Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DEFINISI MANUSIA:
Sosok manusia memang sulit untuk ditafsirkan, dan ketika didefinisikan maka, manusia akan
memiliki arti yang berbeda-beda sesuai sudut pandangnya. Selanjutnya dibawah ini akan
dipaparkan pandangan para tokoh tentang definisi manusia.
Pengantar:
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang bukan tercipata secara kebetulan, manusia
digambarkan dengan berbagai pensifatan, mulai dari makhluk terbaik, mulia, berakal,
kreatif, hingga makluk yang lemah, ombong, ceroboh, bahkan bodoh.
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia adalah perkaitan antara badan dan ruh. Badan
itu bersifat baru, sedangkan ruh bersifat azali. Artinya ruh telah ada dari sejak dahulu,
sendangkan badan manusia adalah baru adanya.
Terlepas dari pendapat di atas itu tadi, sebagai umat islam kita harus meyakini bahwa
definisi tentang manusia hendaklah sesuai dengan al-quran atau hadits. Sebagaimana
berikut.
Menurut al-Qur’an:
Pertama, Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis,
ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Prenatal (sebelum lahir)
proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan
sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. Al Mu’minuun: 12-14)
terjemahannya:Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kamudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan ) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kamudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami
jadikan dia makhluk yang ( berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah Pencipta yang paling
baik ( Al-Mukminun 23 : 12-14 ).
Hadits:
Artinya:Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya 40 hari
dalam bentuk nutfah, kemudian dalam bentuk alaqah seperti itu ( 40 hari) lalu dalam bentuk
mudhghah seperti itu (40 hari), kemudian diutus Malaikat kepadanya lalu Malaikat itu
meniupkan ruh ke dalam tubuhnya ( HR.Bukhari dan Muslim ).
Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena
kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata
lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai
bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di dunia
ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan
akhirnya ajalpun menjemputnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
dalam konsep al-Basyr ni dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan
semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga
dapat tergambar entang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk
biologis. Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai
tuntunan Penciptanya.Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier
Dalam Al Qur’an, ada beberapa konsep berkenaan dengan manusia. Dari ayat-ayat
yang berkenaan dengan manusia, Al-Qur’an menyebut manusia dalam beberapa nama,
berikut adalah penjelasannya:
a. Konsep al-Basyr
Kata al-basyar dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar ke dalam 26 surah.
Secara etimologi, al basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat
tumbuhnya rambut. Menurut quraish shihab, kata basyar terambil dari kata yang pada
mulanya berarti penampakan sesuatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan
berbeda dengan kulit binatang. Di bagian lain dari al-qur’an disebutkan bahwa kata basyar
digunakan untuk menunjukkan proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap
hingga mencapai kedewasaan. Berdasarkan konsep al-basyar, manusia tidak jauh dengan
makluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terkait kepada kaidah prinsip
kehidupan biologis seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangna dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan
makanan dan minuman untuk hidup, juga memerlukan pasangan hidup utuk melanjutkan
generasi penerusnya. Dan akan mengalami fase terakhir yaitu kematian.
.
b. Konsep Al-Insan
Manusia memiliki beberapa term yang dapat digunakan dalam Al Quran seperti
insan/ins/al-nas, basyar dan bani Adam. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan
penelusuran makna term-term tersebut.
1. Makna al-Insan/al-ins/al-nas ( ﺍﻻﻨﺴﺎﻦ- ﺍﻻﻨﺲ- )ﺍﻠﻨﺎﺲ
Kata ﺍﻨﺴﺎﻦ ﺍﻨﺲberakar kata ﺲ ﻦ ﺍins ( )ﺍﻨﺴﺎﻦsegala sesuatu yang berlawanan dengan cara
liar18, tidak biadab, tidak liar, jinak, dinamis, harmonis, dan bersahabat. Kata al-ins ()ﺍﻻﻨﺲ
biasanya berdampingan dengan kata al-jin ()ﺍﻠﺠﻦ. Manusia “al-ins” makhluk yang nampak
secara fisik ini sedangkan jin makhluk yang tidak nampak (metafisik). Metafisik di sini
identik dengan liar atau bebas, karena jin tidak mengenal ruang dan waktu.
Dengan sifat kemanusian itu, manusia berbeda dengan jenis makhluk lain yang metafisis,
yang asing, yang tidak berkembang biak dan tidak hidup seperti manusia biasa.
Dalam Al Quran kata ins ( )ﺍﻨﺲterulang 10 kali, 12 ayat diantaranya berdampingan dengan
kata “jin” (21)ﺠﻦ. Jin adalah jenis makhluk bukan manusia yang hidup di alam antah beranta
dan alam yang terindera. Di balik dinding alam kita manusia dan dia tidak mengikuti
hukum-hukum. Hukum yang dikenal dalam tata kehidupan manusia.
Kata insan ( )ﺍﻨﺴﺎﻦ70 kali, kata: al-nas ( )ﺍﻨﺎﺲterulang 240 kali. Term “al-nas” secara umum
menggambarkan manusia universal netral tanpa sifat. Sifat tertentu yang membatasi atau
mewarnai keberadaannya, sedangkan kata “insan” pada umumnya menggambarkan makhluk
manusia dengan berbagai potensi dan sifat, makna-makna dari akar kata di atas paling tidak
memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni ia
memiliki sifat lupa, kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia juga adalah
makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonis dan kebahagiaan
kepada pihak-pihak lain. Term al-nas ( )ﺍﻠﻨﺎﺲmenggambarkan manusia yang universal netral
sebagai makhluk sosial seperti pernyataan Al Quran QS. Al Hujurat (49): 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal”.
Berbeda dengan kata “al-nas” term “insan” yang secara umum menggambarkan manusia
yang memiliki potensi atau sifat yang beragam, baik sifat positif maupun negatif. Perhatikan
Firman Allah:
QS. Al Alaq (96): 4-5
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
QS. Al Alaq (96): 6
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”.
Pada ayat 4-5 QS. Al Alaq di atas, Allah Swt menegaskan tentang pemberian ilmu melalui
“qalam” (tulisan). Ini merupakan salah satu anugrah terbesar karena dengan tulisan satu
generasi terdahulu dapat mentransfer ilmu dan pengalamannya kepada suatu generasi yang
akan datang kemudian. Sebagai penerima ilmu, manusia (al-insan) ini memiliki potensi dan
sifat positif. Sedangkan ayat 6 QS.Al Alaq tersebut menandakan bahwa manusia juga
memiliki potensi atau sifat negatif yaitu ﻴﻄﻐﻰyakni melampaui batas( )ﺍﻠﺸﻴﺎﻦ ﻔﻰ ﺘﺠﺎﻮﺰﺍﻠﺤﺪ
dengan cara melanggar hukum dan aturan-aturan yang menjerumuskan ke lembah dosa.
c. Konsep Al-Naas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24).Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus
mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak
boleh sendiri-sendiri.Karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Jika kita kembali ke asal
mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan
Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan
terhadap spesis di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan
tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia
dalam konsep an-naas.
d. Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam,
digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya. Dalam Al-
Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat. Penggunaan kata bani
Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga
aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan
Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua,
mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang
mengajak kepada keingkaran.Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta
dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran
sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding
makhluk-Nya yang lain. Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan konsep Bani Adam dalam
bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah
sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya,
yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian
serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada
Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13):
e. Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17
ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin (2003: 28) memaparkan al-Isn
adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan
bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata.
Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak. Sisi kemanusiaan pada manusia
yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak
biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia yang insia itu merupakan
kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar
atau bebas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di
posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. Bersifat halus dan tidak biadab. Jin
adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak
terinderakan.Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup
dan lingkungan yang ada.
f. Konsep Abdu Allah (Hamba Allah)
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki potensi
berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah.Selain itu
kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri. Menurut M.
Quraish memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila
seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1. Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan
berada di bawah kekuasaan Allah.
2. Menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha
untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
3. Dalam mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan
hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah.Yaitu dengan menta’ati
segala aturan-aturan Allah. Sehingga dalam berbagai konsep tersebut manusia
merupakan mahluk hidup yang perlu diberikan suatu tempat sendiri karena dia
merupakan mahluk hidup yang istimewa karena selain memiliki fisik, manusia
memiliki akal, bersosialisasi, dan teratur. Manusia merupakan mahluk ciptaan
Allah yang paling sempurna karena selain memiliki unsur fisik manusia
memiliki akal yang membedakan dengan mahluk hidup lain.
Ringkasnya:
Penyebutan nama manusia dalam Al-Quran tidak hanya satu macam. Berbagai
istilah digunakan untuk menunjukkan berbagai aspek kehidupan manusia,
diantaranya:
Dari aspek historis penciptaannya, manusia disebut dengan Bani Adam
(Q.S. Al-‟Araaf: 31).
Dari aspek biologis, manusia disebut dengan basyar, yang mencerminkan
sifat-sifat fisik kimia –biologisnya (Q.S. Al-Mukminun :33).
Dari aspek kecerdasannya, disebut dengan insan, yakni makhluk terbaik
yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan (Q.S. Ar-
Rahman: 3-4).
Dari aspek sosiologisnya, disebut annas, yang menunjukan sifatnya yang
berkelompok sesama jenisnya (Q.S. Al-Baqarah: 21).
Dari aspek posisinya, disebut ‟abdun (hamba), yang menunjukan
kedudukannya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh kepada-
Nya.
FITRAH MANUSIA
Dalam setiap diri manusia selalu ada pertanyaan yang selalu muncul dalam dirinya yaitu
“dari mana saya datang?”, “apa yang terjadi ketika saya sudah mati?”. Pertanyaan-
pertanyaan ini yang mengakibatkan manusia selalu mencari jawabannya. Mencari
jawaban dan selalu ingin tahu merupakan fitrah manusia yaitu hal yang sudah ada dan
berdasar di dalam hidup manusia. Para ahli teologi Islam mengatakan bahwa fitrah adalah
satu hal yang dibekalkan Allah kepada setiap manusia. Karenanya, ciri-ciri sesuatu
yang bersifat fitri adalah tidak dipelajari, ada pada semua manusia, tidak terkurung oleh
batas-batas teritorial dan masa, dan tidak akan pernah hilang. Hal-hal dasar yang
mengakibatkan manusia sering mencari disebabkan karena menurut Al-Qur’an manusia
terdiri atas:
Terjemahnya: "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat."
(QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka iadiseb ut jiwa
pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan
lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya:
Terjemahnya: "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia
berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah
menegaskan:
Terjemahnya: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas
lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-
Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat
yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifa ercela, dan jiwa
yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa
muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk
surga. Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat
Ketuhanan sebagai sumber moral muli dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu
sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan,
Terjemahnya: "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada
keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
terjemahnya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada
perjuangan baik dan buruk.
2. An nafs (nafsu)
Adapun nafsu (dalam bahasa Arab al-hawa, dalam bahasa Indonesia sering disebut hawa
nafsu) adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Dorongan-dorongan ini sering disebut dengan dorongan primitif, karena sifatnya yang
bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering disebut sebagai
dorongan kehendak bebas. Dengan nafsu manusia dapat bergerak dinamis dari suatu
keadaan ke keadaan lain. Kecenderungan nafsu yang bebas tersebut jika tidak terkendali
dapat menyebabkan manusia memasuki kondisi yang membahayakan dirinya. Untuk
mengendalikan nafsu, manusia menggunakan akalnya sehingga dorongan-dorongan
tersebut dapat menjadi kekuatan positif yang menggerakkan manusia ke arah tujuan yang
jelas dan baik. Agar manusia dapat bergerak ke arah yang jelas, maka agama berperan
untuk menunjukkan jalan yang harus ditempuhnya. Nafsu yang terkendali oleh akal dan
berada pada jalur yang ditunjukkan agama inilah yang disebut an-nafs al-muthmainnah
yang diungkapkan Al-quran:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-
Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, Masuklah ke dalam surga-Ku (Al-Fajr:27-
30).
Dengan demikian manusia yang utuh adalah manusia yang mampu menjaga potensi yang
dimilikinya dan mampu mengelola dan memadukan potensi akal, qalbu, dan nafsunya
secara harmonis. Konsep manusia utuh dipakai untuk menggambarkan manusia yang
menuruti hukum-hukum Allah secara keseluruhan, dilandasi dengan berserah diri, tunduk
dan ikhlas kepada Allah.
3. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata jadian „Aqala Ya‟qilu-Aqlan, yang secara
etimologi berarti mengikat atau menahan, mengerti dan membedakan. Dari pengertian ini
kemudian dihubungkan bahwa akal adalah merupakan daya yang terdapat dalam diri
manusia yang dapat manahan atau mengikat pemiliknya dari perbuatan buruk dan jahat.
Demikian pula dihubungkan bahwa akal adalah merupakan salah satu unsur yang
membedakan manusia dari makhluk (khususnya binatang) karena akal itu dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Kata akal sudah dipakai dalam bahasa Indonesia dengan arti yang umum yaitu pikiran. Ini
berarti pikiran identik dengan akal. Tetapi untuk membedakan pikir dengan akal maka
dikatakan bahwa akal adalah substansi yang bisa berpikir. Jadi pikir adalah merupakan cara
kerja dari pada akal itu sendiri. Dalam hal ini akal dapat diidentikkan dengan kata ratio.
Tetapi sebagian penulis membedakan antara pikiran dengan akal. Pikiran (rasio) adalah
merupakan salah satu dari dua unsur atau bagian yang menjadi kelengkapan akal. Bagian
lainnya adalah rasa. Dengan kata lain akal mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada
pikiran, karena akal yang lengkap adalah merupakan jalinan atau perpaduan dari pikir dan
rasa, meskipun antara pikir dan rasa terdapat pemisahan yang jelas karena masing-
masingnya berpotensi untuk bekerja sendiri-sendiri.
Bahwa akal bukan semata-semata pikir dapat dibuktikan dari pengertian akal secara
etimologi Arab sebagai kata aslinya, yaitu sebagai alat atau daya untuk
berpikir dan daya untuk menimbang yang baik dan yang buruk. Yang menimbang dan
menentukan yang baik dan yang buruk bukanlah semata-semata pikir, tetapi adalah juga
rasa. Bahkan yang terakhir ini yang lebih dominan. Menurut pendapat ini, kalau kata pikir
disamakan dengan kata rasio dalam bahasa Barat, maka untuk kata akal lebih tepat
digunakan dengan istilah mind, yang mengandung dua unsur yaitu rasio dan rasa.
Sebenarnya tidak perlu dipertentangkan antara kedua pendapat di atas, sebab keduanya tetap
mengakui bahwa dalam diri manusia ada dua unsur atau daya yang mempunyai eksistensi
sendiri yaitu rasio dan rasa. Tetapi untuk tidak mengacaukan pengertian kita selanjutnya,
maka lebih baik ditetapkan konsep kita tentang pengertian akal seperti yang dikemukakan
pada bagian awal di atas, yaitu bahwa akal adalah merupakan salah satu dari dua daya
(potensi) pada rohani manusia yang berfikir dengan menggunakan kepala (otak) sebagai
pusatnya.
Islam mengakui bahwa akal adalah merupakan salah satu alat atau sarana yang sangat
penting bagi manusia. Di samping sebagai alat untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan yang
amat dihajatkan oleh manusia dalam kehidupannya, akalpun merupakan salah satu
persyaratan mutlak bagi adanya taklif atau agama yang dibebankan kepada manusia. Bahkan
diakui bahwa akal adalah merupakan sumber hukum Islam ketiga sesudah Al-Quran dan al-
Hadits yang diistilahkan dengan Ijtihad. Begitu pentingnya kedudukan akal dalam Islam
Sehingga Rasulullah saw bersabda :
....tidak ada agama bagi orang yang tidak mempunyai akal ( HR.Bukhari).
Tetapi perlu ditegaskan bahwa meskipun akal mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat
penting dalam sistim kejadian manusia, namun Islam tidak menganggap bahwa akal ansich
merupakan faktor utama yang menjadikan manusia makhluk termulia dan terbaik. Karena
bagaimanapun juga akal tidak dapat dijadikan sebagai faktor penentu dan dilepaskan bebas
untuk menetapkan kebenaran-kebenaran
tanpa bimbingan dari unsur-unsur lain yang juga telah dianugerahkan kepada manusia
seperti rasa, keyakinan (iman) dan syari‟at (wahyu). Ini disebabkan karna akal itu sendiri
adalah bersifat nisbi atau relatif seperti yang diakui oleh hampir semua ahli Ilmu
Pengetahuan dan falsafah. Dengan demikian penetapan-penetapannyapun tidaklah bersifat
absolut dan daya jangkauannya sangat terbatas. Oleh sebab itu akal harus senantiasa
dibimbing oleh iman dan syariat (wahyu) agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan..
4. Hati (Al-Qalb)
Sedangkan Qalbu berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah,
atau berbalik dan menurut Ibn Sayyidah (Ibn Manzur:179) berarti hati. Musa Asyari
(1992) menyebutkan arti qalbu dengan dua pengertian, yang pertama pengertian kasar
atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak di dada
sebelah kiri, yang sering disebut jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah
pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakekat manusia
yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan dan arif.
Berkenaan dengan qalbu , Rasulullah bersabda:
“Qalbu itu ada empat macam, pertama, qalbu yang bersih, di dalamnya
terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalbu mu‟min; kedua, qalbu
yang hitam terbalik, itulah qalbu orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan
terikat pada bungkusnya, itulah qalbu orang yang munafik; dan keempat,
qalbu yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”
Qalbu akan tetap bersih bila senantiasa dijaga dengan mengikuti tuntunan-
Nya. Namun qalbu juga menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa
nafsu, mengingkari dan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini akan
memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi akibat
godaan syaithan. Adapun qalbu si munafik terikat pada bungkus jasadiyah,
merupakan qalbu yang terlalu mencintai dunia (terikat kepada syahwat jasmaniah);
pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat
hakikatnya, maka ia bisa „menjual‟ agamanya demi kesenangan sesaat.
Karena qalbu-lah yang mampu membedakan antara baik dengan yang buruk, maka fungsi qalbu adalah
sebagai kendali terhadap akal agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kehancuran. Sebelum
akal melangkah kepada suatu putusan , seharusnya ia menunggu apakah keputusan itu sudah sejalan dengan
bisikan hati (qalbu) –nya .
Terjemahnya:“(Yang memiliki sifat-sifat) demikian itu adalah Tuhanmu, tidak ada Tuhan selain Dia,
pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu, Dia tidak
dapat dijangkau oleh daya penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan
Dialah Yang Maha Mengetahui.”(Q.S. Al An’aam: 102)
MANUSIA PERTAMA
Saat Allah SWT merencanakan penciptaan manusia, dan saat itulah Allah mulai bercerita tentang asal-
usul manusia, oleh sebab itu Malaikat Jibril sangat khawatir karena takut manusia akan berbuat kerusakan
di muka bumi. Dengan demikian ayat itu diabadikan didalam kitab suci al-Qur‟an yang berbunyi:
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya, Aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. Al-Hijr, :15 28-29).
Firman inilah yang membuat malaikat bersujud kepada manusia, sementara Iblis tetap dalam
kesombongannya dengan tidak melaksanakan firman Allah. Inilah dosa yang pertama kali dilakukan
oleh makhluk Allah yaitu kesombongan. Karena kesombongan tersebut Iblis menjadi makhluk paling
celaka dan sudah dipastikan masuk neraka. Kemudian Allah menciptakan Hawa sebagi teman hidup
Adam. Allah berpesan pada Adam dan Hawa untuk tidak mendekati salah satu buah di surga, namun
Iblis menggoda mereka sehingga terjebaklah Adam dan Hawa dalam kondisi yang menakutkan. Allah
menghukum Adam dan Hawa sehingga diturunkan kebumi dan pada akhirnya Adam dan Hawa bertaubat.
Allah yang maha pengasih dan maha penyayang menerima Taubat mereka. Namun, demi kemuliaan
Allah SWT Adam dan Hawa pun tetap diturunkan ke muka bumi dan menetap di sana. Adam adalah
ciptaan Allah yang memiliki akal sehingga memiliki kecerdasan, bisa menerima ilmu pengetahuan dan
bisa mengatur kehidupan sendiri. Inilah keunikan manusia yang Allah ciptakan untuk menjadi
penguasa didunia, untuk menghuni dan memelihara bumi yang Allah ciptakan. Dari Adam inilah cikal
bakal manusia diseluruh permukaan bumi. Melalui pernikahannya dengan Hawa, Adam melahirkan
keturunan yang menyebar ke berbagai benua diseluruh penjuru bumi; menempati lembah, gunung,
gurun pasir dan wilayah lainnya diseluruh penjuru bumi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT
yang berbunyi:
Artinya: Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam; Kami angkut mereka didaratan dan di
lautan; Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. Al-Isra‟, 17 : 70).
Latihan soal:
Jawablah pertanyaan dibawah ini sesuai teori yang ada maupun pendapat anda (tidak diperkenankan
membuka google biasa. Dan diperbolehkan membuka google scholar, dan google book, dan jurnal.)
1. Jelaskan pengertian manusia menurut jujun sri sumantri!
2. Jelaskan secra singkat konsep manusia menurut al-qur’an, an-nas, al-insan, basyar, bani adam !
3. Jelaskan apa tugas dan peran manusia sebagai hamba Allah?
4. Apa yang dimaksud tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi?
5. Sebutkan pengertian manusia menurut anda masing-masing !
Ket: tulislah tugas di kertas kemudian di foto atau boleh juga langsung dalam bentuk tulisan, lalu kirimkan
lewat email di: usyaif96@yahoo.com atau udinusop4@gmail.com (untuk hari ini, perkuliahan tidak dibatasi
waktu, dan pengiriman tugas hingga minggu depan)
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner.
Jakarta: PT. Bumi Aksara
Azra, Prof. Dr. Asyurmudi, dkk. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi dan
Umum. Jakarta : Departemen Agama RI