Anda di halaman 1dari 33

AGAMA BUDHA

DR. H. WAWAN HERNAWAN, M.AG


Disampaikan pada pertemuan KE-7 Mata Kuliah Sejarah
Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin UIN SunanGunung
Djati Bandung
Pokok Bahasan:

Sejarah Awal

Pertumbuhan dan Perkembangan

Ajaran Pokok
SEJARAH AWAL
Agama Buddha merupakan salah satu agama yang muncul dan
berkembang pesat di daratan India. Agama Budha mulai muncul
pada abad ke-6 SM. Sebagai agama yang muncul pada masa itu,
secara historis agama tersebut masih mempunyai kaitan erat
dengan agama pendahulunya, yaitu agama Hindu. Pembawa
ajaran agama ini adalah Sidharta Buddha Gautama, yang
sebelum memperoleh pencerahan merupakan seorang pangeran
kerajaan Maghada dan pemeluk agama Hindu.
Pedoman dan hukum-hukum yang diajarkan oleh
Sidharta mempunyai tujuan akhir untuk melepaskan
nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga
dapat mencapai nirvana. Sebagai agama, ajaran
Buddha tidak bertitik tolak kepada Tuhan dan
hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh
isinya. Agama Buddha justru bertitik tolak kepada
keadaan yang dihadapi manusia dalam
kehidupannya sehari-hari, khususnya tentang tata susila
manusia agar terbebas dari lingkaran sukkha yang
selalu mengiringi hidupnya.
Sidharta Gautama lahir sekitar tahun 560
S.M., di Gana-Sangha (persekutuan
mandiri) India Utara, dengan ibukotanya
Kapilawastu. Ia merupakan pangeran dari
kerajaan tersebut. Sebuah riwayat
menceritakan kelahirannya yang
menyatakan bahwa Maya, ibunya,
sebelum mengandung Sidharta
memimpikan seekor gajah putih masuk ke
dalam rahimnya.
Ratu Maya bermimpi
menjelang
kehamilannya
Setelah mimpi aneh tersebut, raja menanyakan makna
mimpi itu kepada 44 orang Brahmana termahsyur di
negerinya. Para Brahmana menyimpulkan, bahwa raja
akan segera memiliki keturunan. Peristiwa aneh kemudian
terjadi di saat proses mengandung, meskipun telah
mengandung lebih dari sembilan bulan, anak tersebut
tidak kunjung lahir.
Baru ketika memasuki bulan ke-10 usia kandungan, anak tersebut lahir. Tujuh hari
kemudian, ibu dari Sidharta Gautama meninggal. Sidharta kemudian diasuh dan
dibesarkan oleh bibinya. Meskipun dibesarkan oleh bibinya, Sidharta telah
menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata. Bahkan ia sudah bisa menulis sebelum
diajarkan oleh gurunya.
Dalam riwayat hidup Sidharta Gautama, disebutkan, bahwa pada awalnya ia
merupakan pemeluk agama Hindu, mengikuti orang tuanya. Untuk mencegah
pengaruh kehidupan masyarakat yang mungkin dapat melemahkan keimanannya,
maka ia tidak diizinkan melihat dunia luar istana.
Sidharta memperoleh pendidikan yang sangat isolatif dari masyarakat luar. Untuk
menyenangkan dan mencegah munculnya keinginan melihat dunia luar, keluarganya
memberikan kehidupan serba mewah kepadanya. Tetapi layaknya manusia pada
umumnya, Sidharta mengalami kebosanan dan ketidakpuasan dengan kehidupan
monoton yang dijalaninya.
Keluar dari Kehidupan Istana
Pangeran muda ini menikah dengan wanita
bernama Gopa. Dari hasil pernikahannya ia
memperoleh seorang anak, yang diberinama
Rahula. Rahula memiliki arti belenggu.
Pemberian nama tersebut mencerminkan
kehidupannya yang terbelenggu layaknya
terpenjara meskipun di istana.
Ketika Sidharta memasuki usia 29 tahun, ia beberapa kali berhasil keluar istana dan
melihat kehidupan luar istana. Di luar istana ia mendapatkan 4 pengalaman yang
memperkuat keinginannya untuk keluar dari istana semakin kuat:
1. Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan menyaksikan betapa usia tua
menghancurkan ingatan, keindahan, dan keperkasaan. Ia tidak pernah
bertemu dengan orang tua sebelumnya.
2. Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan, ia merasa kaget melihat
penderitaan sedemikian rupa. Ia tidak pernah mengalami penderitaan seperti
itu.
3. Ia melihat orang sedang menangis dalam duka dan prosesi pemakaman.
Perasaannya sangat terganggu oleh suasana penderitaan karena kematian. Ia
tidak pernah melihat peristiwa kematian sebelumnya.
4. Ia melihat seorang suci sedang mengembara, dengan rasa puas dan gembira,
berjalan berkeliling dengan mangkok drema di tangannya. Ia tiba-tiba mengerti
bahwa semua kesenangan hidup tidak berarti.
Proses Memperoleh Pencerahan
Empat pengalaman yang Sidharta alami, semakin memperkuat keinginannya untuk
mencari pengetahuan tentang kebenaran. Al-hasil, pada tengah malam ia
meninggalkan istana bersama istrinya, Gopa dan anaknya, Rahula.
Dalam proses mencari kebenaran, Sidharta berguru kepada banyak pendeta Hindu
yang sedang bertapa di hutan selama beberapa tahun. Pertama, ia berlatih
meditasi. Kedua, ia hidup sangat miskin bersama lima temannya. Akan tetapi, segala
pelajaran yang mereka berikan belum mampu memuaskannya.
Sidharta kemudian pergi ke suatu tempat yang kemudian dikenal dengan nama
Bodhgaya. Di sana bermeditasi selama beberapa tahun untuk mencari ilham sejati
yang dapat memberikan tuntunan hidup. Ketika ia duduk menyendiri di bawah
pohon bodhi untuk bermeditasi, saat itulah hal yang ia nantikan terjadi. Ia
memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.
Tiga malam berikutnya ia pergi melalui tiga tahap
pencerahan, melawan godaan Mara, roh jahat.
Pada malam pertama, seluruh kehidupan
pertamanya lewat di depan matanya. Malam
kedua, ia melihat lingkaran kelahiran, kehidupan,
dan kematian beserta hukum yang
menguasainya. Malam ketiga, ia mengerti
tentang “Empat Kebenaran Mulia”: keseluruhan
penderitaan, asal-usul penderitaan,
penyembuhan penderitaan, dan jalan
menemukan penyembuhan itu.
Ia kemudian sadar bahwa semua manusia
mengalami penderitaan, akar penderitaan
berasal dari keinginan kuat dan jika keinginan kuat
itu berhenti, maka penderitaan pun berhenti.
Sejak peristiwa itu ia memakai gelar Buddha, yang
Sidharta Buddha Gautama artinya telah memperoleh pengetahuan tentang
memperoleh pencerahan kebenaran yang sejati.
Selanjutnya, Sidharta dipanggil sampai tiga kali oleh Dewa Tertinggi,
Brahma, untuk membantu orang lain menerima pencerahan. Panggilan
untuk menyebarkan ajaran ini ia jalankan selama 44 tahun, dan pengikut
pertamanya adalah kelima temannya yang dulu hidup bersama dalam
kemiskinan.
Setelah melakukan penyebaran ajaran Buddha selama 44 tahun, Sidharta
Buddha Gautama meninggal pada tahun 483 SM., di Kusinagara. Tidak
ada pengikutnya yang dapat menggantikannya, karena kedudukan
Buddha bukan kedudukan yang dapat dicapai orang dalam waktu satu
generasi saja.
Kepercayaan dan Ajaran Agama Buddha
Setelah Sidharta Buddha Gautama memperoleh pencerahan, ia
memutuskan membatalkan kepergiannya ke nirvana agar dapat
mengajarkan visinya kepada orang lain. Visi ini ia ajarkan dalam Empat
Kebenaran Mulia atau disebut Catur Arya Sentani/Satyani, dan
Delapan Jalan Luhur atau disebut Astha Arya Margha.
Empat kebenaran luhur atau Catur Arya Sentani terdiri dari:
1) Dukha, artinya penderitaan, maksudnya bahwa hidup di dunia adalah
penderitaan. Sepanjang hidupnya manusia mengalami penderitaan, ajaran
Buddha ditunjukan untuk membantu manusia mengerti makna
penderitaan dan mengatasinya.
2) Samudaya, artinya sebab penderitaan. Penyebab penderitaan adalah
keinginan manusia yang kuat akan hidup, kesenangan, dan harta.
3) Nirodha, artinya pemadaman. Pemadaman di sini maksudnya adalah
menghilangkan penderitaan itu dengan jalan menyingkirkan keinginan
kuat.
4) Margha, jalan untuk menghilangkan keinginan kuat nafsu duniawi. Jalan
yang dimaksudkan adalah jalan tengah antara aksese dan hedonisme, satu-
satunya jalan untuk menghilangkan keinginan kuat itu.
Untuk menghilangkan keinginan kuat kehidupan duniawi, manusia harus menempuh
delapan jalan tengah atau disebut Astha Arya Margha, yaitu:
1. Mengerti empat kebenaran mulia dengan benar.
2. Berpikir benar, yang membawa kepada sifat mencintai semua bentuk kehidupan,
bahkan juga kepada kehidupan yang tingkatannya paling rendah sekalipun.
3. Berbicara dengan benar, dengan tujuan yang mulia.
4. Bertingkah laku dengan benar, menyangkut tindakan yang bermoral, penuh
perhatian kepada sesama, dan melakukan kebaikan terhadap semua makhluk
hidup.
5. Mata pencaharian yang benar, maksudnya adalah supaya umat Buddha tidak
mencari pencaharian dari hal-hal yang mengakibatkan kekerasan.
6. Usaha yang benar untuk mengusir semua pikiran jahat.
7. Perhatian yang benar menyangkut kesadaran terhadap kebutuhan orang lain.
8. Konsentrasi yang benar dalam melakukan meditasi, sehingga ketenangan batin
seseorang dapat tercipta.
Selama hidupnya, Sidharta “Buddha” Gautama tidak mengerjakan cara-cara
menyembah kepada tuhan maupun konsepi ketuhanan. Walaupun dalam
wejangan-wejangannya kadang menyebut tuhan, tetapi ia lebih banyak
menekankan tentang ajaran hidup suci, sehingga banyak ahli menyebut agama
Buddha sebagai ajaran moral.
Tidak disinggungnya konsep ketuhanan dalam agama Buddha tercermin dalam
credo/persaksian agama Buddha atau disebut Triratna, yang berbunyi:
Budham Saranam gacchami : Aku berlindung kepada Buddha.
Dhamman Saranam gacchami : Aku berlindung kepada Dharma (hukum-hukum
agama).
Sangham Saranam gacchami : Aku berlingung kepada Sangha (orde pendeta).
Dalam susunan kalimat kesaksian tersebut tidak disebut nama tuhan, hanya ada
penyerahan diri kepada Budha, Dharma, dan Sangha.
Sementara untuk menegakkan Dharma, pengikut-pengikut Buddha pada
umumnya wajib menjauhi larangan-larangan, sebagai berikut:
1) Dilarang melakukan pembunuhan terhadap semua makhluk.
2) Dilarang melakukan pencurian, perampokan, penyerobotan, dan
sebagainya.
3) Dilarang melakukan perbuatan cabut, misalnya berzina.
4) Dilarang berbuat dusta/menipu.
5) Dilarang minum minuman keras.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Ajaran Buddha Gautama
merupakan reformasi terhadap ajaran para Brahman. Ia sendiri berasal dari
golongan Ksatria, sehingga tidak mengherankan jika banyak orang dari kasta
tersebut yang menjadi pengikutnya.
Reformasi yang dilakukan oleh Buddha Gautama, antara lain:
a. Meniadakan sistem kasta menurut agama Hindu.
b. Meniadakan penyembahan kepada banyak dewa.
c. Memberikan pengertian baru kepada hukum karma dan
samsara/reinkarnasi.
Menurut Buddha Gautama, jika manusia mampu melaksanakan hidup suci
dengan melenyapkan keinginan kuat nafsu kehidupan, maka setelah ia
melalui serangkaian reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai nirwana.
Orang yang telah mencapai nirwana disebut Arahat. Dalam rangkaian
reinkarnasi itu orang dapat menjelma menjadi manusia kembali, binatang
atau dewa.
Aliran-Aliran Agama Budha
Beberapa abad setelah Buddha meninggal, Buddha Theravada dan Mahayana
lahir sebagai dua aliran utama dalam pengajaran Budha. Buddha Theravada
adalah jalan keselamatan yang biasanya diikuti oleh para rahib, sedangkan
Buddha Mahayana adalah kelompok yang paling bear di antara dua kelompok
aliran itu dengan lebih dari 300 juta pengikut di seluruh dunia.
Terdapat perbedaan yang mendasar di dua aliran ini, karena saat Buddha
Gautama meninggal ajaran Buddha waktu itu belum dicatat atau dibukukan,
maka ajaran yang diajarkan kepada murid-muridnya hanya tersimpan dalam
ingatan mereka. Maka timbul perbedaan perubahan dan perbedaan
penafsiran di antara dua aliran ini.
Buddha Theravada
Buddha Theravada atau Hinayana merupakan aliran ortodoks dalam agama Buddha, yaitu aliran
yang mempertahankan keaslian ajaran agama Buddha. Aliran ini dapat ditemuai di Sri Lankka,
Myanmar, Thailand, dan beberapa tempat di Asia Tenggara. Theravada artinya jalan bagi kaum
tua-tua, sementara Hinayana berarti kendaraan kecil. Ajarannya didasarkan pada kitab yang
disebut Pali Canon, yang dipercayai pemeluk sekte ini sebagai catatan paling akurat tetang apa
yang dikatakan dan dilakukan oleh Buddha.
Salah satu esensi pokok dari kitab itu adalah menekankan bahwa Buddha hanyalah seorang
manusia, seseorang yang telah mencapai pencerahan, dan bahwa pencerahan dapat dicapai
dengan mengikuti teladan dan ajarannya.
Tujuan tertinggi dari aliran ini adalah menjadi Arahat yaitu orang yang benar-benar telah lenyap
nafsu dan keinginannya serta ketidaktahuannya, sehingga ia dapat mencapi Nirwana dan
terbebas dari rangkaian samsara (reinkarnasi). Aliran ini menitik beratkan pada kelepasan
individual, artinya tiap orang berusaha melepaskan dirinya masing-masing dari penderitaan
hidup.
Dalam sekte Theravada terdapat dua golongan umat. Golongan pertama
adalah para rahib Buddha, atau biasa yang disebut biksu. Mereka
bergantung pada kaum awam Buddha untuk makanan dan pakaian mereka.
Para biksu bebas dari tugas rumah tangga sehingga mereka mempunyai
kesempatan yang baik untuk mencapai nirvana. Di antara para biksu itu,
para rahib hutan lah yang paling dekat pada pencerahan karena meditasi
mereka yang sangat ketat.
Sementara golongan kedua adalah pemilik rumah tangga. Golongan ini akan
menerima kemurahan kelahiran kembali pada masa yang akan datang
dengan cara memberikan makanan, pakaian, dan uang kepada para rahib.
Buddha Mahayana
Mahayana yang artinya kendaraan besar adalah aliran yang mengadakan
pembaharuan terhadap ajaran Buddha yang asli. Penganut aliran ini banyak
dijumpai di negara-negara India, Nepal, Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea,
Jepang, dan India. Tokoh terkemuka yang dianggap sebagai reformer oleh
penganut aliran ini adalah Acvagosha. Ciri khas dari aliran ini adalah adanya
upacara penyembahan kepada Tuhan dalam agama Buddha.
Jika meneliti lebih dalam konsepsi ketuhanan menurut aliran Mahayana,
sebenarnya hampir menyerupai paham kedewataan dalam agama Hindu.
Dengan demikian terdapat keterkaitan historis bahwa kepercayaan India
lama itu masih tampak pengaruhnya di kepercayaan agama Buddha,
khususnya Mahayana.
Dalam konsepsi ketuhanan aliran Mahayana masih tampak adanya
pengaruh dari aliran Bhakti dan Tantra. Yaitu aliran yang merupakan
perpaduan sinkretis dari berbagai macam kepercayaan, termasuk
kepercayaan primitif di India.
Menurut Teologi Mahayana, yang disebut Buddha itu bukan hanya Buddha
Gautama saja, melainkan terdapat 4 orang lagi yang disebut Buddha
sebagai guru dunia, yaitu: Kakusandha, Konagammana, dan Kassapa yang
telah datang sebelum Buddha Gautama, dan setelah Buddha Gautama
kelak akan datang seorang lagi manusia Buddha yang bernama Maitreya.
Menurut kepercayaan aliran Mahayana, tujuan tertinggi
bukanlah menjadi Arahat layaknya aliran Theravada, melainkan
menjadi Boddhisatwa. Cita-cita pengikut aliran Mahayana
bukan lah kelepasan individual, tetapi kelepasan bersama-
sama orang banyak, sehingga aliran itu diberi nama kendaraan
besar, karena mempunyai jangkauan untuk menyelamatkan
lebih banyak umat manusia.
PERBEDAAN MENDASAR ALIRAN
THERAVADA DAN MAHAYANA

No. Theravada Mahayana


1. Manusia sebagai pribadi. Manusia terlibat dengan sesamanya.
Manusia sendirian dalam alam
Manusia tidak sendiran (penyelamatan
2. semesta (emansipasi dengan
melalui rahmat).
upaya sendiri).
3. Kebajikan utama: kearifan. Kebajikan utama: Karunia, belas kasih..
Agama sebagai jabatan seumur Agama itu penting bagi hidup di dunia
4.
hidup (khususnya bagi para rahib). (tidak terbatas di rahib).
5. Tujuan akhir: Arahat. Tujuan akhir : Boddhisatwa.
Kitab Suci Agama Buddha
Ajaran tertulis Buddha dibagi menjadi dua bagian,
yaitu tulisan yang menurut tradisi berasal langsung
dari Buddha sendiri, dan tulisan yang berasal dari
sarjana dan orang-orang suci. Baik Buddha
Theravada atau pun Buddha Mahayana memiliki
kitab yang berbeda.
Kitab Suci Theravada
Selama berabad-abad ajaran Buddha pada awal
masa lalu tetap dijaga keberadaaanya dan
dituturkan kembali kapada umat Buddha oleh
Sangha (komunitas para rahib yang didirikan
Pali Canon Buddha). Pada abad pertama SM, ajaran ini ditulis
dalam bahasa Pali di atas manuskrip daun palma di
Sri Langka.
Buddha sendiri berbahasa dengan menggunakan dialek Pali. Kitab suci itu
kemudian dikenal dengan nama Pali Canon. Kitab suci tersebut pada
perkembangannya dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengn Tripitaka
(tiga bakul).
1. Vinaya Pitaka, berbicara mengenai
2. Sutta Pitaka, terdiri dari bermacam-macam ceramah yang diberikan oleh
Buddha.
3. Abhimdhamma Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha.
Kitab Suci Mahayana
Kitab Suci Mahayana pada awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta
(bahasa India pertama). Kebanyakan isinya dapat dijumpai dalam Pali
Canon, tetapi dengan penambahan kitab-kitab lainnya. Ada pun kitab-
kitab tambahan ini dipercayai sebagai “sabda Buddha”. Salah satu
yang paling terkenal adalah Vimalakirti Sutra, yang berisi tentang
seseorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci daripada
semua Boddhisatwa.
Ibadat Agama Buddha
Buddha merupakan seorang guru dunia dan bukan dewa. Ibadat umat Buddha di biara, kuil, atau di
rumah, meliputi penghormatan di depan patung Buddha dan memanjatkan doa-doa suci. Biara
atau vihara, merupakan pusat peribadatan umat Buddha. Meskipun demikian, prosesi ibadat juga
dapat dilaksanakan di kuil dan di tempat pemujaan di rumah-rumah umat Buddha.
Biara merupakan tempat untuk kegiatan spiritual di samping sebagai tempat belajar. Di tempat ini
para rahib Buddha menjalani hidup berdevosi dan bermeditasi. Mereka mengajarkan Dharma
“hukum universal”, yaitu ajaran-ajaran Buddha kepada manusia dan berusaha mendapatkan
kebutuhan spiritual mereka. Para rahib juga dibutuhkan oleh umat untuk berbagai upacara yang
menyangkut kehidupan antara lain, upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan kematian.
Rahib Buddha hidup sesuai dengan pedoman yang terdapat dalam Pali Canon. Mereka juga juga
mematuhi lima aturan tambahan khusus untuk para rahib, yakni:
1. Tidak diperkenankan bergabung dengan berbagai bentuk hiburan, termasuk menyanyi dan
menari.
2. Mereka tidak diperkenankan tidur di atas tempat tidur yang mewah.
3. Mereka tidak diperkenankan makan di luar jam makan biara.
4. Mereka tidak diperkenankan menggunakan wewangian.
5. Mereka tidak diperkenankan menerima pemberian berupa emas dan perak.
Bentuk Ibadat
Tubuh, bahasa, dan pikiran merupakan unsur integral dalam ibadat umat Buddha maka meditasi
yang hening, ajaran, pemberian persembahan, dan puji-pujian dilakukan. Sebelum memasuki
ruang pemujaan yang terdapat patung Buddha di dalmnya, para peserta ibadat menanggalkan alas
kaki mereka. Lalu mereka mengatur tanggannya sebelum bersujud dengan posisi berlutut (untuk
aliran Theravada), sementara untuk Mahayana dalam posisi berdiri.

Terdapat tiga persembahan pokok yang dapat dipersembahkan selama proses ibadat, yaitu:
1.Persembahan bunga sebagai peringatan akan kehidupan yang tidak kekal.
2.Persembahan lilin untuk mengusir kegelapan.
3.Persembahan dupa sebagai peringatan akan keabadian harumnya ajaran Buddha.

Buddha Mahayana mempersembahkan tujuh macam persembahan kepada Buddha, yang sering
dilambangkan oleh tujuh mangkok air yang dapat digunakan untuk minum, mandi, atau membasuh
kaki. Setelah persembahan dilakukan di tiga tempat perlindungan (Buddha, Dharma, dan Sangha)
dan lima aturan didaraskan. Selanjutnya beberapa mantra diucapkan lalu dilanjutkan prosesi
meditasi, biasanya juga ada pengajaran sebelum ibadat selesai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin, H. M. 1997. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta:
Golden Terayon Press.
2. Keene, Michael. 2006. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius.
3. Manaf, Mujahid Abdul. 1994. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
4. Sutrisno, Mudji (ed). 1993. Buddhisme : Pengaruhnya dalam Abad Modern.
Yogyakarta: Kanisius.
5. Swarnasanti, E. 2007. Riwayat Hidup Buddha Gautama. Bandung: Pustaka
Karaniya.

Anda mungkin juga menyukai