TERATOGENESIS
A. Pengantar teratogenesis
Teratologi merupakan cabang ilmu embriologi yang mempelajari penyebab
perkembangan abnormalitas morfologi dan anatomi embrio. Abnormlitas yang terjadi
dapat disebabkan oleh faktor mutasi gen, stimulasi lingkungan atau kombinasi
keduanya. Kata teratogen berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘teratos’, yang berarti
monster, dan ‘genesis’ yang berarti asal. Dengan demikian, teratogenesis didefinisikan
sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan proses pertumbuhan yang
menghasilkan monster. Ilmu yang mempelajari tentang teratogenesis adalah
teratologi. Teratologi adalah studi tentang kelainan perkembangan fisiologi. Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya teratogenesis adalah teratogen.
Teratogenik juga dapat diartikan terjadinya perkembangan tidak normal dari
mulai sel selama gestasi yang menyebabkan kerusakan pada embrio dan berakibat
pembentukan organ-organ berlangsung menjadi cacat. Teratogenesis dapat terjadi
karena pembentukan cacat bawaan. Awalnya teratogenesis dikaitkan karena akibat
malnutrisi pada wanita semasa kehamilan.
Namun penelitian selanjutnya menyebutkan bahwa ada pengaruh zat kimia
terhadap terjadinya terjadinya teratogenik. Penelitian tersebut berawal dari
penggunaan thalidomide, yaitu semacam obat hipnotik-sedatif. Obat tersebut
digunakan pertama kali pada akhir tahun 1950-an di Jerman, dan terbukti relatif non
toksik atau mematikan pada hewan coba atau manusia. Obat tersebut digunakan
sebagai peringan rasa mual-mual pada hamil muda.
Sayangnya, penggunaan obat tersebut menimbulkan efek negatif yang luar
biasa. Ibu yang pada saat hamil mengkonsumsi thalidomide bayi yang dilahirkan
ditemukan cacat baik dalam bentuk Amelia (Tidak memiliki tangan dan kaki),
fokomelia (Lengan dan kaki tidak lengkap), bibir sumbing (Labioschisis), tanpa langit-
langit (Palatoschisis), tanpa mata (Anophtalmus), tanpa telinga (Anotia), tanpa
tempurung kepala (Anencephali), hingga abnormalitas berbagai organ tubuh. Sampai
pada pertengahan tahun 1962, thalidomide ditarik dari peredaran di seluruh dunia.
Namun tragisnya, untuk menghentikan tragedi obat ini diperlukan waktu yang lama,
yaitu 8 tahun dengan telah memakan korban lebih dari 10.000 bayi diketahui
menderita cacat
B. Prinsip-prinsip teratogenik
Wilson pada tahun 1959, mengungkapkan mengenai prinsip-prinsip teratologi.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1. Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung pada genotip konseptus dan cara
komposisi genetik ini berinteraksi dengan lingkungan. Genom orang tua (Ibu)
sangat penting dalam hal metabolism obat, ketahanan terhadap infeksi, dan
proses-proses biokimiawi serta molukuler lainnya yang akan mempengaruhi
perkembangan embrio dalam uterus
2. Kerentanan terhadap teratogen pada stadium yang berbeda akan berbeda pula.
Saat paling sensitif timbulnya cacat lahir ada masa gestasi pada minggu ketiga
sampai kedelapan (Masa embriogenesis). Tiap stadium sangat rentan dan masing-
masing sistem organ dapt mempunyai satu lebih stadium kerentanan. Sebagai
contoh: palatoskisis dapat terbentuk pada tingkat blastokista (hari ke-6), masa
gastrulasi (hari ke-14), pada tingkat tunas tungkai dini (minggu ke-5), atau ketika
bilah-bilah palatum sedang terbentuk (minggu ke-7). Tidak menutup
kemungkinan cacat juga terjadi setelah masa embriogenesis.
3. Timbulnya pertumbuhan dan perkembangan abnormal dipengaruhi oleh besarnya
dosis dan/atau lamanya paparan terhadap suatu teratogen.
4. Kerja dan mekanisme teratogen sangat spesifik terhadap sel-sel dan jaringan yang
sedang mengalami pertumbuhdan dan perkembangan
5. Hasil akhir adanya pengaruh teratogenik adalah adanya perkembangan abnormal,
malformasi, keterlambatan pertumbuhan, dan gangguan fungsi, hingga kematian.