Pengelolaan Hutan Skala Kecil: (Small Scale Forest Management)
Pengelolaan Hutan Skala Kecil: (Small Scale Forest Management)
Oleh :
SAMSURI
NIP 132 259 570
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan paper dengan judul “Pengelolaan
Hutan Skala Kecil (Small Scale Forest Management)”.
Mengingat kondisi hutan alam di Indonesia yang terfragmentasi, maka paper ini mencoba
menjelaskan tentang model pengelolaan hutan dalam skala kecil (luasannya), sebagai
alternatife model pengelolaan hutan alam di Indonesia di masa mendatang.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Kritik dan saran
sangat penulis harapkan bagi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
A PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Tujuan 2
3. Metodologi 2
B PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL 4
1. Pengertian dan Definisi 4
2. Small Scale Forest (SSF) di Beberapa Negara 5
3. Pengelolaan “Small Scale Forest “ di Indonesia 6
Pengalokasian dan Distribusi Lahan Hutan 10
Sistem Plasma dan Inti 10
4. Perencanaan Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 11
5. Pertimbangan Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 12
Daur Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 13
Kelas Perusahaan Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 14
Umur Ekonomis Tebang Habis Scale Forest (SSF) 15
Tipe-tipe Penjualan Hasil Small Scale Forest (SSF)
16
Ukuran Luas Panen Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)
17
5. Monitoring Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 19
C PENUTUP 21
DAFTAR PUSTAKA 23
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR TABEL
No Text Hal
Tabel 1 Distribusi kepemilikan hutan berdasarkan rumah tangga di 6
Jepang pada tahun 1990
Tabel 2 Berbagai daur jenis tanaman kehutanan 14
Tabel 3 Nilai NPV, BCR dan IRR jenis tanaman yang dapat dijadikan 15
tanaman pokok dalam SSF
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR GAMBAR
No Text Hal
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hutan merupakan ekosistem kompleks yang dinamis, yang di dalamnya
berlangsung proses perubahan dan interaksi antar komponen ekosistem. Proses
perubahan dan interaksi ini diyakini sebagai suatu tahapan menuju keseimbangan
ekosistem hutan itu sendiri. Dengan adanya dinamika dalam ekosistem hutan,
maka menentukan metode pengelolaan harus senantiasa mengikuti perubahan
yang terjadi.
Jika pada saat sekarang sulit sekali menemukan luasan hutan yang kompak dalam
luasan yang besar, maka diperlukan suatu metode pengelolaan yang mungkin
berbeda dengan pada saat hutan masih luas. Dewasa ini hutan telah ter-
fragmentasi ke dalam luasan-luasan kecil dan tidak kompak; dari yang semula
satu areal konsesi hak pengusahaan hutan dengan luas ratusan ribu hektar
kompak; areal ijin pemanfaatan hutan menjadi lebih sempit dari puluhan sampai
ratusan hektar.
Ekstrimnya, di masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita hanya
menemukan hutan yang kompak hanya dengan luasan puluhan hektar. Mengelola
hutan yang memiliki luas misalnya hanya 10 hektar mungkin mudah jika hanya
manfaat jasa hutan dan fungsi konservasi tanah. Namun akan menjadi tantangan
jika hutan dengan luasan tersebut harus dapat menghasilkan kayu secara kontinu.
Kondisi nyata inilah yang akan kita hadapi dalam mengelola hutan di masa yang
akan datang. Melalui tulisan ini akan dijelaskan gagasan, ide dan pemikiran
bagaimana mengelola hutan dalam skala kecil. Tentu saja masih disertakan
penjelasan tentang pengelolaan hutan yang telah diterapkan selama ini meliputi
kendala dan permasalahannya serta strategi mengatasinya.
2. Tujuan :
Adapun tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah :
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
2. Menjelaskanperkembangan pengelolaan hutan skala kecill
3. Menggali dan mencari bentuk pengelolaan hutan dalam skala kecil ”Small
scale forest”
3. Metodologi
Small scale forest yang disingkat SSF didefinisikan sebagai hutan dengan luas
area lebih kurang 100 hectares (ha), dan dapat mencapai luasan maksimum 1000
hekktar dengan pertimbangan kepentingan nasional (The Ministry of Forestry and
the New Zealand Forest Research Institute, 1996)
Horison et al 2002 menyatakan bahwa SSF sering merujuk pada apa yang disebut
dengan pemilik kecil skala hutan. Philippines Mangaoang 2002 dalam Horison
et al 2002 disebutkan bahwa fokus manajemen hutan dan konservasi telah beralih
secara bertahap dari pengelolaan hutan komersial tinggi ke arah lebih berorientasi
pada pengeloaan hutan berorientasi masyarakat. Dan yang lebih baru, pergeseran
paradigma dalam pengelolaan hutan ke arah skala kecil, berbasis multiproduk, dan
berbasis masyarakat.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
berdasar pada seleksi jenis, sosial dan tujuan ekonomi pemilik kunci dan pasar
kehutanan. Penelitian-penelitian pun mulai diarahkan dari kehutanan skala besar
menjadi SSF (Horison et al 2002)
SSF dalam farm forestry di Autria didefinisikan sebagai pemilikan hutan pribadi
dengan luasan antara 1 sampai dengan 200 ha Sekot 2001 dalam Horison et al
2002. Pada umumnya SSF di Eropa memiliki biodiversity tinggi seperti di
Swedia, Norwegia dimana pemilik merupakan keluarga yang memiliki tradisi
mengelola hutan disamping aktivitas ekonomi mereka di bidang pertanian;
dengan luasan hutan milik pribadi berkisar antara 25 sampai dengan 40 ha.
Berbeda dengan di Jerman, Autria dan Swiss; sejumlah pemilik hutan
mempunyai luasan kurang dari 5 ha. Ada juga yang menyebut SSF sebagai
sepetak kayu yang umumnya komersial, seperti di negara Autralia.
Di Selandia Baru SSF oleh Bawden 2000 dalam Horison et al 2002, dinyatakan
juga harus diuji dari perspektif keuangan. Dalam perpektive ini termasuk
investor yang terlibat dalam perusahaan gabungan dan petani-petani yang
memiliki beberapa ratus hektar tegakan.
Di Kanada hutan dimiliki dan atau dikelola oleh individu dengan Small Forest
Certification dengan jumlah tidak kurang dari 425.000 orang pemilik lahan dan
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
hutan. Pemilik-pemilik hutan ini mengorganisasi diri dalam serikat-serikat kecil
melalui persetujuan individu maupun kelompok masyarakat. Sebagian besar
hutan di Kanada terpisah dalam luasan-luasan kecil dan tidak jarang berada di
tengah-tengah pemukiman dengan penduduk yang padat dengan banyak jalan,
jalan air, pertanian dan pengembangan perumahan.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Tabel 1. Distribusi kepemilikan hutan berdasarkan rumah tangga di Jepang
pada tahun 1990
Jumlah pemilik Area
Kelas
Rumah Tangga % (ha) %
8.31
0.1-1 ha 1,452,255 57.89 560,797
1-5 ha 777,207 30.98 1,624,273 24.06
150,661
5-10 ha 6.01 973,948 14.42
10-20 ha 79,281 3.16 1,014,582 15.03
7.81
20-30 ha 23,294 0.93 527,311
30-50 ha 14,664 0.58 520,710 7.71
50-100 ha 7,490 0.30 478,931 7.09
100-500 3,376 0.13 612,095 9.07
ha
500-ha 377 0.02 439,474 6.51
Total 2,508,605 100.00 6,752,121 100.00
Sumber : The Shrinking Profitability of Small-scale Forestry in Japan, Ota 2002
Di North Karelia yang disebut propinsi hutan di Eropa, pemilik hutan dibagi
hampir sama ke dalam 4 kategori yaitu hutan negara, hutan industri, hutan milik
petani dan milik pribadi non petani. Mendekati angka 20000 pemilik hutan
pribadi di propinsi ini. Petani dan pemilik pribadi non petani bersama-sama
memiliki lebih dari setengah lahan hutan, dan mereka sangat significan dalam
menyediakan kayu untuk industri secara tidak sama. Ukuran rata-rata sebuah
kepemilikan hutan adalah 38 ha dengan perkiraan tegakan persediaan kurang
lebih 120 m3/ha Korhonen et al 2001 dalam Hyttinen 2002
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
3. Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) di Indonesia
Secara ekologis dan kepentingan social, hutan dengan luasan puluhan sampai
ratusan hektar tidak menjadi masalah. Akan tetapi yang perlu diperhatikan
adalah ketika hutan dengan luasan kecil ini harus memberikan hasil berupa kayu.
Krisis ekonomi yang menghancurkan sebagian dunia usaha, ternyata tidak untuk
perekonomian masyarakat pertanian dan kehutanan. Bahkan di negara AS pun,
menurut Bliss 2003, pada saat perubahan kondisi sosial ekonomi global tak bisa
dihindari, hutan keluarga di AS sangat dibutuhkan keberadaanya.
Praktek pengelolaan hutan dalam luasan yang kecil sebenarnya telah ada sejak
lama di Indonesia. Sebuah keluarga misalnya pernah memiliki hutan jati dengan
luas puluhan hektar, bisa juga disebut dengan ”family forest”. Hutan-hutan yang
dimiliki tersebut tidak selalu kompak tetapi terpisah-pisah lokasinya, bahkan ada
juga yang hanya berupa tegakan sebagai pembatas tanah. Dalam
perkembangannya kemudian hutan-hutan yang demikian disebut juga hutan
rakyat.
Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan yang dibangun pada lahan milik atau
gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon-pohon, yang pembinaannya dan
pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha seperti
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan yang digariskan oleh pemerintah
(Alrasyid 1979).
Beberapa negara di dunia telah melaksanakan pengelolaan hutan skala kecil dan
terbukti berhasil. Seperti pengalaman di Papua Nugini, Bolivia, Inggris dan
Brazil dapat dijadikan perbandingan jika ingin menerapkan pengelolaan hutan
skala kecil di Indonesia.
Mengingat secara ekonomis, hutan skala kecil alam dengan system TPTI murni
sulit dilakukan; maka pengelolaan hutan skala kecil dapat dilakukan dengan
pengelolaan yang intensif, dan tidak menggantungkan pada kemampuan hutan
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
untuk mengelola ekosistemnya sendiri. Dengan demikian pilihan pembangunan
hutan skala kecil lebih layak dilakukan di hutan seumur.
Hasil yang diperoleh dalam satu tahun, minimal harus sama dengan jumlah
biaya yang dikeluarkan oleh pemilik hutan dalam mengelola tegakannya.
3. Metode pemanenan
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Di desa-desa di sebagian wilayah P Jawa telah dikenal sawmill kecil yang
dapat berpindah-pindah lokasi. Demikian juga jika melihat cara kerja dari
para pelaku illegal loging sudah menggunakan metode ini. Dengan demikian
juga, kendala jauh dari perusahaan sawmill dapat diatasi dengan adanya
sawmill yang portable ini.
Kepemilikan hutan keluarga sangat sesuai selain hutan rakyat, mengingat daur
jenis-jenis kayu bernilai cukup panjang, dengan harapan pengelolaan hutan
keluarga SSF akan dilanjutkan oleh keluarga. Dalam budaya masyarakat
Indonesia , etos dan semangat kerja akan besar jika kelak apa yang dihasilkan
akan dinikmati oleh generasi penerus keluarganya. Hal ini seperti di AS dimana
keluarga yang memiliki hutan walaupun tinggal di perkotaan masih mengunjungi
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
pertanian kakek neneknya, atau menebang kayu bakar di hutan keluarga, tetapi
sebagian masih tinggal (Bliss, 2002).
Pengelolaan hutan berharap dapat menanam dengan luasan yang sama setiap
tahunnya berisi tegakan dengan umur sama. Misalnya petani hutan memili areal
100 ha, dengan masa daur tanaman adalah 25 tahun, maka petani dapat
menanam dan memanen setiap tahunnya 2 ha. Selama masa penanaman dan
pemeliharaan tanaman ini (Gambar 1), petani harus mendapatkan insentif dari
pemerintah misalnya seharga nilai kayu yang dimilikinya pada umur tertentu.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Akan tetapi jika hutan sudah memberikan income (panen) maka pemerintah
tidak perlu lagi memberikan insentif (pendapatan) tapi cukup dengan
memberikan insentif berupa kemudahan-kemudahan yang lain.
Dalam kasus lain, misalnya apa yang sering ditemui di British Kolumbia,
kepemilikan hutan skala kecil dihubungkan dengan landscape hutan dalam skala
besar. Di beberapa wilayah hutan skala kecil menyediakan nilai jasa dan produk
lain seperti rekreasi, habitat hidupan liar dan pendapatan untuk masyarakat
setempat. Ukuran dan distribusi grografis hutan kecil membuat pemilik dan
pengelola menghadapi beberapa tantangan diantaranya ketergantungan
pendapatan terhadap hutan dalam jangka pendek, kesulitan dalam pemasokan
dan pemasaran produk hutan, dan paling penting adalah membangun kesadaran
untuk mengelola hutan dengan standar tinggi.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
keputusan pertimbangan anggaran, praktik pengelolaan hutan, perencanaan
lingkungan dan perencanaan pengembangan pembiayaan dan pendapatan.
Luas minimum ”small scale forest” (Kasus di New Zelands) ditentukan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
o Pada beberapa lokasi yang sulit, lebih luas hutan (10 ha atau lebih) diperlukan
untuk memungkinkan dilaksanakannya pengelolaan biaya tinggi untuk
mendapatkan volume hasil yang lebih tinggi.
o Luasan yang lebih kecil tetapi dengan tegakan bernilai tinggi mungkin lebih
menghasilkan dibanding dengan perluasan hutan dengan nilai pulpwood dan
firewood yang rendah
o Yang terpenting adalah pada saat menanam pohon yang bernilai rendah untuk
bahan pulp, jarak yang pendek akan mereduksi biaya angkut sehingga kayu
akan bernilai lebih tinggi per hektarnya; sehingga walaupun kecil luasannya
dapat dipanen
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
besar dalam penataan hutan apabila tegakan ditebang pada batas umur bawah
dari umur tebang atau dibiarkan tumbuh sampai tegakan berada di atas miskin
riap
Pada dasarnya daur yang digunakan adalah daur ekonomis/finansial karena lebih
sesuai dengan tujuan perusahaan Beberapa jenis tanaman dengan daur nya
masing-masing seperti dalam Tabel 2. Dalam tegakan seumur terdapat dua tipe
hasil tegakan yaitu hasil akhir (hasil utama) dan hasil antara (tebangan
penjarangan).
Pemanenan dapat dilakukan oleh pihak ketiga atau kotraktor yang khusus
bergerak di bidang penebangan pohon. Tebang habis pada penebangan terakhir
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
merupakan alternatif terbaik, sehingga harga log yang dihasilkan tidak
dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar.
Tabel 3. Nilai NPV, BCR dan IRR jenis tanaman yang dapat dijadikan
tanaman pokok dalam SSF (Sumber : Herawaty, 2001)
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
pada saat itu Rp. 140.090,70, maka diperoleh pendapatan dari tebang habis
akasia sebesar Rp. 140.090,70 x 73.695 = Rp. 10.323.983.00 per hektar. Daur
9 tahun ini layak untuk tingkat suku bunga terendah 0% dan tertinggi 24%
(ditunjukkan oleh NPV dan BCR tertinggi). Dengan demikian maka
pengelolaan SSF sebaiknya menggunakan tanaman pokok mahoni dengan
pertimbangan selain daurnya lebih pendek dibanding jati, kualitas kayunya
hampir sama dengan kualitas kayu jati.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Penjualan Blok
Tegakan dijual dalam bentuk luas blok tertentu. Diperlukan penguasaan
penaksiran nilai tegakan dalam metode penjualan ini. Penaksiran dapat
dilakukan oleh konsultan yang independent. Metode penjualan ini lebih
memudahkan bagi pemilik hutan karena dia tidak akan terlibat dalam proses
pemanenan secara langsung. Metode ini sangat sesuai untuk blok penebangan
yang relatif kecil.
Penjualan dalam Volume Kayu perdagangan
Penjualan model ini adalah tegakan kayu yang diperdagangkan yang dinyatakan
dalam ukuran meter kubik atau tonase (Capman dan Meyer 1947). Pembeli
bertanggung jawab dalam pemanenan kayu. Pembeli hanya akan mengeluarkan
kayu yang dapat diperdagangkan. Tingkat harga terkait erat dengan campuran
log yang berbeda dalam hutan begitu juga harga pemanenan dan pengangkutan
kayu. Hutan dengan proporsi kayu gergajian yang tingg lebih bernilai
dibanding dengan kayu bahan pulp.
Penjualan Kualitas Kayu
Penjualan ini sangat bergantung pada grade kayu itu sendiri, pada saat akan
dimuat ke truk dan diantar ke pabrik.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Departemen Perdagangan dan Perindustrian RI Periode Juli sampai Desember
2004 mengeluarkan daftar harga perkiraan terhadap produk kayu bulat yang
diantaranya adalah kayu dari Perum Perhutani yaitu (1) kayu bulat jati dan sono
keling diameter > 30 cm dengan harga Rp. 745.000,-/m3; diameter 20 – 19 cm
dengan harga Rp. 485.000,-/ m3; diameter < 19 cm dengan harga Rp. 192.000,-
/ m3; (2) kayu rimba indah (mahoni dan sonobrit) diameter > 30 cm seharga Rp.
384.000,-/ m3; diameter 20 – 29 cm seharga Rp. 134.000,-/ m3 dan diameter <
19 cm seharga Rp. 82.000,-/ m3.
Berdasarkan tabel volume kayu mahoni yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan 1975, diketahui bahwa pada umur 40 tahun,
tanaman mahoni di lahan dengan klas bonita II akan menghasilkan kayu sebesar
262 m3/ha, dengan diameter rata-rata 35,1 cm. Jika pada tebangan akhir SSF
dengan kelas perusahaan mahoni, maka dalam satu hektar akan diperoleh hasil
262 m3/ha x Rp. 384.000,-/ m3 = Rp. 139.008.000, -/ha.
Potensi hutan alam yang hanya 179 m3/ha dan 72 m3/ha (hutan primer) per
hektar (Hinrichs, 2002), lebih kecil dibanding dengan SSF misalnya dengan
tegakan mahoni yang dapat dipanen sebesar 262 m3 per ha per tahun. Sehingga
sebenarnya jika menanaman pohon dengan nilai komersial tinggi akan
memungkinkan pengelolaan hutan dalam skala kecil. Berdasarkan hasil studi
analisis prioritas, analisis finansial dan panjang daur tanaman maka tanaman
mahoni layak dijadikan tanaman pokok dalam SSF. Untuk menentukan luas
minimalnya, didekati dengan menghitung biaya yang dikeluarkan pemilik hutan
setiap satu hektar per tahunnya sebagai berikut (berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan penulis) :
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
3. Biaya manajemen per bulan = Rp. 6.000.000,-
4. Biaya pemanenan dan pengangkutan per ha = Rp. 52.000.000,-
5. Pajak (10 % x harga produk)
6. Pembayaraan bunga atas modal (19 %)
7. Keuntungan perusahaan (min 10 % biaya)
Total biaya 2.499.000 x a) + (3000000 x a) + (2500000 x a) + (6000000 x 12) +
(52000000 x a) + (0.1 x 38400 x 262 m3 x a ) + (0.19 x a x 104499000) , dimana
“a “ adalah luas penanaman dan pemanenan setiap tahunnya.
Jumlah biaya yang diperlukan minimal harus sama dengan jumlah penerimaan
dari pemanenan yaitu (384.400 x 262 m3 x luas panen), sementara biaya yang
diperlukan untuk mengelola 1 ha tegakan mahoni adalah Rp. 104.449.000,-.
Sehingga untuk memenuhi biaya dari penanaman sampai pemanenan ditambah
dengan bunga atas modal, keutungan dan pajak maka minimal dalam satu tahu
harus memanen mahoni seluas 1.05 hektar.
Dengan panen rata-rata kayu pertukangan sebanyak 262 m3 per ha tiap tahun
maka diperlukan luas minimal 1.059 ha pemanenan setiap tahunnya. Jika umur
pohon mahoni yang dapat dijadikan kayu pertukangan 40 tahun, maka luas
minimal hutan skala kecil yang harus dipunyai seorang pemilik/pengelola
sebesar 42,7 atau 43 hektar. Dengan demikian metode pengaturan hasil
pengaturan hasil yang digunakan adalah etat luas yaitu luas SSF dibagi daur
tanaman pokok.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Ukuran luas hutan
Tingkat eksploitasi
Kepentingan ekologis
Nilai lanskape
Kepentingan social
Perbedaan luas ini didasarkan pada luas kawasan hutan yang dimiliki, tipe hutan
dan system manajemen, demikian juga dengan batas yang digunakan untuk
tujuan lain, misalnya dukungan pemerintah atau persyaratan formal.
Di beberapa negara luas hutan dalam jumlah besar dibagi ke dalam beberapa
kepemilikan kecil. Indonesia dapat dikatakan telah menerapkan prinsip ini
dalam manajemen perkebunan melalui system inti plasma, di mana petani-petani
kecil mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung dalam
suatu serikat untuk menjual produk perkebunannya. Pada umumnya petani-
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan perkebunan besar dan sekaligus
menampung produk petani-petani kecil tersebut.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
bantuan dari pemerintah berdasarkan Basic Forestry Law 1964. Pemilik hutan
memperoleh subsidi sebesar 68 % biaya penanaman dan penjarangan pra
komersial. Dan setiap tahun pemerintah membayar sejumlah dana untuk
pendukung sarana jalan dan mesin-mesin untuk memajukan kawasan perdesaan (
Ota, 2002)
C. PENUTUP
Pengelolaan hutan dalam skala kecil memberikan peluang baru dalam membuka
lapangan kerja, sekaligus merupakan terobosan baru dalam mengelola hutan dan
merehabilitasi hutan dan lahan. Beberapa hal yang memerlukan kajian mendalam
misalnya adalah luas minimal SSF yang benar-benar layak secara ekonomi,
sosial dan ekologi di berbagai lokasi di Indonesia perlu diteliti lebih mendalam.
Tidak kalah pentingnya adalah membuat peraturan yang mengatur tentang
kepemilikan dan pengeloaan hutan skala kecil ini (SSF)
Ada pertanyaan yang harus dijawab dalam pembangunan SSF (Havsky , 2001)
yang antara lain adalah :
1. Jika SSF dalam pengertian berupa tutupan lahan di luar kawasan hutan yang
dimiliki masyarakat akan sulit melakukan identifikasi di lapangan
3. Karena ukuran luas SSF adalah kecil, dan terdapat banyak pemilik SSF maka
akan lambat dalam proses pembentukan perkumpulan guna memperlancar
tranfer dan pertukaran informasi teknologi pengelolaan
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
6. Bagaimana mekanisme pemberian insentif dan subsidi terutama pada saat
pemilik./pengelola SSF belum dapat memanen baik pada penjarangan
maupun tebang akhir.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Gunawan, H. 2002. Analisis Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Acacia
Mangium di KPH Bogor PT Perhutani Unit III Jawa Barat. Tesis pada
Program Pasca Sarjana IPB. Tidak Dipublikasikan
Harrison SR, Herbohn JL and Niskanen AJ. 2002. Non-industrial, Smallholder,
Small-scale and Family Forestry: What’s in a Name?. Journal Small-scale
Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 1–11.
Herawaty T. 2001. Pengembangan Sistem Pengambilan Keputusan dengan Kriteria
Ganda dalam Penentuan Jenis Tanaman Hutan Rakyat. Tesis Pada Program
Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan
Higman S and Nussbaum R. 2002. How standards constrain the certification of
small forest enterprises. Forest Research Programme . Oxford OX1 1st
United Kingdom
Hyttinen P. 2002. Small Scale Forestry and Sustainable Rural Development IUFRO
Occasional Paper No. 16 IUFRO – 110 Years : 13 – 16
Ilavsky J. 2001. Preparedness of Private Owners for the Management of Forests in
The Slovak Republic. Di dalam Niscanen, A and Vayrynen, J. editor.
Economic Sustainability of Small Scale Forest. International IUFRO
Symposiom Forestry. EFI Proceeding No. 36 – 2001. Joensuu-Finland.
European Forest Institut. hlm : 53 - 60
Jirikowski W. 2002. Example Of A Forest Anagement System In A Medium-Scale
Forest Enterprise. http://www.fao.org/docrep/w3722E /w3722e00.HTM [20
Januari 2005]
Ota J. 2002. The Shrinking Profitability of Small-scale Forestry in Japan and Some
Recent Policy Initiatives to Reverse the Trend. Journal Small-scale Forest
Economics, Management and Policy, 1(1): 25–37.
Krisnawati. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Dengan Pendekatan
Dinamika Struktur Tegakan. Tesis pada Program Pasca Sarjana IPB. Tidak
Dipublikasikan
Osmaton FC. 1968. The Management of Forest. Goerge Allen & Unwin Ltd.
London
Papua New Guinea Small-scale sawmilling a good way forward.
http://www.wrm.gov.uy/Papua New Guinea Small-scale sawmilling a good
way forward.htm [13 Januari 2005]
Purnomo, H., Yasmi, Y., Prabu, R., Hakim, S., Javar, A and Suprihatin. 2002.
Collaborative Modelling Management to Support Forest Management :
Qualitative Systems Analysis at Lumut Mountain – Indonesia. Journal Small-
scale Forest Economics, Management and Policy, 2(2): 259 - 272.
Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan. Bogor
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009
Suhendang E. 1993. Alternatif Metode Pengaturan Hasil pada Areal Bekas
Tebangan Hutan Tidak Seumur. Makalah dalam Diskusi Ilmiah Kehutanan
dalam Rangka Dies Natalis IPB ke-30. Bogor
Suhendang E, 1993, 1995 dan 1999. Pembentukan Hutan Normal tidak Seumur
Sebagai Strategi Pembenahan Hutan Alam Produksi Menuju Pengelolaan
Hutan Lestari Indonesia. Sebuah Analisis Konsepsional dalam Ilmu
Manajemen Hutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap dalam Ilmu Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Tropika Dataran
Rendah di Bengkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung. Tesis pada
Fakultas Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan
Zhai Y dan Horison SR. 2002. Non Industrial Private Foretry in United Stated of
America. Sustainable Small Scale Forestry : Socio Economic Analysis and
Policy. 205 - 214
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil (Small Scale Forest Management), 2009
USU e-Repository © 2009