Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan bagian dari rumah sakit yang
memberikan pelayanan gawat darurat pada pasien gawat darurat dengan lama
penanganan paling lama 5 menit setelah pasien sampai IGD. Secara organisasi,
IGD adalah organisasi yang terdiri dari multi disiplin, multi profesi dan
terintegrasi, dengan struktur organisasi fungsional yang terdiri dari pimpinan dan
pelayanan kesehatan, maka rumah sakit harus memiliki standar pelayanan gawat
darurat minimal, yang sesuai dengan klasifikasi rumah sakit tersebut, baik dari
Jenis pelayanan IGD yang diberikan adalah jenis pelayanan yang sesuai
sesuai dengan kelas rumah sakit. Komponen pelayanan IGD tingkat IV (rumah
(Intensive Care Unit) serta bedah cito. Pelayanan IGD tingkat III (rumah sakit
kelas B) sama seperti pelayanan pada tingkat IV, namun pada tingkat III tidak
ada pelayanan ICU. Pelayanan IGD tingkat II (rumah sakit kelas C) sama seperti
pelayanan pada tingkat IV, namun pada tingkat II tidak ada ruang resusitasi.
Pelayanan pada IGD tingkat I (rumah sakit kelas D) standar minimalnya adalah
Selain jenis pelayanan yang berbeda untuk setiap tingkat, standar sumber
daya manusianya juga berbeda. Pada tingkat IV, klasifikasi tenaga IGD yang
harus ada adalah dokter subspesialis yang on call untuk semua jenis subspesialis,
sedangkan pada tingkat III, II, dan I tidak ada keharusan adanya dokter
subspesialis. Pada tingkat IV dan III terdapat dokter PPDS yang onsite 24 jam,
sedangkan pada tingkat II dan I tidak ada. Untuk dokter umum plus pelatihan
(Advanced Trauma Life Support) dan ACLS (Advanced Cardiac Life Support)
harus onsite 24 jam pada semua tingkat. Untuk klasifikasi kepala perawat adalah
Trauma Life Support) dan BCLS (Basic Cardiac Life Support). Kemudian untuk
Emergency Nursing. Selain itu SDM yang ada di IGD adalah tenaga non medis
meliputi bagian keuangan, keamanan dan ketertiban, dan pekarya yang onsite
pada saat terjadi korban massal atau bencana. Selain itu sarana yang lain di IGD
adalah adanya ruangan untuk tindakan resusitasi, tindakan bedah, tindakan medik,
tindakan bayi dan anak, tindakan kebidanan, serta tersedianya peralatan atau obat-
sakit kelas C. Kemampuan IGD RSI Pekajangan berdasarkan sumber daya, jenis
pelayanan, dan sarana pendukung sesuai dengan standar pelayanan IGD tingkat
II. Jumlah sumber daya tenaga keperawatan yang ada di IGD RSI Pekajangan
Keperawatan dan 100 % sudah memiliki sertifikat wajib yang harus dimiliki
pertolongan pertama gawat darurat (PPGD), basic life support (BLS), maupun
basic trauma cardiac life support (BTCLS), dan sebagian memiliki sertifikat
umum di IGD RSI Pekajangan adalah sebanyak 11 orang, dan juga sudah
advanced trauma life support (ATLS), maupun advanced cardiac life support
kegawatdaruratan dan patient safety. Kemudian sumber daya untuk tenaga dokter
spesialis on-call yaitu anastesi, bedah saraf, bedah onkologi, bedah umum,
ortopedi, obsgyn, urologi, anak, THT, saraf, kesehatan jiwa, radiologi, mata,
penyakit dalam, kulit dan kelamin, patologi klinik, dan patologi anatomi.
penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi serta bedah cito. Ruang
IGD terdiri dari bed untuk triase, resusitasi, tindakan bedah, non bedah, bedah,
anak, dan untuk observasi. Dalam melayani pasien gawat darurat, IGD ditunjang
bagian pelayanan terkait lainnya yaitu ruang operasi, intensive care unit (ICU),
farmasi, laboratorium, radiologi, dan rawat inap. Selain ruang operasi, semua
circulation) secara cepat. Memberikan kode warna triase dengan ketentuan hijau
(pasien tidak gawat dan tidak darurat), kuning (pasien gawat tidak darurat), merah
pasien sesuai dengan urutan kode warna yang telah diberikan, melakukan asuhan
dilakukan observasi sesuai dengan prosedur yang ada. Pasien berdasarkan skala
triasenya dibawa (ditempatkan atau disposisi) dalam waktu maksimal empat jam
ke ruang rawat inap, ICU, kamar operasi, atau kamar jenazah. Merah ke kamar
operasi, ICU, VK, Ruang Perinatologi. Kuning ke rawat inap, hitam ke kamar
jenazah. Pasien rawat jalan (triase hijau) diberikan resep obat untuk tiga hari dan
dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya dan atau
secepatnya, misalnya Acute Myocard Infarc. Pasien darurat tidak gawat adalah
pasien yang tidak gawat atau tidak terancam nyawanya tetapi memerlukan
tindakan darurat, misalnya, pasien dengan fraktur. Pasien tidak gawat dan tidak
darurat adalah pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan, tidak
2.1.2 Triage
memilih. Konsep triase digunakan pertama kali oleh seorang kepala bedah
tentara Napoleon atau militer Prancis. Proses triase dilaksanakan dengan cara
mengidentifikasi tentara yang mengalami luka-luka dalam peperangan, kemudian
kembali berperang bila memungkinkan (Ranse & Zeits, 2010; Jenkins et al, 2008).
Pelabelan dengan penggunaan warna merah, kuning, hijau dan hitam sesuai
Prinsip dasar pada triase adalah “Time Saving is Life Saving (respon time
sesingkat mungkin) dan The Right Place at The Right Time, with The Right Care
yang mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di IGD untuk
menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang mengancam nyawa.
Tujuan dari triase adalah untuk mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa
berdasarkan pada pengkajian yang tepat dan akurat, serta menggali data yang
terhadap perubahan, role model dan representatif dari rumah sakit, mempunyai
perawat triase terkait konsistensi dalam menilai dan menentukan tingkat triase
mendapatkan hasil triase yang akurat. Selain kompetensi tersebut di atas, ENA
selama proses triase, kemampuan bekerja di bawah tekanan stres yang intens dan
dibutuhkan dalam triase mencakup waktu dan tanggal pengkajian triase, nama
perawat triase, keluhan utama, riwayat kesehatan yang sesuai, kategori triase,
triase ulang kategori triase, pengkajian dan penentuan lokasi penanganan, serta
dijelaskan oleh Gilboy (2010), yaitu bahwa secara umum data yang harus
triase, identitas pasien minimal dua (nama pasien, tanggal lahir, atau nomor
rekam medis), keluhan utama, pengkajian data subyektif dan data obyektif, tanda-
tanda vital pasien, tingkat triase, perkiraan intervensi, pengkajian nyeri dan tanda
pasien pediatrik, pasien geriatrik dan pasien psikiatrik. Pada pasien pediatrik
skin), selain itu juga perlu pengkajian riwayat penyakit atau kesehatan pasien dan
pemeriksaan fisik (Gilboy, 2010; Mace & Mayer, 2008). The Western Australian
riwayat kesehatan yang kurang, manifestasi tanda dan gejala yang tidak spesifik,
dari masing-masing jenis triase terkait validitas dan reliabilitas triase pada
populasi anak. Salah satunya adalah reliabilitas dari Australasian Triage Scale.
Van Veen dan Moll (2009) dalam reviewnya tentang validitas dan reliabilitas
yang lebih cermat. Berdasarkan penelitian, length of stay pasien geriatrik di IGD
lebih lama 20% daripada usia yang lebih muda dan memerlukan sumber daya
rumah sakit lebih banyak. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu interview
yang mungkin sulit karena keluhan yang lebih banyak, pasien mendapatkan
banyak medikasi, adanya efek medikasi terhadap tanda-tanda vital, atau adanya
tanda dan gejala yang tidak sesuai dengan masalah kesehatannya, misalnya
adanya perubahan tingkat kesadaran mungkin sebagai tanda awal karena infeksi
Triase pada pasien psikiatrik baik pasien yang baru maupun lama sering
datang sendiri, atau dibawa oleh keluarga, teman, atau polisi. Prioritas utama pada
pasien psikiatrik adalah keamanan staf maupun pasien itu sendiri, apakah pasien
antara lain meliputi mengapa dibawa ke IGD, adakah masalah emosi, adakah
penggunaan obat-obatan, alkohol, berapa lama dan berapa sering, juga pengkajian
juga penampilan umum, perilaku, aktifitas motorik, dan cara berbicara apakah
penelitian terkait validitas dan reliabilitas metode triase juga dilakukan. Fernandes
et al (2005), menyatakan bahwa skala triase di IGD yang valid dan reliabel akan
memberikan keputusan yang akurat sehingga aman bagi pasien. Wulp (2010),
juga menyatakan bahwa sistem triase harus reliabel dan valid karena dapat
mempengaruhi keselamatan pasien di IGD, selain itu juga akan tepat dalam
Menurut Oman, McLain, dan Scheetz (2008) IGD di dunia sebagian besar
menggunakan sistem triase jenis lain, misalnya triase dua tingkat. Gilboy (2005)
menjelaskan pada triase dua tingkat atau triase tipe I pasien dipilah berdasarkan
kondisi sakit atau tidak sakit (“sick” or “not sick”) yang dilakukan oleh
resepsionis atau pemberi pelayanan kesehatan non perawat. Triase dua tingkat
merupakan sistem triase yang paling dasar, karena dalam menentukan kondisi
pasien hanya berdasarkan keluhan utama pasien. Metode triase dua tingkat tidak
Pada triase tiga tingkat atau triase tipe II, pasien diklasifikasikan emergent,
urgent, dan nonurgent. Emergen atau kedaruratan adalah pasien yang memerlukan
segera, dimana penanganan sampai dua jam tidak akan menimbulkan kematian
ataupun cacat ekstremitas. Nonurgen adalah kondisi pasien yang aman, yang
dapat menunggu sampai lebih dari dua jam tanpa meningkatkan morbiditas dan
Pada triase empat tingkat atau triase tipe III, tingkat 1 adalah pasien
nyawa atau ekstremitas. Tingkat 2 adalah kondisi akut, terdapat perubahan kondisi
kondisi pasien tidak terdapat resiko yang perlu segera dilakukan penanganan
Mace dan Mayer (2008) menyebutkan bahwa dalam triase empat tingkat
adalah terdiri dari life threatening, emergent, urgent dan nonurgent. Jenis-jenis
triase empat level antara lain Taiwan Triage Scale (TTS), dan Italian Four Level
Emergency Triage System. Penelitian terkait triase empat tingkat yaitu Italian
Four Level Emergency Triage System pernah diteliti oleh Parenti et al (2010).
Kesimpulan dari penelitian menunjukkan hasil yang baik untuk reliabilitas antar
penilai dan Italian Four Level Emergency Triage System mempunyai akurasi
Pada triase lima tingkat (juga termasuk triase tipe III), diperlukan waktu
penanganan sejak pasien tiba di IGD dan pengkajian ulang berdasarkan kondisi
pasien henti jantung. Tingkat 2 adalah pasien dengan kondisi tidak stabil,
adalah kondisi pasien yang tidak stabil, memerlukan penanganan 30-60 menit,
misalnya pasien dengan kasus nyeri abdomen. Tingkat 4 adalah pasien dengan
kondisi stabil, memerlukan waktu penanganan 1-2 jam, misalnya pasien dengan
kasus sistitis. Tingkat 5 adalah pasien rutin yang memerlukan penanganan 4 jam
jahitan luka (Oman, McLain, Scheetz, 2008). Pada pasien dengan penyakit atau
kondisi kritis secara umum ditandai adanya takipnea, takikardia, hipotensi, dan
nonurgent, referred/fast track. Pada triase lima tingkat terdapat batasan waktu
metode triase lima level antara lain adalah Australasian Triage Scale (ATS),
Manchester Triage Scale (MTS), Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS), dan
Emergency Severity Index (ESI), (Jones, Marsden, & Windle, 2006; Mace &
penelitian tersebut menjelaskan bahwa CTAS adalah alat triase dengan validitas
yang tinggi untuk pasien usia lanjut dan sangat berguna untuk mengkategorikan
bahwa CTAS didasarkan dari ATS dan dikembangkan pada tahun 1990-an oleh
Kesimpulan dari penelitian menjelaskan bahwa tingginya tingkat over triage dan
under triage untuk kategori triase yang kurang mendesak, menghasilkan validitas
Kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa MTS dalam versi bahasa
Jerman, merupakan triase yang valid dan reliabel untuk penilaian awal pasien-
agreement) antara ahli dan perawat triase hampir sempurna dengan nilai Kappa
0,954. Semakin tinggi prioritas dari MTS, semakin tinggi jumlah kematian (p
<0,0001 / χ2 Test) dan ada perbedaan dalam kelangsungan hidup selama 30 hari di
antara lima kategori MTS (p <0,0001/ log-rank test). Christ et al (2010), Calder
dan Platz (2014) menjelaskan bahwa MTS dikembangkan pada tahun 1997 di
Inggris.
Penelitian terkait triase ESI pernah dilakukan oleh Chi dan Huang (2006).
bahwa prosedur ESI lebih akurat dalam membedakan kegawatan pasien, lama
waktu perawatan pasien di IGD, dan angka rawat inap dari pada TTS. Gilboy et al
(2011) menjelaskan bahwa ESI merupakan sistem triase algoritma 5 tingkat yang
dikembangkan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an oleh dokter IGD
bernama Richard Wuerz dan David Eitl. Tahun 1999 ESI versi 1 diterapkan di dua
rumah sakit pendidikan. Tahun 2000 ESI versi 1 disempurnakan menjadi ESI
versi 2 dan diterapkan di lima rumah sakit, termasuk bukan rumah sakit
kemudian disempurnakan lagi menjadi ESI versi 4 atau versi yang terakhir.
merupakan adopsi dari sistem triase militer pada saat perang (Ministry of Health
NSW, 2011). Namun konsep triase di IGD dengan triase disaster ada perbedaan.
Selama disaster dengan sumber daya yang sangat terbatas, pasien dengan
kesempatan sangat sedikit atau tidak ada kesempatan untuk survival tidak
tetap dilakukan resusitasi karena sumber daya yang lebih lengkap (Mace &
Mayer, 2008).
Triase disaster menggunakan kategori merah (most urgent) merupakan
ketiga, dan hitam (dead or catastrophic) bukan merupakan prioritas (Mace &
eksternal masif. Kategori kuning misalnya korban dengan resiko syok, fraktur
multipel, fraktur femur atau pelvis, luka bakar luas, gangguan kesadaran, trauma
kepala. Kategori hijau misalnya fraktur minor, luka minor, luka bakar minor.
Triase labeling IGD atau triase tipe II merupakan jenis triase tiga tingkat,
dimana perawat atau dokter menentukan apakah pasien dimasukkan dalam salah
satu kondisi emergent, urgent atau nonurgent berdasarkan sebatas keluhan utama,
informasi subyektif dan obyektif dari pasien. Dalam triase tipe II untuk
merah, kuning dan hijau. Sedangkan pada penggunaan angka, misalnya kategori
segera atau prioritas pertama penanganan di IGD karena adanya kondisi yang
serangan jantung (cardiac arrest), trauma berat, gagal napas (respiratory failure),
trauma mayor abdomen dengan perdarahan hebat, pasien tidak sadar. Diperlukan
respon segera dari tim kesehatan dan perlu penilaian ulang yang kontinyu. Pasien
dengan label kuning adalah pasien prioritas kedua untuk penanganan, dimana
penanganan cepat dan tepat. Pasien membutuhkan tindakan segera, tetapi pasien
pasien dengan nyeri abdomen, fraktur dan batu ginjal. Pasien direkomendasikan
untuk penilaian ulang setiap 30 menit. Pasien dengan label hijau adalah pasien
prioritas ketiga dalam penanganan, karena pasien dengan kondisi tidak kritis,
semua IGD Australia sejak tahun 1994. Setiap tingkat prioritas mempunyai batas
waktu yang sudah ditetapkan yang dievaluasi oleh dokter (Christ, Grossman,
Winter, Bingisser & Platz, 2010). Triase ATS yang sebelumnya adalah National
Triage Scale (NTS) merupakan triase yang dirancang untuk digunakan di IGD
seluruh bagian Australia dan Selandia Baru (Forero, 2012). ATS merupakan
dan penanganan (respon time) berupa kriteria waktu dalam menit yang harus
dilakukan oleh dokter atau staf triase. Tingkat tersebut terdiri dari tingkat 1-5.
emergency dengan respon time < 10 menit. Tingkat 3 adalah urgent dengan
respon time < 30 menit. Tingkatl 4 adalah semi-urgent dengan respon time < 60
menit. Tingkat 5 adalah nonurgent dengan respon time < 120 menit (Mace &
mengancam jiwa atau beresiko tinggi terjadi perburukan kondisi. Pasien tingkat 1
memerlukan tindakan yang sifatnya segera sejak pasien datang. Pasien yang
arrest, frekuensi pernapasan < 10x/menit, distres pernapasan berat, tekanan darah
< 80 untuk dewasa atau syok pada anak dan bayi, tidak ada respon atau hanya
berespon terhadap nyeri, GCS <9, kejang terus menerus, hipoventilasi. Pasien
dan membahayakan.
Pasien kategori ATS tingkat 2 adalah pasien dengan kondisi yang dalam
waktu dekat dapat mengancam jiwa. Kondisi pasien dapat memburuk sangat cepat
sehingga berpotensi mengancam jiwa, atau akan terjadi kegagalan sistem organ
jika tidak dilakukan tindakan dalam waktu 10 menit sejak kedatangan. Pasien
yang termasuk ATS tingkat 2 misalnya pasien dengan gangguan airway (misalnya
terdapat stridor, gangguan pernapasan berat), kulit lembab, perfusi buruk, HR <
50 atau > 150 (dewasa), hipotensi, kehilangan darah yang parah, nyeri dada (chest
pain), nyeri berat, penurunan kesadaran (GCS < 13), hemiparese akut, dysphasia,
trauma lokal yang parah (patah pada tulang besar), adanya amputasi, riwayat
resiko tinggi karena sedatif atau terkena zat beracun. Adanya gangguan psikiatri
(misalnya perilaku kekerasan atau agresif, ancaman langsung terhadap diri sendiri
dimulai dalam waktu 30 menit sejak pasien datang. Pasien yang termasuk ATS
banyak, sesak napas sedang, SaO2 90 - 95%, riwayat kejang sebelum datang,
demam, muntah terus-menerus, ada tanda dehidrasi, cedera kepala dengan riwayat
perut tanpa resiko tinggi, cedera sedang pada tubuh (misalnya deformitas, laserasi
berat). Selain kondisi fisik, perubahan perilaku (psikiatri) yang termasuk ATS
tindakan, pasien yang termasuk ATS tingkat 4 misalnya perdarahan ringan, benda
asing di saluran napas tanpa gangguan pernapasan, cedera kepala ringan tanpa
kehilangan kesadaran, nyeri sedang, muntah atau diare tanpa dehidrasi, trauma
fisik ringan (misalnya laserasi), nyeri abdomen tidak spesifik. Pada perilaku
(psikiatri) tidak ada perubahan perilaku yang beresiko yang sifatnya segera
Pasien kategori ATS tingkat 5 adalah kondisi pasien yang tidak mendesak,
dapat menunggu penilaian dan tindakan sampai 2 jam sejak kedatangan. Pasien
yang termasuk ATS tingkat 5 misalnya pasien dengan nyeri ringan, luka-luka
ringan, pasien mau imunisasi. Pada perilaku (psikiatri) dari pemeriksaan, pasien
Pelabelan warna untuk ATS 5 tingkat misalnya warna ungu untuk ATS 1, kuning
untuk ATS 2 dan ATS 3, biru untuk ATS 4 dan 5. Pelabelan warna untuk ATS 3
tingkat yaitu warna merah untuk ATS 1, warna kuning untuk ATS 2, dan warna
dari ATS lima level. ATS modifikasi 1 merupakan dan modifikasi dari ATS 1 dan
merupakan penggabungan dan modifikasi dari ATS 4 dan ATS 5. Modifikasi ini
berdasar standar prosedur operasional triase yang sudah ada. Hasil dari modifikasi
triase tersebut adalah ATS modifikasi tingkat 1 adalah pasien yang mengalami
obstruksi jalan napas atau distres pernapasan berat/henti napas atau adanya
Coma Scale) < 9 atau tidak ada respon nyeri atau kondisi mental yang tidak dapat
dikaji. ATS modifikasi tingkat 2 adalah pasien dengan jalan napas paten atau
distres napas ringan sampai sedang atau gangguan haemodinamik ringan sampai
sedang atau GCS 9-14 atau respon nyeri sedang sampai berat atau kondisi mental
tidak kooperatif. ATS modifikasi tingkat 3 adalah pasien dengan jalan napas paten
atau pernapasan normal atau haemodinamik stabil atau GCS 15 atau tidak ada
nyeri sampai nyeri ringan atau kondisi mental kooperatif. Pada metode triase ATS
modifikasi ini juga diberikan pengkodean warna, yaitu merah untuk tingkat 1,
Semua pasien yang datang di IGD dilakukan triase terlebih dahulu menggunakan
Metode Triase Labeling dan Metode Triase Australian Triage Scale Modifikasi.
Hasil dari penilaian dua metode triase tersebut untuk menentukan tingkat
oleh peneliti. Selain pasien yang datang sudah dalam keadaan meninggal (death
kegawatannya. Pasien dengan DOA tidak dilakukan triase dikarenakan dari kedua
alat ukur triase yang digunakan tidak terdapat penilaian untuk pasien dengan
kondisi tersebut.
instrumen yaitu metode triase labeling dan ATS modifikasi pada saat yang
bersamaan oleh observer yang berbeda. Instrumen metode triase labeling menilai
pasien pada saat dilakukan penilaian terdapat gangguan jalan napas oleh karena
dari 30 kali permenit, adanya gangguan sirkulasi berupa nadi yang tidak teraba,
adanya gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran atau tidak sadar maka
pasien dikategorikan label merah atau gawat darurat yang merupakan prioritas
dimana pada saat pengkajian tidak ada gangguan jalan napas, frekuensi respirasi
kurang dari 30 kali permenit, teraba denyut nadi, dan bisa mengikuti perintah,
maka pasien dikategorikan label kuning atau darurat tidak gawat yang merupakan
prioritas kedua penanganan. Apabila pasien pada saat dilakukan penilaian tidak
ditemukan kondisi yang kritis dimana tidak ada gangguan jalan napas, frekuensi
pernapasan dalam rentang normal, denyut nadi teraba, dan dapat mengikuti
perintah maka pasien dikategorikan label hijau atau tidak gawat dan tidak darurat
Instrumen ATS modifikasi adalah alat ukur triase untuk menilai kepatenan
stimulus nyeri, dan kondisi mental. ATS modifikasi tingkat 1 adalah pasien
prioritas pertama dalam penanganan, dengan kriteria pada saat penilaian yaitu
ditemukan obstruksi jalan napas atau distres pernapasan berat/henti napas atau
(Glasgow Coma Scale) < 9 atau tidak ada respon terhadap rangsang nyeri atau
kondisi mental yang tidak dapat dikaji. ATS modifikasi tingkat 2 adalah pasien
prioritas kedua penanganan, dimana pada saat penilaian triase didapatkan jalan
napas paten atau distres napas ringan sampai sedang atau gangguan
haemodinamik ringan sampai sedang atau GCS 9-14 atau respon nyeri sedang
sampai berat atau kondisi mental tidak kooperatif. ATS modifikasi tingkat 3
adalah pasien prioritas ketiga dalam penanganan, dimana pada saat penilaian
triase didapatkan data jalan napas paten atau pernapasan normal atau
haemodinamik stabil atau GCS 15 atau tidak ada nyeri sampai nyeri ringan atau
sebagai evaluasi apakah penilaian triase awal dari observer sesuai dengan output
atau keputusan penempatan akhir pasien oleh dokter sebagai penanggung jawab
kuning ke rawat inap, dan untuk kategori hijau, pasien dilakukan rawat jalan atau
pulang.
Secara skematik, kerangka pikir penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Dilakukan Triase
Kegawatdaruratan Teridentifikasi
_________ : Diteliti
Sumber : ACEM (2013), Christ, Grossman, Winter, Bingisser & Platz (2010); Mace & Mayer
1. Tidak ada perbedaan hasil pengukuran Metode Triase Labeling dan Metode
kegawatdaruratan pasien.
kegawatdaruratan pasien.
3. Terdapat kesesuaian pada alat ukur Metode Triase Labeling dengan alat ukur
kegawatdaruratan pasien.