TINJAUAN TEORI
a. Pengertian
f. Tata Laksana
Penanganan leukemia meliputi terapi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan komplikasi yang
menyertai leukemia seperti pemberian transfusi darah, pemberian antibiotik, obat
anti jamur, pendekatan nutrisi yang baik dan terapi psikososial. Terapi kuratif
bertujuan untuk membunuh sel-sel leukemia melalui kemoterapi dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat sitostatiska. Prinsip kerjanya adalah melalui
efek sitostatik obat kemoterapi dengan cara memengaruhi sintesis atau fungsi DNA
sel leukemia ( Permono dan Ugrasena, 2010 dikutip dalam ward 2014 ).
Berdasarkan risiko relapsnya pengobatan LLA dibagi menjadi 2 yaitu
pengobatan untuk risiko standar dan risiko tinggi. Pasien digolongkan kedalam
risiko standar apabila terdiagnosis saat berusia 1-10 tahun dengan jumlah leukosit 10
tahun, jumlah leukosit >50 x 103 µL, terdapat massa di mediastinum, terdapat
keterlibatan SSP dan testis atau jumlah limfoblast absolut pada sirkulasi 1000/mm3.
Klasifikasi risiko standar dan risiko tinggi menentukan protokol kemoterapi yang
dipergunakan ( Permono dan Ugrasena, 2010 dikutip dalam ward 2014 ).
Protokol kemoterapi yang digunakan di Bagian Hematoonkologi SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar adalah protokol Indonesia 2006. Protokol
ini terdiri atas 2 macam yaitu protokol kemoterapi risiko standar dan protokol
kemoterapi risiko tinggi. Protokol kemoterapi risiko standar terdiri atas fase induksi
yang berlangsung selama 6 minggu dan fase konsolidasi yang berlangsung selama 5
minggu, kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan.Sedangkan protokol kemoterapi
risiko tinggi terdiri dari fase induksi selama 6 minggu, fase konsolidasi selama 6
minggu dan fase reinduksi selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan ke fase
pemeliharaan. Pada protokol risiko tinggi, jenis obat sitostatiska yang dipergunakan
lebih banyak dengan fase kemoterapi lebih lama (Permono dan Ugrasena, 2010
dikutip dalam ward, 2014 ).
Leukimia limfoblastik akut pada anak usia <1 tahun disebut dengan infant
leukemia yang memiliki karakteristik biologis limfobias yang berbeda sehingga
memberikan respon pada protocol kemoterapi yang berbeda dibandingkan anak
dengan usia yang lebih tua. Leukimia dengan morfologi L3 digolongkan sebagai
bukti limfoma. Leukimia ini dapat menginfiltrasi sumsum tulang dan memiliki
kecepatan proliferasi limflobas yang tinggi sehingga memberikan respon pada
protokol kemoterapi yang berbeda (Margolin dkk., 2002 dikutip dalam ward, 2014).
2. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data
yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan
pertahanan pasien, mengidektifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta
merumuskan diagnose keperawatan.
Ada 3 fase dasar untuk pengkajian:
1) Pengkajian awal: pengkajian yang dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama
dengan pasien yang meliputi ABCD ( airway, briting, cirkulatio dan disability ).
2) Pengkajian dasar: Pengkajian lengkap dimana semua system dikaji.
3) Pengkajian terus-menerus: suatu pengkajian ulang secara terus-menerus yang
dibutuhkan pada status perubahan yang sakit kritis.
Dalam pengkajian kegawatdaruratan dilakukan dua tahap pengkajian yaitu
pengkajian primary survey dan pengkajian sekundery survey. Prioritas dilakukan
pada primary survey meliputi:
1) Airway maintenance, dengan cervical spine protection.
Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan napas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan napas pasien terbuka.
Hal-hal yang perlu dikaji:
a) Bersihkan jalan napas.
b) Ada tidaknya sumbatan jalan napas.
c) Distress pernapasan.
d) Tanda-tanda pendarahan dijalan napas, muntahan, edema laring.
e) Sumbatan jalan napas total.
f) Pasien sadar: memegang leher, gelisah, sianosis.
g) Pasien tidak sadar: tidak terdengar suara napas dan sianosis.
h) Sumbatan jalan napas sebagian.
i) Korban mungkin masih mampu bernapaas namun kualitas pernapasannya bisa
baik atau buruk.
j) Pada korban dengan pernapasan yang masih baik, anjurkan untuk batuk
dengan kuat sampai benda keluar.
k) Bila sumbatan parsial menetap, aktifkan system emergency.
l) Obstruksi parsial dengan pernapasan buruk diperlukan seperti sumbatan jalan
napas komplit.
m) Sumbatan dapat disebabkan oleh berbagai hal penyebab pasien bernapas
dengan berbagai suara: cairan akan menimbulkan gurgling, lidah jatuh
kebelakang akan menimbulkan suara ngorok, penyempitan jalan napas akan
menimbulkan suara crowing.
2) Breathing dan oksigenasi Menilai kepatenan jalan napas dan keadekuatan
pernapasan pada pasien. Jika pernapasan tidak memadai, langka-langka yang
harus dipertimbangkan adalah:
a) Dekompresi dan drainase tension pneumothorax/hematorax
b) Ventilasi buatan
c) Frekuensi pernapasan
d) Suara pernapasan
e) Adanya udara keluar dari jalan napas Cara pengkajian seperti Look: apakah
kesadaran menurun, gelisah, adanya jejas diatas klavikula, adanya
penggunaan otot tambahan. Listen: Dengan atau tanpa stetoskop, apakah ada
suara tambahan dan feel.
3) Circulation dan control pendarahan eksternal. Shock didefinisikan sebagai tidak
adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab
syok paling umum pada trauma.
Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis:
a) Hipotensi
b) Takikardi
c) Takipnea
d) Hipotermia
e) Pucat
f) Ektremitas dingin
g) Penurunan capillary refill
h) Penurunan produksi urine Adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah
satu alasan yang cukup aman untuk mengansumsikan telah terjadi pendarahan.
Lakukan upaya menghentikan pendarahan.
4) Disability Disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU:
a) A ( Alert ) yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan.
b) V ( Vocalizes ) tidak sesuai, atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti.
c) P ( responds to pain only )
d) U ( unresponsive to pain ) Pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbail.
5) Eksposure dengan control lingkungan Menanggalkan pakaian pasien dan
memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cederah leher atau
tulang belakang, imobilisasi penting untuk dilakukan.
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu
sebagai berikut:
1) S (Sign and symptom) : Tanda dan gejalah terjadinya tension pneumothoraks,
yaitu adanya jejas pada thorak, dan nyeri pada tempat trauma, bertambah
pada saat inspirasi, pembengkakan local, dan krepitasi pada saat palpasi,
pasien Manahan dadanya dan bernapas pendek, ispnea, hemoptysis, batuk
dan emfisema subkutan, penurunan tekanan darah.
2) A (Allergies) : Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik
alegi obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan dan minum.
3) M (Medications anticoagulants, insulin and cardiovasculae
medicationsespecially) : Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya
yang sesuai dengan keadaan klien dan tidak menimbulkan reaksi alergi.
Pemberian obat dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
4) P (Previous medical osurgical history) : Riwayat pembedahan atau masuk
rumah sakit sebelumnya.
5) Last meal (Time) : Waktu klien terakhir makan atau minum.
6) E (Events/environment surrounding the injury).
Adapun hal-hal yang dikaji dalam pengkajian sekunder seperti berikut ini:
1) Aktivitas/istirahat Dipsnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
2) Sirkulasi Takikardi, frekuensi tak teratur (distitmia), S3 atau S4 irama
jantung gallop, nadi apical (berpindah oleh adanya penyimpangan
mediastinal), tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan
jantung, menunjukan udara dalam mediastinum).
3) Psikososial Ketakutan atau gelisah.
4) Makan dan cairan Adanya pemasangan (2 vena sentral dan infuse tekanan).
5) Nyeri dan kenyamanan Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada
unilateral meningklat karena batuk, timbul tiba-tiba sementara batuk atau
regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
6) Pernapasan Pernapasan meningkat dan takipnea, peningkatan kerja napas,
penggunaan otot aksesoris pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat,
bunyi napas menurun dan hilang (auskultasi), mengindikasikan bahwa paru
tidak mengembang dalam rongga pleura/fremitus menurun, perkusi dada:
hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada: gerakan dada
tidak sama bila trauma, Kulit: pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas,
gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada
atau trauma: penyakit paru kronik, inflamasi dan infeksi paru (empiema dan
efusi), keganasan (misalnya obstruksi tumor)
7) Keamanan Adanya trauma dada, radiasi, dan kemoterapi untuk keganasan
(Muhajir, 2012 dikutip dalam Supriadi, 2018).
Pengkajian leukemia pada riwayat penyakit didasarkan atas tanda dan
gejalah yang terdiri atas:
a. Kaji adanya tanda-tanda anemia (pucat, kelemahan, sesak, napas cepat).
2) Kaji adanya tanda-tanda leukopenia (demam, infeksi).
b. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia (ptechiae, purpure, pendarahan
membrane mukosa).
c. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola, (Limfadenopati,
Hepatomegali, splenomegaly).
d. Kaji adanya (hematuria, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi, disekitar
rektal nyeri).
b. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen.
2) Nyeri akut berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia.
3) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapidan atau
stomatitis. 5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh.
5) Resiko infeksi, factor resiko: proses infasif, kerusakan jaringan dan paparan
lingkungan, penyakit kronis, ketidak kuatan imun buatan, tidak adekuat
pertahanan sekunder (penurunan HB, leukopenia, penekanan respon inflamasi).
c. Intervensi
Nursing outcomes classification (NOC) untuk diagnosa keperawatan
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen, yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8
jam diharapkan pola napas pasien efektif ditandai dengan indikator hasil:
1) Dispnea berkurang dari cukup berat (4) menjadi ringan (2).
2) Suara auskultasi nafas vesicular dan tidak ada bunyi napas tambahan.
3) Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan berkurang.
4) Pola napas normal (eupnea).
Nursing intervensions classification (NIC) untuk diagnose keperawatan
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen, yaitu:
1) Monitor Frekuensi, irama, dan usaha bernapas.
2) Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kusmaul, cheyne stokes,
biot)
3) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
4) Auskultasi bunyi napas
5) Kolaborasi pemberian terapi O2
Nursing outcomes classification ( NOC ) untuk diagnosa keperawatan Nyeri
akut berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia yaitu setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1x8 jam diharapkan nyeri yang dirasakan pasien
berkurang yang ditandai dengan indikator hasil:
a. Melaporkan nyeri berkurang dari skala 2 (Ringan) menjadi skala 1 (ringan). 2)
Memperlihatkan tehnik relaksasi secara individual yang efektif.
b. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).
c. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dari skala 2 (ringan) menjadi skala
1(ringan).