Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Instalasi Gawat Darurat

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan bagian dari rumah sakit yang

memberikan pelayanan gawat darurat pada pasien gawat darurat dengan lama

penanganan paling lama 5 menit setelah pasien sampai IGD. Secara organisasi,

IGD adalah organisasi yang terdiri dari multi disiplin, multi profesi dan

terintegrasi, dengan struktur organisasi fungsional yang terdiri dari pimpinan dan

unsur pelaksana yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan terhadap

pasien gawat darurat di IGD (KEPMENKES RI, 2009). Sebagai penyedia

pelayanan kesehatan, maka rumah sakit harus memiliki standar pelayanan gawat

darurat minimal, yang sesuai dengan klasifikasi rumah sakit tersebut, baik dari

jenis pelayanannya, kualifikasi sumber daya manusianya, maupun sarananya.

Jenis pelayanan IGD yang diberikan adalah jenis pelayanan yang sesuai

sesuai dengan kelas rumah sakit. Komponen pelayanan IGD tingkat IV (rumah

sakit kelas A) adalah memberikan pelayanan yang mencakup diagnosis dan

penanganan permasalahan pada air way, breathing, circulation (ABC) dengan

alat-alat yang lebih lengkap termasuk ventilator , penilaian disability, penggunaan

obat, EKG, defibrilasi, observasi HCU (High Care Unit)/ruang resusitasi-ICU

(Intensive Care Unit) serta bedah cito. Pelayanan IGD tingkat III (rumah sakit

kelas B) sama seperti pelayanan pada tingkat IV, namun pada tingkat III tidak
ada pelayanan ICU. Pelayanan IGD tingkat II (rumah sakit kelas C) sama seperti

pelayanan pada tingkat IV, namun pada tingkat II tidak ada ruang resusitasi.

Pelayanan pada IGD tingkat I (rumah sakit kelas D) standar minimalnya adalah

memberikan pelayanan diagnosis dan penanganan ABC serta melakukan

stabilisasi dan evakuasi pasien (KEPMENKES RI, 2009; 2008).

Selain jenis pelayanan yang berbeda untuk setiap tingkat, standar sumber

daya manusianya juga berbeda. Pada tingkat IV, klasifikasi tenaga IGD yang

harus ada adalah dokter subspesialis yang on call untuk semua jenis subspesialis,

sedangkan pada tingkat III, II, dan I tidak ada keharusan adanya dokter

subspesialis. Pada tingkat IV dan III terdapat dokter PPDS yang onsite 24 jam,

sedangkan pada tingkat II dan I tidak ada. Untuk dokter umum plus pelatihan

kegawatdaruratan, misalnya GELS (General Emergency Life Support), ATLS

(Advanced Trauma Life Support) dan ACLS (Advanced Cardiac Life Support)

harus onsite 24 jam pada semua tingkat. Untuk klasifikasi kepala perawat adalah

berlatar pendidikan S1 Keperawatan atau D3 Keperawatan dan sudah mengikuti

pelatihan kegawatdaruratan, misalnya EN (Emergency Nursing), BTLS (Basic

Trauma Life Support) dan BCLS (Basic Cardiac Life Support). Kemudian untuk

tenaga perawat standarnya adalah perawat yang sudah mengikuti pelatihan

Emergency Nursing. Selain itu SDM yang ada di IGD adalah tenaga non medis

meliputi bagian keuangan, keamanan dan ketertiban, dan pekarya yang onsite

untuk semua tingkat (KEPMENKES RI, 2009; 2008).

IGD sebagai penyedia pelayanan gawat darurat memiliki sarana khusus

untuk menunjang operasionalnya. Persaratan sarana terkait triase yaitu adanya


ruang triase dengan kapasitas memuat minimal dua brankar, terdapat kit untuk

pemeriksaan sederhana, terdapat brankar untuk penerimaan pasien, adanya label

pada saat terjadi korban massal atau bencana. Selain itu sarana yang lain di IGD

adalah adanya ruangan untuk tindakan resusitasi, tindakan bedah, tindakan medik,

tindakan bayi dan anak, tindakan kebidanan, serta tersedianya peralatan atau obat-

obatan yang diperlukan (KEPMENKES RI, 2009; 2008).

Rumah Sakit Islam PKU Muhammadiyah Pekajangan merupakan rumah

sakit kelas C. Kemampuan IGD RSI Pekajangan berdasarkan sumber daya, jenis

pelayanan, dan sarana pendukung sesuai dengan standar pelayanan IGD tingkat

II. Jumlah sumber daya tenaga keperawatan yang ada di IGD RSI Pekajangan

adalah sebanyak 13 orang perawat dengan kualifikasi pendidikan Diploma III

Keperawatan dan 100 % sudah memiliki sertifikat wajib yang harus dimiliki

perawat emergensi, yaitu sertifikat pelatihan kegawatdaruratan baik pelatihan

pertolongan pertama gawat darurat (PPGD), basic life support (BLS), maupun

basic trauma cardiac life support (BTCLS), dan sebagian memiliki sertifikat

pelatihan tambahan terkait kegawatdaruratan. Jumlah sumber daya tenaga dokter

umum di IGD RSI Pekajangan adalah sebanyak 11 orang, dan juga sudah

memiliki sertifikat wajib tentang kegawatdaruratan, yaitu sertifikat pelatihan

advanced trauma life support (ATLS), maupun advanced cardiac life support

(ACLS), dan sebagian memiliki sertifikat pelatihan tambahan terkait

kegawatdaruratan dan patient safety. Kemudian sumber daya untuk tenaga dokter

spesialis on-call yaitu anastesi, bedah saraf, bedah onkologi, bedah umum,
ortopedi, obsgyn, urologi, anak, THT, saraf, kesehatan jiwa, radiologi, mata,

penyakit dalam, kulit dan kelamin, patologi klinik, dan patologi anatomi.

Kemampuan yang dimiliki IGD RSI Pekajangan dalam memberikan

pelayanan yaitu kemampuan dalam menegakkan diagnosis dan menangani

permasalahan pada gangguan jalan napas (airway problem), pernapasan

(breathing problem), dan sirkulasi pembuluh darah (circulation problem),

penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi serta bedah cito. Ruang

IGD terdiri dari bed untuk triase, resusitasi, tindakan bedah, non bedah, bedah,

anak, dan untuk observasi. Dalam melayani pasien gawat darurat, IGD ditunjang

bagian pelayanan terkait lainnya yaitu ruang operasi, intensive care unit (ICU),

farmasi, laboratorium, radiologi, dan rawat inap. Selain ruang operasi, semua

fasilitas pelayanan pendukung dan pemeriksaan penunjang tersebut tersedia on-

site selama 24 jam.

IGD RSI Pekajangan dalam menentukan prioritas pelayanan kepada pasien

berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pasien setelah dilakukan triase. Prosedur

dalam pelaksanaan triase yaitu dokter dibantu perawat melakukan anamnesa

secara cepat terhadap keluhan pasien. Menilai ABC (airway, breathing,

circulation) secara cepat. Memberikan kode warna triase dengan ketentuan hijau

(pasien tidak gawat dan tidak darurat), kuning (pasien gawat tidak darurat), merah

(pasien gawat darurat), hitam (pasien meninggal). Pada kondisi-kondisi tertentu

(penanganan bencana), triase menggunakan bendera triase. Dokter menangani

pasien sesuai dengan urutan kode warna yang telah diberikan, melakukan asuhan

klinis meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila


perlu. Pada pasien yang memerlukan observasi sebelum dipindah dari IGD, maka

dilakukan observasi sesuai dengan prosedur yang ada. Pasien berdasarkan skala

triasenya dibawa (ditempatkan atau disposisi) dalam waktu maksimal empat jam

ke ruang rawat inap, ICU, kamar operasi, atau kamar jenazah. Merah ke kamar

operasi, ICU, VK, Ruang Perinatologi. Kuning ke rawat inap, hitam ke kamar

jenazah. Pasien rawat jalan (triase hijau) diberikan resep obat untuk tiga hari dan

dianjurkan supaya pasien kontrol di poli umum (Standar Prosedur Operasional

Triase IGD RSI Pekajangan, 2013).

Menurut Kartikawati (2011) terdapat beberapa pengertian yang berkaitan

dengan kegawatdaruratan. Pasien gawat darurat adalah pasien yang tiba-tiba

dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya dan atau

anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan

secepatnya, misalnya Acute Myocard Infarc. Pasien darurat tidak gawat adalah

pasien yang tidak gawat atau tidak terancam nyawanya tetapi memerlukan

tindakan darurat, misalnya, pasien dengan fraktur. Pasien tidak gawat dan tidak

darurat adalah pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan, tidak

memerlukan tindakan segera, misalnya, pasien TBC kulit, batuk, pilek.

2.1.2 Triage

Triage berasal dari bahasa Prancis “Trier”yang berarti memilah atau

memilih. Konsep triase digunakan pertama kali oleh seorang kepala bedah

bernama Baron Dominique Jean Larrey (1766-1842) pada masa peperangan

tentara Napoleon atau militer Prancis. Proses triase dilaksanakan dengan cara
mengidentifikasi tentara yang mengalami luka-luka dalam peperangan, kemudian

dilakukan pemilahan berdasarkan keparahan cidera dan dilakukan penanganan

atau intervensi medis yang menunjang kelangsungan hidup, untuk kemudian

kembali berperang bila memungkinkan (Ranse & Zeits, 2010; Jenkins et al, 2008).

Konsep triase kemudian diadopsi dan diimplementasikan dalam

penanganan korban bencana dan penanganan pasien di IGD rumah sakit.

Penggunaan label warna digunakan untuk memilah-milah korban atau pasien.

Pelabelan dengan penggunaan warna merah, kuning, hijau dan hitam sesuai

dengan kondisi korban atau pasien (Ministry of Health NSW, 2011).

Prinsip dasar pada triase adalah “Time Saving is Life Saving (respon time

sesingkat mungkin) dan The Right Place at The Right Time, with The Right Care

Provider. Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit

yang mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di IGD untuk

menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang mengancam nyawa.

Tujuan dari triase adalah untuk mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa

pasien, memprioritaskan pasien menurut kondisi keakutannya (morbiditas,

mortalitas, kecacatan), menempatkan pasien sesuai dengan keakutannya

berdasarkan pada pengkajian yang tepat dan akurat, serta menggali data yang

lengkap tentang keadaan pasien (Kartikawati, 2011; Russell, 2011).

Kecepatan dan keakuratan proses triase memerlukan perawat emergensi

dengan kualifikasi, pendidikan dan berpengalaman. ENA (Emergency Nursing

Association) menyarankan pendekatan sistem triase dilakukan tidak lebih dari 5

menit. ENA merekomendasikan perawat triase adalah perawat yang mempunyai


kapasitas/kompetensi, yaitu perawat terregristrasi dengan pengalaman minimal 6

bulan di emergensi, pendidikan triase secara formal, verifikasi ACLS (advanced

cardiac life support), pelatihan verifikasi ENPC (emergency nursing pediatric

course), pelatihan verifikasi keperawatan trauma, bersertifikasi keperawatan

emergensi, mempunyai ketrampilan komunikasi yang efektif dan kemampuan

kerjasama kolaboratif, mempunyai kemampuan menggunakan proses keperawatan

secara efektif, mempunyai kepribadian yang fleksibel dan mudah beradaptasi

terhadap perubahan, role model dan representatif dari rumah sakit, mempunyai

ketrampilan dalam mengambil keputusan (Gilboy, 2005). Kriteria lain sebagai

perawat triase terkait konsistensi dalam menilai dan menentukan tingkat triase

pasien, menurut Health Policy Priorities Principal Committe (2011) diperlukan

perawat dengan pengalaman di emergensi selama 5-10 tahun.

Menurut ENA (2011), triase dalam perawatan darurat merupakan proses

yang berhubungan dengan pengumpulan informasi pasien dan proses pengambilan

keputusan untuk mengkategorikan dan memprioritaskan perawatan pasien. Selain

lama kerja dan pengalaman di perawatan darurat diperlukan kompetensi agar

mendapatkan hasil triase yang akurat. Selain kompetensi tersebut di atas, ENA

menambahkan kompetensi yang dimiliki oleh perawat triase adalah program

pendidikan Cardio Pulmonary Rescucitation (CPR) dan standar Advanced Life

Support (ALS), kedaruratan geriatrik, kemampuan memberikan pendidikan

selama proses triase, kemampuan bekerja di bawah tekanan stres yang intens dan

fluktuatif, ketrampilan berfikir kritis, kemampuan yang tepat dalam


mendelegasikan tanggung jawab, kemampuan untuk melakukan wawancara

singkat dan terfokus.

Hasil yang didapat dari wawancara atau pengumpulan informasi dari

pasien harus didokumentasikan oleh perawat triase. ACEM (Australasian College

for Emergency Medicine) menyebutkan bahwa standar dokumentasi yang

dibutuhkan dalam triase mencakup waktu dan tanggal pengkajian triase, nama

perawat triase, keluhan utama, riwayat kesehatan yang sesuai, kategori triase,

triase ulang kategori triase, pengkajian dan penentuan lokasi penanganan, serta

perkiraan pemeriksaan diagnostik dan intervensi (Departement of Health and

Ageing-Australian, 2007). Hal serupa terkait pendokumentasian triase juga

dijelaskan oleh Gilboy (2010), yaitu bahwa secara umum data yang harus

didokumentasikan antara lain waktu kedatangan pasien dan waktu pelaksanaan

triase, identitas pasien minimal dua (nama pasien, tanggal lahir, atau nomor

rekam medis), keluhan utama, pengkajian data subyektif dan data obyektif, tanda-

tanda vital pasien, tingkat triase, perkiraan intervensi, pengkajian nyeri dan tanda

tangan perawat triase.

Terdapat populasi khusus yang harus diperhatikan dalam triase, yaitu

pasien pediatrik, pasien geriatrik dan pasien psikiatrik. Pada pasien pediatrik

perawat triase harus mengetahui tentang pertumbuhan dan perkembangan yang

normal untuk mengidentifikasi penyimpangan dari kondisi normal. Pada pediatrik

perlu pemeriksaan komprehensif meliputi keadaan umum (general impression),

kerja fungsi pernapasan (work of breathing), dan sirkulasi kulit (circulation to

skin), selain itu juga perlu pengkajian riwayat penyakit atau kesehatan pasien dan
pemeriksaan fisik (Gilboy, 2010; Mace & Mayer, 2008). The Western Australian

Centre for Evidence Informed Healthcare Practice (2011) memaparkan bahwa

penyakit serius pada anak-anak kemungkinan tidak diketahui karena informasi

riwayat kesehatan yang kurang, manifestasi tanda dan gejala yang tidak spesifik,

dan mungkin tidak kooperatif selama pemeriksaan. Terdapat berbagai penelitian

dari masing-masing jenis triase terkait validitas dan reliabilitas triase pada

populasi anak. Salah satunya adalah reliabilitas dari Australasian Triage Scale.

Van Veen dan Moll (2009) dalam reviewnya tentang validitas dan reliabilitas

sistem triase di pelayanan emergensi untuk pediatrik menjelaskan bahwa

reliabilitas pada Australasian Triage Scale menunjukkan tingkat rendah sampai

sedang (poor to moderat) dengan nilai Kappa dalam rentang 0,2-0,6.

Triase pada pasien geriatrik (usia > 65 tahun) membutuhkan pengkajian

yang lebih cermat. Berdasarkan penelitian, length of stay pasien geriatrik di IGD

lebih lama 20% daripada usia yang lebih muda dan memerlukan sumber daya

rumah sakit lebih banyak. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu interview

yang mungkin sulit karena keluhan yang lebih banyak, pasien mendapatkan

banyak medikasi, adanya efek medikasi terhadap tanda-tanda vital, atau adanya

tanda dan gejala yang tidak sesuai dengan masalah kesehatannya, misalnya

adanya perubahan tingkat kesadaran mungkin sebagai tanda awal karena infeksi

pada sistem perkemihan atau sistem pernapasan (Gilboy, 2010).

Triase pada pasien psikiatrik baik pasien yang baru maupun lama sering

datang ke IGD karena adanya penurunan mekanisme koping. Pasien mungkin

datang sendiri, atau dibawa oleh keluarga, teman, atau polisi. Prioritas utama pada
pasien psikiatrik adalah keamanan staf maupun pasien itu sendiri, apakah pasien

membahayakan dirinya, orang lain atau lingkungan. Pengkajian yang dilakukan

antara lain meliputi mengapa dibawa ke IGD, adakah masalah emosi, adakah

penggunaan obat-obatan, alkohol, berapa lama dan berapa sering, juga pengkajian

adakah halusinasi baik halusinasi pendengaran (auditory), halusinasi perabaan

(tactile), atau halusinasi penglihatan (visual). Selama pengkajian diperhatikan

juga penampilan umum, perilaku, aktifitas motorik, dan cara berbicara apakah

sesuai atau tidak dengan pertanyaan (Gilboy, 2010).

Berbagai jenis metode triase digunakan IGD di dunia dan beberapa

penelitian terkait validitas dan reliabilitas metode triase juga dilakukan. Fernandes

et al (2005), menyatakan bahwa skala triase di IGD yang valid dan reliabel akan

memberikan keputusan yang akurat sehingga aman bagi pasien. Wulp (2010),

juga menyatakan bahwa sistem triase harus reliabel dan valid karena dapat

mempengaruhi keselamatan pasien di IGD, selain itu juga akan tepat dalam

penggunaan sumber daya rumah sakit sesuai dengan kondisi pasien.

Menurut Oman, McLain, dan Scheetz (2008) IGD di dunia sebagian besar

(61%) menggunakan sistem triase tiga tingkat, 6 persen menggunakan triase

empat tingkat, dan 10 persen menggunakan triase lima tingkat, sisanya

menggunakan sistem triase jenis lain, misalnya triase dua tingkat. Gilboy (2005)

menjelaskan pada triase dua tingkat atau triase tipe I pasien dipilah berdasarkan

kondisi sakit atau tidak sakit (“sick” or “not sick”) yang dilakukan oleh

resepsionis atau pemberi pelayanan kesehatan non perawat. Triase dua tingkat

merupakan sistem triase yang paling dasar, karena dalam menentukan kondisi
pasien hanya berdasarkan keluhan utama pasien. Metode triase dua tingkat tidak

sesuai dengan standar praktik keperawatan gawat darurat dari ENA.

Pada triase tiga tingkat atau triase tipe II, pasien diklasifikasikan emergent,

urgent, dan nonurgent. Emergen atau kedaruratan adalah pasien yang memerlukan

resusitasi atau tindakan segera untuk menghindari kematian atau disabilitas

permanen. Urgen merupakan kondisi pasien yang tidak memerlukan tindakan

segera, dimana penanganan sampai dua jam tidak akan menimbulkan kematian

ataupun cacat ekstremitas. Nonurgen adalah kondisi pasien yang aman, yang

dapat menunggu sampai lebih dari dua jam tanpa meningkatkan morbiditas dan

mortalitas (Oman, McLain, & Scheetz, 2008).

Pada triase empat tingkat atau triase tipe III, tingkat 1 adalah pasien

dengan kondisi kritis yang memerlukan tindakan segera karena mengancam

nyawa atau ekstremitas. Tingkat 2 adalah kondisi akut, terdapat perubahan kondisi

yang signifikan, diperlukan tindakan segera mungkin. Tingkat 3 adalah kondisi

urgen, memerlukan tindakan yang tepat. Tingkat 4 adalah nonurgen, dimana

kondisi pasien tidak terdapat resiko yang perlu segera dilakukan penanganan

(Oman, McLain, & Scheetz, 2008).

Mace dan Mayer (2008) menyebutkan bahwa dalam triase empat tingkat

adalah terdiri dari life threatening, emergent, urgent dan nonurgent. Jenis-jenis

triase empat level antara lain Taiwan Triage Scale (TTS), dan Italian Four Level

Emergency Triage System. Penelitian terkait triase empat tingkat yaitu Italian

Four Level Emergency Triage System pernah diteliti oleh Parenti et al (2010).

Kesimpulan dari penelitian menunjukkan hasil yang baik untuk reliabilitas antar
penilai dan Italian Four Level Emergency Triage System mempunyai akurasi

dalam memprediksi pasien untuk dirawat berdasarkan kode triasenya.

Pada triase lima tingkat (juga termasuk triase tipe III), diperlukan waktu

penanganan sejak pasien tiba di IGD dan pengkajian ulang berdasarkan kondisi

pasien. Tingkat 1 adalah pasien kritis, memerlukan penanganan segera, misalnya

pasien henti jantung. Tingkat 2 adalah pasien dengan kondisi tidak stabil,

memerlukan penanganan 5-15 menit, misalnya pasien fraktur mayor. Tingkat 3

adalah kondisi pasien yang tidak stabil, memerlukan penanganan 30-60 menit,

misalnya pasien dengan kasus nyeri abdomen. Tingkat 4 adalah pasien dengan

kondisi stabil, memerlukan waktu penanganan 1-2 jam, misalnya pasien dengan

kasus sistitis. Tingkat 5 adalah pasien rutin yang memerlukan penanganan 4 jam

setelah kedatangan di IGD, misalnya pasien yang akan dilakukan pengangkatan

jahitan luka (Oman, McLain, Scheetz, 2008). Pada pasien dengan penyakit atau

kondisi kritis secara umum ditandai adanya takipnea, takikardia, hipotensi, dan

gangguan kesadaran (misalnya letargi, konfusi, agitasi, atau penurunan tingkat

kesadaran) yang merupakan manifestasi adanya gangguan pada fungsi

pernapasan, kardiovaskuler, dan neurologis (Jevon & Ewens, 2009).

Triase lima tingkat terdiri dari resuscitation/critical, emergent, urgent,

nonurgent, referred/fast track. Pada triase lima tingkat terdapat batasan waktu

untuk penanganan pasien (respon time) pada masing-masing tingkat. Jenis-jenis

metode triase lima level antara lain adalah Australasian Triage Scale (ATS),

Manchester Triage Scale (MTS), Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS), dan
Emergency Severity Index (ESI), (Jones, Marsden, & Windle, 2006; Mace &

Mayer, 2008; Wulp, 2010; Calder & Platz, 2014).

Beberapa penelitian terkait triase lima tingkat tersebut di atas pernah

dilakukan, misalnya triase CTAS oleh Lee et al (2011). Kesimpulan hasil

penelitian tersebut menjelaskan bahwa CTAS adalah alat triase dengan validitas

yang tinggi untuk pasien usia lanjut dan sangat berguna untuk mengkategorikan

tingkat keparahan pasien dan mengidentifikasi pasien usia lanjut yang

membutuhkan intervensi penyelamatan segera. Bullard et al (2008) menjelaskan

bahwa CTAS didasarkan dari ATS dan dikembangkan pada tahun 1990-an oleh

dokter emergensi di New Burnswick, Kanada

Penelitian terkait MTS pernah dilakukan oleh Olofsson, et al (2009).

Kesimpulan dari penelitian menjelaskan bahwa tingginya tingkat over triage dan

under triage untuk kategori triase yang kurang mendesak, menghasilkan validitas

dan reliabilitas yang rendah. Penelitian lainnya oleh Graff, et al (2014).

Kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa MTS dalam versi bahasa

Jerman, merupakan triase yang valid dan reliabel untuk penilaian awal pasien-

pasien emergensi di IGD, hasil penelitian menunjukkan reliabilitas (inter-rater

agreement) antara ahli dan perawat triase hampir sempurna dengan nilai Kappa

0,954. Semakin tinggi prioritas dari MTS, semakin tinggi jumlah kematian (p

<0,0001 / χ2 Test) dan ada perbedaan dalam kelangsungan hidup selama 30 hari di

antara lima kategori MTS (p <0,0001/ log-rank test). Christ et al (2010), Calder

dan Platz (2014) menjelaskan bahwa MTS dikembangkan pada tahun 1997 di

Inggris.
Penelitian terkait triase ESI pernah dilakukan oleh Chi dan Huang (2006).

Penelitian tersebut membandingkan antara Emergency Severity Index (ESI)

dengan Taiwan Triage Scale (TTS). Kesimpulan dari penelitian menyatakan

bahwa prosedur ESI lebih akurat dalam membedakan kegawatan pasien, lama

waktu perawatan pasien di IGD, dan angka rawat inap dari pada TTS. Gilboy et al

(2011) menjelaskan bahwa ESI merupakan sistem triase algoritma 5 tingkat yang

dikembangkan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an oleh dokter IGD

bernama Richard Wuerz dan David Eitl. Tahun 1999 ESI versi 1 diterapkan di dua

rumah sakit pendidikan. Tahun 2000 ESI versi 1 disempurnakan menjadi ESI

versi 2 dan diterapkan di lima rumah sakit, termasuk bukan rumah sakit

pendidikan, Tahun 2001 ESI versi 2 disempurnakan menjadi ESI versi 3,

kemudian disempurnakan lagi menjadi ESI versi 4 atau versi yang terakhir.

2.1.3 Metode Triase Labeling

Konsep triase labeling di IGD dan triase saat bencana (disaster)

merupakan adopsi dari sistem triase militer pada saat perang (Ministry of Health

NSW, 2011). Namun konsep triase di IGD dengan triase disaster ada perbedaan.

Selama disaster dengan sumber daya yang sangat terbatas, pasien dengan

kesempatan sangat sedikit atau tidak ada kesempatan untuk survival tidak

diresusitasi. Sedangkan di IGD, pasien dengan kesempatan hidup yang sedikit

tetap dilakukan resusitasi karena sumber daya yang lebih lengkap (Mace &

Mayer, 2008).
Triase disaster menggunakan kategori merah (most urgent) merupakan

korban yang menjadi prioritas pertama penanganan, kategori kuning (urgent)

merupakan prioritas kedua, hijau (nonurgent, walking wound) sebagai prioritas

ketiga, dan hitam (dead or catastrophic) bukan merupakan prioritas (Mace &

Mayer, 2008). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007)

tentang pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana,

menjelaskan yang termasuk kategori merah misalnya korban yang mengalami

syok, gangguan pernapasan, trauma kepala dengan pupil anisokor, pedarahan

eksternal masif. Kategori kuning misalnya korban dengan resiko syok, fraktur

multipel, fraktur femur atau pelvis, luka bakar luas, gangguan kesadaran, trauma

kepala. Kategori hijau misalnya fraktur minor, luka minor, luka bakar minor.

Kategori hitam adalah korban yang telah meninggal dunia.

Triase labeling IGD atau triase tipe II merupakan jenis triase tiga tingkat,

dimana perawat atau dokter menentukan apakah pasien dimasukkan dalam salah

satu kondisi emergent, urgent atau nonurgent berdasarkan sebatas keluhan utama,

informasi subyektif dan obyektif dari pasien. Dalam triase tipe II untuk

membedakan masing-masing level menggunakan pelabelan dengan warna atau

dengan menggunakan angka. Pelabelan menggunakan warna misalnya warna

merah, kuning dan hijau. Sedangkan pada penggunaan angka, misalnya kategori

1, kategori 2 dan kategori 3 (Gilboy, 2005).

Pasien dengan label merah merupakan pasien yang membutuhkan tindakan

segera atau prioritas pertama penanganan di IGD karena adanya kondisi yang

mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan airway, breathing, circulation atau


adanya ancaman serius terhadap nyawa, tubuh atau organ, misalnya pasien dengan

serangan jantung (cardiac arrest), trauma berat, gagal napas (respiratory failure),

trauma mayor abdomen dengan perdarahan hebat, pasien tidak sadar. Diperlukan

respon segera dari tim kesehatan dan perlu penilaian ulang yang kontinyu. Pasien

dengan label kuning adalah pasien prioritas kedua untuk penanganan, dimana

pasien dengan kondisi yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan

penanganan cepat dan tepat. Pasien membutuhkan tindakan segera, tetapi pasien

masih memungkinkan menunggu beberapa jam untuk penanganan, misalnya

pasien dengan nyeri abdomen, fraktur dan batu ginjal. Pasien direkomendasikan

untuk penilaian ulang setiap 30 menit. Pasien dengan label hijau adalah pasien

prioritas ketiga dalam penanganan, karena pasien dengan kondisi tidak kritis,

pasien dapat menunggu pelayanan, misalnya pasien dengan konjungtivitis,

gangguan di tenggorokan, dan penyakit kulit. Pasien direkomendasikan penilaian

ulang setiap 1 sampai 2 jam (Gilboy, 2005; Kartikawati 2011).

2.1.4 Metode Triase Australasian Triage Scale

Australasian Triage Scale atau Australian Triage Scale digunakan di

semua IGD Australia sejak tahun 1994. Setiap tingkat prioritas mempunyai batas

waktu yang sudah ditetapkan yang dievaluasi oleh dokter (Christ, Grossman,

Winter, Bingisser & Platz, 2010). Triase ATS yang sebelumnya adalah National

Triage Scale (NTS) merupakan triase yang dirancang untuk digunakan di IGD

seluruh bagian Australia dan Selandia Baru (Forero, 2012). ATS merupakan

sistem triase internasional yang terdiri dari 5 tingkat. Dimana masing-masing


tingkat, pasien mempunyai batas waktu maksimal untuk mendapatkan penilaian

dan penanganan (respon time) berupa kriteria waktu dalam menit yang harus

dilakukan oleh dokter atau staf triase. Tingkat tersebut terdiri dari tingkat 1-5.

Tingkat 1 adalah resusciation dengan batas waktu 0 menit (immediate) yang

artinya harus segera dilakukan tindakan terhadap pasien. Tingkat 2 adalah

emergency dengan respon time < 10 menit. Tingkat 3 adalah urgent dengan

respon time < 30 menit. Tingkatl 4 adalah semi-urgent dengan respon time < 60

menit. Tingkat 5 adalah nonurgent dengan respon time < 120 menit (Mace &

Mayer, 2008; Fitzgerald et al, 2009; ACEM, 2012).

Pasien kategori ATS tingkat 1 adalah pasien dengan kondisi yang

mengancam jiwa atau beresiko tinggi terjadi perburukan kondisi. Pasien tingkat 1

memerlukan tindakan yang sifatnya segera sejak pasien datang. Pasien yang

termasuk ATS tingkat 1, misalnya pasien dengan cardiac arrest, respiratory

arrest, frekuensi pernapasan < 10x/menit, distres pernapasan berat, tekanan darah

< 80 untuk dewasa atau syok pada anak dan bayi, tidak ada respon atau hanya

berespon terhadap nyeri, GCS <9, kejang terus menerus, hipoventilasi. Pasien

dengan gangguan perilaku berat dengan ancaman tindakan kekerasan langsung

dan membahayakan.

Pasien kategori ATS tingkat 2 adalah pasien dengan kondisi yang dalam

waktu dekat dapat mengancam jiwa. Kondisi pasien dapat memburuk sangat cepat

sehingga berpotensi mengancam jiwa, atau akan terjadi kegagalan sistem organ

jika tidak dilakukan tindakan dalam waktu 10 menit sejak kedatangan. Pasien

yang termasuk ATS tingkat 2 misalnya pasien dengan gangguan airway (misalnya
terdapat stridor, gangguan pernapasan berat), kulit lembab, perfusi buruk, HR <

50 atau > 150 (dewasa), hipotensi, kehilangan darah yang parah, nyeri dada (chest

pain), nyeri berat, penurunan kesadaran (GCS < 13), hemiparese akut, dysphasia,

trauma lokal yang parah (patah pada tulang besar), adanya amputasi, riwayat

resiko tinggi karena sedatif atau terkena zat beracun. Adanya gangguan psikiatri

(misalnya perilaku kekerasan atau agresif, ancaman langsung terhadap diri sendiri

atau orang lain).

Pasien kategori ATS tingkat 3 adalah jika kondisi pasien berpotensi

membahayakan hidupnya atau mengancam anggota badan, atau dapat

menyebabkan morbiditas yang signifikan, jika penilaian dan tindakan tidak

dimulai dalam waktu 30 menit sejak pasien datang. Pasien yang termasuk ATS

tingkat 3 misalnya pasien dengan hipertensi berat, kehilangan darah cukup

banyak, sesak napas sedang, SaO2 90 - 95%, riwayat kejang sebelum datang,

demam, muntah terus-menerus, ada tanda dehidrasi, cedera kepala dengan riwayat

kehilangan kesadaran, nyeri cukup berat yang membutuhkan analgetik, nyeri

perut tanpa resiko tinggi, cedera sedang pada tubuh (misalnya deformitas, laserasi

berat). Selain kondisi fisik, perubahan perilaku (psikiatri) yang termasuk ATS

tingkat 3 misalnya pasien tampak sangat tertekan, beresiko merugikan diri

sendiri, psikotik akut, gelisah, berpotensi agresif.

Pasien kategori ATS tingkat 4 adalah kondisi pasien yang berpotensi

mengalami perburukan apabila dalam 1 jam tidak dilakukan penilaian dan

tindakan, pasien yang termasuk ATS tingkat 4 misalnya perdarahan ringan, benda

asing di saluran napas tanpa gangguan pernapasan, cedera kepala ringan tanpa
kehilangan kesadaran, nyeri sedang, muntah atau diare tanpa dehidrasi, trauma

fisik ringan (misalnya laserasi), nyeri abdomen tidak spesifik. Pada perilaku

(psikiatri) tidak ada perubahan perilaku yang beresiko yang sifatnya segera

terhadap diri sendiri maupun orang lain .

Pasien kategori ATS tingkat 5 adalah kondisi pasien yang tidak mendesak,

dapat menunggu penilaian dan tindakan sampai 2 jam sejak kedatangan. Pasien

yang termasuk ATS tingkat 5 misalnya pasien dengan nyeri ringan, luka-luka

ringan, pasien mau imunisasi. Pada perilaku (psikiatri) dari pemeriksaan, pasien

secara klinis baik (ACEM, 2013).

Berdasarkan survey didapatkan data bahwa metode triase ATS diadopsi

dan dimodifikasi oleh beberapa rumah sakit di Indonesia untuk diterapkan di

Instalasi Gawat Darurat. Beberapa rumah sakit tetap mempertahankan tingkatan

kegawatan dengan 5 tingkat atau dimodifikasi menjadi 3 tingkat. Modifikasi yang

dilakukan selain jumlah tingkat kegawatan juga pemberian label warna.

Pelabelan warna untuk ATS 5 tingkat misalnya warna ungu untuk ATS 1, kuning

untuk ATS 2 dan ATS 3, biru untuk ATS 4 dan 5. Pelabelan warna untuk ATS 3

tingkat yaitu warna merah untuk ATS 1, warna kuning untuk ATS 2, dan warna

hijau untuk ATS 3.

ATS modifikasi yang akan diterapkan merupakan adopsi dan modifikasi

dari ATS lima level. ATS modifikasi 1 merupakan dan modifikasi dari ATS 1 dan

ATS 2. ATS modifikasi 2 merupakan modifikasi dari ATS 2, ATS modifikasi 3

merupakan penggabungan dan modifikasi dari ATS 4 dan ATS 5. Modifikasi ini

dilakukan dengan pertimbangan untuk mengefektifkan dan mengefesienkan


pelaksanaan triase. Selain itu juga untuk menyesuaikan dengan disposisi pasien

berdasar standar prosedur operasional triase yang sudah ada. Hasil dari modifikasi

triase tersebut adalah ATS modifikasi tingkat 1 adalah pasien yang mengalami

obstruksi jalan napas atau distres pernapasan berat/henti napas atau adanya

gangguan haemodinamik berat/perdarahan tidak terkontrol atau GCS (Glasgow

Coma Scale) < 9 atau tidak ada respon nyeri atau kondisi mental yang tidak dapat

dikaji. ATS modifikasi tingkat 2 adalah pasien dengan jalan napas paten atau

distres napas ringan sampai sedang atau gangguan haemodinamik ringan sampai

sedang atau GCS 9-14 atau respon nyeri sedang sampai berat atau kondisi mental

tidak kooperatif. ATS modifikasi tingkat 3 adalah pasien dengan jalan napas paten

atau pernapasan normal atau haemodinamik stabil atau GCS 15 atau tidak ada

nyeri sampai nyeri ringan atau kondisi mental kooperatif. Pada metode triase ATS

modifikasi ini juga diberikan pengkodean warna, yaitu merah untuk tingkat 1,

kuning untuk tingkat 2, dan hijau untuk tingkat 3.

2.2 KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Kerangka pikir dalam penelitian ini bersumber dari tinjauan pustaka.

Semua pasien yang datang di IGD dilakukan triase terlebih dahulu menggunakan

Metode Triase Labeling dan Metode Triase Australian Triage Scale Modifikasi.

Hasil dari penilaian dua metode triase tersebut untuk menentukan tingkat

kegawatan pasien. Kemudian akan dilihat penempatan (disposisi) pasien

selanjutnya apakah sesuai dengan tingkat atau label triasenya.


Semua pasien yang datang ke IGD Rumah sakit Islam PKU

Muhammadiyah Pekajangan dan ditemukan oleh peneliti dilakukan identifikasi

oleh peneliti. Selain pasien yang datang sudah dalam keadaan meninggal (death

on arrival/DOA), semuanya dilakukan penilaian triase dan ditentukan tingkat

kegawatannya. Pasien dengan DOA tidak dilakukan triase dikarenakan dari kedua

alat ukur triase yang digunakan tidak terdapat penilaian untuk pasien dengan

kondisi tersebut.

Masing-masing responden dilakukan penilaian dengan menggunakan dua

instrumen yaitu metode triase labeling dan ATS modifikasi pada saat yang

bersamaan oleh observer yang berbeda. Instrumen metode triase labeling menilai

kepatenan jalan napas, pernapasan, sirkulasi dan tingkat kesadaran. Apabila

pasien pada saat dilakukan penilaian terdapat gangguan jalan napas oleh karena

adanya obstruksi, adanya gangguan pernapasan berupa frekuensi respirasi lebih

dari 30 kali permenit, adanya gangguan sirkulasi berupa nadi yang tidak teraba,

adanya gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran atau tidak sadar maka

pasien dikategorikan label merah atau gawat darurat yang merupakan prioritas

pertama penanganan. Apabila pasien pada saat dilakukan penilaian terdapat

kondisi yang tidak mengancam nyawa, namun memerlukan tindakan darurat

dimana pada saat pengkajian tidak ada gangguan jalan napas, frekuensi respirasi

kurang dari 30 kali permenit, teraba denyut nadi, dan bisa mengikuti perintah,

maka pasien dikategorikan label kuning atau darurat tidak gawat yang merupakan

prioritas kedua penanganan. Apabila pasien pada saat dilakukan penilaian tidak

ditemukan kondisi yang kritis dimana tidak ada gangguan jalan napas, frekuensi
pernapasan dalam rentang normal, denyut nadi teraba, dan dapat mengikuti

perintah maka pasien dikategorikan label hijau atau tidak gawat dan tidak darurat

yang merupakan prioritas ketiga penanganan.

Instrumen ATS modifikasi adalah alat ukur triase untuk menilai kepatenan

jalan napas, fungsi pernapasan, sirkulasi, tingkat kesadaran, repon terhadap

stimulus nyeri, dan kondisi mental. ATS modifikasi tingkat 1 adalah pasien

prioritas pertama dalam penanganan, dengan kriteria pada saat penilaian yaitu

ditemukan obstruksi jalan napas atau distres pernapasan berat/henti napas atau

adanya gangguan haemodinamik berat/perdarahan tidak terkontrol atau GCS

(Glasgow Coma Scale) < 9 atau tidak ada respon terhadap rangsang nyeri atau

kondisi mental yang tidak dapat dikaji. ATS modifikasi tingkat 2 adalah pasien

prioritas kedua penanganan, dimana pada saat penilaian triase didapatkan jalan

napas paten atau distres napas ringan sampai sedang atau gangguan

haemodinamik ringan sampai sedang atau GCS 9-14 atau respon nyeri sedang

sampai berat atau kondisi mental tidak kooperatif. ATS modifikasi tingkat 3

adalah pasien prioritas ketiga dalam penanganan, dimana pada saat penilaian

triase didapatkan data jalan napas paten atau pernapasan normal atau

haemodinamik stabil atau GCS 15 atau tidak ada nyeri sampai nyeri ringan atau

kondisi mental kooperatif.

Ketepatan atau kesesuaian disposisi pasien atau penempatan pasien

sebagai evaluasi apakah penilaian triase awal dari observer sesuai dengan output

atau keputusan penempatan akhir pasien oleh dokter sebagai penanggung jawab

pelayanan di IGD. Pasien berdasarkan skala triase label merah ditempatkan di


ruang intensif (ICU), kamar operasi, VK, dan Ruang Perinatologi. Kategori

kuning ke rawat inap, dan untuk kategori hijau, pasien dilakukan rawat jalan atau

pulang.
Secara skematik, kerangka pikir penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Pasien datang ke IGD

Dilakukan Triase

Metode Triase Labeling : Australian Triage Scale


Penilaian kepatenan jalan napas Modifikasi:
Penilaian pernapasan Penilaian kepatenan jalan napas
Penilaian sirkulasi Penilaian pernapasan
Penilaian tingkat kesadaran Penilaian sirkulasi
Penilaian tingkat kesadaran
Penilaian respon nyeri
Penilaian kondisi mental

Kegawatdaruratan Teridentifikasi

Metode Triase Metode Triase ATS


Labeling Modifikasi
Merah ATS Modifikasi Tingkat 1
Kuning ATS Modifikasi Tingkat 2
Hijau ATS Modifikasi Tingkat 3

Penempatan Pasien (Disposisi)

Bagan 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

_________ : Diteliti

-------------- : Tidak Diteliti

Sumber : ACEM (2013), Christ, Grossman, Winter, Bingisser & Platz (2010); Mace & Mayer

(2008); SPO Triase IGD RSI (2013)


2.3 HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada perbedaan hasil pengukuran Metode Triase Labeling dan Metode

Triase Australian Triage Scale Modifikasi dalam mengkaji tingkat

kegawatdaruratan pasien.

2. Terdapat hubungan hasil pengukuran Metode Triase Labeling dan Metode

Triase Australian Triage Scale Modifikasi dalam mengkaji tingkat

kegawatdaruratan pasien.

3. Terdapat kesesuaian pada alat ukur Metode Triase Labeling dengan alat ukur

Metode Triase Australian Triage Scale Modifikasi dalam mengkaji tingkat

kegawatdaruratan pasien.

Anda mungkin juga menyukai