Anda di halaman 1dari 47

A Demokrasi Pancasila

1. Pengertian Demokrasi Pancasila


Demokrasi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani “demos” yang
berarti rakyat dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Khususnya
di Athena, kata “demos” biasanya merujuk pada seluruh rakyat tetapi
kadangkala juga berarti orang-orang pada umumnya atau hanya rakyat
miskin, kata demokrasi pada mulanya kadangkala digunakan oleh
kalangan aristokrat sebagai sindiran untuk merendahkan orang-orang
kebanyakan(Dahl,1998:11-12 dalam Yudi Latif,2011:395).
Dari pengertian mengenai demokrasi tersebut dapat ditarik bahwa
substansi demokrasi itu sendiri merupakan kekuasaan Yudikatif,Eksekutif
dan Legislatif berasal dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam pemerintahan. Substansi tersebut membentuk struktur dalam
demokrasi, yakni adanya infrastruktur dan suprastruktur yang
menhghasilkan keputusan dan kapabilitas.
Demokrasi merupakan pemusatan kekuasaan ditangan rakyat.
Menurut Cholisin demokrasi di Indonesia memegang prinsip
TeoDemokratis dimana segala keputusan dan kebijakkan diatur
sepenuhnya untuk kepentingan rakyat namun tidak melanggar peraturan
Tuhan. Inilah perbedaan mendasar dari demokrasi yang khas di Indonesia
dibandingkan dengan demokrasi di negara lainnya. Prinsip Teo-
demokratis merupakan hasil demokrasi yang mendasarkan Pancasila
terutama sila pertama yakni Ketuhanan yang maha Esa.
DemokrasiDemokrasi bukan hanya suatu sistem yang ada dalam suatu
pemerintahan, namun juga suatu proses yang dilakukan untuk menuju
kepada kesejahteraan rakyat dalam negara tersebut. Demokrasi Pancasila
yang merupakan demokrasi yang khas dari bangsa Indonesia sendiri
merupakan hasil dari pendiri negara ini yang memiliki keinginan mulia
untuk melepaskan segala kesulitan masyarakat Indonesia. Proses menuju
kesejahteraan tersebutlah yang kadang dalam perjalanannya ada beberapa
negara yang mampu melaksanakannya dengan baik namun tidak jarang
juga banyak negara yang tidak mampu untuk melakukannya.
Dengan adanya demokrasi ini, maka diharapkan akan terwujud
pemerintahan yang kuat mengingat karena pemerintahan ini diciptakan
oleh rakyat itu sendiri. Pemerintahan yang kuat bukaanlah pemerintahan
yang diciptakan daalam bentuk pemerintahan otoriter yang mampu
mengarahkan kehendaknya kepada rakyat, namun pemerintahan yang kuat
yang didukung sepenuhnya oleh rakyat dan tidak ditumpangi oleh
kebutuhan pihak lain.
Menurut Georg Sorensen (2003:xiii) menyatakan ada beberapa ciri
pemerintahan yang kuat yakni:
Memiliki birokrasi yang effisien dan tidak korup
Memiliki birokrasi yang berkemauan dan mampu memberikan prioritas
pada pembangunan ekonomi
Memiliki kebijakan yang dirancang dengan baik untuk mencapai tujuan
pembangunan.
Menurut ketiga ciri yang diutarakan Sorensen, Indonesia belum terlihat
memiliki ketiganya. Padahal negara kita merupakan salah satu negara
yang menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Demokrasi
sendiri bukanlah sesuatu yang baru bagi Indonesia, demokrasi sudah
tumbuh sejak abad ke 14 sampai 16 pada kekuasaan raja
Minangkabau(Yudi Latif,2011:387). Dimana saat itu demokrasi lebih
dikenal dengan kedaulatan rakyat.
Demokrasi muncul bukan secara tiba-tiba, melainkan dengan suatu proses
yang panjang. Dalam proses tersebut terdapat faktor pendukung yang
mendukung tumbuhnya demokrasi. Faktor yang mendukung pelaksanaan
demokrasi di negara Indonesia antara lain:
Pendidikan politik/pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk sikap
demokratis di kalangan warga negara, sebagai basis sumber daya politik.
Ormas dan parpol, untuk menyosialisasikan demokrasi di kalangan
masyarakat dan mengawasi jalannya demokrasi.
Pemilu yang luber dan jurdil, merupakan hasil untuk rakyat dari
demokrasi yang juga merupakan awal lahirnya keputusan ideal bagi
seluruh rakyat.
Perwakilan politik/DPR, MPR, secara tidak langsung merupakan ujung
tombak yang dilakukan oleh rakyat guna mengaspirasikan pendapat
mereka.
Pemerintah yang bertanggung jawab
Sistem peradilan yang independen
Pers dan media massa yang independen (Cholisin,2013:29)
Pendidikan politik sangat mendukung terciptanya demokrasi karena dari
pendidikan politik seseorang mengetahui tentang apa yang dimaksud
dengan demokrasi dan dapat melakukannya. Pendidikan politik bisa juga
disebut dengan sarana sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat
tentang demokrasi.
Ormas/Organisasi Masyarakat dan Parpol/Partai Politik merupakan pelaku
secara aktif yang melaksanakan demokrasi. Organisasi masyarakat sering
melakukan penyampaian aspirasi apabila tidak setuju dengaan kebijakan
yang diambil oleh pemerintah. Walaupun terkadang penyampaian aspirasi
yang dilakukan tidak sesuai dengan etika yang seharusnya namun dengan
cara seperti itu aspirasi sering dipertimbangkan oleh pemerintah. Aspirasi
parpol yang bukan dari parpol penguasa atau oposisi sangat diharapkan di
dalam terciptanya demokrasi agar dapat memberikan batasan kepada
parpol penguasa apabila mereka membuat kebijakan yang merugikan
kepentingan masyarakat. Kebebasan dalam penyampaian pendapat inilah
yang sering dilakukan dalam negara yang menganut demokrasi. Hal ini
perlu dilakukan, seringnya oleh ormas atau parpol agar tercipta demokrasi
sesuai yang diharapkan bersama. Pembatasan kebijakan inilah tugas dari
parpol atau ormas dalam hal pengawasan demokrasi. Tugas lainnya dari
ormas atau parpol dalam demokrasi ialah menyosialisasikan hasil
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kepada masyarakat luas.
Adanya pemilu yang LUBER dan JURDIL merupakan indikasi atau hasil
dari terciptanya demokrasi dalam suatu negara. Hasil pemilu seperti inilah
yang diharapkan oleh masyarakat banyak, karena pemilu ini memberikan
kebebasan kepada masyarakat dalam memilih. Kebebasan dalam memilih
menjauhkan masyarakat dari tekanan baik secara fisik (uang maupun
kekerasan) maupun tekanan secara emosional (hati nurani) dalam memilih
pemimpin.
Perwakilan politik baik DPR maupun MPR merupakan ujung tombak
secara langsung maupun tidak langsung yang bertugas menyampaikan
aspirasi masyarakat. Anggota DPR merupakan hasil dari pemilihan umum
dari masyarakat sehingga diharapkan hasil kebijakan yang menjadi
keputusan bersama benar-benar dari masyarakat, untuk masyarakat dan
oleh masyarakat tanpa ada tumpangan yang menguntungkan pribadi
maupun golongan mereka.
Pemerintah yang bertanggung jawab dalam negara demokrasi ialah dalam
hal mengambil keputusan atau kebijakan untuk bersama, pemerintah harus
menimbang untung maupun ruginya. Apakah
keputusan tersebut lebih banyak merugikan bagi masyarakat atau lebih
banyak menguntungkan bagi masyarakat. Kerugian yang dihasilkan dari
suatu keputusan atau kebijakan harus dapat ditanggung oleh masyarakat
dan dapat dipertanggung jawabkan di depan masyarakat
secara luas.
Sistem peradilan merupakan salah satu hasil yang dapat dilihat dalam
pemerintahan yang demokrasi. Dalam pelaksanaannya sistem peradilan
harus dapat tajam tanpa memandang bulu bagi siapapun yang salah.
Selama ini di Indonesia sistem peradilan sangat tajam bagi masyarakat di
bawah dan tumpul bagi masyarakat atas. Sistem peradilan yang seperti ini
merupakan sistem peradilan yang kurang adil dan dapat merugikan
masyarakat. Padahal negara demokrasi salah satu tujuannya harus dapat
menyejahterakan masyarakatnya. Sistem peradilan yang diharapkan ialah
sistem peradilalan independen dimana sistem ini bebas dari segala bentuk
tekanan dan dapat bersifat adil bagi semua masyarakat Indonesia.
Pers dan media massa sangat mendukung terciptanya demokrasi dalam
suatu negara. Pers dan media massa mempunyai tugas dalam memberikan
informasi kepada masyarakat berita terbaru sehingga masyarakat dapat
menilai dan melakukan tindakan. Begitu pentingnya tugas yang diemban
oleh pers atau media massa ini, maka diharapkan mereka mampu
membuat berita secara nyata apa adanya tanpa dibuatbuat maupun dilebih-
lebihkan.
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional, sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945
(Cholisin,2013:101). Nilai-nilai yang terkandung dalam Demokrasi
Pancasila merupakan nilai-nilai adat dan kebudayaan dari masyarakat
Indonesia secara umum.
2. Prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila
Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia
Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia dimaksudkan bahwa hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh rakyat Indonesia sama dan sejajar.
Persamaan hak dan kewajiban tersebut tidak hanya dalam bidang politik
saja melainkan bidang hukum, ekonomi dan sosial. Maka dari itu
Demokrasi Pancasila tidak hanya mencakup Demokrasi Politik saja,
melainkan Demokrasi Sosial dan Demokrasi Ekonomi juga. Persamaan ini
diharapkan mampu
memberikan keadilan bagi seliruh rakyat Indonesia.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban
Prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban memberikan pengertian
bahwa warga negara dalam menerima hak yang dimilikinya namun juga
harus diseimbangkan dengan kewajiban yang dimiliki.
Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain
Demokrasi Pancasila memberikan kebebasan kepada setiap individu
namun dengan batasan yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan
kebebasan ini ialah kebebasan yang harus memperhatikan hak dan
kewajiban dari orang lain dan diri sendiri bahkan, harus dapat
dipertanggung jawabkan dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
Mewujudkan rasa keadilan sosial
Demokrasi memiliki tujuan dalam mewujudkan rasa keadilan sosial untuk
semua warga negaranya. Keadilan sosial melingkupi sila dalam Pancasila
terutama sila kelima. Maka dari itu prinsip dalam demokrasi Pancasila
ingin mewujudkan rasa keadilan sosial dalam setiap masyarakat.
Dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila nilai-nilai religius dalam sila
pertama, humanis dalam sila dua, tiga dan lima dan
kolektivisme/kekeluargaan dalam sila keempat Pancasila, dapat menjadi
dasar dalam masyarakat hidup sehari-hari. sila-sila dalam Pancasila inilah
yang tidak dapat ditemukan dalam negara yang menganut demokrasi di
manapun.
Meskipun kelembagaan demokrasi modern yang digunakan tetapi dalam
pengambilan keputusan menggunakan mekanisme budaya asli yakni
permusyawatan(Yudi Latif,2011:387). Pengambilan keputusan secara
permusyawaratan menghasilkan hasil yang mufakat untuk bersama. Hasil
keputusan tersebut diharapkan dapat menjadi keputusan yang adil untuk
semua masyarakat dan tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja.
3. Nilai-Nilai Demokrasi Pancasila
Ada beberapa nilai demokrasi yang menjadi kriteria dan standar ideal
yang merupakan tolok ukur dalam demokrasi(Riza Noer,1996:315) yaitu:
Pemahaman yang tercerahkan, suatu hal dipandang baik bagi rakyat atau
dianggap sebagai kepentingan mereka berdasarkan pilihan mereka sendiri,
bukan pilihan pihak lain seperti elit yang dipandang mengetahui dan
berkuasa dalam hal itu. Itulah alasan mengapa rakyat Indonesia harus
terdidik dan tercerahkan secara memadai agar mereka dapat menentukan
apa yang mereka inginkan atau pandang baik.
Partisipasi efektif, partisipasi warga negara ini sangat krusial dalam
kaitannya dengan upaya untuk memenuhi kepentingan semua warga
negara yang berkaitan dengan keputusan yang akan dibuat.
Kontrol terhadap agenda, agenda dalam proses pengambilan keputusan
bisa saja sempit dan terbatas dengan skala proritas yang ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan tertentu dalam masyarakat.
Persamaan nilai suara dalam penentuan keputusan, hak pilih dalam
demokrasi bersifat universal, dalam suatu proses pembuatan keputusan
setiap warga negara yang telah memenuhi kualifikasi tertentu mempunyai
hak yang sama untuk memilih.
Inklusivitas, kriteria inklusivitas berhubungan dengan siapa saja yang
menjadi anggota atau warga demos asosiasi tertentu, termasuk negara,
dalam hal ini demos harus mencakup seluruh orang dewasa yang dikenai
atau terikat kepada keputusan-keputusan kolektif dan mengikat yang
dibuat oleh asosiasi tersebut.
Nilai-nilai demokrasi diatas merupakan bentuk nilai demokrasi secara
umum. Secara khusus nilai demokrasi merupakan kebalikan dari nilai-
nilai otoriter yang ada. Nilai demokrasi tersebut melahirkan suatu bentuk
budaya politik yang disebut budaya demokrasi, nilai-nilai
tersebut ialah:
 Egalitarian yang dibandingkan dengan Feodal
 Pluralisme yang dibandingkan dengan Homogin
 Terbuka yang dibandingkan dengan Tertutup
 Dialogis yang dibandingkan dengan Dogmatis
 Persuasif yang dibandingkan dengan Represif

Nilai-nilai Pancasila yang ideal ialah nilai Pancasila yang dirumuskan


oleh founding father atau pendiri bangsa ini. nilai-nilai tersebut yaitu :
Ketuhanan yang berkebudayaan/Ketuhanan yang maha Esa Ketuhanan
adalah kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia
untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politis yang berlandaskan
nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur (Yudi Latif,2011:110). Di
bawah panduan nilai-nilai Ketuhanan, Pancasila bisa memberikan
landasan moral dan filosofis bagi sistem demokrasi yang hendak kita
kembangkan(Yudi Latif,2011:116). Dengan adanya pernyataan tersebut
maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan nilai
Ketuhanan yang ada dalam Pancasila maka dapat menjadi dasar dan
landasan dalam mengembangkan demokrasi bangsa Indonesia, yakni
Demokrasi Pancasila.
Kemanusiaan universal/Kemanusiaan yang adil dan beradab Sila
perikemanusiaan yang adil dan beradab, apabila digali merupakan visi
Bangsa Indonesia yang mengandung begitu banyak nilai manusiawi yang
bisa dijadikan pegangan dalam mengantisipasi tantangan globalisasi (Yudi
Latif,2011:244). Dalam sila ini diharapkan Bangsa Indonesia dapat
berkomitmen untuk menegakkan nilai kemanusiaan, khususnya Hak Asasi
Manusia yang merupakan salah satu prinsip Demokrasi
Pancasila.
Persatuan dalam kebhinekaan/Persatuan Indonesia Dalam sila ini banyak
mempertaruhkan Indonesia sebagai republik yang harusnya dapat
mewakili berbagai etnis baik minoritas maupun mayoritas. Berbagai
upaya pun dilakukan oleh negara guna memberikan keadilan demi
terwujudnya persatuan Indonesia. Upaya negara untuk member ruang bagi
koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi pelbagai kelompok etnis, budaya,
dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa
fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu setiap kelompok dituntut untuk
memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi consensus
nasional seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta
unsurunsur pemersatu bangsa lainnya, seperti Bahasa Indonesia.
Demokrasi permusyawaratan/Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Sila keempat merupakan sila dari Pancasila yang paling dekat dan
berpengaruh kepada demokrasi. Sila ini memberikan solusi dalam
mencapai tujuan bersama yakni dengan bermusyawarah. Bermusyawarah
tidak hanya dapat mewakili semua keinginan masyarakat namun juga
dapat menyeimbangkan antara masyarakat minoritas dan masyarakat
mayoritas. Berbeda dengan proses voting yang memberikan kesempatan
sebesarbesarnya kepada masyarakat mayoritas namun menutup
kesempatan bagi masyarakat minoritas. Gagasan demokrasi menurut
pandangan Soekarno menyatakan dengan semangat penuh kekeluargaan
atau gotong royong. Gagasan Soekarno ini didasarkan oleh kenyataan
bahwa bangsa ini merupakan satu keluarga di dalam Indonesia, bangsa
yang memiliki tujuan dan keinginan yang sama jadi selayaknyalah bangsa
ini dapat saling membantu dan saling gotong royong. Menurut pandangan
Hatta ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam
kalbu bangsa Indonesia yakni : stimulus demokrasi desa, stimulus Islam
dalam demokrasi, stimulus barat atas demokrasi. Pandangan Hatta ini
selaras dengan apa yang telah dikemukakan oleh Soekarno tentang hal
gotong royong, keluarga dan perjuangan bersama. Maka dari itu
masyarakat Indonesia diharapkan mampu menerapkan sila ini dalam
kehidupan sehari-hari agar tercipta kerukunan antara setiap warga negara.
Keadilan sosial/Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Keadilan
sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik materiil maupun spiritual (Syahrial Syarbaini,2011:42).
Bagi seluruh rakyat Indonesia berarti semua masyarakat dari lapisan
manapun yang menjadi warga negara Indonesia. Sosial yang dimaksud
bukanlah sosial yang sama artinya di negara komunis. Keadilan sosial
mengandung arti tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi atau
individu dengan kehidupan kelompok/masyarakat.
Uraian demokrasi dan Pancasila tersebut dapat menjadi rumusan dalam
menguraikan nilai Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila yang kita
kenal di Indonesia tidak hanya mencakup demokrasi politik, tetapi juga
mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
Demokrasi politik merupakan arti primer dari
demokrasi (Cholisin,2013:30). Sedangkan arti sekundernya ialah
demokrasi ekonomi dan sosial.
Demokrasi ekonomi sendiri merupakan suatu demokrasi yang tujuan
kebijaksanaan primernya ialah pembagian kembali kekayaan dan
pemerataan kesempatan ekonomi(Cholisin,2013:31). Pemerataan
kesempatan ekonomi tersebut dilihat dari kesempatan setiap rakyat untuk
meningkatkan ekonomi mereka. Berbeda jauh dengan konsep Marxis
yang menyatakan bahwa demokrasi ekonomi sebagai
pengganti demokrasi politik(Cholisin,2013:31).
Demokrasi sosial merupakan keadaan dimana masyarakat mendapat
perlakuan yang sama dan hormat terhadap setiap orang. Pandangan ini
berbeda dengan konsep demokrasi sosial(demokrasi rakyat) dari Karl
Marx(Cholisin,2013:30). Pada demokrasi sosial ala Marx, memang tidak
ada perbedaan antara kaya dan miskin namun memunculkan kelas baru
yaitu penguasa dan rakyat.
Nilai-nilai Demokrasi Pancasila secara khusus dapat dirumuskan dari
nilai-nilai demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
Demokrasi politik dapat dilihat dalam nilai keterbukaan, pendistribusian
kekuasaan/pembagian hak dan kewajiban. Dalam demokrasi ekonomi
dapat dilihat dari pemerataan ekonomi di dalam kelas/tidak terdapat kelas-
kelas berdasarkan kemampuan ekonomi yang ada. Dan nilai pada
demokrasi sosial dapat dilihat dari kebersamaan dan kekeluargaan di
dalam kelas, siswa dapat bertanggung jawab secara bersama dalam
mengerjakan tugas kelompok maupun tugas yang lain tanpa melihat
tingkat sosial yang ada. Nilai di atas merupakan beberapa nilai khusus
yang dapat dilihat dan diterapkan di dalam kelas. Dilihat dari rincian
tersebut maka dapat dapat disimpulkan beberapa nilai-nilai Demokrasi
Pancasila yakni :
Religius,tidak sekuler apalagi ateis
 Memiliki toleransi
 Adil dalam arti tidak diskriminatif/humaninistis
 Anti imperialism dan kolonialisme
 Memiliki komitmen untuk mewujudkan kemakmuran
bersama
 Memiliki solidaritas dan kesetiakawanan yang tinggi bagi sesama
anak bangsa
Menghargai pluralitas
 Menyerasikan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
umum
 Menolak liberalisme, kapitalisme, dan neoliberalisme
 Mengedepankan musyawarah untuk mufakat
Komitmen terhadap konstitusi (Cholisin, 2013:120)
Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang didasarkan oleh
asas kebersamaan dalam perbedaan. Demokrasi ini muncul karena adanya
dorongan dari kemajemukan bangsa Indonesia.
Berbeda dengan demokrasi sosial (demokrasi rakyat) yang dicetuskan
oleh Karl Marx.
Perbedaan yang ada antara Demokrasi Sosial (Demokrasi Pancasila) dan
Demokrasi Sosial (Demokrasi Rakyat) milik Marx dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang yaitu :
Tabel 1
Perbandingan Demokrasi Sosial Pancasila dan Demokrasi Sosial
(Rakyat oleh Marx)
Demokrasi Sosial (Pancasila) Sosial (Rakyat oleh

Sudut Pandang Marx)

Warga negara Hukum kurang ketat


Hukum
menganut aturan sesuai
sehingga warga negara

UUD 1945 kurang ada batasan


-

batasan

Masalah agama adalahTidak percaya akan


Agama
hak pribadi(berhakTuhan,kehidupan

memilih kepercayaanmanusia berdasarkan

masing-masing) suatu evolusi

Perekonomian bersama
Perekonomian
Ekonomi
oleh pemerintah,sentralistis atau

swasta, dan seluruh penguasaan oleh pusat

golongan rakyat

Praktek Praktek Politik


Ketatanega dilaksanak berdasark
raan an an
berdasark kekuasaa
an UUD n
1945 dan pemerint
Pancasila ah
Penguasa Kekuasan Kekuasaa
n
tertinggi
dipegang tertinggi
oleh oleh
pemerinta partai
h
(rani,2012).
Keunikan Demokrasi Pancasila dapat dilihat pada cakupannya tidak
terbatas dalam arti demokrasi politik tetapi juga mencakup demokrasi
ekonomi dan demokrasi sosial (Cholisin,2013:113). Dari ketiga cakupan
demokrasi tersebut menurut Kuntowijoyo (dalam Cholisin 2013:113)
menyatakan bahwa:
“Demokrasi politik terwujud bila dalam distribusi kekuasaan masyarakat
berada di atas negara, demokrasi sosial terjadi jika jaminan kesejahteraan
rakyat mendapat lokasi memadai, demokrasi ekonomi terwujud bila
kekuasaan produktif berada di tangan bagian terbesar masyarakat”
Secara nyata demokrasi politik dapat dilihat dalam keluarga yang
merupakan masyarakat dalam lingkup kecil. Penentuan nasib anak saat di
keluarga seringkali ditentukan oleh orang dewasa atau orang tua mereka.
Dalam lingkup kelas atau sekolah nasib siswa ditentukan oleh guru
maupun kepala sekolah yang bersangkutan. Kurangnya pendistribusian
kekuasaan pada individu-individu inilah yamg sering terjadi dalam
demokrasi politik. Demokrasi politik yang merupakan bagian dari
Demokrasi Pancasila harus dapat mencerminkan nilai Demokrasi
Pancasila itu sendiri. Misalnya saja pengakuan hak dan kewajiban yang
ada. Demokrasi Pancasila mengakui dan menghormati hak dan kewajiban
dari masing-masing individu khususnya dalam penentuan nasib individu
itu sendiri.
Lingkup kecil seperti pada lembaga sekolah jaminan
kesejahteraan dapat dilihat dengan adanya sarana dan prasarana yang
dapat digunakan saat proses pembelajaran. Sarana dan prasarana dapat
menjamin kesejateraan siswa dalam proses pertumbuhannya. Seringkali
sekolah telah memberikan sarana dan prasarana kepada siswa namun
kurang memadai dalam lokasi yang ada. Misalnya dalam pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang seharusnya terdapat laboratorium
penunjang. Demokrasi Pancasila mempunyai tujuan kea rah kesejahteraan
rakyatnya. Demokrasi sosial merupakan bagian dari Demokrasi Pancasila
yang mengarahkan kepada kesejahteraan rakyat.
Demokrasi ekonomi terwujud bila kekuasaan produktif berada di tangan
bagian terbesar masyarakat. Dalam hal ini siswa merupakan rakyat dan
pihak sekolah sebagai pemerintah. Demokrasi ekonomi terwujud bila
kekuasaan produktif berada di tangan rakyat, kalimat tersebut
menyiratkan segala bentuk hasil cipta, karya dan karsa dari rakyat
memegang kendali penuh dalam mewujudkan demokrasi. Di sekolah juga
sama bahwa kreatifitas siswa diharapakan dapat mewujudnyatakan
demokrasi ekonomi yang diharapkan.

B. Pendidikan Kewarganegaraan
Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang cakupannya lebih
luas dari pendidikan demokrasi dan Pendidikan HAM karena mencakup
kajian dan pembahasan tentang banyak hal seperti pemerintahan,
konstitusi, rule of law, hak dan kewajiban warganegara, proses demokrasi,
dsb(Azyumardi Azra,2008:7). Konsep mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan menurut standar isi 2006 merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan
mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara
Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Tujuan pendidikan Kewarganegaraan yakni agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
anti-korupsi
Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi. (Tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan BSNP)
Teori Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Mengajar merupakan suatu kata kunci dalam mempengaruhi materi yang
ingin disampaikan. Mengajar dalam suatu proses pendidikannya sering
disebut dengan pembelajaran. Ada beberapa teori pembelajaran yang
sering kita lihat dan kita jumpai. Modelmodel pembelajaran tersebut yakni
:
Model pembelajaran pasif yakni guru menerangkan sedangkan murid
mendengarkan, guru mendiktekan sedangkan murid mencatat, guru
bertanya sedangkan murid menjawab, dan seterusnya.
Pembelajaran dengan gaya bank yakni guru sebagai deposan yang
mendepositikan pengetahuan serta berbagai pengalamannya kepada siswa,
sedangkan siswa hanya menerima dan memnyimpan semua yang
diberikan
guru(Elias dalam Dede, 2007: 91)
Kedua model diatas merupakan model pembelajaran yang sangat
menindas siswa karena dapat menghambat kreativitas dan pengembangan
potensi mereka.
Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu
mengembangkan model pembelajaran yang lebih dapat memanusiakan
manusia. Apabila seorang guru PKn mengajar menggunakan dua contoh
model pembelajaran di atas maka dapat dipastikan
pembelajaran yang dilakukan tidak akan tepat guna.
Pada masa sekarang ini guru PKn diharapkan dapat mengembangkan
pembelajaran yang kreatif dan mampu membangun semangat siswanya.
Model pembelajaran yang kreatif juga akan menunjang munculnya
potensi anak dan membangun kreativitasnya. Selain sebagai sarana
pembangun kreativitas pembelajaran yang kreatif juga akan membuat
siswa tidak jenuh dengan kegiatan
belajarnya.
Siswa amatlah berperan penting dalam menemukan ilmu baru mereka.
Kauchak (dalam Dede, 2007: 94) mengatakan terdapat aliran yang disebut
Contructivisme yaitu suatu aliran yang mengembangkan pandangan
tentang belajar yang menekankan pada empat komponen
kunci yaitu:
Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar
bukan karena disampaikan pada mereka.
Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya.
Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial.
Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan
proses pembelajaran.
Pembelajaran yang dianjurkan demi memenuhi empat komponen tersebut,
misalnya: permainan (game), diskusi, maupun belajar di luar kelas. Proses
pembelajaran yang baru akan mampu menyegarkan pikiran siswa agar
dapat lebih mengerti dalam menerima materi.
Demokrasi Pancasila dalam Pendidikan Kewarganegaraan
Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban
adalah melalui program Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)
yang dilakukan melalui cara-cara demokratis oleh pengajar yang
demokratis untuk tujuan demokrasi(Azyumardi Azra,2008:13). Pancasila
adalah capaian demokrasi paling penting yang dihasilkan oleh para
pendiri bangsa(Azyumardi Azra,2008:22). Pada standar isi Sekolah
Menengah Atas kelas XI materi demokrasi masuk dalam Standar
Kompetensi Menganalisis budaya demokrasi menuju masyarakat madani.
Dari Standar Kompetensi tersebut dibagi menjadi empat Kompetensi
Dasar yaitu mendeskripsikan pengertian dan prinsip-prinsip budaya
demokrasi ,mengidentifikasi ciri-ciri masyarakat madani ,menganalisis
pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak orde lama, orde baru, dan
reformasi,menampilkan perilaku budaya demokrasi dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam memunculkan sikap demokrasi, terlebih dahulu siswa
dikenalkan dengan pengertian dan prinsip-prinsip budaya demokrasi, ciri-
ciri masyarakat madani, menganalisis pelaksanaan demokrasi di Indonesia
dan baru menampilkan perilaku demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam materi sebelumnya siswa telah diajarkan terlebih dahulu tentang
budaya politik agar mereka dapat memahami arti dari budaya dan dapat
membedakan budaya demokrasi dan budaya otoriter yang ada.
Dalam perkembangannya karena hubungan yang sangat dekat antara
demokrasi dan Pancasila maka munculah istilah Demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila ialah demokrasi yang khas dari bangsa Indonesia.
Karena kekhasan yang dimiliki, maka Pendidikan Kewarganegaraan
menjadi jembatan untuk menjadi tempat sosialisasi dalam
memperkenalkan Demokrasi Pancasila ini. Demokrasi Pancasila secara
garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi,
yaitu :
Demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya menegakkan kembali
asas-asas negara hukum dan kepastian hukum
Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan
yang layak bagi semua warganegara
Demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa
pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak
memihak(Azyumardi Azra,2008:45).
Masyarakat demokratis akan tumbuh kokoh dalam masyarakat yang
memiliki kultur dan nilai-nilai demokrasi seperti :
Toleransi
Menghormati perbedaan pendapat
Memahami dan menyadari keanekaragaman masyarakat
Terbuka dalam komunikasi
Menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia
Mampu mengekang diri
Saling menghargai (Zamroni,2003:81)
Nilai-nilai demokrasi tersebut merupakan implementasi yang terkandung
di dalam Pancasila terutama sila yang keempat. Dalam sila tersebut
menekankan keinginan bangsa Indonesia mewujudkan kebijaksanaan
melalui jalan musyawarah.
Dalam Demokrasi Pancasila, yang merupakan demokrasi paling ideal di
Indonesia segala nilai baik spiritual sampai material telah terangkum di
dalamnya. Penegakkan Demokrasi Pancasila dalam dunia pendidikan
khususnya PKn, akan mampu mendorong warga negara yang seperti
tercantum dalam tujuan Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri. Warga
negara akan lebih aktif baik dalam penyampaian pendapat maupun dalam
penentuan kebijakkan.
Nilai-nilai Demokrasi Pancasila dapat dilihat dari beberapa demokrasi
pembentuknya. Seperti nilai dari demokrasi politik, demokrasi ekonomi
dan demokrasi sosial. Kemampuan siswa dalam bertoleransi,
menghormati perbedaan, menghargai pluralisme, terbuka dalam
komunikasi, menjunjung martabat manusia dan saling menghargai maka
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran PKn telah mencapai tujuan yang
diinginkan.
B. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami fluktuasi dari masa
kemerdekaan sampai saat ini. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan
membangun kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam
masyarakat. Perkembangan demokrasi di Indonesia dibagi menjadi empat
periode, yaitu :
a. Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Sistem parlementer berlaku didasarkan pada maklumat pemerintah pada
tanggal 14 November 1945. Maklumat yang dikeluarkan atas usul Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat ini berisi perubahan sistem kabinet
presidensiil menjadi parlementer, suatu sistem yang sifatnya pluralistik
liberal. Dengan keluarnya maklumat tersebut presiden tidak lagi
berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, melainkan hanya berfungsi
sebagai kepala negara. Disini kekuasaan presiden berkurang, karena
kepala pemerintahan diduduki oleh perdana menteri. Maklumat 14
November 1945 ini yang didasari oleh gagasan pluralisme atau demokrasi
pluralistik, ternyata disamping mengubah sistem kabinet juga berisi
rencana pemilu untuk memberi porsi besar kepada rakyat melalui wakil-
wakilnya dalam menjalankan politik pemerintahan dan menentukan
haluan negara serta berisi anjuran pembentukan partai-partai oleh rakyat
(Mahfud,2000: 47).
Kelemahan dari pelaksanaan sistem ini adalah lemahnya pemerintahan,
tercatat dalam kurun waktu empat tahun (1945-1949) menunjukan partai-
partai politik dapat menjatuhkan kabinet berkali-kali sehingga banyak
program pemerintah yang tidak jalan. selain itu juga karena adanya
aspirasi politik masyarakat yang dapat disalurkan melalui media masa
tanpa sensor, menyebabkan keadaan menjadi labil. (Mahfud, 2000: 50).
Disamping kelemahannya, Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)
memperoleh sorotan khusus dari pakar-pakar mancanegara karena
dianggap merupakan periode yang paling demokratis dalam sejarah.
Herbert Feith(1962: 31) cenderung menilai bahwa dalam masa itu
pemerintahan berfungsi dengan baik dan dihormatinya kebebasan
berbicara serta berorganisasi.
Layak pula untuk disoroti adalah perilaku berdemokrasi yang santun yang
ditunjukan oleh negarawan, seperti Natsir, Hamka, Sutan Takdir
Alisyahbana, Aidit, dan beberapa nama lain. Ketika terjadi perdebatan
sengit dalam konstituante yaitu ketika membahas mengenai dasar negara
mereka menyampaikan materi di atas mimbar dengan santun meskipun
ada perbedaan ideologi yang tajam dari partai-partai tersebut. Pada waktu
itu retorika diolah dalam kualitas, retorika politik diukur berdasarkan
argumen di parlemen, bukan jumlah spanduk atau baliho yang berjajar
dijalan. Periode itu adalah ketika politik bekerja dibawah kendali etika.
Ada debat publik yang keras, tetapi kehangatan sosial tetap terjalin
(Gerung, dalam Tempo 17 Agustus 2007).
Pada tahun 1950-an adalah periode dimana elite politik banyak
berorientasi kepada rakyat bawah hingga mudah diakses oleh rakyat. Pada
periode inilah rakyat merasa sebagai bagian penting dinamika sosial
politik nasional. Menurut Ruth McVey, pada periode ini politik Indonesia
sangat terbuka dan amat berakar dimasyarakat. Hal ini tampak pada
besarnya kepedulian para pejabat publik kepada kepentingan publik. Masa
itu sedikit ditemukan kasus korupsi besar-besaran. Kalaupun ada tahun
1950-an politisi busuk yang berkeliaran biasanya bukan untuk mencuri
uang negara dalam jumlah miliyaran rupiah, atau menyuap tim pengadilan
untuk mempengaruhi jalannya hukum, tetapi karena perbedaan pandangan
politik antar partai atau antar anggota partai. Dengan kata lain, kasus-
kasus yang terjadi lebih bersifat politis daripada kriminal, misalnya tidak
ada penjualan sumber-sumber alam milik negara oleh pejabat kepada
perusahaan asing secara masal, atau pemberian izin bagi modal asing yang
malang melintang di negeri ini hingga menguras potensi ekonomi rakyat
(Wardaya,2004: 6).
Bidang politik dalam negeri, dinamikanya menunjukan kesadaran
bersama akan pentingnya suatu cita-cita nasional, tanpa disertai keinginan
memisahkan diri dari republik yang lahir dari cita-cita proklamasi 1945
dan revolusi kemerdekaan. Kalaupun ada pemberontakan terhadap
pemerintah pusat, misalnya kasus PRRI dan Permesta, titik tolaknya
bukan separatisme tetapi tuntutan agar pemerintah pusat memberi
perhatian yang lebih besar kepada kepentingan daerah. Rakyat pada
umumnya sangat antusias untuk menjadi bagian pokok politik nasional
dengan disertai rasa kebangsaan yang kuat. Komunitas yang mereka
impikan itu jelas, yaitu sebuah negara kesatuan yang bernama Indonesia,
yang bergerak bersama menuju ke masa depan yang semakin baik
(Wardaya, 2004: 7).
Demokrasi yang berlanggam liberal tidak berlangsung lama. Era
kebebasan politik itu dihentikan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Sukarno memunculkan berbagai argumen untuk menghentikan
demokrasi parlementer, salah satunya adalah seperti yang dikemukakan
dalam pidatonya pada Siaran RRI Jakarta tahun 1957:
“….tetapi tegas bagi saya demokrasi yang kita pakai sebelas tahun ini
adalah suatu demokrasi impor, demokrasi yang bukan demokrasi
Indonesia. Di dalam Demokrasi Barat itu saudara-saudara, bukan
demokrasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri. Di dalam demokrasi Barat
itu, saudara-saudara demokrasi parlementer ala Barat, maka adalah begrip
yang dinamakan begrip oposisi inilah, saudara-saudara yang telah
membuat kita sebelas tahun lamanya menderita” (Alam, 2001:37).
Pidato tersebut menunjukan bahwa Sukarno tidak menghendaki oposisi
karena dengan adanya oposisi stabilitas pemerintahan terganggu sehingga
banyak program-progam pemerintah untuk mengatasi penderitaan rakyat
tidak dapat berjalan dengan baik.
Penolakan Sukarno atas demokrasi parlementer, menurut Rocky Gerung,
staf pengajar filsafat UI, adalah karena motivasi Sukarno untuk
mengendalikan politik ditambah kepentingan militer untuk masuk dalam
sistem kekuasaan. Semenjak itu, negara Indonesia masuk dalam
kontrademokrasi. Politik kontrademokrasi ini juga berlanjut pada era Orde
Baru. Pada era ini kebebasan politik juga merupakan hal yang tabu, maka
dari itu liberalisme dilarang keras, bukan karena ia bawaan Barat, tetapi
karena ia adalah ancaman bagi otoritarianisme (Gerung, dalam Tempo 17
Agustus 2007).
b. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Presiden Sukarno dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1959 dengan judul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” menjelaskan butir-butir pokok
Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori: pertama, tiap-tiap orang
diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat dan
negara. Dua, tiap-tiap orang mendapat penghidupan yang layak dalam
masyarakat, bangsa, dan negara ( Sukarno, 1964:372).
Sukarno pada kesempatan lain menjelaskan “ Demokrasi Terpimpin
adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa
otokratisnya diktatur (Sukarno, 1964: 376). Demokrasi kekeluargaan yang
di maksud adalah demokrasi yang “mendasarkan sistem pemerintahannya
kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral
ditangan seorang sesepuh, yang tidak mendiktatori, tetapi mengayomi”
Ironinya adalah bahwa tingkah laku politik Sukarno, terutama ketika dia
berkuasa di zaman demokrasi terpimpin, tampak jauh menyimpang,
bahkan bertentangan dengan politiknya sendiri. Sukarno, di puncak
kekuasaannya membubarkan parlemen, walaupun hal itu sebenarnya
bertentangan dengan UUD 1945. Idenya tentang Dewan Perwakilan
Rakyat yang hidup, dimana terjadi perdebatan yang sungguh-sungguh
yang mencerminkan aspirasi masyarakat, diingkarinya sendiri dengan
jalan menentukan sendiri orang-orang yang duduk dalam lembaga itu. Ia
juga menjadi sangat sensitif terhadap kritik sehingga pada akhirnya ia
praktis mematikan pandanganpandangan lain yang berbeda dengan
pandangannya. Parlemen yang lumpuh tidak mungkin melahirkan
musyawarah mufakat yang sesungguhnya (Alfian,1986: 137).
Sikap Sukarno dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya memunculkan
penolakan dari beberapa tokoh Indonesia, seperti Sutan Takdir
Alisjahbana, yang menyatakan bahwa kedudukan Sukarno sebagai
presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, yang ditangannya
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hanya memiliki perbedaan
sedikit dengan raja-raja masa lampau yang memiliki kekuasaan absolut
(Maarif, 1998:76). Hal tersebut menunjukan bahwa selama periode
Demokrasi Terpimpin kekuasaan Sukarno begitu besar sehingga seolah
semua kekuasaan terpusat ditangan presiden.
Menyimak perkembangan demokrasi di tanah air, Bung Hatta melihat
sejarah Indonesia banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme
dan realita. Idealisme yang ingin diwujudkan adalah menciptakan suatu
pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan pemerintahan dengan
sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang maksimum, tetapi realitanya
pelaksanaan pemerintahan dalam perkembanganya makin jauh dari
demokrasi yang sesungguhnya. Dengan perubahan Dewan Perwakilan
Rakyat, dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden Sukarno, bagi
Hatta berarti lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi
terpimpin Sukarno menjadi diktatur yang didukung oleh
golongangolongan tertentu (Hatta, 1966: 5).
c. Demokrasi Pancasila Orde Baru (1965-1998)
Kekuasaan presiden Sukarno berakhir melalui Supersemar yang diemban
oleh Suharto, darinya lahir sebuah pemerintahan yang dinamakan Orde
Baru. Pada era ini berlangsung demokrasi Pancasila. Mantan Presiden
Suharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, menyatakan
bahwa Demokrasi Pancasila adalah demokrasi, kedaulatan rakyat yang
dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Sedangkan dalam
seminar Angkatan Darat II dirumuskan Demokrasi Pancasila, seperti yang
termaktub didalam UUD 1945, yang berarti menegakkan kembali asas-
asas negara hukum yaitu adanya kepastian hukum yang dirasakan oleh
segenap warga negara, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia,
dan penghindaran atas penyalahgunaan kekuasaan secara institusional
(Budiarjo, 1982: 74).
Pada mulanya Orde Baru tampil ke pentas politik dengan demokrasi yang
berlanggam libertarian dibidang politik dan berusaha memberikan
kepuasan dibidang ekonomi kepada rakyat Indonesia. Tetapi corak
tersebut hanya muncul diawal saja, semakin lama Orde Baru semakin
menunjukan dirinya sebagai negara yang kuat dan otoriter (Mahfud,
2000:61). Orde Baru memulai dengan langkah demokratis, kiranya dapat
dipahami karena pada waktu itu legitimasi masih harus diciptakan dengan
cara membuat anti sistem yang diciptakan oleh Sukarno yang nyata-nyata
tidak disukai
Selama masa Orde Baru, pelaksanaan Demokrasi Pancasila lebih
menekankan pada musyawarah mufakat, meski secara konstitusi voting
dibenarkan, tetapi hal tersebut dihindari. Disatu sisi pelaksanaan asas
musywarah mufakat dalam pengambilan keputusan memang telah berhasil
memelihara stabilitas, tetapi disisi lain pelaksanaan asas musyawarah
mufakat dapat mencapai keberhasilan lebih dikarenakan besarnya wibawa
dan pengaruh presiden, bukan karena proses musyawarah mufakat itu
sendiri ( Haryono, 1997: 155). Karakter demokrasi yang seperti itu serupa
dengan Demokrasi Terpimpin para era Orde Lama yaitu ketika pemimpin
memiliki karisma yang begitu kuat sehingga dapat mempengaruhi dan
meraup suara mayoritas.
Kuntowijoyo (Sumarjan, ed.,2000: 265-266) menemukan beberapa
kekeliruan mendasar Suharto dalam mengelola kehidupan bernegara:
Membangun sistem politik monolitik, yang bertentangan dengan ciri
heterogenitas bangsa Indonesia. Pluralisme ditekan dibawah hasrat
menciptakan keseragaman yang didalamnya terkandung maksud
pemusatan kekuasaan untuk memelihara status quo.
Pembatasan jumlah partai politik, yang bertolak dengan ide modernisasi.
Disini, dua arus pemikiran berjalan berlawanan. Melalui pengakuan
terhadap keunggulan mekanisme pasar bebas, pembangunan ekonomi
diarahkan ke kutub liberalism, sementara modernisasi politik ditujukan ke
arah otoritarianisme.
Politisasi birokrasi yang lebih siap melayani kebutuhan rezim politik
daripada melayani kebutuhan warga negara.
Membangun klientalisme ekonomi melalui praktek kolusi antara birokrasi
pemerintah dan pihak kekuatan ekonomi swasta sehingga dua kekuatan
utama masyarakkat (politik dan ekonomi) dikontrol oleh sekelompok
orang yang paling dekat dengan kekuasaan.
Melakukan represi ideologis serta penggunaan wacana yang otoriter
sehingga memunculkan ketakutan politik pada tataran masyarakat yang
tujuannya untuk menghindarkan diri dari kontrol dan kritik yang datang
dari anggota masyarakat.
Memanipulasi simbol-simbol kultural sehingga rakyat memandang
penguasa sebagai makhluk paling arif, tanpa cacat, dan karenanya, tidak
perlu lagi dikontrol oleh kekuatan demokratis. Pemusatan kekuasaan yang
dilakukan secara intensif, nyaris menjadikan pribadi penguasa identik
dengan hukum.
Pemerintahan yang tidak demokratis ini akhirnya tumbang karena tidak
bisa membawa rakyatnya pada kehidupan yang lebih baik. Krisis
multidimensi memunculkan krisis kepercayaan yang berujung pada
demonstrasi yang masif dan anarkis dibanyak kota yang menuntut rezim
ini untuk turun. Pemerintahan ini berakhir dengan meninggalkan banyak
masalah yang harus diselsaikan oleh pemerintahan selanjutnya.
d. Demokrasi Pancasila Orde Reformasi (1998-sekarang)
Indonesia memasuki era reformasi setelah lengsernya Suharto dari kursi
kepresidenan. Persoalan utama reformasi politik adalah bagaimana
caranya mengurai kekuasaan yang sudah demikian terpusat pada mantan
presiden Suharto? Bagaimana mewujudkan mekanisme politik yang
transparan? Persoalan ini mengarahkan kita pada pemahaman bahwa
reformasi di bidang politik identik dengan demokratisasi.
Henk Schulte Nordholt (2003: 26) mengemukakan bahwa jika dinilai dari
perubahan struktural ketatanegaraan yang telah tercapai beberapa tahun
yang lalu, perubahan-perubahan di Indonesia dapat dikatakan sebagai
silent revolution, yaitu suatu perubahan yang sangat mendalam yang telah
tercapai lewat proses demokratis, baik posisi MPR sendiri, yang diganti
dengan sistem bikameral, maupun tidak kalah penting juga posisi
legislatif (DPR) versus eksekutif yang jauh lebih kuat dibanding
sebelumnya. Selain itu beberapa perubahan yang mendasar yaitu, adanya
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan amandemen
UUD 1945, merupakan sesuatu yang sakral dimasa orde baru. Pada masa
reformasi Media masa juga telah dijamin kebebasannya melalui Undang-
Undang Kebebasan Pers, dan adanya desentralisasi.
Ada beberapa prestasi besar yang dicapai oleh gerakan reformasi di
Indonesia, terutama dibidang politik dan ketatanegaraan. Reformasi itu
dilakukan dengan keberhasilan MPR melakukan amandemen UUD1945
yang selama Orde Baru disakralkan. amandemen ini telah membuka
peluang bagi ditatanya kembali sistem politik kearah yang lebih
demokratis dengan menjunjung supremasi hukum dan kedaulatan rakyat.
Beberapa reformasi yang telah dilakukan yaitu, pertama, penyelenggaraan
pemilihan umum sebagai wujud partisipasi rakyat. Pada masa orba,
pemilihan umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali hanya hanya
dijadikan alat legitimasi kekuasaan Suharto dengan cara memobilisasi
rakyat.Kedua, berdasarkan amandemen UUD 1945 yang disahkan pada
tahun 2002, presiden tidak lagi dipilih MPR, tetapi langsung dipilih
rakyat. Presiden hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen oleh karena
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
kepada negara, korupsi, dan tindak pidana berat lainnya. Hal ini berbeda
selama masa ORBA, pertanggungjawaban presiden selaku mandataris
MPR hanya ritualis belaka karena MPR dapat dipastikan akan menerima
pidato pertanggungjawaban tersebut. Ketiga, reformasi sistem kepartaian.
Pada masa Orba, partai politik tidak diberi ruang untuk berkembang dan
melaksanakan fungsinya secara maksimal dalam sistem politik demokrasi.
Orba juga melaksanakan deidelogisasi terhadap partai ini dengan
mewajibkan mereka menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Era reformasi dengan mendasarkan UU no 2 tahun 1999 tentang partai
politik, menyatakan 48 partai dinyatakan memenuhi syarat untuk
mengikuti pemilu berdasarkan keputusan kehakiman, landasan ideologi
partai pun bervariatif , ada Pancasila, Islam, dan Marhaen. Keempat,
desentralisasi. Pada era Orba kekuasaan cenderung sentralistik. (Winarno,
2007: 58-62).
Bentuk- bentuk formal, seperti adanya lembaga perwakilan rakyat, sistem
kepartaian dan lembaga pemilu, serta hak pilih bagi setiap warga,
sebenarnya tidak dapat dijadikan ukuran untuk menentukan bahwa suatu
negara tersebut demokratis. Secara substansial pemerintahan saat ini
belum dapat dikatakan demokratis. Menurut Yudhi Latief, negara-Bangsa
ini, Indonesia sebagai sebuah nation-state, telah gagal dalam memberikan
perlindungan hak-hak asasi sipil, ekonomi, hukum, politik dan budaya
kepada warganya. Negara Republik Indonesia saat ini telah kehilangan
kedaulatannya, baik kedaulatan ke dalam maupun keluar negeri (Kompas,
20 Maret 2006).
Kedaulatan bangsa dan rakyat Indonesia dapat dikatakan pupus karena
pemerintahan Indonesia telah mengikatkan diri dan bergantung dengan
bantuan-bantuan asing dalam program restrukturisasi, menurut Revrisond
Bashwir seperti apa yag dikutip oleh Fanani (2004: 184), dengan bantuan
yang diberikan oleh IMF, negara donor akan semakin mudah
mengintervensi segala kebijakan politik dan ekonomi yang akan
dijalankan negara bersangkutan, dengan sendirinya rakyat akan semakin
terpinggirkan.
Jalaluddin Rakhmat (Kompas, 24 Maret 2006) menyatakan bahwa
sebagian besar rakyat tidak mengtahui bahwa kini ada satu tim khusus
konsultan ahli dari Amerika yang siap sedang ’membantu’ para anggota
DPR dan pemerintah untuk menyusun RUU tentang Sumber Daya Alam
Mineral (Pertambangan) yang tentunya diperjuangkan untuk lebih
mengakomodir dan memfasilitasi kepentingan para pengusaha Amerika
dan sekutu globalnya, dari pada kepentingan rakyat banyak dan
kesejahteraaan dan kemakmuran bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Hal ini menunjukan bahwa kekuatan uang dan jaringan lobi oligarkis
kekuatan ekonomi dan politik global-lah yang berperan besar pada proses
legislasi di DPR dan eksekutornya adalah pemerintah. Berjayanya
kepentingan kapitalis global serta kepentingan pribadi dan kelompok
oligarkis elit politik-ekonomi nasional dan lokal mengakibatkan Indonesia
terancam perpecahan, rusak sendi-sendi kemanusiaan, keadilan. Beberapa
wakil di DPR sejatinya adalah bukanlah wakil rakyat secara langsung, tapi
sekedar wakil partai politik yang dipimpin oleh elit (oligarki) politik yang
bersimbiosis mutualisme dengan oligarki ekonomi kapitalis baik lokal
maupun global. Jadi, dapat dikatakan bahwa esensi demokrasi belum
terwujud di negara Indonesia.

Demokrasi Pancasila/Permusyawaratan
Hatta menguraikan konsep demokrasi yang diidealkan, yaitu suatu bentuk
demokrasi yang tepat guna, selaras dengan karakter dan cita-cita
kemerdekaan bangsa. Model demokrasi yang diidealkan, secara ringkas
diuraikan oleh Mohamad Hatta sebagai berikut ( Latif, 2011: 385):
“Negara itu haruslah berbentuk republik berdasarkan kedaulatan rakyat.
Tetapi kedaulatan rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam
pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat
individualisme. Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam
pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia
harus pula perkembangan daripada demokrasi Indonesia yang “asli”.
Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme
dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mencari
sendisendi bagi Negara nasional yang akan dibangun ke dalam
masyarakat sendiri”.
Konsep ideal demokrasi yang diuraikan Hatta tersebut menunjukan
bahwasanya demokrasi harus beranjak dari kondisi sosial politik, sosial
ekonomi, sosial budaya, dan sosial psikologis yang spesifik dan berusaha
untuk mengatasi tantangan kondisional. Oleh karena itu demokrasi tidak
bergerak diruang hampa, pengadopsian demokrasi juga memerlukan
penyesuaian-penyesuaian dengan realitas sosial historis, moral
kebudayaan, dan ideal-ideal kemasyarakatan.
Selanjutnya konsepsi para pendiri bangsa tentang demokrasi itu itu
tertuang di dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945 alinea IV yang
berbunyi:
“….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Demokrasi Indonesia mengandung ciri hikmat kebijaksanaan. Cita hikmat


kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki
oleh pembukaan UUD 1945 bahwa susunan negara RI yang berkedaulatan
rakyat itu hendakanya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan,
perikemanusiaan, persatuan, permusyawaran, dan keadilan.
Hatta menjelaskan bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia
bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Karena itu, demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan
bukan juga demokrasi totaliter, karena berkaitan secara menyeluruh
dengan sila-sila pancasila lainnya. Orientasi etis (hikmat kebijaksanaan)
ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, komitmen
keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang
positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh
mayorokrasi minorokrasi (Latif, 2011: 478).
Demokrasi Permusyawaratan dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang
strukturnya bercorak hirarkis piramidal, dimana antar sila merupakan satu
kesatuan utuh yang saling terkait dan mengkualifikasi. Oleh karena itu,
sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila
ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, serta meliputi dan menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (Notonagoro, 1967: 32).
Jadi, demokrasi Permusyawaratan ini adalah demokrasi yang dilandasi
oleh nilai-nilai teosentris, yang mengangkat kehidupan politik dari tingkat
sekuler ke tingkat moral spiritual, dan nilai-nilai antroposentris yang
memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, yang menghargai perbedaan
berlandaskan semangat kesetaraan dan persaudaraan, dengan tujuannya
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika kita perhatikan juga bahwa sila kerakyatan didahului dengan sila
persatuan dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi
Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan (kekeluargaan)
terlebih dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah
yang memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan
sosial. Demokrasi politik menjadi prasyarat bagi demokrasi sosial yang
bersifat kekeluargaan.
Sedangkan jika kita telusur ke dasar ontologisnya, maka adanya
demokrasi permusyawaratan ini didukung oleh adanya rakyat
(sekumpulan manusia). Suatu sistem kenegaraan, pada dasarnya dilandasi
oleh suatu pandangan terhadap manusia yang erat kaitannya dengan
kehidupan bernegara tersebut.
Meminjam teori Notonagoro (1975: 53) tentang manusia monopluralis
yang menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki struktur
kesatuan monodualis yaitu berdasarkan susunan kodratnya (jasmani-
rohani),sifat kodrat (makhluk individu-sosial), kedudukan kodrat
( makhluk pribadi yang otonom-makhluk Tuhan), maka bisa kita lihat
adanya keseimbangan dalam konsep manusia yang seperti tersebut di atas
dan itu berimplikasi terhadap gagasan demokrasi Indonesia yang berbeda
dengan demokrasi Barat, misalnya, yang mendasarkan pada asumsi
manusia yang hanya bersifat individual dan otonom. Jadi, konsepsi
demokrasi Indonesia pun mencoba untuk mencari keseimbangan dan
keselarasan, di antara yang liberal dan sosial tanpa mengabaikan nilai-
nilai transendental.

Sumber Demokrasi Permusyawaratan


Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di
titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya
tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah, Indonesia sejak lama
menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus
peradaban. Maka tidak berlebihan ketika kita menyebut nusantara ini
sebagai taman sari peradaban dunia.
Anasir peradaban besar dunia yang masuk ke Indonesia dan karakter
keindonesiaan serta pengalaman sebagai bangsa yang terjajah adalah
bahan bagi adanya gagasan demokrasi yang khas Indonesia. Menurut
Hatta, setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi
dalam kalbu bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme dan
permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran
dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaran antar manusia
sebagai mahluk tuhan. Ketiga, stimulus Barat (Latif, 2011: 386).
1. Permusyawaratan Desa dan Tradisi Kolektivisme
Sebelum Indonesia menjadi Negara dengan sistem moderen, sistem politik
yang ada di Nusantara adalah kerajaan feodal yang dikuasi oleh raja-raja
autokrat, meski demikian nilai-nilai demokrasi hingga taraf tertentu telah
berkembang dalam masyarakat nusantara dan dipraktekkan setidaknya
dalam unit politik kecil seperti desa di jawa, nagari di sumatra barat,
banjar di bali, dsb.
Tan Malaka mencontohkan seperti di Minangkabau misalnya, pada abad
ke 14-16 kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukan pada keadilan dan
kepatutan. Ada istilah di masa itu bahwa “rakyat beraja pada penghulu,
penghulu beraja pada mufakat, dan mufakat beraja pada alur dan patut”.
Alur atau logika, dan patut lah yang menjadi pemutus terakhir sehinga
putusan seorang raja akan ditolak bila bertentangan dengan akal sehat dan
prinsip keadilan.
Menurut Hatta, Demokrasi asli nusantara dapat terus bertahan di bawah
feodalisme, karena di banyak tempat di Nusantara tanah sebagai faktor
produksi yang terpenting bukanlah kepunyaan raja, melainkan dimiliki
bersama oleh masyarakat desa. Karena kepemilikan bersama atas tanah
desa ini, hasrat tiap orang untuk memanfaatkan tanah harus mendapatkan
persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong tradisi gotong-royong
dalam memanfaatkan tanah bersama yang kemudian merembet pada
urusan-urusan lainnya (Latif, 2011: 387).
Adat hidup seperti ini membawa kebiasaan bermusyarah menyangkut
kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat seperti pepatah
minang “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”. Hatta
menambahkan dua anasir lagi dari tradisi demokrasi desa yang asli di
Nusantara. Yaitu, hak untuk mengadakan protes bersama terhadap
peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil dan hak rakyat
menyingkir dari kekuasaan raja apabila ia merasa tidak senang lagi hidup
di sana. (Latif, 2011:388)
Kelima anasir demokrasi, yaitu rapat, mufakat, gotong royong, hak untuk
menyatakan protes bersama, dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan
raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang
kuat bagi demokrasi sosial yang akan dijadikan dasar pemerintahan
indonesia merdeka (Latif, 2011: 389).

2. Pengaruh Islam bagi Demokrasi Indonesia


Dalam perkembangannya, Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai
salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu
para pemimpin pergerakan.
Nilai-nilai demokratis Islam itu bersumber dari akar teologisnya. Inti dari
keyakinan Islam adalah pengakuan pada ketuhanan yang maha esa,
Tauhid.
Dalam keyakinan ini, hanya tuhanlah satu-satunya wujud yang asali.
Selain Tuhan bersifat nisbi belaka. Konsekuensinya, setiap bentuk
pengaturan sosial hidup manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak,
bertentangan dengan jiwa tauhid. Kelanjutan logis dari prinsip tauhid
adalah paham kesederajatan manusia di hadapan Tuhan yang melarang
adanya perendahaan martabat dan pemaksaaan kehendak antar sesama
manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak boleh melakukan
pemakasaan itu. Seorang utusan mendapat tugas hanya menyampaikan
kebenaran kepada umat manusia bukan untuk memaksakan kebenaran
pada mereka.
Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan tuhan itu tiap-tiap manusia
dimulyakan kehidupannya, kehormatan, hak-hak dan kebebasannya yang
dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi mahluk moral yang
harus bertanggung jawab atas pilihannya. Dengan prinsip persamaan,
manusia juga didorong menjadi mahluk sosial yang menjalin kerjasama
dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu
kehidupan bersama (Latif, 2011: 390).
Penyejarahan nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prinsip
tauhid dicontohkan oleh nabi Muhammad sejak awal pertumbungan
komunitas politik islam di madinah. Dengan mengembangkan cetakan
dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai bangsa. Negara kota
madinah yang dibangun nabi adalah sebuah entitas politik berdasar
konsepsi negara bangsa, yaitu negara untuk seluruh umat atau warnegara
demi kemaslahatan bersama. Negara sebagaimana termuat dalam piagam
madinah, adalah negara yang didirikan atas dasar penyatuan seluruh
kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa
membedakan antara kelompok-keompok yang ada (Latif, 2011:
391).Menurut R. Bellah, komunitas ini disebut modern karena adanya
keterbukaan bagi partisipasi anggota masyarakat dan adanya kesediaan
para pemimpin untuk menerima penilaian berdasar kemampuan. (Latif,
2011: 391).
Stimulus Islam dengan prinsip tauhidnya membawa transformasi
nusantara dari sistem kemasyarakatan feodalistis, berbasis kasta menuju
sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter. Transformasi ini tercermin
misalnya dalam perubahan sikap kejiwaan orang melayu terhadap
penguasa. Sebelum kedatangan Islam dalam dunia melayu berkembang
peribahasa: “melayu pantang membantah”. Melalui pengaruh Islam
peribahasa itu berubah menjadi “raja adil, raja disembah, raja zalim raja
disanggah”. Nilai-nilai egaliteraianisme Islam ini pula yang mendorong
perlawanan kaum pribumi terhadap sistem kasta baru yang dipaksakan
oleh kekuatan kolonial (Latif, 2011: 394).
Islam juga mengenal adanya prinsip musyawarah (syura). Menurut M.
Natsir, demokrasi tidak lain adalah perwujudan modern dari ajaran Islam
yang sangat fundamental dalam Islam yakni Syura (Pranowo, 1992: 7).
Kedudukan Syura dianggap penting oleh Natsir. Hal ini disebabkan
karena ada ketentuan dalam ajaran Islam supaya mengatur urusan
mengenai orang banyak. Penguasa harus memperoleh keridhoan dari pada
orang-orang yang diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatu
mengenai kehidupan dan kepentingan rakyat. Bahkan menurut Natsir,
musyawarah merupakan satu perintah agama sebagaimana sabda Nabi
Muhammad Saw., “bermusyawarahlah kamu dengan mereka di dalam
urusan mengenai mereka”. Natsir juga mengutip ayat Quran untuk
menunjukan arti penting doktrin Islam tentang Syura. Natsir merujuk pada
ayat Quran (Hujurat: 38), “….dan urusan mereka diputuskan antar
mereka…”(Natsir, 2004: 64).
Pemimpin Partai Masyumi ini lebih lanjut menekankan bahwa penguasa
harus menerima kesepakatan politik dari aturan lembaga
permusyawaratan untuk mengurus persoalan-persoalan negara yang
berkaitan dengan kepentingan rakyat (Kahin, 1978: 333).
Dari uraian di atas, meski Islam tidak disebutkan dalam konstitusi
negara Indonesia, tetapi tidak dapat dinafikan bahwasanya ia memiliki
peran yang cukup signifikan dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
Sejak berdirinya kerajaan Islam pada akhir abad ke-13 di Indonesia, Islam
telah menjadi acuan nilai dan norma bagi kehidupan.
Pada masa kolonial, ideologi Islam telah menjadi semacam senjata untuk
melawan penindasan. Hingga era moderen pun, Islam tidak begitu saja
diabaikan dalam kehidupan kenegaraan. Ia memberi kontribusi penting
dalam proses pengambilan kebijakan publik dan menjadi legitimasi
terhadap proses pembangunan politik terutama terhadap permasalahan
mendasar, seperti persoalan dasar negara, kekuasaan, dan otoritas.
Menurut Collins, tanpa legitimasi dari Islam, proses pembangunan politik
atau pembangunan nasional pada umumnya tidak akan berjalan secara
efektif. “Democratization will not proceed in Indonesia until it is actively
supported by the Islamic community and until the values of Democracy
are explicitely articulated as compatible with Islamic doctrin” (Collins,
2004 : 39).
3. Pengaruh Paham Barat
Kehadiran kolonialisme Eropa, khususnya Belanda di Indonesia,
membawa dua sisi koin dari peradaban barat, sisi represi imperialisme
kapitalisme, dan sisi humanisme demokratis. Penindasan politik dan
penghisapan ekonomi oleh imperialisme dan kapitalisme, yang tidak
jarang bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan feodal bumi putera
menimbulkan sikap anti penindasan, anti penjajahan, dan anti feodalisme
di kalangan para perintis kemerdekaan. Dalam melakukan perlawanan
terhadap represi politik kolonial, mereka juga mendapat stimulus dari
gagasan humanisme-demokratis Eropa.
Menghayati ide-ide humanisme Barat melalui proses pendidikan dan
media massa namun frustasi dengan adanya praktik-praktik kolonial yang
diskriminatif di satu sisi, beberapa intelegensia yang progresif terdorong
untuk merobohkan kolonalisme dengan menggunakan senjata
konsepsional dari dunia kolonial itu sendiri (Latif, 2011: 397).
Melalui jalur kolonialisme barat yang mencengkram dunia Bumi Putera,
aktivis pergerakan hindia putera mulai mengenal konsep modern seperti,
konsep negara bangsa yang tidak didasarkan pada suku, tapi berdasar
sentimen kesamaan perasaan sama-sama dijajah di seluruh wilayah
sabang sampai merauke. Melalui kolonialisme juga, mereka menyerap
konsepkonsep revolusi demokrasi liberal di Perancis yang mengusung
semboyan, liberte, egalite, fraternite. Juga melalui barat lah bangsa
Indonesia mengenal bahwa konsep demokrasi perancis ternyata hanya
memberi keuntungan pada kelas borjuis, sehingga mendapatkan
perlawanan dari kalangan sosialis, yang pahamnya merebak di tahun
1830-an. Ide-ide demokrasi liberal dan sosialis itulah yang mewarnai
gerak awal pendirian konsep demokrasi negara ini.
Relevansi Demokrasi Permusyawaratan Terhadap Problematika
Demokrasi Indonesia
Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia dalam dekade terakhir ini,
dianggap belum menghasilkan mekanisme dan sistem politik yang benar-
benar demokratis. Hal yang menggejala adalah ritual demokrasi formal-
prosedural yang sebenarnya merupakan ‘quasi-democratic’ (demokrasi
semu). Secara substantif, yang sesungguhnya terjadi adalah oligarki
kekuasaan di tangan segelintir elit politik ekonomi nasional maupun
global (multi nasional). Oligarki (Oligarchy) atau plutokrasi seperti yang
pertama kali didefinisikan Aristoteles adalah suatu istilah yang mengacu
pada kekuasaan oleh sedikit orang, umumnya didasarkan pada kekayaan
(Outhwaite, 2008: 315).
Mereka memiliki kekuatan ekonomi dan media massa yang, sehingga
mudah bagi mereka untuk menggalang dukungan politis rakyat awam.
Kebebasan pers yang awalnya diharapkan akan menjadi salah satu pilar
demokrasi, pada kenyataannya justru dimanfaatkan oleh para plutokrat,
yakni mereka yang menguasai harta kekayaan dengan jumlah besar, untuk
mempopulerkan dan memenangkan kompetisi demokrasi. Merekalah yang
mampu membayar biaya besar untuk mengiklankan diri agar dalam waktu
singkat menjadi sangat terkenal. Muncul pemujaan popularitas yang
cenderung mengabaikan visi, kapasitas, dan kompetensi. Walaupun
demokrasi prosedural telah terlaksana, tetapi demokrasi substantif masih
jauh dari harapan.
Rakyat tanpa sadar terjebak dalam permainan politik yang seolah-olah
demokratis, tetapi ternyata sistem politik saat ini lebih memihak
kepentingan pemodal dan kekuatan kapitalismeimperialisme global.
Sementara nasib mayoritas rakyat miskin makin terpuruk secara ekonomi,
politik, dan budaya. Kapitalisme global telah mengubah perangai
beberapa politisi menjadi pragmatis. Akibatnya, praktik politik seringkali
jauh dari sentuhan idealisme dan hanya mementingkan capaian kekuasaan
dan kekayaan material karena dorongan kepentingan yang bersifat
individual atau menguntungkan diri sendiri.
Kemudian permasalahan yang lain adalah majoritarianisme. Artinya,
kedaulatan rakyat yang menjadi akar demokrasi, hanya dibatasi pada
ranah sosiologis: kedaulatan rakyat terwujud dalam banyaknya rakyat
yang mendukung satu kebijakan. Bukan secara etis yang menempatkan
harapan kerakyatan seperti keadilan dan kesejahteraan sebagai
legitimasinya. Dari sini demokrasi akhirnya menjadikan prinsip
mayoritas, sebagai klaim keabsahan suatu pemerintahan, kekuasaan, dan
kebijakan. Bagi pemahaman ini, kebijakan yang demokratis adalah
kebijakan yang didukung oleh banyak orang. Hal ini yang melahirkan
mekanisme voting (penghitungan suara) untuk mengetahui seberapa
banyak (wakil) rakyat yang mendukung satu kebijakan.
Untuk mengelak dari jebakan pembajakan demokrasi yang tidak
mengarah pada aras demokasi yang lebih substantif, yakni terciptanya
kesejahteran dan keadilan masyarakat, kita perlu menengok ulang
gagasan-gagasan para pendiri bangsa kita—yang kalau kita mau sedikit
teliti—telah menyiratkan konsep demokrasi permusyaratan yang runtut
dan tentu kita bisa mulai menggalinya lagi.
Jika kita berkaca pada sejarah pembentukan negara ini, para pendiri
bangsa kita sangat menekankan pentinganya demokrasi permusyaratan.
Demokrasi permusyawaratan seperti dipahami para pendiri merupakan
konsep yang lebih menekankan pada daya-daya konsesus (mufakat) dalam
semangat kekeluargaan. Demokrasi permusyawaratan ini berusaha untuk
mengatasi paham perseorangan dan golongan. Yang dihindari bukan saja
dikte-dikte golongan mayoritas, melainkan juga dikte-dikte minoritas dari
oligarki elit penguasa dan pengusaha (Latif, 2011: 463).
Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan
benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat: Pertama harus
didasarkan asas rasionalitas dan keadilan, bukan hanya berdasarkan
subyektifitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan pada
kepentingan semua orang, bukan demi kepentingan perseorangan maupun
golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan
jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif.
Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan
pendapat semua pihak secara inklusif yang dapat menangkal dikte-dikte
minoritas dari penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas
(Latif, 2011: 478).
Upaya untuk merealisasikan gagasan Demokrasi Permusyawaratan supaya
memiliki relevansi dengan realitas buram demokrasi Indonesia adalah
dengan mendiseminasi ruang publik seluas-luasnya. Terminologi ruang
publik ini adalah berasal dari filsuf Jerman, Jurgen Habermas, yang juga
salah satu penggagas demokrasi deliberatif. Habermas menegaskan bahwa
ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi.
Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus
masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini,
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara
diskursif (Hardiman, 2009 : 128).
Masyarakat kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk
komunikasi yang saling tumpang tindih dan terkait dengan berbagai
kepentingan, gaya hidup dan orientasi nilai kultural, sosial, serta religius.
Identitas antara kehendak pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai.
Kedaulatan rakyat tidak bisa dibayangkan secara konkrit. Kedaulatan
rakyat dalam masyarakat kompleks cukup dibayangkan sebagai “kontrol
atas pemerintah melalui opini publik”. Maka, kedulatan rakyat bukanlah
bentuk demokrasi langsung, melainkan demokrasi perwakilan plus
vitalisasi ruang publik politis (Hardiman, 2009: 12).
Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika negara—pada
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif—dapat tersambung secara
diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang
publik (Hardiman, 2009: 129).
Dengan gagasan teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis
bahwa jurang pemisah yang ada antara lembaga pemerintah (legislatif,
eksekutif, dan yudikatif) dan lembaga non-pemerintah (para akademisi,
pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis LSM, dan sebagainya) dapat
terjembatani lewat jalan komunikasi politis. Menurut Habermas,
masyaraktat kompleks dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme
dan desakan-desakan birokrasi negara dengan cara menyambungkan
antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.
Jadi bisa disimpukan bahwa langgam demokrasi yang diidealisasikan bisa
mengatasi dikte-dikte kekuatan modal kapitalis dan sesuai dengan
kemajemukan bangsa Indonesia adalah demokrasi permusyawaratan.
Konsep demokrasi permusyawaratan ini mendahului model ‘demokrasi
diliberatif” yang pertama kali diperkenalkan Josep M. Bessette tahun
1980 yang kemudian dikembangan oleh Jurgen Habermas. Demokrasi
permusyawaratan adalah demokrasi yang bukan menjadi sarana
perwakilan atau pengumpulan berbagai kepentingan, tetapi menjadi arena
di mana persoalan diselesaikan melalui proses dialog. Dialog yang tulus
harus melepaskan segala atribut di setiap individu. Dialog yang
menekankan substansi dan melampaui kepentingan kelompok. Dialog ini
dipandu orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan”. Kearifan yang menerima
perbedaan pendapat dan memuliakan apa yang disebut “kebajikan
keberadaban

Anda mungkin juga menyukai