.Terapi farmakologi memiliki peran yang terbatas dalam
penatalaksanaan luka bakar kimia. Disisi lain kunci dari penanganan luka bakar
listrik adalah pada rehidrasi sementara luka bakar termal memerlukan analgetik
dan antibiotik topikal. Pastikan pasien memberi informasi tentang alergi obat yang
mereka miliki, obat – obatan yang sedang diminum atau kondisi kesehatan lain.6

DUA PULUH EMPAT JAM KEDUA (HARI II)

 Cairan yang diberikan volumenya ½ dari hari pertama


 Pemberian koloid/plasma ekspander sudah boleh dilakukan
 Diet sudah mulai 8 jam pasca trauma bila tidak terjadi ileus,
melalui NGT
 Perawatan luka dilakukan sesuai kebutuhan, biasanya setiap hari
 Hari ke 7 penderita boleh dimandikan
 Posisi penderita diletakkan dalam posisi yang baik agar tidak
terjadi kontraktur maupun problem rekonstruksi yang lain.

Terapi Luka Bakar Termal


1. Analgetik

Untuk luka bakar termal dokter biasanya memberikan resep analgetik


untuk menghilangkan rasa nyeri dan memberikan kenyamanan pada
pasien.Morfin sulfat, Demerol dan Vicodin mungkin diresepkan untuk
nyeri yang sangat hebat.

2. Anti Inflamasi Non steroid

Golongan obat ini digunakan untuk nyeri akibat luka bakar ringan sampai
sedang. Ibuprofen biasanya digunakan untuk terapi awal, tapi pilihan lain
seperti naproxen, ansaid dan anaprox dapat juga diberikan.

3. Antibiotik Topikal

Antibiotik topikal digunakan untuk mencegah infeksi dan pertumbuhan


bakteri.Neo sporin digunakan untuk infeksi minor dan dioleskan ke kulit 1
– 3x sehari.

Silvadene adalah krim topikal yang digunakan untuk luka bakar yang lebih
berat.Silvadene adalah obat golongan sulfa yang digunakan untuk mencegah dan
mengobati infeksi bakteri atau jamur.Silvadene harus dioleskan menggunakan
teknik steril ke tempat luka bakar dan tempat luka bakar tersebut harus dicuci
bersih sebelum pemakaian.Hindari menggunakan silvadene pada wajah dan
silvadene tidak boleh digunakan pada neonatus, bayi berumur kurang dari 2 tahun
atau pada kehamilan trimester akhir.

Terapi Luka Bakar Kimia

Walaupun obat-obatan memegang peranan yang terbatas pada


penatalaksanaan luka bakar kimia pada umumnya namun antibiotik topikal, garam
magesium dan kalsium mungkin dapat digunakan. Setelah luka dibersihkan, terapi
cairan IV dan obat-obat narkotik diberikan
1. Antibiotik

Silvadene digunakan untuk luka bakar pada kulit dan berguna dalam
pencegahan infeksi pada luka bakar derajat 2 dan 3.Obat ini harus dioleskan
pada kulit 1 atau 2x sehari dan semua obat yang diberikan sebelumnya harus
dibersihkan terlebih dahulu sebelum mengoleskan salep baru.Eritromicin
salep (bacitracin) digunakan untuk mencegah infeksi pada luka bakar yang
terdapat di bagian mata.

2. Analgetik

Morfin dan asetaminofen diberikan untuk penatalaksanaan nyeri dan


mungkin dapat bertindak sebagai sedatif yang penting bagi pasien yang
mengalami cedera pada daerah mata.

3. Anti Inflamasi Non Steroid

Advil, Motrin, Ansaid, Naprosyn, dan anaprox adalah obat anti


inflamasi yang digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang.

Terapi Luka Bakar Elektrik

Kunci dari penatalaksanaan luka bakar listrik adalah hidrasi.Hidrasi yang


adekuat dapat menurunkan morbiditas.Jika kerusakan otot terjadi sangat parah,
diuretik osmotik diberikan.1

1. Terapi Cairan
Ringer Lactat biasanya digunakan untuk terapi.Ringer lactat adalah larutan
isotonik dan berfungsi sebagai pengganti volume cairan tubuh.Pemberiannya
melalui jalur intra vena dan harus dihentikan apabila terdapat tanda-tanda
edema pulmo.
2. Osmosis diuretik
Manitol adalah diuretik osmosis yang tidak dimetabolisme secara signifikan
dan melewati glomerulus tanpa direabsorpsi oleh ginjal.Manitol digunakan
untuk mengembalikan dan mempertahankan urin output.

Nutrisi

Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan


keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu sebanyak 2.500-
3.000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi.

Penderita yang sudah mulai stabil keadaannya memerlukan fisioterapi


untuk memperlancar peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi. Kalau perlu,
sendi diistirahatkan dalam posisi fungsional dengan bidai.1,

Memperkirakan jumlah kebutuhan nutrisi pada pasien luka bakar sangat


penting dalam proses penyembuhan. Terdapat beberapa rumus untuk menghitung
kebutuhan nutrisi pasien kula bakar.Persamaan Harris-Benedict dibuat untuk
menghitung kebutuhan kalori orang dewasa sementara Galvaston digunakan pada
anak-anak.Rumus Curreri digunakan untuk menghitung kebutuhan kalori dewasa
dan anak-anak.Studi terbaru menunjukkan bahwa rumus ini cenderung bersifat
berlebihan (over estimate) sebesar kira – kira 150% dari kebutuhan kalori.Karena
tidak ada satupun rumus yang dapat memperhitungkan secara akurat berapa
banyak kalori yang dibutuhkan oleh pasien, adalah penting bagi dokter dan ahli
gizi untuk memonitor secara ketat kondisi nutrisi pasien.

Kebutuhan protein pada umumnya meningkat daripada kebutuhan energi


dan tampaknya berhubungan dengan besarnya massa tubuh. Tubuh kehilangan
protein melalui luka dan karena hal ini tubuh meningkatkan kebutuhan kalori
untuk penyembuhan.Bagaimanapun juga mayoritas dari peningkatan kebutuhan
protein berasal dari adanya kerusakan otot dan terkait penggunaannya dalam
memproduksi energi. Memberikan indeks protein yang lebih tinggi tidak dapat
menghentikan proses perusakan ini akan tetapi protein penting untuk
menyediakan bahan untuk sintesis jaringan yang rusak atau hilang. Karbohidrat
merupakan penyuplai kalori terbesar pada kebanyakan kondisi terrmasuk stress
pada luka bakar.Memberikan kalori yang adekuat dari karbohidrat dapat
mengurangi penggunaan protein sebagai bahan bakar. Tubuh memecah
karbohidrat menjadi glukosa yang akan digunakan sebagai energi. Luka bakar
membutuhkan glukosa untuk energi dan tidak dapat menggunakan sumber energi
lain.

Lemak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan asam lemak esensial


dan juga sebagai sumber kalori. Rekomendasi umum memberikan 30% kalori
dalam bentuk lemak, dan jumlah ini bisa lebih besar jika diperlukan. Kekurangan
asupan lemak berimplikasi pada penurunan fungsi imun.(7)

Kebanyakan institusi kesehatan mengetahui bahwa luka bakar


membutuhkan jumlah vitamin dan mineral yang lebih tinggi akan tetapi berapa
peningkatan kebutuhan ini belum dapat ditentukan. Beberapa vitamin yang
penting adalah vitamin C dan E bersama dengan zinc dapat membatasi kerusakan
oksidatif dan mempercepat penyembuhan luka.

Memberikan kalori dan zat gizi yang adekuat adalah tugas yang sangat
sulit pada pasien luka bakar terutama pada anak-anak. Adalah sangat penting bagi
para tenaga kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pasien dalam
rangka meminimalisasi efek buruk dari kehilangan masa tubuh,dan malnutrisi
energi protein. Kegagalan memenuhi kebutuhan ini dapat bermanifestasi sebagai
penyembuhan luka yang tidak sempurna, balance nitrogen yang negatif,
penurunan BB dan penurunan fungsi kekebalan tubuh.

Penilaian status nutrisi awal sebaiknya dilakukan secepatnya setelah


masuk rumah sakit. Hal ini sangat penting agar pemberian makan yang adekuat
dapat diberikan dalam 24-48 jam pertama setelah pasien mengalami luka bakar.
Pengukuran berat badan dan tinggi badan yang akurat seperti sebelum luka bakar
terjadi yang dapat dilihat pada Tabel Standar Pertumbuhan Anak sangat
diperlukan untuk memperkirakan kebutuhan nutrisi pada anak.7
Tindakan bedah

Pemotongan eskar atau eskarotomi dilakukan pada luka bakar derajat tiga
yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh karena pengerutan keropeng dan
pembengkakan yang terus berlangsung dapat mengakibatkan penjepitan yang
membahayakan sirkulasi sehingga bagian distal bisa mati.Tanda dini penjepitan
adalah nyeri, kemudian kehilangan daya rasa sampai kebas pada ujung-ujung
distal.Keadaan ini harus cepat ditolong dengan membuat irisan memanjang yang
membuka keropeng sampai jepitan terlepas.

Debridemen diusahakan sedini mungkin uantuk membuang jaringan mati


dengan jalan eksisi tangensial.Tindakan ini dilakukan sesegera mungkin setelah
keadaan penderita menjadi stabil karena eksisi tangensial juga menyebabkan
perdarahan.Biasanya eksisi dini ini dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7, dan
pasti boleh dilakukan pada hari ke-10.Eksisi tangensial sebaiknya tidak dilakukan
lebih dari 10% luas permukaan tubuh, karena dapat terjadi perdarahan yang cukup
banyak. Luka bakar yang telah dibersihkan atau luka granulasi dapat ditutup
dengan skin graft yang umumnya diambil dari kulit penderita sendiri (skin
grafting autologus). Penutupan luka bakar dengan bahan biologis seperti kulit
mayat atau kulit binatang atau amnion manusia dapat dilakukan jika terdapat
keterbatasan luas kulit penderita atau terlalu payah.Walaupun kemungkinan
ditolak, bahan tersebut dapat berfungsi sementara sebagai penghalang penguapan
berlebihan, pencegah infeksi yang lebih parah, dan mengurangi nyeri.Namun,
sedikit demi sedikit penutup sementara ini harus diganti dengan kulit penderita
sendiri sebagai penutup permanen.

Sebaiknya pada penderita luka bakar derajat dua dalam dan derajat tiga
dilakukan skin grafting untuk mencegah terjadinya keloid dan jaringan parut yang
hipertropik.Skin grafting dapat dilakukan sebelum hari kesepuluh, yaitu sebelum
timbulnya jaringan granulasi.
Saat ini telah banyak terdapat material pengganti kulit (skin subtitute) yang
dapat digunakan jika skin grafting tidak bisa dilakukan.Skin subtitute ini antara
lain integra, aloderm, dan dermagraft. Aloderm adalah dermis manusia yang
elemen-elemen epitelnya telah dibuang sehingga secara teoritis bersifat bebas
antigen, dan berfungsi sebagai kerangka pengganti dermis.Dermagraft merupakan
hasil pembiakan fibroblas neonatus yang digabung dengan membran silikon,
kolagen babi, dan jaring (mesh) nilon.Setelah dua minggu, membran silikon
dikelupas dan digantikan dengan STTG (split thickness skin graft).Integra
merupakan analog dermis yang terbuat dari lapisan kolagen dan kondroitin
ditambah lapisan silikon tipis.

Jenis Parut Akibat Luka Bakar(7)

Ada tiga jenis parut utama yang biasanya disebabkan oleh luka bakar:
Keloid, Parut hipertrofik dan kontraktur. Keloid adalah jaringan parut yang tebal
tak beraturan dan membesar secara progresif akibat pembentukan kolagen yang
berlebihan dalam lapisan korium selama pembentukan jaringan ikat pada bekas
luka. Parut akan tumbuh di luar lokasi yang luka. Parut ini biasanya berwarna
merah muda atau merah dan pada akhirnya akan menjadi berwarna coklat gelap.
Parut Hipertrofik biasanya berwarna merah, tebal, berbeda dengan keloid, parut
hipertrofik berada di luar lokasi dari luka. Kontraktur adalah suatu pengencangan
kulit yang permanen yang bisa mempengaruhi otot dan tendon dibawahnya
sehingga membatasi pergerakan dan mungkin merusak atau mengurangi fungsi
saraf.

1. Keloid
Keloid adalah suatu pertumbuhan yang terlalu cepat dari jaringan parut.
Parut akan tumbuh di luar lokasi luka. Parut ini biasanya berwarna merah muda
atau merah dan pada akhirnya akan menjadi berwarna coklat gelap. Keloid terjadi
ketika tubuh melanjutkan prosesnya untuk menghasilkan kolagen suatu protein
berserat kuat, setelah luka telah disembuhkan. Parut keloid biasanya tebal,
bersimpai, kaku dan gatal selama proses pembentukan dan perkembangannya.
Keloid yang luas bisa membatasi pergerakan. Apalagi, gesekan dari pakaian atau
jenis friksi lain bisa mengiritasi keloid. Orang-orang berkulit gelap lebih mudah
untuk mengalami Keloid dibanding mereka yang mempunyai kulit berwarna putih
dan angka kejadian terjadinya Keloid berkurang sesuai dengan umur.

Keloid bisa dikurangi ukurannya dengan cryotherapy (pembekuan), tekanan


dari luar, suntikan kortison, suntikan steroid, radiasi atau dengan pembedahan.
Jika suntikan dan tekanan dari luar seperti balut tekan tidak cukup, jaringan parut
dapat dioperasi, hal ini biasanya dilakukan pada pasien dengan anestesi lokal dan
mereka bisa kembali ke pekerjaan atau sekolah dalam beberapa hari. Dokter anda
boleh merekomendasikan bahwa kamu memakai balut tekan di atas area yang atas
selama satu tahun untuk mencegah Keloid dari kekambuhan.adalah mungkin
bahwa prosedur ini akan perlu untuk diulangi sedikitnya tiap tahun sebab Keloid
mempunyai suatu kecenderungan untuk timbul kembali.

Gambar 8. Keloid

2. Parut Hipertrofik
Parut Hipertrofik biasanya berwarna merah, tebal dan timbul, bagaimanapun
juga mereka berbeda dengan Keloid karena mereka tumbuh di bawah jaringan
yang mengalami luka. Apalagi, Parut Hipertrofik akan tumbuh dari waktu ke
waktu. Pertumbuhannya ini bagaimanapun juga dapat dikurangi dengan bantuan
steroid atau suntikan.

Gambar 9. Parut Hipertrofik


Tabel 2. Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik(6)

Keloid Parut Hipertrofik

Permulaan Timbul setelah beberapa bulan atau tahun Timbul dalam beberapa
minggu

Invasi Meluas ke daerah kerusakan epitel Terbatas pada bekas


kerusakan

Penyembuha Tak ada regresi Hilang sendiri


n

Predileksi Sternum,bahu,pipi,telinga,pinggang Dapat timbul dimanapun

Ras/bangsa Ras kulit gelap/hitam Ras kulit putih

Luka bakar Mungkin Sering

Gatal Jarang hebat Sangat mengganggu

3. Kontraktur
Suatu parut kontraktur adalah suatu pengencangan kulit yang permanen
yang bisa mempengaruhi otot dan tendon dibawahnya sehingga membatasi
pergerakan dan mungkin merusak atau mengurangi fungsi saraf.Kontraktur terjadi
ketika jaringan elastis normal digantikan dengan jaringan berserat yang tidak
elastis.Hal ini membuat jaringan tersebut resisten terhadap regangan dan
mencegah pergerakan normal area yang terpengaruh.

Fisioterapi, tekanan dan memperbanyak berlatih dapat membantu


mengendalikan kontraktur.Jika perawatan ini tidak bisa mengendalikan efek
kontraktur, pembedahan mungkin diperlukan.Suatu skin graft atau suatu prosedur
penutupan mungkin bisa dilakukan.Apalagi dokter anda bisa merekomendasikan
suatu teknik baru seperti Z-Plasty atau perluasan jaringan.

Gambar 10. Kontraktur

Prosedur Bedah Jaringan Parut

Terdapat dua tipe besar prosedur bedah yang dapat menghilangkan


jaringan parut dan mengganti jaringan yang hilang pada korban luka bakar berat:
dermabrasi dan skin graft. Dermabrasi adalah prosedur bedah yang bertujuan
meminimalisasi penampilan jaringan parut, mengembalikan fungsi dan
mengkoreksi kelainan bentuk akibat dari luka.Skin graft adalah prosedur bedah
dimana sepotong kulit yang berasal dari tubuh pasien di transplantasikan ke
daerah lain dari tubuh.6,7

a. Dermabrasi
Dermabrasi adalah prosedur bedah yang bertujuan meminimalisasi
penampilan jaringan parut, mengembalikan fungsi dan mengkoreksi kelainan
bentuk akibat dari luka.Dermabrasi digunakan untuk menghaluskan jaringan parut
dengan “mencukur” atau mengikis lapisan kulit teratas. Walaupun dermabrasi
dapat menghaluskan permukaan jaringan parut,proses ini tidak akan
menghilangkan jaringan parut tersebut. Jaringan parut akan tetap ada akan tetapi
penampilannya akan menjadi lebih baik seiring dengan waktu.

Prosedur ini dapat dilaksanakan di tempat praktek bedah kulit atau di


fasilitas kesehatan lain bagi pasien yang berobat jalan. Segera setelah pembedahan
ini dilakukan, kulit akan diberikan salep, perban yang basah atau mengandung
lilin,perawatan kering atau kombinasi dari keduanya. Biasanya kulit akan terlihat
merah dan bengkak setelah pembedahan. Pembengkakan ini akan berlanjut selama
2 – 3 minggu. Pasien akan mengalami rasa nyeri, gatal atau rasa terbakar setelah
pembedahan yang menandakan kulit baru yang mulai tumbuh. Krusta akan
terbentuk di area yang sudah mulia menyembuh, bagaimanapun jika salep
dioleskan pada daerah yang terluka segera setelah pembedahan maka hanya akan
ada sedikit atau tidak ada krusta sama sekali. Seiring dengan proses
penyembuhan, krusta akan luruh meninggalkan lapisan kulit baru yang berwarna
merah jambu. Jika daerah tersebut tetap berwarna merah, bengkak dan terasa gatal
mungkin ini merupakan tanda pembentukan jaringan parut abnormal.Hal ini harus
segera dilaporkan pada ahli bedah yang bersangkutan.

Setelah pembedahan, pasien dapat beraktifitas dengan normal seperti


kembali bekerja dalam waktu 2 minggu.Pasien disarankan untuk menghindari
aktivitas yang dapat menyebabkan benturan pada area yang di operasi selama 2
minggu.Olah raga harus dihindari untuk 4 – 6 minggu setelah operasi. Sangatlah
penting untuk melindungi kulit selama 6 – 12 bulan sampai proses pigmentasi
kulit lengkap terbentuk. Warna kulit akan kembali normal dalam waktu sekitar 3
bulan. Pada saat repigmentasi kulit sudah lengkap, warna kulit akan tampak sama
dengan warna kulit sekitarnya.2

Gambar 9. Dermabrasi
b. Skin Graft

Skin graft adalah prosedur bedah dimana sepotong kulit yang berasal dari
tubuh pasien di transplantasikan ke daerah lain dari tubuh. Kulit dari orang lain
atau dari binatang mungkin digunakan sebagai penutup sementara pada luka bakar
luas untuk menghindari kehilangan cairan. Kulit yang diambil dari donor haruslah
kulit yang sehat dan diiplantasikan ke daerah kulit yang rusak dari resipien.

Skin graft merupakan prosedur bedah yang lebih rumit daripada


dermabrasi.Skin graft biasanya dilakukan di rumah sakit besar di bawah anestesi
umum.Waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan tergantung dari luas dan
keparahan luka, antara 6 minggu sampai beberapa bulan. Dalam 36 jam pertama
setelah pembedahan, pembuluh darah yang baru akan mulai terbentuk pada kulit
yang ditransplantasi. Pada umumnya skin graft berhasil, tetapi ada beberapa yang
membutuhkan pembedahan tambahan jika proses penyembuhan tidak berjalan
dengan sempurna.2

Ada beberapa tipe dari skin graft: pinch,split - thickness,full – thickness


dan pedicle graft.

 Pinch Graft : potongan kulit sebesar ¼ inchi dipasang pada donor. Bagian
kulit yang kecil ini kemudian akan tumbuh menutup area yang terluka.
Kulit ini akan tumbuh bahkan didaerah dengan suplai darah yang terbatas
dan dapat mencegah infeksi.
 Split – thickness graft : terdiri dari lapisan superficial dan lapisan dalam
dari kulit yang berbentuk helaian. Graft yang diambil dari daerah donor
dapat mencapai lebar 4 inchi dan panjang 10 – 12 inchi. Graft ini
kemudian ditempel pada area resipien. Segera setelah graft ditanam daerah
tersebut dapat ditutup dengan balut tekan atau dibiarkan terbuka. Split
thickness graft digunakan pada bagian tubuh yang tidak menyangga berat
badan (non weight bearring).
 Full – thickness graft : digunakan pada bagian tubuh yang menyangga
berat badan dan yang cenderung mengalami gesekan seperti telapak kaki
dan sendi. Full thickness graft terdiri dari semua lapisan kulit termasuk
pembuluh darah. Pembuluh darah dari area resipien akan tumbuh
menyambung area transplantasi dalam 36 jam.
 Pedicle graft: dengan pedicle graft bagian dari kulit yang digunakan dari
daerah donor akan tetap menempel pada daerah tersebut dan sisanya akan
menempel pada daerah resipien. Suplai darah akan tetap utuh pada daerah
donor dan tidak akan dipotong sampai suplai pembuluh darah baru
terbentuk dengan lengkap. Prosedur ini pada umumnya dilakukan pada
tangan, wajah atau sekitar leher.

Gambar 10. Skin Graft


Keberhasilan skin graft dapat diperkirakan 72 jam setelah pembedahan.
Jika transplantasi kulit ini dapat melewati 72 jam pertama tanpa infeksi atau
trauma, tubuh pada umumnya tidak menolak transplantasi ini. Sebelum
pembedahan, area donor dan resipien harus bebas dari infeksi dan mempunyai
suplai darah yang stabil.Prosedur lanjutan yang berupa memindahkan atau
meregangkan area resipien harus dihindari. Perban yang digunakan harus steril
dan biasanya diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.2

Medikamentosa

Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi.Yang


banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap
pseudomonas.Bila ada infeksi, antibiotik diberikan berdasarkan hasil biakan dan
uji kepekaan kuman.

Untuk mengatasi nyeri, paling baik diberikan opiat melalui intravena


dalam dosis serendah mungkin yang bisa menghasilkan analgesia yang adekuat
namun tanpa disertai hipotensi.

Selanjutnya, diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.

Luka bakar derajat satu dan dua yang menyisakan elemen epitel berupa
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat diharapkan
sembuh sendiri, asal dijaga supaya elemen epitel tersebut tidak hancur atau rusak
karena infeksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan infeksi.Pada luka
lebih dalam, perlu diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang
mati dan memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai mencapai
dasar jaringan mati.Perawatan setempat dapat dilakukan secara terbuka atau
tertutup.

Ada beberapa jenis obat yang dianjurkan seperti golongan silver


sulfadiazine dan yang terbaru MEBO (moist exposure burn ointment).Obat topikal
yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep atau krim.Antibiotik dapat diberikan
dalam bentuk sediaan kasa (tulle).Antiseptik yang dipakai adalah yodium povidon
atau nitras-argenti 0,5%. Kompres nitras-argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam
efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman. Obat ini mengendap sebagai
garam sulfida atau klorida yang memberi warna hitam sehingga mengotori semua
kain. Krim silver sulfadiazine 1% sangat berguna karena bersifat bakteriostatik,
mempunyai daya tembus yang cukup, efektif terhadap semua kuman, tidak
menimbulkan resistensi, dan aman. Krim ini dioleskan tanpa pembalut, dan dapat
dibersihkan dan diganti setiap hari.

Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah.Permukaan luka


yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang.
Kerugiannya, bila digunakan obat tertentu, misalnya nitras-argenti, alas tidur
menjadi kotor. Penderita dan keluarga pun merasa kurang enak karena melihat
luka yang tampak kotor.Sedapat mungkin luka yang tampak kotor.Sedapat
mungkin luka dibiarkan terbuka setelah diolesi obat.

Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang


dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi tutupnya
sedeikian rupa sehingga masih cukup longgar untuk berlangsungnya
penguapan.Keuntungan perawatan tertutup adalah luka tampak rapi, terlindung,
dan enak bagi penderita.Hanya, diperlukan tenaga dan dan lebih banyak pembalut
dan antiseptik. Kadang suasana luka yang lembap dan hangat memungkinkan
kuman untuk berkembang biak. Oleh karena itu, bila pembalut melekat pada luka,
tetapi tidak berbau, sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi ditunggu sampai terlepas
sendiri.1

Permasalahan Pasca Luka Bakar


Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah jaringan parut yang
dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi
dan menyebabkan kekakuan sendi atau menimbulkan cacat estetik yang buruk
sekali sehingga diperlukan juga ahli ilmu jiwa untuk mengembalikan kepercayaan
diri.5
Permasalahan-permasalahan yang ditakuti pada luka bakar:
 Infeksi dan sepsis
 Oliguria dan anuria
 Oedem paru
 ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome )
 Anemia
 Kontraktur
 Kematian

Komplikasi
 Gagal ginjal akut
 Gagal respirasi akut
 Syok
 Sepsis
 SIRS
 MODS

Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ


Dysfunction Syndrome (MODS), dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap
berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma,
luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.Respon ini merupakan
dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya
bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh
beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara
berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-
organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ
terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction
Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ
Failure/MOF).
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection,
injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury.
Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of
Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2
rendah (PaCO2< 32 mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000
sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS. Pada dasarnya MODS
adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut
sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa
intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang
berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan
kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang
berawal dari SIRS.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien
luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori
yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya
terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan
penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus
terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa
menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah
terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora
normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya
akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap
kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak
oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut
menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang
memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena
gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik
(ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal
khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir
dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang
meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama
gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi
barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang
sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis.
LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang
pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada
hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas
pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik
pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras
seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-
inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak
hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan
kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka
bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang
mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran
cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein
Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation
(DIC). Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.7

Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan
kecepatan pengobatan medikamentosa.Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari
tanpa adanya jaringan parut.Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari
dan mungkin menimbulkan luka parut. Luka bakar mayor membutuhkan lebih
dari 14 hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan parut. Jaringan parut
akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan
diperlukan untuk membuang jaringan parut
DAFTAR PUSTAKA

Leksmono P. Neuralgia Trigeminal, PKB III Ilmu Penyakit Saraf, Nyeri :


Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Surabaya, 1997.

Mardjono M, Sidharta P, Saraf Otak kelima atau Nervus Trigeminus dalam


Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.

Meliala L . Neuralgia Kranial, dalam Meliala L, Suryamiharja A, Purba JS dkk,


Nyeri Neuropatik: Patofisiologi dan Penatalaksanaan, 2001
Pontoh, Lely M., Engeline Angliadi. Rehabilitasi Medik Pada Poliomielitis-
Jurnal Biomedik (JBM), Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado ,Volume 7, Nomor 2, Juli 2015, hlm.117-124 diakses pada 19 September
2017 dalam
http://www.google.co.id/ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/viewFil
e
Mardjono, Mahar DR.Prof., Sidharta, Priguna DR.Prof. 2003. Neurologi

Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. Hal : 20 – 27, 35, 85

Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Hal 7

Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam

Neurologi. Hal : 115 – 131, 434 – 443.

http://www.gigermd.com

http://www.drmunirel.com

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2005. Pocket        Guide
to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Dari   http//www.goldcopd.org.
diambil juli 2012.

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner


&   Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta:          EGC

Sjamsuhidajat, de Jong. Luka bakar. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3. Jakarta:


penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. h. 103-110.

Sherwood, Lauralee. Pertahanan Tubuh. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem.


Edisi 2. 2001. Jakarta: EGC.
Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. H. 404-
409
Georgiade GS, Pederson WC, Luka bakar. Dalam: Sabiston DC, Jonatan O,
editors. Buku ajar bedah. Jakarta. EGC, 1995. Hal 151-63.
Robert. H, Demling. MD. Current Surgical Diagnosis & Treatment. Doherty,
Gerard M, Way, Lawrence W (editor). 2006. Hlm: 248

Steven J. Schwults, J Perren Cobb. Wasington Manual Of Surgery, Ed 5. 2008.


Hlm: 418-425.

Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR,
Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery. 8 th ed.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.

Anda mungkin juga menyukai