Artikel Soekarno 3101210017
Artikel Soekarno 3101210017
3101210017
Soekarnografi
A. Pendahuluan
Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo)
(lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur
69 tahun)
Beliau adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode
1945–1967. Beliau adalah seorang tokoh perjuangan yang memainkan peranan penting
dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
Dikenal sebagai Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad
Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali
mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang
menamainya.
2. Masa Kecil
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika
Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di
Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama
Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang
putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung
Agung, Jawa Timur. Soekarno bahkan sempat bersekolah disana walaupun tidak sampai
selesai ikut bersama dengan orang tuanya pindahh ke Mojokerto.
C. Masa Remaja
3. Masa Sekolah
Soekarno bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke
Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya
memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada
Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk
memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah
menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa
Timur.
Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S.
Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi
Soekarno di pondokan kediamannya di Surabaya.
Singkat cerita, di Surabaya Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat
Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Darsono,
Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Di masa remaja ini pula, tumbuh jiwa politik Sukarno
bersama dengan teman-teman diskusinya
ini. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang
dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo dengan tiga tujuan yaitu kemerdekaan politik,
ekonomi, dan sosial. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java
(Pemuda Jawa) pada 1918. Dari perkumpulan inilah, Sukarno dkk memulai pendekatan
politiknya dengan pergi ke kampung-kampung untuk melakukan aktivitas kerja sosial,
mendirikan sekolah, membantu korban bencana, dll
Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin
oleh Tjokroaminoto.. Pada umur 19 tahun, Sukarno (saat itu masih SMA) produktif menulis
sampai 500 artikel di harian Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima untuk
mengobarkan semangat pemberontakan pada masyarakat luas.10 Juni 1921 Sukarno lulus
dari HBS Belanda, lalu menikah dengan puteri dari Cokroaminoto yaitu Utari.
Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting
peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa". Mereka adalah
Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes
Alexander Henricus Ondang.
Lulus sebagai insinyur, Sukarno baru merasakan kebebasan berekspresi dalam politik.
Hal itu ditandai dengan sikapnya tidak mau mengerjakan proyek proyek pembangunan
pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Sukarno lebih sering membuat proyek bangunan
rumah sederhana bersama kawan seangkatannya Ir. Anwari.
Uniknya, setiap rumah yang dibangun sama Sukarno dan Anwari, dikasih “tanda
tangan” berupa Gada Rujakpala di atas genteng, senjatanya Bima – salah satu tokoh wayang
kesukaan Sukarno. Satu-satunya proyek arsitek besar yang pernah dibangun Sukarno adalah
Hotel Preanger Bandung atas permintaan khusus dari Prof. Wolff Schoemaker, dosen
kesayangan Sukarno.
Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak
mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang
dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya. Ketika dibuang di Bengkulu
menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah
kota.
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi
atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli
pada tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan
Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia
secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa
kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah
kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa datang. Beberapa
karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa
arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior
untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara.
✔ Masjid Istiqlal 1951
✔ Monumen Nasional 1960
✔ Gedung Conefo
✔ Gedung Sarinah
✔ Wisma Nusantara
✔ Hotel Indonesia 1962
✔ Tugu Selamat Datang
✔ Monumen Pembebasan Irian Barat
✔ Patung Dirgantara
✔ Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang
arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah
Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam
bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil
Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi
umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan
tawaf.
Salah satu karya agung Soekarno di lapangan pemikiran adalah Marhaenisme. Ajarannya ini bukan hanya
menyuluhi gerakan pembebasan di negerinya, Indonesia, tetapi juga di negara tetangga: Malaya (Malaysia)
Marhaenisme
A. Pendahuluan
Banyak orang belajar/mempelajari Marhaenisme, yakni ajaran Bung Karno. Namun
tidak menemukan apa sebenarnya inti dan kehendak dari ajaran tersebut. Mereka tidak atau
belum menemukan "benang merahnya". Dengan demikian maka sepertinya mereka sekedar
mempelajari secara lahir tentang perjuangan dan keberhasilan Bung Karno di masa yang
silam, karena mereka cuma mewarisi abunya sejarah bukan apinya sejarah.
Apabila setiap pengikut ajaran Bung Karno hanyalah demikian adanya, hanya
sekedar pewaris-pewaris abu sejarah belaka, alangkah sayangnya ajaran yang brilliant itu
kemudian menjadi kenang-kenangan (sekalipun kenang kenangan yang indah). Marhaenisme
kemudian menjadi "out of date". Adalah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk
kembali menghidupkan jiwa ajaran tersebut, kembali menemukan arti kebaikan bagi rakyat.
Dengan demikian Marhaenisme akan menampakkan jiwanya sebagai ajaran yang dinamis
dan selalu up to date.
Untuk itulah maka mempelajari Marhaenisme tidaklah cukup hanya mempelajari
pengertian-pengertiannya yang verbal, akan tetapi kita mencoba untuk menukik lebih dalam
mencoba mengkaji makna hakikinya. Dengan demikian maka di samping kita mengerti apa
Marhaenisme (secara verbal), kita
coba menelaah mengapa dan juga apa Marhaenisme yang meliputi mengapa lahir
Marhaenisme dan mengapa kita pilih sekarang serta untuk apa sebenarnya kita memiliki
Marhaenisme itu.
B. Marhaenisme - Marhaen – Marhaenis
1. Marhaenisme, adalah ajaran Bung Karno. Pengertianya adalah meliputi asa (teori politik)
dan asas perjuangan. Sebagai asa atau teori politik, ia adalah teori yang menghendaki
susunan masyarakat dan negara yang didalam segala halnya menghendaki keselamatan
kaum Marhaen*. Sebagai teori politik meliputi pengertian :
a. Sosio Nasionalisme. Sosio Nasionalisme; adalah nasionalisme masyarakat,
nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak
menurut hukum sosial nya masyarakat itu.
b. Sosio Demokrasi. Sosio Demokrasi; adalah merupakan konsekuensi daripada
Sosio Nasionalisme. Sosio demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan
kedua kakinya didalam masyarakat
c. Ketuhanan Yang Maha Esa.Sosio Demokrasi tidak untuk kepentingan sekelompok
kecil masyarakat akan tetapi adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat.
2. Marhaen; adalah diambil dari nama seorang petani yang ditemui oleh Bung Karno di
daerah Priangan. Marhaen digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kelompok
masyarakat/bangsa Indonesia yang menderita/sengsara. Ia sengsara/menderita bukan
karena kemalasannya atau kebodohannya, akan tetapi ia sengsara/menderita karena
disengsarakan oleh sesuatu sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme.
3. Marhaen meliputi unsur-unsur tani, buruh-tani, pedagang kecil yang melarat, dan semua
kaum melarat lainnya yang dimelaratkan oleh sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme
dan feodalisme.
4. Marhaenis, adalah penganut ajaran Marhaenisme yang berjuang menurut petunjuk ajaran-
ajaran Marhaenisme, berjuang dengan bersama sama/mengorganisir berjuta-juta kaum
marhaen yang tersebar di seluruh tanah air.
C. Konsep Marhaenisme
Pada tahun 1927, Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Perserikatan Nasional
Indonesia—kelak berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai baru ini
menggunakan marhaenisme sebagai azas politiknya. Dengan azas itu, PNI berhasil
menggerakkan kaum marhaen, yang meliputi hampir 90 persen rakyat Indonesia kala itu,
untuk menggoyang kekuasaan kolonial. Saat
itu, Marhaenisme menjadi salah satu ideologi perjuangan rakyat Indonesia. Di samping itu
ada sosialisme, komunisme, dan islamisme.
Melalui dua corong utamanya, Fikiran Ra’jat dan Suluh Indonesia Muda, PNI berhasil
menyebarkan faham Marhaenisme-nya ke seluruh penjuru negeri. Bahkan hingga ke
Malaya. Pada tahun 1930-an, organisasi nasional Malaya yang baru berdiri, Kesatuan Kaum
Muda (KMM), sangat terpengaruh oleh marhaenisme. Malahan, pada tahun 1955, berdiri
partai politik bernama Partai Rakyat Malaya (PRM) yang mengadopsi Marhaenisme sebagai
azas partai.
Untuk itu, kata Soekarno, Marhaenisme juga merupakan cara perjuangan dan azas
yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua sistim itu telah
menghisap dan menindas rakyat jelata. Ditegaskan juga, untuk mencapai susunan
masyarakat itu, kaum Marhaen harus menempuh cara
cara revolusioner.
PNI dan Soekarno
A.Pendahuluan
Setelah beberapa kali Sukarno berkarya dalam dunia arsitek, pada akhirnya dia
kembali pada ambisi terpendamnya sejak dulu, yaitu dunia politik dan pembebasan Hindia
dari Belanda. Sampai pada akhirnya, Sukarno dan teman teman diskusi politiknya di
Bandung mendirikan Algemeene Studie Club (ASC). Di samping itu, rupa-rupanya gerakan
politik dari tokoh nasionalis lain pun sedang bergejolak, di antaranya para lulusan perguruan
tinggi di Belanda yang mendirikan Indische Vereniging (IV).
Dari sisi lain Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Tan Malaka, Alimin, dan
Munawar Muso juga melancarkan gerakan pemberontakan pada November 1926, namun
sayangnya gagal karena rencana yang kurang matang. Sampai pada akhirnya, Sukarno dari
ASC dan teman-teman dari IV bersepakat mendirikan partai baru bernama Perhimpunan
Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927.
Di sisi lain, kegagalan pemberontakan PKI kepada pemerintahan Belanda yang
sempat didukung rakyat luas membuat para petinggi partainya ditangkap dan dibuang ke
Boven Digoel. Ketika rakyat semakin pesimis dan mendambakan wadah perjuangan baru,
PNI inilah yang akhirnya menjadi wadah perjuangan baur bagi rakyat, dan Sukarno sebagai
tokoh PNI paling vokal, mulai mendapat banyak pendukung setia di tanah Jawa.
Puncaknya adalah tahun 1928 ketika PNI (namanya sekarang jadi Partai Nasional
Indonesia) menggelar kongres pertama di Surabaya dengan slogan “Indonesia Siap
Merdeka”, makin lebarlah sayap PNI sebagai partai yang didukung rakyat. Terlebih, hasil
kongres tersebut sangat bernuansa pemberontakan :
a. Program politik untuk mencapai Indonesia merdeka
b. Program ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional
c. Menetapkan asas non-kooperatif terhadap Belanda untuk perjuangan PNI
Dari tujuh orang yang hadir dalam pertemuan itu, hanya Tjipto yang menyatakan
keberatannya atas rencana enam orang lainnya untuk membentuk partai politik. Bagi Tjipto,
mendirikan partai politik bakal mengundang reaksi keras pemerintah kolonial yang baru
setahun sebelumnya menumpas perlawanan PKI.
Cipto Mangunkusumo tidak setuju berdirinya suatu partai nasional karena ia
berpendapat bahwa partai nasional itu akan dinilai oleh pemerintah kolonial sebagai
pengganti Partai Komunis Indonesia yang sudah dilarang. Penolakan Tjipto cukup
beralasan. Hal Ini dijelaskan oleh Bung Karno di muka Landraad (pengadilan negeri, red) di
Bandung, meskipun begitu Bung Karno menganggap Dr Cipto juga sebagai pendiri,
Pemerintah kolonial di bawah gubernur jenderal Dirk Fock dan kemudian digantikan
oleh ACD de Graeff sangat reaktif terhadap gerakan politik nasionalis Indonesia, terutama
setelah peristiwa pemberontakan PKI 1926. Mengacu pada buku “babon” Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, “Gubenur Jenderal de
Graeff yang semula bersikap terbuka terhadap golongan nasionalis bertindak keras, 4.500
orang dipenjara, kira-kira 1.300 dibuang ke Digul, dan 4 orang dihukum mati.”
Dalam situasi seperti itu, mendirikan partai politik adalah langkah penuh resiko. Tapi
keputusan sudah bulat. Sebuah partai politik harus didirikan. Maka, ”Pada tanggal empat
Juli 1927, dengan dukungan enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, Soekarno
mendirikan PNI, Partai Nasional Indonesia.
Setelah PNI terbentuk, Sukarno dipilih menjadi ketuanya, sementara Iskaq jadi
sekretaris dan lainnya menjadi anggota. Alasan pemilihan Sukarno menjadi ketua karena dia
dianggap “paling populer dan paling maju untuk memimpin partai sebagai ketua atau
pemuka,” ujar Iskaq.
C. Ideologi Partai
Soekarno mengenang masa-masa itu secara dramatis. “Pada setiap cangkir kopi
tubruk, di setiap sudut di mana orang berkumpul nama Bung Karno menjadi buah mulut
orang. Kebencian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung Karno memperoleh
tempat yang berdampingan dalam setiap buah tutur,” kenangnya.
Soekarno menegaskan nasionalisme adalah ideologi yang mampu menyatukan
berbagai perbedaan dan melempangkan jalan menuju kemerdekaan. Dalam soal ini Sukarno
terpengaruh oleh ide-ide nasionalisme Hindia yang telah lebih dulu diusung
oleh Indische Partij yang didirikan oleh triumvirat Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo
dan Suwardi Suryaningrat.
“Di dalam ide-ide mereka Sukarno menemukan pembenaran bagi suatu bentuk
nasionalisme yang tidak mengandung komitmen tertentu terhadap Islam, teori perjuangan
kelas, maupun kaitan formal dengan kelompok etnik tertentu,” tulis MC. Ricklefs dalam
Sejarah Indonesia Modern.
Dengan pengertian nasionalisme yang longgar itu, PNI mampu merampungkan
landasan partai yang kelak bisa mempersatukan “semua kekuatan revolusioner dalam satu
ikatan,” ujar Sukarno. Sementara itu Soenario mengklaim PNI sebagai “partai baru yang
bersifat nasional Indonesia dalam arti luas dan tidak chauvinistis,” kata dia dalam
memoarnya.
D. Sepak Terjang PNI Hingga Tenggelam
Sejak berdiri, PNI menyelenggarakan kongres dua kali. Kongres pertama
diselenggarakan di Surabaya pada 28-30 Mei 1928 dan kongres kedua di Jakarta, 18-20 Mei
1929. Dalam kongres pertama, Sukarno mengemukakan asas nasionalisme PNI ke hadapan
ribuan pengikutnya, sekaligus pertemuan resmi pertama antara pemimpin partai dan
konstituennya. Bahkan agen Dinas Pengawasan Politik pemerintah pun turut menyusup ke
dalamnya.
“Rapat terbuka yang selama kongres dihadiri massa sekitar 3000 – 3500 orang arek-
arek Surabaya, terdiri dari pimpinan dan massa PNI serta simpatisan, dan tentu saja wakil
dari Pemerintah Hindia Belanda dan PID (Politieke Inlichtingen Dienst),” kata Iskaq.
Iskaq sendiri dalam kongres tersebut melancarkan kritik terhadap praktik exorbitante
rechten, hak istimewa gubernur jenderal untuk menangkap atau mengasingkan siapapun
yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan melawan pemerintah kolonial. Berbagai
materi pembicaraan kongres yang menyerang kebijakan pemerintah meningkatkan
kewaspadaan terhadap partai yang baru berdiri itu.
Kongres kedua di Jakarta sedikit berbeda dari kongres pertama karena pada saat
itulah lagu Indonesia Raya dinyanyikan sekaligus menjadi lagu wajib resmi partai. Peserta
sidang pun datang dari berbagai daerah di Indonesia, kecuali cabang Ulusiau, “karena
ketuanya G. Dauhan dilarang datang ke kongres PNI oleh Residen di Manado,” kata Iskaq.
Materi pembicaraan di dalam kongres tak banyak jauh berbeda dari kongres pertama. Tetap
kritis terhadap pemerintah kolonial.
Ketegangan yang terjadi sejak berdirinya PNI akhirnya berujung pada penangkapan
para pemimpin PNI. Pada 29 Desember 1929, Sukarno beserta Maskoen, Soepriadinata dan
Gatot Mangkoepradja ditangkap di Yogyakarta usai menghadiri rapat umum yang
diselenggarakan PPKI. Rangkaian yang dimulai sejak 24 Desember itu menurut Iskaq terjadi
“pada 37 tempat, yakni 27 di Jawa, 8 di Sumatera, 1 di Sulawesi dan 1 lagi di Kalimantan.
Penangkapan seluruhnya berjumlah 180 pimpinan PNI,” kata Iskaq mengutip keterangan
Soenario.
Penangkapan ratusan pemimpin PNI, termasuk para pemimpin utamanya, telah
membuat PNI lumpuh. Menurut Ricklefs dengan penangkapan itu kegiatan politik PNI
berhenti total. “Tanpa Sukarno, maka PNI sangat lemah,” ujarnya. Meskipun demikian,
lanjut Ricklefs, “konsepsi nasional Indonesia yang tidak mempunyai kaitan keagamaan
maupun kedaerahan tertentu mulai diterima secara luas di kalangan elite.”
E. Kampanye Kemerdekaan di Bawah Represi
Meski dideklarasikan dengan semangat tinggi, PNI mengelola organisasinya dengan
hati-hati. Ingleson mencatat bahwa selama Juli hingga Desember 1927, PNI baru punya tiga
cabang: Bandung, Batavia, dan Yogyakarta. Lalu pada awal 1928 sebuah cabang baru
berdiri di Surabaya dan Surakarta.
Pemerintah kolonial tentu saja memperhatikan pertumbuhan PNI dengan saksama.
Tapi dalam setahun pertama berdirinya PNI, belum ada tindakan-tindakan represif dari
pemerintah kolonial. Penasihat Urusan Pribumi pun membiarkan PNI selama ia tidak
melewati batas-batas politik yang ditetapkan.
Pemerintah kolonial mulai mengambil tindakan lebih keras pada akhir 1928. Saat itu
Sukarno dan juru pidato PNI lainnya kian gencar mengampanyekan kemerdekaan. PNI juga
berhasil menghimpun organisasi-organisasi politik lain dalam wadah Permufakatan
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Rapat-rapat umum yang digelar PNI dan dihadiri Sukarno selalu penuh sesak.
Otoritas Hindia Belanda juga kian jengkel karena orang-orang PNI semakin berani
menyanyikan "Indonesia Raya" dalam rapat-rapat itu. Tidak salah jika pemerintah kolonial
menganggapnya sebagai tantangan.
“Semenjak dinyanyikan pertamakali pada bulan Oktober 1928, lagu ini telah menjadi
pokok-pangkal keluhan yang terus-menerus dari pejabat-pejabat setempat kepada jaksa
agung dan gubernur jenderal,” tulis Ingleson.
Soekarno dan kawan-kawannya harus membayar mahal sikap radikal mereka itu.
Pada akhirnya sikap itulah yang kemudian jadi musabab dijebloskannya Sukarno dan
kawan-kawan ke penjara kolonial.
Indonesia Menggugat
A. Pendahuluan
1. Cerita Bung Karno tentang Naskah Indonesia Menggugat
Pada 16 Juni 1930, atau enam bulan setelah Bung Karno meringkuk di penjara
Bantjeuj Bandung, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff
membacakan pengumuman penting. “Soekarno akan dihadapkan di muka pengadilan dengan
segera,” kenang Bung Karno menirukan pengumuman itu, dalam buku otobiografinya.
Maka, tak lama kemudian, ditetapkanlah jadwal: Bung Karno akan dihadapkan di
muka pengadilan Belanda mulai 18 Agustus 1930. Hanya dalam waktu sebulan setengah, ia
mesti menyusun pledoi atau pembelaan.
Sartono awalnya ragu dengan usulan Bung Karno. Menurut Sartono, isi pembelaan
semacam itu tidak lazim dibacakan di pengadilan. Namun, Bung Karno tetap meyakinkan.
“Kalau sudah nasib saya untuk menahankan siksaan, biarkanlah saya. Bukankah
lebih baik Soekarno menderita untuk sementara daripada Indonesia menderita untuk selama‐
lamanya?”
3. Pledoi Dibacakan
“Ketika aku memulai pidatoku tiada satu pun terdengar suara. Tiada satu pun yang
bergerak. Tiada gemerisik. Hanya putaran lembut dari kipas angin di atas kepala terdengar
merintih.” “Sambil berdiri di atas bangku pesakitan yang ditinggikan aku menghadap ke
meja hijau hakim dan aku mulai berbicara. Aku berbicara berjam‐jam.”
Dalam Indonesia Menggugat, Bung Karno tidak sekadar membela dirinya, lebih dari
itu: membela bangsa Indonesia yang telah dijatuhkan sedemikian rupa harkat dan
martabatnya oleh penjajahan.Bung Karno dan rekan-rekannya memang sudah paham bahwa
pengadilan Belanda hanyalah gurauan Belaka. Ia kemudian diputus empat tahun penjara dan
menjalani hukumannya di penjara Sukamiskin Bandung.
“Demikian banyak tekanan telah dilakukan (kepada Belanda), baik di dalam maupun
di luar negeri, sehingga Gubernur Jendral merubah hukumanku menjadi dua tahun.”
31 Desember 1931, Bung Karno bebas dari penjara Sukamiskin. “Thesis tentang
kolonialisme ini… adalah hasil penulisan di atas kaleng tempat buang air yang bertugas
ganda itu.”
“Tetapi tidak dapat disangkal bahwa alat lalu-lintas modern itu menggampangkan
geraknya modal partikelir. Tidak dapat disangkal bahwa alat alat lalu lintas itu
menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang perusahaannya, membesarkan diri
dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki rakyat kocar-kacir oleh karenanya,” tulis
Soekarno.
Dampaknya sudah bisa ditebak: kemelaratan rakyat Indonesia. Soekarno mengutip
data statistik jaman itu, “tiap rumah tangga marhaen hanya mendapat 138,50 gulden per
tahun atau 0,40 gulden per hari.” Pendapatan segitu, kata Soekarno, hanya membuat
marhaen: “sekarang makan, besok tidak.”
Soekarno menegaskan bahwa partainya, PNI, adalah partai anti-kapitalis dan anti-
imperialis. Hanya saja, kata dia, ketika melancarkan kritik atau serangan, PNI tidak pernah
menggunakan ‘kritik palsu’ dan subjektif. Sebaliknya, PNI menggunakan kritik rasional dan
ilmiah.
Soekarno juga menampik tudingan pemerintah kolonial bahwa PNI sedang
mempersiapkan pemberontakan bersenjata. Dia bilang, kendati PNI menggukan istilah “aksi
dengan perbuatan”, bukan berarti PNI menghalalkan cara kekerasan: bedil, bom, dan
dinamit. Bagi PNI, senjata perlawanan yang mematikan imperialisme bukanlah bedil dan
bom, melainkan organisasi massa yang mengakar kuat di kalangan kaum buruh dan
marhaen.
PNI juga tidak mau tawar-menawar dengan cita-cita kemerdekaan. Bagi PNI,
kemerdekaan nasional merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
PNI juga pantang mengemis-ngemis meminta kemerdekaan kepada penjajah. PNI teguh
pada prinsip: non-koperasi dan self-help. Di sidang pengadilan, Soekarno berteriak lantang:
Indonesia Merdeka oleh revolusi!
C. Penutup
Pledoi Indonesia Menggugat benar-benar menjambak kolonialisme dan
imperialisme. Namun, kendati pledoi yang dibacakan Soekarno tanggal 1 Desember 1930 itu
punya daya gugat luar biasa, tetapi tidak berhasil membebaskannya dari jeratan hukum
kolonial. Kendati memberikan pembelaan, hakim tetap memutuskan Soekarno bersalah dan
kembali ditahan di penjara Sukamiskin.
Tetapi bukan itu ukuran sukses pledoi itu. Aksi panggung Soekarno di pengadilan
kolonial itu telah membangkitkan semangat pergerakan, bahwa pejuang bumiputra bisa
berdiri dengan kepala tegak di hadapan sistim pengadilan kolonial.
---ooo---