Garuda 805626
Garuda 805626
Syamsarina
Dosen Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam STAIN Kerinci
Syamsarina@gmail.com
Abstrak
Pendahuluan
Kenyataan menunjukan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, di mana masing-
masing merekamempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi
kepetingannya itu terhadap pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya.
Agar antara masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semua hati diperlukan suatu
aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntut mereka dalam bertindak. Dengan
adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batasan-
batasan yang layak. Aturan- aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Untuk manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT dengan
tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk mencapai
aturan- aturan itu, Allah memilih mengangkat rasul sepagai pesuruh dan utusan-Nya kepada
manusia. Rasul itulah bertugas menyampaikan dan membetitahu hukum atau aturan- aturan
tersebut kepada manusia.
Setelah rasul diutus dan aturan- aturan itu telah sampai kepada manusia, maka sejak saat
itulah manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan tersebut dalam segala tindakan yang
mereka lakukan. Mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan meninggalkan
segala yang dilarang.
Tugas memberitahu hukum syar’i berikutnya setelah rasul meninggal diteruskan oleh
para sahabat. Kemudian, setelah periode sahabat berlalu, seterusnya para ulama tabi’in,
tabi’tabi’in, dan begitu seterusnya oleh para ulama, baik fuqaha, muhaddasin mutakallimin
dan lain sebagainya.
Para ulama dan tabi’in yang meneruskan misi nabi itu ada yang meneruskan misi nabi itu
ada yang menyampaikannya dalam bentuk “bunyi sabda” dan ada pula yang
menyampaikannya hanya “pengertian sabda” yang mereka fahamkan. Begitu juga cara fuqada
berikutnya. Mereka selalu giat dan bersungguh-sungguh menyampaikan ilmu dan hasil ijtihad
mereka ke segenap lapisan. Sehingga, dengan demikian, risalah dan hukum-hukum Allah
diketahui oleh masyarakat disegala strata, masa, dan tempat.
Khusus para mujtahid, mereka tidak hanya saja telah mampu membantu kaum muslimin
untuk memahami hukum-hukum Allah melalui karya-karya besar mereka berupa fiqh, tetapi
juga telah merumuskan kerangka-kerangka metodologis yang amat diperlukan dalam upaya
1
Dr. Jilaaliil Marinii, Qowaidul Ushuliyah wa Tatbiqotihal Fiqhiyah, (al- Qohirah:) Darul Ibn Affan.
2
Muhammad Sulaiman Abdullah al- Assqar, Al-wadhih, fii Usulil Fiqih, Al-Dasus Salam (2003).h.48.
3
Abdul Mughits, M.Ag., Ushul Fikih Bagi Pemuda, (Jakarta Barat:).h.77.
4
Dr. Abdul Karim Ibnu Ali An-namlah, Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh.
5
http://muhaiminks.blogspot.com/2009/10/makalah-ushul-fiqh.html
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum wadh’i adalah hukum yang berkaitan dengan dua
hal, yaitu sebab yang disebabkan. Seperti orang yang junub menyebabkan orang tersebut
harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab
menyebabkan orang tersebut harus berzakat, demikian juga halnya yang mampu untuk naik
haji, Firman Allah QS. Ali Imran: 97)
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya
(Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Adapun pembagian hukum wadh’i dalam buku Ushul Fiqih yang dikarang oleh Prof.
Muhammad Abu Zahrah, bahwasanya hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu:
Sebab, Syarat, dan Mani’ (penghalang).6 Akan tetapi dalam buku yang ditulis oleh Prof. DR.
Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul Fiqih, bahwasanya hukum wadh’i itu ada tujuh macam.
6
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta :Pustaka Firk,2005), h.69.
7
Dr.H. Nasrun Haroen, M.A, Ilmu Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Pustaka Firk, 2005), h. 69.
Sedangkan menurut Prof.DR. Rachmat Syafi’i,M.A dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih,
bahwa sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan.
Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda dari hukum.8
Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan Illat walaupun sebenarnya ada
perbedaan antara sebab dengan Illat tersebut. Akan tetapi tidak setiap sebab disebut Illat. Jadi
sebab itu masih bersifat umum sedangkan Illat itu sudah bersifat khusus. Contoh dari adanya
sebab sesuatu adalah sebagaimana Allah SWT berfirman:
....
“Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tangan mu sampai dengan siku....” (QS. Al-Maidah:6)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’ untuk
mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syari’at tersebut akan muncul jika al-
sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab
tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Isra’:
....
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir....”(QS al-Isra’: 78)9
Macam-macam al-sabab
a. Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
1) Al-Sabab yang menyebabkan adanya hukum taklifi. Sebagai contoh, masuknya waktu
shalat yang dijadikan syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban shalat. Allah SWT
berfirman:
8
Prof.DR. Rachmat Syafi’i,M.A, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999),h.313
9
Loc.Cit, Prof.DR. rachmat Syafi’i,M.A,h.312.
....
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir....”(QS al-Isra’: 78)
2) Al-Sabab yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau
sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli, nikah, thalaq, dan lain-
lain.
b. Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam melakukannya,
maka al-sabab dapat menjadi dua macam, yaitu:
1) Sesuatu yang ada dalam batas kemampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti
berpergian (safar) yang menjadi al-sabab diperolehkannya berbuka puasa,
pembunuhan yang disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishas, dan
lain- lain. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al- Baqarah:
183)
2) Sesuatu yang berada diluar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari
menjadi al-sabab adanya kewajiban shalat maghrib.
2. Syarat (al-Syarthu)
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syari’, tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada hukumpun tidak ada, tetapi adanya syarat
tidak mengharuskan adanya hukum syara’.10
Macam-macam Syarat
10
Loc.Cit.Prof.DR. Rachmat Syafe’i,M.A.h.313.
11
Op.Cit, Prof.DR. Mukhtar Yahya dan Prof.Drs. fatchurrahman,h.149.
12
Op.Cit,Prof Muhammad Abu Zahrah.h.77.
13
Op.Cit,Prof Muhammad Abu Zahrah.h.77. lihat juga buku Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih
Islam karangan Prof.DR.Mukhtar Yahya dan Prof.Drs. fatchurrahman.h.149.
Definisi al-mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi,
sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi
berfungsinya sesuatu sebab.sebuah akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat
dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapimasalah waris mewarisi itu bisa
terhalang disebabkan suami misalnya membunuh istrinya.14
4. Sah (Al-Shihhah)
As-shihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari’ yaitu
terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat dzuhur setelah
tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang
yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dan sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang
dilaksanakan itu hukumnya sah.15
Dari penjelasan diatas bahwa As-Shihhah adalah apabilakita akan mengerjakan
sesuatu dikatakan sah apabila sudah ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada
penghalang dari kedua hal tersebut.
5. Batal (al-Buthlan)
Al-Buthlan adalah sesuatu yang dilakukan atau hal yang diadakan oleh orang mukallaf
yang tidak sesuai dengan tuntutan syara’ adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat
hukum, baik tidak sahnya itu karena cacat ataupun rukun, maupun tidak terpenuhisyarat-
14
Prof.Dr.H. Satria Effendi,M.Zein,M.A, Ushul Fiqih, (Jakarta:2005) Kencana Prenada Media
Group.h.66.
15
Op.Cit,Prof.DR. Rachmat Syafe’i,M.A,h.315.
syarat yang diperlukan dan baik dalam soal ibadah, maupun dalam soal muamalah. Maka atas
dasar ini sebagian para ahli ushul tidak membedakan antara pengertian bathildan fasid.16
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh islam, oleh sebab
itu segala perbuatan yang tidak disyariatkan islam adalah batal, seperti halnya: memperjual
minuman keras, Narkoba. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras dan narkoba tidak
bernilai harta dalam pandangan syara’.
6. Al-‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu al- muakkid,
yaitukeinginan yang kuat. Akan tetapi Azimah dalam hukum- hukum yang disyariatkan Allah
kepada hamba- hambanya sejak semula.17 Jadi Azimah adalah peraturan yang telah ditetapkan
oleh Allah sejak dulu (asli) yang berlaku umum,.
Adapun secara terminologi Azimah berarti hukum syariat bagi seorang mukallaf yang
berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa dan lain- lain.
Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram dimakan oleh semua orangmukallaf.
Akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan terpaks, ia diperkenankan untuk memakannya,
asal tidak berlebih- lebihan atau dengan maksud untuk menentang ketentuan Allah. Haram
memakan bangkai itu Azimah, sedangkan boleh memakan bangkaiitu rukhsah.
7. Al-Rukhsah
Al-rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap
orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.18 Secara etimologi rukhsah berarti al-suhulah dan
al-yusrudan al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi
rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh syari’ sebagai peringanan beban
bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum syariat ditetapkan karena adanya
halangan atau masyaqqah dalam keadaan tertentu.
16
Prof.DR. mukhtar Yahya dan Prof Drs. Fatchurrahman, Dasar- dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
(Bandung:1983),PT.Al-Ma’rif.h.154. lihat juga Buku Ilmu Ushul Fiqih, karangan dari Prof.DR.Rachmat
Syafe’i,M.A.h.315.
17
Prof.DR. Rachmat Syafe’i,M.A. Ilmu Ushul Fiqih.h.315.
18
Prof.DR. Mukhtar Yahya dan Prof Drs. Fatchurrahman.h.151.
... Padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-
Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..... (QS. Al- An’am:119)
b) Kebolehan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka bagi seorang musafir atau seorang
yang sedang sakit dibulan ramahan dikarenakan adanya masyaqqah. Firman Allah:
b) Rukhshah Isqat, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azimah) hilang, karena kondisi yang
memaksa harus adanya rukhshah. Seperti makan bangkai dalam keadaan darurat dan takut
akan kematian
Penutup
Hukum wadh’i yang telah ditetapkan oleh syari’ sebagai faktor keeksistensian sebuah
hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi
hukum taklifi. Macam dan bagian serta ikhtilaf yang terjadi dikalangan para ulama dalam
hukum tersebut yang telah dipaparkan oleh penulis, hanyalah sekedar sebagai pengantar studi
saja, karena disana masih banyak pembahasan yang tidak dapat dicantumkan dalam makalah
sederhana ini mengingat situasi dan kondisi.
Hukum wadh’i adalah Implementasi dari hukum taklifi, jadi hukum wadh’i ini lebih
kepada masalah-masalah yang lebih khusus dibanding dengan hukum taklifi. Akan tetapi para
ulama berbeda pendapat dengan hukum-hukum yang berada dalam hukum wadh’i.
Daftar Pustaka