Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS POTENSI KEARIFAN LOKAL

SULTRA
A. Kalosara, Kearifan Lokal Orang Tolaki Yang Perkokoh Persatuan

kalosara, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki di Sulawesi


Tenggara. Secara harfiah, “kalo” adalah sebuah benda yang berbentuk
lingkaran. Kalosara terdiri atas tiga bagian, yaitu

(1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar,

(2) kain putih sebagai pengalas, dan

(3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem yang berbentuk persegi empat.

Hal ini dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai suatu benda yang
digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, apa pun itu, dengan hukum
adat yang berlaku. Masyarakat juga memercayai bahwa jika benda ini hanya berdiri
sendiri, misalnya tanpa ada kain dan anyaman daun palem, maka itu tidak memiliki
arti dan fungsi adat, kecuali jika ketiganya menyatu dalam suatu tatanan, seperti
dalam adat masyarakat Tolaki Sulawesi Tenggara.

Dalam masyarakat Tolaki, kalosara dipercayai sebagai suatu benda yang


sakral dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Jika terjadi suatu
permasalahan,  seperti kasus bullying, maka bisa diselesaikan dengan jalan kalosara,
dengan ketentuan adat yang berlaku. Caranya, pihak-pihak yang bersangkutan (yang
melakukan kasus bullying) serta keluarganya akan dikumpulkan dan akan dipandu
oleh orang yang di percaya, biasanya ketua suku adat, yang mengerti tentang
adat kalosara tersebut.

Semua pihak akan duduk melingkar sesuai bentuk kalosara, saling berdialog,


dan mengambil jalan perdamaian. Jika ada pihak yang tidak setuju dengan jalan
perdamaian tersebut, maka akan diberlakukan hukum adat yang berlaku di tempat
tersebut. Jika kedua belah pihak yang bersangkutan dalam kasus tersebut adalah
masyarakat suku Tolaki, maka hukum adat yang akan dijatuhkan padanya adalah
dikeluarkan dari suku Tolaki.

Hubungan dengan Materi Ipa yaitu Dengan memanfaatkan tanaman-tanaman


yang ada di alam.

B. Pola Pengelolaan Sumberdaya Pesisir berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Etnis


Tolaki

Wilayah Kecamatan Lalonggasumeeto terletak di jazirah tenggara Provinsi


Sulawesi Tenggara, yang sebagian masyarakatnya menggantungkan hidupnya dari
pengelolaan sumber daya pesisir, seperti aktivitas penangkapan ikan, pengelolaan
rumput laut, budidaya hasil perairan, transportasi, okum parawisata, dan sebagainya.
Etnis Tolaki yang mendiami kecamatan ini adalah etnis okum (pribumi) yang tersebar
merata di seluruh desa-desa pesisir. Pola pengelolaan sumber daya pesisir, selain
mengadopsi nilainilai modernisasi juga masih mempertahankan pola pengelolaan
yang bersumber dari nilai-nilai kearifan okum, antara lain:

 mondonduri,

Mondoduri merupakan aktivitas memancing ikan dengan memanfaatkan rawa,


sungai, dan laut. Aktivitas ini biasa dilakukan secara individu maupun kelompok-
kelompok kecil dengan memanfaatkan waktu senggang atau libur ketika rutinitas
pekerjaan sedang rehat Mondoduri merupakan aktivitas memancing ikan dengan
memanfaatkan rawa, sungai, dan laut. Aktivitas ini biasa dilakukan secara
individu maupun kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan waktu
senggang atau libur ketika rutinitas pekerjaan sedang rehat

 mepuka,
Mepuka adalah aktivitas mencari ikan dengan menggunakan pukat atau
okumg yang biasanya dilakukan di rawa atau sungai sekitar pemukiman
penduduk. Saat ini aktivitas mepuka telah memanfaatkan kawasan perairan laut
dengan menggunakan pukat harimau, yang tidak hanya membinasakan ikan-ikan
kecil dan hasil laut lainnya, namun juga melanggar okum yang berdampak pada
pemidanaan.

 meboso,

Meboso merupakan pola budidaya hasil laut dengan menampung pada suatu
wadah/tempat di sekitar rawa, laut, dan sungai. Tujuannya selain untuk
menampung hasil-hasil tangkapan agar memiliki ukuran yang lebih besar, juga
menjadi katup pengaman konsumsi penduduk di masa paceklik.

 mearano,

Mearano adalah aktivitas penangkapan ikan dengan memanfaatkan rawa-rawa


buatan manusia dan di musim hujan air yang tergenang. Masyarakat etnik Tolaki
biasanya menggali lobang di sekitar lahan perladangan atau area persawahan
untuk menampung air hujan. Air hujan selain berfungsi untuk mengairi sawah dan
tanaman pertanian lainnya, juga digunakan untuk menampung ikan yang dipanen
ketika musim paceklik tiba

 melupai.

Melupai, merupakan tradisi atau kebiasaan turun temurun dengan


memanfaatkan air sungai mengalir atau rawa ukuran besar guna meracuni ikan
dengan menggunakan tuba dari akar-akar pohon yang mengandung racun.
Aktivitas ini marak sekitar tahun 70-an hingga 90-an dan biasanya dijadikan
wahana pertemuan saudara atau para kerabat sambil bergembira dan
bercengkrama mencari/mengambil ikan.

Hubungan dengan materi ipa ( MENJAGA EKOSISTEM MAHKLUK


HIDUP YANG ADA DI PERAIRAN )yaitu Dengan menggunakan cara"
tradisional agar tidak dapat mencemarkan serta merusak ekosistem mahkluk hidup
yang ada di laut ataupun di sungai-sungai tampa adanya zat-zat Kimia dll.
C. Tatian Lulo

Tarian lulo atau malulo merupakan tarian yang identik dengan Sulawesi
Tanggara. Pada awalnya tarian ini merupakan tarian sakral dan penuh filosofis.

Akan tetapi, dalam perkembangannya Malulo sekarang sudah menjadi tarian


pergaulan atau tarian rakyat yang biasanya dilakukan secara spontan pada setiap
acara-acara pesta ataupun acara yang dilaksanakan oleh instansi atau organisasi.
REFERENSI

Tarimana, Abdurrauf. (1995). Kalosara sebagai Fokus Kebudayaan Suku Tolaki.


Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai