Anda di halaman 1dari 12

Makalah Ulumul Hadist

Tentang

Metode Pemahaman Hadist Bagian ll

Disusun Oleh Kelompok 10

Elsi Saputri (2030101051)

Febrian (2030101054)

Putri Absyah (2030101072)

Rahmita Mutiarani (2030101074)

Dosen Pengampu

Bapak Inong Satriadi, S.Ag, MA

Bapak Sefri Auliya, S.Th.I., M.Ud.

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

IAIN Batusangkar

Tahun Ajaran 2020/2021


Kata Pengantar

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kelompok 10 bisa menyelesaikan makalah ini dengan materi “ Metode Pemahan Hadist
Bagian ll “. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok
dari Bapak Inong Satriadi, S.Ag. MA dan Bapak Sefri Auliya, S.Th.I., M.Ud. pada mata kuliah
Ulumul Hadist Selain itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang
Prosedur Pemilihan Media dan Sumber Belajar.

Kelompok 10 mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dosen Pengampu yang telah


memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai bidang yang
kami tekuni ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagikan sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tanjung Ampalu, 15 Mei 2021

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................. i

Daftar Isi ........................................................................................................................... ii

Bab 1 Pendahuluan .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2

Bab ll Pembahasan ........................................................................................................... 3

A. Memahami hadist sesuai fakta historis ...................................................................... 3

B. Memahami hadist sesuai kebenaran ilmiah ................................................................ 4

C. Memahami hadist dengan membedakan antara sarana dan media .......................... 4

D. Memahami hadist dengan membedakan antara ungkapan hakikat dan majaz........... 5

E. Memahami hadist dengan membedakan hadist ghaib dan nyata................................ 6

Bab lll Penutup ................................................................................................................. 8

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 8

B. Saran ........................................................................................................................... 8

Daftar Pustaka ..................................................................................................................

ii
BAB 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Aktifitas memahami Hadis sebenarnya sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad,
terutama saat beliau menyampaikan sabda-sabdanya selaku utusan Tuhan kepada para sahabat.
Bekal kemahiran bahasa Arab yang dimiliki para sahabat serta pengetahuan tentang keadaan saat
Hadis itu di sabdakan, membuat mereka mampu menangkap maksud sabda-sabda yang
disampaikan Nabi. Dengan kata lain, dulu nyaris tidak ada problem dalam memahami Hadis,
sebab kalaupun muncul kesulitan memahami sabda Nabi, para sahabat bisa langsung
menanyakan kepada Nabi. Problem yang agak serius berkaitan dengan pemahaman Hadis, baru
muncul pasca wafatnya Nabi. Demikian ini, disebabkan para sahabat dan generasi berikutnya
tidak bisa lagi bertanya langsung kepada Nabi. Sehingga mereka berusaha mencari solusi sendiri
ketika terjadi kesulitan dalam memahami sabda-sabda Nabi. Problem pemahaman Hadis
kemudian menjadi semakin kompleks, terutama ketika Islam mulai tersebar di berbagai daerah
non Arab. Mereka yang tidak mengetahui dengan baik uslub bahasa Arab yang dipakai Nabi
sertapengetahuan tentang keadaan waktu Hadis disabdakan, jelas akan menemui kesulitan dalam
memahami Hadis-hadis Nabi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara memahami hadist sesuai dengan fakta historis?


2. Bagaimana cara memahami hadist sesuai dengan kebenaran ilmiah?
3. Bagaimana cara memahami hadist dengan membedakan antara sarana atau media yang
berubah-ubah tapi tujuan tetap sama?
4. Bagaimana cara memahami hadist dengan membedakan antara ungkapan hakikat dan
majaz?
5. Bagaimana cara memahami hadist dengan membedakan antara hadis yang ghaib dan yag
nyata?

1
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui cara memahami hadist sesuai dengan fakta historis


2. Untuk mengetahui cara memahami hadist sesuai dengan kebenaran ilmiah
3. Untuk mengetahui cara memahami hadist dengan membedakan antara sarana atau media
yang berubah-ubah tapi tujuan tetap sama
4. Untuk mengetahui cara memahami hadist dengan membedakan antara ungkapan hakikat
dan majaz
5. Untuk mengetahui cara memahami hadist dengan membedakan antara hadis yang ghaib
dan yag nyata

2
BAB ll

Pembahasan

A. Memahami Hadist Sesuai Fakta Historis

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadist muncul dan berkembang dalam
keadaan tertentu yaitu pada masa nabi Muhammad saw hidup, oleh karena itu hadist dan sejarah
memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara
hadist dan fakta sejarah akan menjadikan hadist memiliki sandaran validitas yang kokoh. Begitu
pula sebaliknya bila terjadi penyimpangan antara hadist dan sejarah, maka salah satu diantara
keduanya diragukan kebenarannya.

Sebagai contohnya adalah hadist tentang perempuan menjadi pemimpin (4425, al-
Bukhari). Para jumhur ulama memahami hadist ini secara konstektual. Mereka berpendapat
bahwa berdasarkan petunjuk hadist tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara,
hakim pengadilan dan berbagai jabatan yang setara dengannya dilarang. Mereka menyatakan
bahwa perempuan menurut syari’at hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya
(al-Asqalani:128).

Hadist tersebut dipahami secara kontekstual yaitu dengan mengetahui latar belakang
keluarnya hadist tersebut, antara lain dengan memahami kondisi dan budaya masyarakat Persia
dan sitem politik yang dianut ketika itu. Sehingga, hadist tersebut dapat diterapkan pada situasi
yang diinginkan Nabi Muhammad saw dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.

Menurut Muhammad Ghazali, ketika nabi Muhammad saw mengucapkan hadist tersebut
bangsa Persia dipaksa mundur dan luas wilayahnya semakin meyempit. Sebenarnya masih ada
kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan Negara kepada seorang Jendral piawai yang
mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganism politik telah
menjadikan rakyat dan negara sebagai warisan yang diberikan kepada perempuan muda yang
tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa negri Persia sedang menuju kehancuran
(al-Ghazali, 1989:6455).

Pernyataan Muhammad al-Ghazali di atas memberi isyarat bahwa perempuan yang tidak
boleh diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi Muhammad saw. Adalah perempuan yang

3
tidak memenuhi syarat kepemimpinan. Jadi, hadist di atas tidak dapat dijadikan dasar penolakan
dan penerimaan perempuan sebagai pemimpin.

B. Memahami Hadist Sesuai Kebenaran Ilmiah

Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadist tidak boleh
bertentangan dengan ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah memenuhi rasa keadilan atau tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, tidak masuk akal jika hadist Nabi
mengabaikan rasa keadilan. Menurut Al-Ghazali, bagaimanapun shahinya sanad sebuah hadist,
jika informasinya bertentangan dengan prinsip –prinsip hak asasi manusia maka hadist tersebut
tidak bisa dipakai.

Contohnya qishas bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir (seorang muslim
tidak boleh dibunuh karena membuuh orang kafir) al-Bukhari:6915. Al-Ghazali menolak hadist
tersebut disebabkan mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan. Karena
antara muslim atau kafir sebenarnya mempunyai hak asasi kewajiban yang sama.

Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh al-Ghazali dalam kritik matan bukanlah
sesuatu yang baru. Al-Ghazali sendiri mengakui bahwa apa yang dilakukannya sudah dilakukan
oleh ulama terdahulu. Yang palin penting dari semua itu adalah bagaimana mempraktikkan
indikator kritik matan tersebut dalam berbagai matan hadist nabi.

C. Memahami Hadist dengan Membedakan Antara Sarana atau Media yang Berubah-ubah Tapi
Tujuan Tetap Sama

Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan serta sasaran yang tepat.
Bercampur aduk antara sasaran yang akan dicapai dengan prasarana temporer atau lokal (yang
tentunya dimaksudkan untuk mencapai tujuan tersebut) akan dapat memalingkan maksud yang
sesungguhnya dari hadis bersangkutan titik dengan adanya memperhatikan bahkan memusatkan
perhatian terhadap sarana-sarana yang digunakan seolah-olah itulah yang menjadi tujuan dan
sarana hadis, akan menjadikan pemahaman yang sempit dan tentu saja tidak sejalan dengan cita-
cita syariat itu sendiri.

Seiring perkembangan dan aplikasi berbagai jenis pendekatan dalam kajian Islam, maka
seyogianya pemahamannya terhadap hadits-hadits nabi SAW harus mempertimbangkan kondisi

4
sosial budaya dimanapun hadits itu akan diterapkan. Artinya, pendekatan kontekstual hadis
adalah usaha memahami hadis berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi
ketika hadis itu diucapkan dan kepada siapa pula hadits itu ditujukan titik hadis nabi SAW .
Hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriahnya tanpa
mengaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya.

D. Memahami Hadist dengan Membedakan Antara Ungkapan Hakikat dan Majaz

Hakikat menurut bahasa berasal dari fi’il madi ‫ حق‬yang berarti jelas. Sedangkan menurut
istilah Ulama’ ushul adalah: Yaitu). 69:2019, Bazdawi) (‫ف ي ل ه و ضع ما ب ه أري د ل فظ ك ل وهي‬
‫ )مع نوى أل ت صال أو مع لوم ل شيء اال صل‬setiap lafad yang menghendaki ma’na asal (wad’i) karena
ada hal-hal yang telah di ketahui. Selanjutnya Makna wad’I adalah: menetukan makna lafad
dengan kembali pada awal mula peletakan makna. Selanjutnya hakikat dibagi empat bagian
antara lain :

1. hakikat lughowi, yaitu: lafad yang ditetapkan dan di gunakan dalam ma’na lafad oleh ahli
bahasa. Seperti pengunaan kata ‫ اال ن سان‬sebagai mahluk hidup yang memiliki nalar, dan lafad
‫ ال ذأب‬yang digunakan sebagai hewan yang memiliki kuku yang tajam.
2. hakikat syar’i, yaitu: lafad yang ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya oleh Ahli
syari’at. Seperti lafad ‫ صال ة‬yang digunakan untuk ma’na ibadah tertentu dengan syarat-
syarat tertentu.
3. hakikat ‘urfi khusus, yaitu: lafad yang ditetapkan dan digunakan ma’nanya oleh kelompok
atau komunitas tertentu. Seperti istilah I’rab rafa’,nasab, jer, yang digunakan untuk istilah
tertentu oleh kelompok Ahli nahwu.
4. hakikat ‘urfi umum, yaitu lafad yang ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya oleh
kelompok atau komunitas umum. Seperti lafad ‫ داب ة‬yang diartikan setiap hewan yang melata,
atau lafad ‫ مذي اع‬yang diartikan radio oleh kebanyakan

Sedangkan majâz menurut bahasa berasal dari fi’il madi ‫ي جوس‬- ‫ جاس‬yang berarti lewat atau
keluar. Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul adalah:

5
‫ مع نوى أل ت صال أو مع لوم ل شيء اال صل ف ي ل ه و ضع ما ل غ يز ب ه أري د ل فظ ك ل وهي‬Saghnaw (setiap
lafaz yang digunakan tidak pada asal kata dari Artinya. Seperti lafad ‫ أ سد‬yang digunakan Artinya
untuk seorang pemberani. Seperti halnya hakikat majâz juga terbagi menjadi empat bagian :

1. majâz lughowi, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena
adanya suatu petunjuk kebahasaan, seperti Contoh di atas dan lafaz ‫ صال ة‬yang digunakan
untuk arti selain do’a, walaupun kata tersebut bisa menjadi hakikat menurut arti bahasa.
2. .majâz syar’i, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena
adanya suatu petunjuk syara’. Seperti penggunaan ahli bahasa terhadap lafaz ‫ صال ة‬pada
arti ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
3. majâz ‘urfi khusus, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya
karena adanya suatu hubungan dengan penggunaan oleh komunitas tertentu. Seperti
penggunaan kata ‫ ال حال‬oleh ahli nahwu untuk arti keadaan atau suasana baik atau buruk .
4. majâz ‘urfi umum, yaitu penggunaan lafaz yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya
karena adanya suatu hubungan dengan penggunaan oleh komunitas umum, seperti
penggunaan kata ‫ داب ة‬yang secara umum berarti hewan melata menjadi orang yang
bodoh.

Penerapan Pemahaman Hadis menurut Yusuf al-Qardawi. Yang membedakan antara


ungkapan hakiki dan majaz adalah Bahasa Arab kaya dengan kata-kata majaz. Bahkan,
penggunaan majaz lebih berkesan di hati dibandingkan kata-kata yang bersifat langsung atau
hakiki.

E. Memahami Hadist dengan Membedakan Antara yan Ghaib dan yang Nyata

Hadis, tidak hanya berbicara tentang alam nyata, tetapi juga membahas hal-hal yang
bersifat gaib. Hadis, berbicara tentang malaikat, jin, setan, iblis,‘Arasy, Kursi, Qalam, Lauh
Mahfuz dan lain sebagainya.Tidak bisa dipungkiri, bahwa tidak semua cerita hal gaib hadisnya
sahih. Ada yang sahih ada juga yang tidak. Tetapi, pembahasan hanya fokus pada hadis-hadis
sahih saja. Dalam hal ini, menurut al-Qardawi, banyak aliran yang terlalu mudah menolak hadis-
hadis alam gaib, meskipun derajatnya sahih, hanya karena tidak masuk akal.

Beliau mencontohkan seperti sebagian muktazilah, yang tidak percaya terhadap azab
kubur, mizan, rukyatullahdan lain sebagainya. Bahkan hari ini, ada orang yang tidak percaya

6
tentang hadis mutawatir seperti yang tertera pada kitab as-Sahihain, Menurut al-Qardawi,
kesalahan mendasar yang dilakukan oleh muktazilah dalam hal-hal gaib ialah mengukur alam
gaib dengan alam nyata, mengukur akhirat dengan ukuran dunia. Kias seperti itu, adalah
kiasfasid, karena setiap alam pasti memiliki hukumnya sendiri.

7
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Metode pemahaman hadis merupakan cara menguraikan dan menjelaskan hadis berikut
langkah-langkahnya secara keseluruhan dari awal hingga akhir. Langkah-langkah tersebut
menggunakan teknik interpretasi, yaitu suatu cara dalam menafsirkan dan memahami teks hadis
dalam menafsirkan teks hadits harus melihat teks tersebut dari berbagai aspek. Hadis merupakan
penafsiran Alquran, baik dari hal-hal yang bersifat teoritis ataupun secara praktis. Hal ini
mengingat bahwa pribadi nabi merupakan perwujudan dari Alquran yang ditafsirkan untuk
manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu metode pemahaman hadist juga terbagi dalam beberapa metode lainnya seperti
sesuai dengan fakta historis, sesuai kebenaran ilmiah, dengan membedakan antara sarana atau
media yang berubah-ubah tapi tujuannya tetap sama, membedakan antara ungkapan dan majaz
serta membedakan antara yang ghaib dan yang nyata sebagai mana telah dijelaskan di atas.

B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu kami menerima saran dan kritikan dari pembacanya agar makalah ini bisa lebih baik
lagi.

8
Daftar Pustaka

Idris, Mhd. METODE PEMAHAMAN HADIS MUHAMMAD AL-GHAZALI. Vol.6


No1/Juni 2016. Diunduh 15 Mei 2021

Fakhrurrozi, METODE PEMAHAMAN HADIS KONTEMPORER (MENURUT MUHAMMAD


AL-GAZALI DAN YUSUF AL-QARDAWI), Jurnal WARAQAT ♦ Volume I, No. 1,
Januari-Juni 2016

Firdaus. HAKIKAT DAN MAJAZ DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH. JURNAL KAJIAN
DAN PENGEMBANGAN UMAT Vol. 1 No. 1. 2018

Anda mungkin juga menyukai