Anda di halaman 1dari 25

DISKUSI TOPIK

GENERAL PERITONITIS ET CAUSA SUSPECT


APPENDICITIS PERFORATION

Disusun Oleh
Aprindo Donatus
NIM I4061152018

Pembimbing
dr. Ranti Waluyan

SMF EMERGENSI MEDIK DAN BEDAH


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RS ABDUL AZIZ
SINGKAWANG
2019

LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui diskusi topik dengan judul :

GENERAL PERITONITIS ET CAUSA SUSPECT


APPENDICITIS PERFORATION

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Emergensi Medik dan Bedah

Singkawang, Februari 2019

Pembimbing,

dr. Ranti Waluyan Aprindo Donatus

BAB I
PENYAJIAN KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. RM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 03-05-2003 (15 tahun)
Tanggal Kunjungan : 11-02-2019 (pkl. 08.20 WIB)
Pembiayaan : BPJS
No. RM : 49.74.03
Triage : Kuning

B. Primary Survey
Keluhan Utama: Nyeri Perut
1. Airway
Jejas (-), Obstruksi (-), rinorea (-) Stridor (-), Snoring (-), Gurgling (-).
2. Breathing
Bernapas spontan. Simetris saat statis dan dinamis. Jejas (-), Frekuensi
napas: 28 kali/menit. Retraksi dinding dada (-). Suara napas dasar vesikuler
(+/+), Rh (-/-), Wh (-/-). Saturasi Oksigen 98%.
3. Circulation
Tekanan darah: 130/90 mmHg. Capillary Refill Time: <2 detik, Nadi:
112x/menit. kuat angkat dan reguler, Akral hangat, BJ S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).
4. Disability
GCS: 15, Kesadaran: CM, pupil Isokor, RCL +/+, RCTL +/+.
5. Exposure
Suhu tubuh: 38,2o C.

C. Secondary Survey
Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri Perut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 hari SMRS. Nyeri
pada awalnya dirasakan hanya pada bagian ulu hati yang kemudian
berpindah ke kanan bawah. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk, tidak
menjalar, dan hilang timbul. Nyeri kemudian semakin parah dan terus
menerus hingga dirasakan seluruh lapang perut. Pasien juga mengeluhkan
demam (+) dan mual (+) muntah >10x berupa makanan dan air. Pasien
mengaku tidak nafsu makan akibat mual yang dirasakan. Pasien kemudian
berobat ke RSUD dr. Rubini selama 1 malam dan paginya dirujuk ke
RSUD Abdul Azis keesokan paginya dengan radang usus buntu yang
sudah pecah. Pasien mengaku, kira-kira 8 bulan yang lalu pernah sakit
serupa namun tidak parah dan sembuh dengan minum obat nyeri.
A (Allergy) : Pasien tidak ada alergi obat
M (Medication) : Pasien sudah di rawat di RSUD dr. Rubini 1 hari
P (Previous Ilness) : Pasien pernah mengelami keluhan serupa
L (Last Meal) : Pasien makan terakhir pada malam sebelumnya
E (Environment) : Keluhan serupa di keluarga tidak ada
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengeluhkan keluhan serupa sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami riwayat keluhan serupa.
Penyakit asma, jantung, hipertensi, DM pada keluarga disangkal.
D. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis (E4 M6 V5)
3. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 100/60 mmHg
b. Nadi : 100 x/menit, reguler, teraba kuat angkat
c. Respirasi : 28 x/menit
d. Suhu : 38,2o C
4. Status Generalis
a. Kulit : sianosis (-), petekie (-), pucat (-)
b. Kepala : hematom (-), jejas (-)
c. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
injeksi konjungtiva (-/-), cekung (-), refleks cahaya
langsung (+), pupil isokor (3mm/3mm)
d. Telinga : AS : sekret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dinilai
AD : sekret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dinilai
e. Hidung : rhinorhea (-), edema mukosa (-/-), pernafasan
cuping hidung (-)
f. Mulut : stomatitis (-), mukosa bibir pucat (-), lidah kotor(-)
g. Tenggorokan : faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (T1/T1),
selaput (-)
h. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak
ditemukan, massa tiroid normal
i. Dada : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
j. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC 5 linea midclavicula
sinistra, thrill (-)
Perkusi : batas kanan jantung di SIC 4 linea parasternal
dekstra, batas kiri jantung di SIC 5 linea
midclavicula sinistra, dan pinggang jantung di SIC
3 linea parasternal sinistra.
Auskultasi : S1 tunggal/ S2 split tak konstan, reguler, gallop
(-), murmur sistolik (-)
k. Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : fremitus taktil tidak dinilai
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas dasar: vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-), krepitasi (-/-)
l. Abdomen
Inspeksi : distensi (+), jejas (-)
Auskultasi : bising usus (+) menurun, 2-3x/m
Perkusi : redup di semua lapang perut
Palpasi : defans muscular (+), NT (+) seluruh lapang perut,
Mc. Burney (+), Rebound Tenderness (+), Obturator
Sign (+), massa (-), hepar & lien tidak teraba.
m. Urogenital : tidak diperiksa
n. Anus/Rektum : tidak diperiksa
o. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, ADP kuat
angkat

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah rutin: kesan leukositosis
RBC: 5,22 x 106 /uL
HGB: 15,3 g/dL
HCT: 44,2 %
WBC: 13.250 /uL
PLT: 233.000 /uL
2. Diff Count: kesan shift to the left
Bt+Sg: 81
B: 0
E: 1
L: 15
M: 1
3. Kimia Darah
a) HBsAg: Non Reactive
b) Anti-HIV: Non Reactive
c) Gol. Darah: B

F. Diagnosis
Peritonitis generalisata et causa suspect appendicitis perforasi

G. Tatalaksana
 DC
 Puasa
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ketorolac 1 amp IV
 Inj. Ranitidin 50 mg IV
 Inj. Ceftriaxone 1gr IV
 Pro. Laparatomy Explorasi + Appendectomy

H. Prognosis
Ad Vitam : bonam
Ad Functionam : bonam
Ad Sanactionam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Akut Abdomen
A.1 Definisi
Akut abdomen adalah suatu kondisi abdomen yang terjadi secara
mendadak pada umumnya diikuti nyeri perut akibat dari radang, luka,
penyumbatan (obstruksi), kerusakan organ (ruptur), sehingga
memerlukan tindakan bedah darurat. Siegenthaller (2007) mendefinisikan
bahwa akut abdomen adalah suatu keadaan nyeri perut hebat yang terjadi
dalam hitungan jam dan tidak diketahui diketahui penyebabnya, dimana
dianggap sebagai keadaan darurat bedah karena tanda dan gejala
klinisnya
A.2 Epidemiologi
Kasus abdominal pain tercatat 5% sampai 10% dari semua
kunjungan gawat darurat atau 5 sampai 10 juta pasien di Amerika
Serikat. Studi lain menunjukkan bahwa 25% dari pasien yang datang ke
gawat darurat mengeluh nyeri perut. Diagnosis bervariasi sesuai untuk
kelompok usia, yaitu anak dan geriatri. Sebagai contoh nyeri perut pada
anak-anak lebih sering disebabkan oleh apendisitis, sedangkan penyakit
empedu, usus diverticulitis, dan infark usus lebih umum terjadi pada
bayi.
A.3 Etiologi
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen, apapun
penyebabnya gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah
abdomen. Secara garis besar, akut abdomen dapat disebabkan oleh
infeksi atau inflamasi, oklusi obstruksi, dan perdarahan. Keadaan infeksi
atau peradangaan misalnya pada kasus apendisitis, kolesistitis, atau
penyakit Crohn. Keadaan oklusi obstruksi misalnya pada kasus hernia
inkaserata atau volvulus. Sedangkan keadaan perdarahan misalnya pada
kasus trauma organ abdominal, kehamilan ektopik terganggu, atau
rupture tumor.
Menurut survei World Gastroenterology Organization, diagnosis
akhir pasien dengan nyeri akut abdomen adalah apendisitis (28%),
kolesistitis (10%), obstruksi usus halus (4%), keadaan akut ginekologi
(4%), pancreatitis akut (3%), colic renal (3%), perforasi ulkus peptic
(2,5%) atau diverticulitis akut (1,5%).

Penyebab Akut Abdomen Berdasarkan Pembagian Regional Abdomen

A.4 Klasifikasi Nyeri


Akut abdomen terjadi karena nyeri abdomen yang timbul tiba-tiba
atau sudah berlangsung lama. Nyeri abdomen ini dapat berupa nyeri
visceral, nyeri somatic maupun nyeri alih.

Jenis dan Letak Nyeri Perut


1. Nyeri Viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau
struktur dalam rongga perut, misalnya karena cedera atau radang.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh
sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap rabaan, atau
pemotongan. Akan tetapi, bila dilakukan tarikan atau regangan
organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang
menyebabkan iskemia akan timbul nyeri.
Pasien yang merasakan nyeri viseral biasanya tak dapat
menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah
yang yang nyeri. Nyeri viseral kadang disebut nyeri sentral.
Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan
embrional organ yang terlibat. Karena tidak disertai rangsang
peritoneum, nyeri ini tidak dipengaruhi oleh gerakan sehingga
penderita biasanya dapat aktif bergerak.
2. Nyeri Somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang
dipersarafi oleh saraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum
parietalis, dan luka pada dinding perut. Rangsang yang menimbulkan
nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, atau
proses radang.
Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal akan
menghasilkan sensasi yang tajam dan terlokalisir di area stimulus.
Ketika peradangan pada viseral mengiritasi pada peritoneum parietal
maka akan timbul nyeri yang terlokalisir. Nyeri dirasakan seperti
ditusuk atau disayat. Peradangannya sendiri maupun gesekan antara
kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri.
Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri kontralateral pada apendisitis
akut. Setiap gerakan penderita akan menambah rasa nyeri, baik
berupa gerak tubuh maupun gerak napas yang dalam.
Tabel Perbedaan Nyeri Visceral dan Nyeri Somatik

Sifat Nyeri
1. Nyeri Alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih
dari satu daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher
C3-C5 pindah ke bawah pada masa embrional sehingga rangsangan
pada diafragma oleh perdarahan atau peradangan akan dirasakan di
bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri dirasakan pada
daerah ujung belikat.
2. Nyeri Proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan
saraf sensoris akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang
terkenal adalah nyeri phantom setelah amputasi, atau nyeri perifer
setempat akibat herpes zooster.

3. Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika
ada peradangan pada rongga di bawahnya. Pada akut abdomen, tanda
ini sering ditemukan pada peritonitis setempat maupun peritonitis
umum. Nyeri peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat
terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk
dengan tepat lokasi nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri
tekan, nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa rangsangan peritoneum
lain dan defans muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit
setempat.
4. Nyeri Kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan
dirasakan terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Otot dinding
perut menunjukkan defans muskuler secara refleks untuk melindungi
bagian yang meraadang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat.
5. Nyeri Kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ
berongga dan biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam
organ tersebut (obstruksi usus, batu ureter, batu empedu,
peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia
yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi
berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul. Yang khas ialah trias
kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut yang hilang timbul mual
atau muntah dan gerak paksa.
6. Nyeri Iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat,
menetap, dan tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan
yang terancam nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi
umum seperti takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok karena
resorbsi toksin dari jaringan nekrosis.

7. Nyeri Pindah
Nyeri berubah sesuai dengan perkembangan patologi.
Misalnya pada tahap awal apendisitis. Sebelum radang mencapai
permukaan peritoneum, nyeri viseral dirasakan di sekitar pusat
disertai rasa mual karena apendiks termasuk usus tengah. Setelah
radang terjadi di seluruh dinding termasuk peritoneum viserale,
terjadi nyeri akibat rangsangan peritoneum yang merupakan nyeri
somatik. Pada saat ini, nyeri dirasakan tepat pada letak peritoneum
yang meradang, yaitu di perut kanan bawah. Jika apendiks kemudian
mengalami nekrosis dan gangren (apendisitis gangrenosa) nyeri
berubah lagi menjadi nyeri iskemik yang hebat, menetap dan tidak
menyurut, kemudian penderita dapat jatuh dalam keadaan toksis.

B. Peritonitis
B.1 Defnisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau
kondisi aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah
selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut
bagian dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat
akut atau kronik.
B.2 Epidemiologi
Peritonitis menjadi salah satu penyebab tersering dari akut
abdomen. Peritonitis secara umum adalah penyebab kegawatan abdomen
yang disebabkan oleh bedah. Peritonitis tersebut disebabkan akibat suatu
proses dari luar maupun dalam abdomen. Proses dari luar misalnya
karena suatu trauma, sedangkan proses dari dalam misal karena
apendisitis perforasi.. Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan
yang biasanya disertai dengan bakteremia atau sepsis. Kejadian
peritonitis akut sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary
peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis dikategorikan sebagai primary peritonitis.
Menurut survei World Health Organization (WHO), kasus
peritonitis di dunia adalah 5,9 juta kasus. Di Republik Demokrasi Kongo,
antara 1 Oktober dan 10 Desember 2004, telah terjadi 615 kasus
peritonitis berat (dengan atau tanpa perforasi), termasuk 134 kematian
(tingkat fatalitas kasus, 21,8%), yang merupakan komplikasi dari demam
tifoid.
Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hamburg-Altona
Jerman, ditemukan 73% penyebab tersering peritonitis adalah perforasi
dan 27% terjadi pasca operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis dari
11.000 pasien yang ada. Angka kejadian peritonitis di Inggris selama
tahun 2002-2003 sebesar 0,0036% (4562 orang).
B.3 Klasifikasi
Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer,
peritonitis sekunder, dan peritonitis tersier. Peritonitis primer disebabkan
oleh penyebaran infeksi melalui darah dan kelenjar getah bening di
peritoneum dan sering dikaitkan dengan penyakit sirosis hepatis.
Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang
berasal dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang
paling sering terjadi. Peritonitis tersier merupakan peritonitis yang
disebabkan oleh iritan langsung yang sering terjadi pada pasien
immunocompromised dan orang-orang dengan kondisi komorbid.
Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut disebabkan oleh
berbagai penyebab. Infeksi traktus gastrointestinal, infeksi traktus
urinarius, benda asing seperti yang berasal dari perforasi apendiks, asam
lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari perforasi kandung
empedu serta laserasi hepar akibat trauma.
B.4 Managemen
Manajemen yang dilakukan antara lain adalah mengistirahatkan
saluran cerna dengan memuasakan pasien, resusitasi cairan intravena
untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pemberian obat-
obatan profilaksis seperti omeprazol atau ranitidin untuk mencegah
terjadinya stress ulcer sangat diperlukan. Pemberian terapi antibiotik
harus dilakukan sesegera mungkin. Pembedahan dilakukan untuk
mengeliminasi penyebab kontaminasi, mengurangi inokulum bakteri dan
menghindari terjadinya sepsis yang persisten atau rekuren.
1. Nonfarmakologi
a) Pasang NGT, kateter urine
b) Sering terjadi disfungsi saluran cerna (ileus)
c) Nutrisi enteral lebih baik dibanding parenteral
d) Jika nutrisi enteral dikontraindikasikan atau tidak dapat
ditoleransi pasien, dapat diberikan nutrisi paranteral
e) Drainase non operatif
2. Farmakologi
Prinsip umum penatalaksanaan perotinitis adalah
a) Kontrol sumber infeksi
b) Hilangkan bakteri dan toksin
c) Pertahankan fungsi sistem organ
d) Kontrol proses inflamasi
Pada kasus SBP, antibiotik yang direkomendasikan sebagai
terapi empirik adalah sefalosprin generasi ke-3 (Ceftriaxone,
Cefotaxime dsb). Selanjutnya setelah hasil kultur keluar, berikan
antibiotk sesuai hasil kultur/uji resistensi. Sebisa mungkin hindari
pemberian antibiotik aminoglikosida karena bersifat nefrotoksik.
Lama terapi antibiotik yang dianjurkan adalah minimal 5 hari (dengan
adanya bukti penurun lekosit < <250 cells/µL).
Pada peritonitis sekunder dan tertier terapi antibiotik empiris
yang dianjurkan adalah Sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3 atau
quinolone dikombinasikan dengan metronidazol. Bila tidak tersedia
atau kontraindikasi, antibiotik alternatif yang dapat diberikan adalah
Ampisilin/sulbaktam. Untuk peritonitis derajat ringan sedang, cukup
terapi 1 macam antibiotika dan terapi kombinasi hanya
direkomendasikan untuk derajat berat.
Antibiotik pilihan untuk infeksi peritonitis yang didapat di
rumah sakit (nosokomial) adalah Impenem, meropenem, doripenem,
piperacillin/tazobactam, dan kombinasi aminoglikosida dan
metronidazol. Durasi terapi optimal bergantung kepada patologi yang
mendasari beratnya infeksi, efektivitas pengendalian sumber infeksi
dan respons pasien terhadap terapi. Pada peritonitis tanpa komplikasi
dengan source control dini dan adekuat, antibiotika cukup diberikan 5-
7 hari. Pada kasus ringan (appendicitis awal, cholecystitis) antibiotika
diberikan sampai 24-72 jam postoperatif.

C. Apendisitis
C.1 Definisi
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix
vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus
bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan
remaja.
C.2 Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-
10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering
terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut
lebih sering terjadi selama musim panas. Insidensi Appendicitis acuta di
negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa
tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam
menu sehari-hari.
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-
laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahun, insidensi lelaki lebih tinggi
C.3 Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor
yang diajukan sebagai faktor faktor pencetus di samping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor appendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.hystolitica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan memperpanjang
timbulnya apendisitis akut.

C.4 Patologi
Patologi yang didapat pada apendisitis dapat dimulai di mukosa dan
kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24- 48
jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang
dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adnexa
sehingga terbentuk massa periapendikuler yang dikenal dengan nama infiltrat
apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh sempurna tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan
perlengketan dengan jaringan di sekitarnya. Perlengkatan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika
organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi
akut.

C.5 Gambaran klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonium lokal. Gejala klasik apendisitis
ialah nyeri samar- samar ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
Mc Burney. Disini nyeri akan dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium tetapi terdapat konstipasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum
biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sis
kanan atau timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal.
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
beriulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.
Pada beberapa keadaan apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak pada
waktunya dan terjadi komplikasi.

C.6 Pemeriksaan
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 – 38,50 C. Bila suhu
lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi.
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan,
bisa disertai dengan nyeri nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini
merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut di kiri bawah akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing.
Perisltaktik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila darah infeksi bisa dicapai
dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji
psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditutujukan untuk
mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas,
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk
melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus.
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang,
pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan
Alvarado Score , yaitu:
C.7 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagososis
apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terjadi leukositosis terlebih pada
kasus komplikasi. Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu
(Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya
kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG
(Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya
peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul.
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis
apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis.

C.8 ngelolaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas ,maka tindakan paling tepat adalah
apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Pasien biasanya
telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan
dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Apendiktomi
bisa dilakukan dengan cara apendiktomi terbuka atau laparoskopi. Pada
apendiktomi terbuka insisi dilakukan pada daerah Mc Burney paling banyak
dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosis nya tidak jelas
adapat dilakuakn observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik
kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Resume Kasus


Laki-laki, 15 tahun datang dengan keluhan utama abdominal pain sejak 1
hari SMRS. Nyeri bermula dari epigastrium dan berpindah ke regio
hipokondrium dextra, kemudian dirasakan di seluruh lapang abdomen. Keluhan
penyerta berupa febris, anoreksia, dan mual muntah sejak 1 hari.
Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan hipertermia pada pasien.
Pemeriksaan abdomen di dapatkan perut distensi, BU menurun, perkusi redup
di seluruh lapang perut, NT di seluruh lapang perut, defans muscular (+), Mc.
Burney (+), Rebound Tenderness (+), Obturator Sign (+). Hasil Rectal toucher
menunjukkan NT di seluruh arah jarum. Hasil pemeriksaan penunjang
memberikan gambaran leukositosis dan shift to the left.
Pasien dicurigai mengalami peritonitis generalisata ec perforasi
appendicitis dan membutuhkan tindakan pembedahan segera.

3.2 Pembahasan
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat
nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang
semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam
setelah nyeri.
Terjadinya invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi,
dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan
yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan
dengan peritoneum parietal, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri
akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis generalisata. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke
arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi.
Perforasi appendiks akan mengakibatkan keluarnya abses dari lumen appendiks
ke rongga abdomen sehingga dapat mengiritasi peritoneum parietal.
Rangsangan pada peritoneum parietal mengeksitasi system saraf somatic
sehingga timbul rangsang nyeri dan memicu M. rectus abdominis menjadi
kontraksi sebagai respon pertahahan terhadap mekanik luar dan memberikan
gambaran defans muscular. Nyeri pada pemeriksaan Obturator sign
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis yang
memberikan gambaran bahwa secara anatomis, apendiks bersentukan degnan
m. obturator internus atau disebut apendisitis pelvica.
Pasien pada kasus ini ditangani sebagai peritonitis generalisata yang
disebabkan oleh perforasi apendisitis. Kecurigaan apendisitis ini berdasarkan
perhitungan Alvarado score.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim, 2007. Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah. Jakarta: EGC
2. Sabiston, et al. 2007. Sabiston texbook of surgery the biological basis of
modern surgical practice. Edisi ke 18. Saunders, An Imprint of Elsevier
3. Dombal FT, Margulies M. 1996. Acute Abdominal Pain. Gut.bmj.com
4. Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.).
5. Graff LG, Robinson D: Abdominal pain and emergency department evaluation.
Emerg Med Clin North Am 19:123-136, 2001.
6. Gearhart SL, Silen W. Acute appendisitis and peritonitis. Dalam: Fauci A,
Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al, editor
(penyunting). Harrison’s principal of internal medicine. Edisi ke-17 Volume II.
USA: McGrawHill; 2008. hlm. 1916-7.
7. Daldiyono, Syam AF. Nyeri abdomen akut. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor (penyunting). Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5 Jilid ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 2010. hlm.
474-6.
8. Ridad MA. Infeksi. Dalam: R. Sjamsuhidajat, editor (penyunting). Buku ajar
ilmu bedah Sjamsuhidajatde jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2007. hlm.52.
9. World Health Organization. Typhoid fever, Democratic Republic of the
Kongo. Weekly Epidemiological Record. 2005; 1(80):1-8.
10. Wittman DH. Intra abdominal infections. New York: Marcel Dekker INC;
1991.
11. Samuel JC, Qureshi JS, Mulima G, Shores CG, Cairns BA, Charles AG. An
observational study of the etiology, clinical presentation, and outcomes
associated with peritonitis in lilongwe, malawi. World Journal of Emergency
Surgery. 2011: 6-38.
12. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor (penyunting). Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta : Interna Publishing; 2010. hlm. 727-30.

Anda mungkin juga menyukai