Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAPAT HUKUM
TENTANG KETENTUAN WANPRESTASI PEMENUHAN COVENANT PT.XXX
OLEH:
ANDRES SETIAWADY, S.H., LL.M. (1350191002)
OKAA KURNIAWAN, S.H., M.H. (13501910046)
PATRICK SIAHAAN, S.H., M.Hum. (13501910047)
RAFISYA FATHANAILA, S.H., LL.M. (13501910043)
Kasus Posisi
1. Bahwa pada tanggal 8 Mei 2018, Komite Pembiayaan LPEI menyetujui permohonan fasilitas
pembiayaan investasi pembangunan kebun kelapa sawit kepada PT.XXX .
2. Bahwa pihak pertama di perjanjian ini merupakan Indonesia Eximbank/Lembaga pembiayaan
ekspor Indonesia, sebuah institusi finansial di bawah pemerintah Indonesia.(selanjutnya
ditulis sebagai “PIHAK PERTAMA”)
3. Bahwa pihak kedua di perjanjian ini merupakan PT.XXX, suatu perusahaan yang bekerja di
sektor perkebunan minyak sawit yang terletak di AAA, Jambi, Indonesia.(selanjutnya ditulis
sebagai “PIHAK KEDUA”)
4. Bahwa persetujuan permohonan fasilitas pembiayaan investasi dibagi menjadi dua yaitu
pembiayaan fasilitas pembiayaan investasi dan Pembiayaan investasi ekspor.
5. Bahwa dalam klausula Fasilitas Pembiayaan Investasi I, PIHAK PERTAMA setuju untuk
menginvestasikan uang sejumlah Rp. 269.000.000.000 (dua ratus enam puluh sembilan
milyar rupiah) kepada PIHAK KEDUA untuk melakukan refinancing kepada kebun PT.XXX
di dalam bagian pembiayaan fasilitas pembiayaan investasi
6. Bahwa dalam klausula Fasilitas Pembiayaan Investasi II, PIHAK PERTAMA setuju untuk
menginvestasikan uang sejumlah Rp.115.000.000.000(seratus lima belas milyar rupiah) untuk
melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit beserta sarana prasarana seluas 2.000 HA
di tanah PT.XXX termasuk pembangunan infrastruktur, perawatan tanaman, dan sarana
prasarana pendukung.
7. Bahwa dalam perjanjian ini, PIHAK KEDUA setuju untuk menjaminkan perkebunan kelapa
sawit beserta infrastruktur pendukung milik PT.XXX seluas 1.463,31 HA yang terletak di
Kecamatan AA, Kecamatan BB, dan Kabupaten CC, dan tanah seluas 7.038 HA milik PT
YYY(entitas yang merupakan pemegang saham pengendali PIHAK KEDUA)
8. Bahwa di dalam perjanjian tersebut, dibuat covenant positif dan negatif di dalam perjanjian
tersebut sesuai dengan pasal 13 syarat dan ketentuan perjanjian pembiayaan syariah lembaga
pembiayaan ekspor indonesia (Indonesia Eximbank)
9. Bahwa pihak PT.XXX sesuai dengan yang sudah disebutkan dalam reminder pemenuhan
covenant oleh Eximbank pada tanggal 14 Juli 2021, belum melaksanakan beberapa covenant
positif (persetujuan) yang sudah dicantumkan di dalam perjanjian permohonan fasilitas
pembiayaan investasi pembangunan kebun kelapa sawit.
10. Bahwa dalam pasal 8 klausula 10 Events of default(cidera janji), PIHAK PERTAMA berhak
menghentikan perjanjian pembiayaan yang telah diadakan dengan PIHAK KEDUA dan
seluruh hutang pembiayaan Nasabah dengan seketika atau pada waktu yang ditentukan oleh
PIHAK PERTAMA dapat ditagih jika kewajiban administratif sebagaimana dicantum di
dalam positive covenant, negative covenant, dan financial covenant tidak dilaksanakan
dengan baik, dan tetap tidak melaksanakan kewajiban tersebut dalam waktu 30(tiga puluh)
hari kalender setelah adanya berita tertulis dari PIHAK PERTAMA.
11. Bahwa berdasarkan Lampiran Surat No.BS.0128/RAS/07/2021 tanggal 14 Juli 2021 PIHAK
KEDUA masih belum memenuhi beberapa klausula covenant di dalam perjanjian yakni:
a. Selama mendapat fasilitas investasi dari (bank) Nasabah belum melakukan
pembukaan rekening penampungan di (bank) dengan pengelolaan rekening yakni:
Wajib memelihara dana minimum dalam rekening; penampungan sebesar minimal
satu kali kewajiban pokok dan bagi hasil; Dana dalam rekening penampungan
digunakan untuk pembayaran kewajiban pokok dan bagi hasil; Setelah melakukan
pembayaran kewajiban pokok dan bagi hasil, kelebihan dana dalam rekening
penampungan dapat digunakan untuk operasional Nasabah.
b. Belum menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit
c. Tidak melakukan penambahan modal dengan bentuk modal disetor yang dibuktikan
dengan akta notariil
d. Belum menyerahkan laporan progress report fisik dan penggunaan dana triwulanan
e. Belum menyerahkan laporan progress perihal pengurusan SHGU atas lahan yang
belum bersertifikat
f. Belum menyerahkan laporan progress pembibitan, pembukaan lahan, penanaman,
pemeliharaan kebun sawit di lahan PT. XXX yang dibiayai oleh LPEI seluas 2.000
g. Belum menyerahkan laporan produktivitas kebun, rekapitulasi pembelian TBS,
persediaan dan piutang format bulanan yang diserahkan setiap triwulan,
selambat-lambatnya 30 hari kalender sejak tanggal laporan.
h. Belum menyerahkan polis asuransi yang telah jatuh tempo.
i. Belum menyerahkan laporan progress perkembangan dalam memperoleh sertifikat
ISPO yang diterbitkan oleh lembaga konsultan sertifikasi yang terdaftar di dalam
komisi lSPO.
j. Belum menyelesaikan Kewajiban membangun plasma seluas 20% dari luas konsesi
hak guna usaha atau kemitraan atau kegiatan usaha produktif untuk masyarakat
sekitar sesuai kondisi wilayah setempat berdasarkan kesepakatan bersama antara
perusahaan dengan masyarakat sekitar dan diketahui gubernur atau bupati/walikota
sesuai kewenangan setiap tahun atau kerjasama bentuk lainnya sesuai permentan No.
98120L3 tentang Pedoman perizinan Usaha perkebunan selambat-lambatnya sebelum
31 Desember 2020.
k. Belum menyerahkan laporan progres penyelesaian, pembangunan luasan koperasi
plasma atau kemitraan atau kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar sesuai
kondisi wilayah setempat berdasarkan kesepakatan bersama antara perusahaan
dengan masyarakat sekitar dan diketahui gubernur atau bupati/walikota sesuai
kewenangan setiap tahun, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender setelah
tanggal 31 Desember tahun berjalan
l. Belum menyerahkan bukti bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahun atas
semua tanah yang diserahkan kepada Kreditur sebagai Jaminan
Permasalahan Hukum
Sumber Hukum
Adapun yang menjadi sumber hukum dalam opini hukum (legal opinion) adalah sebagai berikut:
1. KUHPerdata Pasal 1320
2. Syarat dan Ketentuan perjanjian Pembiayaan Syariah Lembaga pembiayaan Ekspor Indonesia
3. Peraturan Menteri Pertanian Republik indonesia Nomor 11/OT.140/3/2015
4. Undang-Undang Perseroan Terbatas(UU no.40 tahun 2007)
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat
Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
6. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi
Analisis Hukum
Meskipun KUHPerdata yang berlaku di Indonesia sudah terhitung tua, namun eksistensi pasal
1320 dari KUHPerdata akan selalu digunakan sebagai pondasi paling dasar dalam
membentuk suatu perikatan/perjanjian. Keempat syarat yang tercantum pada pasal 1320
sudah sangat baik dalam mengatur mengenai syarat apa yang harus dipenuhi para pihak
apabila mereka ingin melakukan suatu perikatan/perjanjian antara satu dengan yang lainnya.
Dalam sengketa kali ini, yang menjadi perhatian paling utama diantara beberapa syarat dalam
suatu perikatan adalah syarat mengenai “suatu sebab yang halal”. Suatu sebab yang halal
yang dimaksud pada pasal 1320 KUHPerdata adalah syarat yang mengharuskan setiap pihak
untuk beritikad baik ketika hendak melakukan perikatan; contoh: kreditur bersedia membantu
debitur untuk memulai usahanya dengan cara meminjamkan dana tanpa melakukan/membuat
persyaratan pinjaman yang diluar batas kewajaran, debitur dengan sepenuh hati menerima
persyaratan pinjaman dari kreditur dan berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawabnya
membayar pinjaman kembali. Untungnya, tidak ada bentuk tindakan apapun dalam perjanjian
ini yang menggambarkan adanya upaya yang tidak beritikad baik dari kedua belah pihak,
dimana PIHAK PERTAMA bersedia memberikan dana kepada PIHAK KEDUA tanpa ada
klausul perjanjian yang terlihat mencurigakan, serta PIHAK KEDUA yang tampak telah
berusaha untuk memenuhi sebagian tanggung jawabnya bila diperhatikan dari isi reminder
pemenuhan covenant yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA.
Dengan terpenuhinya syarat yang diatur/disebutkan pada pasal 1320, maka sejatinya
perjanjian yang sudah disepakati oleh PARA PIHAK akan mengikat kedua belah pihak.
Segala hal yang tercantum dalam perjanjian tersebut, pada hakikatnya akan menjadi
undang-undang tersendiri bagi PARA PIHAK yang terikat didalamnya. Segala hak bagi
masing-masing yang tercantum pada perjanjian akan menjadi kepemilikan oleh pihak
tersebut, begitu juga segala kewajiban bagi masing-masing pihak yang tercantum dalam
perjanjian akan menjadi tanggung jawab dari setiap pihak untuk dipenuhi.
Di dalam klausula 1 pasal 8 perjanjian ini, dituliskan bahwa selama PIHAK KEDUA
mendapat fasilitas investasi dari PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA harus melakukan
pembukaan rekening penampungan di dengan pengelolaan rekening sebagai berikut:
a. Wajib memelihara dana minimum dalam rekening penampungan sebesar minimal
satu kali kewajiban pokok dan bagi hasil,
b. Dana dalam rekening penampungan digunakan untuk pembayaran kewajiban pokok
dan bagi hasil.
Rekening penampung sendiri bukan hanya berfungsi sebagai tempat dimana PIHAK KEDUA
bisa membayar uang kewajiban mereka, tetapi juga sebagai bentuk kepercayaan antara
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA dimana PIHAK PERTAMA memastikan semua
pembayaran yang dilakukan memang semuanya tidak bermasalah. Bisa dilihat dari perjanjian
ini bahwa PIHAK KEDUA merupakan perusahaan yang cukup besar dan cukup mudah bagi
PIHAK KEDUA untuk mengirimkan satu atau beberapa pegawainya untuk membuat dan
mengelola rekening penampungan di bank yang dikelola oleh PIHAK PERTAMA. Tidak
dibuatnya rekening bank ini mempertanyakan jika PIHAK KEDUA memiliki niat baik atau
tidak dalam perjanjian ini dan menggangap enteng persetujuan yang dibuat.
Dalam sisi material, dengan dibukanya rekening penampungan, maka PIHAK KEDUA
memiliki tempat khusus dimana PIHAK KEDUA bisa membayar uang kewajiban pokok dan
bagi hasil menggunakan rekening penampungan tersebut. Dengan belum dibuatnya rekening
penampungan ini, maka pihak kedua juga tidak melakukan beberapa hal sekaligus, yaitu
tidak membayar kewajiban pokok merek, uang pembagian hasil yang seharusnya dibayar
sesuai dengan perjanjian ini.
Dengan tidak dibayarnya biaya kewajiban pokok dan bagi hasil oleh PIHAK KEDUA, maka
PIHAK PERTAMA berhak untuk menuntut PIHAK KEDUA untuk membayar semua uang
yang seharusnya dibayar PIHAK KEDUA selama jangka waktu PIHAK KEDUA tidak
membayar uang kewajiban mereka, ini perlu diperhitungkan oleh PIHAK PERTAMA,
terutama jika PIHAK PERTAMA ingin menghentikan perjanjian karena ini dan ingin
menagih hutang kepada PIHAK KEDUA, karena uang ini harus ditambah lagi untuk dalam
perhitungan hutang yang harus dibayar PIHAK KEDUA jika PIHAK PERTAMA ingin
menghentikan perjanjian karena ini.
Untuk mengatasi masalah ini, PIHAK PERTAMA harus berunding dengan PIHAK KEDUA
dimana PIHAK PERTAMA harus membayar uang yang seharusnya dibayar PIHAK KEDUA
selama jangka waktu PIHAK KEDUA tidak membayar PIHAK PERTAMA uang bagi hasil
dan kewajiban pokok dan juga mendaftarkan rekening penampung agar hal ini tidak terjadi
lagi.
Di dalam klausula 2 pasal 8 perjanjian ini, PIHAK KEDUA wajib menyampaikan kepada
PIHAK PERTAMA:
1. laporan keuangan tahunan a.n Nasabah yang telah diaudit oleh akuntan publik yang
terdaftar di Bapepam-LK / OJK dan sebagai rekanan LPEI, selambat-lambatnya 180
(seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal penutupan tahun buku
dan mencantumkan nilai pajak. Nyatanya, PIHAK KEDUA tidak menyerahkan
laporan keuangan yang sudah diaudit untuk tahun 2020.
2. Laporan keuangan triwulanan a.n Nasabah yang telah ditandatangani Direksi
masing-masing Perseroan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kalender setelah
akhir periode laporan tersebut. Nyatanya, PIHAK KEDUA tidak menyerahkan
Laporan keuangan inhouse PT. periode Maret 2020, Maret 2021 dan Juni 2021.
3. Hasil penilaian/appraisal oleh appraisal independen yang terdaftar sebagai rekanan
atas fixed assets yang dijaminkan minimal 1 (satu) tahun sekali. Ini suda
dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA.
Guna laporan keuangan sendiri adalah untuk menyediakan informasi tentang kondisi
keuangan
PIHAK KEDUA, dengan tidak dikirimnya laporan keuangan tahunan tahun 2020 yang juga
termasuk laporan keuangan triwulnan bulan Maret 2020, Maret 2021, dan Juni 2021. Ini
membuat PIHAK PERTAMA tidak bisa mengetahui apakah uang bagi hasil yang seharusnya
dikirim PIHAK KEDUA bermasalah atau tidak.
Untuk mengatasi masalah ini, PIHAK PERTAMA juga harus berunding dengan PIHAK
KEDUA, tapi kali ini PIHAK PERTAMA harus melakuakn cross check uang bagi hasil yang
diberikan oleh PIHAK KEDUA dan laporan keuangan yang didapatkan oleh PIHAK
PERTAMA untuk menjaga bahwa tidak ada masalah.
Di dalam klausula 3 pasal 8 perjanjian ini, PIHAK KEDUA wajib menambahkan modal
disetor yang diaktakan berupa penambahan modal sebesar Rp.30.000.000.000(tiga puluh
milyar) menjadi total Rp.170.000.000.000(seratus tujuh puluh milyar) di tahun 2018 dan
penambahan sebesar Rp.30.000.000.000(tiga puluh milyar) pada tahun 2019. Nyatanya,
PIHAK KEDUA tidak melakukan penambahan modal ini sampai tahun 2021.
Untuk menyelesaikan klausula ini, PIHAK PERTAMA harus memaksa PIHAK KEDUA
untuk mengadakan sebuah Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS) untuk menambahkan
modal disetor sebesar Rp.60 milyar sesuai dengan klausul perjanjian. Sebelum RUPS ini
sendiri, PIHAK KEDUA harus menginformasikan semua pemegang saham merka tentang
klausul perjanjian ini sehingga syarat minimal penambahan modal disetor dalam batas
modal dasar bisa tercapai sesuai dengan UUPT(UU no.40 tahun 2007) pasal 42 ayat
2-3 yaitu dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 bagian dari seluruh
jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 bagian dari jumlah
seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar,
dan diberitahukan kepada menteri untuk dicatat dalam perseroan.
5. Laporan Progress Fisik dan Penggunaan Dana Triwulan, Progress Pengurusan SHGU,
dan Progress Pembibitan, Pembukaan Lahan, Penanaman, Pemeliharaan Kebun Sawit
(Patrick)
Terdapat 3 laporan progress yang belum dipenuhi oleh PIHAK KEDUA yang termasuk
kedalam covenant positif Persetujuan Pembiayaan Fasilitas yang dikeluarkan oleh PIHAK
PERTAMA. Masing-masing dari laporan progress tersebut adalah:
a. Laporan Progress Fisik dan Penggunaan Dana Triwulan yang dibuat oleh konsultan
independen
b. Laporan perihal Progress Pengurusan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) atas lahan
yang belum bersertifikat (setiap 3 bulan)
c. Laporan Progress Pembibitan, Pembukaan Lahan, Penanaman, Pemeliharaan Kebun
Sawit (disampaikan secara triwulan, paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir
periode laporan)
Ketiga laporan ini sebenarnya sifatnya cukup mirip, dimana tujuan utama dari laporan ini
adalah untuk memastikan bahwa terdapat kemajuan dalam suatu proses tertentu yang harus
diupayakan oleh PIHAK KEDUA. Ketiga laporan di atas sebenarnya tidak akan
mempengaruhi PIHAK PERTAMA secara langsung, karena sebenarnya pada esensinya
ketiga laporan tersebut adalah laporan-laporan mengenai keadaan yang akan mempengaruhi
produktivitas dari PIHAK KEDUA. Tujuan utama dari PIHAK PERTAMA dalam membuat
covenant ini sepertinya untuk memantau perkembangan usaha yang dikelola oleh PIHAK
KEDUA (yang sebenarnya didanai dari pinjaman yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA),
apakah PIHAK KEDUA melakukan upaya dalam memenuhi tanggung jawabnya yang sudah
diatur dalam covenant itu sendiri.
Meski tidak mempengaruhi PIHAK PERTAMA secara langsung, ketiga laporan progress
tersebut sebenarnya tetap diperlukan demi kepentingan jangka panjang dari PIHAK
PERTAMA sendiri. Hal ini dikarenakan, kelancaran berjalannya perjanjian antara PIHAK
PERTAMA dan PIHAK KEDUA ini akan bergantung pada bagaimana cara PIHAK KEDUA
mengelola dana pinjaman dari PIHAK PERTAMA dan menjadikan dana pinjaman itu sendiri
menjadi pendapatan pagi PIHAK KEDUA yang kemudian kelak akan digunakan untuk
membayar hutang kepada PIHAK PERTAMA. Jumlah yang menjadi hutang dari PIHAK
KEDUA juga bukanlah berjumlah kecil, yakni sejumlah Rp 384.000.000.000 (tiga ratus
delapan puluh empat milyar rupiah), sehingga wajar saja apabila PIHAK PERTAMA ingin
mengetahui perkembangan usaha yang dikelola oleh PIHAK KEDUA.
Sayangnya, PIHAK KEDUA dilaporkan telah lalai dalam memenuhi ketiga covenant positif
yang diminta oleh PIHAK PERTAMA ini. Bahkan bila diperhatikan dari apa yang
tersampaikan pada Reminder Pemenuhan Covenant atas nama PT.XXX No. BS.0128 I RAs I
07 /2027 yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA sudah lalai dalam
menyampaikan laporan ini sejak Juni 2019 hingga Juni 2021, dimana sebenarnya kelalaian
oleh PIHAK PERTAMA ini sudah terjadi sejak laporan pertama yang seharusnya diterima
oleh PIHAK PERTAMA pada Juni 2019, atau paling lambat Juli 2019 (30 hari sejak periode
terakhir laporan) pada laporan progress tertentu.
Kelalaian oleh PIHAK KEDUA ini tentu akan mengkhawatirkan PIHAK PERTAMA yang
menjadi pihak pemberi pinjaman dalam perjanjian ini, karena PIHAK PERTAMA akan
mengalami kerugian apabila PIHAK KEDUA tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya
dalam melunasi hutang yang dimilikinya karena sebenarnya beberapa laporan tersebut
tergolong penting dalam kegiatan produksi PIHAK KEDUA, contohnya Sertifikat Hak Guna
Usaha yang tentunya sangat penting dalam melakukan usaha. Dengan alasan seperti ini
pula-lah PIHAK PERTAMA mungkin membuat covenant yang kemudian disepakati oleh
PIHAK KEDUA.
Untuk mengatasi hal ini, cara yang paling pertama dan yang seharusnya paling efisien bagi
PIHAK PERTAMA adalah dengan cara bernegosiasi terlebih dahulu dengan PIHAK
KEDUA. Negosiasi yang dimaksud bukan berarti PIHAK PERTAMA memohon kepada
PIHAK KEDUA untuk memenuhi beberapa covenant yang belum dipenuhi oleh PIHAK
KEDUA, namun bernegosiasi dengan menekankan bahwa sebenarnya PIHAK PERTAMA
memiliki kekuatan yang lebih dan posisi yang lebih tinggi dibandingkan PIHAK KEDUA
dalam hubungan perikatan mereka. PIHAK PERTAMA dapat menekankan bahwa mereka
tidak bermaksud merusak hubungan perikatan yang mereka punya, dan meminta kepada
PIHAK KEDUA untuk bersikap koordinatif dengan apa yang dituntut oleh PIHAK
PERTAMA sesuai dengan covenant yang telah mereka sepakati.
Sayangnya, apabila memang PIHAK KEDUA tetap tidak menunjukkan itikad baik, PIHAK
PERTAMA dapat melakukan sesuai dengan apa yang tertulis pada pasal VIII dari Persetujuan
Pembiayaan Fasilitas yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA, yakni dengan cara
menghentikan perjanjian pembiayaan ini. Hal ini kemudian akan berujung dengan pelunasan
hutang secara paksa yang akan dialami oleh PIHAK KEDUA, pengembalian dana pinjaman
kepada PIHAK PERTAMA, dan hal ini tentu saja akan menimbulkan resiko pailit bagi
PIHAK KEDUA.
Laporan ini diperlukan oleh PIHAK PERTAMA agar PIHAK PERTAMA mengetahui
bagaimana perputaran kegiatan produksi yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA dalam periode
tertentu (dalam hal ini adalah 3 bulan). Informasi yang diberikan oleh PIHAK KEDUA dalam
laporan triwulan ini akan menjadi informasi yang dapat berguna bagi PIHAK PERTAMA
agar dapat mengetahui apakah sebenarnya kegiatan produksi yang dilakukan oleh PIHAK
KEDUA ini berjalan dengan lancar atau tidak. Dengan demikian, PIHAK PERTAMA dapat
mengambil langkah-langkah tertentu ataupun persiapan apabila ternyata ada masalah dalam
proses produksi yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA. Contohnya: apabila produktivitas
kebun bermasalah, maka PIHAK PERTAMA dapat memberi saran bagi PIHAK KEDUA
bagaimana cara meningkatkan produktivitas kebun tersebut, dengan cara mengganti pupuk
tanaman misalnya.
Kelalaian ini juga seharusnya bisa diselesaikan dengan cara musyawarah terlebih dahulu
sama seperti ketiga laporan sebelumnya, dan apabila memang PIHAK KEDUA mengalami
masalah yang berkelanjutan dalam hal ini, entah karena PIHAK KEDUA gagal dalam
melakukan kegiatan produksinya, atau bahkan apabila PIHAK KEDUA lalai terus lalai dalam
memenuhi pengajuan laporannya (seperti yang sedang terjadi dalam sengketa), PIHAK
PERTAMA dapat mengambil tindakan sesuai yang diatur pada pasal VIII dari Persetujuan
Pembiayaan Fasilitas yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA, yakni dengan cara
menghentikan perjanjian pembiayaan yang mengikat para pihak.
7. PIHAK KEDUA belum menyerahkan polis asuransi yang telah jatuh tempo (Okaa)
Berdasarkan covenant, PIHAK KEDUA belum melakukan perpanjangan atas polis asuransi
yang telah jatuh tempo, dengan memiliki polis asuransi, PIHAK PERTAMA memiliki
jaminan bahwa PIHAK KEDUA akan mengganti kerugian yang mungkin dialami oleh
PIHAK PERTAMA akibat peristiwa yang tidak terduga. Polis asuransi tersebut juga
merupakan bukti otentik yang dapat digunakan untuk mengajukan klaim apabila PIHAK
KEDUA mengabaikan tanggung jawabnya. Dalam kasus ini PIHAK PERTAMA dapat
meminta ganti rugi atas terjadinya perihal tersebut sesuai yang telah disetujui dalam
perjanjian.
Dengan dibukanya rekening penampungan, maka PIHAK KEDUA memiliki tempat khusus
dimana PIHAK KEDUA bisa membayar hutangnya menggunakan rekening penampungan
tersebut. Dengan belum dibuatnya rekening penampungan ini, maka pihak kedua juga tidak
melakukan beberapa hal sekaligus, yaitu tidak membayar kewajiban pokok merek, uang
pembagian hasil yang seharusnya dibayar sesuai dengan perjanjian ini.
Dengan tidak dibayarnya biaya kewajiban pokok dan bagi hasil oleh PIHAK KEDUA, maka
PIHAK PERTAMA berhak untuk menuntut PIHAK KEDUA untuk membayar semua uang
yang seharusnya dibayar PIHAK KEDUA selama jangka waktu PIHAK KEDUA tidak
membayar uang kewajiban mereka, ini perlu diperhitungkan oleh PIHAK PERTAMA,
terutama jika PIHAK PERTAMA ingin menghentikan perjanjian karena ini dan ingin
menagih hutang kepada PIHAK KEDUA, karena uang ini harus ditambah lagi untuk dalam
perhitungan hutang yang harus dibayar PIHAK KEDUA jika PIHAK PERTAMA ingin
menghentikan perjanjian karena ini.
Sebelumnya, mari kita bahas mengenai apa itu Perjanjian plasma terlebih dahulu. Perjanjian
Plasma inti merupakan kemitraan dengan pola inti-plasma. Perjanjian plasma inti ini pun bisa
bervariasi. Pola kemitraan dapat terjadi di mana petani yang tergabung dalam
kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada perusahaan inti;
atau melalui koperasinya; dengan melibatkan bank; atau tidak melibatkan bank; dengan
melibatkan koperasi; atau tidak, dan sebagainya.
Untuk lebih lanjut mengenai kemitraan dengan pola inti plasma diatur dalam dalam UU No.
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (pasal 27) dan PP No. 44 Tahun
1997 tentang Kemitraan.
Menjawab pertanyaan Anda, dalam hal ini perlu dilihat lebih lanjut apa yang Anda sebut
“koperasi sebagai wakil dari para petani plasma”. Menurut hukum koperasi diwakili oleh para
pengurusnya (pasal 30 ayat (2) huruf a UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi). Bentuk
perwakilan antara koperasi dengan petani inti plasma tersebut bisa ada dua kemungkinan,
yaitu:
a. Koperasi selaku kuasa; menandatangani perjanjian mewakili, untuk dan atas nama
anggotanya; atau
b. Koperasi menandatangani perjanjian untuk dan atas nama koperasi itu sendiri, di
mana perjanjian tersebut akan dilanjutkan kepada anggota koperasi, dalam hal ini
para petani plasma.
Dengan demikian, perlu dilihat lebih lanjut dalam perjanjian plasma inti yang dimaksud,
koperasi yang bersangkutan bertindak selaku apa. Untuk mengetahui siapa yang bertanggung
jawab jika terjadi wanprestasi, maka kita perlu melihat pada dua kemungkinan di atas.
Kemungkinan pertama, apabila koperasi bertindak selaku kuasa, maka jika terjadi
wanprestasi, yang ditagih adalah anggotanya, dalam hal ini petani plasma karena merupakan
pihak dalam perjanjian (pemberi kuasa).
Kemungkinan kedua, apabila koperasi bertindak untuk diri koperasi itu sendiri dan setelah itu
akan dilanjutkan kepada anggotanya, maka jika terjadi wanprestasi yang bertanggung jawab
tetap koperasi sendiri.
Dalam perjanjiannya ini juga tertulis bahwa apabila dalam jangka waktu 180 hari sejak
ditandatanganinya SP3 PIHAK KEDUA belum memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
perjanjian pembiayaan yang telah nasabah tanda tangani, maka PIHAK PERTAMA berhak
membatalkan pemberian pembiayaan dan mengakhiri perjanjian pembiayaan.
10. PIHAK KEDUA Belum menyerahkan laporan progres penyelesaian, pembangunan
luasan koperasi plasma atau kemitraan atau kegiatan usaha produktif (Rafisya
Fathanaila)
Berdasarkan covenant yang belum terpenuhi maupun terlanggar yang tertera Reminder
Pemenuhan Covenant atas nama PT.XXX No. BS.0128 I RAs I 07 /2027, PIHAK KEDUA
terbukti belum menyerahkan laporan progres penyelesaian, pembangunan luasan koperasi
plasma atau kemitraan atau kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar sesuai kondisi
wilayah setempat berdasarkan kesepakatan bersama antara perusahaan dengan masyarakat
sekitar dan diketahui gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan setiap tahun,
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal 31 Desember tahun
berjalan. Dalam hal PIHAK KEDUA terbukti tidak memenuhi perjanjian yang ada di
Covenant Positive Pasal 18, menyebabkan ketidaktahuannya atau kurang informasi untuk
PIHAK PERTAMA terkait uang yang telah PIHAK PERTAMA berikan kepada PIHAK
KEDUA. Sehingga, alangkah lebih baik apabila PIHAK KEDUA menyerahkan laporannya
dan menepati perjanjiannya.
Dalam perjanjiannya ini juga tertulis bahwa apabila dalam jangka waktu 180 hari sejak
ditandatanganinya SP3 PIHAK KEDUA belum memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
perjanjian pembiayaan yang telah nasabah tanda tangani, maka PIHAK PERTAMA berhak
membatalkan pemberian pembiayaan dan mengakhiri perjanjian pembiayaan.
11. PIHAK KEDUA Belum Menyerahkan Bukti Bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
(Rafisya Fathanaila)
Berdasarkan covenant yang belum terpenuhi maupun terlanggar yang tertera Reminder
Pemenuhan Covenant atas nama PT.XXX No. BS.0128 I RAs I 07 /2027, PIHAK KEDUA
belum menyerahkan bukti bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahun atas semua
tanah yang diserahkan kepada Kreditur sebagai Jaminan.
Merujuk ketentuan yang tertuang pada Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 12 UU No.12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1994, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro telah menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 78/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat
Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam PMK itu disebutkan, Direktur Jenderal
Pajak (DJP) menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam
hal terdapat PBB terutang dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat
Ketetapan Pajak (SKP) PBB yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo
pembayaran. “STP PBB memuat PBB atau yang tidak atau kurang dibayar ditambah dengan
denda administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan dari PBB yang tidak atau kurang
dibayar,” bunyi Pasal 3 ayat (1) PMK itu, seperti dikutip dari situs Setkab, (19/5).
Denda administrasi sebagai dimaksud, menurut PMK ini, dihitung dari saat jatuh tempo
sampai tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. “STP PBB diterbitkan dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya tahun pajak,” bunyi Pasal 6 PMK itu.
Menurut PMK ini, jumlah PBB yang terutang dalam STP PBB harus dilunasi paling lambat 1
(satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB oleh Wajib Pajak, yaitu tanggal tanda terima
dalam hal STP PBB disampaikan secara langsung, atau tanggal bukti pengiriman dalam hal
STP PBB dikirim melalui pos atau jasa pengiriman lainnya.
Dalam PMK ini juga ditegaskan, jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP PBB yang
tidak dibayar pada waktunya, dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Dengan diterbitkannya PMK ini, maka ketentuan mengenai penerbitan kembali SPPT atau
SKP PBB berdasarkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat
(6), dan ketentuan mengenai tidak dapat diajukannya keberatan terhadap SPPT atau SKP
PBB yang diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana diatur dalam
Pasal 14 ayat (7) dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 253/PMK.03/2014 tentang Tata
Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
“Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 10 PMK
Nomor: 78/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan, yang diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana, pada 13 Mei 2016.
Dalam perjanjiannya ini juga tertulis bahwa apabila dalam jangka waktu 180 hari sejak
ditandatanganinya SP3 PIHAK KEDUA belum memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
perjanjian pembiayaan yang telah nasabah tanda tangani, maka PIHAK PERTAMA berhak
membatalkan pemberian pembiayaan dan mengakhiri perjanjian pembiayaan.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Tidak dipenuhinya
janji dapat terjadi baik karena disengaja atau maupun tidak disengaja atau lalai. Istilah
mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji,
melanggar janji, dan lain sebagainya.
Dapat dilihat di surat lampiran Surat No.BS.0128/RAS/07/2021, sudah jelas bahwa PIHAK
KEDUA telah lalai dalam melaksanakan total 13 kewajiban yang seharusnya dilaksanakan di
dalam covenant perjanjian ini.
Unsur dari kelalaian tersebut bahwa PIHAK PERTAMA selaku kreditur dapat mengajukan
gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 KUHperdata yang berbunyi :
“tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan
dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi
kewajibannya."
Dari contoh di atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa bentuk wanprestasi, sebagai
berikut:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukanya.
Dalam permohonan wanprestasi seseorang lebih ingin meminta pihak yang mengingkari janji
untuk memenuhi kewajiban atau paling tidak mengganti kerugian, dan bunga yang timbul
akibat kelalaian maka dari itu wanprestasi harus didasari atas suatu perjanjian sehingga
kewajiban yang tidak memenuhi syarat akan batal dan akibat dari wanprestasi pihak yang
dirugikan dapat menuntut pemenuhan perikatan, ganti kerugian, pembatalan perikatan,
peralihan resiko, ataupun bayar biaya perkara.
Dengan ini timbul hak dari PIHAK PERTAMA supaya bisa meminta ganti rugi berdasarkan
Pasal 1243 KUHPerdata kepada PIHAK KEDUA. dapun akibat hukum bagi debitur yang
lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu:
a. Menuntut pemenuhan perikatan,
b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik,
menurut pembatalan perikatan,
c. Menuntut ganti rugi,
d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi,
e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
13. Bagaimana dampak pasal VIII tentang Events of Default (Cidera Janji) pada Surat
Persetujuan Pembiayaan Fasilitas PIE Eximbank terhadap penyelesaian sengketa?
(Andres Setiawady)
Bisa dilihat dalam klausul ke 10 pasal ini, dengan lalainya PIHAK KEDUA dalam melakukan
kewajibannya yang diterapkan di klausul covenant , PIHAK PERTAMA sekarang berhak
menghentikan perjanjian pembiayaan yang telah diadakan dengan PIHAK KEDUA dan
seluruh hutang pembiayaan Nasabah dengan seketika atau pada waktu yang ditentukan oleh
PIHAK PERTAMA. PIHAK PERTAMA bisa menagih hutang PIHAK KEDUA secara
langsung atau dengan pada waktu yang ditentukan, kedua ini mempunyai positif dan
negatifnya sendiri yaitu:
Secara alternatif, PIHAK PERTAMA bisa menempuh jalur non litigasi seperti
melakukan musyawarah antara PIHAK PERTAMA dn PIHAK KEDUA ataupun
menempuh jalan litigasi untuk memkasa PIHAK PERTAMA melaksanakan
kewajiban mereka atau membayar hutang jika PIHAK PERTAMA benar-benar ingin
menagih hutang. (Andres)
14. Apakah lebih baik pihak Kreditur menggunakan jalur non litigasi atau litigasi?
(Rafisya Fathanaila)
a. Jalur Non Litigasi
Penyelesaian non litigasi adalah penyelesaian di luar persidangan. Dalam hal ini termasuk
upaya mediasi dan negosiasi. Selain menggunakan arbitrase, penyelesaian sengketa bisnis
non-litigasi juga dapat dilakukan dengan alternatif penyelesaian sengketa (ADR). ADR
adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat
(consensus), yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa atau dengan
bantuan pihak ketiga yang netral. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 10 alternatif
penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat
melalui tata cara yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Lembaga ADR dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:
1. Konsultasi
Konsultasi adalah tindakan pribadi antara pihak tertentu yang sering disebut klien dan pihak
lain yang disebut konsultan. Konsultan ini memberikan pendapatnya kepada klien untuk
memenuhi kebutuhan dan kebutuhan kliennya. Peran konsultan dalam penyelesaian sengketa
tidak dominan, konsultan hanya memberikan pendapat (hukum), seperti yang diminta oleh
kliennya. Kemudian keputusan penyelesaian sengketa akan diambil oleh para pihak sendiri,
walaupun seringkali konsultan diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa yang diinginkan oleh para pihak yang bersengketa.
Seiring dengan perkembangan zaman, konsultasi kini dapat dilakukan secara langsung atau
menggunakan teknologi komunikasi yang ada. Konsultasi dilakukan dengan cara klien
mengajukan sejumlah pertanyaan kepada konsultan. Hasil konsultasi berupa nasehat yang
tidak mengikat secara hukum. Dengan kata lain, nasihat tersebut dapat digunakan atau tidak
oleh klien, tergantung pada kepentingan masing-masing pihak.
2. Perundingan
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), negosiasi diartikan sebagai penyelesaian
sengketa secara damai melalui perundingan antara para pihak yang bersengketa. Dalam
hubungannya dengan penyelesaian sengketa, perundingan merupakan sarana bagi para pihak
yang bersengketa tanpa melibatkan pihak ketiga.
Melalui perundingan tersebut para pihak yang bersengketa akan melakukan proses
pendalaman kembali hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa, dengan
mempertimbangkan situasi yang sama-sama menguntungkan, terutama dengan mewariskan
hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik. Setelah mencapai kesepakatan, poin-poin
penting tersebut kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani dan dilaksanakan
oleh para pihak.
Namun proses negosiasi ini memiliki beberapa kelemahan, seperti ketika posisi para pihak
tidak seimbang, pihak yang kuat akan menekan pihak yang lemah. Selain itu, proses negosiasi
seringkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Yang terakhir adalah ketika pihak terlalu
keras dengan pendiriannya, bisa memakan waktu lebih lama untuk menuntut lagi ke
pengadilan tahap berikutnya.
3. Mediasi
Mediasi adalah intervensi pihak ketiga (mediator) terhadap seorang mediator. Intervensi
tersebut harus dapat diterima, tidak memihak dan netral dengan tujuan membantu para pihak
yang bersengketa mencapai kesepakatan secara sukarela. Rachmadi Usman, dosen dan
penulis beberapa buku tentang hukum, memberikan pengertian mediasi sebagai cara
penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga
(mediator) yang netral dan tidak memihak para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga
disambut sebaik mungkin oleh para pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga dalam proses mediasi ini bertindak sebagai fasilitator, bertugas membantu para
pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalah dan tidak memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan, tidak memiliki wewenang untuk memaksa, tetapi berkewajiban untuk
mempertemukan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga juga harus mampu menciptakan
kondisi yang kondusif, yang dapat menjamin terciptanya kesepakatan antara para pihak yang
bersengketa.
4. Perdamaian
Penyelesaian secara konsiliasi dilakukan melalui satu orang atau lebih atau badan (komisi
konsiliasi) sebagai mediator yang disebut konsiliator. Hal ini dilakukan dengan
mempertemukan atau memberikan fasilitas kepada para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliator berpartisipasi aktif dalam memberikan
solusi untuk masalah yang disengketakan. Konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
Konsiliator dapat memberikan pendapat kepada para pihak tentang masalah yang
disengketakan, tetapi tidak mengikat para pihak.
Demikian upaya penyelesaian sengketa dalam dunia usaha yang dapat ditempuh.
Masing-masing penyelesaian sengketa tersebut, baik secara non litigasi maupun litigasi,
memiliki karakteristik atau karakteristik yang berbeda. Masing-masing metode juga memiliki
kelebihan dan kekurangan. Sehingga para pihak dapat menyesuaikannya, dengan memilih
Penawaran tentang restrukturisasi utang merupakan salah satu pilihan penyelesaian yang
dapat dinegosiasikan oleh kedua belah pihak. Jalur non-litigasi dinilai lebih aman dan
menguntungkan karena adanya win-win solution bagi para pihak. Menurut praktisi hukum
Januar Agung Saputra S.H., M.H., M.M., alangkah lebih baik jika mengutamakan jalur non
litigasi terlebih dahulu dibandingkan jalur litigasi karena adanya sistem win-win solution
yang mengakibatkan para pihak merasa diuntungkan, sehingga tidak adanya gugatan balik
seperti jalur litigasi, dan proses non litigasi ini menjadi lebih cepat dibandingkan melaleuca
proses litigasi.
Berikut adalah cara yang dapat dilakukan untuk melakukan restrukturisasi utang melalui jalur
non litigasi yaitu:
● Rescheduling
Rescheduling adalah upaya untuk memperpanjang jangka waktu dalam pengembalian hutang
atau penjadwalan kembali terhadap hutang debitur pada pihak kreditur. Cara ini biasa
dilakukan dengan memberikan tambahan waktu lagi kepada debitur di dalam melakukan
pelunasan hutangnya.
● HairCut
Hair Cut merupakan potongan atau pengurangan atas pembayaran bunga dan utang yang
dilakukan oleh pihak debitur, Pihak kreditur menyetujui restrukturisasi utang debitur dengan
metode haircut karena untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar jika pihak debitur
tidak dapat membayar hutangnya yang terlampau besar tersebut, misalnya hutang debitur
tersebut tidak dapat lagi terbayar semuanya, jika hal ini sampai terjadi maka pihak kreditur
akan mengalami kerugian yang cukup membawa pengaruh dalam dunia usahanya. Sedangkan
jika dilihat dari pihak debitur, debitur sangat senang karena kewajibannya dapat berkurang
sehingga beban yang harus dikeluarkan perusahaan pun dapat ditekan.
b. Jalur Litigasi
Penyelesaian secara litigasi adalah penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Jalur
litigasi ini dapat dinilai lebih mengancam salah satu pihak karena sifatnya win-lose solution.
Setiap ada pihak yang kalah pada saat litigasi, pasti pihak itu ingin mengajukan lagi ke tahap
pengadilan berikutnya, sehingga jalur litigasi dinilai memakan waktu lebih lama.
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.”
Debitur dinyatakan lalai apabila : (i) tidak memenuhi prestasi (kewajiban), (ii) terlambat
berprestasi (melakukan kewajiban), (iii) berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal
ini wanprestasi baru ada pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada debitur, hal ini
dibutuhkan untuk menentukan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi
kewajibannya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditor.
Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi debitur tidak
diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah :
a. untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn) ;
b. debitur menolak pemenuhan ;
c. debitur mangaku kelalaiannya ;
d. pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht) ;
e. pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos) ; dan
f. debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan
pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan
hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 1267
KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih : memaksa pihak lain
memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga ;
Hak kreditur tersebut dapat secara mandiri diajukan maupun dikombinasikan dengan gugatan
lain, meliputi :
a. Pemenuhan (nakoming) ; atau
b. Ganti Rugi (vervangende vergoeding; schadeloosstelling) ; atau
c. pembubaran, pemutusan atau pembatalan (ontbinding), atau
d. pemenuhan ditambah ganti rugi pelengkap (nakoming en aanvullend vergoeding) ;
atau
e. Pembubaran ditambah ganti rugi pelengkap (ontbinding en aanvullend vergoeding)
Pemenuhan (nakoming) merupakan prestasi (kewajiban) primer sebagaimana yang
diharapkan dan disepakati para pihak pada saat penutupan kontrak. Gugatan pemenuhan
prestasi dimaksud telah tiba waktunya untuk dilaksanakan ;
Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsider.
Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan
lagi maka ganti rugi merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh kreditur. sesuai dengan
ketentuan pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi meliputi Biaya (kosten), rugi (schaden), dan
bunga (interessen).
Oleh karena itu, unsur kerugian dalam hal ini terdiri dari dua unsur, yaitu
(i) kerugian nyata diderita (damnum emergens), meliputi biaya dan rugi; dan
(ii) keuntungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans)
Ganti rugi di sini meliputi ganti rugi pengganti (vergaande vergoeding) dan ganti rugi
pelengkap (aanvullend vergoeding). Ganti pengganti (vergaande vergoeding), merupakan
ganti rugi yang diakibatkan oleh tidak adanya prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditor,
meliputi seluruh kerugian yang diderita sebagai akibat wanprestasi debitur. Sedangkan ganti
rugi sebagai akibat terlambat atau tidak dipenuhinya prestasi debitur sebagaimana mestinya
atau karena adanya pemutusan kontrak.
Dalam hal ini PIHAK KEDUA telah melakukan wanprestasi dengan tidak melakukan
kewajiban (prestasi) melampaui batas waktu yang telah ditentukan, maka sesuai dengan
ketentuan dalam KUHPerdata maka PIHAK PERTAMA berhak untuk dapat mengajukan
upaya hukum Gugatan Wanprestasi.
Kesimpulan
1. Kasus yang terjadi antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA ini telah terbukti tidak
terpenuhinya prestasi (wanprestasi)
2. Sebelum menempuh upaya hukum, PARA PIHAK sebaiknya mencoba untuk menyelesaikan sengketa
dengan cara musyawarah/mediasi terlebih dahulu. PIHAK PERTAMA sebagai kreditur dapat bersabar
dan mencoba untuk bernegosiasi dengan PIHAK KEDUA mengenai hal-hal yang tidak dipenuhi oleh
PIHAK KEDUA dalam covenant yang sudah disepakati. Hal ini mungkin akan membebankan
PIHAK PERTAMA diawal apabila PIHAK KEDUA tidak mau berkoordinasi dengan tuntutan
PIHAK PERTAMA. Namun, apabila PIHAK KEDUA mau berkoordinasi dengan baik, maka kedua
pihak akan sama-sama untung. (Patrick)
3. Disarankan untuk PIHAK PERTAMA untuk melakukan jalur non litigasi terlebih dahulu ketimbang
melalui litigasi, hal ini karena non litigasi memiliki hasil keputusan yang berupa win-win solution
sehingga menguntungkan para pihak. Selain itu, jalur non-litigasi juga lebih praktis, efektif, dan
murah ketimbang jalur litigasi. (Rafisya)
4. Dalam upaya mediasi/musyawarah, penting agar PIHAK PERTAMA juga menyertakan representasi
dari pemegang saham PIHAK KEDUA atau setidaknya menginformasi pemegang saham PIHAK
KEDUA bahwa klausul penambahan modal memerlukan kooperasi pemegang saham dalam
melaksanakan RUPS guna meningkatkan modal.(Andres)
5. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA sehingga merugikan PIHAK PERTAMA,
antara lain yaitu kelalaian melaksanakan 13 kewajiban yang tercantum dalam covenant perjanjian ,
Dokumen-dokumen tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, penerimaan produk oleh PIHAK
PERTAMA yang melewati batas waktu pengiriman yang dijanjikan, Semua jenis tindakan
wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha ini sangat merugikan PIHAK PERTAMA sehingga
pelaku usaha wajib bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami PIHAK PERTAMA dengan
cara memberikan ganti rugi. (okaa)
Penutup
Demikian legal opinion ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,