Anda di halaman 1dari 199

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING

PADA ANAK USIA 6-23 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


PISANGAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2018

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

Oleh:

NURUL FARHANAH SYAH

11141010000002

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2019 M
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, November 2018

Nurul Farhanah Syah, NIM: 11141010000002


Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan
Kota Tangerang Selatan Tahun 2018

xxvii + 156 halaman, 17 tabel, 4 bagan

ABSTRAK

Stunting merupakan suatu kondisi gangguan pertumbuhan linier akibat


kekurangan asupan yang bersifat kronik dan banyak muncul di wilayah negara
berkembang termasuk Indonesia. Anak dikatakan memiliki status stunting apabila
hasil pengukuran panjang badan menurut umur (PB/U) menunjukkan angka
dibawah minus dua standart deviasi (<-2 SD). Stunting dapat jelas teramati pada
masa anak-anak. Untuk itu intervensi dini diperlukan untuk menurunkan angka
kejadian agar dapat meminimalisir dampak dari kejadian stunting.
Berdasarkan Data Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan tahun 2015 bahwa puskesmas Pisangan merupakan puskesmas dengan
peringkat teratas dalam masalah stunting pada balita (0-59 bulan) dengan angka
kejadian stunting sebesar 25,46%. Dengan kategori pendek sebanyak 11,82% dan
sangat pendek sebanyak 13,64%. Angka kejadian stunting tersebut termasuk
dalam masalah kesehatan masyarakat karena lebih dari 20%.
Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2018 yang
berlokasi di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan. Jenis
penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Penelitian ini
dilakukan kepada 132 pasang ibu dan anak usia 6-23 bulan di seluruh posyandu
yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pisangan .

Hasil penelitian menunjukkan variabel yang memiliki hubungan


dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan
tahun 2018 adalah berat badan lahir (p=0.015), panjang badan lahir (p=0.029),
tinggi badan ibu (p=0.028), asupan kalsium (p=0.031), pola asuh (p=0.000) dan
riwayat infeksi (p=0.000). Adapun variabel yang tidak berhubungan adalah jarak
kelahiran (p=0.895), asupan energi (p=0.723), asupan protein (p=0.327) dan ASI
eksklusif (p=0.755).

i
Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar peran surveilans gizi
khusunya pada stunting ditingkatkan. Dengan mengetahui lebih dini diharapkan
dapat meminimalisir risiko stunting. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya
memasukkan faktor lain yang menyebabkan masalah stunting, melakukan FFQ
untuk mengetahui gambaran asupan makan dalam waktu yang lama, meneliti
durasi dan frekuensi ASI terhadap stunting dan menggunakan desain studi kohort
untuk menjawab hubungan sebab akibat.

Daftar Bacaan: 67 (1997-2018)


Kata Kunci: Stunting, faktor yang berhubungan, usia 6-23 bulan.
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY
PROGRAM MAJOR OF
EPIDEMIOLOGY
Undergraduated Thesis, November 2018

Nurul Farhanah Syah, NIM: 11141010000002


Factors Associated with the incidence of Stunting in Children aged 6-23
Months in the Work Area of Pisangan Health Center
South Tangerang City in 2018

xxvii + 156 pages, 17 tables, 4 charts

ABSTRACT
Stunting is a reduced growth rate due to chronically inadequate intake of
nutrition. It is occurred mostly in developing countrie, including Indonesia.
Children are categorized as stunting if the measurement of body length according
to age (PB / U) is below minus two standard deviation (<-2 SD). Stunting can be
clearly observed in childhood. Therefore, early intervention is needed to prevent
stunting.
Based on the Health Profile Data of Tangerang City Health Office, it was
found that Pisangan Public Health Center has the highest ranking of stunting
problems in infants (0-59 months). The stunting incidence was 25.46%, with a
short category (11.82%) and very short category ( 13.64%). The stunting
incidence is considered as public health problems because it is more than 20%.
This research was carried out in the working area of Pisangan Public
Health Center, South Tangerang City during September-October 2018. This is a
quantitative research with a cross sectional study design. This study was involved
132 pairs of mothers and children aged 6-23 months in all Posyandu located in
the working area of Pisangan Public Health Center.
The results showed variables which were significantly related to
nutritional status based on body length according to age (PB / U) in children
aged 6-23 months in the working area of Pisangan Public Health Center in South
Tangerang in 2018. Those were birth weight (p = 0.015), birth length ( p =
0.029), maternal height (p = 0.028), calcium intake (p = 0.031), parenting (p =
0,000) and graph of infection (p = 0,000). While the variables that has no
significant relationship were birth space (p = 0.895), energy intake (p = 0.723),
protein intake (p = 0.327) and exclusive breastfeeding (p = 0.755).
Based on the research results, it is suggested that the role of nutrition
surveillance particularly stunting is need to be improved. Early awareness can
minimize the risk of stunting. In addition, further research should include other
factors that cause stunting problems, conduct FFQ to know the nutrition intake in

iii
longer duration, assess the effect of duration and frequency of breastfeeding
against stunting and use a cohort study design to answer causal relationships.

Reading list: 67 (1997-2018)


Keywords: Stunting, related factors, ages 6-23 months.
SURAT PERNYATAAN KEASLIAX

Dtcngan in i saya men)’alalian bahwa :

I Skripsi ini merupakan basil karya asli saya yang diajukan untuk

memenuhi sa\nh saN pers\ aratai› gelar strata 1 Ji Fak ultas IlnJu

Kesehatan (FAKES) I ltii i ersi tas Islam Ntgeri:(iJINj Syarif

Hiduyatullah Jakarta.

*. Acnua surñbcr yang saya gufialcan :daIém pcnu!isan inl lelalJ saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang iierlaku: di Fakullas I imu

Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UiN), Syarif Hidayatullah

?. .lima di k ml\diBn kari terbukti bahwa.karya iii bukan Basil Lara 8sli

saya atau nlcrugak an j ipiakan d:‹ri hasil ka a orang Jain. maka saya bersedia

njcncriiua sgrtltgi. } eng .lnvlaku di Fakfiltgs llmu Eesel4atan (FIKSS)

Jakarta,Deseniber 2018

NumlFrLamhf
yh
iii
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : Nurul Farhanah Syah

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 27 juli 1996

Jenis Kelamin :
perempuan
No. Telp : 085362140057

Alamat Email :

Alamat : Jalan Kutilang X No. 328 Perumnas

Mandala, Medan.

B. Riwayat Pendidikan

2000-2002 : TKA/TPA Ikhlasul Amal Medan

2002-2008 : Madrasah Ibtidaiyyah Negeri SEI AGUL

Medan

2008-2011 : Madrasah Tsanawiyyah Negeri 2 Medan

2011-2014 : Madrasah Aliyyah Negeri 1 Medan

2014-Sekarang : Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

C. Pengalaman Organisasi

2007-2008 :Anggota Dokter Kecil Madrasah

Ibtidaiyyah Negeri SEI AGUL Medan

viii
2008-2010 :Anggota Pancak Silat Walet Putih Madrasah

Tsanawiyyah Negeri 2 Medan

2009-2010 : Sekretaris Dokter Remaja Madrasah

Tsanawiyyah Negeri 2 Medan

2009-2010 : Sekretaris Club Basket Madrasah

Tsanawiyyah Negeri 2 Medan

2010-2011 : Ketu 1 Dokt Remaj Madras


a er a ah

Tsanawiyyah Negeri 2 Medan

2011-2012 : Anggota Kursus Kader Dakwah


Madrasah
Aliyyah Negeri 1 Medan

2011-2014 : Anggota Fahmil Qur’an Madrasah


Aliyyah
Negeri 1 Medan

2012-2013 : Sekertaris Koordinator Bidang Dakwah

OSIS Madrasah Aliyyah Negeri 1 Medan

2013-2014 :Demisioner/
Dakwah instruktur
Madrasah Kursus
Aliyyah Negeri 1 Medan
Kader

2014-Sekarang :Anggota Keluarga Alumni Madrasah

Aliyyah Negeri 1 Medan se-

JABODETABEK

2016-Sekarang : Anggota Paduan Suara Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

2016-2017 : Sekretaaris Departemen Sosial Masyarakat

Epidemiologi Student Association (ESA)


ix
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

D. Pengalaman Kerja

2016 Dan 2017 : Pengalaman Kerja Lapangan I Dan II Di

Wilayah Kerja Puskesmas Parigi, Kota

Tangerang Selatan

2018 : Magang Di Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan

x
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang

atas limpahan rahmat dan nikmat karena keberkahanNya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada

Rasulullah saw yang telah menjadi tauladan bagi umatnya. Skripsi ini berjudul

“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-

23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018”. Skripsi ini disusun

untuk memperoleh gelar Sarjana kesehatan Masyarakat Univeritas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta. Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tentunya

berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Mama (Nurkhalishah MG) dan Ayah (Syahniman)

yang tiada henti memberikan cinta dan kasih sayangnya, selalu mendoakan,

memberikan semangat, serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

2. Bapak Prof Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes,Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku kepala Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Narila Mutia Nasir, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi. Terima

kasih atas waktu dan arahan yang diberikan setiap bimbingan, serta

xi
semangat dan motivasi yang diberikan untuk penulis segera menyelesaikan

skripsi ini.

5. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin penulis

untuk melakukan penelitian di salah satu puskesmas di Kota Tangerang

Selatan

Puskesmas Pisangan yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian

di wilayah kerja Puskesmas Pisangan.

Ibu Jamilah Amaliyah sebagai TPG (Tim Pengawas Gizi) Puskesmas Pisangan yang

telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Para kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan yang telah membatu

dalam proses pengambilan data dan memberi dukungan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Kakanda tersayang Nurul Sakinah Syah dan Nurul Hasalah Syah yang senantiasa

mendoakan, memberikan semangat, serta dukungan kepada penulis


dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat Instruktur (Sahabat se-Syurga) yang telah memberikan semangat,

motivasi serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman Peminatan Epidemiologi 2014 yang selalu memberikan

semangat dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2014 yang telah memberikan

semangat dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

xii
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat keterbatasan

dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran dari semua

pihak untuk menyempurnnakan penelitian ini. Semoga ketulusan serta dukungan

yang telah diberikan dari seluruh pihak yang telah disebutkan mendapatkan

keberkahan dari Allah SWT.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2018

Nurul Farhanah Syah

xiii
DAFTAR ISI

ABSTRAK..........................................................................................................................i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN.............................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP........................................................................................viii

1. Bagi Puskesmas Pisangan...................................................................................9


2. Bagi ibu anak (masyarakat)................................................................................9
3. Bagi Peneliti Selanjutnya...................................................................................9
F. Ruang Lingkup Penelitian......................................................................................9
BAB II..............................................................................................................................11
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................11
A. Pengertian stunting...............................................................................................11
B. Stunting Pada Dua Tahun Pertama.......................................................................12
C. Penilaian status gizi..............................................................................................13
D. Epidemiologi Stunting..........................................................................................16
1. Distribusi Menurut Orang (Person)..................................................................18
2. Distribusi Menurut Tempat (Place)..................................................................19

xiv
3. Distribusi menurut waktu (Time)......................................................................21
E. Penyebab stunting................................................................................................21
F. Dampak stunting..................................................................................................22
G. Pencegahan dan penanggulangan stunting............................................................23
H. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada anak.........................................26
1. Faktor Maternal................................................................................................28
2. Lingkungan Rumah..........................................................................................42

2. Sampel..............................................................................................................67
D. Teknik pemilihan sampel.....................................................................................69
E. Pengumpulan Data...............................................................................................71
F. Pengolahan data....................................................................................................76
G. Validitas Dan Realibilitas.....................................................................................77
H. Analisis data.........................................................................................................78
1. Analisis Univariat.............................................................................................78
2. Analisis Bivariat...............................................................................................79
BAB V.............................................................................................................................81
HASIL PENELITIAN......................................................................................................81
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian..................................................................81
B. Analisis Univariat.................................................................................................82

xv
1. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.............................................................................82
2. Gambaran Berat Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.............................................................................83
3. Gambaran Panjang Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.............................................................................84
4. Gambaran Tinggi Badan Ibu Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.............................................................................85

A. Keterbatasan penelitian........................................................................................98
B. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.....................................................................................99
C. Gambaran Dan Hubungan Variabel Independen Dengan Variabel Dependen Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.....................101
1. Gambaran dan Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Kejadian Stunting......102
2. Gambaran dan Hubungan Panjang Badan Lahir Dengan Kejadian Stunting. .104
3. Gambaran dan Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting........106
4. Gambaran dan Hubungan Asupan Kalsium Dengan Kejadian Stunting.........108
5. Gambaran dan Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting...................112
6. Gambaran dan Hubungan Riwayat Infeksi Dengan Kejadian Stunting..........114
7. Gambaran dan Hubungan Jarak Kelahiran Anak Dengan Kejadian Stunting. 117

xvi
8. Gambaran Dan Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Stunting
120
9. Gambaran dan Hubungan Asupan Energi Dengan Kejadian Stunting............125
10. Gambaran dan Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Stunting.......127
BAB VII.........................................................................................................................129
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................129
A. Kesimpulan........................................................................................................129

xvii
Tabel 2.1 Indeks Antropometri..............................................................................15

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Untuk Energi...................................................47

Tabel 2.3 Angka Kecukupan Gizi Untuk Protein..................................................48

23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.............86

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jarak Kelahiran Pada Anak Usia 6-23

Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018..................87

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Energi Pada Anak Usia 6-23

Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018..................88

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Protein Pada Anak Usia 6-23

Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018..................89

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Kalsium Pada Anak Usia 6-

23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.............90

xviii
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Asuh Pada Anak Usia 6-23

Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018..................91

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan ASI Eksklusif Pada Anak Usia 6-23

Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018..................92

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Infeksi Pada Anak Usia 6-

xix
DAFTAR SINGKATAN

Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TB/U <-2 SD Menurut

Provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013.....................................17

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian59

Gambar 4.1 Tahapan pemilihan sampel70

xx
AKG : Angka Kecukupan Gizi

ASI : Air Susu Ibu

BADUTA : Bayi Dibawah Dua Tahun

BBLN : Berat Badan Lahir Normal

BBLR : Berat Badan Lahir Normal

Depkes : Departemen Kesehatan

Dinkes : Dinas Kesehatan

EPEC : Enteropathogenic Escherichia coli

HPK : Hari Pertama Kehidupan

IMD : Inisiasi Menyusui Dini

IMT : Indeks Massa Tubuh

IQ : Intelligence Quotient

IUGR : Intrauterine Growth Restriction

KEK : Kekurangan Energi Kronis

Kemenke : Kementerian Kesehatan


s
LCPUFA : Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acid

MGRS : Multicentre Growth Reference Study

MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu

NHANES : National Health And Nutrition Examination


Survey
PHBS : Perilaku Hidup Besih Dan Sehat

PMT : Pemberian Makanan Tambahan

xxi
PSG : Pemantauan Status Gizi

UNICEF : United Nations Children's Fund

UNSCN : The United Nations System Standing Committee on Nutrition

WHO : World Health Organization

xxii
Lampiran 1 Output SPSS.....................................................................................142

lampiran 2 Informed concent154

lampiran 3 Kuesioner penelitian155

lampiran 3 Persetujuan etik156

xxiii
BAB 1
PENDAHULUA
N

A. Latar Belakang

Stunting merupakan suatu kondisi dimana terdapat gangguan pertumbuhan

linier akibat kekurangan asupan yang bersifat kronik. Anak dikatakan memiliki

status stunting atau pendek apabila hasil pengukuran tinggi badan terhadap

umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U) menunjukkan angka

di bawah minus dua standar deviasi (<-2 SD) (Kemenkes, 2011). Stunting pada

anak merupakan hasil jangka panjang dari konsumsi diet kronis berkualitas

rendah yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan

masalah lingkungan (Semba, et al., 2008)


Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di

negara berkembang. Sedikitnya terdapat 26,7% anak di dunia menderita

stunting dan 95% di antaranya tinggal di negara berkembang (de Onis et al.,

2012). UNICEF (2009) melaporkan bahwa ada penurunan prevalensi anak

stunting pada negara berkembang dari 40% menjadi 29% terhitung sejak

1990-2008, namun besar penurunan ini belum merata. UNICEF (2013)

kembali melaporkan prevalensi anak stunting dikawasan Sub Sahara Afrika

dan Asia berturut-turut mencapai 40% dan 39%.

1
3

Penurunan prevalensi stunting belum memuaskan menurut WHO.

Sehingga pada bulan Mei 2012, WHO mencanangkan enam target dunia untuk

menurunkan angka kesakitan yang disebabkan oleh malnutrisi usia dini.

Target yang pertama adalah menurunkan prevalensi stunting sebesar

40% hingga tahun 2025. Mengacu pada target tersebut, prevalensi stunting

diharapkan dapat turun 3,9% pertahun yang sebelumnya hanya 1,8%

pertahun 1995-2010 (WHO, 2012).

Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk negara dengan angka kejadian stunting

tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya yanga ada di Asia

Tenggara, seperti Myanmar sebesar 35%, Vietnam 23%, dan Thailand 16%

(MCA-Indonesia, 2015). Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi anak

pendek secara nasional 37,2% yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan

tahun 2010 (35,6%) dan 2007( 36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2%

terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Pada


tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari
18,8%
tahun 2007 menjadi 18,0%. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 % persen

pada tahun 2007 menjadi 19,2% pada tahun 2013 (Kemenkes, 2013).

Menindaklanjuti masalah tersebut, pembangunan kesehatan Indonesia

dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas

yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi anak

stunting, pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak

menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan

prevalensi anak pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional


yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka

Menengah Tahun 2015 – 2019. Target penurunan prevalensi stunting pada

anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019).
3

Bentuk upaya perbaikan masalah stunting meliputi upaya untuk

mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik)

dan upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung

(intervensi gizi sensitif). Upaya intervensi gizi spesifik untuk anak pendek

difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu

Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan anak pendek yang paling

efektif dilakukan pada 1.000 HPK (Depkes, 2016).

Periode 1.000 HPK yang meliputi 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama

setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang

menentukan kualitas kehidupan. Periode ini disebut sebagai "periode emas",

"periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of

opportunity". Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode

tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,

kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan


metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk
yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi

belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi

untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan

pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas

kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas

ekonomi (Depkes, 2016).

Status stunting muncul dari interaksi berbagai faktor. Faktor risiko

melibatkan status gizi ibu sejak masa hamil dan pola asuh ibu setelah lahir.
Faktor risiko stunting adalah ibu pendek, berat bayi lahir, rendah, tidak ASI

eksklusif, penyakit infeksi, defisiensi protein, dan defisiensi zat gizi mikro

terutama zink dan zat besi (Hendrick et al,. 2013).

Berdasarkan laporan Pemantauan Status Gizi (PSG) Indonesia,

stunting pada anak di Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan dari

tahun 2016-2017. Kejadian stunting pada balita (0-59 bulan) di Kota Tangerang

Selatan pada tahun 2016 sebanyak 11,6%, dan pada tahun 2017 kejadian stunting di

Kota Tangerang Selatan meningkat menjadi 23,9%. Berdasarkan Profil Kesehatan

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2015 stunting tertinggi berada di

Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan 5,46% dengan kategori pendek 11,82% dan

sangat pendek 13,64%. Angka kejadian stunting tersebut termasuk dalam masalah

kesehatan masyarakat dalam katagori ringan karena lebih dari 20%.

Kejadian stunting bisa saja terus meningkat apabila faktor-faktor risiko yang telah

dijelaskan sebelumnya tidak diperhatikan. Berdasarkan hasil dari


studi pendahuluan yang dilakukan kepada 25 anak usia 6-23 bulan di wilayah

kerja Puskesmas Pisangan terdapat 14 anak usia 6-23 bulan yang mengalami

stunting. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin menganalisis

faktor-faktor yang berhubungan terhadap kejadian stunting pada anak usia 6-

23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

B. Rumusan Masalah

Stunting merupakan suatu kondisi gangguan pertumbuhan linier akibat

kekurangan asupan yang bersifat kronik. Upaya penanggulangan status gizi


pada anak sudah dilakukan, namun angka kejadian stunting masih tinggi. Data

laporan Pemantauan Status Gizi (PSG) Indonesia, stunting pada balita di Kota

Tangerang Selatan mengalami kenaikan yang fluktuatif dari tahun 2015-2017.

Kejadian stunting pada balita (0-59 bulan) di Kota Tangerang Selatan pada

tahun 2015 yaitu 17,8%, di tahun 2016 sebanyak 11,6%, dan pada tahun 2017
kejadian stunting di Kota Tangerang selatan meningkat menjadi 23,9%.

Berdasarkan Data Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun

2015. Puskesmas Pisangan merupakan puskesmas dengan peringkat teratas dalam

masalah stunting pada balita (0-59 bulan) dengan presentase sebesar 25,46%.

Dengan kategori pendek 11,82% dan sangat pendek 13,64%. Presentase stunting

tersebut termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat dalam katagori masalah

ringan karena lebih dari 20%.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Agustus 2018 kepada 25 anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan terdapat 14 anak usia 6-23

bulan yang mengalami stunting. Dari rumusan masalah


diatas peneliti ingin menganalisis faktor-faktor yang berhubungan terhadap
kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pisangan Tahun 2018.

C. Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?


2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik anak (berat badan lahir dan

panjang badan lahir) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

3. Bagaimana gambaran faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak

kelahiran) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas


Pisangan Tahun 2018?

Bagaimana gambaran faktor asupan gizi (energi, protein dan kalsium) pada anak usia

6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

Bagaimana gambaran faktor pola asuh pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

Bagaimana gambaran faktor ASI eksklusif pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

Bagaimana gambaran faktor riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?


Bagaimana hubungan faktor karakteristik anak (berat badan lahir dan

panjang badan lahir) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan

di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

9. Bagaimana hubungan faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak

kelahiran) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

10. Bagaimana hubungan faktor asupan gizi (energi, protein dan kalsium)

dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018?


11. Bagaimana hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting pada anak

usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

12. Bagaimana hubungan faktor ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada

anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

13. Bagaimana hubungan faktor riwayat infeksi dengan kejadian stunting pada

anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja


Puskesmas Pisangan Tahun 2018

2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

2 Diketahuinya gambaran faktor karakteristik anak (berat badan lahir

dan panjang badan lahir ) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

3 Diketahuinya gambaran faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan

jarak kelahiran) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


4 Diketahuinya gambaran faktor asupan gizi (energi, protein dan

kalsium) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pisangan Tahun 2018.

5 Diketahuinya gambaran faktor pola asuh pada anak usia 6-23 bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Diketahuinya gambaran faktor ASI eksklusif pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Diketahuinya gambaran faktor riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Diketahuinya hubungan faktor karakteristik anak (berat badan lahir dan panjang

badan lahir) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Diketahuinya hubungan faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak kelahiran)

dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pisangan Tahun 2018.


Diketahuinya hubungan faktor asupan gizi (energi, protein dan
kalsium) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

11 Diketahuinya hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting

pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan

Tahun 2018.

12 Diketahuinya hubungan faktor ASI eksklusif dengan kejadian stunting

pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan

Tahun 2018.
13 Diketahuinya hubungan faktor riwayat infeksi dengan kejadian

stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pisangan Tahun 2018.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas Pisangan

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi ketercapaian program

peningkatan kesehatan dan bahan pertimbangan prioritas intervensi

stunting khusunya bagi pengelola program Kesehatan Keluarga


dan Gizi serta Promosi Kesehatan Puskesmas Pisangan.

2. Bagi ibu anak (masyarakat)

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam

upaya pencegahan stunting pada anak.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan bahan

pertimbangan bagi penelitian lain ataupun penelitian selanjutnya.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota

Tangerang Selatan Tahun 2018 yang dilakukan oleh mahasiswa peminatan

Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain studi

cross-sectional, karena variabel dependen dan independen diambil secara

bersamaan. Sampel penelitian adalah 132 anak usia 6-23 bulanyang berada di

Wiayah Kerja Puskesmas Pisangan. Responden penelitian adalah ibu yang

memiliki anak usia 6-23 bulan yang menetap dalam populasi.

Variabel dependen yang diteliti adalah stunting dan variabel independen

adalah karakteristik anak (berat baban lahir dan panjang badan lahir),

karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak kelahiran), asupan zat gizi (energi,

protein dan kalsium), pola asuh, ASI eksklusif, dan riwayat infeksi.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September- Oktober 2018. Analisis

dilakukan menggunakan aplikasi statistik, pada variabel panjang badan

menurut umur menggunakan Microsoft Excel serta data asupan


menggunakan aplikasi NutriSurvey 2007 dan Microsoft Excel.

.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian stunting

Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara

jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas

dan pemeliharaan kesehatan (Jahari, 2004). Menurut Muchtadi (2002) status

gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan

kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk

meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi
masyarakat.

Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) atau

(PB/U) kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau
dibawah rata-rata standar yang ada (Depkes, 2010). Stunting pada anak

merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang

dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan

(Semba, et al., 2008). Di negara berpendapatan menengah kebawah, stunting

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Stunting mengacu

pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Stunting dapat mencerminkan

baik variasi normal dalam pertumbuhan atau pun defisit dalam pertumbuhan.

Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas

modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan

11
12

yang diderita anak pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat

menyebabkan kerusakan yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi

yang berkelanjutan dapat dinilai dengan berkurangnya kejadian stunting pada

anak-anak usia dibawah 5 tahun (UNSCN, 2008). Anak-anak yang

underweight atau stunting mungkin tidak menunjukkan catch-up growth di

masa kecil, dengan demikian mereka membawa risiko kesehatan yang buruk

ke dalam kehidupan saat dewasa.

Dalam komunitas yang sulit mendapatkan akses dan kontak dengan

pelayanan kesehatan, anak-anak lebih rentan terhadap kekurangan gizi

sebagai akibat dari pengobatan penyakit yang tidak memadai, tingkat

imunisasi rendah, dan perawatan kehamilan yang buruk. Sanitasi lingkungan

yang buruk, termasuk pasokan air bersih, juga menempatkan anak pada risiko

infeksi yang meningkatkan kerentanan terhadap kekurangan gizi. Pola asuh

bayi dan anak, bersama dengan ketahanan pangan rumah tangga, pelayanan
kesehatan yang memadai dan lingkungan yang sehat adalah prasyarat yang
diperlukan untuk gizi yang cukup (ACC/SCN, 1997).

B. Stunting Pada Dua Tahun Pertama

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi

yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak

sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru

terlihat saat anak berusia dua tahun.

Dua tahun pertama kehidupan adalah priode kritis pertumbuhan yang

berhubungan dengan kemampuan hidup seorang ketika dewasa (Barkes,


2008). Dua tahun pertaa kehidupan adalah periode kecepatan pertumbuhan

yang pesat sekaligus permulaan perlambatan pertumbuhan. Kecepatan dan

perlambatan pertumbuhan akan berlanjut sampai memasuki umur 3 tahun.

Kecepatan pertumbuhan perlahan menurun ketika memasuki umur berikutnya

(Lejarraga, 2002).

Pertumbuhan anak pada dua ahun pertama adalah predictor kemampuan kognitif

dan pencapaian fisiologis ketiaka dewas. Lebih lanjut lagi tinggi badan pada umur dua

tahun adalah predictor tterbaik kapasitas manusia (victora et al. 2008). Menurut

Barker (1998) kegagalan pertumbuhan pada dua tahun pertama adalah bentuk

kerusakan permanen yang konsekuensi itu dapat ditemui dimasa mendatang dan

cenderung berulang pada generasi berikutnya. Konsekuensi kesakitan akibat dari

kondisi kurang gizi selama hamil dan stuning pada dua tahun pertama kehidupan

dalam konsep perkembangan penyakit. Kesakitan yang diderita oleh seseorang ketika

dewasa adalah kumulasi deficit antara kebutuhan dan ketersediaan zat gizi dan

oksigen yang dialami sejak dalam kandungan.

C. Penilaian status gizi

1. Antropometri

Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthoropos

artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran

tubuh (Supariasa, et al., 2002). Menurut NHANES (National Health And

Nutrition Examination Survey), antropometri adalah studi tentang

pengukuran tubuh manusia dalam hal dimensi tulang otot, dan jaringan
adiposa atau lemak. Karena tubuh dapat mengasumsikan berbagai postur,

antropometri selalu berkaitan dengan posisi anatomi tubuh.

2. Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.

Indeks antropometri merupakan kombinasi dari parameter-parameter

yang ada. Indeks antropometri terdiri dari berat badan menurut umur

(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), panjang badan menurut umur

(PB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk mengetahui

anak stunting atau tidak indeks yang digunakan adalah indeks tinggi

badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U)
(Kemenkes, 2011)

Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang menggambarkan

keadaan pertumbuhan tulang. Tinggi badan menurut umur adalah

ukuran dari pertumbuhan linier yang dicapai, dapat


digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa lampau.

Rendahnya tinggi badan menurut umur didefinisikan sebagai

"kependekan" dan mencerminkan baik variasi normal atau proses

patologis yang mempengaruhi kegagalan untuk mencapai potensi

pertumbuhan linier. Hasil dari proses yang terakhir ini disebut "stunting"

atau mendapatkan insufisiensi dari tinggi badan menurut umur (Gibson,

2005).

Indeks tinggi badan memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu nilai

tinggi badan akan terus meningkat, meskipun laju tumbuh berubah dari
pesat pada masa bayi muda kemudian melambat dan menjadi pesat lagi

(growth spurt) pada masa remaja, selanjutnya terus melambat dengan

cepatnya kemudian berhenti pada usia 18 – 20 tahun dengan nilai tinggi

badan maksimal. Pada keadaan normal, sama halnya dengan berat badan,

tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertambahan nilai

rata-rata tinggi badan orang dewasa dalam suatu bangsa dapat dijadikan

indikator peningkatan kesejahteraan, bila belum tercapainya potensi


genetik secara optimal (Narendra & Suyitno, 2002).

Tabel 2.1 Indeks Antropometri

Kategori Ambang
Indeks Batas
Status Gizi
(Z-score)
Gizi Buruk < -3 SD

Berat Badan menurut -3 SD sampai dengan -2


Gizi
Umur (BB/U) Kurang SD

Anak Umur 0 – 60 Bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2


SD
Gizi Lebih >2 SD

Sangat < -3 SD
Panjang Badan Pendek
-3 SD sampai dengan -2
menurut Umur Pendek
SD
(PB/U) atau Tinggi
-2 SD sampai dengan 2
Badan menurut Umur Normal
SD
(TB/U)
Tinggi >2 SD
Anak Umur 0 – 60
Bulan
Berat Badan menurut Sangat Kurus < -3 SD
Panjang Badan -3 SD sampai dengan -2
Kurus
(BB/PB) atau Berat SD

Badan Normal -2 SD sampai dengan 2


SD
menurut
Gemuk >2 SD
Tinggi Badan

(BB/TB)

Anak Umur 0 – 60 Bulan


Sangat Kurus < -3 SD

Indeks Massa Tubuh -3 SD sampai dengan -2


Kurus
menurut Umur SD

(IMT/U) Anak Umur 0 Normal -2 SD sampai dengan 2


SD
– 60 Bulan Gemuk >2 SD

Sangat Kurus < -3 SD

-3 SD sampai dengan -2
Kurus
Indeks Massa Tubuh SD
menurut Umur Normal -2 SD sampai dengan 1
SD
(IMT/U) Anak Umur 5 >1 SD sampai dengan 2
Gemuk
– 18 Tahun SD

Obesitas >2 SD

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2011

D. Epidemiologi Stunting

Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara

lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand

(16%) (MCA Indonesia, 2014). Menurut Riskesdas 2013, prevalensi pendek


secara nasional pada anak adalah 37,2% yang terdiri dari sangat pendek

sebesar 18% dan pendek 19,2%. Angka nasional ini meningkat dari tahun

2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi

diatas nasional (37,2%) dengan prevalensi tertinggi terjadi di Nusa Tenggara

Timur, dan Sulawesi Barat menempati urutan ke 2 tertinggi, dapat dilihat

sebagai
berikut:

Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TB/U <-2 SD Menurut


Provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013

Sumber: Riskesdas, 2013.

Gambar 2.2 proporsi status gizi pada balita Menurut Provinsi, Indonesia
2007, 2013 dan 2018

Sumber: Riskesdas, 2018.


1. Distribusi Menurut Orang (Person)

a. Distribusi Menurut Umur

Menurut Astari (2006), menyatakan, gangguan linier (stunting)

postnatal terjadi mulai usia 3 bulan pertama kehidupan, suatu periode

di mana terjadi penurunan pemberian ASI, makanan tambahan mulai diberikan dan

mulai mengalami kepekaan terhadap infeksi. Dalam penelitian Rosha, dkk. (2007),

menyatakan usia adalah faktor internal anak yang memengaruhi kejadian stunting.

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan, anak berusia 0-12 bulan memiliki efek

protektif atau risiko lebih rendah 41% terhadap stunting dibandingkan dengan anak

berusia 13-23 bulan dengan nilai OR=0,59 (CI 95% ; 0,44-0,79). Hal ini diduga karena

pada usia 0-6 bulan ibu memberikan ASI eksklusif yang dapat membentuk daya imun

anak sehingga anak dapat terhindar dari penyakit infeksi, setelah usia 6 bulan anak

diberikan makanan pendamping ASI dalam jumlah dan frekuensi yang cukup

sehingga anak terpenuhi kebutuhan gizinya yang menghindarkannya

dari stunting.

b. Distribusi Menurut Jenis Kelamin

Penelitian yang dilaporkan Mahgoup (2006), di daerah kumuh

Afrika menunjukkan bahwa kejadian underweight dan stunting secara

signifikan lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak

perempuan. Hasil Riskesdas 2013 yang menunjukkan gizi kurang pada

anak, prevalensinya lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki yaitu

14,0%, sedangkan 13,8% untuk balita dengan jenis kelamin


perempuan. Sementara untuk status gizi balita dengan indeks TB/U,

hasil yang diperoleh tidak berbeda, dimana prevalensi balita pendek

lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebesar 19,3% dibandingkan

pada perempuan yaitu 19,1%. Prevalensi balita sangat pendek lebih

tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebesar 18,8%, dibandingkan pada


perempuan yaitu 17,1%.

Sejalan dengan pernyataan di atas, dalam penelitian Rosha, dkk. (2007) terdapat

hasil analisis regresi logistik yang menunjukkan menunjukkan anak perempuan

memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 29% terhadap stunting dibandingkan

dengan anak laki- laki (p=0,03) dengan nilai OR=0,71 (CI 95% ; 0,53-0,96). Hal ini

diduga karena faktor kecemasan atau kekhawatiran ibu serta kedekatan ibu terhadap

anak perempuan. Anak perempuan dianggap anak yang lemah sehingga

mendapatkan perhatiaan ekstra dibandingkan dengan anak laki laki yang dianggap

lebih kuat. Selain itu anak laki-laki


cenderung memiliki aktivitas bermain yang lebih aktif dibandingkan

dengan anak perempuan sehingga banyak energi yang keluar.

2. Distribusi Menurut Tempat (Place)

Ada beberapa bagian negara di dunia terjadi masalah gizi kurang

atau masalah gizi lebih secara epidemis. Negara-negara berkembang

seperti sebagian besar Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan

pada umumnya mempunyai masalah gizi kurang. Sebaliknya, negara-

negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat pada umumnya
mengalami gizi lebih (Almatsier, 2004). Masih seperti yang dinyatakan

oleh Almatsier (2004), pola pangan di daerah 4 musim di samping

makanan pokok, mengandung lebih banyak unsur makanan berasal dari

hewan, seperti daging, telur, dan susu daripada pola pangan di daerah

tropis. Akibatnya, penduduk di daerah tropis seperti di Afrika, Amerika

Selatan, dan Asia lebih banyak menderita akibat kekurangan protein

(salah satu alasan mengapa penduduk di negara-negara tropis umumnya

lebih
pendek daripada penduduk di daerah empat musim).
Data yang diperoleh WHO (2014), negara di Asia dengan prevalensi gizi

kurang tertinggi adalah India (43,3%), negara di Afrika dengan prevalensi

tertinggi adalah Nigeria (37,9%). Kejadian stunting


dipengaruhi oleh wilayah tempat tinggal.

Penelitian di wilayah kumuh Kota Bostwana yang dilakukan oleh Mahgoup

(2006), menunjukkan bahwa anak yang tinggal di wilayah ini


signifikan terkena wasting, stunting, dan underweight. Berbeda
dengan
hasil penelitian tersebut, dalam penelitian Rosha, dkk. (2007), responden

yang tinggal di wilayah kota memiliki efek protektif atau risiko lebih

rendah 32% terhadap stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di

perdesaan dengan nilai OR=0,68 (CI 95% ; 0,48-0,95). Fenomena ini

diduga karena wilayah kota adalah tempat dimana terbukanya lapangan

pekerjaan yang lebih beragam sehingga orang tua lebih mudah

mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan

di
desa. Hal ini memungkinkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan gizi

dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting.

3. Distribusi menurut waktu (Time)

Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi balita pendek sebesar

37,2%. Sebelumnya pada tahun 2007 prevalensi balita pendek sebesar

36,8% dan pada tahun 2010 prevalensi balita pendek turun tipis menjadi

35,6%. Berdasarkan hasil Riskesdas terbaru yaitu hasil Riskesdas 2018,

prevalensi balita pendek secara nasional menurun dari 37,2% pada tahun

2013 menjadi 30,8% yang terdiri dari 11,5% sangat pendek dan 19,3%
pendek (Kemenkes, 2018).

E. Penyebab stunting

Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang dibagi menjadi 4

kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan/

komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga dan

rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan

rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,

kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada

usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine Growth Restriction (IUGR),

kelahiran preterm, jarak kehamilan yang pendek, dan hipertensi (WHO, 2013).

Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang

tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak

adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam
rumah tangga yang tidak sesuai, dan edukasi pengasuh yang rendah. Faktor

kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak adekuat,

yang dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian

yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan

yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis

makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah,

makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan komplementer yang

mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa

frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak

adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus,

pemberian makan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan

minuman dapat berupa makanan dan minuman yang terkontaminasi,

kebersihan yang rendah,


Faktor ketiga yang
penyimpanan dapat menyebabkan
dan persiapan stunting
makanan yang tidakadalah pemberian
aman (WHO, ASI
2013).

(Air Susu Ibu) yang salah, karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif,

dan penghentian penyusuan yang terlalu cepat. Faktor keempat adalah infeksi

klinis dan sub klinis seperti infeksi pada usus : diare, environmental

enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan yang

kurang akibat infeksi, dan inflamasi (WHO, 2013).

F. Dampak stunting

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak.

WHO (2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi 2

yang terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek
dari stunting adalah di bidang kesehatan, dapat menyebabkan peningkatan

mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan berupa penurunan

perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa, dan di bidang ekonomi berupa

peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat

menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan

yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan komorbiditasnya, dan

penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa

penurunan prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa

penurunan
kemampuan dan kapasitas kerja.
Menurut penelitian Hoddinott, dkk. (2013) stunting pada usia 2 tahun

memberikan dampak yang buruk berupa nilai sekolah yang lebih rendah,

berhenti sekolah, akan memiliki tinggi badan yang lebih pendek, dan

berkurangnya kekuatan genggaman tangan sebesar 22%. Stunting pada usia 2

tahun juga memberikan dampak ketika dewasa berupa pendapatan perkapita


yang rendah dan juga meningkatnya probabilitas untuk menjadi miskin.
Stunting juga berhubungan terhadap meningkatnya jumlah kehamilan dan

anak di kemudian hari, sehingga disimpulkan bahwa pertumbuhan yang

terhambat di kehidupan awal dapat memberikan dampak buruk terhadap

kehidupan, sosial, dan ekonomi seseorang.

G. Pencegahan dan penanggulangan stunting

Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai

sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut

dengan periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu,
perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu

270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi

yang dilahirkannya. Pencegahan dan penanggulangan stunting yang paling

efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan (Depkes, 2016)

meliputi:

Pada ibu hamil

Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi

stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik. Apabila ibu hamil dalam

keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu

diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.

Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama

kehamilan.
Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.

Pada saat bayi lahir

a. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir

melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)

b. Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI saja (ASI Eksklusif)

3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun

a. Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI

(MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2

tahun.

b. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar

lengkap.
c. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang

sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan

pertumbuhan.

d. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap

rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan

fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS

menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat

membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan

tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan


terhambatnya pertumbuhan.

Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan

masalah kesehatan. Selain itu, asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan

dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah

ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum


bersih, sanitasi dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor penyebab
ini
dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu kelembagaan, politik dan

ideologi, kebijakan ekonomi, sumber daya, lingkungan, teknologi, serta

kependudukan.

Berdasarkan faktor penyebab masalah gizi tersebut, maka perbaikan

gizi dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan

spesifik) dan secara tidak langsung (kegiatan sensitif). Kegiatan spesifik

umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan seperti PMT ibu hamil KEK,

pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan kehamilan, imunisasi TT,


pemberian vitamin A pada ibu nifas. Untuk bayi dan balita dimulai dengan

IMD, ASI eksklusif, pemberian vitamin A, pemantauan pertumbuhan,

imunisasi dasar pemberian MP-ASI.

Sedangkan kegiatan yang sensitif melibatkan sektor terkait seperti

penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan, penyediaan lapangan kerja,

perbaikan infrastruktur (perbaikan jalan, pasar), dll. Kegiatan perbaikan gizi

dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Multicentre Growth Reference Study (MGRS)

Tahun 2005 yang kemudian menjadi dasar standar pertumbuhan

internasional, pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kondisi sosial

ekonomi, riwayat kesehatan, pemberian ASI dan MP-ASI. Untuk mencapai

pertumbuhan optimal maka seorang anak perlu mendapat asupan gizi yang

baik dan diikuti


H. Faktor-faktor
oleh dukunganyang mempengaruhi
kesehatan stunting pada anak
lingkungan.

Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013)


membagi

penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor

keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan / komplementer yang tidak

adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi

menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa

nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi

badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan

mental, Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak

kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa


stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang,

sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan

yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, edukasi

pengasuh yang rendah.

Faktor kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak adekuat

yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian

yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan yang

rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis makanan

yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak

mengandung nutrisi, dan makanan komplementer yang mengandung energi rendah.

Cara pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang

rendah, pemberian makanan yang tidak aadekuat ketika sakit dan setelah sakit,

konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam

kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan


minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan

persiapan makanan yang tidak aman.

Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah pemberian Air

Susu Ibu (ASI) yang salah bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI

eksklusif, penghentian menyusui yang terlalu cepat. Faktor keempat adalah

infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare, environmental

enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan yang

kurang akibat infeksi, inflamasi.


1. Faktor Maternal

a. Nutrisi Yang Kurang Pada Saat Prekonsepsi, Kehamilan

Dan Laktasi

Kebutuhan nutrien meningkat selama masa kehamilan. Namun

tidak semua kebutuhan nutrien meningkat secara proporsional.

Contohnya, kebutuhan zat gizi tiga kali lipat selama hamil, sedangkan

kebutuhan
vitamin B meningkat hanya kira-kira 10%.
Beberapa hal yang penting diperhatikan (Sarihusada,
2012) :

1) Kebutuhan aktual selama hamil bervariasi di antara individu dan

dipengaruhi oleh status nutrisi sebelumnya dan riwayat kesehatan.

Termasuk penyakit kronik, kehamilan kembar, dan jarak kehamilan


yang rapat.

2) Kebutuhan terhadap satu nutrien dapat diganggu oleh asupan yang

lain. Misalnya, ibu yang tidak memenuhi kebutuhan kalorinya akan

membutuhkan jumlah protein yang lebih besar.

3) Kebutuhan nutrisi tidak konstan selama perjalanan kehamilan.

Kebutuhan nutrien sedikit berubah selama trimester pertama dan

paling banyak selama trimester akhir.

Kalori. Kebutuhan kalori meningkat karena peningkatan lap

metabolik basal dan karena penambahan berat badan meningkatkan jumlah

kalori yang dibakar selama aktivitas. Peningkatan kebutuhan kalori kira-


kira 15 % dari kebutuhan kalori normal wanita. Protein. Kebutuhan

protein meningkat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan

janin, pembentukan plasenta dan cairan amnion, pertumbuhan jaringan

maternal dan penambahan volume darah. Makan protein lebih banyak

tidak memberi keuntungan dan berpotensi bahaya.

Asam folat. Ibu yang mengkonsumsi jumlah asam folat adekuat sebelum konsepsi

dan selama bulan awal kehamilan menurunkan risiko mengandung bayi dengan

defek tuba neural (mis. spina bifida, anensefali). Makanan yang kaya bentuk asam

folat alami (folat) meliputi jus jeruk, sayuran hijau, brokoli, asparagus. Kalsium. Bila

asupan kalsium adekuat sebelum hamil, jumlah yang dikonsumsi tidak perlu

meningkat. Namun, 1300 mg/hari kalsium dianjurkan untuk remaja hamil. Ibu yang

tidak mengkonsumsi cukup kalsium dari makanan, memerlukan suplemen kalsium.

Zat Besi. Supelemen 30 mg zat besi dianjurkan untuk semua wanita selama trimester

kedua dan ketiga. Zat besi lebih baik dikonsumsi

di antara waktu makan atau pada jam tidur pada saat lambang kosong

untuk memaksimalkan absorpsi.

Kebutuhan nutrisi selama laktasi didasarkan pada kandungan

nutrisi air susu ibu dan jumlah nutrisi penghasil susu. Kalori. Kebutuhan

kalori selama menyusui proporsional dengan jumlah air susu ibu yang

dihasilkan dan lebih tinggi selama menyusui dibanding selama hamil.

Rata-rata kandungan kalori ASI yang dihasilkan oleh ibu dengan nutrisi

baik adalah 70 kal/100 mL, dan kira-kira 85 kal diperlukan oleh ibu untuk
tiap 100 mL yang dihasilkan. Rata-rata ibu menggunakan kira-kira 640

kal/hari untuk 6 bulan pertama dan 510 kal/hari selama 6 bulan kedua

untuk menghasilkan jumlah susu normal.

Ibu yang bertambah berat badannya secara tepat selama hamil

harus meningkatkan asupan kalorinya 500 kal/hari baik selama 6 bulan

pertama dan kedua menyusui. Karena lebih dari 500 kal/hari secara aktual

digunakan untuk menghasilkan susu. Setiap hari asupan minimum 1800

kal dianjurkan untuk mendapatkan jumlah nutrisi esensial adekuat. Rata-

rata ibu harus mengkonsumsi 2300-2700 kal per hari ketika menyusui
(Dudek, 2001).

Protein. Ibu memerlukan tambahan 20 gram protein di atas kebutuhan

normal ketika menyusui. Jumlah ini hanya 16 % dari tambahan

500 kal yang dianjurkan. Cairan. Pertimbangan nutrisi lain selama

menyusui adalah asupan cairan. Dianjurkan ibu yang menyusui minum 2-3
liter cairan per hari, lebih baik dalam bentuk air putih, susu dan jus buah
bukan minuman ringan, sirup, dan minuman mengandung kafein. Biasanya

ibu sangat dianjurkan untuk minum satu gelas setiap kali menyusui. Rasa

haus adalah indikator baik tentang kebutuhan cairan, kecuali ibu hidup di

lingkungan kering atau melakukan latihan fisik di cuaca panas. Cairan

yang dikonsumsi berlebihan dalam keadaan haus tidak meningkatkan

volume susu.

Vitamin dan mineral. Kebutuhan vitamin dan mineral selama

menyusui lebih tinggi daripada selama hamil. Nutrien yang paling


mungkin dikonsumsi dalam jumlah tidak adekuat oleh ibu menyusui

adalah kalsium, magnesium, zink, vitamin 85 dan folat. Multivitamin dan

suplemen mineral tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin. Namun

supelemen khusus dapat diindikasikan ketika asupan ibu tidak adekuat,

misalnya :

1) Multivitamin seimbang dan suplemen mineral diperlukan ibu yang

mengonsumsi makanan kurang dari 1800 kal/hari.

2) Suplemen kalsium diindikasikan untuk ibu yang intoleran laktosa

atau yang tidak mengonsumsi susu cukup dan makanan kaya-kalsium


lain.

3) Suplemen vitamin D mungkin perlu untuk ibu yang menghindari

makanan diperkaya vitamin D (mis. susu, sereal) dan sedikit terpajan


pada matahari.

4) Supelemen vitamin B perlu untuk vegetarian ketat bila mereka

tidak mengonsumsi produk tanaman yang diperkaya vitamin 812

secara teratur.

5) Suplemen zat besi mungkin diperlukan untuk mengganti defisit zat

besi selama hamil dan kehilangan darah selama melahirkan.


tabelTabel 2.5 Kebutuhan Nutrient Wanita Hamil Dan Menyusui

Sumber: Sarihusada, 2012

b. Kehamiln Pada Usia Remaja

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual.

Usia remaja biasanya memiliki rasa penasaran yang tinggi dan cenderung

berani mengambil risiko atas apa yang dilakukannya tanpa

mempertimbangkan terlebih dahulu.

Apabila keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik tidak

tepat, mereka akan jatuh ke dalam perilaku berisiko dan mungkin harus
menanggung akibat jangka pendek dan jangka panjang dalam berbagai

masalah kesehatan fisik dan psikososial. Kesehatan reproduksi adalah

keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-

mata bebas dari penyakit yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses

reproduksi.

Kehamilan remaja berdampak negatif pada kesehatan remaja dan bayinya, juga

dapat berdampak sosial dan ekonomi. Kehamilan pada usia muda atau remaja antara

lain berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), perdarahan

persalinan, yang dapat meningkatkan kematian ibu dan bayi. Kehamilan pada remaja

juga terkait dengan kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi tidak aman. Persalinan

pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian

neonatal, bayi, dan balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012

menunjukan bahwa angka kematian neonatal, postneonatal,


bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi

dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun.

Pernikahan usia muda berisiko karena belum cukupnya kesiapan

dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan

reproduksi. Pendewasaan usia juga berkaitan dengan pengendalian

kelahiran karena lamanya masa subur perempuan terkait dengan

banyaknya anak yang akan dilahirkan. Hal ini diakibatkan oleh

pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai. Hasil

SDKI 2012 menunjukan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan


reproduksi belum memadai yang dapat dilihat dengan hanya 35,3% remaja

perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui

bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual.

Begitu pula gejala PMS kurang diketahui oleh remaja. Informasi

tentang HIV relatif lebih banyak diterima oleh remaja, meskipun hanya

9,9% remaja perempuan dan 10,6% laki-laki memiliki pengetahuan

komprehensif mengenai HIV-AIDS. Sebuah lembaga kesehatan di Amerika

menemukan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang masih berusia remaja

dapat mengalami keterlambatan perkembangan intelektual, memiliki

kemampuan belajar yang lebih rendah, serta mengalami berbagai


gangguan kesehatan dan gangguan perilaku.

Dampak dari kehamilan pada usia remaja


adalah:

1) Gangguan Kesehatan: Komplikasi atau gangguan kesehatan

sering terjadi pada remaja yang hamil. Hal ini dikarenakan para

remaja seringkali tidak mencari pertolongan medis untuk merawat

kehamilannya. Beberapa komplikasi atau gangguan kesehatan yang

dapat ditemukan pada kehamilan remaja adalah anemia, toksemia,

tekanan darah tinggi, plasenta previa, dan kelahiran prematur.

Berbagai gangguan kesehatan ini tidak hanya membahayakan ibu

tetapi juga bayi yang dikandungnya.Untuk mencegah timbulnya

berbagai gangguan kesehatan ini, para remaja yang hamil perlu


melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur dan menjaga

kesehatannya dengan baik.

2) Krisis Emosional: Seorang remaja yang hamil mungkin dapat

mengalami krisis emosional. Krisis emosional ini dapat

menyebabkan remaja tersebut melakukan tindakan yang ceroboh

dan berbahaya seperti berusaha untuk menggugurkan bayi di dalam kandungannya

atau bahkan mencoba bunuh diri.

Khawatir Akan Masa Depan: Rasa khawatir akan masa depan pastinya dialami oleh

para remaja yang hamil. Para remaja ini mungkin merasa bahwa dirinya belum siap

menjadi seorang ibu dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjadi

seorang ibu. Selain itu, ia juga mungkin merasa bahwa memiliki anak dapat

mempengaruhi kehidupannya dan juga cita-citanya.

Terganggunya Pendidikan: Pendidikan seorang anak remaja mungkin akan terganggu

bila ia hamil. Beberapa anak remaja


bahkan memutuskan untuk berhenti sekolah setelah mengetahui

bahwa dirinya hamil. Beberapa anak remaja lainnya harus

menunda keinginannya untuk kuliah karena kehamilannya tersebut.

Beberapa lainnya mungkin memutuskan untuk menikah dan tidak

melanjutkan pendidikan.

5) Merokok dan Penyalahgunaan Obat-obatan: Remaja yang

memiliki kebiasaan merokok atau menyalahgunakan obat-obatan

dapat membahayakan kesehatan bayi yang dikandungnya bila tidak

segera menghentikan kebiasaannya tersebut.


6) Merasa Depresi: Rasa depresi dapat terjadi bila seorang remaja

menemukan bahwa dirinya hamil. Hal ini terutama dikarenakan

berbagai hal negatif yang dirasakan akibat kehamilannya tersebut,

baik dari dirinya sendiri maupun dari teman atau keluarga atau

orang-orang lain di sekitarnya. Selain itu, kadar hormon yang

berubah-ubah selama kehamilan berlangsung juga dapat memicu

terjadinya depresi.

7) Penelantaran Bayi: Saat bayinya telah lahir, seorang remaja

mungkin tidak dapat atau tidak memiliki keinginan untuk merawat

anaknya tersebut. Ia pun mungkin akan merasa terganggu oleh

kehadiran sang bayi yang membuatnya sulit atau tidak dapat

berpergian dengan bebas bersama dengan teman-teman


seumurannya.

c. Berat badan lahir anak

Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin,

neonatal, dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan

dan pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah

(BBLR) didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir yang kurang dari 2500

gram. BBLR dapat disebabkan oleh durasi kehamilan dan laju

pertumbuhan janin. Maka dari itu, bayi dengan berat lahir <2500 gram

bisa dikarenakan dia lahir secara prematur atau karena terjadi retardasi

pertumbuhan (Semba & Bloem, 2001).


Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan

berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Anak yang

BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di

masa dewasa. Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki

risiko besar untuk menjadi ibu yang stunting sehingga akan cenderung

melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang

dilahirkan oleh ibu yang stunting tersebut akan menjadi perempuan

dewasa yang stunting juga, dan akan membentuk siklus sama seperti
sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).

Gangguan pertumbuhan antar generasi dapat digambarkan


seperti
berikut:

Kegagalan
pertumbuhan
pada anak

remaja dengan
berat dan tinggi
Kehamilan usia badan kurang
BBLR
muda

perempuan
dewasa
stunted

Gambar 2.2 Gangguan pertumbuhan antar-generasi

Sumber: Semba & Bloem, 2001

Dalam penelitian lain, berat lahir rendah telah diketahui berkorelasi

dengan stunting. Dalam analisis multivariat tunggal variabel berat lahir


rendah dapat bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir rendah

memiliki efek yang besar terhadap stunting. Seperti yang telah diketahui

sebelumnya, efek dari berat lahir rendah terhadap kesehatan anak adalah

faktor yang paling relevan untuk kelangsungan hidup anak (Taguri et al.,

2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Medhin (2010) juga

menunjukkan berat lahir merupakan prediktor yang signifikan dalam

kejadian stunting pada bayi usia 12 bulan. Pada penelitian lain juga

disebutkan bahwa berat lahir memiliki hubungan dengan kejadian

stunting
(Lourenço
d. Panjanget al. 2012)
badan lahir

Panjang lahir menggambarkan pertumbuhan linier bayi selama dalam

kandungan. Ukuran linier yang rendah biasanya menunjukkan keadaan

gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita

waktu lampau (Supariasa et al., 2012). Masalah kekurangan gizi


diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang
dikenal
sebagai Intra Uterine Growth Retardation (IUGR). Di negara berkembang

kurang gizi pada pra-hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak

yang IUGR dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kondisi IUGR hampir

separuhnya terkait dengan status gizi ibu selain itu faktor lain dari

penyebab terjadinya IUGR ini adalah kondisi ibu dengan hipertensi dalam

kehamilan (Cesar et al., 2008).

Panjang lahir bayi akan berdampak pada pertumbuhan selanjutnya,

seperti terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pati


Kabupaten Pati didapatkan hasil bahwa panjang badan lahir rendah adalah

merupakan salah satu faktor risiko balita stunting usia 12-36 bulan bahwa

bayi yang lahir dengan panjang lahir rendah memiliki risiko 2,8 kali

mengalami stunting dibanding bayi dengan panjang lahir normal

(Anugraheni & Kartasurya, 2012).

e. Tinggi badan ibu

Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan

faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang

pada saat prekonsepsi, kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang

rendah, infeksi, kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental,

Intrauterine Growth Restriction (IUGR), kelahiran preterm, jarak

kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa

stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang,

sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan

edukasi pengasuh yang rendah.


pangan
yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai,
dan
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Wahdah (2014),

kejadian stunting berhubungan signifikan dengan tinggi badan orang tua,

baik tinggi badan ibu maupun tinggi badan ayah. Ibu yang pendek

berkaitan dengan kejadian stunting pada anak. Faktor genetik merupakan

modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak.

Melalui intruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah

dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Walaupun demikian,


komposisi genetik bukan merupakan faktor utama yang menentukan tinggi

badan seseorang, karena kendala lingkungan dan gizi merupakan persoalan

yang lebih penting. Termasuk dalam pemenuhan makanan yang baik

secara kualitas dan kuantitas.

f. Jarak Kelahiran

Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi

yang luas karena penyebabnya tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga

masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan

(Sari, 2014) Pengaruh budaya antara lain sikap terhadap makanan masih

terdapat pantangan, tahayul, bahkan tabuh dalam masyarakat, disamping

itu pula jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak yang

terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi


dalam keluarga (Supariasa., et all , 2013).

Jarak kelahiran adalah kurun waktu dalam tahun antara kelahiran

terakhir dengan kelahiran sekarang (Fajarina, 2012). Jarak kelahiran yang

cukup, membuat ibu dapat pulih dengan sempurna dari kondisi setelah

melahirkan, saat ibu sudah merasa nyaman dengan kondisinya maka ibu

dapat menciptakan pola asuh yang baik dalam mengasuh dan

membesarkan anaknya (Nurjana dan Septiani, 2013). Gerakan Keluarga

Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Ibu dan Anak

serta mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera yang menjadi

dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian

kelahiran (Nurjana dan Septiani, 2013).


Jarak kelahiran < 2 tahun sangat berpengaruh terhadap bayi yang

akan dilahirkan yaitu BBLR dibandingkan dengan jarak kelahiran > 2

tahun Rahayu, (2011). Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat akan

mempengaruhi status gizi dalam keluarga karena kesulitan mengurus anak

dan kurang menciptakan suasana tenang di rumah ( Lutviana dan Budiono,

2010). Jarak kelahiran terlalu dekat mempengaruhi pola asuh terhadap

anaknya, orang tua cenderung kerepotan sehingga kurang optimal dalam


merawat anak (Candra, 2010).

Penelitian Khoiri, (2009) Faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu mutu

makanan, pendidikan, tingkat ekonomi, kesehatan balita, dan perilaku

sosial budaya. Berdasarkan hasil uji statistik membuktikan adanya

hubungan antara jarak kelahiran dengan status gizi balita. Namun dari

hasil penelitian ini terjadi fenomena dimana masih ditemukan jarak

kelahiran < 3 tahun mempunyai status gizi baik, sedangkan ≥ 3 tahun


mempunyai status gizi kurang. Hal ini menunjukan bahwa ada faktor lain
yang mempengaruhi status gizi balita.

Penelitian Nurjana dan Septiani, (2013) memiliki anak terlalu

banyak menyebabkan kasih sayang pada anak terbagi. Kondisi ini akan

memburuk jika status ekonomi keluarga tergolong rendah Penelitian

Anindita, (2013) faktor yang melatarbelakangi terhambatnya program KB

adalah minimnya petugas lapangan KB, kurangnya ajakan dari tokoh

masyarakat, serta berkembangnya budaya tradisional “Banyak anak

banyak rezeki” serta merebaknya pernikahan dini.


2. Lingkungan Rumah

a. Sanitasi Dan Sumber Air Yang Kurang

Akses air bersih yang rendah dan rendahnya akses terhadap pelayanan

kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih,

mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu

membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang

air besar sembarangan. Pola asuh dan status gizi sangat dipengaruhi oleh

pemahaman orang tua (seorang ibu) maka, dalam mengatur kesehatan

dan gizi di keluarganya. Karena itu, edukasi diperlukan agar dapat

mengubah perilaku yang bisa mengarahkan pada peningkatan kesehatan

gizi atau ibu


dan anaknya.
Selain gizi buruk, kondisi air dan sanitasi yang buruk turut menyebabkan

tingginya angka stunting terhadap anak di Indonesia. Padahal, air dan

sanitasi bersih menjadi tujuan dari Sustainable


Development Goals (SDGs) yang harus terpenuhi di tahun 2030. Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mencatat, sebanyak 8,9 juta

anak balita mengalami stunting. Stunting adalah kondisi anak memiliki

tinggi badan lebih rendah dari standar usianya akibat asupan gizi yang

kurang dalam waktu cukup lama sebagai dampak dari pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Dalam SDGs di tahun 2030 disebutkan, setiap negara harus

memastikan ketersediaan sumber daya air dan sanitasi yang bersih bagi

warga negaranya. Dalam riset Kementerian Kesehatan stunting bisa


disebabkan gizi buruk (40 persen) dan tidak adanya air bersih dan sanitasi

buruk (60 persen).

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia untuk

memenuhi standar kehidupan secara sehat. Masyarakat yang tercukupi

kebutuhan air bersih akan terhindar dari penyakit yang menyebar lewat

air dan memiliki hidup yang berkualitas. Menurutnya, ekohidrologi adalah

pendekatan pengelolaan sumber daya air terpadu dengan pendekatan

pembangunan berkelanjutan. Ekohidrologi mempertimbangkan aspek


hidrologi, ekologi, ekoteknologi dan budaya.

Masyarakat perlu diedukasi untuk lebih peduli. Tidak lagi membuang

sampah domestik dan limbah pabrik ke sungai. Saat ini saluran air masih

dianggap tempat sampah. Sanitasi yang layak tentu mengurangi faktor

risiko penyebaran penyakit. Sayangnya, beberapa wilayah di Indonesia

masih mendapat sorotan mengenai sanitasi yang belum layak. Dr Imran


AgusNurali,DirekturKesehatanLingkunganKemenkesRI,
mengungkapkan, berdasarkan data dari STBM (Sanitasi Total Berbasis

Masyarakat) Smart, terdapat 68,06 persen Kepala Keluarga yang

mendapatkan sanitasi layak dari sekira 75 juta kepala keluarga di

Indonesia. Sisanya, masih belum mendapatkan sanitasi layak.

Penduduk di area sanitasi perlu mendapat informasi mengenai efek

negatif dari sanitasi yang kurang layak. Dampak yang ditimbulkan dari

sanitasi buruk adalah terjadinya beberapa penyakit menular. Sanitasi

buruk juga berdampak pada kondisi stunting. Hal ini berdampak pada
gangguan tumbuh kembang pada bayi dan balita, sehingga berakibat

stunting.

b. Kurangnya Akses Dan Ketersediaan Pangan

Pembangunan ketahanan pangan diselenggarakan untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan

merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan

keyakinan masyarakat, sehingga terbentuk manusia Indonesia yang

berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan

pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar

merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh masyarakat.

Munculnya berbagai permasalahan kurang gizi disebabkan oleh tidak

tercapainya ketahanan gizi sebagai dampak dari ketahanan pangan rumah

tangga yang
Berbagai faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan seperti
tidak terpenuhi.

pendapatan keluarga, pendidikan, dan kepemilikan aset produktif secara

bersama-sama berpengaruh terhadap kerawanan pangan. Jumlah anggota

keluarga, tingkat pendidikan, harga bahan makanan, dan pendapatan

keluarga secara bersamasama juga berpengaruh terhadap ketahanan

pangan rumah tangg. Karakteristik kabupaten/kota dengan prevalensi

stunting yang cukup tinggi adalah pendapatan per kapita penduduknya

rendah, tingkat pendidikan rendah, dan perilaku higiene yang tidak baik.

Senada dengan hal ini, terdapat hubungan yang signifi kan antara

ketahanan pangan tingkat rumah tangga berdasarkan konsumsi energi


dengan status gizi balita maupun batita, yakni semakin tinggi skor rata-rata

nilai ketahanan pangan, semakin baik status gizinya.

Ketahanan pangan adalah salah satu faktor resiko yang ber

kontribusi terhadap stunting. Rumah tangga dikategorikan tidak tahan

pangan bila tidak memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap

pangan yang cukup, bergizi, dan aman yang diperlukan untuk

pertumbuhan/perkembangan normal serta hidup aktif dan sehat.

Kerawanan pangan rumah tangga mempengaruhi kesehatan anak serta

berhubungan dengan kekurangan asupan makanan dan kekurangan

energi- protein. Beberapa studi menunjukkan bahwa kerawanan pangan

rumah
tangga memiliki
c. Edukasi hubungan
Pengasuhan yang
Yang nyata dengan stunting.
Salah

Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu dan anak

(Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya interaksi ibu dan anak,
maka semakin baik pula kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam
mengasuh anak. Hal tersebut karena pola asuh merupakan indikator atas

peran ibu dalam mengasuh anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Sehingga,

pola asuh merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kurang gizi atau

terganggunya perkembangan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Kasih

sayang merupakan kebutuhan dasar untuk menunjang pertumbuhan yang

sempurna dalam tahap tumbuh kembang anak. Hal ini dapat terwujud

melalui kehadiran seorang ibu. Kontak fisik antara ibu dan anak (menyusui

segera setelah melahirkan anak) menciptakan rasa aman bagi bayi dan
menciptakan ikatan erat antara ibu dan bayi (Adriani dan Wijatmadi,

2012).

Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh terkait praktek

pemberian makan dengan kejadian stunting dengan nilai p = 0,001. Hal ini

menggambarkan bahwa ibu yang memperhatikan pemberian, persiapan

dan penyimpanan makanan anak, lebih banyak memiliki anak yang


mengalami pertumbuhan panjang badan normal (Renyoet dkk., 2013).

3. Makanan Kualitas Rendah

a. Asupan energi

Asupan makanan yang kurang akan sangat mempengaruhi keseimbangan

nutrisi dalam tubuh. Tidak tersedianya makanan dirumah akan

berdampak pada asupan makan anak. Apabila ketersedian makanan di

rumah tidak adekuat maka anak akan mendapatkan makanan bergizi yang

kurang (Krisnansari, 2010). Ketersedian makanan di rumah juga akan


membentuk pola makan anak pada periode selanjutnya (Almatsier dkk.,
2011). Pola makan yang terbentuk dalam keadaan kurangnya konsumsi

makanan bergizi, pada akhirnya anak akan terbiasa untuk mengonsumsi

makanan kurang bergizi. Kurangnya makan yang bergizi dalam jangka

waktu lama akan menyebabkan tubuh mengalami kekurangan gizi.

Kurangnya asupan makanan sehingga berdampak pada kekurangan

energi akan dapat menyebabkan kehilangan berat badan, gangguan

pertumbuhan berat badan dan terhambatnya pencapaian tinggi badan

(Sharlin dan Edelstein, 2011). Kebutuhan total energi setiap anak berbeda
tergantung dari usia, berat badan dan level aktifitas fisik (Thompson dkk.,

2011). Hasil penelitian yang dilakukan Wardani (2007) menyatakan bahwa

ada hubungan yang bermakna antara status gizi dan konsumsi energi

dengan nilai p = 0,049 dan OR= 205,5 artinya adalah anak balita yang

mengalami kurang konsumsi energi akan memiliki risiko mengalami gizi

buruk 205,5 kali lebih besar jika dibandingkan dengan dengan anak balita

yang memiliki konsumsi energi cukup (Wardani, 2007). Berikut adalah


Angka Kecukupan Gizi untuk energi:

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Untuk Energi

Kelompok Energi
umur (Kkal)
0-6 bulan 550

7-11 bulan 725

1-3 tahun 1125

4-6 tahun 1600

7-9 tahun 1850

Sumber: AKG, 2013

b. Asupan protein

Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki

fungsi esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes,

1985). Sebagai sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1

gram protein, sama dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino

esensial dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein


mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi

sebagai zat pengatur. Asam amino esensial merupakan asam amino yang

tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari

makanan (luar tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang

dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian, produksi asam

amino non-esensial bergantung pada ketersediaan asam amino esensial

dalam tubuh (Almatsier, 2001).

Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Protein berperan

sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam nukleat dan

molekul-molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan

sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk

antibodi, mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk ikatan-ikatan esensial

tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang

khas dan
tidak dapat digantikan
Berikut oleh zat
adalah Angka lain (Almatsier,
Kecukupan 2001).
Gizi untuk protein:

Tabel 2.3 Angka Kecukupan Gizi Untuk Protein

Kelompok Protein
umur (gram)
0-6 bulan 12
7-11 bulan 18
1-3 tahun 26
4-6 tahun 35
7-9 tahun 49

Sumber: AKG, 2013


c. Asupan kalsium

Beberapa zat gizi mikro yang sangat penting untuk mencegah

terjadinya stunting yaitu vitamin A, zinc, zat besi dan iodin. Namun,

beberapa zat gizi mikro lainnya seperti kalsium dan fosfor juga sangat

penting perannya dalam pertumbuhan linier anak. Selama pertumbuhan,

tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi, rendahnya asupan

kalsium dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit

tulang baru dan disfungsi osteoblast. Defisiensi kalsium akan

mempengaruhi pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang


kurang dari 50% kandungan normal.

Kalsium membentuk ikatan kompleks dengan fosfat yang dapat

memberikan kekuatan pada tulang, sehingga defisiensi fosfor dapat

mengganggu pertumbuhan. Defisiensi fosfor yang berlangsung lama akan

menyebabkan osteomalasia dan dapat menyebabkan pelepasan

kalsium
untuk memperkuat tulang dan gigi agar tidak mudah patah dan rusak.
dari tulang. Mulyani (2009) kalsium bersama fosfor terutama
berperan
Sebagian besar (99%) kalsium di dalam tubuh terdapat dalam jaringan

keras seperti tulang dan gigi, dan sisanya tersebar dalam tubuh (Muchtadi,

2008).

Efek kumulatif dari deplesi kalsium selama bertahun-tahun

memberikan kontribusi terhadap frekuensi kejadian osteoporosis pada usia

dewasa (Gibney, 2009). Fungsi dan metabolisme antara fosfor dan kalsium

sangat erat. Kalsium bersama fosfor bersama-sama dalam proses


kalsifikasi yaitu terbentuknya matriks mineral. Dengan demikian, kalsium

bersama dengan fosfor lebih berperan dalam memperkuat tulang. Berikut

adalah Angka Kecukupan Gizi Untuk Kalsium

Tabel 2.4Angka Kecukupan Gizi Untuk Kalsium

Kelompok Kalsium
umur (mg)
0-6 bulan 200

7-11 bulan 250

1-3 tahun 650

4-6 tahun 1000

7-9 tahun 1000

Sumber: AKG, 2013

4. Pemberian ASI

ASI merupakan bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi

anak, karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk hidup

selama 6 bulan pertama kehidupan. Meskipun setelah itu, makanan

tambahan yang dibutuhkan sudah mulai dikenalkan kepada bayi, ASI

merupakan sumber makanan yang penting bagi kesehatan bayi. Sebagian

besar bayi di negara yang berpenghasilan rendah, membutuhkan ASI

untuk pertumbuhan dan tak dipungkiri agar bayi dapat bertahan hidup,

karena merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah

didapat. dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia
6– 12 bulan, selain itu ASI juga mengandung semua asam amino essensial

yang dibutuhkan bayi (Berg, A. & Muscat, R. J., 1985).

ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak

lahir sampai usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan

mengonsumsi obat-obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter.

Selama 6 bulan pertama pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan

makanan dan minuman lain (susu formula, jeruk, madu, air, teh, dan

makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi, biskuit,

nasi tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI kepada

bayi, tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air,

misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar


(Kemenkes, 2010).

Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan,

terutamadalamhalperkembangananak.KomposisiASIbanyak
mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon
panjang
(LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya

sebagai sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena

molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga

memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap

penyakit, berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan

frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus

respiratorius, serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga

memberikan efek terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak


yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya.

Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat

dalam interaksi ibu dan anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan

dan perilaku anak (Henningham & McGregor, 2008).

Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada anak yang tidak diberi ASI Eksklusif

(ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan anak yang diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien

dan Kam, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan bahwa

anak yang tidak mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap stunting. Hal

ini mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan pada bayi

baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin memiliki insiden, durasi

dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang berkontribusi terhadap

kekurangan gizi. Penelitian lain juga menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi

berhubungan dengan kejadian stunting (Kumar, et al., 2006). Selain itu, durasi

pemberian ASI
yang berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting (Teshome,

2009).

Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara signifikan

berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernafasan dan insiden yang

lebih tinggi mordibitas malaria dan infesksi mata. Penelitian di Peru,

menunjukkan prevalensi diare secara signifikan lebih tinggi pada anak

yang disapih. Hal ini dapat disebabkan karena hilangnya kekebalan tubuh

dari konsumsi ASI yang tidak eksklusif dan juga pengenalan makanan
tambahan yang tidak higenis yang rentan terhadap penyakit infeksi.

Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa menyusui dapat

mengurangi kejadian pneumonia dan gastroenteritis (Kalanda, et all 2006).

Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki

hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak

stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011). Penelitian lain

yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama

pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi


PB/U pada baduta.

5. Infeksi Klinis Dan Subklinis

Infeksi dan asupan nutrisi merupakan sebuah lingkaran yang saling

berhubungan timbal balik (Nency dan Arifin, 2005). Rendahnya asupan

makanan dapat menurunkan imunitas dalam tubuh sehingga tubuh

mudah mengalami infeksi yang menyebabkan gizi kurang atau sebaliknya

tubuh
yang mengalami infeksi akan menganggu penyerapan zat gizi oleh

sehingga tubuh akan mengalami kurang gizi (Latanza, 2015). Berdasarkan

penelitian Arifin dkk., 2012 ada hubungan yang signifikan antara penyakit

infeksi dengan kejadian stunting p = 0,021 yaitu OR= 2,2. Artinya anak

yang memiliki riwayat penyakit infeksi akan memiliki risiko 2,2 kali lebih

besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak

memiliki riwayat penyakit infeksi.

Penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi status gizi adalah diare

dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada anak. Diare adalah
buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan dan konsistensi tinja

yang lebih lunak dan cair yang berlangsung dalam kurun waktu minimal 2

hari dan frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri penyebab utama diare

pada bayi dan anak-anak adalah Enteropathogenic Escherichia coli

(EPEC). Menurut Levine & Edelman, Bakteri EPEC juga diyakini menjadi

penyebab kematian ratusan ribu anak di negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini

juga diungkapkan oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak penderita

diare terinfeksi EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah satu masalah

kesehatan utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sanitasi di

daerah kumuh biasanya kurang baik dan keadaan tersebut dapat menyebabkan

meningkatnya penularan penyakit infeksi. Di negara berkembang penyakit infeksi

pada anak merupakan masalah yang kesehatan yang penting dan diketahui dapat

mempengaruhi pertumbuhan anak (Masithah, Soekirman, & Martianto, 2005).

Berdasarkan penelitian Masithah dkk (2005), anak anak yang

menderita diare memiliki hubungan positif dengan indeks status gizi tinggi

badan menurut umur (TB/U). Penelitian lain juga menunjukkan hal yang

sama, penyakit infeksi menunjukan hubungan signifikan terhadap indeks

status gizi TB/U (Neldawati, 2006). Penyakit infeksi seperti diare dan

ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk,

berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 6 –12 bulan (Astari,

et al., 2005). Penelitian lain di Libya juga menyatakan bahwa penyakit


diare menjadi faktor kejadian stunting pada anak dibawah 5 tahun (Taguri,

et al., 2007).

I. Kerangka teori

Berdasarkan uraian diatas, banyak sekali faktor yang mempengaruhi

stunting pada anak baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan

literature yang dilakukan para peneliti sebelumnya. Maka kerangka teori yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:


56

Gambar 2.3 Kerangka Teori Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stunting


Sumber: WHO, 2013
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka konsep

Masalah gizi pada anak merupakan masalah yang kompleks dan disebabkan oleh

multifaktorial penyebab. Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya

asupan gizi dan masalah kesehatan. Selain itu, asupan gizi dan masalah kesehatan

merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Berdasarkan kerangka teori yang

telah dijelaskan adanya ketidakterjangkauan peneliti untuk mengetahui semua faktor

penyebab terjadinya stunting pada anak sehingga ada beberapa faktor risiko yang

terdapat pada kerangka teori tidak diteliti.


Faktor resiko yang ada di kerangka teori tidak diteliti dalam penelitian

ini adalah faktor rumah tangga dan keluarga yang meliputi nutrisi ibu pada

saat konsepsi, kehamilan dan laktasi dikarenakan penelitian ini melihat faktor

pada anak dan hanya melihat tinggi badan ibu dan jarak kelahiran anak

berdasarkan faktor ibunya. Selanjutnya yang tidak diteliti adalah faktor

lingkungan rumah yang salah satunya adalah sanitasi dan pasokan air

dikarenakan data yang didapat akan homogeny karena berada diwilayah yang

sama.

Begitupun pada faktor sosial dan komunitas tidak diteliti karena

penelitian ini dilakukan dalam satu wilayah yang sama. Adapun variabel yang

57
58

diteliti adalah karakteristik anak (berat baban lahir dan panjang badab lahir),

karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak kelahiran), asupan zat gizi

(protein dan kalsium), pola asuh, ASI eksklusif, dan riwayat infeksi.

Kerangka konsep merupakan pedoman untuk penelitian dan

menunjukkan hubungan antara variable independen dan dependen, dimana

masing-masing variable tersebut dapat dioperasionalkan dan diukur oleh peneliti.

Beberapa faktor yang dapat mempengarui stunting dapat dilihat pada kerangka teori

yang terdapat pada Bab sebelumnya. Maka dapat disusun kerangka konsep sebagai

berikut:

58
59

Karakteristik Anak:
Berat Badan Lahir
Panjang Badan Lahir

Karakteristik Ibu:
Tinggi Badan Ibu
Jarak Kelahiran

Asupan Zat Gizi:


Energi Protein
Kalsium
Stunting

Pola Asuh

ASI Eksklusif

Riwayat Infeksi

Keterangan:

: Variabel independen

: Variabel dependen

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

59
60

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

N Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala Ukur
o Ukur
1 Stunting Keadaan panjang badan anak Mengukur Len 1. stunting , bila PB/U < -2 Ordinal
. SD
menurut umur (PB/U) yang panjang badan gth
2. Normal, bila PB/U ≥ -2
kurang -2 SD anak dalam boa
SD (Kemenkes, 2011)
posisi berbaring rd
2 Panjang Panjang lahir yang diukur Wawanc Kuesioner 1. pendek, bila < 48 cm Ordinal
. lahir
pertama kali setelah lahir ara 2. Normal, bila ≥ 48

atau maksimal 24 jam kuesioner cm (kemenkes, 2013)

setelah lahir
3 Berat Berat badan bayi yang diukur Wawanc Kuesioner 1. Rendah, bila < 2500 gram Ordinal
.
badan pertama kali setelah lahir ara 2. Normal, bila ≥ 2500

lahir atau kuesioner gram (Kemenkes, 2013)

maksimal 24 jam setelah


lahir
4 Tinggi Hasil ukur tinggi badan ibu Pengukuran tinggi mikrotoise 1. pendek, bila < 150 cm Ordinal
. badan
61

60
ibu dalam satuan sentimeter (cm) badan pada 2. Normal, bila ≥ 150

pada posisi berdiri tegap posisi berdiri cm (Batlibangkes,

tegap dengan 2011)

kepala, bahu,

bokong, betis

dan tumit

menempel pada

dinding dan

tegak

lurus bidang datar


5 Jarak Jarak kelahiran adalah jarak Wawanc Kuesioner 1. Dekat, bila jarak Ordinal
.
kelahir antara anak yang lahir dengan ara kelahiran anak < 3 tahun

an anak sebelumnya. kuesioner 2. Normal, bila jarak

kelahiran anak ≥ 3 tahun

(Ayuningtyas, 2016)

6 Asupan Jumlah energi dalam Wawancara food Kuesioner 1. Tidak adekuat < 77% AKG Ordinal
. makanan
energi recall 24 jam 2. Adekuat ≥ 77% AKG
yang dikonsumsi selama
sehari
61
terhitung sejak 24 jam

sebelum penelitian

dilakukan dalam

satuan gram.
7 Asup Jumlah protein dalam Wawancara food Kuesion 1. Tidak adekuat < 77% AKG Ordinal
. er
an makanan yang dikonsumsi recall 24 jam 2. Adekuat ≥ 77% AKG

prote selama sehari terhitung sejak

in 24 jam sebelum penelitian

dilakukan dalam

satuan gram.
8 Asup Jumlah kalsium dalam Wawancara food Kuesion 1. Tidak adekuat < 70% AKG Ordinal
. er
an makanan yang dikonsumsi recall 24 jam 2. Adekuat ≥ 70% AKG

kalsi selama sehari terhitung

um sejak 24 jam sebelum

penelitian dilakukan

dalam satuan

milligram.
9 Pola Asuh Upaya pemeliharaan Wawancara kuesione 1. kurang baik , bila jawaban Ordinal
. kesehatan r
62
dan gizi anak melputi kuesioner <80%

pengasuhan harian, 2. baik, bila ≥ bila jawaban

penimbangan rutin, <80%

praktek kebersihan, upaya

penyembuhan, kebiasaan

sarapan dan frekuensi

makan

sayur dan buah.


1 ASI Air Susu Ibu (ASI) Wawanc kuesioner 1. Tidak ASI eksklusif, ordinal
0. Eksklusif
Eksklusif adalah ASI yang ara bila anak mendapatkan

diberikan kepada bayi kuesioner asupan makanan dan

sejak dilahirkan selama minuman selain ASI

enam bulan, tanpa selama 6 bulan pertama

menambahkan dan/atau 2. ASI eksklusif, bila anak

mengganti dengan hanya mendapatkan ASI

makanan atau minuman selama 6 bulan pertama

lain (kecuali

obat, vitamin, dan


63
mineral),

1 Riwayat Sakit infeksi yang dialami Wawanc kuesioner 1. sering sakit ordinal
1.
infeksi pada enam bulan terakhir ara 2. jarang

dengan frekuensi mencapai kuesioner sakit

jarak enam kali dan (Besral,

berlangsung minimal 3 hari 2011)

setiap periode sakit

64
65

C. Hipotesis

1. Ada hubungan faktor karakteristik anak (berat badan lahir dan panjang

badan lahir) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Ada hubungan faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak kelahiran) dengan

kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan

Tahun 2018.

Ada hubungan faktor asupan gizi (energi, protein dan kalsium) dengan kejadian

stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun

2018.

Ada hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting pada anak usia 6- 23 bulan

di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Ada hubungan faktor ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23

bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Ada hubungan faktor riwayat infeksi dengan kejadian stunting pada anak
usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

65
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penlitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional

atau potong lintang. Pengumpulan data dan informasi serta pengukuran antara

variable dependen dan independen dilakukan pada waktu yang sama. Penelitian

Cross Sectional merupakan jenis penelitian yang berusaha mempelajari dinamika

hubungan atau korelasi secara faktor-faktor risiko dengan dampak atau efeknya

(Sugiyono, 2011).

Disain cross sectional adalah suatu disain penelitian epidemiologi yang mempelajari

prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian)

dengan cara mengamati status paparan, penyakit, atau karakteristik kesehatan

lainnya secara serentak, pada individu-individu dari


suatu populasi dalam satu saat (Siagian, 2010). Pada disain ini, pengukuran

informasi mengenai sesuatu penyakit dan faktor-faktor risikonya dilakukan

pada waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat melihat hubungan kausal

(sebab-akibat) karena tidak diketahui urutan kejadiannya, pajanan terlebih

dahulu atau kasus penyakit terlebih dahulu (Aschengrau dan Seage, 2003).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakuakn pada bulan September-Oktober 2018 dan

berlokasi di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan.

66
67

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-23 bulan

di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan.

2. Sampel

Dari populasi penelitian yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah

anak yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:


Anak usia 6-23 bulan yang bertempat tinggal diwilayah penelitian.

Anak tinggal bersama ibu kandung.

Ibu yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Adapun kriteria eksklusi dari sampel dalam penelitian ini adalah:

Anak yang tidak tinggal menetap diwilayah penelitian.

Anak yang mengalami gangguan mental dan cacat fisik

Adapun penghitungan sampel menggunakan rumus pengujian hipotesis


untuk dua proporsi (Ariawan, 1998), yaitu:

Keterangan: n = Jumlah sampel penelitian

Z1-α/2 = Derajat kemaknaan (5%)

Z1-β = Kekuatan uji (90%)

67
P = (P1=P2)/2

P1 = Proporsi stunting pada pajanan (+) (0,781)

P2 = Proporsi stunting pada pajanan (-) (0,500)

Tabel 4.1 Besar Minimal Sampel Berdasarkan Penelitian Sebelumnya

variabel independen Variabe P1 P2 ∑Sam Sumber


pel
l

depende

Riwayat Infeksi TB/U 0,7 0,5 60 Neldawa


81 00
ti,

2006

Asupan Energy TB/U 0,1 0,4 40 Indriyani,


41 67 2011

Asupan Protein TB/U 0,1 0,5 33 Indriyani,


39 00 2011

Berat Lahir TB/U 0,7 0,1 15 Paramita,


5 9 2012

Jumlah anggota TB/U 0,6 0,3 41 Ni’mah,


76 24 2015
keluarga

Pemberian TB/U 0,6 0,3 52 Fatmala,


58 44 2018
ASI

Eksklusif

Pendapatan TB/U 0,6 0,0 12 Fatmala,


keluarga 22 32 2018

Status pekerjaan TB/U 0,6 0,3 47 Fatmala,


36 08 2018
68
Dari perhitungan sampel tersebut didapatkan jumlah minimal

sampel yaitu 60 anak. Penelitian ini menggunakan uji hipotesis dua

proporsi sehingga jumlah sampel minimum dikali dua menjadi 120 anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang

Selatan. Untuk mengantisipasi kehilangan responden, maka peneliti

menambahkan jumlah sampel sebesar 10%. Sehingga di dapatkan 132

anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang

Selatan.

D. Teknik pemilihan sampel

Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya

sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya,

dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh

sampel yang representatif. (Margono, 2004). Dalam penelitian ini

menggunakan teknik sampel propotional random sampling dengan cara


membuat kerangka sampel (sampling frame) dari daftar anak di
posyandu
pada bulan vitamin A (Agustus 2018) dengan pertimbangan pada bulan

tersebut hampir seluruh anak terdaftar dalam pemberian vitamin A.

Penggunaan metode random ini bertujuan agar setiap anak usia 6-23 bulan

pada setiap posyandu mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi

sampel pada penelitian ini.

Adapun cara pemilihan sampel yaitu:

1. Peneliti akan melakukan pengumpulan data sekunder.

69
2. Kerangka sampel penelitian ini dibuat berdasarkan data register bulan

vitamin A semua posyandu yaitu 43 posyandu di wilayah kerja Puskesmas

Pisangan.

3. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportional random sampling

dari kerangka sampel pada masing-masing Posyandu.

4. Kemudian dilakukan pengundian untuk menentukan anak yang terpilih sebagai

sampel sesuai dengan jumlah minimal sampel yang dibutuhkan.

Seluruh anak usia 6-23 bulan


Populasi di wilayah kerja puskesmas
Target pisangan

2506 anak usia 6-23 bulan di


Populasi
Studi wilayah kerja puskesmas
pisangan

Sampel yang 132 anak usia 6-23 bulan di


diharapkan
wilayah kerja puskesmas
pisangan

132 anak usia 6-23 bulan di


Subjek
Aktual wilayah kerja puskesmas
pisangan

Gambar 4.1 Tahapan pemilihan sampel

70
E. Pengumpulan Data

1. Persiapan Pengumpulan

Sebelum mengadakan penelitian, peneliti meminta izin penelitian

kepada instansi yang terkait yaitu, Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan, dan Puskesmas Pisangan. Setelah surat diurus, peneliti meminta daftar nama

anak usia 6-23 bulan untuk menentukan anak yang akan dijadikan sebagai sampel

penelitian. Setelah ditentukan anak mana saja yang akan menjadi sample penelitian,

peneliti meminta tolong kepada kader untuk memberikan informasi kepada ibu dan

anak terpilih untuk datang ke tempat yang ditentukan sebagai lokasi pengumpulan

data (rumah kader atau posyandu).


2. Sumber Data

Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data

primer didapat dari hasil wawancara menggunakan kuesioner pada responden yang

menjadi sampel dalam penelitian. Data


primer yang diperlukan antara lain:

a. Data status gizi PB/U (pajang badan menurut umur) anak dengan

melakukan pengukuran antropometri panjang badan anak

menggunakan length board.

b. Data status gizi tinggi badan ibu dkukan pengukuran antropometri

tinggi badan ibu menggunakan microtoise.

c. Data mengenai asupan zat gizi menggunakan lembar food recall 24

jam dengan mencatat asupan makanan.

71
d. Data mengenai poal asuh, ASI eksklusif dan riwayat infeksi yang

didapatkan melalui wawancara dan pengisian.

Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder

dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas, dan Posyandu

di Puskesmas Pisangan untuk melihat gambaran umum wilayah dan data


jumlah anak di lokasi penelitian.

Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Length board

Length board berfungsi sebagai alat ukur panjang badan sampel denganketelitian

sebesar 0,1 cm. data tentang panjang badan ini menggambarkan presentase angka

kejadian stunting.
Microtoise

Microtoise digunakan untuk mengukur tinggi badan responden dengan ketelitian 0,1

cm. data tinggi badan ini menggambarkan distribusi tinggi badan ibu.

c. Kuesioner

Kuesioner yang digunakan berisisi pertanyaan-pertanyaan yang

akan ditanyakan kepada responden (ibu) setelah responden mengisi

dan menandatangani lembar persetejuan penelitian halaman pertama.

Serta pada halaman terakhir kuesioner terdapat formulir food recall 24

jam yang berfungsi untuk mencatat informasi tentang makan dan

minuman beserta jumalah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi

oleh sampel dalam satu hari.

72
4. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan oleh 2 – 3 orang, yang terdiri dari

peneliti sendiri dibantu oleh pengumpul data yang lain. Pengumpulan data

dilakukan dengan pengukuran antropometri dan wawancara setelah

adanya persetujuan untuk melakukan wawancara yang ditandatangani pada

lembar inform consent oleh responden. Pengukuran antropometri berupa

pengukuran panjang badan anak dan tinggi badan ibu. Sementara wawancara

menggunakan kuesioner yang memuat pertanyaan dari variabel yang akan diamati.

Wawancara ditutp dengan pertanyan recall 24 jam yang memuat data asupan

makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 24 jam sebelum penelitian

dilakukan.
a. Prosedur pengukuran panjang badan anak

Pengukuran panjang badan anak menggunakan length board dengan tingkat ketilitian

0,1 cm dengan posisi berbaring. Length board adalah alat ukur yang berbentuk

panjang, terdiri atas tiga bagian yaitu


kepala, badan dan kaki. Bagian kepala dan kaki length board adalah
tegak lurus terhadap badan length board sementara bagian kaki length

board dapat di gerakkan.

Langkah mengukur panjang badan anak adalah sebagai berikut

(WHO, 2008):

1) Membaringkan anak di atas length board yang telah diberi alas,

dengan posisi kepala anak menempel pada kepala length board

sambal menekan rambut.

73
2) Memposisikan kepala anak menghadap keatas sehingga mata

dan telinga anakemmbentuk garis vertical terhadap badan

length board.

3) Mengecek posisi bahu anak menyentuh badan length board

4) Meluruskan satu kaki anak sejajar terhadap kaki length board.

Memposisikan htelapak kaki anak sejajar terhadap kaki length board.

Membaca angkapada sisi badan length boarddan mencatat dengan cepat.


Melakukan pengukuran sebanyak dua kali.

b. Prosedur pengukuran tinggi badan

Mengukur tinggi badan ibu menggunakan mikrotoise dengan kapasitas ukuran

panjang dua meter dan ketelitian 0,1 cm. sebelum melakukan pengukuran,

microtoise harus terpasang pada dinding datar dengan syarat dinding tegak

lurusmembentuk sudut siku-sikuterhadap


alas atau lantai.

Langkah mengukur tinggi badan adalah sebagai berikut (WHO,

2008):

1) Mempersilahkan responden berdiri tegap tanpa alas kaki

membelakangi dinding dan mata menghaap lurus kedepan.

2) Membiarkan tangan responden menggantung bebas dan

menempel pada badan

3) Membantu memposisikan tumit, bokong, bahu dan kepala

bagian belakang menyentuh dinding

74
4) Mempersilahkan responden menarik napas sementara tangan

mengukur menarik tuas mikrotoise sehingga menyentuh dan

sedikit menekan rambut responden

5) Membaca dan mencatat angka yang tertera pada skala baca

microtoise
6) Melakukan pengukuran sebanyak dua kali

Prosedur recall 24 jam

Wawancara recall 24 jam dilakukan untuk menjawab variabel asupan energi,protein

dan kalsium. Kekuatan data recall 24 jam bergantung pada kemampuan enumerator

dalam memahami informasi responden terutama tentang ukuran perbahan

makanan. Recall 24 jam kemuadian diolah dengan Microsoft Excel dan Software

Nitrisurvey 2007 untuk memperoleh jumalah asupan zat-zat gizi. Asupan dikatakan

cukup apabila memenuhi minimal angka kecukupan gizinya.


Prosedur pengisian kusioner

Pengisiankuesionerdilakukanolehenumeratormelalui

wawancara setelah responden mengisi dan menandatangani lembar

persetejuan penelitian halaman pertama.

1) Variabel berat badan lahir kuesioner nomor D1

2) Variabel panjang badan lahir kuesioner nomor D2

3) Variabel tinggi badan ibu kuesioner nomor B4

4) Variabel jarak kelahiran kuesioner nomor C7

5) Variabel pola asuh kuesioner nomor F1-F10

6) Variabel ASI eksklusif kuesioner nomor E1-E6

75
7) Variabek penyakit infeksi kuesioner nomor G1-G4

F. Pengolahan data

1. Editing

Pada tahap ini yang dilakukan adalah memeriksa kelengkapan data

yang telah terkumpul, lalu disusun urutannya. Selanjutnya, dilihat apakah

terdapat kesalahan dalam pengisian serta melihat konsistensi jawaban

dari
setiap pertanyaan setiap variabel.
2. Coding

Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah memberikan kode pada

data yang tersedia kemudian mengklasifikasikan data sesuai


kebutuhan penelitian.

3. Processing

Pada tahap ini yang dilakukan adalah memasukkan data kedalam


paket program komputer seperti software SPSS yang kemudian akan

dianalisis secara statistik.

4. Cleaning

Pada tahap ini yang dilakukan adalah memeriksa kembali data

yang telah dimasukkan apakah masih ada pertanyaan yang belum terisi,

jawaban yang belum dikode, atau kesalahan dalam pemberian kode.

76
G. Validitas Dan Realibilitas

1. Validitas Data

Validitas merupakan kemampuan sebuah tes untuk mengukur apa

yang seharusnya diukur (Swarjana, 2016). Pada penelitian ini, uji validitas

yang digunakan adalah dengan uji validitas isi. Yaitu dengan cara

memperhatikan dan melihat tanggapan dari responden dalam mengisi

setiap pertanyaan yang ada dalam kuisioner. Peneliti memperhatikan

waktu pengisian kuisioner, serta menanyakan apakah pertanyaan dari


kuisioner tersebut sulit dimengerti atau bermakna ganda.

Berdasarkan hasil pengujian validitas, hasil dari tanggapan dan observasi

responden dalam menjawab pertanyaan adalah tidak ada yang bermakna

ganda, dan rata-rata waktu pengisian kuisioner adalah 15 menit. Pada

pengukuran antropometri (panjang badan anak, berat badan


anak, dan tinggi badan ibu) memenuhi aspek valid.

2. Reliabilitas Data

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat alat ukur yang digunakan

dapat terjaga konsistennya apabila pengukuran dilakukan berulang-ulang.

Uji reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

rumus statistik Cronbach’s alpha keseluruhan dengan membandingkan

nilai r hasil (nilai alpha) dengan r tabel. Apabila r alpha lebih besar dari r

tabel berarti kuesioner tersebut reliabel (Arifin, 2012). Uji reliabilitas pada

penelitian ini dilakukan pada kuesioner bagian variabel ASI eksklusif, pola

asuh dan penyakit infeksi. Berikut merupakan kriteria reliabilitas :

77
Tabel 4.1 Kriteria Reliabilitas

Nilai Kriteria
α≥ 0,9 Excellent
0,8 ≤ α < 0,9 Good
0,7 ≤ α < 0,8 Acceptable
0,6 ≤ α < 0,7 Questionable
0,5 ≤ α < 0,6 Poor
α < 0,5 Unacceptable

Hasil uji reliabilitas yang dihasilkan adalah pada kuesioner bagian variabel ASI

eksklusif dihasilkan nilai α sebesar 0.808, artinya item yang digunakan bersifat

good dan reliabel. Pada kuesioner bagian variabel pola asuh dihasilkan nilai α

sebesar 0.824, artinya item yang digunakan bersifat good dan reliabel. Pada

kuesioner bagian variabel riwayat penyakit infeksi dihasilkan nilai α sebesar

0.850, artinya item yang digunakan bersifat good dan reliabel.

H. Analisis data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang digunakan untuk

menjabarkan secara deskriptif mengenai frekuensi dan proporsi baik

variabel yang diteliti yaitu variabel independen dan variabel dependen

(Sumantri, 2011). Analisi ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi

frekuensi dari variabel- variabel yang diteliti, baik variabel dependen

maupun variabel independen.

78
2. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk

mengetahui hubungan atau pengaruh dari variabel dependen dan

independen dengan menggunakan uji statistik (Sumantri, 2011). Pada

penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan

variabel independen (berat badan lahir, panjang badan lahir, tinggi badan

ibu, jarak kelahiran, asupan energy, asupan protein, asupan kalsium, pola

asuh, pemberian ASI eksklusid dan riwayat infeksi) terhadap variabel

dependen (kejadian stunting) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Pisangan.

Analisis ini menggunakan uji Chi-square karena variabel independen dan

dependen berbentuk katagorik. Untuk melihat ada tidaknya hubungan

antara variabel digunakan derajat kemaknaaan (alpha)


0.05. apabila hasil uji mendapatkan nilai p< 0,05 maka hasil uji bermakna

dan apabila nilai p> 0.05 maka hasil uji tidak bermakna. Berikut adalah
rumus Chi-Square yang digunakan :

(0 − 𝐸) 2
𝑋2 = ∑
𝐸

Keterangan:

X2 = Statistic Chi-Square

O = Nilai Obervasi

E = Nilai Yang Diharapkan

79
I. Etik Penelitian

Penelitian ini sudah diajukan ethical clearance-nya kepada Komisi Etik Penelitian

Fakulas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta dan

disetujui dengan nomor surat Un.01/F10/KP.01.1/KE.SP/08.02.007/2018.

80
BAB V
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kota Tangerang Selatan memiliki 26 Puskesmas yang tersebar dibawah naungan

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. salah satu Puskesmas yang berada di Kota

Tangerang Selatan adalah Puskesmas Pisangan. Puskesmas Pisangan merupakan

yang beralamat di Jalan Hijau Lestari Vll, Pisangan, Ciputat Timur, Kota Tangerang

Selatan, Banten 15419. Puskesmas Pisangan meliputi 2 wilayah kelurahan yang

termasuk dalam wilayah kerja puskesmas Pisangan yaitu Kelurahan Pisangan dan

Kelurahan Cirendeu. Wilayah Kelurahan Pisangan berada di Kecamatan Ciputat

Timur, Kota Tangerang Selatan, dan mempunyai luas wilayah 4,67 km2, dengan batas

wilayah sebagai
berikut :

Sebelah Utara : Kelurahan Cirendeu

Sebelah Barat : Kelurahan Cipayung

Sebelah Selatan : Kelurahan Pondok Cabe Ilir

Sebelah Timur : DKI Jakarta dan Cinere Depok

Adapun wilayah Kelurahan Cirendeu berada di Kecamatan Ciputat

Timur, Kota Tangerang Selatan, dan mempunyai luas wilayah 3,30 km 2,

dengan batas wilayah sebagai berikut :

81
82

Sebelah Utara : Kelurahan Rempoa

Sebelah Barat : Kelurahan Cempaka Putih

Sebelah Selatan : Kelurahan Pisangan

Sebelah Timur : DKI Jakarta

B. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari

variabel- variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun variabel independen.

Adapun variabel dependen dari penelitian ini yaitu stunting pada anak dan variabel

independen dari penelitian ini yaitu berat badan lahir, panjang badan lahir, tinggi

badan ibu, jarak kelahiran, asupan energi, asupan protein, asupan kalsium, pola asuh,

pemberian ASI eksklusif dan riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di wilayah

kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2018.

Adapun hasil dari analisis univariat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Gambaran status gizi anak usia 6-23 bulan di di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan menggunakan indeks panjang badan menurut umur

(PB/U). Anak dikatakan stunting apabila memiliki nilai Z-score -3 SD

sampai dengan -2 SD. Sedangkan normal apabila memiliki nilai Z-score -2

SD sampai dengan 2 SD. Berikut merupakan gambaran kejadian stunting

pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota

Tangerang Selatan tahun 2018:


Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian Stunting Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Frekuensi
Kategori Status
Jumlah Presentase
(n) (%)
Stunting (< -2 41 31,1
SD)
Normal (≥ -2 91 68,9
SD)
Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.1 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian sebagian besar memiliki status gizi berdasarkan panjang badan

menurut umur (PB/U) normal (Z-score ≥-2 SD) yaitu sebanyak 91


responden (68,9%).

2. Gambaran Berat Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di

Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Berat badan lahir adalah berat badan anak yang diukur pertama kali

setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Berat badan lahir dalam

penelitian ini dikatagorikan menjadi dua, yaitu berat badan lahir rendah

dan berat badan lahir normal. Berat badan lahir dikatakan rendah apabila

berat badan lahir <2500 gram dan dikatakan normal apabila berat badan

lahir ≥2500 gram.

Berikut merupakan gambaran berat badan lahir pada anak usia 6-23

bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun

2018:
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Berat Badan Lahir
Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Berat Frekue


Badan nsi
Jumlah Presentase
Lahir (n) (%)
Rendah (< 2500 11 8,3
gram)
Normal (≥ 2500 121 91,7
gram)
Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.2 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian sebagian besar responden memiliki katagori berat badan lahir


normal (≥2500 gram) yaitu sebanyak 121 responden (91,7%).

3. Gambaran Panjang Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Panjang lahir adalah panjang badan anak yang diukur pertama kali

setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Panjang badan lahir
dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua, yaitu pendek dan normal.

Panjang badan lahir dikatakan pendek apabila <48 cm dan panjang badan

lahir dikatakan normal apabila ≥48 cm.

Berikut merupakan gambaran panjang badan lahir pada anak usia

6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan

tahun 2018:
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Panjang Badan Lahir
Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Panjang Frekue


nsi
Badan Lahir Jumlah Presentase
(n) (%)
Pendek (< 48 cm) 51 38,6

Normal (≥ 48 cm) 81 61,4

Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.3 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian sebagian besar responden yang memiliki katagori panjang

badan
lahir normal (≥48 cm) yaitu sebanyak 81 responden (61,4%).
4. Gambaran Tinggi Badan Ibu Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Tinggi badan ibu dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,

yaitu pendek dan normal. Tinggi badan ibu dikatakan pendek apabila
tinggi badan ibu <150 cm dan tinggi badan ibu dikatakan normal apabila

tinggi badan ibu ≥150 cm.

Berikut merupakan gambaran tinggi badan ibu pada anak usia 6-23

bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun

2018.
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tinggi Badan Ibu Pada Anak
Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Frekue
nsi
Tinggi Jumlah Presentase
(n) (%)
Badan Ibu
Pendek (< 150 cm) 38 28,8

Normal (≥ 150 94 71,2


cm)
Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.4 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian sebagian besar responden (ibu) yang memiliki katagori tinggi


badan yang normal (≥150 cm) yaitu sebanyak 94 responden (71,2%).

5. Gambaran Jarak Kelahiran Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Jarak kelahiran adalah jarak antara anak yang lahir dengan anak

kelahirananaksebelumnya.Jarakkelahirandalampenelitianini
dikatagorikan menjadi dua, yaitu jarak lahir dekat dan jarak lahir normal.

Jarak kelahiran anak dikatakan dekat apabila jarak kelahiran <3 tahun dan

dikatakan normal apabila jarak kelahiran ≥3 tahun.

Berikut merupakan gambaran jarak kelahiran pada anak usia 6-23

bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun

2018.
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jarak Kelahiran Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Jarak Frekue


nsi
Kelahiran Jumlah Presentase
(n) (%)
Dekat (< 3 tahun) 81 61,4

Normal (≥ 3 51 38,6
tahun)
Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.5 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian sebagian besar responden yang memiliki katagori jarak

kelahiran anak yang dekat (<3 tahun) yaitu sebanyak 81 responden


(61,4%).

6. Gambaran Asupan Energi Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Asupan energi dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,
yaitu tidak adekuat dan adekuat. Asupan energi pada anak dikatakan tidak

adekuat apabila asupan energi anak < 77% AKG dan dikatakan adekuat

apabila asupan energi anak ≥77% AKG.

Berikut merupakan gambaran asupan energi pada anak usia 6-23

bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun

2018.
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Energi Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Asupan Frekue


nsi
Energi Jumlah Presentase
(n) (%)
Tidak adekuat 47 35,6

adekuat 85 64,4

Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.6 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian terdapat sebagian besar yang memiliki katagori asupan energi


yang adekuat (cukup) yaitu sebanyak 85 responden (64,4%).

7. Gambaran Asupan Protein Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Asupan protein dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,

yaitu tidak adekuat dan adekuat. Asupan protein pada anak dikatakan tidak
adekuat apabila asupan protein anak < 77% AKG dan dikatakan adekuat

apabila asupan protein anak ≥77% AKG.

Berikut merupakan gambaran asupan eprotein pada anak usia 6-23

bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun

2018.
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Protein Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Asupan Frekue


nsi
Protein Jumlah Presentase
(n) (%)
Tidak adekuat 30 22,7

adekuat 102 77,3

Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.7 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian terdapat sebagian besar yang memiliki asupan protein adekuat


(cukup) yaitu sebanyak 102 responden (77,3%).

8. Gambaran Asupan Kalsium Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Asupan kalsium dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,

yaitu tidak adekuat dan adekuat. Asupan kalsium pada anak dikatakan
tidak adekuat apabila asupan kalsium anak < 77% AKG dan dikatakan

adekuat apabila asupan kalsium anak ≥77% AKG.

Berikut merupakan gambaran asupan kalsium pada anak usia 6-23

bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun

2018.
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Kalsium Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Asupan Frekue


nsi
Kalsium Jumlah Presentase
(n) (%)
Tidak adekuat 23 17,4

adekuat 109 82,6

Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.8 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian terdapat sebagian besar yang memiliki katagori asupan kalsium


adekuat (cukup) yaitu sebanyak 109 responden (82,6%).

9. Gambaran Pola Asuh Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Pola asuh adalah suatu upaya pencegahan kesakitan, pemeliharaan

kesehatan dan gizi anak yang meliputi pengasuhan harian, imunisasi,


penimbangan rutin, praktek kebersihan, upaya pencarian pelayanan
kesehatan, kebiasaan sarapan dan frekuensi makan sayur dan buah. Pada

penelitian ini pola suh dikatagorikan menjadi dua, yaitu pola asuh yang

kurang baik dan pola asuh baik. Pola asuh kurang baik apabila skor

jawaban <80% dan dikatakan pola asuh baik apabila skor jawaban ≥80%.

Berikut merupakan gambaran pola asuh pada anak usia 6-23 bulan

di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun 2018.


Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Asuh Pada Anak
Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Frekuensi
Kategori Pola Asuh
Jumlah Presentase
(n) (%)
Kura 38 28,8
ng
Baik 94 71,2

Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.9 diatas diketahui bahwa dari 132 responden

penelitian sebagian besar yang memiliki katagori pola asuh yang baik
(skor jawaban ≥80%) yaitu sebanyak 94 responden (71,2%).

10. Gambaran ASI Eksklusif Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada

bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa


menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain

(kecuali obat, vitamin, dan mineral). Pada penelitian ini pemberian ASI

Eksklusif dikatagorikan menjadi dua, yaitu tidak ASI eksklusif dan ASI

eksklusif. Dikatakan tidak ASI eksklusif apabila anak mendapatkan asupan

makanan dan minuman selain ASI selama 6 bulan pertama dan dikatakan

ASI Eksklusif apabila anak hanya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) selama

6 bulan pertama. Berikut merupakan gambaran ASI Eksklusif pada anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang

Selatan tahun 2018.


Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan ASI Eksklusif Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori ASI Frekue


nsi
Eksklusif Jumlah Presentase
(n) (%)
Tidak ASI 59 44,7
Eksklusif
ASI Eksklusif 73 55,3

Total 132 100

BerdasarkanTabel5.10diatasdiketahuibahwadari132 responden penelitian

sebagian besar yang memiliki katagori pemberian


ASI Eksklusif yaitu sebanyak 73 responden (55,3%).

11. Gambaran Riwayat Infeksi Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018.


Pada penelitian ini variabel riwayat infeksi dikatagorikan menjadi

dua, yaitu sering dan jarang. Dikatakan memiliki riwayat infeksi yang
sering apabila anak mengalami sakit infeksi pada enam bulan terakhir

dengan frekuensi mencapai jarak enam kali dan berlangsung minimal 3

hari setiap periode sakit dan dikatakan riwayat infeksi yang jarang apabila

kurang dari frekuensi tersebut diatas.

Berikut merupakan gambaran riwayat penyakit infeksi pada anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang

Selatan tahun 2018.


Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Infeksi Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Kategori Riwayat Frekue


nsi
Infeksi Jumlah Presentase
(n) (%)
Sering 40 30,3

Jarang 92 69,7

Total 132 100

Berdasarkan Tabel 5.11 diatas diketahui bahwa dari 132 responden penelitian

sebagian besar yang memiliki katagori riwayat infeksi yang jarang yaitu sebanyak 92

responden (69,7%).
C. Analisis Bivariat

Hasil analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen. Adapun variabel dependen

dari penelitian ini yaitu stunting pada anak dan variabel independen dari

penelitian ini yaitu berat badan lahir, panjang badan lahir, tinggi badan ibu,

jarak kelahiran, asupan energi, asupan protein, asupan kalsium, pola asuh,

pemberian ASI eksklusif dan riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2018.

Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square. Dengan

menggunakan uji ini akan terlihat kemaknaan hubungannya secara statistik.

Jika hasil uji mendapatkan p value <0,05 berarti terdapat hubungan yang

bermakna secara statistik dan jika hasil uji mendapatkan p value >0,05 berarti

tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik. Berikut adalah


hasil analisis bivariat pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Tabel 5.12 Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Indenpenden
Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan
Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Stunting
Total
Variabel Independen Ya Tidak P-Value
N % N % N %
Berat badan lahir
Rendah 7 63 4 36,4 11 10 0,01
,6 0 5*
Normal 3 28 8 71,9 12 10
4 ,1 7 1 0
Panjang badan lahir
Pendek 2 43 2 56,9 51 10 0,02
2 ,1 9 0 9*
Normal 1 23 6 76,5 81 10
9 ,5 2 0
Tinggi badan ibu
Pendek 6 15 3 84,2 38 10 0,02
,8 2 0 8*
Normal 3 37 5 62,8 94 10
5 ,2 9 0
Jarak kelahiran
Dekat 2 32 5 67,9 81 10 0,89
6 ,1 5 0 5
Normal 1 29 3 70,6 51 10
5 ,4 6 0
Asupan energy
Tidak adekuat 1 34 3 66,0 47 10 0,72
6 ,0 1 0 3
Adekuat 2 29 6 70,6 85 10
5 ,4 0 0
Asupan protein
Tidak adekuat 1 40 1 60,0 30 10 0,32
2 ,0 8 0 7
Adekuat 2 28 7 71,6 10 10
9 ,4 3 2 0
Asupan kalsium
Tidak adekuat 1 52 1 47,8 23 10 0,03
2 ,2 1 0 1*
Adekuat 2 26 8 73,4 10 10
9 ,6 0 9 0
Pola asuh
Kurang 2 71 1 28,9 38 10 0,00
7 ,1 1 0 0*
Baik 1 14 8 85,1 94 10
4 ,9 0 0
ASI Eksklusif
Tidak ASI Eksklusif 1 28 4 71,2 59 10 0,75
7 ,8 2 0 5
ASI Eksklusif 2 32 4 67,1 73 10
4 ,9 9 0
Riwayat penyakit infeksi
Sering 2 67 1 32,5 40 10 0,00
7 ,5 3 0 0*
Jarang 1 15 7 84,8 92 10
4 ,2 8 0
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.12 diketahui bahwa dari 10

variabel independen terdapat 6 variabel independen yang memiliki hubungan dan

4 variabel independen yang tidak memiliki hubungan dengan status gizi

berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di

wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun 2018. Dikatakan

berhubungan bermakna apabila hasil uji mendapatkan nilai p< 0,05. Dikatakan tidak

berhubungan apabila hasil uji mendapatkan nilai nilai p> 0,05.

Adapun variabel yang berhubungan adalah berat badan lahir (p=0.015) , panjang

badan lahir (p=0,029), tinggi badan ibu (p=0,028) asupan kalsium (p=0,031), pola

asuh (p=0,000) dan riwayat infeksi (p=0,000). Adapun variabel yang tidak

berhubungan adalah jarak kelahiran (p=0,082), asupan energi (p=0,723), asupan

protein (p=0,327) dan ASI eksklusif (p=0,755).

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.12 diketahui bahwa pada variabel

yang berhubungan yaitu berat badan lahir terdapat 11 anak dengan berat badan lahir

rendah dan 7 (63,6%) anak diantaranya mengalami stunting, pada


variabel panjang badan lahir terdapat 51 anak dengan panjang badan lahir rendah
dan 22 (43,1%) anak diantaranya mengalami stunting. Pada variabel tinggi badan

ibu terdapat 38 ibu dengan tinggi badan yang rendah dan 6 ibu (15,8%) memiliki

anak yang stunting. Pada variabel asupan gizi kalsium terdapat 23 anak dengan

asupan kalsium yang tidak adekuat dan 12 (52,2%) anak diantaranya mengalami

stunting. Pada variabel pola asuh terdapat 38 anak dengan pola asuh yang kurang

dan 27 (71,1%) anak diantaranya mengalami stunting, dan yang terakhir pada

variabel riwayat infeksi yaitu terdapat 40 anak dengan riwayat infeksi yang sering

dan 27 (67,5%) anak diantaranya mengalami stunting.


Pada variabel yang tidak berhubungan juga diketahui bahwa pada variabel

jarak kelahiran terdapat 81 anak dengan jarak kelahiran yang dekat dan 26

(32,1%) anak diantaranya yang mengalami stunting. Pada variabel asupan energi

terdapat 47 anak dengan asupan energi yang tidak adkuat dan 16 (34,0%) anak

diantaranya mengalami stunting. Pada variabel asupan protein terdapat 30 anak

dengan asupan protein yang tidak adekuat dan 12 (40,0%) anak diantaranya

mengalami stunting. Yang terakhir pada variabel ASI eksklusif terdapat 59 anak yang

tidak diberi ASI secara eksklusif dan 17 (28,8%) anak diantaranya mengalami

stunting.
BAB VI
PEMBAHASA
N

A. Keterbatasan penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan dan

kekurangan yang mungkin akan berpengaruh dalam hasil penelitian ini secara

keseluruhan. Namun dengan memilih desain penelitian yang sesuai dengan

tujuan penelitian dan analisa hasil diharapkan mampu meminimalisir

kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian ini. Adapun beberapa


keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini tidak mengkaji riwayat responden selama hamil, meskipun

beberapa variabel independen yang diduga berhubungan terhadap kejadian


stunting merupakan output dari kondisi ibu selama hamil.

2. Penelitian ini menggunakan metode food recall 1x24 jam untuk mengukur

variabel asupan energi, protein dan kalsium. Pengkajian asupan makanan

menggunakan food recall 1x 24 jam belum cukup mampu menggambarkan

kebiasaan makan anak dalam waktu lama. Dan juga metode ini bergantung

pada ingatan dan subjektifitas seseorang. Responden mungkin lupa,

mengurangi, atau menambahkan makanan dan minuman yang telah

dimakanannya tetapi penelitian ini memberikan food model kepada

responden untuk membantu mengingat ukuran porsi yang dimakan oleh

responden.

98
99

3. Penelitian ini tidak mengukur zat gizi yang terkandung di dalam ASI (Air

Susu Ibu) akan tetapi sebagian besar responden sudah tidak ASI sebanyak

44,7%. Sehingga dapat dikatakan anak usia 6-23 bulan sebagian besarnya

tidak mengonsumsi ASI lagi.

B. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

Stunting merupakan indikator yang digunakan untuk menggambarkan status

gizi pada anak dengan indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau

tinggi badan menurut umur (TB/U). Anak dikatakan stunting apabila memiliki

nilai Z-score -3 SD sampai dengan -2 SD. Sedangkan normal apabila memiliki

nilai Z-score -2 SD sampai dengan 2 SD. Stunting pada anak merupakan hasil

jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang dikombinasikan

dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan (Semba, et al.,


2008).Garza et al. (2013) meneybutkan bahwa seseorang yang memiliki

riwayat stunting pada usia dini cenderung memiliki tinggi badan lebih rendah

ketika anak beranjak dewasa.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 41

(31,1%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan yang

mengalami stunting. Hal serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan di

Depok oleh Fitriatul (2014) bahwa ditemukan besar masalah stunting pada

anak usia 12-23 bulan sebesar 21,8%. Selain itu, penelitian di Bogor oleh Erni,

dkk (2016) juga menemukan besar masalah stunting pada anak usia 6-24 bulan
sebesar 18,60%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah stunting masih banyak

ditemukan. Dalam penelitian ini dilakukan pada semua posyandu yang ada di

wilayah kerja Puskesmas Pisangan sehingga angka kejadian stunting sedikit

lebih banyak daripada penelitain sebelumnyaoleh Fitriatul yang hanya

dilakuakan pada sebagian posyandu di Kelurahan Depok.

Dua tahun pertama kehidupan adalah priode kriteis pertumbuhan yang berhubungan

dengan kemampuan hidup seorang ketika dewasa (Barkes, 2008). Dua tahun pertaa

kehidupan adalah periode kecepatan pertumbuhan yang pesat sekaligus permulaan

perlambatan pertumbuhan. Kecepatan dan perlambatan pertumbuhan akan

berlanjut sampai memasuki umur 3 tahun. Kecepatan pertumbuhan perlahan

menurun ketika memasuki umur berikutnya (Lejarraga, 2002). Menurut Barker

(1998) kegagalan pertumbuhan pada dua tahun pertama adalah bentuk kerusakan

permanen yang konsekuensi itu dapat ditemui dimasa mendatang dan cenderung

berulang pada generasi berikutnya. Konsekuensi kesakitan akibat dari kondisi kurang

gizi selama hamil


stuning padadandua tahun pertama kehidupan dalam konsep perkembangan

penyakit. Kesakitan yang diderita oleh seseorang ketika dewasa adalah

kumulasi defisit antara kebutuhan dan ketersediaan zat gizi dan oksigen yang

dialami sejak anak dalam kandungan.

Ada banyak sekali dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah

gizi pada periode dua tahun pertam, yaitu dalam jangka pendek adalah

terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik,

dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang


akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif

dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan

risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit

jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua,

serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya

produktivitas ekonomi (Depkes, 2016).

C. Gambaran Dan Hubungan Variabel Independen Dengan Variabel Dependen

Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas


Pisangan Tahun 2018.

Berdasarkan hasil peneltian terdapat beberapa variabel independen yang

memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan status gizi berdasarkan

panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah

kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun 2018.


Adapun variabel yang berhubungan adalah berat badan lahir, panjang
badan
lahir, asupan kalsium, pola asuh dan riwayat infeksi.

Berikut adalah gambaran dan hubungan dari variabel independen

(berat badan lahir, panjang badan lahir, tinggi badan ibu, jarak kelahiran,

asupan energy, asupan protein, asupan kalsium, pola asuh, pemberian ASI

eksklusif dan riwayat infeksi) dengan variael dependen yaitu kejadian stunting

pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja puskesmas pisangan tahun 2018:
1. Gambaran dan Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Kejadian

Stunting

Berat badan lahir adalah berat badan anak yang diukur pertama kali

setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Berat lahir pada anak

khususnya sangat terkait dengan kematian janin, neonatal, dan

postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan

pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)

didefinisikan yaitu berat lahir yang kurang dari 2500 gram dan berat

badan lahir normal (BBLN) lebih dari sama dengan 2500 gram (Kemenkes,

2017). Berat badan lahir rendah (BBLR) dapat disebabkan oleh masalah

durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Maka dari itu, bayi dengan

berat lahir <2500 gram bisa dikarenakan dia lahir secara prematur atau
karena terjadi retardasi pertumbuhan (Semba & Bloem, 2001).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 11

(8,3%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan

mengalami berat badan lahir rendah. Hal serupa ditemukan pada penelitian

yang dilakukan di Aceh oleh Wanda dkk (2014) bahwa sebagian besar

terdapat 39,09% anak usia 6-24 bulan dengan berat badan lahir rendah.

Selain itu, penelitian di Yogyakarta oleh Silvania (2017) bahwa terdapat

55,6% anak yang mengalami berat badan lahir rendah. Angka berat badan

lahir rendah (BBLR) di wilayah kerja Puskesmas Pisangan dibandingakan

dengan penelitian sebelumnya memang jauh berbeda dikarenakan kejadian

BBLR diwilayah Puskesmas Pisangan sangat sedikit sekali.


Dari 11 (8,3%) anak yang memiliki berat badan lahir rendah

sebanyak, terdapat 7 anak (63,6%) anak diantaranya yang mengalami

stunting. Hasil bivariat pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan status

gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23

bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan

(p=0,015). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Fitri (2012) dan

Setyorini (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat


badan lahir dengan kejadian stunting di Sumatera dan Depok.

Hubungan berat badan lahir dengan kejadian stunting pada anak

diperjelas dengan keberadaan ibu sebagai penanggung jawab terhadap

pertumbuhan janin. Selain berhubungan dengan status gizi anak, status

gizi ibu juga menentukan berat badan lahir anak. Potensi genetik ibu yang

terukur dari tinggi badan ibu akan diturunkan kepada anak sejak

anak
lingkungan selama hamil akan mempengaruhi ukuran berat lahir anak
masih dalam kandungan. Interaksi antara potensi genetik ibu dan
(Fitriatu, 2017). Dalam penelitian lain, berat lahir rendah telah diketahui

berkorelasi dengan stunting. Dalam analisis multivariat tunggal variabel

berat lahir rendah dapat bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir

rendah memiliki efek yang besar terhadap stunting. Seperti yang telah

diketahui sebelumnya, efek dari berat lahir rendah terhadap kesehatan

anak adalah faktor yang paling relevan untuk kelangsungan hidup anak

(Taguri et al., 2007).


Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan

berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Anak

dengan berat badan lahir rendah (BBLR) kedepannya akan memiliki

ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang

lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang

stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir

rendah seperti ibunya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted

tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan

membentuk
siklus sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).
2. Gambaran dan Hubungan Panjang Badan Lahir Dengan Kejadian

Stunting

Panjang badan lahir adalah panjang badan anak yang diukur

pertama kali setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Panjang

badan lahir dikatagorikan menjadi dua, yaitu panjang badan yang

dan panjang badan yang normal. Panjang badan lahir dikatakan pendek
pendek

apabila panjang badan lahir <48 cm dan panjang badan lahir dikatakan

normal apabila panjang badan lahir ≥48 cm (Kemenkes, 2017)

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 51

(38,6%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan

mengalami panjang badan rendah atau pendek (<48 cm). Hal serupa

ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Intan (2017)

terdapat 23,2% anak dengan panjang badan lahir rendah yaitu <48 cm.

penelitian yang sama di Depok oleh Fitriatul (2014) ditemukan sebesar


23,1% anak dengan panjang badan lahir rendah, Cameron (2002)

menjelaskan panjang badan lahir merupakan hasil akumulasi dari interaksi

berbagai faktor selama masa kehamilan ibu yang didominasi oleh faktor

genetik orang tua.

Berdasarkan hasil penelitian dari 51 (38,6%) anak yang memiliki

panjang badan lahir rendah atau pendek, terdapat 22 (43,1%) anak

diantaranya yang mengalami stunting. Hasil bivariat menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara panjang badan lahir dengan

status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang

Selatan (p=0,029). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian intan

(2017) yang dilakukan pada anak usia 6-24 bulan di puskesmas lendah II

Kulon Progo bahwa terdapat hubungan yang signifinkan antara panjang


badan lahir dengan kejadian stunting (p=0,000).

Panjang lahir bayi akan berdampak pada pertumbuhan


selanjutnya,
seperti terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pati

Kabupaten Pati didapatkan hasil bahwa panjang badan lahir yang rendah

atau pendek (<48 cm) merupakan salah satu faktor risiko balita stunting

usia 12-36 bulan. Bahwa bayi yang lahir dengan panjang badan lahir yang

rendah memiliki risiko 2,8 kali mengalami stunting dibanding bayi yang

lahir dengan panjang badan lahir normal (Anugraheni & Kartasurya,

2012).
Berngard et al. (2013) mengatakan bahwa pertumbuhan linier yang

dialami janin akan berlanjut setelah kelahiran dan juga mendapati bahwa

panjang lahir merupakn predictor terkuat untuk kondisi gagal tumbuh

padaa usia 3 dan 6 bulan. Panjang badan badan bayi saat lahir

menggambarkan pertumbuhan linear bayi selama dalam kandungan.

Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang

kurang yang diderita selama masa kehamilan atau pada saat anak masih

dalam kandungan yang diawali dengan perlambatan atau retardasi

pertumbuhan janin. Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa

kehamilan dan pada saat masa kehamilan menyebabkan gangguan

pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan


panjang badan lahir pendek atau rrendah (Supariasa, dkk., 2012).

3. Gambaran dan Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian

Stunting

Tinggibadanibudiukurmenggunakanmicrotoisedengan

ketelitian 0,1 cm. Pengukuran tinggi badan pada posisi berdiri tegap

dengan kepala, bahu, bokong, betis dan tumit menempel pada dinding dan

tegak lurus pada bidang datar. Tinggi badan ibu dalam penelitian ini

dikatagorikan menjadi dua, yaitu tinggi badan ibu pendek apabila tinggi

badan ibu <150 cm dan tinggi badan ibu dikatakan normal apabila tinggi

badan ibu ≥150 cm.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 38

(28,8%) tinggi badan ibu yang termasuk katagori pendek (< 150 cm ) di
wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota tangerang Selatan. Hal serupa

ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene, makassar

oleh Yusdari (2017) bahwa sebagian besar terdapat 102 ibu (55,7%)

dengan tinggi badan pendek

Berdasarkan hasil penelitian dari 38 (28,8%) ibu yang tinggi badan

pendek (<150 cm), terdapat 6 (15,8%) ibu diantaranya memiliki anak yang

mengalami stunting. Hasil bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan

antara tinggi badan ibu dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur

(PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota

Tangerang Selatan (p=0,028).

Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) bahwa terdapat hubungan tinggi

badan ibu dengan stunting pada anak usia 12-23 bulan di Wilayah Depok. Begitu juga

pada penelitian yang dilakukan oleh Siti Wahdah (2014) bahwa kejadian stunting

berhubungan signifikan dengan tinggi badan orang tua, baik tinggi badan ibu maupun

tinggi badan ayah.


Ibu yang pendek berkaitan dengan kejadian stunting pada anak.

Tinggi badan ibu sangat berkaitan dengan cadangan makanan yang

baik. Cadangan makanan yang baik dalam rentang waktu panjang maupun

pendek akan berpengaruh pada komponen tubuh. Ibu yang tinggi dan

bergizi baik memiliki riwayat baik dalam menyediakan cadangan energi

untuk janin daripada ibu stunting yang memiliki riwayat kurang gizi

kronik (Wells, 2013)

Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir

proses tumbuh kembang anak. Melalui intruksi genetik yang terkandung di


dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan.

Walaupun demikian, komposisi genetik bukan merupakan faktor utama

yang menentukan tinggi badan seseorang, karena kendala lingkungan dan

gizi merupakan persoalan yang lebih penting. Termasuk dalam pemenuhan

makanan yang baik secara kualitas dan kuantitas (Fitriatul, 2014).

4. GambarandanHubunganAsupanKalsiumDenganKejadian

Stunting

Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan yang

telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah

kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 23 anak (17,4%) anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan memiliki asupan

kalsium yang kurang dari yang dianjurkan. Hal serupa ditemukan pada
penelitian Fitriatul (2014) terdapat 79,7% sampel yang memiliki asupan
kalsium kurang dari yang dianjurkan.

Dari 23 anak (17,4%) yang memiliki asupan kalsium yang kurang,

terdapat 12 anak (52,2%) diantaranya mengalami stunting. Hasil bivariat

menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara asupan kalsium

dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada

anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang

Selatan (p=0,031). Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan kejadian

stunting di kota Depok. Begitu juga dengan penelitian Estillyta (2017)


bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan

kejadian stunting.

Hubungan asupan kalsium terhadap stunting dijelaskan dari peran

utama kalsium dan tulang. Stunting adalah hasil dari kegagalan

pertumbuhan yang menurunkan perkembangan dan pematangan kondrosit

tulang. Kalsium adalah penyusun utama matriks kondrosit tulang.

Kondrosit adalah bagian tulang yang bertugas merespon hormone

pertumbuhan dan mengawal proses pembentukan tulang (Branca and


Ferari, 2002).

Beberapa zat gizi mikro yang sangat penting untuk mencegah terjadinya

stunting yaitu vitamin A, zinc, zat besi dan iodin. Namun, beberapa zat gizi

mikro lainnya seperti kalsium dan fosfor juga sangat penting perannya

dalam pertumbuhan linier anak. Selama pertumbuhan, tuntutan

terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi, rendahnya asupan


kalsium dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit
tulang baru dan disfungsi osteoblast. Defisiensi kalsium akan

mempengaruhi pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang

kurang dari 50% kandungan normal.

Kalsium dapat ditemukan dalam bahan makanan sehari-hari,

produk dari susu dan olahan nya merupakan sumber kalsium yang tinggi,

selain iu sayur-sayuran hijau, ikan, seafood, dan kacang kedelai juga

merupakan sumber kalsium yang baik (Mahan, 2012). Asupan kalsium

yang memadai dibutuhkan untuk menjaga beberapa fungsi fisiologis


tubuh, terutama dalam aspek pertumbuhan dan perkembangan tulang. Hal

ini sangat penting diperhatikan pada anak yang sedang dalam masa

pertumbuhan, karena dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kondisi

kesehatan mereka pada saat dewasa dan pada kehidupan selanjutnya.

Defisiensi kalsium akan mempengaruhi tulang yang berdampak pada

gangguan pertumbuhan. Pada bayi kekurangan kalsium di dalam tulang

dapat menyebabkan rakitis, sedangkan pada anak-anak kekurangan

deposit
kalsium dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan Peacock(2010).
Dalam Al-Quran telah disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 88

bahwa
:

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang

Allah telah rezekikan kepadamu,dan bertakwalah kepada Allah yang

kamu telah beriman kepadanya”

Berdasarkan tafsir qurash shihan Makanlah apa saja yang halal dan

baik menurut selera kalian, dari makanan yang diberikan dan dimudahkan

Allah untuk kalian. Takutlah dan taatlah selalu kepada Allah selama kalian

beriman kepada- Nya. Selain itu dalam QS Al-Baqarah ayat 57


“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan

kepadamu ‘manna’ dan ‘salwa’. Makanlah dari makanan yang baik-baik

yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya


Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.

Dalam tafsir quraish shihab Pada firman Allah "Dan Kami turunkan atas

kalian mann dan salwâ" terdapat fakta ilmiah yang ditemukan di bidang

ilmu pengetahuan modern belakangan ini. Yaitu, bahwa protein yang

diambil dari hewan, seperti daging hewan dan burung (di antaranya

burung puyuh), merupakan makanan manusia yang lebih bergizi daripada

protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dari segi


asimilasi kehidupan dan pemanfaatannya untuk tubuh. Di samping
mann terbuat dari zat gula yang merupakan faktor terpenting dalam
itu,

pembentukan kekuatan gerak bagi tubuh.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia sebaiknya makan

makananan yang halal dan baik yang berasal dari rezeki yang Allah telah

berikan kepada kita. Artinya, sebaiknya kita sebagai manusia dapat

menggunakan rezeki yang kita dapat sebaik mungkin contohnya dalam

menggunakannya untuk membeli makanan yang halal dan baik. Memakan


makanan yang halal dan baik serta bergizi selain bermanfaat bagi tubuh

manusia dan juga tentunya mendapat berkah.

5. Gambaran dan Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting

Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu dan anak

(Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya interaksi ibu dan anak,

maka semakin baik pula kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam

mengasuh anak. Hal tersebut karena pola asuh merupakan indikator atas

peran ibu dalam mengasuh anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Sehingga,

pola asuh merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kurang gizi atau
terganggunya perkembangan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 38

anak (28,8%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan

memiliki pola asuh yang kurang baik. Hal serupa ditemukan pada

penelitian Fitriatul (2014) terdapat 41,4% anak usia 6-24 bulan yang

memiliki pola asuh yang kurang baik.

Dari 38 anak (28.8%) yang memiliki pola asuh yang kurang,

terdapat 27 anak (71,1%) diantaranya yang mengalami stunting. Hasil

bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh

dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada

anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang

Selatan (p=0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian Brigitte (2013) pola
asuh terutama ibu memiliki kontribusi yang besar dalam proses

pertumbuhan anak dimana pola asuh menunjukan hubungan yang

signifikan dengan kejadian stunting pada anak 6-23 bulan di wilayah

pesisir.

Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu dan anak

(Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya interaksi ibu dan anak,

maka semakin baik pula kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam

mengasuh anak. Hal tersebut karena pola asuh merupakan indikator atas
peran ibu dalam mengasuh anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

Pada umumnya keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama bagi

setiap orang. Kehidupan di dalam keluarga merupakan lingkungan hidup

yang pertama kali memberikan pengaruh pada cara individu itu

memenuhi kebutuhan dasar didalam mendapatkan


pengetahuan, memiliki sikap dan mengembangkan keterampilan didalam

dan untuk kehidupan. Dalam hal ini, peranan orang tua menjadi amat

sentral dan sangat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan

perkembangan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter)

pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang

tua pada anaknya (Pathil, 2016).

Islam sudah menjelaskan bagaimana pola asuh yang baik terhdap

anak tercantum didalam Al-Qur’an Surat An- Nisa ayat 9 menyebutkan

bahwa:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang

yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-

anak yang lemah,


yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah

mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan

yang benar”.

Kandungan Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 adalah menyeru agar umat islam

menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu

mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang. Jadi,

Allah SWT telah memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir

hayatnya supaya mereka memikirkan, bahwa janganlah meninggalkan anak-anak

atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka dikemudian

hari. Untuk itu selalulah

bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selalu berkata lemah

lembut (Said, 2013).

6. Gambaran dan Hubungan Riwayat Infeksi Dengan Kejadian Stunting

Pada penelitian ini variabel riwayat infeksi dikatagorikan menjadi

dua, yaitu sering dan jarang. Dikatakan sering apabila anak mengalami

sakit infeksi pada enam bulan terakhir dengan frekuensi mencapai jarak
enam kali dan berlangsung minimal 3 hari setiap periode sakit dan

dikatakan jarang apabila kurang dari frekuensi tersebut.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 40

anak (30,3%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan

yang memiliki riwayat penyakit infeksi yang sering. Hal serupa ditemukan

pada penelitian Fitriatul (2014) terdapat 49,6% anak usia 6-24 bulan
memiliki riwayat penyakit infeksi yang sering.

Dari 40 anak (30,3%), terdapat 27 (67,5%) anak diantaranya mengalami

stunting. Hasil bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan

antara riwayat penyakit infeksi dengan status gizi berdasarkan panjang

badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja

Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan (p=0,000). Hal ini sejalan

dengan penelitian sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) pada


anak usia 12-23 bulan di Depok terdapat sebanyak 32,8% anak yang
memiliki riwayat penyakit infeksi mengalami stunting dan terdapat

hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting

(p=0,009). Begitu juga pada penelitian Arifin dkk.(2012) ada hubungan

yang signifikan antara riwayat infeksi dengan kejadian stunting (p =

0,021).

Infeksi dan asupan nutrisi merupakan sebuah lingkaran yang saling

berhubungan timbal balik (Nency dan Arifin, 2005). Rendahnya asupan

makanan dapat menurunkan imunitas dalam tubuh sehingga tubuh mudah

mengalami infeksi yang menyebabkan gizi kurang atau sebaliknya tubuh


yang mengalami infeksi akan menganggu penyerapan zat gizi oleh

sehingga tubuh akan mengalami kurang gizi (Latanza, 2015).

Islam meyakini segala macam penyakit baik penyakit infeksi

maupun tidak infeksi pasti ada obatnya. Islam juga menganjurkan kepada

umatnya untuk meyakininya dan berusaha untuk sembuh dari penyakitnya

(mencari pengobatan kepelayanan kesehatan). Sepeti Hadist berikut


ini:

Telah menceritakan kepada kami [Harun bin Ma'ruf] dan [Abu Ath Thahir]

serta [Ahmad bin 'Isa] mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami

[Ibnu Wahb]; Telah mengabarkan kepadaku ['Amru] yaitu


Ibnu Al Harits dari ['Abdu Rabbih bin Sa'id] dari [Abu Az Zubair] dari
[Jabir] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

"Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk

suatu penyakit, maka akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah 'azza

wajalla." (HR. Muslimm).


Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin 'Ubadah Al

Wasithi] telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Harun] telah

mengabarkan kepada kami [Isma'il bin 'Ayyasy] dari [Tsa'labah bin

Muslim] dari [Abu Imran Al Anshari] dari [Ummu Ad Darda] dari [Abu

Ad Darda] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

bersabda:
"SesungguhnyaAllahtelahmenurunkanpenyakitdanobat,dan menjadikan

bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan


jangan berobat dengan sesuatu yang haram!" (HR. Abu Daud).

7. Gambaran dan Hubungan Jarak Kelahiran Anak Dengan Kejadian

Stunting

Jarak kelahiran adalah jarak antara anak yang lahir dengan anak

sebelumnya. Dalam penelitian ini jarak kelahiran dikatagorikan menjadi

dua, yaitu jarak kelahiran yang dekat dan jarak kelahiran yang normal.
Jarak kelahiran anak dikatakan dekat apabila jarak kelahiran anak < 3

tahun dan jarak kelahiran dikatakan normal apabila jarak kelahiran anak

≥3 tahun.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat sebanyak 81 anak

(61,4%) dengan jarak kelahiran dekat (< 3 tahun), dan 51 anak (38,6%)

dengan jarak kelahiran normal (≥3 tahun). Hal serupa ditemukan pada

penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene, makassar oleh Yusdari

(2017) bahwa sebagian besar didapati dengan jarak kelahiran dekat sebesar

97 (53%) .
Berdasarkan hasil penelitian dari 81 anak (61,4%) yang memiliki

jarak kelahiran yang dekat(< 3 tahun), 26 anak (32,1%) diantaranya yang

mengalami stunting. Hasil bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara jarak kelahiran dengan status gizi berdasarkan

panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah

kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan (p=0,895). Hal ini tidak sejalan

dengan penelitian Yusdari (2017) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

jarak kelahiran dengan kejadian stunting.

Jarak kelahiran adalah kurun waktu dalam tahun antara kelahiran terakhir dengan

kelahiran sekarang (Fajarina, 2012). Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat akan

mempengaruhi status gizi dalam keluarga karena kesulitan mengurus anak dan

kurang menciptakan suasana tenang di rumah ( Lutviana dan Budiono, 2010). Jarak

kelahiran yang cukup, membuat ibu dapat pulih dengan sempurna dari kondisi

setelah melahirkan, saat ibu sudah merasa nyaman dengan kondisinya maka ibu
dapat menciptakan pola asuh yang baik dalam mengasuh dan

membesarkan anaknya (Nurjana dan Septiani, 2013). Gerakan Keluarga

Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Ibu dan Anak

serta mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera yang menjadi

dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian

kelahiran (Nurjana dan Septiani, 2013).

Mengenai jarak kelahiran, islam sudah menganjurkannya untuk

memberi jarak kelahiran anak yaitu terdapat didalam Al-Qur’ān Sūrah Al-

Baqarah: 233.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan

kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan

cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar

kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena

anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban

demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan

kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas

keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka

tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut

yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah

Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Berdasarkan tafsir Quraish Shihab dikatakan menyusui dapat

memperbaiki kondisi kesehatan bayi secara umum melalui perangsangan

pertumbuhan sistem pencernaan dan merangsang untuk mendapatkan zat-

zat makanan yang dibutuhkan bayi. Di samping itu menyusui juga

bermanfaat bagi sang ibu, karena dapat mengembalikan alat reproduksinya

kepada kepada keadaan semula setelah proses kelahiran..


Islam telah menganjurkan untuk memberikan jarak terhadap

kelahiran anak agar jarak ideal setiap anak adalah tiga tahun. Dua tahun

pertama dianjurkan sebagai masa menyusui seperti yang difirmankan

Allah swt. dalam Al-Qur’ān Sūrah Al-Baqarah: 233. Setelah masa

menyusui telah genap dua tahun, selanjutnya adalah masa penyapihan.

Apabila masa penyapihan berjalan lancar, maka sang ibu bisa segera

hamil lagi. Dengan jarak kehamilan yang normal 9 bulan, maka anak

kedua atau anak berikutnya akan lahir dengan jarak kelahiran rata-rata

tiga tahun
setelah kelahiran anak sebelumnya.
8. GambaranDanHubunganPemberianASIEksklusifDengan

Kejadian Stunting

Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada

bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau

mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin,

mineral). Pada penelitian ini ASI eksklusif dikatagorikan menjadi dua,


dan

yaitu tidak ASI eksklusif dan ASI eksklusif. Dikatakan tidak ASI eksklusif

apabila anak mendapatkan asupan makanan dan minuman selain ASI

selama 6 bulan pertama dan dikatakan ASI Eksklusif apabila anak hanya

mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) selama 6 bulan pertama.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat sebanyak 59 anak

(44,7%) anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan terdapat 73

(55,3%) yang mendapatkan ASI eksklusif. Hal serupa ditemukan pada


penelitian Yusdarif (2017) terdapat 100 (54,6%) anak yang tidak ASI

eksklusif dari 183 sampel anak sebagai sampelnya.

Dari 59 (44,7%) anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif

terdapat 17 (28,8%) anak diantaranya yang mengalami stunting. Hasil

bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI

eksklusif dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada

anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan

(p=0,755). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) dan Yusdarif (2013)

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian stunting. Begitu juga pada penelitian (Oktavia, 2011) bahwa perilaku ibu

dalam pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks

PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif .

Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada anak yang tidak

diberi ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan anak yang

diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Penelitian yang

dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak yang tidak

mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap stunting. Hal ini

mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan

pada bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin

memiliki insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti

diare yang berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain

juga
menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi berhubungan dengan

kejadian stunting (Kumar, et al., 2006). Selain itu, durasi pemberian ASI

yang berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting (Teshome,

2009).

Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan, terutama dalam hal

perkembangan anak. Komposisi ASI banyak mengandung asam lemak tak jenuh

dengan rantai karbon panjang (LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang

tidak hanya sebagai sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak

karena molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga memiliki

manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit, berdasarkan

penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis,

penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, serta infeksi telinga.

Secara tidak langsung, ASI juga


memberikan efek terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak

yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya.

Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat

dalam interaksi ibu dan anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan

dan perilaku anak (Henningham & McGregor, 2008).

ASI (Air Susu ibu) merupakan bentuk makanan yang ideal untuk

memenuhi gizi anak, karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi

untuk hidup selama 6 bulan pertama kehidupan. Meskipun setelah itu,

makanan tambahan yang dibutuhkan sudah mulai dikenalkan kepada bayi,


ASI merupakan sumber makanan yang penting bagi kesehatan bayi.

karena merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah

didapat. dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia 6

– 12 bulan, selain itu ASI juga mengandung semua asam amino essensial

yang dibutuhkan oleh bayi (Berg, A. & Muscat, R. J., 1985).

ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6

bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan mengonsumsi obat-obatan,

vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter. Selama 6 bulan pertama pemberian ASI

eksklusif, bayi tidak diberikan makanan dan minuman lain (susu formula, jeruk,

madu, air, teh, dan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi,

biskuit, nasi tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI kepada bayi,

tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya teh,

sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar


(Kemenkes, 2010).

Anjuran kepada seorang ibu dalam memberikan ASI (Air Susu ibu)

juga sudah diatur dalam Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 233

sebagai berikut:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi

yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan

pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan

menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan

karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban

demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan

jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa

bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha

Melihat apa yang kamu kerjakan”

Banyak sekali manfaat ketika ibu memberika ASI eksklusif kepada

anaknya. Manfaat yang bisa diperoleh dari pemberian ASI Eksklusif

berdasarkan beberapa hasil penelitian diantaranya:


a. Mencegah terjadinya diare, pneumonia dan meningitis yang

disebabkan oleh ganguan atau infeksi saluran pencernaan yang

belum siap untuk mencerna makanan luar seperti susu, pisang,

sereal dan sebagainya.

b. Memberikan sistem imun (imunitas) pada bayi sehingga bayi tidak


mudah untuk terserang penyakit.

Mencegah bayi mengalami gizi buruk yang dilihat dari berat badan, tinggi badan,

lingkaran kepala

Mengandung zat-zat nutrisi yang penting dan lengkap untuk pertumbuhan dan

perkembangan tubuh bayi seperti: Karbohidrat, Protein, Lemak, Vitamin, Mineral.


Meningkatkan hubungan kasih sayang antara anak dengan ibu

Membuat ibu lebih sehat karena ASI yang diproduksi dikeluarkan, tidak ditahan
Memberikan ketahanan pada tubuh bayi.

9. Gambaran dan Hubungan Asupan Energi Dengan Kejadian Stunting

Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan

yang telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah

kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 47 anak (35,6%) anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan memiliki asupan

energi yang kurang dari yang dianjurkan. Hal serupa ditemukan pada

penelitian yang dilakukan di Manado oleh Gladys (2014) bahwa sebagian


besar terdapat 67 (69,1%) anak dengan asupan energi kurang dari

kebutuhan energi yang harus didapatkannya.

Dari 47 anak (35,6%) yang memiliki asupan energi yang kurang

sebanyak 16 anak (32,1%) diantaranya mengalami stunting. Hasil bivariat

menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan

energi dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada

anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan

(p=0,723). Namun ada kecenderungan anak yang kurang asupan energi mengalami

stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014). Namun bertentangan

dengan penelitian Gladys (2014) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara asupan energ dengan kejadian stunting.

Menurut Krisnansari (2010) Asupan makanan yang kurang akan sangat

mempengaruhi keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Tidak tersedianya makanan

dirumah akan berdampak pada asupan makan anak.


Apabila ketersedian makanan di rumah tidak adekuat maka anak akan

mendapatkan makanan bergizi yang kurang. Kurangnya asupan makanan

sehingga berdampak pada kekurangan energi akan dapat menyebabkan

kehilangan berat badan, gangguan pertumbuhan berat badan dan

terhambatnya pencapaian tinggi badan (Sharlin dan Edelstein, 2011).

Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan

yang telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah

kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Asupan

makanan yang kurang akan sangat mempengaruhi keseimbangan nutrisi


dalam tubuh. Tidak tersedianya makanan dirumah akan berdampak pada

asupan makan anak. Apabila ketersedian makanan di rumah tidak adekuat

maka anak akan mendapatkan makanan bergizi yang kurang (Krisnansari,

2010). Kurangnya asupan makanan sehingga berdampak pada kekurangan

energi akan dapat menyebabkan kehilangan berat badan, gangguan

pertumbuhan berat badan dan terhambatnya pencapaian tinggi badan

(Sharlin dan Edelstein, 2011).

10. Gambaran dan Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Stunting

Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan yang

telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah

kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 30 anak (22,7%) anak

usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan memiliki asupan


protein yang kurang dari yang dianjurkan. Hal serupa ditemukan pada
penelitian Fitriatul (2014) terdapat 52,6% sampel yang memiliki asupan

protein kurang dari yang dianjurkan.

Dari 30 anak (22,7%) yang memiliki asupan protein yang kurang,

terdapat 12 anak (40,0%) diantaranya mengalami stunting. Hasil bivariat

menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan

protein dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur

(PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan

kota Tangerang Selatan (p=0,327). Namun memiliki kecenderungan anak

yang asupan proteinnya kurang mengalami stunting. Hal ini sejalan


dengan penelitian Fitriatul (2014) bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting di kota Depok.

Namun bertentangan dengan penelitian Rosmanindar (2013) dan Gladys

(2014).

Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki

fungsi esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai

sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan

karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial, yang memiliki

fungsi berbeda-beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein

juga berfungsi sebagai zat pengatur. Protein juga berperan sebagai pemelihara

netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta

pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu, protein

memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001).
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Pisangan

didapatkan hasil sebagai berikut:

Gambaran stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pisangan Tahun 2018 sebanyak 41 anak (31,1%).

Gambaran tinggi badan ibu pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 38 ibu (28,8%) dengan tinggi

badan yang rendah atau pendek dan 94 ibu (71,2%) yang memiliki tinggi

badan normal.
Gambaran jarak kelahiran pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 81 anak (61,4%)

dengan jarak kelahiran yang dekat dan 51 anak (38,6%) yang jarak

kelahiran normal.

4. Gambaran berat badan lahir pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu 11 anak (8,3%) dengan

berat badan lahir rendah dan 121 anak (91,7%) yang berat badan lahir

normal

5. Gambaran panjang badan lahir pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 51 anak

129
130

(38,6%) yang memiliki panjang badan lahir yang rendah dan 81 anak

(61,4%) yang memiliki panjang badan lahir yang normal.

6. Gambaran ASI eksklusif pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 59 anak (44,7%)

yang tidak diberi ASI eksklusif dan 73 anak (55,3%) yang diberi ASI
eksklusif.

Gambaran pola asuh pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan

Tahun 2018 yaitu sebanyak 38 anak (28,8%) yang memiliki pola asuh yang kurang dan

94 anak (71,2%) memiliki pola asuh yang baik.

Gambaran riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 40 anak (30,3%) dengan riwayat infeksi yang

sering dan 92 anak (69,7%) dengan riwayat infeksi yang jarang.


Gambaran asupan energi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 47 anak (35,6 %)

dengan asupan energy yang tidak adekuat dan 85 anak (64,4%)

memiliki asupan energy yang adekuat.

10. Gambaran asupan protein pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 30 anak (22,7%) anak

yang memiliki asupan protein yang tidak adekuat dan 102 anak

(77,3%) memiliki asupan protein yang adekuat.

11. Gambaran asupan kalsium pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 23 anak (17,4%)


yang memiliki asupan kalsium yang tidak adekuat dan 109 anak

(82,6%) yang memiliki asupan kalsium yang adekuat.

12. Terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir, panjang

badan lahir, tinggi badan ibu, asupan kalsium, pola asuh dan riwayat

infeksi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pisangan Tahun 2018

13. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jarak kelahiran,

asupan energi, asupan protein dan pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja


Puskesmas Pisangan Tahun 2018.

B. Saran

Bagi puskesmas

Perlunya pendidikan dan pelatihan secara khusus bagi petugas kesehatan dan

kader posyandu dalam melakukan pengukuran antropometri secara benar,

sehingga didapatkan hasil dari status gizi

balita yang valid dan reliabel.

b. Meningkatkan peran surveilans gizi khusunya pada stunting, dengan

mengetahui lebih dini diharapkan dapat meminimalisir risiko stunting.

2. Bagi masyarakat (terutama ibu)

a. Kepada ibu yang memiliki anak balita sebaiknya untuk lebih peduli

terhadap pola asuh dan penyakit infeksi pada anak.

b. Hendaknya Ibu memperhatikan dan meningkatkan kebutuhan

makananan anak yang mengandung konsumsi zat gizi yang cukup

dengan komposisi yang sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)


dan memberikan makanan yang beraneka ragam agar kebutuhan

gizinya tercukupi.

3. Bagi peneliti selanjutnya

a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti faktor lain yang dapat

menyebabkan stunting yang tidak diteliti pada penelitian ini

Melakukan metode FFQ untuk mengetahui gambaran asupan makan dalam waktu

yang lama.

Menggunakan desain studi kohort untuk menjawab hubungan sebab akibat.


DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 1997. “3rd Report on The World Nutrition Situation”. Geneva. dari

ahayu, Atikah, dkk. 2015. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian

Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun Kesmas. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional, 9(3):67-73

Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Anindita, Putri. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,

Kecukupan Protein & Zinc Dengan Stunting (Pendek) Pada anak Usia 6–

35 Bulan Di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan

Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 617 - 626 Online

di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan.

Depok: FKM UI.

Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Astari, L. D., A. Nasoetion, dan C. M. Dwiriani. 2005. “Hubungan Karakteristik

Keluarga, Pola Pengasuhan, dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12

Bulan”. Media Gizi dan Keluarga 29 (2): 40-46. Diakses pada 25 Januari

2012 dari www.repository.ipb.ac.id

Ayuningtias, Mutia. (2016). Hubungan Karakteristik Keluarga Dengan Kejadian

Stunting Pada Anak Baru Sekolah. Skripsi. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran.

BAPPENAS. dari

Berg A. dan Muscat R. J. 1985. Faktor Gizi (Di-Indonesiakan oleh Achmad

Djaeni Sediaoetama). Jakarta: Bhratara Karya Aksara Bishwakarma,

Brown, J. E. 2008. Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition. Belmont:

Thomson Wadswoth.

Candra, Aryu. 2013. Hubungan Underlying Factors Dengan Kejadian Stunting

Pada Anak 1-2 Tahun. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro.

Candra, Dewi, dkk. 2017. Pengaruh Konsumsi Protein Dan Seng Serta Riwayat

Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Balita Umur 24-

59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida III. Arc. Com. Health,

3(1):36-46

CDC (Centers for Disease Control and Prevention). 1988. “National Health And

Nutrition Examination Survey III”. Westat Inc. dari www.cdc.gov


de Onis, Mercedes. 2001. Child Growth and Development in Nutrition and Health

in Developing Countries, editor Richard D. Semba and Martin W. Bloem,

Totowa :Humana Press.

Diana, F. M. 2006. “Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Batita di

Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun

2004”. Jurnal Kesehatan Masyarakat, dari

Ernawati, Fitrah, dkk. 2013. Pengaruh Asupan Protein Ibu Hamil Dan Panjang

Badan Bayi Lahir Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12 Bulan di

Kabupaten Bogor. Penelitian Gizi Dan Makanan, Juni 2013 Vol. 36 (1):
1- 11

Faramita, Ratih. 2014. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Keluarga dengan

Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong

Kota Makassar Tahun 2014. Skripsi. Makassar: Fakultas Ilmu


Kesehatan UIN Alauddin.

Fitryaningsih, Ani. 2016. Hubungan Berat Badan Lahir dan Jumlah Anak Dalam

Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Puskesmas Gilingan Surakarta. Skripsi. Program Studi S1 Ilmu Gizi

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Gibson, R.S. 2005. Priciples of Nutritional Assessment. New York: Oxford

University Press, Inc.

Henningham & McGregor. 2008. Public Health Nutrition editor M.J. Gibney, et

al (alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.


Inc. Hidayah, N. R. 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian

Stunting pada Anak Usia 24 – 59 Bulan di Propinsi Nusa Tenggara Timur

Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010) (Skripsi). Depok: FKM UI.

Indriyani. 2011. Hubungan Antara Pola Asuh Gizi dan Faktor Lain dengan Status

Gizi Anak (12 – 59) bulan di Kelurahan Sindangrasa Bogor Tahun 2011

(Skripsi). Depok: FKM UI.

Istiftiani, Nourmatania. 2011. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping ASI

dan Faktor Lain dengan Status Gizi Naduta di Kelurahan Depok Kecamatan

Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2011 (Skripsi). Depok:


FKM UI.

Kalanda, BF, FH Verhoeff, dan BJ Brabin. 2006. Breast and Complementary

Feeding Practices In Relation to Morbidity and Growth In Malawian Infants.

European Journal of Clinical Nutrition 60, 401–407. 7 Maret


2012.

Kementerian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia

Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia

Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan. 2018. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia

Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.


Khaldun, Syamsu. 2008. “Z-Skor Status Gizi Anak Di Provinsi Sulawesi Selatan

2007”. J. Sains & Teknologi, Vol. 8 No. 2: 112 – 125. dari

www.pasca.unhas.ac.id

Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik


Indonesia.

Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. “Hubungan Pola Asuh Makan

Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja”.
Media Gizi Keluarga, 29 (2): 29-39. dari

Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. “Hubungan Pola Asuh Makan

Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja”. Media Gizi

Keluarga, 29 (2): 29-39. Diakses pada 19 Januari dari

MCA Indonesia. 2015. Stunting dan Masa Depan Indonesia. Tersedia di

ng-ID.pdf (diakses 25 Oktober 2017).

Medhin, Girma et al. 2010. “Prevalence and Predictors Of Undernutrition Among

Infants Aged Six and Twelve Months In Butajira, Ethiopia: The P-MaMiE

Birth Cohort”. Medhin et al. BMC Public Health, 10:27. Diakses pada 13

Maret 2012 dari www.biomedcentral.com

Narendra, M. B., et al. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta:

Sagung Seto.
Neldawati. 2006. Hubungan Pola Pemberian Makan pada Anak dan Karakteristik

Lain dengan Status Gizi Anak 6-59 Bulan di Laboratorium Gizi

Masyarakat Puslitbang Gizi dan Makanan (P3GM) (Analisis Data

Sekunder Data Anak Gizi Buruk Tahun 2005) (Skripsi). Depok: FKM UI.

Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta. Oktavia, Rita. 2011. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku Ibu dalam

Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Baduta di Puskesmas Biaro

Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam Tahun


2011 (Skripsi). Depok: FKM UI.

Permata, Y. L. 2009. Kelengkapan Imunisasi Dasar Anak Anak dan Faktorfaktor

yang Berhubungan di Rumah Sakit Mary Cileungsi Hijau Bogor, Maret


2008 (Skripsi). Jakarta: FK UI.

Rahayu, Atikah, dkk. 2015. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian

Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun Kesmas. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional, 9(3):67-73

Ramli, et al. 2009. “Prevalence and Risk Factors For Stunting and Severe Stunting

Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia”. BMC

Pediatrics 9: 64. dari www.biomedcentral.com

Robert dkk. (2008). Maternal and Child Undernutrition 1; Maternal and Child

Undernutrition: Global and Regional Exposures and Health

Consequences. The Lancet, 371: 243-260


Rosha, Dkk. (2012). Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada Daerah

Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur (Determinant Analysis Of

Stunting Children Aged 0-23 Months In Poor Areas In Central And East

Java). Panel Gizi Makan:2012

Said, Amin Mahfudh. 2013. Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 9. Tersedia di


(diakses pada 15 Desember 2017)

Saryono. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang

Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Semba, R. D. dan M. W. Bloem. 2001. Nutrition and Health in Developing

Countries. New Jersey: Humana Press.

Semba, R. D., et al. 2008. “Effect of Parental Formal Education on Risk of Child

Stunting in Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study”. The Lancet

Article, 371: 322–328. Diakses pada 25 Januari 2012 dari

www.lancet.com

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an, Vol 1. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an, Vol 11. Jakarta: Lentera Hati.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: IPB PAU Pangan & Gizi.
Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius.

Supriasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Suharjo. 1996. Gizi dan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Supriasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Syafiq, Ahmad. 2007. “Tinjauan Atas Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini”

Tehsome, Beka, et al. 2009. “Magnitude and Determinants of Stunting In

Children Underfive Years of Age In Food Surplus Region of Ethiopia: The Case Of

West Gojam Zone. Ethiop”. J. Health Dev., 23(2): 98-106.


Diakses pada 29 Februari 2012 dari

Unicef Indonesia, 2013. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak, Oktober 2012.

Tersedia (diakses tanggal 25 Oktober 2018)

UNSCN. 2008. “6th Report on The World Nutrition Situation, Progress in

Nutrition”. Diakses pada 25 Januari 2012 dari www.unscn.org

USAID. 2010. “Nutrition Assessment For 2010 New Project Design”. Diakses

pada 30 Januari 2012 dari www.indonesia.usaid.gov

WHO. 1997. “WHO Global Database on Child Growth and Malnutrition”.

Geneva. Diakses pada 22 Februari 2012 dari www.who.int


Willett, Walter. 1998. Nutritional Epidemiology second edition. New York:

Oxford University Press.

Zahraini, Yuni. 2009. Hubungan status KADARZI dengan status gizi anak 12-59

bulan di Provinsi DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (Skripsi).

Depok: FKM UI.


LAMPIRAN
STATUS_GIZI

Frequenc Percen Valid Cumulati


y t Percent
ve
Percen
t

STUNTIN 41 31.1 31.1 31.1


G
Vali NORMAL 91 68.9 68.9 100.0
d
Total 132 100.0 100.0
TINGGI_IBU

Frequenc Percen Valid Cumulati


y t Percent
ve
Percen
t

PENDEK 38 28.8 28.8 28.8


JARAK_KELAHIRAN
Vali NORMA 94 71.2 71.2 100.0
d L
Total 132 100.0 100.0

Frequenc Percen Valid Cumulati


y t Percent
BB_LAHIR ve
Percen
t

DEKAT 81 61.4 61.4 61.4


Vali NORMA 51 38.6 38.6 100.0
d L
Total 132 100.0 100.0

Frequenc Percen Valid Cumulati


y t Percent
ve
Percen
t

RENDAH 11 8.3 8.3 8.3


Vali NORMA 121 91.7 91.7 100.0
d L
Total 132 100.0 100.0

PB_LAHIR

Frequenc Percen Valid Cumulati


y t Percent ve
Percen
t

PENDEK 51 38.6 38.6 38.6


Vali NORMA 81 61.4 61.4 100.0
d L
Total 132 100.0 100.0
ASUPAN_ENERGI

Frequenc Percen Valid Cumulati


y t Percent
ve
Percen
t
TIDAK 47 35.6 35.6 35.6
ADEKUAT
Vali ADEKUAT 85 64.4 64.4 100.0
d
Total 132 100.0 100.0
ASUPAN_PROTEIN

Frequenc Percen Valid Cumulati


y t Percent
ve
Percen
t

TIDAK 30 22.7 22.7 22.7


ADEKUAT ASUPAN_KALSIUM
Vali ADEKUAT 102 77.3 77.3 100.0
d
Total 132 100.0 100.0

Frequenc Percen Valid Cumulati


y ASI_EKS t Percent
ve
Percen
t

TIDAK 23 17.4 17.4 17.4


ADEKUAT
Vali ADEKUAT 109 82.6 82.6 100.0
d
Total 132 100.0 100.0

Frequency Percen Valid Cumulati


t Percent
ve
Percen
t

TIDA 59 44.7 44.7 44.7


K
Vali YA 73 55.3 55.3 100.0
d
Total 132 100.0 100.0

P_ASUH
Frequenc Percen Valid Cumulati
y t Percent
ve
Percen
t
KURAN 38 28.8 28.8 28.8
G
Vali BAIK 94 71.2 71.2 100.0
d
Total 132 100.0 100.0
RIWAYAT_INFEKSI

Frequency Percen Valid Cumulati


t Percent
ve
Percen
t
SERING 40 30.3 30.3 30.3
Vali JARAN 92 69.7 69.7 100.0
d G
Total TINGGI_IBU
132 * STATUS_GIZI
100.0 Crosstabulation
100.0

STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L
Cou 6 32 38
nt
PENDEK
% within TINGGI_IBU 15.8% 84.2% 100.0%
TINGGI_IBU
Cou 35 59 94
nt
NORMAL
% within TINGGI_IBU 37.2% 62.8% 100.0%
Cou Chi-Square Tests 41 91 132
nt
Total
% within TINGGI_IBU 31.1% 68.9% 100.0%

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 5.812 1 .016
b
Continuity Correction 4.853 1 .028
Likelihood Ratio 6.306 1 .012
Fisher's Exact Test
.022 .012
Linear-by-Linear 5.768 1 .016
Association
N of Valid Cases 132

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.80.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


.316 .120 .831
TINGGI_IBU (PENDEK /
NORMAL)
For cohort STATUS_GIZI
= .424 .194 .925

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= 1.342 1.090 1.652

NORMAL
N of Valid Cases 132
JARAK_KELAHIRAN * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L

Count 26 55 81
DEKAT % within
32.1% 67.9% 100.0%
JARAK_KELAHIRAN
JARAK_KELAHIRAN
Count 15 36 51
NORMAL % within
29.4% 70.6% 100.0%
JARAK_KELAHIRAN
Count 41 91 132
Total % within
31.1% 68.9% 100.0%
JARAK_KELAHIRAN

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .106a 1 .745
b
Continuity Correction .017 1 .895
Likelihood Ratio .106 1 .745
Fisher's Exact Test
.847 .450
Linear-by-Linear .105 1 .746
Association
a.N0 of
cells (0.0%)
Valid have expected count132
Cases less than 5. The minimum expected count is 15.84.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


JARAK_KELAHIR 1.135 .530 2.430
AN (DEKAT /
NORMAL)
For cohort STATUS_GIZI
= 1.091 .642 1.854

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .962 .763 1.213

NORMAL
N of Valid Cases 132
BB_LAHIR * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L
Count 7 4 11
RENDAH
% within BB_LAHIR 63.6% 36.4% 100.0%
BB_LAHIR
Count 34 87 121
NORMAL
% within BB_LAHIR 28.1% 71.9% 100.0%
Count 41 91 132
Total
% within BB_LAHIR 31.1% 68.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.947a 1 .015
Continuity Correctionb 4.403 1 .036
Likelihood Ratio 5.429 1 .020
Fisher's Exact Test
.035 .021
Linear-by-Linear 5.902 1 .015
Association
1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.42.
N of Valid Cases 132
Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


4.478 1.232 16.281
BB_LAHIR (RENDAH /
NORMAL)
For cohort STATUS_GIZI
= 2.265 1.333 3.847

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .506 .230 1.114

NORMAL
N of Valid Cases 132
PB_LAHIR * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L
Count 22 29 51
PENDEK
% within PB_LAHIR 43.1% 56.9% 100.0%
PB_LAHIR
Count 19 62 81
NORMAL
% within PB_LAHIR 23.5% 76.5% 100.0%
Count 41 91 132
Total
% within PB_LAHIR 31.1% 68.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.661a 1 .017
b
Continuity Correction 4.779 1 .029
Likelihood Ratio 5.586 1 .018
Fisher's Exact Test
.021 .015
Linear-by-Linear 5.618 1 .018
Association
0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.84.
N of Valid Cases 132
Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


2.475 1.163 5.271
PB_LAHIR (PENDEK /
NORMAL)
For cohort STATUS_GIZI
= 1.839 1.111 3.044

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .743 .568 .971

NORMAL
N of Valid Cases 132
ASUPAN_ENERGI * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L
Count 16 31 47
TIDAK ADEKUAT
% within ASUPAN_ENERGI 34.0% 66.0% 100.0%
ASUPAN_ENERGI
Count 25 60 85
ADEKUAT
% within ASUPAN_ENERGI 29.4% 70.6% 100.0%
Count 41 91 132
Total
% within ASUPAN_ENERGI 31.1% 68.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .303a 1 .582
b
Continuity Correction .125 1 .723
Likelihood Ratio .301 1 .583
Fisher's Exact Test
.695 .359
Linear-by-Linear .301 1 .583
Association
0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.60.
N of Valid Cases 132
Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


ASUPAN_ENERGI 1.239 .578 2.656
(TIDAK ADEKUAT /
ADEKUAT)
For cohort STATUS_GIZI
= 1.157 .691 1.940

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .934 .730 1.196

NORMAL
N of Valid Cases 132
ASUPAN_PROTEIN * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L

Count 12 18 30
TIDAK % within
ADEKUAT 40.0% 60.0% 100.0%
ASUPAN_PROTEIN
ASUPAN_PROTEIN
Count 29 73 102
ADEKUAT % within
28.4% 71.6% 100.0%
ASUPAN_PROTEIN
Count 41 91 132
Total % within
31.1% 68.9% 100.0%
ASUPAN_PROTEIN

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.449a 1 .229
b
Continuity Correction .959 1 .327
Likelihood Ratio 1.405 1 .236
Fisher's Exact Test
.264 .163
Linear-by-Linear 1.438 1 .230
Association
0 cells (0.0%)
N of Valid have expected count less
Cases 132than 5. The minimum expected count is 9.32.
Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


ASUPAN_PROTEIN 1.678 .719 3.917
(TIDAK ADEKUAT /
ADEKUAT)
For cohort STATUS_GIZI
= 1.407 .823 2.404

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .838 .611 1.151

NORMAL
N of Valid Cases 132
ASUPAN_KALSIUM * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L

Count 12 11 23
TIDAK % within
ADEKUAT 52.2% 47.8% 100.0%
ASUPAN_KALSIUM
ASUPAN_KALSIUM
Count 29 80 109
ADEKUAT % within
26.6% 73.4% 100.0%
ASUPAN_KALSIUM
Count 41 91 132
Total % within
31.1% 68.9% 100.0%
ASUPAN_KALSIUM

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.798a 1 .016
b
Continuity Correction 4.666 1 .031
Likelihood Ratio 5.443 1 .020
Fisher's Exact Test
.024 .017
Linear-by-Linear 5.755 1 .016
Association
0 cells (0.0%)
N of Valid have expected count less
Cases 132than 5. The minimum expected count is 7.14.
Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


ASUPAN_KALSIUM 3.009 1.197 7.566
(TIDAK ADEKUAT /
ADEKUAT)
For cohort STATUS_GIZI
= 1.961 1.189 3.234

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .652 .419 1.013

NORMAL
N of Valid Cases 132
ASI_EKS * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L
Cou 17 42 59
nt
TIDAK
% within ASI_EKS 28.8% 71.2% 100.0%
ASI_EKS
Cou 24 49 73
nt
YA
% within ASI_EKS 32.9% 67.1% 100.0%
Cou 41 91 132
nt
Total
% within ASI_EKS 31.1% 68.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .252a 1 .616
b
Continuity Correction .098 1 .755
Likelihood Ratio .252 1 .615
Fisher's Exact Test
0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.33..706 .378
Linear-by-Linear .250 1 .617
Computed only for a 2x2 table
Association
N of Valid Cases 132

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


.826 .392 1.742
ASI_EKS (TIDAK /
YA)
For cohort STATUS_GIZI
= .876 .522 1.471

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= 1.061 .844 1.333

NORMAL
N of Valid Cases 132
P_ASUH * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L
Count 27 11 38
KURANG
% within P_ASUH 71.1% 28.9% 100.0%
P_ASUH
Count 14 80 94
BAIK
% within P_ASUH 14.9% 85.1% 100.0%
Count 41 91 132
Total
% within P_ASUH 31.1% 68.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 39.856a 1 .000
b
Continuity Correction 37.277 1 .000
Likelihood Ratio 38.721 1 .000
Fisher's Exact Test
.000 .000
Linear-by-Linear 39.555 1 .000
Association
0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.80.
N of Valid Cases 132
Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


14.026 5.690 34.573
P_ASUH (KURANG /
BAIK)
For cohort STATUS_GIZI
= 4.771 2.825 8.058

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .340 .205 .564

NORMAL
N of Valid Cases 132
RIWAYAT_INFEKSI * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTIN NORMA
G L

Count 27 13 40
SERING % within
67.5% 32.5% 100.0%
RIWAYAT_INFEKSI
RIWAYAT_INFEKSI
Count 14 78 92
JARANG % within
15.2% 84.8% 100.0%
RIWAYAT_INFEKSI
Count 41 91 132
Total % within
31.1% 68.9% 100.0%
RIWAYAT_INFEKSI

Chi-Square Tests

Value d Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


f
(2- (2- (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 35.589a 1 .000
b
Continuity Correction 33.189 1 .000
Likelihood Ratio 34.655 1 .000
Fisher's Exact Test
.000 .000
Linear-by-Linear 35.319 1 .000
Association
0 cells (0.0%)
N of Valid have expected count less
Cases 132than 5. The minimum expected count is 12.42.
Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence


Interval
Lower Upper

Odds Ratio for


RIWAYAT_INFEK 11.571 4.835 27.692
SI (SERING /
JARANG)
For cohort STATUS_GIZI
= 4.436 2.616 7.522

STUNTING
For cohort STATUS_GIZI
= .383 .243 .604

NORMAL
N of Valid Cases 132
155

INFORM CONSENT LEMBAR PERSETUJUAN


FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN Setelah mendengar penjelasan tentang mengenai tujuan penelitian, prosedur
STUNTING PADA ANAK USIA 6-23 BULAN DI WILAYAH KERJA penelitian, manfaat dan inti dari kuesioner ini.Saya mengerti bahwa:
PUSKESMAS PISANGAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN  Pada diri saya akan dilakukan pengukuran tinggi badan dan
2018 wawancara sesuai dengan pertanyaan pada kuesioner

 Pada diri anak saya akan dilakukan pengukuran antropometri yang


Assalamualaikum wr. wb meliputi pengukuran panjang badan.
Perkenalkan nama saya Nurul Farhanah Syah. Pada kesempatan kali ini
Maka dengan ini saya yang bertanda tangan di bawah ini:
saya mohon kesedian Ibu untuk berkenan menjadi responden penelitian dengan
judul di atas, yang pada saat ini sedang menyusun skripsi untuk menyelesaikan
studi di S1 Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Nama :
Jakarta. Maka dari itu, saya akan menanyakan kepada Ibu beberapa hal yang
Umur : tahun
berkaitan dengan penelitian saya serta pengukuran panjang badan kepada anak Ibu
dan pengukuran tinggi badan kepada Ibu. Jawaban yang Ibu berikan akan Alamat :
bermanfaat bagi program kesehatan Kota Tangerang Selatan dan terjamin
kerahasiaannya. Nama anak yang berpartisipasi:

Apakah Ibu bersedia menjadi responden pada penelitian ini? No. Telepon :
Menyatakan setuju untuk berpartisipasi sebagai subyek penelitian ini
Iya (mengisi kuesioner)/ Tidak secara sukarela dan bebas tanpa ada paksaan, dengan catatan apabila
merasa dirugikan dalam penelitian ini dalam bentuk apapun berhak
Atas bantuan dan kesediaan waktu yang telah Ibu berikan, saya ucapkan membatalkan persetujuan ini.
terimakasih.

, tanggal / /2018

Wassalamualaikum. wr. wb.

Peneliti, Pembuat pernyataan,

( ) (
156

KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 12-23 BULAN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PISANGAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2018

Tanggal Wawancara :
Nama Pewawancara :

A. Identifikasi Posyandu Koding


A1 Nama posyandu [ ]
A2 RT/RW [ ]
A3 No. responden [ ]
B. Identitas Responden Koding
B1 Nama ibu [ ]
B2 Tanggal lahir ibu [ ]
B3 Umur [ ]
B4 Tinggi badan ibu [ ]
C. Identitas anak [ ]
C1 Nama anak Koding
C2 Jenis kelamin [ ]
C3 Tanggal lahir anak [ ]
C4 Umur anak [ ]
C5 Berat badan [ ]
C6 Panjang badan [ ]
C7 Jarak kelahiran anak dengan kelahiran sebelumnya [ ]

D. Berat dan Panjang Badan Lahir Koding


D Apakah (nama anak) ditimbang sesaat setelah lahir?
1
(sesaat berarti penimbangan bayidilakukan kurang dari 24 jam setelah lahir)
1. Ya, berapa berat lahir (nama anak)..............gram (silahkan cek KMS atau KIA) [ ]
2. Tidak
88. Lupa
99. Tidak tahu
D Apakah (nama anak) diukur panjang badan sesaat setelah lahir?
2
(sesaat berarti penimbangan bayidilakukan kurang dari 24 jam setelah lahir)
1. Ya, berapa panjang lahir (nama anak)..............gram (silahkan cek KMS atau KIA) [ ]
2. Tidak
88. Lupa
99. Tidak tahu

E. ASI Ekslusif Koding


E1 Berapa lama setelah melahirkan ibu pertama kali menyusui (nama anak)?
1. Segera (kurang dari 1 jam) lanjut ke E3 4. Tidak pernah lanjut E2
[ ]
2......................Jam lanjut ke E3 88. Lupa
3......................Hari lanjut ke E3 99. Tidak tahu
E2 Mengapa ibu tidak memberikan ASI (tidak menyusui)? Lanjut ke E6
[ ]
1. ASI tidak keluar
2. Anak sakit
3. Ibu sakit
4. Lain-lain (Sebutkan) ……….
Dalam tiga hari pertama setelah melahirkan, apakah ibu memberikan cairan putih kekuningan (kolostrum) yang
E3
keluar dari payudara ibu ?
[ ]
1. Ya 88. Lupa
2. Tidak 99. Tidak tahu
E4 Apakah saat ini (nama anak) masih disusui?
1. Ya [ ]
2. Tidak, mengapa?...............Lanjut ke E5
E5 Pada umur berapa (nama anak) berhenti disusui?
1......................Hari 88. lupa
[ ]
2......................Minggu 99. tidak tahu
3......................Bulan
E6 Pada umur berapa (nama anak) mulai mendapat makanan ttambahan selain ASI ?
4......................Hari 88. lupa
[ ]
5......................Minggu 99. tidak tahu
6......................Bulan

F. Pola Asuh Koding


F1 Berapa kali dalam tiga bulan terakhir ibu membawa (nama anak) ke posyandu?
[ ]
1. 3 kali (Rutin)
2. < 3 kali (Tidak rutin)
F2 Apakah (nama anak) telah mendapat imunisasi lengkap?
[ ] Hepatitis B (HB) 0
[ ] BCG (biasanya di lengan kanan atas)
1. Ya (5 macam imunisasi) [ ] Polio [ ]
[ ] DPT (biasanya di paha)
[ ] Campak (biasanya pada lengan kiri
2. Tidak
F3 Bila (nama anak) mengeluh diare, apa yang ibu lakukan?
Jawaban:
[ ]
1. Upaya penyembuhan (memberikan 2. Membiarkan saja
oralit atau membawa kepetugas kesehatan)
F4 Siapa yang memasak makanan dirumah?
Jawaban: [ ]
1. Ibu (Responden) 2. Lainnya
F5 Siapa yang mengasuh (nama anak) dirumah?
Jawaban: [ ]
1. Ibu (Responden) 2. Lainnya
F6 Siapa yang menyiapkan makanan (nama anak) setiap hari?
Jawaban: [ ]
1. Ibu (Responden) 2. Lainnya
F7 Apakah ibu selalu mencuci tangan sebelum menyuapi (nama anak)?
Jawaban: [ ]
1. Ya 2. Tidak
F Pada jam berapa ibu memberi sarapan berupa makanan berat kepada (nama anak) setiap hari?
8 [ ]
Jam: ……….
1. < jam 09.00 2. ≥ jam 09.00
F Berapa kali (nama anak) makan buah dalam satu minggu terakhir?
9 [ ]
Jawaban:
1. ≥ 3 kali 2. < 3 kali
F Berapa kali (nama anak) makan sayur dalam satu minggu terakhir?
1 [ ]
0
Jawaban:
3. ≥ 3 kali 4. < 3 kali

G. Riwayat Infeksi Koding


G1 Apakah (nama anak) pernah sakit selama enam bulan terakhir?
1. Tidak [ ]
2. Ya
G2 Apakah (nama anak) dalam enam bulan terakhir memiliki keluhan kesehatan, seperti:
a. Panas 1. Tidak 2. Ya [ ]
…………… hari
b. batuk 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
c. pilek 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
d. ISPA 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
e. Diare 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
f. Demam tipoid 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
g. Demam berdarah 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
h. Cacar 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
i. TBC 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
j. Lainnya, (Sebutkan) ………. 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
G Sakit apa yang sering diderita (nama anak)?
3
Jawaban:
G Berapa kali dalam enam bulan terakhir (nama anak) mengeluh sakit tersebut ? (Sesuai jawaban G3)
4 [ ]
Jawaban:
1. Jarang atau kadang-kadang (< 6 kali) 2. Sering (≥ 6 kali)
162

FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

Tanggal Wawancara :

Hari Ke :

Banyakn
Waktu Makan Menu Makan ya
U *Berat (Gram)
RT

Pagi/Jam

Selingan Pagi/Jam

Siang/Jam
163

Selingan
Siang/Jam

Malam/Jam

Selingan
Malam/Jam

Keterangan:
URT : Urutan Rumah Tangga (Terlampir)
*Berat (Gr) : tidak perlu diisi oleh responden
164

Anda mungkin juga menyukai