Anda di halaman 1dari 14

TUGAS INDIVIDU

KEPERAWATAN KOMPLOMENTER

TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF

MUHAMMAD DYON JUNAEDI SYAHPUTRA

1710053

PRODI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

TAHUN AJARAN 2020


A.  Pengertian Terapi Modalitas

Terapi modalitas merupakan metode pemberian terapi yang menggunakan


kemampuan fisik atau elektrik. Terapi modalitas bertujuan untuk membantu proses
penyembuhan dan mengurangi keluhan yang dialami oleh klien. (Lundry & Jenes, 2009
dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

Terapi modalitas adalah suatu kegiatan dalam memberikan askep baik di


institusi maupun di masyarakat yg bermanfaat dan berdampak terapeutik. Terapi modalitas
adalah suatu sarana penyembuhan yang diterapkan pada dengan tanpa disadari dapat
menimbulkan respons tubuh berupa energi sehingga mendapatkan efek penyembuhan
(Starkey, 2004). Terapi modalitas yang diterapkan pada, yaitu: manajemen nyeri, perawatan
gangren, perawatan luka baru, perawatan luka kronis, latihan peregangan, range of motion,
dan terapi hiperbarik.

Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini di berikan
dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif.
Terapi modalitas mendasarkan potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik
tolak terapi atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk
terapi Keperawatan Komunitas.
 
B.       Jenis-jenis terapi modalitas
Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:

1.    Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan
hubungan individual antara seorang terapi dengan seorang klien. Suatu hubungan yang
terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan
yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan
sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.

Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu


menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan
penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:
a.    Tahapan orientasi.
b.    Tahapan kerja.
c.    Tahapan terminasi.
Tahapan orientasi dilaksanakan ketika perawat memulai interaksi dengan klien. Yang
pertama harus dilakukan dalam tahapan ini adalah membina hubungan saling percaya dengan
klien. Hubungan saling percaya sangat penting untuk mengawali hubungan agar klien
bersedia mengekspresikan segala masalah yang dihadapi dan mau bekerja sama untuk
mengatasi masalah tersebut sepanjang berhubungan dengan perawat. Setelah klien
mempercayai perawat, tahapan selanjutnya adalah klien bersama perawat mendiskusikan apa
yang menjadi latar belakang munculnya masalah pada klien, apa konflik yang terjadi, juga
penderitaan yang klien hadapi. Tahapan orientasi diakhiri dengan kesepakatan antara perawat
dan klien untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan perawat-klien dan
bagaimana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Perawat melakukan intervensi keperawatan setelah klien mempercayai perawat


sebagai terapis. Ini dilakukan di fase kerja, di mana klien melakukan eksplorasi diri. Klien
mengungkapkan apa yang dialaminya. Untuk itu perawat tidak hanya memperhatikan konteks
cerita klien akan tetapi harus memperhatikan juga bagaimana perasaan klien saat
menceritakan masalahnya. Dalam fase ini klien dibantu untuk dapat mengembangkan
pemahaman tentang siapa dirinya, apa yang terjadi dengan dirinya, serta didorong untuk
berani mengambil risiko berubah perilaku dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.

Setelah kedua pihak (klien dan perawat) menyepakati bahwa masalah yang mengawali
terjalinnya hubungan terapeutik telah mereda dan lebih terkendali maka perawat dapat
melakukan terminasi dengan klien. Pertimbangan lain untuk melakukan terminasi adalah
apabila klien telah merasa lebih baik, terjadi peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan,
serta yang lebih penting adalah tujuan terapi telah tercapai.

2.    Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat
menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah
memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada
nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.

3.    Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di mana
gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model konsep yang lain yang
memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan pada jiwa semata, tidak
mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis. Tekanan model medical adalah
pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal
dipercaya akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu.
4.    Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu
mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir
dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat
klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu
memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus
auhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan
kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.
Bentuk intervensi dalam terapi kognitif meliputi mengajarkan untuk mensubstitusi
pikiran klien, belajar penyelesaian masalah dan memodifikasi percakapan diri negatif.

5.    Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai
unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu
melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang
mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2 (kerja),
fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan hubungan saling
percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi ditetapkan bersama. Kegiatan di
fase kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis
berusaha mengubah pola interaksi di antara anggota keluarga, meningkatkan kompetensi
masing-masing individual anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga,
peraturan-peraturan yang selama ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase terminasi di mana
keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani untuk mencapai tujuan terapi, dan
cara-cara mengatasi isu yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan
perawatan yang berkesinambungan.

6.    Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok,
suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok
perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah
meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah
perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja, diakhiri tahap
terminasi.

Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut sebagai fase
orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang diperlukan dalam interaksi,
kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis
dalam fase ini adalah sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok,
meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan memfasilitasi
interaksi di antara anggota kelompok. Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja.

Di fase kerja terapi membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada
keadaan here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota kelompok
melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai tujuan terapi. Fase
kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama kelompoknya melakukan
kegiatan untuk mencapai target perubahan perilaku dengan saling mendukung di antara satu
sama lain anggota kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.

Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan dilibatkan dalam
hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat adalah mendorong anggota kelompok
untuk saling memberi umpan balik, dukungan, serta bertoleransi terhadap setiap perbedaan
yang ada. Akhir dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
7.    Terapi Prilaku
Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat
proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari
perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah:
a.    Role model
b.    Kondisioning operan
c.    Desensitisasi sistematis
d.   Pengendalian diri
e.    Terapi aversi atau releks kondisi

Teknik role model adalah strategi mengubah perilaku dengan memberi contoh
perilaku adaptif untuk ditiru klien. Dengan melihat contoh klien mampelajari melalui praktek
dan meniru perilaku tersebut. Teknik ini biasanya dikombinasikan dengan teknik
kondisioning operan dan desensitisasi.

Kondisioning operan disebut juga penguatan positif di mana terapis memberi


penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif yang telah ditampilkan oleh klien.
Dengan penghargaan dan umpan balik positif yang didapat maka perilaku tersebut akan
dipertahankan atau ditingkatkan oleh klien. Misalnya seorang klien begitu bangun tidur
langsung ke kamar mandi untuk mandi, perawat memberikan pujian terhadap perilaku
tersebut. Besok pagi klien akan mengulang perilaku segera mandi setelah bangun tidur karena
mendapat umpan balik berupa pujian dari perawat. Pujian dalam hal ini adalah reward atau
penghargaan bagi perilaku positif klien berupa segera mandi setelah bangun.

Terapi perilaku yang cocok untuk klien fobia adalah teknik desensitisasi sistematis
yaitu teknik mengatasi kecemasan terhadap sesuatu stimulus atau kondisi dengan secara
bertahap memperkenalkan/memaparkan pada stimulus atau situasi yang menimbulkan
kecemasan tersebut secara bertahap dalam keadaan klien sedang relaks. Makin lama
intensitas pemaparan stimulus makin meningkat seiring dengan toleransi klien terhadap
stimulus tersebut. Hasil akhirnya adalah klien akan berhasil mengatasi ketakutan atau
kecemasannya akan stimulus tersebut.

Untuk mengatasi perilaku dorongan perilaku maladaptive klien dapat dilatih dengan
teknik pengendalian diri. Bentuk latihannya adalah berlatih mengubah kata-kata negatif
menjadi kata-kata positif. Apabila ini berhasil maka klien sudah memiliki kemampuan untuk
mengendalikan perilaku yang lain sehingga menghasilkan terjadinya penurunan tingkat
distress klien tersebut.
Mengubah perilaku dapat juga dilakukan dengan memberi penguatan negatif. Caranya
adalah dengan memberi pengalaman ketidaknyamanan untuk merusak perilaku yang
maladaptive. Bentuk ketidaknyamanan ini dapat berupa menghilangkan stimulus positif
sebagai “punishment” terhadap perilaku maladaptive tersebut. Dengan ini klien akan belajar
untuk tidak mengulangi perilaku demi menghindari konsekuensi negatif yang akan diterima
akibat perilaku negatif tersebut.

8.    Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat
berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan
bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa
diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.
Prinsip terapi bermain meliputi membina hubungan yang hangat dengan anak,
merefleksikan perasaan anak yang terpancar melalui permainan, mempercayai bahwa anak
dapat menyelesaikan masalahnya, dan kemudian menginterpretasikan perilaku anak tersebut.

C. Konsep Relaksasi Otot Progresif

1. Definisi Relaksasi Otot Progresif

Progressive Muscle Relaxation (PMR) atau teknik relaksasi otot progresif adalah

teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan dan sugesti

(Herodes, 2010 dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Progressive Muscle

Relaxation (PMR) merupakan teknik relaksasi untuk mengaturkan otot yang

dilakukan dengan cara menegangkan otot sementara kemudian kembali diregangkan.

Relaksasi otot progresif dilakukan mulai dari kepala sampai kaki secara bertahap

(Casey & Benson, 2012).


Relaksasi otot progresif merupakan teknik relaksasi yang menggabungkan latihan

nafas dalam dengan kegiatan kontraksi dan relaksasi otot-otot tertentu (Kustanti &

Widodo, 2008 dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

2. Tujuan dan Manfaat Relaksasi Otot Progresif

Tujuan relaksasi otot progresif adalah untuk menurunkan ketegangan otot,

kecemasan, nyeri leher dan punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, dan

laju metabolisme, memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres, membangun

emosi positif, meningkatkan kebugaran, mengatasi spasme otot, mingkatkan

gelombang alfa ke otak dan sebagainya (Herodes, 2010; Alim, 2009; dan Potter, 2005

dikutip Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Relaksasi otot progresif yang merupakan

intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada penderita diabetes mellitus untuk

meningkatkan relaksasi dan pengelolaan diri (Mashudi, 2012). Relaksasi otot

progresif akan membantu mengurangi ketegangan otot dan stress, sehingga

terjadipeningkatan kualitas hidup dan sistem fungsional tubuh (Smeltzer & Bare,

2002 dalam Mashudi, 2011).Stres dan kecemasan yang terjadi secara terus-menerus

memberikan dampak pada tubuh seperti peningkatan aliran darah menuju otot,

ketegangan otot, mempercepat atau pernafasan, dan meningkatkan hormon yang dapat

memicu peningkatan kadar glukosa darah sebagai penyebab terjadinya diabetes

mellitus (Ankrom,2008). Jalur umpan balik yang tertutup antara otot dan pikiran

merupakan respon dari stress yang mengakibatkan ketegangan otot sehingga

mengirimkan stimulus ke otak dan membuat jalur umpan balik (Brown, 1997; Synder

& Lindquist, 2002; Mashudi, 2011). Relaksasi PMR dalam hal ini bekerja dengan

menghambat jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatis

dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran guna memperkuat sikap


positif sehingga rangsangan stress berkurang terhadap hipotalamus (Copsteads &

Banasik, 2000; Mashudi, 2011).

3. Indikasi Relaksasi Otot Progresif

Relaksasi merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat diberikan

perawat dalam proses asuhan keperawatan. PMR dapat diindikasikan pada lansia yang

memiliki gangguan tidur, sering mengalami stress, kecemasan dan mengalami depresi

sehingga dapat memberikan efek rileks untuk meperlancar aliran darah, menurunkan

ketegangan otot dan penurunan hormon yang mengarah pada peningkatan kadar

glukosa darah (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

4. Kontraindikasi Relaksasi Otot Progresif

Hal yang bisa menjadi kontraindikasi dari PMR meliputi cidera akut atau

gangguan kenyamanan pada muskuloskeletal dan penyakit jantung akut (Fritz, 2005).

Selain itu pada lansia yang mengalami keterbatasan gerak seperti tidak bisa

menggerakkan badan dan sedang menjalani perawatan tirah baring (bed rest) tidak

dapat melakukan progressive muscle relaxation (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

5. Hal- hal yang Perlu Diperhatikan dalam Relaksasi Otot Progresif

Dalam melakukan PMR terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan guna

mendapatkan hasil yang efektif yaitu

a. Menegangkan otot tidak dilakukan secara berlebihan karena dapat menciderai

tubuh

b. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat otot-otot relaks selama 20-50 detik

c. Perhatikan juga posisi tubuh. Hindari posisi berdiri dan dianjurkan menutup mata

untuk memberikan suasana lebih nyaman.


d. Menegangkan kelompok otot dua kali tegangan

e. Diawali dari bagaian tubuh sebelah kanan sebanyak dua kali, kemudia bagian

tubuh kiri sebanyak dua kali.

f. Periksa klien apakah benar-benar rileks

g. Instruksi diberikan secara terus menerus

h. Instruksi yang diberikan tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat (Setyoadi &

Kushariyadi, 2011).

6. Pelaksanaan Relaksasi Otot Progresif

Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011), pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif

terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

a. Persiapan

1) Persiapan Lingkungan

Persiapan lingkungan terdiri dari beberapa faktor, diantaranya adalah

mempersiapkan kursi, bantal serta menciptakan lingkungan yang tenang dan

sunyi.

2) Persiapan Klien

a) Menjelaskan tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan terapi serta pengisian

lembar persetujuan

b) memposisikan tubuh klien senyaman mungkin, dapat berbaring dengan

mata tertutup dan menggunakan bantal pada bawah kepala dan lutut atau

duduk di kursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri

c) tidak menggunakan aksesoris seperti kacamata, jam dan sepatu

d) melonggarkan peralatan yang melekat pada tubuh seperti dasi dan ikat

pinggang
b. Langkah-langkah Pelaksanaan Relaksasi Otot Progresif

1) Gerakan 1 : berfungsi untuk melatih otot tangan

a) Tangan kiri digenggam membentuk suatu kepalan, kuatkan kepalan sambil

merasakan ketegangan yang terjadi. Kemudian arahkan klien untuk

melepaskan kepalan dan merasakan relaks selama 10 detik.

b) Ulangi gerakan pada tangan kiri sebanyak dua kali agar klien dapat

membedakan kondisi otot yang tegang dan relaks. Lakukan prosedur yang

sama pada tangan kanan.

2) Gerakan 2 : berfungsi untuk melatih otot tangan bagian belakang. Kedua

pergelangan tangan ditekuk ke belakang sehingga otot tangan bagian belakang

dan lengan bawah menegang, kemudian lepaskan tekukan ke posisi semula

secara perlahan-lahan. Ulangi satu kali lagi.

3) Gerakan 3 : berfungsi untuk melatih otot biseps (otot besar pada pangkal

lengan bagian atas). Kedua tangan digenggam membentuk kepalan, arahkan

kepalan menuju ke pundak sehingga otot biseps akan menjadi tegang. Ulangi

satu kali lagi.

4) Gerakan 4 : berfungsi untuk melatih otot bahu supaya mengendur. Kedua bahu

diangkat setinggi-tingginya seakan-akan hampir menyentuh telinga. Perhatian

dipusatkan pada kontras ketegangan yang terjadi pada bahu, punggung atas

dan leher. Ulangi satu kali lagi.

5) Gerakan 5 dan 6 : berfungsi dalam melemaskan otot-otot wajah seperti otot

dahi, mata, rahang dan mulut. Otot dahi digerakkan dengan cara mengerutkan

dahi dan alis sampai otot terasa bahkan kulitnya keriput. Mata dipejamkan

semaksimal mungkin sehingga ketegangan dapat dirasakan dirasakan di

sekitar mata termasuk otot-otot mata. Ulangi satu kali lagi.


6) Gerakan 7 : berfungsi untuk mengendurkan otot–otot rahang. Rahang

dikatupkan bersamaan dengan menggigit gigi sehingga ketegangan terjadi di

sekitar otot rahang.

7) Gerakan 8 : berfungsi dalam mengendurkan otot-otot mulut. Bibir

dimoncongkan semaksimal mungkin sehingga ketegangan dapat dirasakan di

sekitar mulut. Ulangi satu kali lagi.

8) Gerakan 9 : berfungsi untuk merileks otot-otot bagian depan dan belakang

leher. Kepala direbahkan pada sandaran, gerakan dimulai dari otot leher

bagian belakang kemudian otot leher bagian depan. Kepala ditekankan pada

sandaran sehingga dapat dirasakan ketegangan yang terjadi pada leher bagian

belakang dan punggung atas. Ulangi satu kali lagi.

9) Gerakan 10 : berfungsi untuk melatih otot leher bagian depan. Kepala ditekuk,

dagu dibenamkan ke arah dada sehingga ketegangan dapat dirasakan pada

leher bagian depan. Ulangi satu kali lagi.

10) Gerakan 11 : berfungsi untuk melatih otot punggung. Tubuh ditegakkan dari

sandaran, punggung dilengkungkan dan busungkan dada. Kondisi ini (tegang)

dipertahankan 10 detik kemudian lakukan posisi relaks dengan cara

meletakkan kembali tubuh ke sandaran dan membiarkan otot menjadi lemas.

Ulangi satu kali lagi.

11) Gerakan 12 : berfungsi untuk melemaskan otot dada. Lakukan nafas dalam

agar paru-paru terisi udara sebanyak-banyaknya, tahan selama beberapa saat

dengan merasakan ketegangan yang terjadi pada bagian dada dan turun ke

perut, lalu dilepas dengan mengeluarkan udara seperti bernafas biasa. Ulangi

satu kali lagi.


12) Gerakan 13 : berfungsi untuk melatih otot perut. Perut ditarik ke dalam dengan

kuat, tahan sampai kencang dan keras selama 10 detik, lalu lepaskan. Ulangi

sekali lagi.

13) Gerakan 14 dan 15 : berfungsi untuk melatih otot-otot kaki (paha dan betis).

Luruskan telapak kaki sehingga otot paha terasa kencang. Selagi telapak kaki

diluruskan, antara paha dan betis juga diluruskan. Tahan selama 10 detik

kemudian dilepaskan. Ulangi satu kali lagi.

7. Cara Kerja Relaksasi Otot Progresif Terhadap Respon Tubuh

Relaksasi otot progresif memiliki tujuan untuk menurunkan ketegangan otot,

kecemasan, nyeri leher dan punggung, frekuansi jantung, laju metabolik dan tekanan

darah tinggi (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Relaksasi otot progresif dimulai dengan

cara menegangkan otot-otot tertentu selama beberapa waktu, kemudian

merelakskannya secara perlahan. Otot-otot yang menegang tersebut akan mengendur

ketika terjadi proses relaksasi (Ramdani, 2009 dalam Hamarno, 2010). Saat otot-otot

tubuh mengalami proses relaks, maka akan terjadi penurunan aktvitas saraf simpatis

dan peningkatan saraf parasimpatis.

Saraf simpatis dan saraf parasimpatis memiliki mekanisme kerja yang saling

berlawanan (Carlson, 1994 dalam Ramdhani & Putra, 2006 ; Corwin, 2009). Saraf

simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus stress dan berperan penting

dalam memacu organ-organ tubuh, meningkatkan denyut jantung dan frekuensi

pernafasan, terjadinya penyempitan pada pembuluh darah perifer serta pembesaran

pada pembuluh darah pusat saat seseorang mengalami ketegangan dan kecemasan.

Selain itu, saraf simpatis akan menurunkan suhu tubuh, daya tahan kulit dan

menghambat proses digestif dan seksual. Sehingga yang akan terjadi adalah

peningkatan denyut jantung, tekanan darah, jumlah pernafasan, aliran darah ke otot
dan dilatasi pupil. Sedangkan saraf parasimpatis akan menaikkan kembali kinerja

bagian-bagian tubuh yang diturunkan oleh saraf simpatis (Bluerufi, 2009 dalam

Hamarno, 2010).

Tujuan diberikannya relaksasi maka akan terjadi penurunan sistem saraf simpatis

dan peningkatan sistem saraf parasimpatis. Selain itu akan menurunkan metabolisme,

tekanan darah, denyut nadi, konsumsi dan kebutuhan akan oksigen, ketegangan otot

serta laju metabolik. Relaksasi juga akan meningkatkan gelombang alfa otak saat

klien sadar, meningkatkan konsentrasi, mengatasi stressor serta meningkatkan

kebugaran. Relaksasi akan membantu menurunkan efek negatif yang terjadi akibat

stress kronis (Potter & Perry, 2009). Gelombang alfa yang terbentuk akan

menghasilkan hormon endorphin. Hormon tersebut memiliki fungsi serupa narkotika

alami yang akan menciptakan rasa gembira dan mengurangi rasa sakit.

Anda mungkin juga menyukai