Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH KELOMPOK II KELAS B21

KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN DM (Diabetes Melitus)


DENGAN PERAWATAN PALIATIF

NAMA :

1. Felisia Sabina Fernandes


2. Jendriensi R.L. Babang
3. Martha Soli Kadi
4. Ni Putu Susilawati
5. Wiwien Permata Sekoni

Program studi Ilmu Keperawatan


DepartemenIlmuKeperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Dipenogoro
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “KOMUNIKASI TERAPEUTIK
PADA PASIEN DM (Diabetes Melitus) DENGAN PERAWATAN PALIATIF”. Dalam penyusunan
makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai
pihak, tantangan tersebut bisa teratasi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Semarang, 20 Oktober 2021


BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Palliative Care adalah suatu perawatan kesehatan terpadu yang menyeluruh dengan
pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan
pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, dan juga memberikan support
kepada keluarganya.Dari definisi tersebut didapatkan bahwasannya salah satu tujuan dasar dari
palliative care adalah mengurangi penderitaan pasien yang
termasukdidalamnyaadalahmenghilangkannyeri yang dideritaolehpasientersebut.
Banyakpakarmenilaibahwakomunikasiadalahsuatukebutuhan yang sangat fundamental
bagiseseorangdalamhidupbermasyarakat.Komunikasidanmasyarakatadalahdua kata kembar yang
tidakdapatdipisahkansatusamalainnya. Sebabtanpakomunikasitidakmungkinmasyarakatterbentuk,
sebaliknyatanpamasyarakatmakamanusiatidakmungkindapatmengembangkankomunikasi.
Komunikasiterapeutikadalahkomunikasi yang direncanakansecarasadar,
bertujuandankegiatannyadipusatkanuntukkesembuhanpasien.Komunikasiterapeutikmengarahpadabe
ntukkomunikasiinterpersonal.Suatubentukpelayanankesehatankepadamasyarakat yang
didasarkanpadailmudankiatkeperawatanberbentukpelayanan bio-psiko-sosial-kulturaldan spiritual
yang didasarkanpadapencapaiankebutuhandasarmanusia
Komunikasiperawatdenganpasienkhususnyasangatlahpenting.
Perawatharusbisamenerapkankomunikasiterapeutik.Komunikasiterapeutikditerapkantidakhanyapada
pasiensadarsaja,
namunpadapasientidaksadarjugaharusditerapkankomunikasiterapeutiktersebut.Pasientaksadaratau
yang seringdisebut “koma” merupakanpasien yang
fungsisensorikdanmotorikpasienmengalamipenurunansehinggaseringkali stimulus
dariluartidakdapatditerimakliendanklientidakdapatmeresponskembali stimulus tersebut.
Namunmeskipunpasientersebuttaksadar, organ pendengaranpasienmerupakan organ terakhir yang
mengalamipenurunanpenerimaanrangsangan
World Health Organization (2018) memperkirakanbahwasekitar422 juta orang
dewasaberusia di atas 18 tahunhidupdengan diabetes padatahun
2014.Jumlahterbesardiperkirakanberasaldari Asia Tenggara
danPasifikBaratyaitusebanyak96jutadan131jutaorang.MenurutInternationalDiabetesFederation(201
9)prevalensipenderitaDMdiseluruhduniamencapai 463
jutadandiperkirakanakanterusmeningkatmenjadi 578 juta di tahun 2030 hingga 700 juta di tahun
2045. PeningkatanprevalensiDMterutamaterjadidiNegaraLow-
MiddleIncome(berpendapatanmenengahkebawah),salahsatunyaIndonesiayangmasukkedalam 10
besarnegaradenganjumlahpasien diabetes terbanyak,
denganprevalensisebesar10jutapasien.WHOmemprediksijumlahpenderitadiabetesdiIndonesiapadatah
un2030akanmeningkatdari8,4jutapendudukmenjadi21,3jutapenduduk.DatadariRiskesdas2018menyat
akanbahwaprevalensiDMberdasarkandiagnosisdokterpadapendudukberumur≥15tahunjikadibandingk
andengantahun2013meningkatmenjadi2%.PrevalensitertinggiterdapatProvinsidiDKIJakartayaitusebe
sar3,4%danterendahdiNTTyaitusebesar0,9%
(InfoDATIN,2018).Diabetesmelitusadalahpenyakitkronisyangkompleksdanmembutuhkanperawatan
medisberkelanjutandenganberbagaistrategipenguranganrisiko di luarkontrolglukosadalamdarah.
Diabetesmelitusdapatmenimbulkanberbagaikomplikasijikatidakditanganidenganbaiksehingga
butuhnyaedukasimanajemendiripasiendandukunganuntukmencegahkomplikasiakutdanmengurangiris
ikokomplikasijangkapanjang(AmericanDiabetesAssociation,2019).Diabetesmenyebabkan1,5jutakem
atianpadatahun2018dantambahan2,2jutakematiandenganmeningkatkanrisikopenyakitakibatkardiovas
kular. Empatpuluhtigapersen (43%) dari
3,7jutakematianiniterjadisebelumusia70tahun(Riskesdas,2018).Tingginyaangkakematian.yangdiseba
bkanolehpenyakit diabetes mellitus salahsatunyadiakibatkanolehefekkronis yang
munculsebagaikomplikasi organ lain.
Dalamupayamenurunkanprevalensiangkakejadianmortalitasdanmorbiditasakibatpenyakit DM
dapatdilaksanakandengancaramengontrolkadarglukosadarahmelaluiduamacamterapiyaituterapifarma
kologisdenganmenggunakanobat-obatanantidiabetesdanterapinonfarmakologis.

B. TUJUAN
Berdasarkan latarbelakang di ataspenulisanmakalahinibertujuanuntuk :
1. Untuk mengetahui apa itu perawatan paliatif.
2. Untuk mengetahui definisi dan tujuan komunikasi terapeutik
3. Mengetahui definisi Diabetes Mellitus,etiologi,patofisiologi,klasifikasi nya,faktor
resiko,manifestasi klinis,komplikasi,pengobatan serta terapi nya.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. DIABETES MELITUS
1. Pengertian
Definisi Diabetes MellitusDiabetes Mellitus atau sering disebut dengan kencing manis
adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup
insulin atau tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan di diagnosa melalui
pengamatan kadar glukosa di dalam darah. Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari aliran darah ke sel-sel
tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015).
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan
secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada
pasien diabetes melitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan,
kesemutan (Restyana, 2015).
Diabetes Mellitus tipe-2 merupakan kondisi saat gula darah dalam tubuh tidak
terkontrolakibat gangguan sensitivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan hormon
insulinyang berperan sebagai pengontrol kadar gula darah dalam tubuh (Dewi,2014).
Pankreas masih bisa membuat insulin, tetapi kualitas insulinnya buruk, tidak dapat berfungsi
dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam sel.Akibatnya glukosa
dalam darah meningkat. Kemungkinan lain terjadinya Diabetes Melitus tipe-2 adalah bahwa
sel-sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin
sehingga glukosa tidak dapat masuk kedalam sel danakhirnya tertimbun dalam peredaran
darah (Tandra, 2007).Diabetes melitus merupakan penyakit metabolisme yang termasuk
dalam kelompok gula darah yang melebihi batas normal atau hiperglikemia <120mg/dl atau
120mg% (Suiraoka, 2012).

2. Etiologi
Menurut Soelistijo dkk(2015) secara garis besar patogenesis Diabetes Mellitus tipe 2
disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut :
 Kegagalan sel beta pankreas:
Pada saat diagnosis Diabetes Mellitus tipe-2 ditegakkan,fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid,GLP-1agonis dan DPP-4 inhibitor.
 Liver
Pada penderita Diabetes Mellitus tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam 8 keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucoseproduction) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
 Otot
Pada penderita Diabetes Mellitus tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa.Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
 Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma.
Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
 Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon
GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1)dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita Diabetes
Mellitus tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping haltersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4
adalah kelompok DPP-4 inhibitor.Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah 9 setelah makan.Obat yang bekerja untuk menghambat
kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
 Sel Alpha Pankreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya didalam plasma akan meningkat.Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1
agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.
 Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis Diabetes Mellitus
tipe-2.Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co
Transporter) pada bagian convulatedtubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya
tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.Dapaglifozin adalah salah satu contoh
obatnya.
 Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat.Pada individu yang obes baik yang
Diabetes Mellitus maupun non- Diabetes Mellitus, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin.Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat
yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin
3. Patofisiologi
Patofisiologi Diabetes Mellitus (DM) dikaitkan dengan ketidakmampuan tubuh untuk
merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya produksi insulin di dalam
tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang,dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan
berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber
energi. Pada penderita Diabetes Mellitus, insulin yangdihasilkan tidak mencukupi sehingga
gula menumpuk dalam darah (Agoesdkk, 2013).

Patofisiologi pada Diabetes Mellitus tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun.Pada
autoimun-mediated Diabetes Mellitus, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan menjadi
faktor pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut tipe 1-A. Sedangkan tipe non-
imun, lebih umun dari pada autoimun Tipe non-imun terjadi sebagai akibat sekunder dari
penyakit lain seperti pankreatitis atau gangguan idiopatik (Brashers dkk, 2014).Diabetes
Mellitus tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak
adekuat hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin sampai dengan predominan
kerusakan sel beta. Kerusakan sel beta yang ada bukan suatu autoimun mediated. Pada
Diabetes Mellitus tipe 2 tidak ditemukan pertanda auto antibody.Pada resistensi insulin,
konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada keadaan gangguan fungsi sel
beta yang berat kondisinya dapat rendah.Pada dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat
perubahan-perubahanyang mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan
dalam pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam salahsatu
tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebab kangangguan transport
glukosa dan resistensi insulin akan menyebabkan hiperglikemia sehingga menimbulkan
manifestasi Diabetes Mellitus (Rustama dkk,2010).

4. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2015, klasifikasi Diabetes
Melitusatau DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis
DM yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.
1. Diabetes Mellitus Tipe
Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolik glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh
kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik. Proses autoimun
ini menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin karena sistem
kekebalan tubuh menghancurkan sel yang bertugas memproduksi insulin sehingga produksi
insulin berkurang atau terhenti (Rustama dkk, 2010). Diabetes Mellitus tipe 2 dapat
menyerang orang semua golongan umur, namun lebih sering terjadi pada anak-anak.Penderita
DM tipe 1 membutuhkan suntikan insulin setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya
(IDF, 2015). Diabetes Mellitus tipe ini seringdisebut juga Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), yang berhubungan dengan antibody berupa Islet Cell Antibodies (ICA),
Insulin Autoantibodies(IAA), dan Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). 90%
anak-anak penderita IDDM mempunyai jenis antibodi ini (Bustan, 2007).
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin
DependentDiabetes Mellitus (NIDDM) adalah jenis Diabetes Mellitus yang paling sering
terjadi, mencakup sekitar 85% pasien DM. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif. Diabetes Mellitus tipe ini lebih sering terjadi pada usia
diatas40 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada orang dewasa muda dan anak-anak (Greenstein
dan Wood, 2010).
Pada tipe ini, pada awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin)
dan kemudian disusul dengan disfungsi sel beta pankreas (defek sekresi insulin), yaitu
sebagai berikut : (Tjokroprawiro, 2007)
a. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, sehingga glukosa
yang sudah diabsorbsi masuk ke dalam darah tetapi jumlah insulin yang
efektif belum memadai.
b. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000) pada
obesitas jumlah reseptor bahkan hanya 20.000.
c. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek,
sehingga kerja insulin tidak efektif (insulin binding atau afinitas atau
sensitifitas insulin terganggu)
d. Terdapat kelainan di pasca reseptor sehingga proses glikolisis intraselluler
terganggu.
e. Adanya kelainan campuran diantara nomor 1,2,3 dan 4. DM tipe 2 ini
Biasanya terjadi di usia dewasa. Kebanyakan orang tidakmenyadari telah
menderita diabetes tipe 2, walaupun keadaannya sudah menjadi sangat
serius. Diabetes tipe 2 sudah menjadi umum di Indonesia, dan angkanya
terus bertambah akibat gaya hidup yang tidak sehat, kegemukan dan malas
berolahraga (Riskesdas, 2007).
Diabetes Mellitus tipe 2 bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun
Diabetes Mellitus merajalela ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga
berdenging atau tuli, sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak
pada usia dini, dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir
dengan kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi setelah 10-
15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal neuphropathy, saraf- saraf lumpuh,
atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki, serta serangan stroke. 10 Pasien DM tipe 2
mempunyai risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2
kali lebih besar, kematian akibat penyakit jantung 16,5% dan kejadian komplikasi ini terus
meningkat. Kualitas pembuluh darah yang tidak baik ini pada penderita diabetes mellitus
diakibatkan 20 faktor diantaranya stress, stress dapat merangsang hipotalamus dan hipofisis
untuk peningkatan sekresi hormonhormon kontra insulin seperti ketokelamin, ACTH, GH,
kortisol,dan lainlain.
5. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melelitus seperti rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama
pada malam hari, banyak makan atau mudah lapar, dan berat badan turun dengan
cepat.Kadang terjadi keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-
gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh, dan pada ibu-ibu sering
melahirkan bayi di atas 4kg (Suyono, 2004). Karakteristik diabetes melitus atau kencing
manis diantaranya sebagai berikut (Mirza, 2012)
1. Buang air kecil yang berlebihan

2. Rasa haus yang berlebihan

3. Selalu merasa lelah

4. Infeksi di kulit’penglihatan menjadi kabur

5. Turunnya berat badan


Diabetes Mellitus sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda dangejala
klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya
gejala.Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita Diabetes Mellitus setelah timbulnya
komplikasi. Diabetes Mellitus tipe 1 yang dimulai pada usia muda memberikan tanda-tanda
yang mencolok seperti tubuh yang kurus, hambatan pertumbuhan, retardasi mental, dan
sebagainya (Agoes dkk, 2013). Berbeda dengan Diabetes Mellitus tipe 1 yang kebanyakan
mengalami penurunan berat badan, penderita Diabetes Mellitus tipe 2 seringkali mengalami
peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya metabolismekarbohidrat karena
hormon lainnya juga terganggu (Mahendra dkk, 2008).
Tiga serangkai yang klasik tentang gejala Diabetes Mellitus adalah poliuria (sering
kencing), polidipsia (sering merasa kehausan), dan polifagia (sering merasa lapar).Gejala
awal tersebut berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika
kadar gula lebih tinggi dari normal, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan
sejumlah besar glukosa yang hilang. Oleh karena ginjal menghasilkan air kemih dalam
jumlah yang berlebihan, penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak
(poliuria).Akibat lebih lanjut adalah penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga
banyak minum (polidipsia).
Selain itu, penderita mengalami penurunan berat badan karena sejumlah besar kalori
hilang ke dalam air kemih.Untuk mengompensasikan hal tersebut, penderita sering kali
merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan atau polifagia (Krisnatuti dkk,
2014).

6. Faktor Resiko Diabetes Melitus


Menurut Powers (2010) faktor resiko Diabetes Melitus :
 Riwayat keluarga menderita diabetes
(contoh: orang tua atau saudara kandung dengan DM tipe 2)
 Obesitas (Indeks Massa Tubuh)
 Aktivitas fisik
 Ras/etnis
 Gangguan Toleransi Glukosa
 Riwayat Diabetes Gestational atau melahirkan bayi dengan berat lahir > 4kg
 Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)
 Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar trigliserida ≥ 250
mg/dL (2,82 mmol/L)
 Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans
Menurut Hendrawan (2009) seseorang terkena Diabetes Mellitus jika :
 Kedua orang tua, atausalahsatusajapengidap DM
 Memilikisaudarakandung DM
 Salah satuanggotakeluarga mengidap DM
 Guladarahtinggi 126-200 mg/dl
 Pengidappenyakithatiberat
 Sering mengonsumsi obat golongan corticosteroid (pasienasma, eksim, encok )
 Wanitadenganriwayatmelahirkanbayidari 4kg

7. Komplikasi
Komplikasi akut terjadi apabila kadar glukosa darah seorang meningkat atau menurun
tajam dalam waktu yang singkat (Anonim, 2001). Komplikasi kronik terjadi apabila kadar
glukosa darah secara berkeoanjangan tidak terkendali dengan baik sehingga menimbulkan
berbagai komplikasi kronik diabetes melitus (Perkeni, 2006).

a. Komplikasi Akut
Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State(HHS)
adalah komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD),
kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis
meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara
berlebihan.Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis
metabolik.Badan keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta- hidroksibutirat
(3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak
dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). Seperti
hipoglikemia dan hiperglikemia.
b. Komplikasi Kronik
Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Waspadji, 2009).
Komplikasi kronik DM bisa berefek pada banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa
dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan nonvaskular.
Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan
nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit
serebrovaskular).Sedangkan komplikasi nonvaskular dari DM yaitu gastroparesis, infeksi,
dan perubahan kulit (Powers,2010). Komplikasi seperti makroangiopati (makrovasuler) yaitu
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah kaki, dan penyakit pembuluh darah di
otak (Waspadji, 2004).
8. Pengobatan dan Terapi
Menurut Soelistijo dkk, (2015) penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari:
a. Edukasi Diabetes melitus tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan.Pemberdayaan penyandang diabetes melitus memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga, masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Edukasi yang di berikan meliputi :
 Edukasi untuk pencegahan primer yaitu edukasi yang ditunjukkan untuk
kelompok resiko tinggi
 Edukasi untuk pencegahan skunder yaitu edukasi yang ditunjukkan untuk pasien
baru. Materi edukasi beruapa penegrtian diabetes, gejala, penatalaksanaan,
mengenal danS mencegah komplikasi akut dan kronik.
 Edukasi untuk penceghan tersier yaitu edukasi yang ditunjukkan pada pasien
tingkat lanjut, dan materi yang diberikan meliputi : cara pencegahan komplikasi
dan perawatan, upaya untuk rehabilitasi, dll.
b. Terapi gizi atau Perencanaan Makan
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatansecara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Menurut Smeltzer et al, (2008) bahwa perencanaan makan pada pasien diabetes meliputi:
 Memenuhi kebutuhan energi pada pasien diabetes mellitus
 Terpenuhi nutrisi yang optimal pada makanan yang disajikan seperti vitamin dan
mineral
 Mencapai dan memelihara berat badan yang stabil
 Menghindari makan makanan yang mengandung lemak, karena padapasien
diabetes melitus jika serum lipid menurun maka resiko komplikasi penyakit
makrovaskuler akan menurun
 Mencegah level glukosa darah naik, karena dapat mengurangi komplikasi yang
dapat ditimbulkan dari diabetes melitus.
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani sangat penting dalam pelaksanaan diabetes karena dapat menurunkan
kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan menurunkan
kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan
memperbaiki pemakaian insulin. Latihan juga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol
dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida (American Diabetes Association
(ADA)2012). Kegiatan sehari-hari dan latihan jasmani secra teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang dari 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes
melitus. Latihan jasmani yang dianjurkanberupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti : jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.Latihan jasmani sebaiknnya
disesuiakan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Menurut American Diabetes
Association (ADA, 2012), ada beberapa pedoman umum untuk melakukan latihan
jasmani pada pasien diabetes yaitu :
 Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindungan kakilainnya.
 Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin.
 Periksa kaki setelah melakukan latihan.

d. Terapi farmakologi
Pengobatan DM secara menyeluruh mencakup diet yang benar, olah raga yang teratur,
dan obat-obatan yang diminum atau suntikan insulin.Pasien diabetes melitus tipe 1 mutlak
diperlukan suntikan insulin setiap hari.pasien diabetes melitus tipe 2, umumnya pasien
perlu minum obat antidiabetes secara oral atau tablet. Pasien diabetes memerlukan
suntikan insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan tablet.
e. Monitoring keton dan gula darah
Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri penderita DM
dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan ka dar glukosa darah secara optimal.
Monitoring glukosa darah merupakan pilar kelima dianjurkan kepada pasien diabetes
melitus. Monitor level gula darah sendiridapat mencegahdan mendeteksi kemungkinan
terjadinya hipoglikemiadan hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat pilar di
atas untuk menurunkan resiko komplikasi dari diabetes melitus (Smeltzer et al, 2008).

B. KOMUNIKASI TERPAEUTIK
Konsep pasien paliatif terbagi atas dua yang pertama pasien yang menderita penyakit kronis,
dan yang kedua adalah pasien yang mengahadapi terminal.Menurut WHO (1999) , penyakit kronis (
chonic diseases) adalah penyakit yangberdurasi lama dengan progress kemajuan yang lambat,
penyakit kronis termasuk dalam golongan penyakit tidak menular (noncommunicable
diseases).Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit berlangsung lama sampai
bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan sering kambuh. (Purwaningsih dan Karbina, 2009).
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan
proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1999).
Komunikasi dengan pasien terminal biasanya pasien berada pada tahap dimana pasien tidak
sadar. komunikasi dengan pasien tidak sadar yaitu menggunakan teknik komunikasi
khusus/teurapetik dikarenakan fungsi sensorik dan motorik pasien mengalami penurunan sehingga
seringkali stimulus dari luar tidak dapat diterima klien dan klien tidak dapat merespons kembali
stimulus tersebut.Pasien yang tidak sadar atau yang sering kita sebut dengan koma, dengan gangguan
kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat dan dapat membahayakan
kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya mempertahankan
kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan oleh beragampenyebab,yaitu baik primer
intrakranial ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural atau metabolik di
tingkat korteks serebri, batang otak keduanya.
Ada karakteristik komunikasi yang berbeda pada klien tidak sadar ini, kita tidak menemukan
feed back (umpan balik), salah satu elemen komunikasi. Ini dikarenakan klien tidak dapat merespon
kembali apa yang telah kita komunikasikan sebab pasien sendiri tidak sadar. Nyatanya dilapangan
atau di banyak rumah sakit pasien yang tidak sadar ini ataupasien koma di ruangan-ruangan tertentu
seperti Intensif Care Unit (ICU), Intensif Cardio Care Unit (ICCU) dan lain sebagainya, sering
mengabaikan komunikasi terapeutik denganpasien ketika mau melakukan sesuatu tindakan atau
bahkan suatu intervensi. Komunikasi terapeutik dapat berguna untuk menghargai perasaan pasien
serta berperilaku baik terhadappasien sekalipun dia berada dalam keadaan yang tidak sadar atau
sedang koma.
Tiap fase yang di alami oleh pasien dengan penyakit kronis dan terminal mempunyai
karakteristik yang berbeda. Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda pula. Dalam
berkomunikasi perawat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga
mudah bagi perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien. Tahap berduka
menurut Elizabeth Kubbler Ross dikutip dari Potter dan Perry 2009 yaitu :

a. Fase Denial ( pengikraran )


Dalam tahap ini klien bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan menolak menerima kenyataan yang
ada dari kehilangannya. Klien seolah-olah tidak mengetahui hal yang telah terjadi. Sebagai contoh: klien yang
baru saja terdiagnosa kanker, akan menolak kenyataan dan menyangkal diagnosa tersebut.Reaksi
pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok. Tidak percaya atau menolak kenyataan
bahwa kehlangn itu terjadi dengan mengatakan “ Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi “. Bagi
individu atau keluarga yang mengalami penyakit kronis, akan terus menerus mencari informasi
tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fasepengikraran adalah letih,lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau harus berbuat apa. Reaksi
tersebut di atas cepatberakhir dlam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
 Teknik komunikasi yang di gunakan : Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping
yang kontruktif dalam menghadapi kehilangan dan kematian selalu berada di dekat
klienPertahankan kontak mata

b. Fase anger ( marah )


Dalam tahap ini klien menunjukkan rasa marah dan menyalahkan kondisinya. Klien
menyalahkan diri sendiri, lingkungan, orang lain bahkan marah kepada Tuhan. Klien mungkin
menangis, berteriak, marah hebat, membentak. Sebagai contoh : Klien yang baru terdiagnosa kanker
akan marah terhadap keadaanya, menyalahkan dirinya mengapa ini terjadi dan marah terhadap
Tuhan yang telah memberi penyakit tersebut.
Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadinya kehilangan.
Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang yang ada
di sekitarnya, orang –orang tertentu atau di tunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia
menunjukkan prilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh perawat ataupun
dokter tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, tangan menggepai.
 Teknik komunikasi yang di gunakan adalah: Memberikan kesempatan pada pasien untuk
mengekspresikan perasaannya, hearing.. hearing.. dan hearing..dan menggunakan teknik respek

c. Fase bargening ( tawar menawar )


Tahap dimana klien menunda kesadarannya atas hal yang terjadi padanya. Klienpada tahap
ini berusaha untuk membuat janji pada orang yang di sayangi, pada diri sendiribahkan terhadap
Tuhannya bahwa jika dirinya bisa terhindar dari hal yang menakutkan tersebut. Sebagai contoh :
klien tersebut tahu bahwa dia menderita kanker, namun dirinyabelum mau menerima dan berusaha
meminta pada Tuhan merubah hal tersebut.
Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan
maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan tuhan. Respon ini sering di nyataka
dengan kata kata “ kalau saja kejadian ini bisa di tunda, maka saya akan selalu berdoa “ . apabila
proses berduka ini di alami keluarga, maka pernyataan seperti ini sering di jumpai “ kalau saja yang
sakit bukan anak saya.
 Teknik komunikasi yang di gunakan adalah: Memberi kesempatan kepada pasien untuk
menawar dan menanyakan kepada pasien apa yang di inginkan

d. Fase depression
Tahap ini klien mulai menyadari atas hal yang terjadi padanya namun belum menerima
keadaannya. Beberapa individu merasa sedih, putus asa, dan rasa kesendirian yang berlebihan.
Karena mengalami hal yang buruk, klien menarik diri dari lingkungan. Sebagai contoh : klien dengan
kanker akan malu dengan kondisinya sehingga klienberusaha untuk tidak berhubungan dengan orang
lain.Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mauberbicara, kadang
kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut atau dengan ungkapAn yang
menyatakan keputus asaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering di perlihatkan adalah
menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libugo menurun
 Teknik komunikasi yang di gunakan adalah: Jangan mencoba menenangkan klien dan
biarkan klien dan keluarga mengekspresikan kesedihannya.

e. Fase acceptance ( penerimaan )


Pada tahap ini, klien mulai menerima sesuatu yang terjadi pada dirinya dan mulai menata
kembali kehindupannya.Sebagai contoh: klien mau menerima kondisinya serta mulai mencari cara
untuk mensiasati penyakitnya dan mencari cara untuk kembali kekehidupan normalnya.Fase ini
berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase menerima ini biasanya di nyatakan dengan
kata kata ini “ apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh?” Apabila individu dapat
memulai fase fase tersebut dan masuk pada fase damai atau penerimaan, maka dia akan dapat
mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila
individu tetep berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika mengalami
kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cara berkomunikasi dengan klien dalam proses keperawatan adalah berkomunikasi
terapeutik. Pada klien tidak sadar, dan berada pada tahap terminal, perawat juga menggunakan
komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan klien. Dalam berkomunikasi kita dapat
menggunakan teknik-teknik terapeutik, walaupun pada pasien tidak sadar ini kita tidak menggunakan
keseluruhan teknik.

B. Saran
Diharapkan bagi pembaca,agar dapat menyerap manfaat yang sebesar-besarnya dari makalah
ini,sehingga tujuan dari makalah ini tercapai dengan baik. Penyusun juga mengharapkan kritik atau
saran dari pembaca sehingga dapat mewujudkan makalah ini lebih baik kedepan nya.
DAFTAR PUSTAKA

Abougalambou S, Hassali M , Sulaiman S, Abougalambou A. Prevalence of Vascular


Complications among Type 2 Diabetes Mellitus Outpatients at Teaching Hospital in Malaysia.
Malaysia: Journal of Diabetes and Metabolism. 2011;2(1):1−4.
Aguirre V, Werner ED, Giraud J, Lee YH, Shoelson SE, White MF. Phosphorylation of
ser307 in insulin receptor substrate-1 blocks interactions with the insulin receptor and inhibits
insulin action. The Journal Of Biological Chemistry. 2002;277(2):1531–7.
American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes
Care Vol 34, 2011; S62-S69.
American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes 2010. Diabetes Care 2010
; 33 : s11-s61
Bandeira SM, Fonseca LJS, Guedes GS, Rabelo LA, Goulart MOF, Vasconcelos SM. Oxidative
stress as an underlying contributor in the development of chronic complications in diabetes
mellitus. Int J Mol Sci 2013 ; 14 : 3265- 3284
Beckman J, Creager M. Vascular Complications of Diabetes. Lebanon: Vanderbilt University
School of Medicine. 2016;118:1771−85.
AASP, Chandradewi, Siti Wathaniah. Panduan Penelitian. Politeknik Kesehatan Kemenkes
Mataram, 2010.

Arikunto, S. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Bina Aksara, 1986.

Brammer. The Helping Relationsip: Proces and Skill, Edisi ke-6 USA, Allyn & Bacon, 1993.

Budi Ana Keliat. Hubungan Teraupetik Perawat Klien Seri Keperawatan, Jakarta: EGC, 1992.
Departemen Kesehatan RI. Hubungan Antara Perawat Dengan Pasien. Departemen Kesehatan
RI, 1992.

Kariyoso. Pengantar Komunikasi Bagi Siswa Perawat. Jakarta: EGC, 1994.

Purwanto, H. Komunikasi Untuk Perawat. Jakarta: EGC, 1994.

Suryani. Komunikasi Terapeutik, Teori dan Praktek,


edisi 1. Jakarta: ECG, 2005.

Stuart, G.W. Therapeutic Nurse- Patient, 1998.

Anda mungkin juga menyukai