Anda di halaman 1dari 3

BIROKRASI PUBLIK DI INDONESIA

1. Birokrasi di Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi.


Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan
menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang
berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi parkinson dan orwel.
Birokrasi parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran
struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi orwel merujuk pada
birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan
sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi
yang bila perlu ada suatu pemaksaan.

Dari model yang diutarakan di atas bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia
adalah birokrasi yang terkesan lamban, lama, berbelit-belit, birokrasi pajang, pungutan
liar bahkan suap. Keadaan ini menyebabkan timbulnya penyimpangan – penyimpangan,
antaralain :
 Maraknya tindak KKN.
 Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap
masyarakat tidak maksimal.
 Pelayanan publik yang diskriminatif.
 Penyalahgunaan wewenang.
 Penggaburan antara pejabat karir dan non karir.

Mantan wakil menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi Eko Prasojo
mengungkapkan ada 7 realita kebobrokan birokrasi di Indonesia :

1. Pola pikir para birokrasi di Indonesia terlalu sesuai aturan.


2. Orientasi budaya kerjanya lemah.
3. Birokrasi di Indonesia secara organisasi terlalu gemuk.
4. Peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis.
5. Banyak seorang birokrasi ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan
kemampuannya.
6. Soal kewenangan yang tumpang tindih atau overlapping sehingga ada kecenderungan
penyalahgunaan kewenangan oleh birokrat.
7. Pelayanan publik yang buruk.
2. Reformasi birokrasi di Indonesia
Reformasi politik di tanah air sejak 1998 mengupayakan pembaharuan dalam manajemen
pemerintahan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja birokrasi. Di masa reformasi
banyak yang optimis bahwa kinerja birokrasi di Indonesia akan semakin membaik. Hal
ini diperkuat dengan adanya perubahan mendasar dalam administrasi publik dan
pemerintahan sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 tahun 1999
( telah diubah dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah). Namun
tanggapan negatif mengenai birokrasi masih tertanam bahkan setelah lebih dari 16 tahun
reformasi 1998 bergulir dimana perbaikan birokrasi yang dicanangkan pemerintah selama
ini dianggap belum berjalan secara optimal. Ada beberapa faktor yang signifikan yang
menjelaskan kondisi keterpurukan birokrasi Indonesia yaitu :
 Masih lemahnya kesadaran dan kemampuan untuk melakukan prisip – prinsip
good governance dengan baik.
 Sistem pemerintahan desentralisasi yang digulirkan sejak era reformasi
merupakan angin segar dalam pelaksanaan birokrasi, terutama di daerah.
 Konsekuensi dari otonomi daerah yang menyebabkan kondisi saat ini banyak
posisi atau jabatan di birokrasi di isi oleh orang – orang yang tidak memiliki
kemampuan dan keterampilan yang sesuai dengan pekerjaannya.
 Kurang efesiensinya institusi birokrasi sendiri.
 Belum jelasnya standar kinerja yang dapat di ukur untuk menentukan mutu
output yang dihasilkan aparatur.
 Kecenderungan lemahnya kompetensi terkait penggunaan teknologi informasi
menuju e-government.
 Hubungan dan komunikasi yang kurang terbuka diantara aparatur birokrasi.
 Rendahnya kualitas SDM aparatur yang tercermin dari kondisi kesejahteraan
pegawai, rekruitmen dan pembinaan karir, budaya kerja dan profesionalisme
sumber daya aparatur yang belum sepenuhnya terpenuhi.
 Kultur mentalitas dan budaya kekuasaan masih menjadi karakter sebagian besar
aparat birokrasi pada masa reformasi ini.

Hingga saat ini birokrasi di Indonesia umumnya bermuara pada penilaian bahwa
birokrasi di Indonesia tidak netral. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri,
apalagi melihat praktik sehari – hari dimana birokrasi terkait dengan lembaga
lainnya. Dalam realitanya, yang menggejala di Indonesia saat ini adalah praktek
buruk yang menyimpang dari teori idealismenya weber. Dalam prakteknya
muncul kesan yang menunjukkan seakan – akan para pejabat dibiarkan
menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk kepentingan pribadi dan
kelompok. Hal ini dibuktikan dengan sistem birokrasi yang tidak efisien dan
bertele – tele.
3. Harapan untuk birokrasi masa depan
Dengan adanya kebijakan reformasi birokrasi yang telah disahkan dalam UU Nomor 5
Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara yang menegaskan bahwa aparatur negara bebas
dari intervensi partai politik. Dengan dicanangkan program reformasi birokrasi
diharapkan ada perubahan mind-set dalam pola pikir serta budaya kerja untuk melayani
publik. Sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi salah satu tolak ukur dalam
upaya peningkatan pelayanan publik yang prima bagi seluruh masyarakat, kredibilitas
dan transparansi merupakan norma utama yang menjadi tuntutan publik atas
lembaga – lembaga pelayanan umum yang ada. Selain itu pengawasan menjadi elemen
penting dalam jalannya roda birokrasi pemerintahan dan demi terwujudnya good
governance. Pemerintah diharapkan terus melakukan evaluasi kinerja para birokratnya
agar pencapaian kinerja berdasarkan tugas serta fungsi itu sendiri bisa maksimal dalam
peningkatan pelayanan publik serta ada peran aktif masyarakat dalam bidang
pengawasan.

Anda mungkin juga menyukai