Anda di halaman 1dari 13

Makalah

Perbankan Syariah
Tentang:

“Pembiayaan Mudharabah”

Disusun Oleh :
Kelompok V

Felia Salsabila 1913040083


Asih Sri Wiayu 1913040087
Aisyavia Rahmawati 1913040094
Ahmad Shoufi 1913040091

Dosen Pengampu : Muhammad


Hamzah,ME

HUKUM EKONOMI SYARIAH B


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
2021 M/ 1443 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga
pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dengan judul “PEMBIAYAAN
MUDHARABAH”, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “PERBANKAN
SYARIAH”.

Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kelemahan
dan kekurangan baik dari segi penyajian maupun materinya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya
kemampuan dan pengetahuan pemakalah. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan
kritikkan dari semua pihak yang bersifat membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan
makalah ini.

Pemakalah berharap semoga makalah ini akan memeberikan manfaat khususnya bagi
kami dan pembaca.

Padang, 01 Oktober 2021

(Pemakalah)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prinsip mudharabah adalah bagian dari produk perbankan syariah yang unik, karena
memiliki perbedaan filosofis antara sistem perbankan konvensional dengan perbankan syariah yang
menganut prinsip bagi keuntungan atau kerugian. Mudharabah merupakan usaha kemitraan meliputi
pemilik modal (shahib al-mal) dan pelaku usaha (mudharib), bertujuan untuk meraih keuntungan (al-
ribh) dan dibagi sesuai kesepakatan dalam akad. Skim ini terbagi menjadi jenis mudharabah
muthlaqah (investasi tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (investasi terikat). Ketentuan
penerapan mudharabah diatur sesuai prinsip syariah sebagaimana amanat undang-undang perbankan
syariah. Pengaturan mudharabah menurut perspektif hukum Islam terkodefikasi pada literatur klasik
berupa prinsip syariah dari hasil ijtihad para ulama sesuai konteks zaman yang bercorak tradisional,
sedangkan pada zaman moderen pengaturan mudharabah telah berkembang menjadi bagian dari
produk perbankan syariah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional. Pengaturan prinsip
mudharabah menurut perspektif hukum positif tertera pada undang-undang perbankan syariah yang
diperjelas oleh Peraturan Bank Indonesia sebagai aturan pelaksanaannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu mudharabah
2. Bagaimana penerapan murabahah diperbankan
3. Apa itu nisbah keuntungan
4. Contoh kasus mudharabah
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUDHARABAH
a) Pengertian Murabahah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam
bahasa arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti.
Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar
berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya (al-wasit, 1972).
Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan
konteks yang membentuknya.
Menurut terminilogis, mudharabah diungkap secara bermacam-
macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi,
“suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam keuntungan dengan modal dari
salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain (Abidin, 1987 hlm 483).”
Sedangkan madzhab Maliki mendefinisikan sebagai penyerahan uang dimuka
oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seseorang
yang akan menjalankan usaha dengan uang
tersebut dan imbalan sebagian dari keuntungannya (Al-Dasuqi, 1989 hlm63).1
Madzhab Syafi‟i mendefinisikan bahwa pemililk modal menyerahkan
sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dengan
keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya (Al-Nawawi:
289). Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu
barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang
yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari
keuntungannya (Al- Bahuti: 509).
Mudharabah adalah akad antar pihak pemilik modal (shahibul
maal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau
keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah
yang telah disepakati diawal akad (Wirdyaningsih, 2005 hlm 130).2

1
Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014, h.113.
2
Ibid.hal 114
Menurut Khotibul Umam, mudharabah adalah penanaman dana
dari pemelik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode
bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi
pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya. 3
Afzalur Rahman mendefinisikan mundharabah sebagai bentuk
kontrak kerja sama yang didasarkan pada prinsip profit sharing, yang satu
sebagai pemilik modal dan yang kedua menjalankan usaha. Modal disini
berupa uang dan tidak boleh berbentuk barang. Pemilik modal dapat disebut
shahibul maal, rabbul maal, atau propretior. Pengelola modal disebut
mundharib. Modal yang digulirkan disebut ra‟sul maal.4

2. Landasan hukum pembiayaan mudharabah


Secara umum, landasan dasar syariah Al-Mudharabah lebih
mencerminkan anjuran untuk melaksanakan usaha. Hal ini tampak dalam
ayat-ayat dan hadis berikut ini:
a. Al-Qur‟an
1) Al-Muzzammil: 20

‫ للٱ لضف هم نىغتبي ضرلۡٱ يف نىبزضي‬٠٢


‫نوزخاءو‬....

“Dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari


sebagian karunia Allah SWT”(Al-Muzzammil: 20).
2) Al-Jumu‟ah: 10

‫ للٱ لضف هم اىغتبٱو ضرلۡٱ يف اوزشتوٲف ةىلصلٱ‬٠٢


‫تيضق اذاف‬

“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka


bumi dan carilah karunia Allah SWT.” (Al-Jumu‟ah: 10).

33
Khotibul Umam, Perbanan Syariah: Dasar-dasar dan Dinamika Perkembangannya di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Pres, 2016, h. 131
4
Ahmad Dahlan, Bank Syariah: Teoritik praktik Kritik, Yogyakarta: Teras, 2012, h.129.
b. Al-Hadist
HR. Thabrani

“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai


mundharabah, ia mensyaratkan kepada mundharib-nya agar tidak
mengurangi lautan, dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mundharib) harus
menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan abai itu
didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dai Ibnu
Abbas)5

3. Rukun dan syarat mudharabah

Sebagaimana akad lain dalam syariat islam, akad mudharabah menjadi


sah, maka harus memenuhi rukun dan syarat mudharabah. Menurut madhzab
Hanafi, apabila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi maka
rukun menjadi tidak lengkap sehingga akad tersebut menjadi fasid (rusak).
Sedangkan rukun dalam mudharabah berdasarkan Jumhur Ulama
ada 3 yaitu: dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma‟qud
alaih), dan shighat (ijab dan qabul). Ulama syafi‟iyah lebih memerinci lagi
menjadi enam rukun (Suhendi, 2002 hlm 139):

a. Pemilik modal (shohibul maal)


b. Pelaksanaan usaha (mudharib atau pengusaha)
c. Akad dari kedua belah pihak (ijab dan kabul)
d. Objek mudharabah (pokok atau modal)
e. Usaha (pekerjaan pengelola modal)
f. Nisbah keuntungan.

5
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subuh As-Salam, Juz 3, Maktabah Wa Mathba‟ah Mushthafa Al-
halabi, Mesir,1960, hal.76.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang
menjadi rukun akad mudharabah adalah ijab dan qabulsaja, sedangkan sisa
rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, sebagai syarat akad
mudharabah.Adapun syarat-syarat mudharabah berhubungan dengan pelaku
mudharabah (al- aqidani),modal dan akad. Bagi pemilik modal dan
pengusaha harus cakap bertindak hukum dan cakap untuk menjadi wakil.

B. PENERAPAN MUDHARABAH DIPERBANKAN


Mudharabah dalam perbankan diterapkan pada produk-produk
pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mundharabah
diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,
seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito, dan sebagainya.
b. Deposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah
khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mundharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mundharabah diterapkan untuk:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b. Investasi khusus, disebut juga mundharabah muqayyadah dimana sumber dana
khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan
oleh shahibul maal

C. NISBAH DAN KEUNTUNGAN

Nisbah keuntungan adalah salah satu rukun yang khas dalam akad mudharabah,
yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak
diterima oleh kedua belah pihak yang bermudhorobah. Mudhorib mendapat imbalan atas
kerjanya, sedangkan shahibul al-mal mendapatkan imbalan atas penyartaan modalnya.
Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua
pihak mengenai cara pembagian keuntungan, adapun nisbah keuntungan harus dinyatakan
dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal
tertentu.6

6
Adiwarman Karim,Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan edisi II.(Jakarta PT Raja Grafindo Persada
2004) Hal 194.
Penentuan besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing
pihak yang berkontrak, tetapi dalam prakteknya diperbankan modern, tawar-
menawar nisbah antara pemilik modal (yakni investor dan deposan) dengan bank syariah
hanya terjadi bagi deposan/ investor dengan jumlah besar, karena mereka ini memiliki daya
tawar yang relatif tinggi. Kondisi seperti ini sebagai sepesial nisbah, sedangkan untuk
nasabah drposan kecil tawar-menawar tidak terjadi.

Bank syari`ah akan mencantumkan nisbah yang ditawarkan, deposan boleh setuju
boleh tidak. Bila setuju maka ia akan melanjutkan menabung, sebaliknya bila tidak setuju
dipersilahkan mencari bank syari`ah lain yang menawarkan nisbah
lebih menarik.7
Hal-hal yang berkaitan dengan nisbah bagi hasil yaitu:
1) Presentase
Nisbah keuntungan harus didasarkan dalam bentuk prosentase antara kedua belah
pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Nisbah keuntungan
itu misalnya 50:50, 70:30, 60:40, atau 99:1. Jadi nisbah keuntungan ditentkan
atas kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak
boleh dinyatakan dalam bentuk nominal rupiah tertentu, misalnya shahibul al-maal
mendapat Rp 50.000,00 dan mudharib mendapat Rp50.000,00.
2) Bagi Untung Bagi Rugi
Keuntungan diatas itu merupakan konsekuensi yang logis dari karateristik akad
mudharabah itu sendiri, yang tergolong kedalam kontrak investasi (naturel
uncertainty contracts). Dalam k0ntrak ini, return dan timing cash flow kita
tergantung kepada kinerja sektorriilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah
pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat
bagian yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba
ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu.

Bila dalam akad mudharabah ini mendapat kerugian, pembagian kerugian itu bukan
didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alasan
mengapa nisbah disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja, karena nisbah
50:50, atau 99:1 itu hanya diterapkan bila bisnisnya untung. Bila bisnisnya rugi, kerugian
itu harus dibagi berdasarkan porsi masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah. Hal
ini karena ada perbedaan kemampuan mengabsorsi/menanggung kerugian di

7
Ibid,hal 197
antara kedua belah pihak. Bila untung, tidak ada masalah untuk menikmati untung. Karena
sebesar apapun keuntungan yang terjadi, kedua belah pihak akan selalu dapat menikmati
keuntungan itu. lain halnya kalau bisnisnya merugi.
Kemampuan shahibuil al-maal untuk menanggung kerugian finansial tidak
sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi
berdasarkan proporsi modal (finansial) shahibul al-maal dalam kontrak ini adalah 100%
maka kerugian (finansial) ditanggung 100% pula oleh shahibul al-maal. Di lain pihak,
karena prop kontrak ini adalah 0% andaikata terjadi kerugian, mudharib akan menanggung
kerugian ( finansial ) sebesar 0 % pula.
Apabila bisnis rugi, sesungguhnya mudharib akan menanggung kerugian
hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan untuk menjalankan bisnis itu.
Kedua belah pihak sama- sama menanggung kerugian, tetapi bentuk kerugian
yang ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan objek mudharabah
yang di kontribusikan. Bila yang dikontribusikan adalah uang, resikonya
adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan yang di kontribusikan adalah kerja, rsikonya
adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya, sehingga tidak
mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya selama berbisnis.

3) Jaminan
Ketentuan pembagian kerugian bila kerugian yang terjadi hanya murni
diakibatkan oleh resiko bisnis (business risk), bukan karena resiko karakter buruk
mudharib (character risk). Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misalnya
karena midharib lalai dan atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak
mudharabah, maka shahibul al-maal tidak perlu menanggung kerugian seperti
ini.“Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh
mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya.
Jelas hal ini konteksnya adalah business risk.”

4) Menentukan Besarnya Nisbah


Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing- masing pihak yang
berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-menawar
antara shahib al-maal dengan mudharib. Dengan demikian angka nisbah ini
bervariasi, bisa 50:50. 60:40, 70:30,80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih
sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak diperbolehkan.8
5) Cara Menyelesaikan Kerugian
Jika terjadi kerugian, cara penyelesaiannya diambil terlebih dahulu dari
keuntungan, karena keuntungan merupakan perlindungan dari modal. Kemudian
bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal

D. Contoh Kasus Mudharabah

contoh akad mudharabah yang di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.


Si A (pemilik modal) dan si B (pengelola) melakukan kerjasama usaha selama satu
tahun (12 bulan). Pemilik modal si A memberikan modal usaha sebesar 50 juta. Kemudian
keduanya menyepakati nisbah bagi hasil 40:60 (40% keuntungan kepada shahibul maal).

Setelah menjalankan usahanya selama satu tahun (12 bulan) modal usaha telah berkembang
menjadi 70 juta, sehingga pengelola memperoleh keuntungan sebesar 20 juta. Maka sesuai
dengan perjanjian yang telah dibuat pemilik modal berhak mendapat keuntungan (40% x
20 Juta) yakni Rp. 8 Juta untuk pemilik modal, dan sisanya 12 juta menjadi hak mudhorib.

Contoh mudharabah antar dua pihak saja yaitu shahibul maal yang bermitra
dengan mudharib untuk usaha percetakan selama 9 bulan. Shahibul Maal memberikan
uang untuk modal usaha sebesar Rp. 20 juta. Kedua belah pihak sepakat dengan nisbah
bagi hasil 40:70 (40% keuntungan untuk shahibul maal).
Setelah mudharib menjalankan usaha selama 9 bulan, modal usaha telah
berkembang menjadi Rp. 35 juta, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 15 Juta (Rp.
35 juta – Rp. 20 Juta). Maka, shahibul maal berhak mendapatkan keuntungan sebesar Rp.
3 Juta (40% x Rp. 6 juta) dan sisanya sebesar Rp. 9 juta menjadi hak mudharib.

8
Ibid,hal 199
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Mudharabah adalah akad antar pihak pemilik modal (shahibul maal) dengan pengelola
(mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut
dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati diawal akad.
Mudharabah dalam perbankan diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan.
Pada sisi penghimpunan dana, mundharabah diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan kurban, deposito, dan sebagainya.
b. Deposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu, misalnya mundharabah saja atau ijarah saja.

Nisbah keuntungan adalah salah satu rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada
dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah
pihak yang bermudhorobah. Mudhorib mendapat imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul al-mal
mendapatkan imbalan atas penyartaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah
terjadinya perselisihan antara kedua pihak mengenai cara pembagian keuntungan, adapun nisbah
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan
dalam nilai nominal tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan edisi II.(Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada 2004)

Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subuh As-Salam, Juz 3, Maktabah Wa Mathba‟ah

Mushthafa Al- halabi, Mesir,1960

Khotibul Umam, Perbanan Syariah: Dasar-dasar dan Dinamika Perkembangannya di

Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2016)

Ahmad Dahlan, Bank Syariah: Teoritik praktik Kritik, (Yogyakarta: Teras, 2012)

Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014)

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahannya

Anda mungkin juga menyukai