Anda di halaman 1dari 16

PROSES DAN TATA CARA, MACAM-MACAM EKSEKUSI DAN ROYA

HAK TANGGUNGAN

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Jaminan

Dosen Pengampu : Insan Pribadi, S.H., M.H.

Disusun oleh:

1. Hanif Alwi Maulana (33020180143)


2. Kurnia Anggi (330201801 )

FAKULTAS SYARI’AH
HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan
Puji dan syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan kenikmatan iman, islam, dan
nikmat sehat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Solawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang dinantikan syafaatnya di akhirat kelak.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah “Proses dan tata cara, macam-macam eksekusi
dan roya hak tanggungan” ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen kami
Bapak Insan Pribadi, S.H., M.H. pada mata kuliah Hukum Jaminan. Penyusun harapkan makalah
ini dapat memenuhi syarat penilaian tugas dan diharapkan pula dapat menambah wawasan
pembaca, khususnya mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Salatiga
Makalah ini kami susun secara maksimal dengan segala kemampuan kami. Namun, kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan. Maka dari itu kami selaku penyusun makalah mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak yang membaca demi kesempurnaan makalah kedepannya.

Salatiga, 17 Maret 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN...............................................................................................................

KATA PENGANTAR.............................................................................................................

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................

A. Latar Belakang………………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...
C. Tujuan Masalah…………………………………………….………………………..

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..........

A. Prosedur dan Tata Cara Pembebanan Hak Tanggungan……………………………..


B. Macam-Macam Eksekusi Hak Tanggungan……………………………………...…
C. Pencoretan Hak Tanggungan atau Roya…………………………………………….

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………..........

A. Kesimpulan………………………………………………………………………..…

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...……

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain.
Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum, maka
pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, guna
memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan mempermudah pihak ketiga
mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan.
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain.
Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum, maka
pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, guna
memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan mempermudah pihak ketiga
mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan.
AP. Parlindungan mengemukakan: “salah satu tujuan diundangkan Undang-
Undang Hak Tanggungan adalah melaksanakan perintah yang tegas dari Pasal 51 UUPA
sehingga meniadakan penafsiran yang macam-macam tentang pranata jaminan, dan
sekaligus melaksanakan unifikasi yang dikembangkan UUPA, yaitu pranata Hak
Tanggungan sebagai pranata jaminan hutang dengan tanah sebagai jaminan”.1

1
A.P. Parlindungan, Komentar UUHT dan Sejarah Berlakunya, Mandar Maju, Bandung, 1996, hal.31.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur dan tata cara pembebanan hak tanggungan?
2. Apa saja macam-macam eksekusi dalam hak tanggungan?
3. Apa yang dimaksud pencoretan hak tanggungan / roya?

C. Tujuan Masalah
1. Guna mengetahui prosedur dan tata cara pembebanan hak tanggungan
2. Guna mengetahui macam-macam eksekusi dalam hak tanggungan
3. Guna mengetahui pengertian pencoretan hak tanggungan / roya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Prosedur dan Tata Cara Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan


hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal
ini adalah sebagai mana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa
pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
mana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 10 ayat (2)
UUHT pemberian Hak Tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan,
pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT yang
dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang- undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh
PPAT tersebut merupakan akta otentik (Penjelasan Umum angka 7 UUHT). Proses pelaksanaan
pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap pemberian hak
tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan.

1. Pemberian Hak Tanggungan

Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 UUHT. Dalam
Pasal 10 UUHT diatur tentang tata cara pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak
Tanggungan secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 UUHT diatur tentang pemberian kuasa
pembebanan Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada penerima kuasa.

Prosedur pemberian Hak Tanggungan sesuai ketentuan Pasal 10 UUHT adalah:

a. Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan


utang tertentu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang
piutang.

b. Dilakukan dengan penggunaan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT


sesuai perundang-undangan yang berlaku

c. Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak
lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum dilakukan,

6
pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui. bahwa
pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan terlebih dahulu dan janji itu dipersyaratkan
harus dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ini berarti
setiap janji untuk memberikan Hak Tanggungan terlebih dahulu dituangkan dalam perjanjian
utang piutangnya. Dengan kata lain sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat, dalam
perjanjian utang piutang untuk dicantumkan “janji” pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu, berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir.Sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan
perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam APHT. APHT ini merupakan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai
jaminan untuk pelunasan piutangnya.

Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai subyek, obyek
maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, di dalam
2
APHT wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan


b. Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga nama
dan identitas debitur yang bersangkutan
d. Nilai tanggungan
e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

Prosedur pembebanan Hak Tanggungan yang menggunakan surat kuasa membebankan Hak
Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 UUHT adalah sebagai berikut :

1.) Wajib dibuatkan dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai
berikut :

2
Purwahid Patrik dan Kashadi, Op.cit, h. 66-68

7
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan
Hak Tanggungan
b. tidak memuat kuasa substitusi
c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta
identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak
Tanggungan.
2.) Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apa pun juga kecuali
karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya
3.) Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah telah
terdaftar wajib diikuti dengan penggunaan APHT selambatlambatnya 1 ( satu ) bulan
sesudah diberikan.
4.) Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum
terdaftar wajib diikuti dengan penggunaan Akta Pemberian Hak Tanggungan ( APHT )
selambat - lambatnya 3 ( tiga ) bulan sesudah diberikan. Prosedur pada angka 3 dan 4
tidak berlaku dalam hal surat kuasa membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk
menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2. Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran jaminan hak tanggungan diatur dalam ketentuan Pasal 13 UUHT. Menurut
ketentuan pasal ini Kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan dapat ditemukan rumusannya
dalam pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 13 :

1. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan

2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak


Tanggungan dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanhaan.

8
3. Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya
dalam buku tanah atas tanah yang menjai objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

4. Tanggak buku tanah Hak Tanggunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang
bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnyadimaksudkan agar pembuatan buku
tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang
berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum

5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana
3
dimaksud pada ayat (4).

Dari rumusan masalah pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat


diketahui bahwa Hak Tanggungan lahir pada saat pendaftaran Hak Tanggungan pada buku
Tanah hak atas tanah yang dibebankan dengan hak tanah. Pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran
yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi
buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri agraria no. 3
tahun 1997.

B. Macam-Macam Eksekusi dalam Hak Tanggungan

Salah satu ciri Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, yaitu
mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan
berdasarkan yang diatur Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu :

a. Parate Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 20


3
Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan

9
Dalam Undang-undang Hak Tanggungan, ketentuan parate eksekusi mengacu pada
ketentuan Pasal 20 bahwa apabila Debitur wanprestasi pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Ketentuan dalam Pasal 6 memberikan hak kepada kreditor pertama untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut apabila debitur cidera janji.

Untuk dapat menggunakan wewenang menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri tanpa persetujuan dari debitor diperlukan janji dari debitor sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Janji tersebut dicantumkan dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Janji ini sifatnya Fakultatif artinya tidak mempunyai
pengaruh terhadap sahnya akta, dengan dimuatnya janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT), yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut
mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Mengenai pencantuman janji untuk menjual
sendiri melalui pelelangan umum terdapat perbedaan pendapat dari kalangan praktisi hukum.

Menurut Boedi Harsono, biarpun umumnya janji tersebut bersifat Fakultatif, tetapi ada janji
yang wajib dicantumkan yaitu yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang Hak
Tanggungan bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji. Janji tersebut tidak berdiri
sendiri, tetapi melengkapi, dan karenanya harus dihubungkan dan merupakan satu kesatuan
dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Janji tersebut diperlukan untuk
persyaratan yuridis dalam melaksanakan hak pemegang Hak Tanggungan yang ditetapkan dalam
Pasal 6 UndangUndand Hak Tanggungan.4

Sedangkan Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa, adanya pencantuman janji untuk
pemegang Hak Tanggungan dapat menjual obyek Hak Tanggungan atas dasar kekuasaan sendiri
di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah berlebihan. Pasal 6 UndangUndang Hak
Tanggungan telah menentukan sebagai ketentuan yang mengikat apabila debitor cidera janji
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai Hak Untuk Menjual obyek Hak Tanggungan

4
Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang‐Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaanya, Jilid 1, (Jakarta : Djambatan, 2008), hlm. 439

10
atas dasar kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari
hasil penjualan tersebut. Dengan kata lain, baik kekuasaan pemegang Hak Tanaggungan pertama
tersebut dicantumkan atau tidak didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai kekuasaan/wewenang untuk dapat melakukan tindakan yang
demikian itu. Pencantuman janji yang demikian itu didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan, hanya akan memberikan rasa mantap (sekedar bersifat psikologis, bukan
Yuridis) kepada pemegang Hak Tanggungan dari pada bila tidak dicantumkan.5

Pelaksanaan Parate Eksekusi adalah cara termudah, karena tidak memerlukan fiat eksekusi
dari pengadilan dan pelaksanaannya dapat dilakukan kreditor atau pemegang hak tanggungan
dengan cara lansung mengajukan lelang terhadap objek jaminan yang dijaminkan melalui
pelelangan umum dalam hal ini adalah Kantor Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)

b.Eksekusi Title Eksekutorial Hak Tanggungan yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2).  

Pelaksanaan Eksekusi dengan menggunakan title eksekutorial berdasarkan Sertifikat Hak


Tanggungan pelaksanaannya harus tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaiman
yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR atau 258 RBg (Pasal 14 jo 26 Undang-Undang Hak
Tanggungan), yang prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama dikarenakan harus
mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu.
Permohonan eksekusi dilakukan baik secara lisan maupun dengan melalui surat kepada Ketua
Pengadilan Negeri sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 195 ayat (1) HIR. Kemudian
Ketua Pengadilan Negeri akan memanggil debitor dan menegur agar ia memenuhi kewajibannya
(aanmaning) dalam 8 (delapan) hari kerja sesuai ketentuan Pasal 196 HIR.

Jika waktu telah ditentukan telah lewat dan debitor belum memenuhi kewajibannya atau
setelah dipanggil debitor tidak dapat datang menghadap atau setelah datang menghadap dan
ditegur tetap tidak mau memenuhi kewajibannya maka Ketua Pengadilan Negeri memberi
perintah dengan surat agar barang yang dijadikan jaminan disita. Serta jika barang tetap yang
disita maka harus diumumkan kepada umum. Jika barang tersebut sudah didaftarkan di Kantor
Pertanahan maka berita acara penyitaan diberitahukan kepada Kantor Badan Pertanahan
5
8 Sutan Remy Sjahdeini, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan dilingkungan PerBankan(Hasil Seminar)
Lembaga kajian Hukum Bisnis FH‐USU Medan,  (Bandung : PT. Citra Aditya, 1996), hlm. 227  

11
Nasional. Terhitung sejak penyitaan dilakukan dan diumumkan kepada umum maka barang yang
disita tidak boleh dipindahtangankan kepada orang lain, memberatkan atau menyewakan barang
tetap yang disita itu. Apabila setelah barang jaminan disita dan kreditor masih juga tidak mau
memenuhi kewajibannya maka barang jaminan yang disita itu dapat dilelang setelah terlebih
dahulu ada penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri mengenai pelelangan tersebut.

c. Eksekusi Dibawah Tangan


Pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan penjualan objek Hak Tanggungan
berdasarkan Pasal 20 Ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu dengan cara penjualan
dibawah tangan. Eksekusi/penjualan dibawah bertujuan dengan cara itu akan diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan objek Hak Tanggungan dibawah tangan
hanya dapat dilaksanakan apabila ada kespakatan antara pemberi (debitor) dan pemegang Hak
Tanggungan (kreditor). Penjualan dibawah tangan harus memeperhatikan ketentuan Pasal 20
Ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan bahwa penjualan tersebut hanya
dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepda pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan
sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau
media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Contoh Kasus:

“Penyelesaian Kredit Macet Bank melalui Parate Eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang
No.4 Tahun 1996 (Kasus Putusan MA No. 2558 K/pdt/2010)”
Melalui Putusan Mahkamah Agung dalam perkara antara Siti Rochayatun melawan PT.
Bank Danamon Indonesia dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 2558 K/Pdt/2010 yang
menyatakan bahwa lelang objek hak tanggungan yang dilakukan Bank Danamon Indonesia
dinyatakan sah. Sehingga jelas dalam hal ini, putusan pengadilan tertinggipun memberikan
perlindungan hukum bagi kreditur sebagai bank pelaksana Parate Eksekusi atas objek jaminan
hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.

Putusan perkara ini memberikan arti bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan
salah satu produk hukum yang dapat mem-berikan kepastian hukum bagi perbankan selaku

12
pemegang hak tanggungan pertama untuk membantu penyelesaian kredit macet yang seringkali
menjadi polemik bagi perbankan, apabila debitur wanprestasi atau cidera janji, maka hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri dapat dilakukan sesuai Perundang-undangan yang berlaku

C. Pencoretan Hak Tanggungan atau Roya

Ada saat lahirnya Hak Tanggungan, tentu ada pula saat berakhirnya Hak Tanggungan.
Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan berakhir atau
hapus karena beberapa hal sebagai berikut:

a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan


b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan
c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan
Negeri
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.6

Setelah Hak Tanggungan hapus, selanjutnya dilakukan pencoretan catatan atau roya Hak
Tanggungan. Pencoretan catatan atau roya Hak Tanggungan ini dilakukan demi ketertiban
administrasi dan menurut Adrian Sutedi tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap Hak
Tanggungan yang bersangkutan yang sudah hapus.7 Dalam UUHT ditetapkan prosedur dan
jadwal yang jelas mengenai pelaksanaan pencoretan dan kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota diberi waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan untuk
melaksanakan pencoretan (roya) Hak Tanggungan.

Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan merupakan konsekuensi dari sifat accesoir dari Hak Tanggungan yaitu adanya Hak
Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Hak Tanggungan lahir
pada tanggal hari ke 7 (tujuh) setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan
bagi pendaftarannya. Hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya utang yang
dijamin dengan Hak Tanggungan dan hapusnya hak atas tanah yang menjadi obyek Hak
Tanggungan merupakan hapusnya Hak Tanggungan karena hukum. Sedangkan hapusnya Hak
Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan serta pembersihan Hak
6
Rudi Indrajaya dan Ika Ikmassari, Kedudukan Akta Izin Roya Hak Tanggungan Sebagai Pengganti Sertifikat Hak
Tanggungan yang Hilang (Jakarta: Visimedia, 2016), 3
7
Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, 84.

13
Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri merupakan
hapusnya Hak Tanggungan karena dengan sengaja dihapuskan.

Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa pencoretan catatan atau Roya
Hak Tanggungan dilakukan demi ketertiban administrasi dan tidak mempunyai pengaruh hukum
terhadap Hak Tanggungan yang bersangkutan sudah hapus. Hak Tanggungan hapus karena
peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUHT. Berdasarkan Pasal 18 UUHT,
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :

1. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.


2. Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan
Negeri.
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Menurut Pasal 22 UUHT setelah Hak Tanggungan hapus, kantor Pertanahan


Kabupaten/Kota mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan
sertifikatnya. Adapun Sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama
buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Jika
sertifikat sebagaimana dimaksud di atas karena sesuatu sebab misalnya hilang sehingga tidak
dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan.
Pengaturan tata cara pencoretan hak tanggungan terdapat dalam Pasal 22 Undang-Undang Hak
Tanggungan.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas maka dapat ditarik kesmipulan sebagai berikut:
1. Proses pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap,
yaitu tahap pemberian hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan.
2. Eksekusi dalam Hak Tanggungan dapat dilakukakn dengan tiga cara yaitu:
a. Parate Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 20
b. Eksekusi Title Eksekutorial
c. Eksekusi Dibawah Tangan
3. Roya adalah pencoretan catatan hak tanggungan. Pencoretan catatan atau roya Hak
Tanggungan ini dilakukan demi ketertiban administrasi dan menurut Adrian Sutedi tidak
mempunyai pengaruh hukum terhadap Hak Tanggungan yang bersangkutan yang sudah
hapus.

15
DAFTAR PUSTAKA

16

Anda mungkin juga menyukai