Anda di halaman 1dari 12

Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 47 ISSN : 1858-1099

EKSISTENSI HUKUM WADH’I DALAM SYARI’AT

Syamsarina
Dosen Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam STAIN Kerinci
Syamsarina@gmail.com

Abstrak

Masing- masing manusiamempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam


memenuhi kepetingannya itu terhadap pertentangan kehendak antara satu dengan
lainnya.Agar antara masing individu itu tidak terjadi perselisihanmaka diperlukan suatu
aturan yang disebut dengan hukum.Hukum wadh’i adalah Implementasi dari hukum taklifi,
jadi hukum wadh’i ini lebih kepada masalah-masalah yang lebih khusus dibanding dengan
hukum taklifi.Hukum wadh’i yang telah ditetapkan oleh syari’ sebagai faktor keeksistensian
sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana
menyikapi hukum taklifi.

Kata Kunci: Hukum Wadh’i, Syari’at

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 48 ISSN : 1858-1099

Pendahuluan

Kenyataan menunjukan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, di mana masing-
masing merekamempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi
kepetingannya itu terhadap pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya.
Agar antara masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semua hati diperlukan suatu
aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntut mereka dalam bertindak. Dengan
adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batasan-
batasan yang layak. Aturan- aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Untuk manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT dengan
tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk mencapai
aturan- aturan itu, Allah memilih mengangkat rasul sepagai pesuruh dan utusan-Nya kepada
manusia. Rasul itulah bertugas menyampaikan dan membetitahu hukum atau aturan- aturan
tersebut kepada manusia.
Setelah rasul diutus dan aturan- aturan itu telah sampai kepada manusia, maka sejak saat
itulah manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan tersebut dalam segala tindakan yang
mereka lakukan. Mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan meninggalkan
segala yang dilarang.
Tugas memberitahu hukum syar’i berikutnya setelah rasul meninggal diteruskan oleh
para sahabat. Kemudian, setelah periode sahabat berlalu, seterusnya para ulama tabi’in,
tabi’tabi’in, dan begitu seterusnya oleh para ulama, baik fuqaha, muhaddasin mutakallimin
dan lain sebagainya.
Para ulama dan tabi’in yang meneruskan misi nabi itu ada yang meneruskan misi nabi itu
ada yang menyampaikannya dalam bentuk “bunyi sabda” dan ada pula yang
menyampaikannya hanya “pengertian sabda” yang mereka fahamkan. Begitu juga cara fuqada
berikutnya. Mereka selalu giat dan bersungguh-sungguh menyampaikan ilmu dan hasil ijtihad
mereka ke segenap lapisan. Sehingga, dengan demikian, risalah dan hukum-hukum Allah
diketahui oleh masyarakat disegala strata, masa, dan tempat.
Khusus para mujtahid, mereka tidak hanya saja telah mampu membantu kaum muslimin
untuk memahami hukum-hukum Allah melalui karya-karya besar mereka berupa fiqh, tetapi
juga telah merumuskan kerangka-kerangka metodologis yang amat diperlukan dalam upaya

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 49 ISSN : 1858-1099

menggali hukum-hukum yang tekandung dalam wahyu Allah. Kerangka-kerangka


metodologis yang amat diperlukan dalam upaya menggali hukum-hukum yangterkandung
dalam wahyu Allah. Kerangka metodologis itulah yang kita maksud dengan kaidah- kaidah,
baik fiqhiyah maupun kaidah ushuliyah. Maka para ulama membagi hukum syar’i kepada dua
bagian: hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Pengertian Hukum Wadh’i


Sesungguhnya Allah SWT menjadikan syari’at itu kabar gembira dan kemudahan bagi
hambanya, dari keadaan yang lemah, dan segala urusan yang darurat.1 Hukum wadh’i
sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Al-wadhih, fii Usulil Fiqih, yang ditulis oleh
Muhammad Sulaiman Abdullah al- Assqar. Bahwasanya Allah SWT dalam kitabnya, dengan
menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang lainnya. 2
Adapun menurut pendapat yang lainnya, dalam buku Ushul Fikih Bagi Pemuda yang
ditulis oleh; Abdul Mughits, M.Ag, hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan
dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan
disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara
hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.3
Menurut Dr. Abdul Karim Ibnu Ali An-namlah, dalam karyanya yang berjudul Al-Jaamiu
Limasili Usulil Fiqh, bahwasanya hukum wadh’i sebagaimana Allah berfirman yang
berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya,
larangannya, kemudahannya, hukum asal yang telah ditetapkan oleh syari’ (Allah). 4
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang
saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain- lain. Tapi
pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki
dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’),
atau menganggapsebagai sesuatu yang sah (shahih)rusak ataubatal (fasid), ‘azimah atau
rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi. 5

1
Dr. Jilaaliil Marinii, Qowaidul Ushuliyah wa Tatbiqotihal Fiqhiyah, (al- Qohirah:) Darul Ibn Affan.
2
Muhammad Sulaiman Abdullah al- Assqar, Al-wadhih, fii Usulil Fiqih, Al-Dasus Salam (2003).h.48.
3
Abdul Mughits, M.Ag., Ushul Fikih Bagi Pemuda, (Jakarta Barat:).h.77.
4
Dr. Abdul Karim Ibnu Ali An-namlah, Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh.
5
http://muhaiminks.blogspot.com/2009/10/makalah-ushul-fiqh.html

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 50 ISSN : 1858-1099

Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum wadh’i adalah hukum yang berkaitan dengan dua
hal, yaitu sebab yang disebabkan. Seperti orang yang junub menyebabkan orang tersebut
harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab
menyebabkan orang tersebut harus berzakat, demikian juga halnya yang mampu untuk naik
haji, Firman Allah QS. Ali Imran: 97)






“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya
(Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Adapun pembagian hukum wadh’i dalam buku Ushul Fiqih yang dikarang oleh Prof.
Muhammad Abu Zahrah, bahwasanya hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu:
Sebab, Syarat, dan Mani’ (penghalang).6 Akan tetapi dalam buku yang ditulis oleh Prof. DR.
Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul Fiqih, bahwasanya hukum wadh’i itu ada tujuh macam.

Macam-macam Hukum Wadh’i


1. Sebab (al-sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologi, artinya adalah
“sesuatu yang memungkinkan dengan sampai pada suatu tujuan.” Dari kata inilah dinamakan
“jalan”, itu sebagai sebab, karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang kepada tujuan.
Menurut terminologi, Imam al-Amidi, mendefinisikan dengan sifat Zhahir yang dapat diukur
yang ditunjukan oleh dalil Sam’I (al-Qur’an dan sunnah) bahwa keberadaan sebagai pengenal
bagi hukum syari’.7

6
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta :Pustaka Firk,2005), h.69.
7
Dr.H. Nasrun Haroen, M.A, Ilmu Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Pustaka Firk, 2005), h. 69.

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 51 ISSN : 1858-1099

Sedangkan menurut Prof.DR. Rachmat Syafi’i,M.A dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih,
bahwa sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan.
Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda dari hukum.8
Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan Illat walaupun sebenarnya ada
perbedaan antara sebab dengan Illat tersebut. Akan tetapi tidak setiap sebab disebut Illat. Jadi
sebab itu masih bersifat umum sedangkan Illat itu sudah bersifat khusus. Contoh dari adanya
sebab sesuatu adalah sebagaimana Allah SWT berfirman:




....
“Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tangan mu sampai dengan siku....” (QS. Al-Maidah:6)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’ untuk
mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syari’at tersebut akan muncul jika al-
sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab
tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Isra’:

 ....

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir....”(QS al-Isra’: 78)9

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab


adanya kewajiban shalat dzuhur.

Macam-macam al-sabab
a. Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
1) Al-Sabab yang menyebabkan adanya hukum taklifi. Sebagai contoh, masuknya waktu
shalat yang dijadikan syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban shalat. Allah SWT
berfirman:
8
Prof.DR. Rachmat Syafi’i,M.A, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999),h.313
9
Loc.Cit, Prof.DR. rachmat Syafi’i,M.A,h.312.

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 52 ISSN : 1858-1099


 ....
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir....”(QS al-Isra’: 78)

2) Al-Sabab yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau
sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli, nikah, thalaq, dan lain-
lain.

b. Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam melakukannya,
maka al-sabab dapat menjadi dua macam, yaitu:
1) Sesuatu yang ada dalam batas kemampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti
berpergian (safar) yang menjadi al-sabab diperolehkannya berbuka puasa,
pembunuhan yang disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishas, dan
lain- lain. Allah SWT berfirman:




“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al- Baqarah:
183)
2) Sesuatu yang berada diluar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari
menjadi al-sabab adanya kewajiban shalat maghrib.

2. Syarat (al-Syarthu)
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syari’, tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada hukumpun tidak ada, tetapi adanya syarat
tidak mengharuskan adanya hukum syara’.10

Macam-macam Syarat

10
Loc.Cit.Prof.DR. Rachmat Syafe’i,M.A.h.313.

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 53 ISSN : 1858-1099

a. Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu


dibagimenjadi dua macam:11
1) Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan
makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai
contoh, penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam
pencurian.
2) Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-
musabbab atau rukunnya.sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya
shalat.
b. Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, al-Syarthu dibagi menjadi dua macam:12
1) Al-Syarthu al- syar’i, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh syari’. Seperti syarat-
syarat yang terdapat dalam ibadah, muamalah, jinayah, dan lain- lain.
2) Al-Syarthu al-ja’lae, yaitu syarat yang dibuat yang ditetapkan oleh seorang mukallaf.
Seperti syarat terjadinya thalaq yang ditetapkan seorang suami terhadap
istrinya.seorang mukallaf tidak bisa seenaknyadalam membuat dan menetapkan
sebuahal-syarthu al-ja’lie, karena telah ada batasan- batasan syariat yang telah
dijelaskan. Sebagai contoh, seorang mukallaftidak diperbolehkan menetapkan syarat
yang dapat menghilangkan hakikat hukum syariat, karena ada esensinya syarat
berperansebagai pelengkap al-sabab yang telah memunculkan hukum syari’at.
c. Al-Syarthu al-ja’lie sendiri terbagi menjadi dua macam:13
1) Syarat al-mu’allaq, yaitu syarat yang sah dan dan tidaknya suatu akad tergantung pada
syarat tersebut, artinya seorang mukallaf telah menetapkan syarat dalam suatu akad.
Sebagai contoh, perkataan seorang suami terhadap istrinya “jika kamu mencuri maka
kamu bukan istriku”
2) Syarat al-muqtarin bi al-‘aqdi atau syarat muqayyad, yaitu syarat yang menyertai
sebuah akad. Seperti seorang yang menjual rumah dengan syarat tinggal satu tahun.
3. Pencegah (Al-Mani’)

11
Op.Cit, Prof.DR. Mukhtar Yahya dan Prof.Drs. fatchurrahman,h.149.
12
Op.Cit,Prof Muhammad Abu Zahrah.h.77.
13
Op.Cit,Prof Muhammad Abu Zahrah.h.77. lihat juga buku Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih
Islam karangan Prof.DR.Mukhtar Yahya dan Prof.Drs. fatchurrahman.h.149.

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 54 ISSN : 1858-1099

Definisi al-mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi,
sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi
berfungsinya sesuatu sebab.sebuah akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat
dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapimasalah waris mewarisi itu bisa
terhalang disebabkan suami misalnya membunuh istrinya.14

Macam- macam al-Mani’


Al-Mani’ terbagi menjadi dua macam:
a) Mani’ al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat. Seperti
tidak berlakunya qishas bagi seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
b) Mani’ al-sabab, yaitu al mani’ yang dapat menghilangkan al-sabab yang telah
memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam zakatyang menjadi al-
mani’ dari kewajiban zakat.

4. Sah (Al-Shihhah)
As-shihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari’ yaitu
terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat dzuhur setelah
tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang
yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dan sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang
dilaksanakan itu hukumnya sah.15
Dari penjelasan diatas bahwa As-Shihhah adalah apabilakita akan mengerjakan
sesuatu dikatakan sah apabila sudah ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada
penghalang dari kedua hal tersebut.

5. Batal (al-Buthlan)
Al-Buthlan adalah sesuatu yang dilakukan atau hal yang diadakan oleh orang mukallaf
yang tidak sesuai dengan tuntutan syara’ adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat
hukum, baik tidak sahnya itu karena cacat ataupun rukun, maupun tidak terpenuhisyarat-

14
Prof.Dr.H. Satria Effendi,M.Zein,M.A, Ushul Fiqih, (Jakarta:2005) Kencana Prenada Media
Group.h.66.
15
Op.Cit,Prof.DR. Rachmat Syafe’i,M.A,h.315.

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 55 ISSN : 1858-1099

syarat yang diperlukan dan baik dalam soal ibadah, maupun dalam soal muamalah. Maka atas
dasar ini sebagian para ahli ushul tidak membedakan antara pengertian bathildan fasid.16
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh islam, oleh sebab
itu segala perbuatan yang tidak disyariatkan islam adalah batal, seperti halnya: memperjual
minuman keras, Narkoba. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras dan narkoba tidak
bernilai harta dalam pandangan syara’.

6. Al-‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu al- muakkid,
yaitukeinginan yang kuat. Akan tetapi Azimah dalam hukum- hukum yang disyariatkan Allah
kepada hamba- hambanya sejak semula.17 Jadi Azimah adalah peraturan yang telah ditetapkan
oleh Allah sejak dulu (asli) yang berlaku umum,.
Adapun secara terminologi Azimah berarti hukum syariat bagi seorang mukallaf yang
berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa dan lain- lain.
Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram dimakan oleh semua orangmukallaf.
Akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan terpaks, ia diperkenankan untuk memakannya,
asal tidak berlebih- lebihan atau dengan maksud untuk menentang ketentuan Allah. Haram
memakan bangkai itu Azimah, sedangkan boleh memakan bangkaiitu rukhsah.

7. Al-Rukhsah
Al-rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap
orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.18 Secara etimologi rukhsah berarti al-suhulah dan
al-yusrudan al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi
rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh syari’ sebagai peringanan beban
bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum syariat ditetapkan karena adanya
halangan atau masyaqqah dalam keadaan tertentu.

16
Prof.DR. mukhtar Yahya dan Prof Drs. Fatchurrahman, Dasar- dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
(Bandung:1983),PT.Al-Ma’rif.h.154. lihat juga Buku Ilmu Ushul Fiqih, karangan dari Prof.DR.Rachmat
Syafe’i,M.A.h.315.
17
Prof.DR. Rachmat Syafe’i,M.A. Ilmu Ushul Fiqih.h.315.
18
Prof.DR. Mukhtar Yahya dan Prof Drs. Fatchurrahman.h.151.

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 56 ISSN : 1858-1099

Macam- macam Rukhshah


a) Pembolehan sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti m,akan bangkai
atau yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada makanan lain,
dan takut akan kematian. Allah SWT berfirman:
...
 ....

... Padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-
Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..... (QS. Al- An’am:119)
b) Kebolehan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka bagi seorang musafir atau seorang
yang sedang sakit dibulan ramahan dikarenakan adanya masyaqqah. Firman Allah:






“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al- Baqarah:
183)
c) Pembolehan suatu akad muamalah yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli
pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena barang
yang dibeli tidak adaketika akad berlangsung. Syari’ telah membolehkannya karena adanya
kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum kebiasaan yang telah ber

Pembagian Rukhshah menurut Hanafiyyah


a) Rukhshah tarfih, yaitu rukhshah yang bukan aslinya (‘azimah) tetap berlaku dan mukallaf
diberi kebebasan untuk mengambil rukhshah tersebut atau tetap melakukan hukum asli
(‘azimah). Seperti berbuka puasa bagi seorang musyafirdibulan ramadhan. Jika musyafir
tersebut berbuka maka ia telah mengambil rukhshah yang diberikan oleh syari’, namun
ketika ia tetap berpuasa maka ia telah melaksanakan hukum asli (‘azimah).

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 57 ISSN : 1858-1099

b) Rukhshah Isqat, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azimah) hilang, karena kondisi yang
memaksa harus adanya rukhshah. Seperti makan bangkai dalam keadaan darurat dan takut
akan kematian

Penutup
Hukum wadh’i yang telah ditetapkan oleh syari’ sebagai faktor keeksistensian sebuah
hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi
hukum taklifi. Macam dan bagian serta ikhtilaf yang terjadi dikalangan para ulama dalam
hukum tersebut yang telah dipaparkan oleh penulis, hanyalah sekedar sebagai pengantar studi
saja, karena disana masih banyak pembahasan yang tidak dapat dicantumkan dalam makalah
sederhana ini mengingat situasi dan kondisi.
Hukum wadh’i adalah Implementasi dari hukum taklifi, jadi hukum wadh’i ini lebih
kepada masalah-masalah yang lebih khusus dibanding dengan hukum taklifi. Akan tetapi para
ulama berbeda pendapat dengan hukum-hukum yang berada dalam hukum wadh’i.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad . 2005. Ushul Fiqih. Jakarta. Pustaka Pirk.


An- Namlah, Abdul Karim ibnu Ali Dr..Al- Jaamiu Limasili Ushulil Fiqh.
Al-Assqar, Muhammad Sulaiman Abdullah. 2003. Al-wadhih, fii Usulil Fiqh. Al Dasus
Salam.
Effendi satria, M.Zein. 2005. Ushul Fiqih. Kencana Prenada Media Group.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih 1. Jakarta: PT Logos Warna Ilmu.
Jilaaliil,Marinii. Qawaidul Ushuliyyah wa Tatbiqotiyah Fiqhiyah, (al- Qohirah) darul Ibn
Affan
Mughits, Abdul. Ushul Fikih Bagi Pemuda. Jakarta Barat.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. 1999. Bandung: CV Pustaka Setia.
Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman. 1983. Dasar- dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam.
Bandung: PT Al-Ma’rif.
http://muhaiminks.blogspot.com/2009/10/makalah-ushul-fiqh.html

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci
Al-Qishthu Volume 14, Nomor 1 2016 58 ISSN : 1858-1099

Diterbitkan Oleh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci

Anda mungkin juga menyukai