Anda di halaman 1dari 15

Nisrina Eka

3101210017

Soekarnografi

A. Pendahuluan  
Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno  Sosrodihardjo)
(lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta,  21 Juni 1970 pada umur
69 tahun)  
Beliau adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada  periode
1945–1967. Beliau adalah seorang tokoh perjuangan yang memainkan  peranan penting
dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan  Belanda. 
Dikenal sebagai Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan  Mohammad
Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah  yang pertama kali
mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar  negara Indonesia dan ia sendiri yang
menamainya. 

B. Biografi Singkat Soekarno  


1. Kelahiran Soekarno 
Ir Soekarno dilahirkan di Surabaya tepatnya pada tanggal 6 Juni 1901  dengan nama
asli bernama Koesno Sosrodihardjo. Namun karena sering sakit  yang mungkin disebabkan
karena namanya tidak sesuai maka ia kemudian  berganti nama menjadi Soekarno. Nama
tersebut diambil dari seorang panglima  perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.
Nama "Karna" menjadi "Karno"  karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o"
sedangkan awalan "su"  memiliki arti "baik". 

2. Masa Kecil 
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi 
Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika 
Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar  Pribumi di
Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali  dan beragama
Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka  telah memiliki seorang
putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. 
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di  Tulung
Agung, Jawa Timur. Soekarno bahkan sempat bersekolah disana  walaupun tidak sampai
selesai ikut bersama dengan orang tuanya pindahh ke  Mojokerto.
C. Masa Remaja  
3. Masa Sekolah  
Soekarno bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia  pindah ke
Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.  Di Mojokerto, ayahnya
memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah  tempat ia bekerja. Kemudian pada
Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke  Europeesche Lagere School (ELS) untuk
memudahkannya diterima di Hogere  Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah
menyelesaikan  pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa
Timur. 
Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama  H.O.S.
Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam. Tjokroaminoto bahkan memberi  tempat tinggal bagi
Soekarno di pondokan kediamannya di Surabaya.

(Soekarno saat Saat Bersekolah di HBS Soerabaja)

Singkat cerita, di Surabaya Soekarno banyak bertemu dengan para  pemimpin Sarekat
Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu,  seperti Alimin, Musso, Darsono,
Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Di masa remaja  ini pula, tumbuh jiwa politik Sukarno
bersama dengan teman-teman diskusinya 
ini. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo  yang
dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo dengan tiga tujuan yaitu  kemerdekaan politik,
ekonomi, dan sosial. Nama organisasi tersebut kemudian  ia ganti menjadi Jong Java
(Pemuda Jawa) pada 1918. Dari perkumpulan inilah,  Sukarno dkk memulai pendekatan
politiknya dengan pergi ke kampung-kampung  untuk melakukan aktivitas kerja sosial,
mendirikan sekolah, membantu korban  bencana, dll 
Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang  dipimpin
oleh Tjokroaminoto.. Pada umur 19 tahun, Sukarno (saat itu masih SMA)  produktif menulis
sampai 500 artikel di harian Oetoesan Hindia dengan nama  samaran Bima untuk
mengobarkan semangat pemberontakan pada masyarakat  luas.10 Juni 1921 Sukarno lulus
dari HBS Belanda, lalu menikah dengan puteri  dari Cokroaminoto yaitu Utari.  

4. Soekarno Saat Kuliah 


Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921, bersama Djoko Asmo rekan satu  angkatan di
HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng  (sekarang ITB. Di
Bandung pada tahun 1921.  
Awalnya Soekarno masuk di jurusan waterbowkunde (tata bangunan air).  Sokarno
menjalani kuliah hanya dua bulan, setelah itu meninggalkan kuliah.  Tetapi pada tahun 1922
mendaftar Kembali, yang dalam perkembangannya dia  ternyata lebih berminat pada arsitek
bangunan umum, akhirnya berpindah ke 
jurusan teknik sipil kuliah selesai dan tamat pada tahun 1926. Soekarno  dinyatakan lulus
ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3
Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas  insinyur lainnya.

Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama  penting
peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang  Jawa". Mereka adalah
Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi  dari Minahasa yaitu Johannes
Alexander Henricus Ondang.

Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang  merupakan


anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia  berinteraksi dengan Ki
Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes  Dekker, yang saat itu merupakan
pemimpin organisasi National Indische Partij
B. Soekarno Sang Arsitek 
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai  arsitek
alumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di  Bandung dengan
mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926. 

Lulus sebagai insinyur, Sukarno baru merasakan kebebasan berekspresi  dalam politik.
Hal itu ditandai dengan sikapnya tidak mau mengerjakan proyek proyek pembangunan
pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Sukarno lebih sering  membuat proyek bangunan
rumah sederhana bersama kawan seangkatannya Ir.  Anwari.

Uniknya, setiap rumah yang dibangun sama Sukarno dan Anwari, dikasih  “tanda
tangan” berupa Gada Rujakpala di atas genteng, senjatanya Bima – salah  satu tokoh wayang
kesukaan Sukarno. Satu-satunya proyek arsitek besar yang  pernah dibangun Sukarno adalah
Hotel Preanger Bandung atas permintaan  khusus dari Prof. Wolff Schoemaker, dosen
kesayangan Sukarno.
Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari,   banyak
mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang
dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan  lainnya. Ketika dibuang di Bengkulu
menyempatkan merancang beberapa rumah  dan merenovasi total masjid Jami' di tengah
kota. 

Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang  dipengaruhi
atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari  bulan Mei sampai Juli
pada tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat,  Kanada, Italia, Jerman Barat, dan
Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno  semakin kaya dalam menata Indonesia
secara holistik dan menampilkannya  sebagai negara yang baru merdeka.
 
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait  beberapa
kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga  merencanakan sebuah
kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat  pemerintahan pada masa datang. Beberapa
karya dipengaruhi oleh Soekarno  atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa
arsitek seperti Frederich  Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior
untuk visualisasi.  Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara. 
✔ Masjid Istiqlal 1951 
✔ Monumen Nasional 1960 
✔ Gedung Conefo  
✔ Gedung Sarinah  
✔ Wisma Nusantara  
✔ Hotel Indonesia 1962  
✔ Tugu Selamat Datang 
✔ Monumen Pembebasan Irian Barat 
✔ Patung Dirgantara 
✔ Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan  sebagai seorang
arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide  arsitektural kepada pemerintah
Arab Saudi agar membuat bangunan untuk  melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam
bangunan dua lantai. Pemerintah  Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil
Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi 
umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk  melakukan
tawaf.
Salah satu karya agung Soekarno di lapangan pemikiran adalah Marhaenisme. Ajarannya ini bukan hanya
menyuluhi gerakan pembebasan di negerinya, Indonesia, tetapi juga di negara tetangga: Malaya (Malaysia)

Marhaenisme

A. Pendahuluan  
Banyak orang belajar/mempelajari Marhaenisme, yakni ajaran Bung Karno.  Namun
tidak menemukan apa sebenarnya inti dan kehendak dari ajaran tersebut.  Mereka tidak atau
belum menemukan "benang merahnya". Dengan demikian  maka sepertinya mereka sekedar
mempelajari secara lahir tentang perjuangan  dan keberhasilan Bung Karno di masa yang
silam, karena mereka cuma mewarisi  abunya sejarah bukan apinya sejarah. 
Apabila setiap pengikut ajaran Bung Karno hanyalah demikian adanya,  hanya
sekedar pewaris-pewaris abu sejarah belaka, alangkah sayangnya ajaran  yang brilliant itu
kemudian menjadi kenang-kenangan (sekalipun kenang kenangan yang indah). Marhaenisme
kemudian menjadi "out of date". Adalah  menjadi tanggungjawab kita bersama untuk
kembali menghidupkan jiwa ajaran  tersebut, kembali menemukan arti kebaikan bagi rakyat.
Dengan demikian  Marhaenisme akan menampakkan jiwanya sebagai ajaran yang dinamis
dan  selalu up to date. 
Untuk itulah maka mempelajari Marhaenisme tidaklah cukup hanya  mempelajari
pengertian-pengertiannya yang verbal, akan tetapi kita mencoba  untuk menukik lebih dalam
mencoba mengkaji makna hakikinya. Dengan  demikian maka di samping kita mengerti apa
Marhaenisme (secara verbal), kita 

coba menelaah mengapa dan juga apa Marhaenisme yang meliputi mengapa  lahir
Marhaenisme dan mengapa kita pilih sekarang serta untuk apa  sebenarnya kita memiliki
Marhaenisme itu.
B. Marhaenisme - Marhaen – Marhaenis 
1. Marhaenisme, adalah ajaran Bung Karno. Pengertianya adalah meliputi asa  (teori politik)
dan asas perjuangan. Sebagai asa atau teori politik, ia adalah  teori yang menghendaki
susunan masyarakat dan negara yang didalam  segala halnya menghendaki keselamatan
kaum Marhaen*. Sebagai teori  politik meliputi pengertian : 
a. Sosio Nasionalisme. Sosio Nasionalisme; adalah nasionalisme  masyarakat,
nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh  masyarakat dan yang bertindak
menurut hukum sosial nya  masyarakat itu. 
b. Sosio Demokrasi. Sosio Demokrasi; adalah merupakan konsekuensi  daripada
Sosio Nasionalisme. Sosio demokrasi adalah pula  demokrasi yang berdiri dengan
kedua kakinya didalam masyarakat 
c. Ketuhanan Yang Maha Esa.Sosio Demokrasi tidak untuk kepentingan  sekelompok
kecil masyarakat akan tetapi adalah untuk kepentingan  seluruh masyarakat. 

2. Marhaen; adalah diambil dari nama seorang petani yang ditemui oleh Bung  Karno di
daerah Priangan. Marhaen digunakan sebagai simbol untuk  menggambarkan kelompok
masyarakat/bangsa Indonesia yang  menderita/sengsara. Ia sengsara/menderita bukan
karena kemalasannya  atau kebodohannya, akan tetapi ia sengsara/menderita karena 
disengsarakan oleh sesuatu sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme. 
3. Marhaen meliputi unsur-unsur tani, buruh-tani, pedagang kecil yang  melarat, dan semua
kaum melarat lainnya yang dimelaratkan oleh  sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme
dan feodalisme. 
4. Marhaenis, adalah penganut ajaran Marhaenisme yang berjuang menurut  petunjuk ajaran-
ajaran Marhaenisme, berjuang dengan bersama sama/mengorganisir berjuta-juta kaum
marhaen yang tersebar di seluruh  tanah air. 
C. Konsep Marhaenisme 
Pada tahun 1927, Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Perserikatan  Nasional
Indonesia—kelak berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia  (PNI). Partai baru ini
menggunakan marhaenisme sebagai azas politiknya. Dengan  azas itu, PNI berhasil
menggerakkan kaum marhaen, yang meliputi hampir 90  persen rakyat Indonesia kala itu,
untuk menggoyang kekuasaan kolonial. Saat 
itu, Marhaenisme menjadi salah satu ideologi perjuangan rakyat Indonesia. Di samping itu
ada sosialisme, komunisme, dan islamisme.

Melalui dua corong utamanya, Fikiran Ra’jat dan Suluh Indonesia Muda, PNI berhasil
menyebarkan  faham Marhaenisme-nya ke seluruh penjuru negeri. Bahkan hingga ke
Malaya. Pada tahun 1930-an, organisasi nasional Malaya yang baru berdiri,  Kesatuan Kaum
Muda (KMM), sangat terpengaruh oleh marhaenisme. Malahan,  pada tahun 1955, berdiri
partai politik bernama Partai Rakyat Malaya (PRM) yang  mengadopsi Marhaenisme sebagai
azas partai. 

Di pemilu 1955, hampir 30 persen pemilih Indonesia mengidentifikasi  dirinya


sebagai Marhaenis. Popularitas Marhaenisme memang tidak terlepas dari  andil Soekarno.
Melalui medium pidato, Soekarno mendidik rakyat dengan  berbagai ajaran politik, termasuk
marhaenisme. Ia sangat piawai menjelaskan  teori yang rumit menjadi begitu sederhana. 

Di Konferensi Partindo, di Mataram, tahun 1933, Soekarno menjelaskan  esensi


marhaenisme sebagai sebuah ajaran politik sekaligus ideologi perjuangan.  Menurut dia,
marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat  dan susunan negeri yang
di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen. 

Untuk itu, kata Soekarno, Marhaenisme juga merupakan cara perjuangan  dan azas
yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Sebab,  kedua sistim itu telah
menghisap dan menindas rakyat jelata. Ditegaskan juga,  untuk mencapai susunan
masyarakat itu, kaum Marhaen harus menempuh cara 
cara revolusioner. 
PNI dan Soekarno
A.Pendahuluan
Setelah beberapa kali Sukarno berkarya dalam dunia arsitek, pada akhirnya  dia
kembali pada ambisi terpendamnya sejak dulu, yaitu dunia politik dan  pembebasan Hindia
dari Belanda. Sampai pada akhirnya, Sukarno dan teman teman diskusi politiknya di
Bandung mendirikan Algemeene Studie Club (ASC). Di  samping itu, rupa-rupanya gerakan
politik dari tokoh nasionalis lain pun sedang  bergejolak, di antaranya para lulusan perguruan
tinggi di Belanda yang  mendirikan Indische Vereniging (IV).
Dari sisi lain Partai Komunis Indonesia (PKI)  pimpinan Tan Malaka, Alimin, dan
Munawar Muso juga melancarkan gerakan  pemberontakan pada November 1926, namun
sayangnya gagal karena rencana  yang kurang matang. Sampai pada akhirnya, Sukarno dari
ASC dan teman-teman  dari IV bersepakat mendirikan partai baru bernama Perhimpunan
Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927. 
Di sisi lain, kegagalan pemberontakan PKI kepada pemerintahan  Belanda yang
sempat didukung rakyat luas membuat para petinggi partainya  ditangkap dan dibuang ke
Boven Digoel. Ketika rakyat semakin pesimis dan  mendambakan wadah perjuangan baru,
PNI inilah yang akhirnya menjadi wadah  perjuangan baur bagi rakyat, dan Sukarno sebagai
tokoh PNI paling vokal, mulai  mendapat banyak pendukung setia di tanah Jawa. 
Puncaknya adalah tahun 1928 ketika PNI (namanya sekarang jadi Partai  Nasional
Indonesia) menggelar kongres pertama di Surabaya dengan  slogan “Indonesia Siap
Merdeka”, makin lebarlah sayap PNI sebagai partai yang  didukung rakyat. Terlebih, hasil
kongres tersebut sangat bernuansa  pemberontakan : 
a. Program politik untuk mencapai Indonesia merdeka 
b. Program ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional
c. Menetapkan asas non-kooperatif terhadap Belanda untuk perjuangan  PNI

B. Dibalik Layar Berdirinya PNI

Dari tujuh orang yang hadir dalam pertemuan itu, hanya Tjipto yang menyatakan 
keberatannya atas rencana enam orang lainnya untuk membentuk partai politik. Bagi  Tjipto,
mendirikan partai politik bakal mengundang reaksi keras pemerintah kolonial  yang baru
setahun sebelumnya menumpas perlawanan PKI. 
Cipto Mangunkusumo tidak setuju berdirinya suatu partai nasional karena ia 
berpendapat bahwa partai nasional itu akan dinilai oleh pemerintah kolonial sebagai 
pengganti Partai Komunis Indonesia yang sudah dilarang. Penolakan Tjipto cukup 
beralasan. Hal Ini dijelaskan oleh Bung Karno di muka Landraad (pengadilan negeri, red)  di
Bandung, meskipun begitu Bung Karno menganggap Dr Cipto juga sebagai pendiri, 
Pemerintah kolonial di bawah gubernur jenderal Dirk Fock dan kemudian  digantikan
oleh ACD de Graeff sangat reaktif terhadap gerakan politik nasionalis  Indonesia, terutama
setelah peristiwa pemberontakan PKI 1926. Mengacu pada buku  “babon” Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia  Belanda, “Gubenur Jenderal de
Graeff yang semula bersikap terbuka terhadap golongan  nasionalis bertindak keras, 4.500
orang dipenjara, kira-kira 1.300 dibuang ke Digul, dan  4 orang dihukum mati.” 

Dalam situasi seperti itu, mendirikan partai politik adalah langkah penuh resiko.  Tapi
keputusan sudah bulat. Sebuah partai politik harus didirikan. Maka, ”Pada tanggal  empat
Juli 1927, dengan dukungan enam orang kawan dari Algemeene Studieclub,  Soekarno
mendirikan PNI, Partai Nasional Indonesia. 

Sukarno menyebutkan PNI sebagai “partai” namun berdasarkan keterangan 


Soenario, PNI pertama kali berdiri dengan nama “Perserikatan Nasional Indonesia” dan  baru
diubah menjadi partai pada kongres pertamanya setahun kemudian. Enam orang  yang
dimaksud Sukarno itu antara lain Soenario, Iskaq Tjokrohadisurjo, Sartono,  Budyarto
Martoatmojo, Samsi Sastrowidagdo dan Tjipto Mangunkusumo. Selain ketujuh  orang tadi,
masih menambah dua orang lain yang juga dianggap sebagai pendiri PNI,  yakni Sujadi dan
J. Tilaar. 

Setelah PNI terbentuk, Sukarno dipilih menjadi ketuanya, sementara Iskaq jadi 
sekretaris dan lainnya menjadi anggota. Alasan pemilihan Sukarno menjadi ketua karena  dia
dianggap “paling populer dan paling maju untuk memimpin partai sebagai ketua  atau
pemuka,” ujar Iskaq. 

C. Ideologi Partai
Soekarno mengenang masa-masa itu secara dramatis. “Pada setiap cangkir kopi 
tubruk, di setiap sudut di mana orang berkumpul nama Bung Karno menjadi buah mulut 
orang. Kebencian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung Karno memperoleh 
tempat yang berdampingan dalam setiap buah tutur,” kenangnya. 
Soekarno menegaskan nasionalisme adalah ideologi yang mampu menyatukan
berbagai perbedaan dan melempangkan jalan menuju kemerdekaan. Dalam soal ini  Sukarno
terpengaruh oleh ide-ide nasionalisme Hindia yang telah lebih dulu diusung 
oleh Indische Partij yang didirikan oleh triumvirat Douwes Dekker, Tjipto  Mangunkusumo
dan Suwardi Suryaningrat. 
“Di dalam ide-ide mereka Sukarno menemukan pembenaran bagi suatu bentuk 
nasionalisme yang tidak mengandung komitmen tertentu terhadap Islam, teori  perjuangan
kelas, maupun kaitan formal dengan kelompok etnik tertentu,” tulis MC.  Ricklefs dalam
Sejarah Indonesia Modern. 
Dengan pengertian nasionalisme yang longgar itu, PNI mampu merampungkan 
landasan partai yang kelak bisa mempersatukan “semua kekuatan revolusioner dalam  satu
ikatan,” ujar Sukarno. Sementara itu Soenario mengklaim PNI sebagai “partai baru  yang
bersifat nasional Indonesia dalam arti luas dan tidak chauvinistis,” kata dia dalam 
memoarnya. 
D. Sepak Terjang PNI Hingga Tenggelam 
Sejak berdiri, PNI menyelenggarakan kongres dua kali. Kongres pertama 
diselenggarakan di Surabaya pada 28-30 Mei 1928 dan kongres kedua di Jakarta, 18-20  Mei
1929. Dalam kongres pertama, Sukarno mengemukakan asas nasionalisme PNI ke  hadapan
ribuan pengikutnya, sekaligus pertemuan resmi pertama antara pemimpin  partai dan
konstituennya. Bahkan agen Dinas Pengawasan Politik pemerintah pun turut  menyusup ke
dalamnya. 

“Rapat terbuka yang selama kongres dihadiri massa sekitar 3000 – 3500 orang  arek-
arek Surabaya, terdiri dari pimpinan dan massa PNI serta simpatisan, dan tentu saja  wakil
dari Pemerintah Hindia Belanda dan PID (Politieke Inlichtingen Dienst),” kata Iskaq. 
Iskaq sendiri dalam kongres tersebut melancarkan kritik terhadap praktik  exorbitante
rechten, hak istimewa gubernur jenderal untuk menangkap atau  mengasingkan siapapun
yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan melawan  pemerintah kolonial. Berbagai
materi pembicaraan kongres yang menyerang kebijakan  pemerintah meningkatkan
kewaspadaan terhadap partai yang baru berdiri itu.
 
Kongres kedua di Jakarta sedikit berbeda dari kongres pertama karena pada saat 
itulah lagu Indonesia Raya dinyanyikan sekaligus menjadi lagu wajib resmi partai.  Peserta
sidang pun datang dari berbagai daerah di Indonesia, kecuali cabang Ulusiau,  “karena
ketuanya G. Dauhan dilarang datang ke kongres PNI oleh Residen di Manado,”  kata Iskaq.
Materi pembicaraan di dalam kongres tak banyak jauh berbeda dari kongres  pertama. Tetap
kritis terhadap pemerintah kolonial.

Seiring dinamisnya kegiatan PNI, pengawasan pemerintah kolonial pun semakin 


ketat. Para pemimpin PNI yang menggalang kekuatan tak hanya di kalangan partai, juga 
meluaskan perannya dengan mendirikan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan 
Indonesia (PPKI) yang menjadi motor berbagai pertemuan politik dan Sumpah Pemuda  pada
1928. Iklim politik kembali memanas seiring kemunculan pemimpin-pemimpin  politik yang
baru itu. 
“Pemerintah kolonial mulai melawan para pemimpin baru. Pada kurun waktu itu 
komunitas orang-orang Belanda juga semakin condong ke kanan serta merasa sangat  cemas
dan sakit dengan rapat-rapat umum yang besar, di mana Sukarno dan pemimpin pemimpin
lainnya dengan seenaknya mencerca penguasa kolonial,” tulis sejarawan  Ricklefs. 

Ketegangan yang terjadi sejak berdirinya PNI akhirnya berujung pada  penangkapan
para pemimpin PNI. Pada 29 Desember 1929, Sukarno beserta Maskoen,  Soepriadinata dan
Gatot Mangkoepradja ditangkap di Yogyakarta usai menghadiri rapat  umum yang
diselenggarakan PPKI. Rangkaian yang dimulai sejak 24 Desember itu  menurut Iskaq terjadi
“pada 37 tempat, yakni 27 di Jawa, 8 di Sumatera, 1 di Sulawesi  dan 1 lagi di Kalimantan.
Penangkapan seluruhnya berjumlah 180 pimpinan PNI,” kata  Iskaq mengutip keterangan
Soenario. 
Penangkapan ratusan pemimpin PNI, termasuk para pemimpin utamanya, telah 
membuat PNI lumpuh. Menurut Ricklefs dengan penangkapan itu kegiatan politik PNI 
berhenti total. “Tanpa Sukarno, maka PNI sangat lemah,” ujarnya. Meskipun demikian, 
lanjut Ricklefs, “konsepsi nasional Indonesia yang tidak mempunyai kaitan keagamaan 
maupun kedaerahan tertentu mulai diterima secara luas di kalangan elite.” 
E. Kampanye Kemerdekaan di Bawah Represi 
Meski dideklarasikan dengan semangat tinggi, PNI mengelola organisasinya  dengan
hati-hati. Ingleson mencatat bahwa selama Juli hingga Desember 1927, PNI baru  punya tiga
cabang: Bandung, Batavia, dan Yogyakarta. Lalu pada awal 1928 sebuah  cabang baru
berdiri di Surabaya dan Surakarta. 
Pemerintah kolonial tentu saja memperhatikan pertumbuhan PNI dengan  saksama.
Tapi dalam setahun pertama berdirinya PNI, belum ada tindakan-tindakan  represif dari
pemerintah kolonial. Penasihat Urusan Pribumi pun membiarkan PNI selama  ia tidak
melewati batas-batas politik yang ditetapkan.

Pemerintah kolonial mulai mengambil tindakan lebih keras pada akhir 1928. Saat  itu
Sukarno dan juru pidato PNI lainnya kian gencar mengampanyekan kemerdekaan. PNI  juga
berhasil menghimpun organisasi-organisasi politik lain dalam wadah Permufakatan 
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). 
Rapat-rapat umum yang digelar PNI dan dihadiri Sukarno selalu penuh sesak. 
Otoritas Hindia Belanda juga kian jengkel karena orang-orang PNI semakin berani 
menyanyikan "Indonesia Raya" dalam rapat-rapat itu. Tidak salah jika pemerintah  kolonial
menganggapnya sebagai tantangan. 

“Semenjak dinyanyikan pertamakali pada bulan Oktober 1928, lagu ini telah  menjadi
pokok-pangkal keluhan yang terus-menerus dari pejabat-pejabat setempat  kepada jaksa
agung dan gubernur jenderal,” tulis Ingleson.  
Soekarno dan kawan-kawannya harus membayar mahal sikap radikal mereka itu. 
Pada akhirnya sikap itulah yang kemudian jadi musabab dijebloskannya Sukarno dan 
kawan-kawan ke penjara kolonial. 
Indonesia Menggugat

A. Pendahuluan  
1. Cerita Bung Karno tentang Naskah Indonesia Menggugat

Pada 16 Juni 1930, atau enam bulan setelah Bung Karno meringkuk di  penjara
Bantjeuj Bandung, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelies  Dirk de Graeff
membacakan pengumuman penting. “Soekarno akan dihadapkan  di muka pengadilan dengan
segera,” kenang Bung Karno menirukan  pengumuman itu, dalam buku otobiografinya. 
Maka, tak lama kemudian, ditetapkanlah jadwal: Bung Karno akan  dihadapkan di
muka pengadilan Belanda mulai 18 Agustus 1930. Hanya dalam  waktu sebulan setengah, ia
mesti menyusun pledoi atau pembelaan. 

“Terlintas dalam pikiran saya bahwa menjadi kewajibankulah untuk  mempersiapkan


pembelaanku sendiri,” kata Bung Karno kepada Sartono, salah  satu pembela di pengadilan,
yang juga anggota PNI. Para ahli hukum berlomba lomba ingin membela Bung Karno yang
menjadi tahanan sejak 29 Desember  1929, bersama tiga anggota PNI: Gatot Mangkupraja,
Maskun dan Supriadinata. “Tidak dengan bayaran. Dan memang tidak ada uang untuk
membayar. Para  pembelaku bahkan menanggung pengeluaran mereka masing‐masing,” kata
Bung. Kepada Sartono, Bung Karno mengatakan bahwa pembelaannya nanti akan
ditekankan pada persoalan politik dan kemanusiaan. Untuk segi hukum, Bung
mempercayakan kepada pembelanya. “Kita memerlukan getaran perasaan  kemanusiaan.
Inilah yang akan saya kemukakan,” kata Bung. 

Sartono awalnya ragu dengan usulan Bung Karno. Menurut Sartono, isi  pembelaan
semacam itu tidak lazim dibacakan di pengadilan. Namun, Bung  Karno tetap meyakinkan. 
“Kalau sudah nasib saya untuk menahankan siksaan, biarkanlah saya.  Bukankah
lebih baik Soekarno menderita untuk sementara daripada Indonesia  menderita untuk selama‐
lamanya?” 

2. Menulis Indonesia Menggugat 


Istri Bung Karno, Inggit Garnasih, memasok kertas dan tinta dari rumahnya  di Jalan Dewi
Sartika nomor 22 Bandung. Juga buku-buku, yang diselundupkan  secara rapi melalui kurir-
kurir. “Pekerjaan ini sungguh meremukkan tulang‐ punggung. Aku tidak punya meja untuk
dapat bekerja dengan enak,” kata Bung. 
Di selnya yang sempit, tidak ada perabot selain kasur kecil dan kaleng  rombeng
tempat untuk kencing dan buang air besar alias berak. Bau kaleng yang  tingginya 2 kaki (60
centimeter) dan lebar 2 kaki (60 centimeter) sangat tidak  sedap. Kaleng itulah yang
dijadikan tempat Bung Karno menulis pledoi. “Setiap  pagi aku harus menyeretnya dari
bawah tempat tidur, kemudian menjinjingnya  ke kakus dan membersihkan kaleng itu,” kata
Bung. 
Kaleng itu posisinya dibalik, kemudian di atasnya dilapisi beberapa kertas  sampai
ketebalannya mencukupi untuk alas menulis. Malam demi malam, Bung Karno duduk bersila
dan menulis. “Dengan cara begini aku bertekun menyusun  pembelaanku yang kemudian
menjadi sejarah politik Indonesia dengan nama  lndonesia Menggugat,” cerita Bung. 

3. Pledoi Dibacakan  
“Ketika aku memulai pidatoku tiada satu pun terdengar suara. Tiada satu  pun yang
bergerak. Tiada gemerisik. Hanya putaran lembut dari kipas angin di  atas kepala terdengar
merintih.” “Sambil berdiri di atas bangku pesakitan yang  ditinggikan aku menghadap ke
meja hijau hakim dan aku mulai berbicara. Aku  berbicara berjam‐jam.” 
Dalam Indonesia Menggugat, Bung Karno tidak sekadar membela dirinya,  lebih dari
itu: membela bangsa Indonesia yang telah dijatuhkan sedemikian rupa  harkat dan
martabatnya oleh penjajahan.Bung Karno dan rekan-rekannya  memang sudah paham bahwa
pengadilan Belanda hanyalah gurauan Belaka. Ia  kemudian diputus empat tahun penjara dan
menjalani hukumannya di penjara  Sukamiskin Bandung. 

Di saat bersamaan, naskah Indonesia Menggugat ternyata menyebar  dengan cepat


dan dibahas serius oleh ahli-ahli hukum di dalam maupun luar  negeri. Indonesia Menggugat
diterbitkan dalam belasan bahasa dan tersebar di  banyak negara. Naskahnya pun, kata Bung
Karno, diterjemahkan dengan bahasa  yang menyala-nyala. 

“Demikian banyak tekanan telah dilakukan (kepada Belanda), baik di dalam  maupun
di luar negeri, sehingga Gubernur Jendral merubah hukumanku menjadi  dua tahun.” 
31 Desember 1931, Bung Karno bebas dari penjara Sukamiskin. “Thesis  tentang
kolonialisme ini… adalah hasil penulisan di atas kaleng tempat buang air  yang bertugas
ganda itu.” 

Soekarno membagi dua jenis imperialisme berdasarkan cara akumulasi


keuntunganya, yakni imperialisme tua dan imperialisme modern. Imperialisme  tua,
sebagaimana dijalankan oleh East India Company (EIC) dan VOC, adalah imperialisme yang
ditopang dengan cara-cara akumulasi primitif: perampasan  dan kekerasan. Sedangkan
imperialisme modern, yang mulai merambah Hindia Belanda di abad ke-19 dan 20,
berbasiskan pada liberalisasi investasi,  perdagangan bebas dan komersialisasi tanah. 
Soekarno juga membeberkan empat ciri imperialisme modern: pertama,  menjadikan
Indonesia sebagai tempat pengambilan bekal hidup; kedua,  menjadikan indonesia sebagai
negeri tempat pengambilan bekal-bekal (bahan  baku) bagi pabrik-pabrik di eropa; ketiga,
menjadikan Indonesia sebagai pasar  penjualan barang-barang hasil dari berbagai industri di
eropa;  dan keempat, menjadikan Indonesia sebagai tempat atau lapang usaha bagi
penanaman modal asing. 
Esensi imperialisme adalah menghisap dan mengalirkan kekayaan  Indonesia ke
negeri-negeri imperialis. Soekarno menyebutnya politik drainage. Drainage, atau drainase
dalam bahasa Indonesia, adalah saluran untuk  mengalirkan air hingga kering. Jadi,
imperialisme itu mirip drainase. 

Untuk menopang politik drainase itu, kolonial Belanda kemudian  menerapkan


opendeur politiek atau politik pintu terbuka. Dengan begitu, modal  partikelir bisa bebas
masuk ke Indonesia. Agar modal partikelir makin tertarik,  dibuatlah dua Undang-Undang
(UU), yakni UU agraria dan UU Tanam Tebu. 
Tidak hanya itu, proyek infastruktur pun digenjot. Dibangunlah jalan-jalan,
pelabuhan-pelabuhan, jalan kereta api dan lain-lain untuk melancarkan lalu-lintas  barang,
tenaga kerja dan kapital. 

“Tetapi tidak dapat disangkal bahwa alat lalu-lintas modern itu  menggampangkan
geraknya modal partikelir. Tidak dapat disangkal bahwa alat alat lalu lintas itu
menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang  perusahaannya, membesarkan diri
dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki  rakyat kocar-kacir oleh karenanya,” tulis
Soekarno. 
Dampaknya sudah bisa ditebak: kemelaratan rakyat Indonesia. Soekarno mengutip
data statistik jaman itu, “tiap rumah tangga marhaen hanya mendapat  138,50 gulden per
tahun atau 0,40 gulden per hari.” Pendapatan segitu, kata  Soekarno, hanya membuat
marhaen: “sekarang makan, besok tidak.” 

Menurut Soekarno, keadaan itulah yang melahirkan perlawanan. Bukan  karena


hasutan kaum pergerakan. Menurutnya, lahirnya pergerakan rakyat itu  adalah hasil dari
kesengsaraan dan kemelaratan akibat penindasan kolonialisme  Belanda. “Jangankan
manusia, cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget  kalau merasakan sakit,” tulis
Soekarno. 
Dalam konteks itulah, organisasi pergerakan macam PNI dan lain-lain  dilahirkan.
Organisasi pergerakan itu sekedar mengarahkan dan melapangkan  jalan perjuangan rakyat
agar benar-benar menyasar musuhnya dan mencapai  tujuannya.

Soekarno menegaskan bahwa partainya, PNI, adalah partai anti-kapitalis  dan anti-
imperialis. Hanya saja, kata dia, ketika melancarkan kritik atau serangan,  PNI tidak pernah
menggunakan ‘kritik palsu’ dan subjektif. Sebaliknya, PNI  menggunakan kritik rasional dan
ilmiah. 
Soekarno juga menampik tudingan pemerintah kolonial bahwa PNI sedang
mempersiapkan pemberontakan bersenjata. Dia bilang, kendati PNI menggukan  istilah “aksi
dengan perbuatan”, bukan berarti PNI menghalalkan cara kekerasan:  bedil, bom, dan
dinamit. Bagi PNI, senjata perlawanan yang mematikan  imperialisme bukanlah bedil dan
bom, melainkan organisasi massa yang  mengakar kuat di kalangan kaum buruh dan
marhaen. 
PNI juga tidak mau tawar-menawar dengan cita-cita kemerdekaan. Bagi PNI,
kemerdekaan nasional merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki  kehidupan rakyat.
PNI juga pantang mengemis-ngemis meminta kemerdekaan  kepada penjajah. PNI teguh
pada prinsip: non-koperasi dan self-help. Di sidang  pengadilan, Soekarno berteriak lantang:
Indonesia Merdeka oleh revolusi! 

C. Penutup  
Pledoi Indonesia Menggugat benar-benar menjambak kolonialisme dan
imperialisme. Namun, kendati pledoi yang dibacakan Soekarno tanggal 1  Desember 1930 itu
punya daya gugat luar biasa, tetapi tidak berhasil  membebaskannya dari jeratan hukum
kolonial. Kendati memberikan pembelaan,  hakim tetap memutuskan Soekarno bersalah dan
kembali ditahan di penjara  Sukamiskin. 
Tetapi bukan itu ukuran sukses pledoi itu. Aksi panggung Soekarno di  pengadilan
kolonial itu telah membangkitkan semangat pergerakan, bahwa  pejuang bumiputra bisa
berdiri dengan kepala tegak di hadapan sistim  pengadilan kolonial. 

Kendati naskah pledoi Indonesia Menggugat sudah berumur 86 tahun,  sudah


menjadi naskah klasik, tetapi gugatannya masih terdengar nyaring hingga  kini. Apalagi,
kolonialisme dan imperialisme yang digugat Soekarno belum mati,  hanya berganti dengan
baju baru: neokolonialisme dan imperialisme modern. 
Dan daya gugat pledoi itu makin terdengar nyaring tatkala operator dari  neokolonialisme
dan imperialisme itu sendiri adalah Pemerintahan dari Republik  yang diperjuangkan oleh
Soekarno dan kawan-kawannya. Seperti yang dikatakan  Soekarno sendiri: “Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah,  perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan
bangsamu sendiri.”  

---ooo---

Anda mungkin juga menyukai