Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SISTEM EKONOMI INDONESIA

Sejarah Sistem Ekonomi Indonesia

Fitrotul Farikha
1201920007

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI BINA


TARUNA GORONTALO
2020
Sistem Ekonomi Indonesia di Jaman Penjajahan

Kajian Tentang Sistem Perekonomian Indonesia di Masa Kolonial Belanda

Sebagai hasil dari berbagai kajian yang lebih mutakhir mengenai sejarah perekonomian
bangsa kita di masa kekuasaan Belanda pernah disajikan dalam suatu konferensi terbuka yang
secara khusus membahas sejarah perekonomian Indonesia.Yang pertama di pertengahan
dasawarsa tahun 1960-an terdapat beberapa arsip Belanda dan Indonesia yang berisikan tentang
sistem administrasi pada masa pemerintahan Belanda yang terjadi pada abda ke-19 dan abad ke-
20 yang dibuka untuk umum. Bahkan hasil pengkajian yang lebih mendalam dari arsip – arsip
tersebut melahirkan berbagai temuan yang membantah berbagai pendapat tentang masa silam,
contohnya sistem tanam paksa yang menimpa para petani di Pulau Jawa saat itu, banyak
sejarahwan yang berpendapat bahwa hal itu telah menjadikan petani di Jawa menjadi lebih miskin,
padahal tidak demikian.

Termasuk bagian kedua yang menjadi pendorong terhadap bangkitnya keinginan


mempelajari sejarah perekonomian Indonesia adalah hasil pengumpulan dan seleksi beberapa data
statistik yang sangat besar yang dilakukan oleh almarhum P. Creutsberg yang merupakan seorang
pensiunan biro pusat statistik Jakarta yang juga saat itu membawahi beberapa kelompok ekonom
kecil Belanda. Kelompok itu berhasil mengumpulkan statistik perekonomian Indonesia dalam
kurun waktu 1816 – 1940 yang kemudian mengalihkan perhatian beberapa ekonom Australia yang
saat itu turut mempelajari sejarah ekonomi Indonesia masa kini, justru semakin tertarik untuk
terlebih dahulu mempelajari data statistik yang dikumpulkan oleh kelompok ekonom Belanda
tersebut dalam rangka menjadi acuan untuk mempelajari ekonomi Indonesia di masa kini.

Sejarah Sistem Perekonomian Indonesia di Masa Sistem Tanam Paksa


Menurut sejarah, sejarah perekonomian Indonesia mencatat bahwa ditahun 1830 terjadi
kebangkrutan yang dialami oleh pemerintah penjajah akibat dari Perang Diponegoro tahun 1825
– 1930 yang merupakan perang terbesar di tanah Jawa dan juga Perang Paderi tahun 1821 – 1837
di Sumatera Barat. Kemudian Jendral Van den Bosch selaku Gubernur saat itu memperoleh izin
untuk menerapkan Sistem Tanam Paksa atau yang disebut dengan Cultuur Stelsel yang memiliki
tujuan utama untuk menutupi defisit dari besarnya anggaran pemerintah serta untuk
mengumpulkan kembali kas pemerintahan yang habis terpakai.
Sebenarnya sistem tanam paksa ini lebih kejam dan lebih keras dibanding dengan sistem monopoli
VOC sebab adanya sasaran keperluan pemasukan negara yang memang sangat dibutuhkan saat
itu. Jika dalam masa monopoli VOC para petani diwajibkan menjual hasil tertentu dari
pertaniannya kepada VOC, maka di masa tanam paksa ini pemerintah sekaligus yang menetapkan
harganya. Akibatnya matinya perkembangan sistem pasar yang bebas. Sistem tanam paksa ini juga
banyak dijadikan contoh sejarah klasik yang menindas rakyat Indonesia khususnya petani di Jawa
saat itu. Dengan memaksa para petani untuk bekerja hingga 4 kali lebih lama dari jam kerja biasa
dengan tujuan pokok agar kapasitas hasil pertanian meningkat demi untuk meningkatkan kondisi
ekonomi pemerintahan Belanda saat itu.Memang dari hasil sistem Tanam Paksa ini berhasil
meningkatkan sejumlah komoditi pertanian hingga dapat dieskpor ke Eropa, sehingga semakin
tinggi penghasilan yang didapat oleh pemerintahan Belanda saat itu namun upah yang diberikan
kepada kaum petani tidak seimbang dibanding tenaga dan jerih payah yang mereka keluarkan di
masa sistem tanam paksa tersebut.

Sistem Ekonomi di Jaman Orde Lama

Tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini
menandai mulai aktifnya kembali pasar modal Indonesia. Didahului dengan diterbitkannya
Undang-undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai
Undang-undang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek
di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun
penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE)
yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai
penasihat. Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan
adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak
Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan
1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan
hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama
dengan Amsterdam. Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai
saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik
konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan
ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan
Indonesia.

Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik


Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan
semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86
Tahun 1958. Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda
(BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan
semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang
bermata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia. Tingkat inflasi pada
waktu itu yang cukup tinggi, mencapai lebih dari 300%, makin menggoncang dan mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah
yang mencapai puncaknya pada tahun 1996. Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham
dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang
surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :

1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan
Juli 1946.

2. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan Negara yang
mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia
menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-
obatan kepada Indonesia), mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan
menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan
distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.

4. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947

Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
(mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

Kondisi Perekonomian Orde Lama

Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia
bergantian menggunakan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Hampir seluruh
program ekonomi pemerintahan Soekarno kandas di tengah jalan. Penyebabnya adalah :

1. Situasi politik yang diwarnai manuver dan sabotase, terutama dari kelompok-kelompok kanan
(masyumi, PSI, dan tentara-AD) yang tidak menghendaki kemandirian ekonomi nasional.

2. Pertarungan kekuasaan antar elit politik di tingkat nasional yang berakibat jatuh-bangunnya
kabinet, tidak memberikan kesempatan kepada Soekarno dan kabinetnya untuk teguh menjalankan
kebijakan-kebijakan tersebut.

3. Yang paling pokok: borjuasi dalam negeri (pribumi) yang diharapkan menjadi kekuatan pokok
dalam mendorong industrialisasi dan kegiatan perekonomian justru tidak memiliki basis borjuis
yang tangguh.

Karena berkali-kali mengalami kegagalan, Soekarno kemudian menekankan bahwa haluan


ekonomi baru ini hanya akan berhasil dengan dukungan masyarakyat. Dalam usaha memasifkan
dukungan rakyat, Soekarno berpropaganda tentang Trisakti:

● Berdikari di bidang ekonomi

● Berdaulat di bidang politik

● Berkepribadian dalam budaya


Sistem Ekonomi di Jaman Orde Baru

Kemudian fase baru dimulai dalam perkembangan Indonesia, yakni masa Orde Baru di
bawah pimpinan Soeharto. Di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik sebagai
Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Karena pada masa ini, pembangunan
ekonomi merupakan keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan Soeharto berorientasi kepada
pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto juga berbanding terbalik dengan
kepemimpinan era Soekarno. Jika kebijakan Soekarno cenderung menutup diri dari negara-negara
barat, Soeharto malah berusaha menarik modal dari negara-negara barat. Perekonomian pada masa
Soeharto juga ditandai dengan adanya perbaikan di berbagai sektor dan pengiriman delegasi untuk
mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara barat dan juga IMF. Jenis bantuan asing ini
sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga melalui “injeksi” bahan impor ke pasar. Orde Baru
berpandangan bahwa Indonesia memerlukan dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis asing
maupun dari masyarakat bisnis internasional pada umumnya, yakni para banker dan perusahaan-
perusahaan multinasional (Mochtar 1989,67). Orde Baru cenderung berorientasi keluar dalam
membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap penyelamatan
yang bertujuan untuk mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua,
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur
ekonmi. Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara lain dipererat
melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi internasional, terutama PBB,
dan penyelesaian konflik dengan Malaysia. Awalnya bantuan asing sulit diperoleh karena mereka
telah dikecewakan oleh Soekarno, namun dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan
kucuran dana asing tersebut akhirnya diterima Indonesia. Ekonomi Indonesia mulai bangkit
bahkan akhirnya menjadi begitu kuat. Sayangnya, kekuatan ekonomi itu didapatkan dari bantuan
asing yang suka atau tidak harus dikembalikan. Suntikan bantuan dari Amerika Serikat maupun
Jepang cukup berperan besar dalam perbaikan ekonomi di Indonesia. Begitupun dengan IMF yang
dinilai sangat bermanfaat dalam memperjuangkan Indonesia di hadapan para kreditor asing
(Mas’oed, 1989:84). Namun, bantuan tersebut tidak serta merta membuat Indonesia tumbuh
dengan prestasi ekonomi, Indonesia ternyata semakin terjerat keterpurukan perekonomian dalam
negeri akibat syarat-syarat dan bunga yang telah direncanakan negara penyuntik bantuan. Booth
(1999) menjelaskan kegagalan industri dalam negeri di pasar global serta terjun bebasnya nilai
rupiah juga menjadi warisan keterpurukan ekonomi pada Orde Baru yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi keluar. Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan pemerintahan reformasi
untuk menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri.

Sistem Perekonomian Orde Baru (1966 – 1998)

Awal pemerintahan orde baru dihadapkan pada kehancuran ekonomi secara total, hal ini
tergambar dari inflasi tahun 1966 mencapai 650%, dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh
jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang besar, nilai
tukar rupiah tidak stabil (Gilarso, 1986:221). Maka awal pemerintahan orde baru ini juga bisa
dikatakan sebagai titik balik perekonomian Indonesia. Pamerintah saat itu benar-benar berusaha
kerasa untuk mengubah perekonomian Indonesia yang terpuruk. Tahun 1966-1968 merupakan
tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Segala macam upaya dilakukan mulai dari menurunkan inflasi
dan menstabilkan harga. Kerhasilannya menstabilakan inflasi berdampak positif terhadap stabilitas
politik saat itu. Maka kemudian berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin
dengan adanya IGGI. Sejak masa itu yaitu pada tahun 1969, Indonesia memulai menata kehidupan
ekonomi secara lebih terarah dan fokus terhadap prioritas pembangunan. Sehingga dibentuklah
Rencana Pembangunan Lima Tahun yang kita kenal pada saat itu sebgai REPELITA. Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:

1. Repelita I (1 April 1969 hingga 31 Maret 1974)

• Titik Berat Repelita I: Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.

• Sasaran Repelita I: Pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan


lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

• Tujuan Repelita I: Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar
bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.

• Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari
1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan
kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi
ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah
pengerusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.

2. Repelita II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979)

• Titik Berat Repelita II: Pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah
bahan mentah menjadi bahan baku meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya.

• Sasaran Repelita II: Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja.

• Tujuan Repelita II: Meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura,
di antaranya melalui transmigrasi.

• Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun.
Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi
turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.

3. Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984)

• Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya. Menekankan bidang industri
padat karya untuk meningkatkan ekspor. Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh
resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecenderungan harga minyak
yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Menghadapi ekonomi
dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri.

4. Repelita IV (1 April 1984 hingga 31 Maret 1989)

• Titik Berat Repelita IV: Pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri sendiri seperti industri ringan yang akan terus dikembangkan dalm repelita-repelita
selanjutnya meletakkan landasan yanag kuat bagi tahap selanjutnya.
• Tujuan Repelita IV: Menciptakan lapangan kerja baru dan industri.

• Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan
pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.

5. Repelita V (1 April 1989 hingga 31 Maret 1994)

• Menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.

Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan


menekankan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut saling mengait dan
perlu dikembangkan secara selaras, terpadu, dan saling memperkuat. Tujuan dari Repelita V sesuai
dengan GBHN tahun 1988: pertama, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
seluruh rajyat yang makin merata dan adil; kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap
pemangunan berikutnya.

6. Repelita VI (1 April 1994 hingga 31 Maret 1999)

• Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri
dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.

• Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pembangunan nasional


Indonesia dari pelita ke pelita berikutnya terus mengalami peningkatan keberhasilan
pembangunan.

• Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu
perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Kondisi Perekonomian Orde Baru

Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk,
dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama
memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun. Emil Salim,
penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Soeharto, yang bisa
dikatakan berhasil adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu
hanya dua tahun. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang
berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno. Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi,
dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.

Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan


ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu
pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.

Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan,


seperti :

a. Rendahnya penerimaan Negara

b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara

c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank

d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana.

Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Berorientasi pada kepentingan


produsen kecil. Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:

• Mengadakan operasi pajak

Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak
sendiri dan menghitung pajak orang. Menurut Emil Salim, Soeharto menerapkan cara militer
dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia dengan mencanangkan sasaran yang
tegas.
• Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan
yang disebut Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para
teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara barat
dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.

• Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal
dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Soeharto membuat Indonesia
terikat pada kekuatan modal asing.

Anda mungkin juga menyukai