Sejarah Sistem Ekonomi Di Indonesia
Sejarah Sistem Ekonomi Di Indonesia
Fitrotul Farikha
1201920007
Sebagai hasil dari berbagai kajian yang lebih mutakhir mengenai sejarah perekonomian
bangsa kita di masa kekuasaan Belanda pernah disajikan dalam suatu konferensi terbuka yang
secara khusus membahas sejarah perekonomian Indonesia.Yang pertama di pertengahan
dasawarsa tahun 1960-an terdapat beberapa arsip Belanda dan Indonesia yang berisikan tentang
sistem administrasi pada masa pemerintahan Belanda yang terjadi pada abda ke-19 dan abad ke-
20 yang dibuka untuk umum. Bahkan hasil pengkajian yang lebih mendalam dari arsip – arsip
tersebut melahirkan berbagai temuan yang membantah berbagai pendapat tentang masa silam,
contohnya sistem tanam paksa yang menimpa para petani di Pulau Jawa saat itu, banyak
sejarahwan yang berpendapat bahwa hal itu telah menjadikan petani di Jawa menjadi lebih miskin,
padahal tidak demikian.
Tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini
menandai mulai aktifnya kembali pasar modal Indonesia. Didahului dengan diterbitkannya
Undang-undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai
Undang-undang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek
di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun
penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE)
yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai
penasihat. Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan
adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak
Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan
1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan
hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama
dengan Amsterdam. Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai
saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik
konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan
ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan
Indonesia.
1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan
Juli 1946.
2. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan Negara yang
mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia
menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-
obatan kepada Indonesia), mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan
menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan
distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
(mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia
bergantian menggunakan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Hampir seluruh
program ekonomi pemerintahan Soekarno kandas di tengah jalan. Penyebabnya adalah :
1. Situasi politik yang diwarnai manuver dan sabotase, terutama dari kelompok-kelompok kanan
(masyumi, PSI, dan tentara-AD) yang tidak menghendaki kemandirian ekonomi nasional.
2. Pertarungan kekuasaan antar elit politik di tingkat nasional yang berakibat jatuh-bangunnya
kabinet, tidak memberikan kesempatan kepada Soekarno dan kabinetnya untuk teguh menjalankan
kebijakan-kebijakan tersebut.
3. Yang paling pokok: borjuasi dalam negeri (pribumi) yang diharapkan menjadi kekuatan pokok
dalam mendorong industrialisasi dan kegiatan perekonomian justru tidak memiliki basis borjuis
yang tangguh.
Kemudian fase baru dimulai dalam perkembangan Indonesia, yakni masa Orde Baru di
bawah pimpinan Soeharto. Di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik sebagai
Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Karena pada masa ini, pembangunan
ekonomi merupakan keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan Soeharto berorientasi kepada
pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto juga berbanding terbalik dengan
kepemimpinan era Soekarno. Jika kebijakan Soekarno cenderung menutup diri dari negara-negara
barat, Soeharto malah berusaha menarik modal dari negara-negara barat. Perekonomian pada masa
Soeharto juga ditandai dengan adanya perbaikan di berbagai sektor dan pengiriman delegasi untuk
mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara barat dan juga IMF. Jenis bantuan asing ini
sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga melalui “injeksi” bahan impor ke pasar. Orde Baru
berpandangan bahwa Indonesia memerlukan dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis asing
maupun dari masyarakat bisnis internasional pada umumnya, yakni para banker dan perusahaan-
perusahaan multinasional (Mochtar 1989,67). Orde Baru cenderung berorientasi keluar dalam
membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap penyelamatan
yang bertujuan untuk mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua,
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur
ekonmi. Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara lain dipererat
melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi internasional, terutama PBB,
dan penyelesaian konflik dengan Malaysia. Awalnya bantuan asing sulit diperoleh karena mereka
telah dikecewakan oleh Soekarno, namun dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan
kucuran dana asing tersebut akhirnya diterima Indonesia. Ekonomi Indonesia mulai bangkit
bahkan akhirnya menjadi begitu kuat. Sayangnya, kekuatan ekonomi itu didapatkan dari bantuan
asing yang suka atau tidak harus dikembalikan. Suntikan bantuan dari Amerika Serikat maupun
Jepang cukup berperan besar dalam perbaikan ekonomi di Indonesia. Begitupun dengan IMF yang
dinilai sangat bermanfaat dalam memperjuangkan Indonesia di hadapan para kreditor asing
(Mas’oed, 1989:84). Namun, bantuan tersebut tidak serta merta membuat Indonesia tumbuh
dengan prestasi ekonomi, Indonesia ternyata semakin terjerat keterpurukan perekonomian dalam
negeri akibat syarat-syarat dan bunga yang telah direncanakan negara penyuntik bantuan. Booth
(1999) menjelaskan kegagalan industri dalam negeri di pasar global serta terjun bebasnya nilai
rupiah juga menjadi warisan keterpurukan ekonomi pada Orde Baru yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi keluar. Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan pemerintahan reformasi
untuk menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri.
Awal pemerintahan orde baru dihadapkan pada kehancuran ekonomi secara total, hal ini
tergambar dari inflasi tahun 1966 mencapai 650%, dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh
jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang besar, nilai
tukar rupiah tidak stabil (Gilarso, 1986:221). Maka awal pemerintahan orde baru ini juga bisa
dikatakan sebagai titik balik perekonomian Indonesia. Pamerintah saat itu benar-benar berusaha
kerasa untuk mengubah perekonomian Indonesia yang terpuruk. Tahun 1966-1968 merupakan
tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Segala macam upaya dilakukan mulai dari menurunkan inflasi
dan menstabilkan harga. Kerhasilannya menstabilakan inflasi berdampak positif terhadap stabilitas
politik saat itu. Maka kemudian berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin
dengan adanya IGGI. Sejak masa itu yaitu pada tahun 1969, Indonesia memulai menata kehidupan
ekonomi secara lebih terarah dan fokus terhadap prioritas pembangunan. Sehingga dibentuklah
Rencana Pembangunan Lima Tahun yang kita kenal pada saat itu sebgai REPELITA. Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
• Titik Berat Repelita I: Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
• Tujuan Repelita I: Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar
bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
• Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari
1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan
kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi
ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah
pengerusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
• Titik Berat Repelita II: Pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah
bahan mentah menjadi bahan baku meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya.
• Sasaran Repelita II: Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja.
• Tujuan Repelita II: Meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura,
di antaranya melalui transmigrasi.
• Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun.
Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi
turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
• Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya. Menekankan bidang industri
padat karya untuk meningkatkan ekspor. Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh
resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecenderungan harga minyak
yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Menghadapi ekonomi
dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri.
• Titik Berat Repelita IV: Pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri sendiri seperti industri ringan yang akan terus dikembangkan dalm repelita-repelita
selanjutnya meletakkan landasan yanag kuat bagi tahap selanjutnya.
• Tujuan Repelita IV: Menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
• Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan
pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
• Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri
dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.
• Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu
perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Kondisi Perekonomian Orde Baru
Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk,
dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama
memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun. Emil Salim,
penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Soeharto, yang bisa
dikatakan berhasil adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu
hanya dua tahun. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang
berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno. Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi,
dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak
sendiri dan menghitung pajak orang. Menurut Emil Salim, Soeharto menerapkan cara militer
dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia dengan mencanangkan sasaran yang
tegas.
• Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan
yang disebut Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para
teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara barat
dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
• Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal
dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Soeharto membuat Indonesia
terikat pada kekuatan modal asing.