Anda di halaman 1dari 16

A.

TINJAUAN TEORI

1. Konsep dasar medis

a. Pengertian

Leukimia adalah suatu penyakit keganasan yang dikarenakan adanya


abnormalitas gen pada sel hematopoetik sehingga menyebabkan poliferasi klonal
dari sel yang tidak terkendali, dan sekitar 40% leukimia terjadi pada anak
( Widagdo, 2012 di kutip oleh Rahmadina, 2018 ).
Leukimia adalah penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum
tulang, ditandai dengan proliferasi sel-sel darah putih serta gangguan pengaturan
leukosit dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Setiap inti sel
memiliki kromosom yang menentukan ciri fisik, misalnya kulit coklat, rambut lurus,
mata putih, sedangkan gen merupakan bagian terkecil dari kromosom yang memiliki
fungsi dan jumlahnya berjuta-juta. Bentuk akut dari leukikimia yang diklarifikasikan
menurut sel yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa lymphoblastis.
Pada keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering
disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat
menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian ( Ngastiyah,
2012 dikutip dalam Supriadi 2018 ). Keganasan sel limfosit, berupa proliferasi
patologis sel-sel hematopoietik mudah ditandai dengan kegagalan sumsum tulang
meproduksi sel darah.
Leukimia akut ditandai dengan perjalanan penyakit yang sangat cepat,
mematikan, dan memburuk. Apabila hal ini tidak segerah diobati, maka dapat
menyebabkan kematian dalam hitungan minggu hingga hari. Sedangkan leukemia
kronik memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki
harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari 1 tahun ( Wirawan, 2013 dikutip
dalam Supriadi 2018 ).
Jenis-jenis leukemia berdasarkan defenisi diatas dapat dilihat terdapat 4
jenis leukemia yaitu:
1) Leukimia Limfoblastik Akut ( LLA )
Leukimia limfoblastik akut itu sendiri adalah suatu penyakit keganasan
pada jaringan hematopoetik yang ditandai dengan penggantian elemen sumsum
tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik dan penyebabkan
penekanan dan penggantian unsur sumsum yang normal ( Price, 2009 di kutip
oleh Rahmadina, 2018 ).
Leukimia limfoblastik akut juga merupakan tipe leukemia paling sering
terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama
telah berumur 65 tahun atau lebih. Puncak usia terjadi Leukimia limfoblastik
akut adalah kira-kira 4 tahun, walaupun penyakit ini dapat mengenai semua usia.
Individu-individu tertentu, seperti penderita sinrom down dan ataksia-
telangieksis sangat beresiko mengalami penyakit ini. Penyebab tidak dapat
diketahui, walaupun dapat berkaitan dengan factor genetik, lingkungan, infeksi,
dan di pengaruhi oleh imun. Gejalah pada saat pasien datang berobat adalah
pucat, Fatigue, demam, pendarahan, memar. Nyeri tulang, sering dijumpai, dan
anak kecil dapat datang untuk dievaluasi karena pincang atau tidak mampu
berjalan.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie, limfadenopati dan
hepatosplenomegali. Evaluasi laboratorium dapat menunjukan leukositosis,
anemia, dan trombositopenia. Pada kira-kira 50% pasien ditemukan jumlah
leukosit melebihi 10.000/mm3 . Neutopenia ( jumlah netrofil absolute kurang
dari 500/mm3 ) sering dijumpai. Limfoblas dapat melaporkan didaerah perifer,
tetapi pemeriksaan yang berpengalaman dapat melaporkan Limfoblas tersebut
sebagai Limfosit atipik. Diagnosis pada leukemia ditegakkan dengan lakukan
aspirasi sumsum tulang yang memperlihatkan limfoblas lebih dari 25%.
Sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan imunologik, sitogenik, dan karakter
biokimia sel. Cairan spinal juga perlu diperiksa karena system saraf pusat
merupakan tempat persembunyian penyakit ekstrameduler.
Faktor-faktor prognostic seperti jumlah leukosist awal dan usia pasien
menentukan pengobatan yang diindikasikan. Pasien-pasien yang beresiko tinggi
memerlukan terapi yang lebih intensif. Kebanyakan rencana-rencana pengobatan
berlangsung selama 2-3 tahun dan dimulai dengan fase induksi remisi yang
bertujuan untuk menurunkan beban leukemia yang dideteksi menjadi kurang dari
5%. Fase terapi berikutnya bertujuan untuk menurunkan dan akhirnya
menghilangkan semua sel leukemia dari tubuh terapi. Terapi preventif pada saraf
pusat termaksud didalam semua protocol terapi. Kemoterapi dengan beberapa
obat merupakan terapi utama walaupun pada beberapa pasien yang beresiko
tinggi dilakukan radiasi pada system saraf pusat. Transplantasi sumsum tulang
merupakan pendekatan pengobatan lain yang dilakukan pada anak yang
mengalami relaps sumsum tulang. Tempat relaps lain adalah system saraf pusat
dan testis. Prognosis untuk daya tahan tubuh shidup bebas panyakit lain lama
adalah kira-kira 75% pada semua kelompok resiko ( M.william schawtz,2005
dikutip dalam Supriadi 2018 ).
2) Leukimia Mielositik Akut ( LMA ).
Ini lebih sering terjdi pada dewasa daripada anak-anak. Tipe ini dahulunya
disebut leukemia nonlimfoblastik akut.
3) Leukimia Limfoblastik Kronik ( LLK ).
Hal ini sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun.
Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa mudah, dan hamper tidak ada pada
anak-anak ( Bradley J ed al,2007 dikutip dalam Supriadi 2018 ).
4) Leukimia Miolositik Kronik ( LMK ).
Sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada anak-anak,
namun sangat sedikit ( Padila,2013 dikutip dalam Supriadi 2018 )
b. Etiologi
Etiologi spesifik leukemia limpoblastik akut belum diketahui, tetapi terdapat
hubungan dengan proses multifaktorial yang berkaitan dengan genetik, imunologi,
lingkungan, bahan toksik, dan paparan virus. Faktor lingkungan meliputi antara lain
paparan ionizing radiation, bahan toksik kimia, herbisida dan pestisida. Pemakaian
obat-obatan seperti kontrasepsi, diethylstilbestrol, dan amfetamin, rokok, konsumsi
alkohol, kontaminasi zat kimia sebelum atau selama kehamilan mempunyai
hubungan tidak konsisten dengan leukemia limpoblastik akut. Ionizing radiation dan
paparan benzene merupakan faktor risiko yang berhubungan erat baik akut (Yeni,
2014).
Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor genetik yaitu riwayat keluarga,
kelainan gen, dan translokasi kromosom. Leukemia juga dipengaruhi Human T-cell
Leukemia Virus-1 (HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu saat melahirkan,
serta karakteristik saat lahir seperti berat lahir dan urutan lahir ( Ward, 2014 ).
Beberapa penelitian melaporkan adanya kemungkinan hubungan antara medan
elektromagnetik dari daya voltase tinggi dan perkembangan leukemia, tetapi
penelitian yang lebih besar tidak mengonfirmasi hubungan tersebut. Sampai saat ini,
penyebab leukemia umumnya tidak dapat diidentifikasi ( Yenni 2014 ).
c. Patofisiologi
Patofisiologi LLA dicirikan oleh proliferasi limfoblas imatur. Pada tipe
leukemia akut, kerusakan mungkin pada tingkat sel punca limfopoietik atau
prekursor limfoid yang lebih muda. Sel leukemia berkembang lebih cepat daripada
sel normal, sehingga menjadi crowding out phenomenon di sumsum tulang.
Perkembangan yang cepat ini bukan disebabkan oleh proliferasi yang lebih cepat
daripada sel normal, tetapi selsel leukemia menghasilkan faktorfaktor yang selain
menghambat proliferasi dan diferensiasi sel darah normal, juga mengurangi
apoptosis dibandingkan sel darah normal ( Yenni, 2014 ).
Perubahan genetik yang mengarah ke leukemia dapat mencakup antara lain
menurut ( Yenni, 2014 ) :
1) Aktivasi gen yang ditekan (protogen) untuk membuat onkogen yang
menghasilkan suatu produk protein yang mengisyaratkan peningkatan proliferasi
2) Hilangnya sinyal bagi sel darah untuk berdiferensiasi
3) Hilangnya gen penekan tumor yang mengontrol proliferasi normal
4) Hilangnya sinyal apoptosis
d. Manifestasi Klinis
Adapun gejalan yang muncul pada penderita leukemia limpoblastik akut
seperti berikut ( Ester, 2013 dikutip dalam Supriadi 2018 ).
1) Demam tinggi Demam tinggi disebkan karena adanya penurunan leukosit, secara
otomatis akan menurunkan daya tahan tubuh kerena leukosit yang berfungsi
untuk mempertahankan daya tahan tubuh tidak dapat bekerja secara optimal.
2) Pendarahan Pendarahan dapat dilihat dan dikaji dari adanya pendarahan mukosa
seperti gusi, hidung (epistaksis) atau pendarahan bawah kulit yang sering disebut
peteki. Pendarahan ini dapat terjadi secara spontan atau kerana trauma. Apabila
kadar trombosit sangat rendah, pendarahan dapat terjadi secara spontan.
3) Anemia Anemia disebabkan kerana produksi sel darah merah kurang, akibat dari
kegagalan sumsum tulang memproduksi sel hemoglobin, turunnya hemotokrit,
jumlah sel darah merah kurang. Anak yang menderita leukemia mengalami pucat,
mudah lelah, kadang-kadang sesak napas.
4) Nyeri abdomen Nyeri abdomen muncul akibat adanya pembengkakan atau rasa
tidak nyaman di perut (akibat pembesaran limpah). Serta beberapa gejalah lain
yang bisa muncul seperti gejalah : pasien mengalami penurunan berat badan,
malaise, nyeri tulang, kejang, sakit kepala, dan diplopia.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1) Pemeriksaan darah tepi.
a) Kadar Hb menunjukkan penurunan ringan hingga berat dengan morfologi
normokromik normositer. Kadar Hb yang rendah menunjukkan durasi
leukemia yang lebih panjang, sedangkan kadar Hb yang tinggi
menunjukkan leukemia dengan proliferasi yang lebih cepat.
b) Sel darah putih dapat normal, menurun atau meningkat.
c) Sebanyak 92% dengan kadar trombosit dibawah normal.
d) Pada hapusan darah tepi dapat ditemukan adanya sel blas. Sel blas pada
pasien dengan leukopenia umumnya hanya sedikit atau bahkan tidak
tampak. Sel blas banyak ditemukan pada pasien dengan jumlah leukosit
lebih dari 10 x 103/µL (Ward, 2014).
2) Sumsul tulang Jumlah normal sel blas pada sumsum tulang adalah kurang dari
5%. Sediaan hapusan sumsum tulang pada LLA menunjukkan peningkatan
kepadatan sel dengan trombopoesis, eritropoesis dan granulopoesis yang
tertekan, disertai jumlah sel blas >25%. Berdasarkan morfologi blas pada
hapusan sumsum tulang, French-American British (FAB) membedakan LLA
menjadi 3 antara lain:
a) L1 : terdiri dari sel-sel limfoblast kecil serupa, dengan kromatin homogen,
anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
b) L2 : terdiri dari sel-sel limfoblas yang lebih besar tetapi ukurannya
bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
c) L3 : terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi (Ward, 2014).
3) Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi
imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan
surfacemarker guna membedakan jenis leukemia (Pudiastuti, 2013 dikutip
dalam Supriadi 2018).
Pemeriksaan imunologi atau sering disebut dengan imunophenotyping
digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi antigen seluler. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menggunakan sampel darah perifer dan sumsum tulang
untuk membedakan leukemia sel T atau sel B ( Gupta, 2015 ).
4) Pemeriksaan sitogenik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat
diperlukan dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat
dihubungkan dengan prognosis (Pudiastuti, 2013 dikutip dalam Supriadi
2018).

f. Tata Laksana
Penanganan leukemia meliputi terapi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan komplikasi yang
menyertai leukemia seperti pemberian transfusi darah, pemberian antibiotik, obat
anti jamur, pendekatan nutrisi yang baik dan terapi psikososial. Terapi kuratif
bertujuan untuk membunuh sel-sel leukemia melalui kemoterapi dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat sitostatiska. Prinsip kerjanya adalah melalui
efek sitostatik obat kemoterapi dengan cara memengaruhi sintesis atau fungsi DNA
sel leukemia ( Permono dan Ugrasena, 2010 dikutip dalam ward 2014 ).
Berdasarkan risiko relapsnya pengobatan LLA dibagi menjadi 2 yaitu
pengobatan untuk risiko standar dan risiko tinggi. Pasien digolongkan kedalam
risiko standar apabila terdiagnosis saat berusia 1-10 tahun dengan jumlah leukosit 10
tahun, jumlah leukosit >50 x 103 µL, terdapat massa di mediastinum, terdapat
keterlibatan SSP dan testis atau jumlah limfoblast absolut pada sirkulasi 1000/mm3.
Klasifikasi risiko standar dan risiko tinggi menentukan protokol kemoterapi yang
dipergunakan ( Permono dan Ugrasena, 2010 dikutip dalam ward 2014 ).
Protokol kemoterapi yang digunakan di Bagian Hematoonkologi SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar adalah protokol Indonesia 2006. Protokol
ini terdiri atas 2 macam yaitu protokol kemoterapi risiko standar dan protokol
kemoterapi risiko tinggi. Protokol kemoterapi risiko standar terdiri atas fase induksi
yang berlangsung selama 6 minggu dan fase konsolidasi yang berlangsung selama 5
minggu, kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan.Sedangkan protokol kemoterapi
risiko tinggi terdiri dari fase induksi selama 6 minggu, fase konsolidasi selama 6
minggu dan fase reinduksi selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan ke fase
pemeliharaan. Pada protokol risiko tinggi, jenis obat sitostatiska yang dipergunakan
lebih banyak dengan fase kemoterapi lebih lama (Permono dan Ugrasena, 2010
dikutip dalam ward, 2014 ).
Leukimia limfoblastik akut pada anak usia <1 tahun disebut dengan infant
leukemia yang memiliki karakteristik biologis limfobias yang berbeda sehingga
memberikan respon pada protocol kemoterapi yang berbeda dibandingkan anak
dengan usia yang lebih tua. Leukimia dengan morfologi L3 digolongkan sebagai
bukti limfoma. Leukimia ini dapat menginfiltrasi sumsum tulang dan memiliki
kecepatan proliferasi limflobas yang tinggi sehingga memberikan respon pada
protokol kemoterapi yang berbeda (Margolin dkk., 2002 dikutip dalam ward, 2014).
2. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data
yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan
pertahanan pasien, mengidektifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta
merumuskan diagnose keperawatan.
Ada 3 fase dasar untuk pengkajian:
1) Pengkajian awal: pengkajian yang dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama
dengan pasien yang meliputi ABCD ( airway, briting, cirkulatio dan disability ).
2) Pengkajian dasar: Pengkajian lengkap dimana semua system dikaji.
3) Pengkajian terus-menerus: suatu pengkajian ulang secara terus-menerus yang
dibutuhkan pada status perubahan yang sakit kritis.
Dalam pengkajian kegawatdaruratan dilakukan dua tahap pengkajian yaitu
pengkajian primary survey dan pengkajian sekundery survey. Prioritas dilakukan
pada primary survey meliputi:
1) Airway maintenance, dengan cervical spine protection.
Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan napas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan napas pasien terbuka.
Hal-hal yang perlu dikaji:
a) Bersihkan jalan napas.
b) Ada tidaknya sumbatan jalan napas.
c) Distress pernapasan.
d) Tanda-tanda pendarahan dijalan napas, muntahan, edema laring.
e) Sumbatan jalan napas total.
f) Pasien sadar: memegang leher, gelisah, sianosis.
g) Pasien tidak sadar: tidak terdengar suara napas dan sianosis.
h) Sumbatan jalan napas sebagian.
i) Korban mungkin masih mampu bernapaas namun kualitas pernapasannya bisa
baik atau buruk.
j) Pada korban dengan pernapasan yang masih baik, anjurkan untuk batuk
dengan kuat sampai benda keluar.
k) Bila sumbatan parsial menetap, aktifkan system emergency.
l) Obstruksi parsial dengan pernapasan buruk diperlukan seperti sumbatan jalan
napas komplit.
m) Sumbatan dapat disebabkan oleh berbagai hal penyebab pasien bernapas
dengan berbagai suara: cairan akan menimbulkan gurgling, lidah jatuh
kebelakang akan menimbulkan suara ngorok, penyempitan jalan napas akan
menimbulkan suara crowing.
2) Breathing dan oksigenasi Menilai kepatenan jalan napas dan keadekuatan
pernapasan pada pasien. Jika pernapasan tidak memadai, langka-langka yang
harus dipertimbangkan adalah:
a) Dekompresi dan drainase tension pneumothorax/hematorax
b) Ventilasi buatan
c) Frekuensi pernapasan
d) Suara pernapasan
e) Adanya udara keluar dari jalan napas Cara pengkajian seperti Look: apakah
kesadaran menurun, gelisah, adanya jejas diatas klavikula, adanya
penggunaan otot tambahan. Listen: Dengan atau tanpa stetoskop, apakah ada
suara tambahan dan feel.
3) Circulation dan control pendarahan eksternal. Shock didefinisikan sebagai tidak
adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab
syok paling umum pada trauma.
Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis:
a) Hipotensi
b) Takikardi
c) Takipnea
d) Hipotermia
e) Pucat
f) Ektremitas dingin
g) Penurunan capillary refill
h) Penurunan produksi urine Adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah
satu alasan yang cukup aman untuk mengansumsikan telah terjadi pendarahan.
Lakukan upaya menghentikan pendarahan.
4) Disability Disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU:
a) A ( Alert ) yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan.
b) V ( Vocalizes ) tidak sesuai, atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti.
c) P ( responds to pain only )
d) U ( unresponsive to pain ) Pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbail.
5) Eksposure dengan control lingkungan Menanggalkan pakaian pasien dan
memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cederah leher atau
tulang belakang, imobilisasi penting untuk dilakukan.
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu
sebagai berikut:
1) S (Sign and symptom) : Tanda dan gejalah terjadinya tension pneumothoraks,
yaitu adanya jejas pada thorak, dan nyeri pada tempat trauma, bertambah
pada saat inspirasi, pembengkakan local, dan krepitasi pada saat palpasi,
pasien Manahan dadanya dan bernapas pendek, ispnea, hemoptysis, batuk
dan emfisema subkutan, penurunan tekanan darah.
2) A (Allergies) : Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik
alegi obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan dan minum.
3) M (Medications anticoagulants, insulin and cardiovasculae
medicationsespecially) : Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya
yang sesuai dengan keadaan klien dan tidak menimbulkan reaksi alergi.
Pemberian obat dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
4) P (Previous medical osurgical history) : Riwayat pembedahan atau masuk
rumah sakit sebelumnya.
5) Last meal (Time) : Waktu klien terakhir makan atau minum.
6) E (Events/environment surrounding the injury).
Adapun hal-hal yang dikaji dalam pengkajian sekunder seperti berikut ini:
1) Aktivitas/istirahat Dipsnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
2) Sirkulasi Takikardi, frekuensi tak teratur (distitmia), S3 atau S4 irama
jantung gallop, nadi apical (berpindah oleh adanya penyimpangan
mediastinal), tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan
jantung, menunjukan udara dalam mediastinum).
3) Psikososial Ketakutan atau gelisah.
4) Makan dan cairan Adanya pemasangan (2 vena sentral dan infuse tekanan).
5) Nyeri dan kenyamanan Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada
unilateral meningklat karena batuk, timbul tiba-tiba sementara batuk atau
regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
6) Pernapasan Pernapasan meningkat dan takipnea, peningkatan kerja napas,
penggunaan otot aksesoris pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat,
bunyi napas menurun dan hilang (auskultasi), mengindikasikan bahwa paru
tidak mengembang dalam rongga pleura/fremitus menurun, perkusi dada:
hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada: gerakan dada
tidak sama bila trauma, Kulit: pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas,
gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada
atau trauma: penyakit paru kronik, inflamasi dan infeksi paru (empiema dan
efusi), keganasan (misalnya obstruksi tumor)
7) Keamanan Adanya trauma dada, radiasi, dan kemoterapi untuk keganasan
(Muhajir, 2012 dikutip dalam Supriadi, 2018).
Pengkajian leukemia pada riwayat penyakit didasarkan atas tanda dan
gejalah yang terdiri atas:
a. Kaji adanya tanda-tanda anemia (pucat, kelemahan, sesak, napas cepat).
2) Kaji adanya tanda-tanda leukopenia (demam, infeksi).
b. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia (ptechiae, purpure, pendarahan
membrane mukosa).
c. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola, (Limfadenopati,
Hepatomegali, splenomegaly).
d. Kaji adanya (hematuria, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi, disekitar
rektal nyeri).

b. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen.
2) Nyeri akut berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia.
3) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapidan atau
stomatitis. 5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh.
5) Resiko infeksi, factor resiko: proses infasif, kerusakan jaringan dan paparan
lingkungan, penyakit kronis, ketidak kuatan imun buatan, tidak adekuat
pertahanan sekunder (penurunan HB, leukopenia, penekanan respon inflamasi).
c. Intervensi
Nursing outcomes classification (NOC) untuk diagnosa keperawatan
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen, yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8
jam diharapkan pola napas pasien efektif ditandai dengan indikator hasil:
1) Dispnea berkurang dari cukup berat (4) menjadi ringan (2).
2) Suara auskultasi nafas vesicular dan tidak ada bunyi napas tambahan.
3) Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan berkurang.
4) Pola napas normal (eupnea).
Nursing intervensions classification (NIC) untuk diagnose keperawatan
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen, yaitu:
1) Monitor Frekuensi, irama, dan usaha bernapas.
2) Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kusmaul, cheyne stokes,
biot)
3) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
4) Auskultasi bunyi napas
5) Kolaborasi pemberian terapi O2
Nursing outcomes classification ( NOC ) untuk diagnosa keperawatan Nyeri
akut berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia yaitu setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1x8 jam diharapkan nyeri yang dirasakan pasien
berkurang yang ditandai dengan indikator hasil:
a. Melaporkan nyeri berkurang dari skala 2 (Ringan) menjadi skala 1 (ringan). 2)
Memperlihatkan tehnik relaksasi secara individual yang efektif.
b. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).
c. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dari skala 2 (ringan) menjadi skala
1(ringan).

Nursing intervensions classification ( NIC ) untuk diagnose keperawatan


Nyeri akut berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia, yaitu: pain
management :
a. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
b. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakterisitik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
c. Ajarkan teknik non farmakologis : tekni relaksasi napas dalam, dan distraksi.
Nursing outcomes classification (NOC untuk diagnosa keperawatan
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi yaitu setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1x8 jam diharapkan hipertermi dengan indicator
hasil:
a. Peningkatan suhu kulit tidak ada.
b. Suhu tubuh dalam rentang normal
c. Tidak ada tanda hipertermi.
Nursing intervensions classification (NIC) untuk diagnose keperawatan
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi yaitu, Perawatan hipertermi:
a. Monitor tanda-tanda vital terutama suhu tubuh klien.
b. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban.
c. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
d. Kompres dingin pada kepala, dahi, atau selangkangan.
e. Berikan antipiretik untuk menurunkan nyeri dan suhu tubuh.
Nursing outcomes classification (NOC) untuk diagnosa keperawatan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapidan atau
stomatitis yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam
diharapkan kebutuhan nutrisi dengan indicator:
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
b. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Nursing intervensions classification (NIC) untuk diagnose keperawatan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapidan atau
stomatitis yaitu, nutrition management:
a. Kaji adanya alergi makanan
b. Kolaborasikan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan klien.
c. Monitor adanya penurunan berat badan.
d. Monitor turgor kulit.
e. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
f. Monitor mual dan muntah.
Nursing outcomes classification (NOC) untuk diagnosa keperawatan
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh yaitu setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam diharapkan pasien mampu
melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) yang ditandai dengan indicator:
a. Pasien mampu bergerak dengan mundah.
b. Terjadi peningkatan aktivitas fisik pada pasien
c. Pasien dapat melakukan aktivitas mobilitas secara mandiri
d. Pasien menyatakan kanyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADL.
e. Dapat melalukan ADL tampa bantuan.
Nursing intervensions classification (NIC) untuk diagnose keperawatan
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh yaitu, energy
management:
a. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan ambulasi dan berpindah
posisi.
b. Hindari penggunaan kasur yang berstekstur keras.
c. Bantu kebutuhan pasien untuk alat-alat kebersihan diri, berpakaian, toileting,
dan nakan.
d. Gunakan alat ditempat tidur untuk melindungi pasian.
Nursing outcomes classification (NOC) untuk diagnosa keperawatan
Resiko infeksi yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam
diharapkan terhindar dari tandatanda infeksi dengan indicator:
a. Klien terhindar dari tanda dan gejalah infeksi.
b. Jumlah leukosit dalam batas normal.
c. Menunjukan perilaku hidup sehat.
Nursing intervensions classification (NIC) untuk diagnose keperawatan
Resiko infeksi yaitu, infection control:
a. Bersihkan lingkungan setelah dipakai klien lain.
b. Pertahankan tehnik isolasi.
c. Beri terapi antibiotic bila perlu.
Infection protection:
a. Monitor tanda dan gejalah infeksi sitemik dan lokal.
b. Pertahankan tehnik aseptic pada pasien yang beresiko.
c. Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan panas dan drainase
d. Dorong masukan nutrisi yang cukup.
d. Implementasi
Implementasi merupakan suatu bagian dari perilaku keperawatan, di mana
dilakukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari Asuhan
Keperawatan (Potter & Perrry 2007 dikuti dalam Supriadi, 2018).
Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau mengarahkan kinerja
sehari-hari. Dengan kata lain implementasi adalah melakukan rencana tindakan yang
telah ditentukan untuk mengatasi masalah pasien. Tahap-tahap dari proses
implementasi yaitu mengkaji ulang untuk menentukan data tambahan pemenuhan
kebutuhan fisik pasien, perkembangan, intelekstual, emosional, social, dan spiritual.
Menelaah dan memodivikasi rencana asuhan keperawatan yang ada sebelum
memulai perawatan sesuai dengan apa yang dibutuhkan pasie,
mengimplementasikan intervensi asuhan keperawatan dengan tujuan membantu
dalam kebutuhan aktivitas, mengkonsultasikan, memberi penyuluhan pada pasien
dan keluarga serta mengevaluasi tindakan asuhan keperawatan (Haryanto, 2007
dikuti dalam Supriadi, 2018).
e. Evaluasi
Proses terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan yang
ditetapkan. Penentuan keberhasilan asuhan keperawatan didasarkan pada perubahan
perilaku dari kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada
individu (Nursalam, 2008 dikuti dalam Supriadi, 2018).

Anda mungkin juga menyukai