MATERI APENDISITIS
Disusun Oleh :
1. Nasyahwa Rifa N 2010701044
2. Fina Afyanita 2010701049
3. Valve Oktiviyani 2010701061
4. Karina 2010701068
5. Putri Yulia S 2010701070
6. Latifah Rahma A 2010701076
7. A’tina Hubbaka 2010701077
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih
kepada dosen pengampu yaitu Ibu Ns. Cut Sarida Pompey S.Kep.,M.N.S. selaku dosen dari
mata kuliah Medikal Bedah karena telah membantu kelancaran dalam pembuatan makalah
ini.
Penulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak makalah ini dibuat
,kami berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan informasi tentang
“Apendisitis” dalam proses belajar mahasiswa D3 Keperawatan UPN Veteran Jakarta dan
semoga materi ini dapat membimbing mahasiswa menjadi perawat yang berkompetensi dan
profesional dimasa yang akan datang.
Kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Selain itu, kami
berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan tercapainya tujuan dari
penulisan makalah ini.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.....................................................................................................................5
A. Latar Belakang.......................................................................................................................5
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
a. Pengertian dan Klasifikasi......................................................................................................6
B. Prevelensi......................................................................................................................7
C. Etiologi dan Faktor Resiko...........................................................................................7
D. Patofisiologi...........................................................................................................................8
E. Tanda Gejala..........................................................................................................................9
F. Komplikasi.............................................................................................................................9
G. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................10
H. Penatalaksanaan Medis........................................................................................................11
I. Asuhan Keperawatan............................................................................................................12
Kasus.......................................................................................................................................12
1) Analisa Data.......................................................................................................................12
2) Diagnosa Keperawatan......................................................................................................13
3) Intervensi Keperawatan....................................................................................................14
4) Implementasi Keperawatan..............................................................................................17
5) Evaluasi...............................................................................................................................20
J. Pathway.................................................................................................................................23
BAB III....................................................................................................................................24
PENUTUP...............................................................................................................................24
A. Kesimpulan..........................................................................................................................24
B. Saran....................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendisitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan merupakan
penyebab masalah abdomen yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010).
Apendiksitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang terjadi. Insidensi pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak
daripada wanita (Santacroce dalam Muttaqin, 2013). Apendisitis ditemukan pada
semua kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun (Ajidah & Haskas, 2014).
Komplikasi apendisitis yang sering terjadi yaitu apendisitis perforasi yang dapat
menyebabkan perforasi atau abses sehingga diperlukan tindakan pembedahan
(Haryono, 2012).
Lama hari rawat inap pasien-pasien dengan post apendiktomi di rumah sakit
sangatlah bervariasi. Hal tersebut bergantung pada jenis apendisitisnya. Apabila
apendiks tidak ruptur, lama hari rawat pasien 1-2 hari. Namun jika terdapat perforasi
maka dapat memperlama hari rawat menjadi 4-7 hari, terutama jika terjadi peritonitis
(Sjamsuhidayat, 2011).
Menurut Potter & Perry (2010), pasien dengan post apendiktomi biasanya
merasakan nyeri yang mengakibatkan takut untuk bergerak. Padahal efek anestesi bisa
mengakibatkan gangguan fungsi tubuh, aliran darah tersumbat, peningkatan intensitas
nyeri, dan penumpukan sekret pada saluran pernapasan yang dapat mengakibatkan
pneumonia. Berdasarkan alasan tersebut maka tindakan mobilisasi dini sangatlah
penting, namun mobilisasi harus tetap dilakukan secara hati-hati.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian, tipe/kasifikasi apendisitis
2. Menjelaskan prevelensi apendisitis
3. Menjelaskan etiologi da faktor riisiko apendisitis
4. Menjelaskan patofisiologi apendisitis
5. Menjelskan tanda gejala apendisitis
6. Menjelaskan komplikasi apendisitis
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjang apendisitis
8. Menjelaskan penatalaksanaan medis apendisitis
9. Menjelaskan asuhan keperawatan apendisitis
10. Menjelaskan pathway apendisitis
C. Tujuan
1 Mahasiswa dapat mengetahui pengertian, tipe/klasifikasi apendisitis
2 Mahasiswa dapat mengetahui prevelensi apendisitis
3 Mahasiswa dapat mengetahui Etiologi dan faktor risiko apendisitis
4 Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi apendisitis
5 Mahasiswa dapat mengetahui tanda gejala apendisitis
6 Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi apendisitis
7 Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang apendisitis
8 Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksaan medis apendisitis
9 Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan apendisitis
10 Mahasiswa dapat mengetahui pathway apendisitis
BAB II
PEMBAHASAN
Klasifikasi
Menurut Mardalena (2017 :150), menjelaskan klasifikasi apendisitis menjadi dua,
yaitu :
a. Appendisitis akut
Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberikan tanda setempat.
Gejala apendisistis akut antara lain nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
visceral di daerah epigastrium disekitar umbilicus. Keluhan ini disertai rasa mual,
muntah dan penurunan nafsu makan.
b. Appendisitis kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru bisa ditegakkan jika ditemukan tiga hal yaitu,
pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen
selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif diagnosis lain. Kedua, setelah
dilakukan apendiktomi, gejala yang dialami pasien akan hilang. Ketiga, secara
histopatologik gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif
atau fibrosis pada apendiks.
B. Prevelensi
Apendisitis merupakan peradangan apendiks yang membahayakan jiwa jika tidak
segera ditangani, terjadi infeksi berat yang dapat menyebabkan lumen usus pecah.
1. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2010 mortalitas akibat
apendisitis di dunia mencapai 21.000 jiwa.
2. Kejadian apendisitis di Eropa tergolong tinggi sekitar 16% dibanding di
Amerika sebanyak 7%, Asia 4,8% dan Afrika 2,6% penduduk dari total
populasi.
3. Tingginya prevalensi di Eropa dan Amerika dipengaruhi oleh pola makan yang
rendah serat. Sedangkan di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah namun
cenderung meningkat dikarenakan pola makan yang mengikuti orang barat.
4. Prevalensi apendisitis di Indonesia pada tahun 2006, 2009, 2016, 2017
berturut-turut yaitu 28.949 pasien, 30.703 pasien, 65.755 pasien dan 75.601
pasien, hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah pasien apendisitis dari
tahun ke tahun.5,6,7 Kasus apendisitis disebutkan oleh Dinas Kesehatan
(Dinkes) Jawa Timur tahun 2017 sebanyak 5.980 penderita dengan 177
penderita berakibat kematian.
Faktor Risiko
1. Genetik
Faktor genetik ternyata ikut berperan menjadi penyebab meningkatnya risiko
seseorang mengalami radang usus buntu akut. Sebanyak 56 persen kasus usus
buntu mengacu pada faktor genetik.
Risiko anak mengalami usus buntu dapat meningkat hingga 10 kali lipat jika ada
salah satu anggota keluarga intinya (ayah, ibu, atau saudara kandung) memiliki
riwayat usus buntu, baik aktif atau sudah pernah diobati.
Penyebab radang usus buntu menjadi penyakit yang diwariskan dalam keluarga
dilaporkan terkait dengan golongan darah.Penelitian menemukan bahwa orang-
orang golongan darah A berisiko lebih tinggi mengalami usus buntu daripada
golongan O.
D. Patofisiologi
Obstruksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding
apendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh, karena
itu apendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai
rasa sakit disekitar umbilikus. Mukus yang terkumpul lalu terinfeksi oleh bakteri
menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum
terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium parietal
setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut
appendicitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul timbul alergen yang
disebut appendicitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah,
dinamakan appendicitis perforasi. Bila momentum usus yang berdekatan dapat
mengelilingi apendiks yang meradang / perforasi akan timbul suatu masa lokal,
keadaan ini disebut appendicitis abses. Pada anak – anak karena momentum masih
pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang, dinding apendiks yang lebih
tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena
telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila
appendicitis infiltrat ini menyembuhkan dan kemudian gejalanya hilang timbul
dikemudian hari maka terjadi appendicitis kronis (Dermawan & Rahayuningsih,
2010).
E. Tanda Gejala
Gejala utama pada penyakit usus buntu adalah nyeri pada perut. Nyeri ini disebut
kolik abdomen. Rasa nyeri tersebut dapat berawal dari pusar, lalu bergerak ke bagian
kanan bawah perut. Namun, posisi nyeri dapat berbeda-beda, tergantung usia dan
posisi dari usus buntu itu sendiri. Dalam waktu beberapa jam, rasa nyeri dapat
bertambah parah, terutama saat kita bergerak, menarik napas dalam, batuk, atau
bersin. Selain itu, rasa nyeri ini juga bisa muncul secara mendadak, bahkan saat
penderita sedang tidur. Bila radang usus buntu terjadi saat hamil, rasa nyeri bisa
muncul pada perut bagian atas, karena posisi usus buntu menjadi lebih tinggi saat
hamil.
Gejala nyeri perut tersebut dapat disertai gejala lain, di antaranya:
Kehilangan nafsu makan
Perut kembung
Tidak bisa buang gas (kentut)
Mual
Konstipasi atau diare
Demam
F. Komplikasi
a. Perforasi apendiks jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk
dilakukan dalam masa tersebut. Tanda–tanda perforasi meliputi meningkatnya
nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis
umum / abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin
jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum / pembentukan abses telah terjadi
sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
b. Peritonitis–abses. Bila terjadi peritonitis umum terpai spesifik yang dilakukan
adalah operasi untuk menutup asak perforasi. Bila terbentuk abses apendiks akan
teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung kearah
rektum/vagina.
c. Dehidrasi
d. Sepsis
e. Elektrolit darah tidak seimbang
f. Pneumoni
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara
12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left)
dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah
leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis
2. Pemeriksaan urinalisis
membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu
ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika
inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya
lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis
acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih,
didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix
4. False positif
dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari
salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul
karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara
yang menghalangi appendix
5. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abscess, maka CT-scan dapadigunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakka jika appendix dilatasi lebih dari
5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil
sehingga memberi gambaran “halo”
H. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada appendisitis meliputi :
a. Sebelum operasi :
1. Obsevasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendisitis
seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilaksanakan. Klien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.
Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan
hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan toraks tegak
dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada
kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah
kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksidan abses intra
abdominal luka operasi pada klien apendiktomi.Antibiotik diberikan
sebelum, saat, hingga 24 jam pasca operasi dan melalui cara pemberian
intravena (IV) (Sulikhah, 2014).
b. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi. Apendiktomi
adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuang apendiks (Wiwik
Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya 16 operasi apendiktomi yaitu bila
diagnosa appendisitis telah ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan
yang meragukan diperlukan pemeriksan penunjang USG atau CT scan.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan
insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk memblokir sensasi rasa
sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi pada klien post operasi adalah
termanipulasinya organ abdomen sehingga terjadi distensi abdomen dan
menurunnya peristaltik usus. Hal ini mengakibatkan belum munculnya
peristaltik usus (Mulya, 2015) .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam 4 jam pasca
operasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi bertahap, dan dalam 8 jam
pertama setelah perlakuan mobilisasi dini pada klien pasca operasi abdomen
terdapat peningkatan peristaltik ususbahkan peristaltik usus dapat kembali
normal. Kembalinya fungsi peristaltik usus akan memungkinkan pemberian
diet, membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi serta mempercepat proses
penyembuhan.
Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi
apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi. Apendiktomi terbuka
dilakukan dengan cara membuat sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2 – 4
inci pada kuadran kanan bawah abdomen dan apendiks dipotong melalui
lapisan lemak dan otot apendiks. Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan
dari usus (Dewi, 2015).
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan membuat 3
sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah pusar,
fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang terhubung ke monitor
ke dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber cahaya dimasukkan.
Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah
seperti penjepit atau gunting. Ahli bedah mengamati organ abdominal secara
visual dan mengidentifikasi apendiks. Apendiks dipisahkan dari semua
jaringan yang melekat, kemudian apendiks diangkat dan dikeluarkan melalui
salah satu sayatan (Hidayatullah, 2014).
Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis dan antibiotika.Tindakan pembedahan dapat menimbulkan luka
insisi sehingga pada klien post operatif apendiktomi dapat terjadi resiko
infeksi luka operasi.
c. Pasca Operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Klien dibaringkan
dalam posisi terlentang. Klien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan. Puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
I. Asuhan Keperawatan
Kasus
Seorang pasien di rawat di RS dengan keluhan Nyeri pada area abdomen Kwadaran
kanan bawah. TTV : TD : 120/70 mmHg. Nadi : 88 x/m, RR : 20 x/m, Suhu : 38⁰C.
Hasil USG abdomen terdapat inflamasi pada area apendiks dan beresiko perforasi,
Leukosit meningkat. Pasien didiagnosa apendisitis dan akan direncanakan operasi cito.
Pasien terlihat cemas dan mengatakan ini pertama kalinya pasien di operasi..
1) Analisa Data
DO:
Hasil USG abdomen
terdapat inflamasi
pada area apendiks
dan beresiko
perforasi
DO:
Pasien terlihat cemas
Nadi : 88 x/m
2) Diagnosa Keperawatan
i. Nyeri akut b.d Agen Pencedera fisiologis d.d pasien mengeluh nyeri, nadi
meningkat
ii. Risiko Infeksi b.d penyakit kronis d.d Hasil USG area apendiks beresiko
perforasi
iii. Hipertermi b.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas normal
iv. Ansietas b.d Krisis situasional d.d Pasien terlihat cemas, frekuensi nadi
meningkat
3) Intervensi Keperawatan
4) Implementasi Keperawatan
5) Evaluasi
05/09/202 4 S: - Latifah
1
O:
12.00
Pasien tampak percaya dan yakin terhadap
motivasi dari perawat
Pasien tampak tidak terlalu cemas lagi
menghadapi oprasinya
pasien tampak teralihkan rasa cemasnya
menjelang oprasinya
A: Masalah teratasi
P: intervensi dihentikan
J. Pathway
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun. Apendiksitis
terbagi menjadi 2 yaitu apendiksitis akut dan apendisitis kronik. Apendiksitis akut dapat
disebabkan oleh trauma, misalnya pada kecelakaan atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat
dalam rongga maupun permukaan apendiks. Apendiksitis kronik biasanya disebabkan oleh
penyumbatan lumen apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa apendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak,
namun elasitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intra lumen. Oleh karena itu perlu perhatian khusus yang memiliki
penyakit apendisitis untuk Melakukan perawatan pada luka dengan cara mamantau keadaan
luka, melakukan penggatian balutan (ganti verban) dan mencegah terjadinya infeksi.
Penggunaan therapy antibiotic topical pada luka apendisitis seperti metrodinazole sangat
efektif untuk membunuh bakteri yang dapat menimbulkan bau (Gitaraja, 2004).
B. Saran
1. Saran Bagi Mahasiswa Bagi system keilmuan khususnya bagi ilmu keperawatan
diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan teori-teori mengenai asuhan keperawatan pada
klien dengan luka apendisitis. Hal ini diharapkan dapat mrnjadi sumber informasi untuk
dijadikan pedoman bagi pelaksanaan asuhan keperawatan apendisitis perforasi dan
bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperwatan dimasa yang akan datang.
2. Saran Bagi Pelayanan Diharapkan dalam perawatan luka apendisitis perawat dapat
mengembangkan keterampilan kliniknya dalam melakukan asuhan keperwatan khususnya
apendisitis perforasi, pihak manajemen rumah sakit diharapkan juga terus memfasilitasi
pelaksanaan asuhan keperawatan dengan sarana dan prasarana yang memadai, dan terus
mendukung keterampilan perawat dengan meningkatkan aktivitas pelatihan dan kegiatan-
kegiatan ilmiah lainnya yang dapat diikuti perawat secara berjunjung dan berkesinambungan
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/1462/6/BAB%20V.pdf
Mark A. Graber, dkk. . Buku Saku Dokter Keluarga University Of Iowa. Ed. 3. Jakarta: EGC.
Moorhead, Johnson, Maas, Swanson. 2016. Nursing Outcomes Classifications (NOC). Ed. 5,
Singapore: Elsevier
Nurarif, Amin H., Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa