Anda di halaman 1dari 30

Karya Tulis

PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL


(Small Scale Forest Management)

Oleh :

SAMSURI
NIP 132 259 570

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan paper dengan judul “Pengelolaan
Hutan Skala Kecil (Small Scale Forest Management)”.

Mengingat kondisi hutan alam di Indonesia yang terfragmentasi, maka paper ini mencoba
menjelaskan tentang model pengelolaan hutan dalam skala kecil (luasannya), sebagai
alternatife model pengelolaan hutan alam di Indonesia di masa mendatang.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Kritik dan saran
sangat penulis harapkan bagi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2009

Penulis

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv

A PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Tujuan 2
3. Metodologi 2
B PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL 4
1. Pengertian dan Definisi 4
2. Small Scale Forest (SSF) di Beberapa Negara 5
3. Pengelolaan “Small Scale Forest “ di Indonesia 6
Pengalokasian dan Distribusi Lahan Hutan 10
Sistem Plasma dan Inti 10
4. Perencanaan Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 11
5. Pertimbangan Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 12
Daur Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 13
Kelas Perusahaan Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 14
Umur Ekonomis Tebang Habis Scale Forest (SSF) 15
Tipe-tipe Penjualan Hasil Small Scale Forest (SSF)
16
Ukuran Luas Panen Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)
17
5. Monitoring Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 19
C PENUTUP 21

DAFTAR PUSTAKA 23

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR TABEL

No Text Hal
Tabel 1 Distribusi kepemilikan hutan berdasarkan rumah tangga di 6
Jepang pada tahun 1990
Tabel 2 Berbagai daur jenis tanaman kehutanan 14
Tabel 3 Nilai NPV, BCR dan IRR jenis tanaman yang dapat dijadikan 15
tanaman pokok dalam SSF

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR GAMBAR

No Text Hal

Gambar 1 Proses Pembangunan “Small Scale Forest Management” 12

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hutan merupakan ekosistem kompleks yang dinamis, yang di dalamnya
berlangsung proses perubahan dan interaksi antar komponen ekosistem. Proses
perubahan dan interaksi ini diyakini sebagai suatu tahapan menuju keseimbangan
ekosistem hutan itu sendiri. Dengan adanya dinamika dalam ekosistem hutan,
maka menentukan metode pengelolaan harus senantiasa mengikuti perubahan
yang terjadi.
Jika pada saat sekarang sulit sekali menemukan luasan hutan yang kompak dalam
luasan yang besar, maka diperlukan suatu metode pengelolaan yang mungkin
berbeda dengan pada saat hutan masih luas. Dewasa ini hutan telah ter-
fragmentasi ke dalam luasan-luasan kecil dan tidak kompak; dari yang semula
satu areal konsesi hak pengusahaan hutan dengan luas ratusan ribu hektar
kompak; areal ijin pemanfaatan hutan menjadi lebih sempit dari puluhan sampai
ratusan hektar.
Ekstrimnya, di masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita hanya
menemukan hutan yang kompak hanya dengan luasan puluhan hektar. Mengelola
hutan yang memiliki luas misalnya hanya 10 hektar mungkin mudah jika hanya
manfaat jasa hutan dan fungsi konservasi tanah. Namun akan menjadi tantangan
jika hutan dengan luasan tersebut harus dapat menghasilkan kayu secara kontinu.
Kondisi nyata inilah yang akan kita hadapi dalam mengelola hutan di masa yang
akan datang. Melalui tulisan ini akan dijelaskan gagasan, ide dan pemikiran
bagaimana mengelola hutan dalam skala kecil. Tentu saja masih disertakan
penjelasan tentang pengelolaan hutan yang telah diterapkan selama ini meliputi
kendala dan permasalahannya serta strategi mengatasinya.

2. Tujuan :
Adapun tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah :

1. Menjelaskan manajemen hutan yang telah diterapkan di hutan Indonesia

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
2. Menjelaskanperkembangan pengelolaan hutan skala kecill
3. Menggali dan mencari bentuk pengelolaan hutan dalam skala kecil ”Small
scale forest”

3. Metodologi

Penyusunan paper ini menggunakan metode studi pustaka, dan diskusi


mempertajam pembahasan materi dan teori. Analisis dilakukan dengan
mendiskripsikan dan membandingkan data-data serta informasi praktek
manajemen hutan.

B. PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL

1. Pengertian dan Definisi

Small scale forest yang disingkat SSF didefinisikan sebagai hutan dengan luas
area lebih kurang 100 hectares (ha), dan dapat mencapai luasan maksimum 1000
hekktar dengan pertimbangan kepentingan nasional (The Ministry of Forestry and
the New Zealand Forest Research Institute, 1996)

Horison et al 2002 menyatakan bahwa SSF sering merujuk pada apa yang disebut
dengan pemilik kecil skala hutan. Philippines Mangaoang 2002 dalam Horison
et al 2002 disebutkan bahwa fokus manajemen hutan dan konservasi telah beralih
secara bertahap dari pengelolaan hutan komersial tinggi ke arah lebih berorientasi
pada pengeloaan hutan berorientasi masyarakat. Dan yang lebih baru, pergeseran
paradigma dalam pengelolaan hutan ke arah skala kecil, berbasis multiproduk, dan
berbasis masyarakat.

Di Eropa pergeseran pengelolaan SSF dimulai dengan munculnya demokrasi,


yang membawa implikasi terpecah-pecahnya kepemilikan lahan dalam skala
besar, dan pemerintah membagi lahan ke kepemilikan pribadi. SSF berbeda-
beda karena sistem industri, dalam aspek motivasi pembentukan dan pengelolaan;

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
berdasar pada seleksi jenis, sosial dan tujuan ekonomi pemilik kunci dan pasar
kehutanan. Penelitian-penelitian pun mulai diarahkan dari kehutanan skala besar
menjadi SSF (Horison et al 2002)

SSF dalam farm forestry di Autria didefinisikan sebagai pemilikan hutan pribadi
dengan luasan antara 1 sampai dengan 200 ha Sekot 2001 dalam Horison et al
2002. Pada umumnya SSF di Eropa memiliki biodiversity tinggi seperti di
Swedia, Norwegia dimana pemilik merupakan keluarga yang memiliki tradisi
mengelola hutan disamping aktivitas ekonomi mereka di bidang pertanian;
dengan luasan hutan milik pribadi berkisar antara 25 sampai dengan 40 ha.
Berbeda dengan di Jerman, Autria dan Swiss; sejumlah pemilik hutan
mempunyai luasan kurang dari 5 ha. Ada juga yang menyebut SSF sebagai
sepetak kayu yang umumnya komersial, seperti di negara Autralia.

Di Selandia Baru SSF oleh Bawden 2000 dalam Horison et al 2002, dinyatakan
juga harus diuji dari perspektif keuangan. Dalam perpektive ini termasuk
investor yang terlibat dalam perusahaan gabungan dan petani-petani yang
memiliki beberapa ratus hektar tegakan.

Departemen Kehutanan India menyatakan bahwa SSF adalah hutan atau


kumpulan tegakan yang berada di luas kawasan hutan, terutama tanaman-
tanaman di dalam hutan rakyat MOEF 1998 dalam Horison et al 2002.
Kelompok tanaman ini harus kompak dalam area lebih dari 0.1 ha di lahan milik
pribadi, yang diantara kelompok tanaman inilah dapat disebut sebagai SSF.
Sama halnya dengan di Philipina, SSF berasal dari andanya bantuan Bank Dunia
pada masyarakat untuk menanam pohon dalam rangka produksi, dan konservasi
tanaman pada lahan milik.

2. Small Scale Forest (SSF) di Beberapa Negara

Di Kanada hutan dimiliki dan atau dikelola oleh individu dengan Small Forest
Certification dengan jumlah tidak kurang dari 425.000 orang pemilik lahan dan

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
hutan. Pemilik-pemilik hutan ini mengorganisasi diri dalam serikat-serikat kecil
melalui persetujuan individu maupun kelompok masyarakat. Sebagian besar
hutan di Kanada terpisah dalam luasan-luasan kecil dan tidak jarang berada di
tengah-tengah pemukiman dengan penduduk yang padat dengan banyak jalan,
jalan air, pertanian dan pengembangan perumahan.

Pemilik SSF mendominasi gambaran umum kepemilikan hutan dan hutan


negara, sehingga produk hutan domestik Jepang sebagian besar berasal dari
private forestland. Sebesar 57.9% luas hutan di Jepang merupakan hutan milik
pribadi dan sekitar 76% panen kayu berasal dari hutan milik pribadi Sebagian
besar hutan milik perseorangan luasannya kecil (Tabel 1), dengan mayoritas
pemilik adalah perusahaan dan hutan bersama masyarakat. Perusahan sebagai
pemilik mempunyai hutan dengan rata-rata luas 34.6 ha, sedangkan masyarakat
memiliki hutan dengan luas rata-rata sekitar 19.3 ha. Sebagian besar pemilik
hutan pribadi di Jepang sekitar 90% nya mempunyai areal dengan luas kurang
dari 2 ha (Ota, 2002)

Horison et al 2002 menyatakan terminologi SSF di AS jarang digunakan dan


sering tidak sesuai, terutama untuk kepemilikan hutan di atas 1000 ha; beberapa
negara bahkan menggunakan istilah ”family forestry” dan ”farm forestry” atau
hutan pribadi non industri. Sementera itu Horison dan Jay tahun 2000
menyatakan bahwa SSF diadopsi dari istilah hutan pribadi bukan industri, yang
dimiliki petani, individu-individu lain dan perusahaan yang tidak melakukan
penanaman tanaman. Terdapat sekitar 600.000 pemilik hutan dengan luas
minimal 40 ha yang menghasilkan 80 % total panenan.

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Tabel 1. Distribusi kepemilikan hutan berdasarkan rumah tangga di Jepang
pada tahun 1990
Jumlah pemilik Area
Kelas
Rumah Tangga % (ha) %
8.31
0.1-1 ha 1,452,255 57.89 560,797
1-5 ha 777,207 30.98 1,624,273 24.06
150,661
5-10 ha 6.01 973,948 14.42
10-20 ha 79,281 3.16 1,014,582 15.03
7.81
20-30 ha 23,294 0.93 527,311
30-50 ha 14,664 0.58 520,710 7.71
50-100 ha 7,490 0.30 478,931 7.09
100-500 3,376 0.13 612,095 9.07
ha
500-ha 377 0.02 439,474 6.51
Total 2,508,605 100.00 6,752,121 100.00
Sumber : The Shrinking Profitability of Small-scale Forestry in Japan, Ota 2002

Negara-negara Eropa, misalnya Finlandia menyebut SSF dari istilah terminologi


hutan non industri, dimana lebih dari 600.000 keluarga di sana mengontrol sekitar
60% hutan di negara itu.

Di North Karelia yang disebut propinsi hutan di Eropa, pemilik hutan dibagi
hampir sama ke dalam 4 kategori yaitu hutan negara, hutan industri, hutan milik
petani dan milik pribadi non petani. Mendekati angka 20000 pemilik hutan
pribadi di propinsi ini. Petani dan pemilik pribadi non petani bersama-sama
memiliki lebih dari setengah lahan hutan, dan mereka sangat significan dalam
menyediakan kayu untuk industri secara tidak sama. Ukuran rata-rata sebuah
kepemilikan hutan adalah 38 ha dengan perkiraan tegakan persediaan kurang
lebih 120 m3/ha Korhonen et al 2001 dalam Hyttinen 2002

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
3. Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) di Indonesia

Kondisi hutan alam di Indonesia yang terfragmentasi memperlihatkan kenyataan


bahwa sangat sulit membuat sebuah unit manajemen utuh dan kompak dengan
tegakan hutan yang luas. Tegakan-tegakan yang ada, hanya ada dalam bentuk
luasan yang kecil sampai ratusan hektar bahkan mungkin hanya sampai puluhan
hektar saja.

Secara ekologis dan kepentingan social, hutan dengan luasan puluhan sampai
ratusan hektar tidak menjadi masalah. Akan tetapi yang perlu diperhatikan
adalah ketika hutan dengan luasan kecil ini harus memberikan hasil berupa kayu.

Undang-undang No 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa berdasarkan status


kepemilikannya dikenal hutan negara dan hutan milik. Hutan negara adalah
kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik,
sedangkan hak milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak
milik, yang dalam penjelasan hutan milik ini lazim disebut dengan hutan rakyat.

Krisis ekonomi yang menghancurkan sebagian dunia usaha, ternyata tidak untuk
perekonomian masyarakat pertanian dan kehutanan. Bahkan di negara AS pun,
menurut Bliss 2003, pada saat perubahan kondisi sosial ekonomi global tak bisa
dihindari, hutan keluarga di AS sangat dibutuhkan keberadaanya.

Praktek pengelolaan hutan dalam luasan yang kecil sebenarnya telah ada sejak
lama di Indonesia. Sebuah keluarga misalnya pernah memiliki hutan jati dengan
luas puluhan hektar, bisa juga disebut dengan ”family forest”. Hutan-hutan yang
dimiliki tersebut tidak selalu kompak tetapi terpisah-pisah lokasinya, bahkan ada
juga yang hanya berupa tegakan sebagai pembatas tanah. Dalam
perkembangannya kemudian hutan-hutan yang demikian disebut juga hutan
rakyat.

Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan yang dibangun pada lahan milik atau
gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon-pohon, yang pembinaannya dan
pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha seperti

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan yang digariskan oleh pemerintah
(Alrasyid 1979).

Beberapa negara di dunia telah melaksanakan pengelolaan hutan skala kecil dan
terbukti berhasil. Seperti pengalaman di Papua Nugini, Bolivia, Inggris dan
Brazil dapat dijadikan perbandingan jika ingin menerapkan pengelolaan hutan
skala kecil di Indonesia.

Melihat pengalaman penerapan system TPTI dalam pengelolaan hutan alam


yang tidak berhasil, perlu peninjauan ulang prinsip-prinsip system TPTI. Sistem
TPTI ini akan sulit diterapkan dalam hutan skala kecil, karena harus menebang
pohon dengan diameter tertentu dan meninggalkan sejumlah pohon tertentu.

Namun demikian keberadaan pengelolaan hutan dalam skala besar tetap


diperlukan, karena kehadirannya menjamin kontinuitas aliran income dari
penjualan kayu bagi pemilik hutan melalui pembelian hasil SSF; juga membantu
dalam pemeliharaan infrastruktur di daerah-daerah terpencil. Selain itu juga
dapat berperan dalam mengawali pembentukan kerjasama antara pemilik hutan
skala kecil (Hyttinen, 2002).

Seperti dalam penelitian yang dilakukan Purnomo et al di Gunung Lumut-


Indonesia tahun 2004, bahwa dalam sistem colaborative forest management
masih sangat memerlukan peran Pemerintah (Dinas Kehutanan Kabupaten) dan
perusahaan pemegang konsesi yang lebih luas dalam penyediaan permodalan,
peralatan berat dan infrastruktur jalan bagi masyarakat untuk mengakses hutan.
Colaborative forest management ini dilakukan melalui pemberian konsesi pada
masyarakat dengan aturan tersendiri misalnya dalam ijin pemungutan dan
pemanfaatan kayu.

Mengingat secara ekonomis, hutan skala kecil alam dengan system TPTI murni
sulit dilakukan; maka pengelolaan hutan skala kecil dapat dilakukan dengan
pengelolaan yang intensif, dan tidak menggantungkan pada kemampuan hutan

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
untuk mengelola ekosistemnya sendiri. Dengan demikian pilihan pembangunan
hutan skala kecil lebih layak dilakukan di hutan seumur.

Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mengelola hutan dalam


luasan kecil antara lain :

1. Ukuran luas minimal

Luasan minimal terkait dengan kekontinuan usaha pengelolaan hutan.


Misalnya jika pemilik hutan mengusahakan pohon dengan usia masak tebang
25 tahun, maka selama dalam jangka pengelolaan 25 tahun ini setipa
tahunnya harus memberikan hasil yang sama kepada pemilik.

Hasil yang diperoleh dalam satu tahun, minimal harus sama dengan jumlah
biaya yang dikeluarkan oleh pemilik hutan dalam mengelola tegakannya.

Biaya-biaya yang diperlukan dapat dikelompokkan ke dalam (1) biaya


pembangunan hutan, (2) biaya pemeliharaan hutan, (3) biaya pemanenan
hutan dan pengangkutan, (4) biaya manajemen, serta (4) pajak yang harus
dibayarkan kepada negara. Pembiayaan per unit luas akan lebih rendah jika
luas hutan yang dikelola lebih besar.

2. Metode pengaturan hasil

Dengan anggapan bahwa tegakan yang dikelola adalah berupa hutan


tanaman, maka metode pengaturan hasil yang digunakan adalah ettat luas
yang ditentukan dengan membagi luas hutan skala kecil dibagi dengan daur
tanaman pokoknya.

3. Metode pemanenan

Melihat pengalaman di Papua Nugini, maka sebaiknya pemanenan dilakukan


dengan membawa alat pengolah kayu gergajian ke dalam hutan, sehingga dari
segi ekonomis tidak perlu biaya angkut yang lebih besar. Selain itu secara
ekologis tidak terlalu banyak jumlah biomassa yang dikeluarkan dari dalam
hutan.

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Di desa-desa di sebagian wilayah P Jawa telah dikenal sawmill kecil yang
dapat berpindah-pindah lokasi. Demikian juga jika melihat cara kerja dari
para pelaku illegal loging sudah menggunakan metode ini. Dengan demikian
juga, kendala jauh dari perusahaan sawmill dapat diatasi dengan adanya
sawmill yang portable ini.

Distribusi dan Pengalokasian Lahan Hutan


Pada masanya, hutan-hutan dimiliki oleh penguasa sebuah negara terutama di
daratan Eropa. Seiring berubahnya waktu dan perkembangan sistem
pemerintahan dan tata pergaulan dunia, maka terjadi perubahan dalam
penguasaan lahan hutan. Seperti misalnya di negara-negara di Eropa dimana
pengelolaan SSF dimulai dengan munculnya demokrasi, yang membawa
implikasi terpecah-pecahnya kepemilikan lahan hutan dari skala besar, dan
pemerintah membagi lahan hutan ke kepemilikan pribadi (Horison et al, 2002).

Di Indonesia, pembagian tanah-tanah negara dilakukan dalam program


transmigrasi, dimana peserta diberikan tanah seluas 2.5 hektar dengan rumah dan
pekarangannnya, dengan ketentuan bahwa lahan tersebut dijadikan lahan
pertanian.

Kebijaksanaan ini, memiliki peluang berhasil untuk diterapkan dalam


pembangunan hutan skala kecil (SSF). Misalnya dalam program transmigrasi
satu wilayah, dimana pesertanya mendapatkan lahan untuk budidaya tanaman
kehutanan disebut dengan transmigrasi SSF.

Kepemilikan hutan keluarga sangat sesuai selain hutan rakyat, mengingat daur
jenis-jenis kayu bernilai cukup panjang, dengan harapan pengelolaan hutan
keluarga SSF akan dilanjutkan oleh keluarga. Dalam budaya masyarakat
Indonesia , etos dan semangat kerja akan besar jika kelak apa yang dihasilkan
akan dinikmati oleh generasi penerus keluarganya. Hal ini seperti di AS dimana
keluarga yang memiliki hutan walaupun tinggal di perkotaan masih mengunjungi

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
pertanian kakek neneknya, atau menebang kayu bakar di hutan keluarga, tetapi
sebagian masih tinggal (Bliss, 2002).

Sistem Plasma dan Inti


Jika di negara lain menerapkan pembagian hutan ke dalam skala kecil melalui
kepemilikan hutan, maka di Indonesia dapat dikatakan telah menerapkan prinsip
ini dalam manajemen perkebunan melalui sistem inti plasma, di mana petani-
petani kecil mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung
dalam suatu serikat untuk menjual produk perkebunannya. Pada umumnya
petani-petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan perkebunan besar dan
sekaligus menampung produk petani-petani kecil tersebut.

Prinsip ini sebenarnya berpeluang diterapkan juga dalam model pengelolaan


hutan skala kecil, di mana pemiliki/pengelola hutan yang diberikan hak
mengusahakan hutan seluas 51 sebagai plasma. Pemerintah atau Badan Usaha
Milik Negara menjadi inti yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan
pembelian produk-produk dari hutan skala kecil. Metode ini juga bisa digunakan
sebagai cara untuk menanggulangi illegall loging yang selama ini disinyalir
menyebabkan kerusakan hutan.

Dalam program pemerataan penduduk di Indonesia selain untuk perluasan tahan


pertanian juga dapat digunakan untuk mengembangkan SSF di Indonesia.
Transmigrans hendaknya dijadikan plasma dalam model ini, yang berkumpul
menjadi satu inti misalnya dalam satu blok areal transmigrasi.

4. Perencanaan Pengelolan Small Scale Forest (SSF)

Pengelolaan hutan berharap dapat menanam dengan luasan yang sama setiap
tahunnya berisi tegakan dengan umur sama. Misalnya petani hutan memili areal
100 ha, dengan masa daur tanaman adalah 25 tahun, maka petani dapat
menanam dan memanen setiap tahunnya 2 ha. Selama masa penanaman dan
pemeliharaan tanaman ini (Gambar 1), petani harus mendapatkan insentif dari
pemerintah misalnya seharga nilai kayu yang dimilikinya pada umur tertentu.

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Akan tetapi jika hutan sudah memberikan income (panen) maka pemerintah
tidak perlu lagi memberikan insentif (pendapatan) tapi cukup dengan
memberikan insentif berupa kemudahan-kemudahan yang lain.

Dalam kasus lain, misalnya apa yang sering ditemui di British Kolumbia,
kepemilikan hutan skala kecil dihubungkan dengan landscape hutan dalam skala
besar. Di beberapa wilayah hutan skala kecil menyediakan nilai jasa dan produk
lain seperti rekreasi, habitat hidupan liar dan pendapatan untuk masyarakat
setempat. Ukuran dan distribusi grografis hutan kecil membuat pemilik dan
pengelola menghadapi beberapa tantangan diantaranya ketergantungan
pendapatan terhadap hutan dalam jangka pendek, kesulitan dalam pemasokan
dan pemasaran produk hutan, dan paling penting adalah membangun kesadaran
untuk mengelola hutan dengan standar tinggi.

Gambar 1. Proses Pembangunan “Small Scale Forest”


Sumber : Ministry of Forestry – New Zeland

5. Pertimbangan Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)


Tahap kritis dalam pembangunan hutan skala kecil adalah seberapa luas “small
forest” yang akan ditanami setiap tahunnya. Pertanyaan ini akan menentukan

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
keputusan pertimbangan anggaran, praktik pengelolaan hutan, perencanaan
lingkungan dan perencanaan pengembangan pembiayaan dan pendapatan.

Luas minimum ”small scale forest” (Kasus di New Zelands) ditentukan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

o Luasan berapa hektar dapat menghasilkan pengembalian modal yang


diletakkan pada area perputaran atau dataran dekat dengan jalan yang
dibangun ?

o Pada beberapa lokasi yang sulit, lebih luas hutan (10 ha atau lebih) diperlukan
untuk memungkinkan dilaksanakannya pengelolaan biaya tinggi untuk
mendapatkan volume hasil yang lebih tinggi.

o Luasan yang lebih kecil tetapi dengan tegakan bernilai tinggi mungkin lebih
menghasilkan dibanding dengan perluasan hutan dengan nilai pulpwood dan
firewood yang rendah

o Jarak dari lokasi pengolahan kayu atau pelabuhan ekspor mungkin


berpengaruh pada skala ekonomis ukuran petak tegakan

o Yang terpenting adalah pada saat menanam pohon yang bernilai rendah untuk
bahan pulp, jarak yang pendek akan mereduksi biaya angkut sehingga kayu
akan bernilai lebih tinggi per hektarnya; sehingga walaupun kecil luasannya
dapat dipanen

Daur Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)


Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur. Daur adalah suatu jangka
waktu antara pemanenan dan penebangan atau antara penanaman dan penanaman
berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang
diinginkan , nilai tanah, suku bunga usaha yang tersedia (Departemen
Kehutanan, 1992).
Sedangkan Osmaton 1968 dalam Suhendang 1999 menyatakan bahwa daur
merupakan faktor pengatur dalam pengusahaan hutan seumur. Daur dipakai
pada saat membuat rancangan perusahaan dan akan terdapat perbedaan yang

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
besar dalam penataan hutan apabila tegakan ditebang pada batas umur bawah
dari umur tebang atau dibiarkan tumbuh sampai tegakan berada di atas miskin
riap
Pada dasarnya daur yang digunakan adalah daur ekonomis/finansial karena lebih
sesuai dengan tujuan perusahaan Beberapa jenis tanaman dengan daur nya
masing-masing seperti dalam Tabel 2. Dalam tegakan seumur terdapat dua tipe
hasil tegakan yaitu hasil akhir (hasil utama) dan hasil antara (tebangan
penjarangan).

Tabel 2. Berbagai daur jenis tanaman kehutanan


No Jenis Tanaman Daur
1 Jati 40 – 80 tahun
2 Pinus 25 tahun
3 Damar 20 – 25 tahun
4 Mahoni 30 – 60 tahun
5 Sonokeling 40 – 60 tahun
6 Rasamala 40 – 60 tahun
7 Meranti 70 tahun
8 Sengon 8 tahun
9 Mangium 8 – 15 tahun
10 Gemelina 7 – 15 tahun
Sumber : Gunawan, 2002

Di Selandia Baru, penjarangan komersial pinus radiata pada umumnya ketika


volume kayu yang dihasilkan 0.25 – 0,35 m3 yaitu pada umur 11 sampai dengan
14 tahun. Penjarangan ini akan mengeluarkan pohon sebanyak 300 – 400
batang sehingga jumlah pohon yang tinggal sekitar 1100 pohon dari 1400-1500
pohon yang ditanam yang akan menghasilkan kayu perdagangan sekitar 0.12 m3.
Penjarangan kedua mengurangi pohon dari 1100 menjadi 400 pohon, dan
penjarangan ketiga pada umur 20 pohon akan tinggal 250 pohon per ha.

Pemanenan dapat dilakukan oleh pihak ketiga atau kotraktor yang khusus
bergerak di bidang penebangan pohon. Tebang habis pada penebangan terakhir

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
merupakan alternatif terbaik, sehingga harga log yang dihasilkan tidak
dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar.

Kelas Perusahaan Smal Scale Forest (SSF)


Dalam mengelola hutan dengan luasan yang kecil sebaiknya pemilik menanam
jenis-jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini untuk mereduksi
besaran biaya tetap per meter kubik dari pemanenan kayu small scale forest.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memilih jenis tanaman yang paling
sesuai baik untuk hutan rakyat maupun hutan di perusahaan hutan jati di jawa.
Hasil analisis finansial yang dilakukan oleh Herawati pada tahun 2002 di Ciamis
Jawa Barat menunjukkan bahwa berdasarkan nilai NPV, BCR dan IRR pada
tingkat suku bunga 19 % tanaman yang sesuai seperti dalam tabel di bawah.

Tabel 3. Nilai NPV, BCR dan IRR jenis tanaman yang dapat dijadikan
tanaman pokok dalam SSF (Sumber : Herawaty, 2001)

No Jenis NPV (Rp.) BCR (%) IRR (%)


1 Sengon 5.789.949 1.97 45
2 Mahoni 4.819.049 1.53 35
3 Jati 5.011.623 1.50 23

Sementara itu berdasarkan analisis hirarki menunjukkan bahwa di Ciamis Jawa


Barat tanaman mahoni, sengon dan jati merupakan pilihan yang menjadi
prioritas utama ditanam oleh masyarakat. Dengan demikian tanaman yang
dapat dipertimbangkan sebagai tanaman prioritas adalah jenis mahoni, sengon
dan jati. Jenis mahoni memiliki nilai ekonomis dan nilai lingkungan yang tinggi
dibanding dengan sengon dan jati.
Jenis tanaman lain yang dapat ditanam di SSF dan cepat dipanen adalah akasia.
Pada tahun 2002 Gunawan menyatakan bahwa berdasarkan analisis penentuan
daur finansial jenis akasia (Acacia Mangium) di KPH Bogor diperoleh produksi
kayu tertinggi pada umur 9 (sembilan) tahun yaitu 73.695 m3/ha. Dengan harga

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
pada saat itu Rp. 140.090,70, maka diperoleh pendapatan dari tebang habis
akasia sebesar Rp. 140.090,70 x 73.695 = Rp. 10.323.983.00 per hektar. Daur
9 tahun ini layak untuk tingkat suku bunga terendah 0% dan tertinggi 24%
(ditunjukkan oleh NPV dan BCR tertinggi). Dengan demikian maka
pengelolaan SSF sebaiknya menggunakan tanaman pokok mahoni dengan
pertimbangan selain daurnya lebih pendek dibanding jati, kualitas kayunya
hampir sama dengan kualitas kayu jati.

Umur Ekonomis Tebang Habis Small Scale Forest (SSF)


Pemanenan erat kaitannya dengan pengembalian modal pemilik hutan. Tidak
seperti jenis tanaman semusim, pemanenan tegakan lebih fleksible terhadap
waktu sehingga dapat menyesuaikan pada pasar dengan harga tinggi.

Pertumbuhan pohon tidak sama selama periode pertumbuhan yang dialaminya.


Sebagai contoh pinus radiata yang pertumbuhan tertingginya dicapai pada umur
20 sampai 25 tahun, dengan total volume potensial dua kali volume pada umur
sekitar 20 tahun dan 30 tahun. Sehingga sebaiknya pemanenan dilakukan pada
umur setelah 25 tahun dan sebelum 30 tahun sehingga tidak terjadi dapat
menghemat pembiayaan dan memaksimalkan keuntungan.

Tipe-tipe Penjualan Hasil Small Scale Forest (SSF)


Sebelum melaksanakan pemanenan diperlukan pemilihan cara penjualan.
Karena begitu kesepakatan jual beli disetujui, antara pemilik hutan dan pembeli
memiliki hak dan kewajiban terhadap hutan yang diperjualbelikan. Terdapat
tiga model penjualan tegakan yang dapat dipilih yaitu penjualan berdasarkan
blok tanaman, penjualan dalam volume kayu perdangan dan penjualan
berdasarkan kualitas kayu.

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Penjualan Blok
Tegakan dijual dalam bentuk luas blok tertentu. Diperlukan penguasaan
penaksiran nilai tegakan dalam metode penjualan ini. Penaksiran dapat
dilakukan oleh konsultan yang independent. Metode penjualan ini lebih
memudahkan bagi pemilik hutan karena dia tidak akan terlibat dalam proses
pemanenan secara langsung. Metode ini sangat sesuai untuk blok penebangan
yang relatif kecil.
Penjualan dalam Volume Kayu perdagangan
Penjualan model ini adalah tegakan kayu yang diperdagangkan yang dinyatakan
dalam ukuran meter kubik atau tonase (Capman dan Meyer 1947). Pembeli
bertanggung jawab dalam pemanenan kayu. Pembeli hanya akan mengeluarkan
kayu yang dapat diperdagangkan. Tingkat harga terkait erat dengan campuran
log yang berbeda dalam hutan begitu juga harga pemanenan dan pengangkutan
kayu. Hutan dengan proporsi kayu gergajian yang tingg lebih bernilai
dibanding dengan kayu bahan pulp.
Penjualan Kualitas Kayu
Penjualan ini sangat bergantung pada grade kayu itu sendiri, pada saat akan
dimuat ke truk dan diantar ke pabrik.

Ukuran Luas Panen Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)

The Ministry of Forestry and New Zealand Logging Industry Research


Organisation tahun 1996 menyatakan bahwa pemanenan hutan skala kecil
memerlukan biaya tetap per meter kubik yang lebih besar dibandingkan dengan
hutan dengan luasan lebih besar. Biaya tetap ini diantaranya adalah
perencanaan, pembuatan jalam, pengangkutan peralatan ke lokasi panen. Biaya
tetap tidak proporional untuk luasan kurang dari 5 (lima) hektar secara
ekonomis cenderung lebih dari 10 hektar. Akan tetapi bisa saja dikompensasi
dengan menanam jenis dengan nilai jual yang tinggi. Jenis-jenis dengan nilai
jual yang tinggi antara lain adalah jati, mahoni, sonokeling, sonobrit dan kayu
indah lainnya (Deperindag, 2004).

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Departemen Perdagangan dan Perindustrian RI Periode Juli sampai Desember
2004 mengeluarkan daftar harga perkiraan terhadap produk kayu bulat yang
diantaranya adalah kayu dari Perum Perhutani yaitu (1) kayu bulat jati dan sono
keling diameter > 30 cm dengan harga Rp. 745.000,-/m3; diameter 20 – 19 cm
dengan harga Rp. 485.000,-/ m3; diameter < 19 cm dengan harga Rp. 192.000,-
/ m3; (2) kayu rimba indah (mahoni dan sonobrit) diameter > 30 cm seharga Rp.
384.000,-/ m3; diameter 20 – 29 cm seharga Rp. 134.000,-/ m3 dan diameter <
19 cm seharga Rp. 82.000,-/ m3.

Berdasarkan tabel volume kayu mahoni yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan 1975, diketahui bahwa pada umur 40 tahun,
tanaman mahoni di lahan dengan klas bonita II akan menghasilkan kayu sebesar
262 m3/ha, dengan diameter rata-rata 35,1 cm. Jika pada tebangan akhir SSF
dengan kelas perusahaan mahoni, maka dalam satu hektar akan diperoleh hasil
262 m3/ha x Rp. 384.000,-/ m3 = Rp. 139.008.000, -/ha.

Potensi hutan alam yang hanya 179 m3/ha dan 72 m3/ha (hutan primer) per
hektar (Hinrichs, 2002), lebih kecil dibanding dengan SSF misalnya dengan
tegakan mahoni yang dapat dipanen sebesar 262 m3 per ha per tahun. Sehingga
sebenarnya jika menanaman pohon dengan nilai komersial tinggi akan
memungkinkan pengelolaan hutan dalam skala kecil. Berdasarkan hasil studi
analisis prioritas, analisis finansial dan panjang daur tanaman maka tanaman
mahoni layak dijadikan tanaman pokok dalam SSF. Untuk menentukan luas
minimalnya, didekati dengan menghitung biaya yang dikeluarkan pemilik hutan
setiap satu hektar per tahunnya sebagai berikut (berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan penulis) :

1. Biaya pembuatan tanaman mahoni jarak tanam 3 m x 2 m (per ha)


- Penyediaan bibit sebanyak 1.666 @ Rp. 1.500,- = Rp.
2.499.000,-
- Pembersihan lahan dan penanaman = Rp. 3.000.000,-
2. Biaya pemeliharaan tanaman per ha = Rp 2.500.000,-

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
3. Biaya manajemen per bulan = Rp. 6.000.000,-
4. Biaya pemanenan dan pengangkutan per ha = Rp. 52.000.000,-
5. Pajak (10 % x harga produk)
6. Pembayaraan bunga atas modal (19 %)
7. Keuntungan perusahaan (min 10 % biaya)
Total biaya 2.499.000 x a) + (3000000 x a) + (2500000 x a) + (6000000 x 12) +
(52000000 x a) + (0.1 x 38400 x 262 m3 x a ) + (0.19 x a x 104499000) , dimana
“a “ adalah luas penanaman dan pemanenan setiap tahunnya.

Jumlah biaya yang diperlukan minimal harus sama dengan jumlah penerimaan
dari pemanenan yaitu (384.400 x 262 m3 x luas panen), sementara biaya yang
diperlukan untuk mengelola 1 ha tegakan mahoni adalah Rp. 104.449.000,-.
Sehingga untuk memenuhi biaya dari penanaman sampai pemanenan ditambah
dengan bunga atas modal, keutungan dan pajak maka minimal dalam satu tahu
harus memanen mahoni seluas 1.05 hektar.

Dengan panen rata-rata kayu pertukangan sebanyak 262 m3 per ha tiap tahun
maka diperlukan luas minimal 1.059 ha pemanenan setiap tahunnya. Jika umur
pohon mahoni yang dapat dijadikan kayu pertukangan 40 tahun, maka luas
minimal hutan skala kecil yang harus dipunyai seorang pemilik/pengelola
sebesar 42,7 atau 43 hektar. Dengan demikian metode pengaturan hasil
pengaturan hasil yang digunakan adalah etat luas yaitu luas SSF dibagi daur
tanaman pokok.

6. Monitoring Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)


Manajemen SSF di beberapa negara Eropa dan Australia memberikan dukungan
kepada pemilik SSF dalam bentuk insentiif dan grant. Agar dukungan ini dapat
menghasilkan pengelolaan hutan yang lestari perlu dilakukan monitoring dan
evaluasi. Dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan SSF
perlu ditetapkan kriteria dan indikator. Higman dan Nussbaum 2002
memberikan kriteria –kriteria penilaian hutan skala kecil yang didasarkan atas :

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Ukuran luas hutan
Tingkat eksploitasi
Kepentingan ekologis
Nilai lanskape
Kepentingan social

Kriteria-kriteria di atas disesuaikan dengan kondisi suatu Negara disesuaikan


dengan konsep “small forest” seperti misalnya ukuran luasnya berbeda-beda
antar negara. Misalnya ukuran luas hutan skala kecil berbagai Negara dibatasi
sebagai berikut :

Bolivia, hutan alam dataran rendah : 200 ha


Brazil, hutan tanaman : 50 ha.
United Kingdom: 10 ha

Perbedaan luas ini didasarkan pada luas kawasan hutan yang dimiliki, tipe hutan
dan system manajemen, demikian juga dengan batas yang digunakan untuk
tujuan lain, misalnya dukungan pemerintah atau persyaratan formal.

Tingkat pemanenan maksimum perlu dimasukkan ke dalam perhitungan praktik


pengelolaan “small forest”, dimana pemanenan hanya akan ekonomis untuk
membawa peralatan pemanenan jika sejumlah valume kayu akan dikeluarkan
atau tidak menguntungkan untuk pemanenan kayu dalam jumlah kecil, misalnya
dalam petak tebang yang sangat kecil. Petak tebang yang besar juga akan
memberikan resiko yang besar jika tidak dikelola dengan baik, sehingga untuk
berbagai kondisi dalam hutan skala kecil dapat membuat petak tebang sebesar 1
(satu) hektar.

Di beberapa negara luas hutan dalam jumlah besar dibagi ke dalam beberapa
kepemilikan kecil. Indonesia dapat dikatakan telah menerapkan prinsip ini
dalam manajemen perkebunan melalui system inti plasma, di mana petani-petani
kecil mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung dalam
suatu serikat untuk menjual produk perkebunannya. Pada umumnya petani-

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan perkebunan besar dan sekaligus
menampung produk petani-petani kecil tersebut.

Di Papua Nugini telah menggunakan sawmill yang mudah dipindah-pindahkan


dari satu lokasi penebangan ke penebangan lain dan mampu disewa oleh
masyarakat sehingga memungkinan pemanenan hutan-hutan dalam skala kecil
yang dimiliki oleh masyarakat local. Small-scale saw milling mempunyai
beberapa keunggulan diantaranya :

- Tipe teknologi dapat digunakan oleh masyarakat desa


- Memberikan pengetahuan dan teknologi baru masyarakat
- Memberikan peluang bisnis dan lapangan kerja baru
- Hasil kayu gergajiannya dapat digunakan untuk proyek-proyek pembangunan
lain
- Pengoperasiannya mudah dan sesuai dengan kemampuan masyarakat
- Tingkat pemanenan tidak merusak lingkungan

Ikuo Ota 2002 menyebutkan bahwa Forest Stewardship Council (FSC)


merupakan salah satu lembaga yang memberikan sertifikasi lingkungan dalam
pengelolaan hutan. Beberapa perusahaan SSF di Jepang telah menerima sertifikat
lingkungan. Perusahaan ini mengelola hutan seluas 3300 ha dengan 200 pemilik
yang berbeda, utamanya pemilik SSF.

Di samping untuk mendapatkan sertifikasi bagi pengelola yang berhasil,


monitoring berfungsi untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan yang dialami
oleh pengelola/pemilik. Penelitian terhadap keluarga petani salah satu kawasan
hutan di Jerman menunjukkan bahwa terjadi kekurangan penghasilan sehingga
masih memerlukan insentif dan subsidi dari pemerintah kepada pemilik/pengelola
hutan. Bantuan terhadap pemilik atau pengelola hutan dapat berupa subsidi
keuangan, dukungan teknis, mekanisasi sistem panen dan tenaga pedamping
(Brandle, 2002). Di Jepang pun SSF secara tradisional telah bertahan dengan

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
bantuan dari pemerintah berdasarkan Basic Forestry Law 1964. Pemilik hutan
memperoleh subsidi sebesar 68 % biaya penanaman dan penjarangan pra
komersial. Dan setiap tahun pemerintah membayar sejumlah dana untuk
pendukung sarana jalan dan mesin-mesin untuk memajukan kawasan perdesaan (
Ota, 2002)

C. PENUTUP

Pengelolaan hutan dalam skala kecil memberikan peluang baru dalam membuka
lapangan kerja, sekaligus merupakan terobosan baru dalam mengelola hutan dan
merehabilitasi hutan dan lahan. Beberapa hal yang memerlukan kajian mendalam
misalnya adalah luas minimal SSF yang benar-benar layak secara ekonomi,
sosial dan ekologi di berbagai lokasi di Indonesia perlu diteliti lebih mendalam.
Tidak kalah pentingnya adalah membuat peraturan yang mengatur tentang
kepemilikan dan pengeloaan hutan skala kecil ini (SSF)

Ada pertanyaan yang harus dijawab dalam pembangunan SSF (Havsky , 2001)
yang antara lain adalah :

1. Jika SSF dalam pengertian berupa tutupan lahan di luar kawasan hutan yang
dimiliki masyarakat akan sulit melakukan identifikasi di lapangan

2. Akan terjadi kekurangan sistem dan mekanisme dalam mendukung


perubahan ke SSF (hutan milik pribadi) dalam jumlah yang besar

3. Karena ukuran luas SSF adalah kecil, dan terdapat banyak pemilik SSF maka
akan lambat dalam proses pembentukan perkumpulan guna memperlancar
tranfer dan pertukaran informasi teknologi pengelolaan

4. Para pemilik mungkin tidak cukup profesional dalam teknis pengelolaan,


kekurangan modal untuk mengelola hutannya

5. Jika pembagian lahan hutan (seperti di Eropa) dilakukan melalui transmigrasi,


perlu disusun mekanisme dan kekuatan hukum kepemilikannya

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
6. Bagaimana mekanisme pemberian insentif dan subsidi terutama pada saat
pemilik./pengelola SSF belum dapat memanen baik pada penjarangan
maupun tebang akhir.

Namun demikian berdasarkan penelitian Havsky, 2001 di Republik Slovakia


menunjukkan bahwa hutan pribadi yang dimiliki individu mampu memberikan
income dan dari penjualan hasil kayunya. Di Indonesai SSF perlu diterapkan
dalam bentuk di antaranya hutan rakyat, manajemen kolaborasi maupun dengan
pembagian lahan hutan seperti di negara Eropa. Tentunya ini harus diimbangi
dengan adanya peraturan yang jelas, mengenai status kepemilikan lahan dan
pembagian hasil, karena lahan hutan merupakan milik negara.

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid. 1979. Pemilihan Jenis Tanaman Penghijauan untuk Pembangunan Hutan


Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Anonim. 1975. Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri.
www.google.com/search. [22 Januari 2004]
Anonim. 1996. Establishing A Small Forest The Ministry of Forestry and the New
Zealand Forest Research Institute Ltd.
Anonim. 1996. Harvesting A Small Forest The Ministry of Forestry and the New
Zealand Forest Research Institute Ltd.
Skoupý A, Simon J, and Kulhavý J. 2002. Conditions and prospects of small-scale
forest management in new countries of EU. Journal Small-scale Forest
Economics, Management and Policy, 1(1): 1–11.
Bliss, JC. 2003. Sustaining Family Forests in Rural Landscapes: Rationale,
Challenges, and an Illustration from Oregon, USA. Small-scale Forest
Economics, Management and Policy, 2(1): 1-8, 2003
Brand H. 2002. The Economic Situation of Family-farm Enterprises in the Southern
Black Forest. Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1):
13–24, 2002
Capman HH and Meyer WH. 1947. Forest Valuation with Emphasis on Basic
Economic Principles. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York and
London.
Davis dan Jonshons. 1987. Forest Management. McGraw-Hill Book Company.
New York

Davis KP. 1966. Forest Management : Regulation and Valuation. McGraw-Hill


Book Company. New York
Departeman Kehutanan Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Kehutanan No
41 Tahun 1999.
Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan
Republik Indonesia. Jakarta
Departemen Perdagangan dan Perindustrian RI. 2004. Harga Patokan Untuk
Perhitungan Provisi Sumber Daya (Psdh) Hutan Kayu Dan Rotan.
www.google.com/search [ 22 Januari 2004].
Forestry Riparian Easement Program Small Forest Landowners Streams Rivers
February 2001 - Chehalis River Council. www.google.com/search [13
Januari 2005]

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Gunawan, H. 2002. Analisis Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Acacia
Mangium di KPH Bogor PT Perhutani Unit III Jawa Barat. Tesis pada
Program Pasca Sarjana IPB. Tidak Dipublikasikan
Harrison SR, Herbohn JL and Niskanen AJ. 2002. Non-industrial, Smallholder,
Small-scale and Family Forestry: What’s in a Name?. Journal Small-scale
Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 1–11.
Herawaty T. 2001. Pengembangan Sistem Pengambilan Keputusan dengan Kriteria
Ganda dalam Penentuan Jenis Tanaman Hutan Rakyat. Tesis Pada Program
Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan
Higman S and Nussbaum R. 2002. How standards constrain the certification of
small forest enterprises. Forest Research Programme . Oxford OX1 1st
United Kingdom
Hyttinen P. 2002. Small Scale Forestry and Sustainable Rural Development IUFRO
Occasional Paper No. 16 IUFRO – 110 Years : 13 – 16
Ilavsky J. 2001. Preparedness of Private Owners for the Management of Forests in
The Slovak Republic. Di dalam Niscanen, A and Vayrynen, J. editor.
Economic Sustainability of Small Scale Forest. International IUFRO
Symposiom Forestry. EFI Proceeding No. 36 – 2001. Joensuu-Finland.
European Forest Institut. hlm : 53 - 60
Jirikowski W. 2002. Example Of A Forest Anagement System In A Medium-Scale
Forest Enterprise. http://www.fao.org/docrep/w3722E /w3722e00.HTM [20
Januari 2005]
Ota J. 2002. The Shrinking Profitability of Small-scale Forestry in Japan and Some
Recent Policy Initiatives to Reverse the Trend. Journal Small-scale Forest
Economics, Management and Policy, 1(1): 25–37.
Krisnawati. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Dengan Pendekatan
Dinamika Struktur Tegakan. Tesis pada Program Pasca Sarjana IPB. Tidak
Dipublikasikan
Osmaton FC. 1968. The Management of Forest. Goerge Allen & Unwin Ltd.
London
Papua New Guinea Small-scale sawmilling a good way forward.
http://www.wrm.gov.uy/Papua New Guinea Small-scale sawmilling a good
way forward.htm [13 Januari 2005]
Purnomo, H., Yasmi, Y., Prabu, R., Hakim, S., Javar, A and Suprihatin. 2002.
Collaborative Modelling Management to Support Forest Management :
Qualitative Systems Analysis at Lumut Mountain – Indonesia. Journal Small-
scale Forest Economics, Management and Policy, 2(2): 259 - 272.
Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan. Bogor

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Suhendang E. 1993. Alternatif Metode Pengaturan Hasil pada Areal Bekas
Tebangan Hutan Tidak Seumur. Makalah dalam Diskusi Ilmiah Kehutanan
dalam Rangka Dies Natalis IPB ke-30. Bogor
Suhendang E, 1993, 1995 dan 1999. Pembentukan Hutan Normal tidak Seumur
Sebagai Strategi Pembenahan Hutan Alam Produksi Menuju Pengelolaan
Hutan Lestari Indonesia. Sebuah Analisis Konsepsional dalam Ilmu
Manajemen Hutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap dalam Ilmu Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Tropika Dataran
Rendah di Bengkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung. Tesis pada
Fakultas Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan
Zhai Y dan Horison SR. 2002. Non Industrial Private Foretry in United Stated of
America. Sustainable Small Scale Forestry : Socio Economic Analysis and
Policy. 205 - 214

Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009

Anda mungkin juga menyukai