Disusun Oleh:
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat Rahmat, Hidayah dan
Karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas soca dengan judul “Asuhan
Keperawatan pada pasien Tn.H dengan Fr. Tibia Post OREF dan tindakan ORIF di Instalasi
Bedah Sentral RSD. Dr Soebandi” pada kegiatan pelatihan basic skill course operating room
nurses. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan yang
penulis miliki.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan makalah ini, penulis sangat mengha
rapkan saran yang bersifat membangun kearah perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan peserta pelatihan basic skill course
operating room nurses.
Penulis
DAFTAR ISI
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.H DENGAN DIAGNOSA FR TIBIA POST OREF DAN
TINDAKAN ORIF DI INSTALASI BEDAH SENTRAL....................................................................
1
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... 2
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 didapatkan bahwa
angka kejadian cidera mengalami peningkatan dibandingkan dari hasil pada tahun
2007. Kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena terjatuh,
kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul. Kecenderungan prevalensi
cedera menunjukkan kenaikan dari 7,5 % pada tahun 2007 menjadi 8,2% pada tahun
2013 (Balitbang Kemenkes, 2013). Peristiwa terjatuh terjadi sebanyak 45.987 dan yang
mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (58 %) turun menjadi 40,9%, dari 20.829,
kasus kecelakaan lalu lintas yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (25,9%)
meningkat menjadi 47,7%, dari 14.125 trauma benda tajam atau tumpul yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (20,6%) turun menjadi 7,3%. Salah satu fraktur
yang sering terjadi adalah fraktur tibia. Fraktur tibia kurang lebih 1,3 % dari semua
jenis fraktur, paling banyak dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Penanganan fraktur terbagi menjadi dua jenis yaitu secara konservatif (tanpa
pembedahan) dan dengan pembedahan. Tindakan pembedahan salah satunya
pemasangan Open Reduction Internal Fixation (Orif) sebagai alat fiksasi atau
penyambung tulang yang patah. Dengan tujuan agar fragment dari tulang yang patah
tidak terjadi pergeseran dan dapat menyambung lagi dengan baik. Setelah dilakukan
tindakan post operasi ORIF salah satu masalah keperawatan yang muncul yaitu
gangguan mobilitas fisik (S.C Smeltzer, 2015).
Gangguan mobilitas fisik dapat menyebabkan penurunan massa otot (atropi otot)
sebagai akibat kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktivitas, sehingga
mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai akhirnya koordinasi pergerakan
memburuk. Gangguan mobilitas fisik juga dapat mengakibatkan perubahan metabolik
pada sistem muskuloskeletal sehingga terjadi hiperkalesemia dan hiperkalsiuria yang
kemudian menyebabkan osteoporosis. Selain terjadi atropi otot, gangguan mobilitas
fisik juga dapat menyebabkan pemendekan serat otot. Kondisi ini mengakibatkan
terjadinya kontraktur sendi yaitu persendian menjadi kaku, tidak dapat digerakkan pada
jangkauan gerak yang penuh, dan mungkin menjadi cacat yang tidak dapat
disembuhkan (Nurarif & Kusuma, 2015). Klasifikasi ektopik pada jaringan lemak
sekitar persendian dapat menyebabkan ankilosis persendian yang permanen.
Berdasarkan uraian diatas penulis menilai perlu mempelajari dan melakukan asuhan
keperawatan perioperatif pada pasien dengan diagnosa fraktur tibia dengan tindakan
orif di instalasi bedah sentral RSD Dr Soebandi Jember.
1.4 Manfaat
a. Manfaat teoritis
Meningkatkan pengetahuan bagi penulisan dan pembaca tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan fraktur tibia dengan tindakan orif. Penulisan ini
juga bermanfaat untuk mengetahui antara teori dan kasus nyata yang terjadi
dilapangan sinkron atau tidak, karena dalam teori yang sudah ada tidak selalu sama
dengan kasus yang terjadi.
b. Manfaat praktis
Manfaat praktis penulisan ini bagi peserta pelatihan basic skill course operating
room yaitu perawat dapat melakukan asuhan keperawatan periopertif secara tepat
pada pasien fraktur tibia dengan tindakan orif di ruang operasi.
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari judul, kata
pengantar, daftar isi, bab I, bab II, bab III, bab IV, bab V dan daftar pustaka
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
Fungsi dari sistem integumen sendiri adalah melindungi struktur internal, mencegah
masuknya kuman penyebab penyakit, mengatur suhu tubuh, melakukan proses ekskresi
melalui keringat, melindungi bahaya sinar matahari, dan juga memproduksi vitamin D.
Kulit disebut juga integument atau kutis yang tumbuh dari dua macam jaringan yaitu
jaringan epitel yang menumbuhkan lapisan epidermis dan jaringan pengikat (penunjang)
yang menumbuhkan lapisan dermis (kulit dalam). Berikut ini adalah anatomi dan
fisiologi dari sistem integument (Black,J.M & Hawks, 2014).
a. Epidermis
Epidermis sering kita sebut sebagai kulit luar. Kulit luar ini jika dikumpulkan akan
menjadi organ terbesar dari tubuh. Luas permukaannya sendiri adalah sekitar 18 meter
persegi. Epidermis memiliki beberapa lapisan yang mengandung empat jenis sel,
yaitu:
1. Stratum korneum.
Lapisan ini terdiri dari banyak lapisan tanduk (keratinasi), gepeng, kering, tidak
berinti, inti selnya sudah mati, dan megandung zat keratin.
2. Stratum lusidum.
Selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum adalah sel-sel sudah banyak
yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus
sinar.
Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki. Dalam lapisan
terlihat seperti suatu pipa yang bening, batas-batas sel sudah tidak begitu terlihat
disebut stratum lusidum.
3. Stratum granulosum.
Lapisan ini terdiri dari 2-3 lapis sel pipih seperti kumparan dengan inti ditengah
dan sitoplasma berisi butiran (granula) keratohiali atau gabungan keratin dengan
hialin. Lapisan ini menghalangi benda asing, kuman dan bahan kimia masuk ke
dalam tubuh.
Disebut akantosum sebab sel-selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut
ada hubungan antara sel yang lain yang disebut intercelulair bridges atau
Jembatan interselular.
5. Stratum Basal/Germinativum.
Disebut stratum basal karena sel-selnya terletak dibagian basal/basis, stratum
germinativum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk.
Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat
butir-butir yang halus disebut butir melanin warna.
Sel tersebut disusun seperti pagar pagar (palisade) dibagian bawah sel tersebut
terdapat suatu membran disebut membran basalis, sel-sel basalis dengan
membran basalis merupakan batas terbawah dari pada epidermis dengan dermis.
b. Dermis
Dermis adalah lapisan kulit yang berada di bawah epidermis. Penyusun utama dari
dermis adalah kolagen (protein penguat), serat retikuler (serat protein yang berfungsi
sebagai penyokong), dan serat elastis (protein yang berperan dalam elastisitas kulit).
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit, batas dengan epidermis dilapisi oleh
membrane basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tapi batas ini
tidak jelas hanya diambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak (Black J,
M., Jane, 2014). Dermis terdiri dari 2 lapisan, yaitu:
Serabut ini saling beranyaman dan masing-masing mempunyai tugas yang berbeda.
Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan kepada kulit, serabut elastic untuk
memberikan kelenturan pada kulit, dan retikulus terdapat terutama disekitar kelenjar
dan folikel rambut dan memberikan kekuatan pada alat tersebut.
c. Hipodermis
Lapisan ini terutama berupa jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara
lapisan kulit dengan struktur internal seperti otot dan tulang. Terdapat pembuluh
darah, saraf dan limfe dengan jaringan penyambung yang terisi sel lemak. Jaringan
lemak bekerja sebagai penyekat panas dan menyediakan penyangga bagi lapisan kulit
diatasnya.
Pembuluh darah kulit terdiri dari Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel
lemak dan diantara gerombolan ini berjalan serabut-serabut jaringan ikat dermis. Sel-
sel lemak ini bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga
membentuk seperti cincin.
Lapisan lemak ini di sebut perikulus adiposus, yang tebalnya tidak sama pada tiap-tiap
tempat dan juga pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama (berlainan).
Guna perikulus adiposus adalah sebagai Shok breker (pegas) bila tekanan trauma
mekanis yang menimpa pada kulit, Isolator panas atau untuk mempertahankan suhu,
penimbun kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah subkutis terdapat
selaput otot kemudian baru terdapat otot (Brunner & Sudarth, 2013).
2.7.2 Patofisiologi
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya
gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic, patologik.
Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup.
Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah
menurun. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi odem lokal
maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai
serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat
mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak
sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak
akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik,
patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup
akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman
nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi neurovaskuler yang
akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu, disamping itu
fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi
infeksi terkontaminasi dengan udara luar. Pada umumnya pada pasien fraktur
terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk
mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai
sembuh.
2.7.3 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat fraktur, yaitu :
a. Komplikasi awal
1. Kerusakan arteri : pecahnya arteri karena trauma dapat di tandai dengan tidak
adanya nadi, sianosis pada bagian distal, hematoma melebar dan rasa dingin
pada ekstermitas yang disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan
posisi pada daerah yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
2. Sindrom kompartemen : merupakan komplikasi yang serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut.
3. Fat emboli sindrom (FES) : adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena selsel lemak yang dihasilkan
bone marrow kuning masuk kealiran pembuluh darah dan menyebabkan
kadar oksigen dalam darah menurun. Hal tersebut ditandai dengan gangguan
pernafasan, takikardi, hipertensi, takipenia, dan demam.
4. Infeksi : Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit dan masuk kedalam.
5. Nekrosis faskuler : Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu sehingga menyebabkan nekrosis tulang.
6. Syok : Terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun. Syok
dapat berakibat fatal dalam beberapa hal setelah udema cedera, emboli
lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom
kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika
tidak ditangani segera.komplikasi lainnya adalah infeksi, tromboemboli yang
dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera.
b. Komplikasi lanjut
1. Delayed union. Adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5
bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah. Hal
ini juga merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai
darah ke tulang menurun.
2. Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak
didapatkan konsilidasi sehingga terdapat sendi palsu.
3. Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk anggulasi, vagus/valgus, rotasi,
pemendekan.
2.9.5 Hal – hal yang Harus Diperhatikan pada Klien dengan Pemasangan Eksternal
Fiksasi
a. Persiapan psikologis
Penting sekali mempersiapkan pasien secara psikologis sebelum dipasang fiksator
eksternal. Alat ini sangat mengerikan dan terlihat asing bagi pasien. Harus
diyakinkan bahwa ketidaknyamanan karena alat ini sangat ringan dan bahwa
mobilisasi awal dapat diantisipasi untuk menambah penerimaan alat ini, begitu
juga keterlibatan pasien pada perawatan terhadap perawatan fiksator ini.
b. Pemantauan terhadap kulit, darah, atau pembuluh saraf.
Setelah pemasangan fiksator eksternal , bagian tajam dari fiksator atau pin harus
ditutupi untuk mencegah adanya cedera akibat alat ini. Tiap tempat pemasangan
pin dikaji mengenai adanya kemerahan , keluarnya cairan, nyeri tekan, nyeri dan
longgarnya pin.Perawat harus waspada terhadap potensial masalah karena
tekanan terhadap alat ini terhadap kulit, saraf, atau pembuluh darah.
c. Pencegahan infeksi
Perawatan pin untuk mencegah infeksi lubang pin harus dilakukan secara rutin.
Tidak boleh ada kerak pada tempat penusukan pin, fiksator harus dijaga
kebersihannya. Bila pin atau klem mengalami pelonggaran , dokter harus
diberitahu. Klem pada fiksator eksternal tidak boleh diubah posisi dan ukurannya.
d. Latihan isometrik
Latihan isometrik dan aktif dianjurkan dalam batas kerusakan jaringan bisa
menahan. Bila bengkak sudah hilang, pasien dapat dimobilisasi sampai bata
s cedera di tempat lain. Pembatasan pembebanan berat badan diberikan untuk
meminimalkan pelonggaran puin ketika terjadi tekanan antara interface pin dan
tulang.
Trauma , Patologi
Fraktur
Luka Terbuka
Kerusakan Nyeri
integritas kulit akut
Resiko tinggi
infeksi
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
a. Nama Pasien : Tn.H
b. Tgl lahir/ Umur : 15-03-1973/ 47thn
c. Agama : Islam
d. Pendidikan : SMA
e. Alamat : Wuluhan-Jember
f. No CM : 2727xx
g. Berat badan : 60 kg
h. Diagnosa Medis : Fraktur Tibia
i. Skala nyeri menurut VAS (visual analog scale) : sangat nyeri (8)
j. Hasil rontgen pasien : mal alignment dengan close fracture comminuted 1/3
proximal tibia yang telah terpasang eksternal fiksasi.
Pengkajian Sign In:
a. ASA :1
b. Verifikasi Id pasien : sudah
c. Verifikasi informed consent: Lengkap Surat izin operasi & Anastesi
d. Verifikasi puasa : pasien puasa selama 6 jam
e. Kesadaran : Sadar
f. Kerusakan sensori : Normal
g. Status musculoskeletal : Bagian ekstremitas bawah terdapat fraktur post oref
h. Lapangan operasi di beri tanda : Tidak perlu
i. Riwayat alergi/infeksi /HIV/Hepatitis : Tidak ada
j. Kesulitan menjaga jalan nafas : Tidak
Sign in:
1. Pasien datang, cek kelengkapan data pasien.
2. Tulis identitas pasien di buku register dan buku kegiatan.
3. Bantu memindahkan pasien ke meja operasi
4. Tim anesthesi melakukan induksi dengan anestesi general.
5. Perawat sirkuler memasang folley catheter no 16
6. Mengatur posisi pasien supine kemudian dibawah kaki diberi bantal dialasi dgn
Dispoosibble absorbent pad on
7. Pasang arde di tungkai kaki sebelah kanan.
8. Perawat sirkuler dan operator Membuka OREF secara on menggunakan cutter
besar dan tang besar sampai OREF terbuka semua
9. Mencuci area operasi dengan microshiel, keringkan dengan duk steril.
10. Perawat instrument melakukan cuci tangan, memakai gaun operasi, dan memakai
sarung tangan steril.
11. Perawat instrument memakaikan gaun operasi dan sarung tangan steril kepada tim
operasi
12. Antisepsis area operasi dengan povidon iodine 10% dalam cucing yang berisi
deppers dengan menggunakan sponge holding forcep.
13. Melakukan drapping:
14. Berikan kertas steril di bawah kaki sebelah kiri, Pasang duk besar di atasnya.
15. Pasang duk kecil buat segi empat kanan dan kiri berikan towel forcep atas dan
bawah untuk fixsasi
16. Pasang duk besar pada bagian bawah
17. Pasang duk besar untuk bagian atas kemudian fixasi dgn duk klem.
18. Dekatkan meja mayo dan meja instrument ke dekat area operasi, pasang kabel
couter, slang suction, ikat dengan kasa lalu fiksasi dengan towel klem. Pasang
canule suction, cek fungsi kelayakan couter dan suction
2. Persiapan alat:
a) Set Dasar
Scalpel Handle No. 3 1
Chirrurgis Forcep 2
Tissue Forcep 2
Metzenboum Scrissor 1
Scrissor Mayo 1
Suture Scrissor 1
Towel Klem 5
Pean Forcep Bengkok 1
Pean Forcep Lurus 1
Kocher Forcep Lurus 1
Needle Holder Besar / Kecil 1/1
Sponge Holding Forcep 1
Langen Back 1
Canule Suction 1
Bengkok 1
Cucing 1
e) Set Linen
Duk Besar 4
Duk Kecil 10
Sarung Meja Mayo 1
Handuk Tangan 5
Gaun Operasi 4
f) Bahan Habis Pakai
1) Handscoon 7/ 7.5/8 : 2/4/2
2) Dispoosibble absorbent pad on :2
3) Scalpel handle no. 10 :2
4) Spuit 10cc :2
5) Folley catheter no 16/ urobag/ : 1/ 1
6) Kasa : 40
7) Tensocrep 15cm :1
8) Povidon Iodine 10% : 100cc
9) Softband 15 cm :2
10) Cairan NS 0,9% : 1 liter
11) Opsite besar :1
12) Sofratule :1
13) Absorbable/Natural/Monofilament No.2: 2
14) NonAbsorbable/Natural/Multifilament No.2-0 : 1
15) Bongros : 1 vail
Time Out:
1. Time out dipimpin oleh perawat sirkuler dilanjutkan berdoa yang dipimpin oleh
dokter operator.
2. Berikan mess 1 (scalpel handle yang sudah diberikan scalpel blades no.10)
untuk insisi.
3. Berikan double chirrurgis forcep kepada operator dan asisten serta
electrosurgical pen. pean forcep serta kassa untuk merawat perdarahan.
4. Berikan mess 2 (scalpel handle yang sudah diberikan scalpel blades no.10)
untuk membuka fascia dan otot, kalau perlu berikan metzenboum scrissor untuk
expose lapis demi lapis. Berikan langen back atau hak femur kepada asisten
untuk memperluas lapang pandang area operasi saat insisi sampai terlihat
tulang.
5. Setelah tulang terlihat, berikan Hofmann kepada operator untuk elevasi tulang
agar terlihat lebih jelas. Berikan raspatorium untuk membersihkan jaringan yang
menempel pada tulang.
6. Berikan Bone reduction untuk mengetahui garis fraktur, Berikan knable untuk
kalus lalu berikan kuret tulang untuk membersihkan fragmen tulang dari kalus /
jaringan yang timbul supaya tidak ada ganjalan saat menyatukan tulang yang
patah asisten melakukan spooling
7. Operator melalukan evaluasi, lalu berikan bone reduction 2 kepada operator
untuk melakukan reposisi, operator memutuskan untuk memasang broad plate
jika posisi sudah benar. pasang T-plate pada tibia 6 hole di fiksasi dengan bone
reduction atau verburrgh
8. Berikan bor listrik yang telah dipasang mata bor ukuran 3,2 mm pada operator
dan berikan juga sleave untuk melindungi jaringan sekitarnya saat pengeboran
agar focus pada daerah yang dibor, pada saat mengebor semprot/irigasi dengan
cairan Ns mengunakan spuit 10 cc.
9. Setelah dibor berikan pengukur untuk menentukan ukuran screw, lalu berikan
tapper cortical untuk membuat alur, kemudian berikan screw sesuai ukuran
kedalaman saat diukur screw cortex diameter 4,5 no.24 sejumlah 1 buah, no.26
sejumlah 1 buah, no.28 sejumlah 1 , no.36 sejumlah 1 buah dan concelus
diameter 6,5 mm no.50 sejumlah 1 buah, dan no.50 sejumlah 1 buah dan
berikan screw driver untuk semua screw. Hal ini dilakukan sampai terpasang
screw semuanya.
10. Berikan bongros 1 vial di sekitar terpasangnya plate screw
11. Berikan bengkok, letakkan di bawah kaki lalu cuci luka dengan NS 0,9%, hisap
dengan suction, operator membersihkan dengan slaber k/p.
Sign Out :
1. Hitung jumlah alat dan kassa sebelum area operasi ditutup. Pastikan semua dalam
keadaan lengkap.
2. Jahit luka operasi lapis demi lapis. Siapkan naldvoeder dan chirurgis forcep,
berikan kepada operator. Bagian fasia jahit dengan benang
Absorbable/Natural/Monofilament No.2, Bagian otot dan subcutis dijahit dengan
Absorbable/Natural/Monofilament No.2, dan bagian kulit dijahit dengan
menggunakan benang NonAbsorbable/Natural/Multifilament 2-0. Berikan pean
forcep bengkok,kassa dan suture scrissor kepada asisten.
3. Bersihkan luka dengan kassa basah dan keringkan.
4. Tutup luka dengan sofratul, kassa kering dengan terakhir balut dengan softban
15cm dan tensocrep 15cm.
5. Operasi selesai, bereskan semua instrument, bor listrik, selang suction dan kabel
couter dilepas.
6. Rapikan pasien, bersihkan bagian tubuh pasien dari bekas betadin yang masih
menempel dengan towel dan keringkan.
7. Pindahkan pasien ke brankart, dorong ke ruang recovery.
8. Bersihkan ruangan dan lingkungan kamar operasi, rapikan dan kembalikan alat-
alat yang dipakai pada tempatnya.
9. Inventaris bahan habis pakai pada depo farmasi.
32
operasi akan berhasil - Postur tubuh, ekspresi
dan akan sembuh wajah, bahasa tubuh dan
- Verbalisasi pasien tingkat aktivitas
meningkat menunjukkan berkurangnya
kecemasan
Intra Operasi
1 Dx: resiko infeksi area NOC: 1. Dilakukannya
operasi b.d tindakan pembersihan pada kamar
perioperatif - Risk Infection operasi sebelum operasi,
ds: - antar operasi dan setelah
Setelah dilakukan tindakan operasi
do: keperawatan selama 1 x 2 jam 2. Seluruh pekerja yang
- Pasien sudah melakukan Klien mampu mempertahankan ada di kamar operasi
inform consent tindakan diri dari resiko infeksi, dengan melakukan tindakan cuci
operatif kriteria: tangan five moment
- Dilakukannya tindakan Memahami faktor-faktor 3. Tim operasi (Perawat
infasif orif penyebab infeksi dan upaya perioperative dan dokter
pencegahannya operator) melakukan
Tidak didapatkan tanda- scrubbing, gowning,
tanda radang gloving saat akan
Suhu tubuh normal melakukan tindakan
Sel darah putih normal operasi
Hasil kultur negatif 4. Sebelum melakukan
Luka sembuh primer operasi perawat kamar
operasi melakukan
antisepsis menggnakan
povidone iodine 10% di
area pembedahan dan di
lakukan drapping sesuai
dengan tindakan operasi.
5. Pertahankan teknik
sterile seluruh anggota
operasi
6. Pertahankan kelembaban
udara di kamar operasi
(45%-60%)
7. Semua tindakan saat
operasi dilakukan dalam
kondisi sterile
33
- TTV dalam batas normal
- Tidak terjadi nyeri otot
- Berkeringat saat dalam
kondisi suhu yang panas
3 Dx: Resiko cidera NOC : 1. Gunakan alat pelindung
positioning b.d tindakan - Cidera positioning tidak maksimal untuk
perioperatif terjadi mencegah cidera akibat
DS: - Setelah dilakukan tindakan listrik, laser, radiasi
2. Catat alat yang tertanam
DO: keperawatan selama 1x 2 jam
selama prosedur invasive
- Terpasang plate di paha resiko cidera positioning
3. Evaluasi adanya
kiri pasien pasien teratasi dengan kriteria tanda/gejala cidera laser,
hasil: listrik, radiasi
- Kesadaran dalam batas
normal
- Gerak motoric dalam batas
normal
- Vital sign dalam rentang
normal
-
Post Operasi
1 Dx: Resiko infeksi b.d NOC : 1. monitor tanda dan gejala
prosedur infasif - Tidak ada infeksi berulang infeksi sistemik dan lokal
DS : - - Jumlah WBC dalam batas 2. batasi pengunjung
normal 3. pertahankan teknik
DO : aseptik pada pasien yang
- Terdapat luka post Setelah dilakukan tindakan
beresiko
operasi di bagian keperawatan selama 1x 4 jam
4. inspeksi kulit dan
paha kiri pasien tidak terjadi infeksi pada
membran mukosa akan
-
0
Suhu 36,1 C , pasien dengan kriteria hasil:
- Tidak ada infeksi adanya kemerahan ,
Nadi 93 x/mnt, TD hangat, atau drainae
- Tidak ada benjolan
127/83 mmHg RR - Suhu tubuh dalam rentang 5. ajarkan pasien dan
28 x/menit, yang diharapkan keluarga tentang cara
- Kulit utuh untuk menghindari
- Mukosa utuh infeksi
34
pasien terlihat tehnik nonfarmakologi pasien
meringis untuk mengurangi nyeri, 5. Observasi reaaksi
- Pasien tampak mencari bantuan) nonverbal dari
memegang bagian - Melaporkan bahwa nyeri ketidaknyamanan
pinggang pasien berkurang dengan 6. Evaluasi TTV
Skala nyeri 8 menggunakan manajemen
- Nyeri dirasa seperti nyeri
teriris - Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
- Tanda vital dalam rentang
normal
35
BAB IV PEMBAHASAN
KASUS
Fraktur tibia merupakan jenis fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan maupun
kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki. Penyebab dari fraktur ini
sering disebabkan karena 3 hal yaitu trauma langsung, trauma tidak langsung dan trauma
patologis. Kondisi luka pada pasien sebelum dilakukan oref merupakan Fraktur terbuka
yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah. Manifestasi klinis dari adanya
fraktur diawali dengan keluhan nyeri yang terus menerus dan bertambah berat, hilangnya
fungsi deformitas, krepitasi, pembengkakan serta adanya perubahan warna lokal pada kulit
yang disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Komplikasi awal dari
fraktur tibia diantaranya adanya kerusakan arteri, sindrom kompartemen, fat emboli sindro,
infeksi, nekrosis vaskuler sampai dengan terjadinya syok. Apabila komplikasi tersebut
tidak ditangani dengan baik maka akan menimbulkan komplikasi lanjut seperti delayed
union, no union dan mal union. Konsep dasar dari penatalaksanaan fraktu tibia ada 4, yaitu
rekoknisi, reduksi fraktur atau pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis, imobilisasi
serta mempertahankan dan mengembalikan fungsi dari tulang yang mengalami fraktur.
Pada kasus ini, asuhan keperawatan perioperatif dilakukan pada Tn. H usia 47 th fraktur tibia
dengan tindakan orif. Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah nyeri pada bagian kaki
sebelah kiri. Pasien Tn. H memiliki riwayat post operasi oref sekitar 3 bulan yang lalu di RS
di Surabaya. 2 bulan setelah pasien operasi oref pasien mengeluh kaki kirinya bengkak dan
mengeluh nyeri, setelah dilakukan foto rongen hasilnya menunjukkan malalignment dengan
close fraktur comminuted complite ekstra artikuler pada 1/3 proksimal tibia kiri yang
terpasang eksternal fiksasi. Dari pemeriksaan fisik pre operasi pasien dengan keadaan umum
0
sedang dengan tanda-tanda vital Suhu 36,2 C, nadi 89x/mnt, respirasi 23x/mnt, TD 132/78
mmHg, skala nyeri menurut VAS (visual analog scale) 6 atau sangat nyeri.
Pada pengkajian sign in didapatkan ASA atau status anestesi 1, verifikasi Id pasien sudah
dilakukan, verifikasi an, verifikasi informed consent lengkap surat izin operasi & anastesi,
verifikasi puasa yaitu puasa selama 6 jam, kesadaran compos metis, tidak adan kerusakan
sensori, status musculoskeletal didapatkan post oref fraktur pada bagian ekstremitas bawah,
36
tidak ada riwayat alergi atau infeksi, tidak ada gangguan pada jalan nafas. Tindakan yang saat
ini dilakukan pada pasien Tn. H adalah open reduction internal fixation (orif). Tindakan orif
ini dilakukan setelah 1 bulan pasien mengeluh kaki kirinya bengkak dan mengeluh nyeri.
Penulis berpendapat bahwa keluhan nyeri dan bengkak pada kaki kiri post tindakan oref pada
pasien Tn. H disebabkan karena ketidaktahuan pasien akan pentingnya mobilisasi pasca
operasi fraktur sehingga berdampak pada banyaknya keluhan yang muncul post oref seperti
bengkak atau edema, kesemutan, kekakuan sendi, nyeri dan pucat pada anggota gerak yang di
operasi. Keluhan-keluhan tersebut juga dapat muncul akibat mobilisasi yang salah yang
dilakukan oleh pasien sehingga menyebabkan malalignment. Mobilisasi merupakan bagian
dari proses rehabilitasi. Rehabilitasi pada pasien post fraktur dilakukan segera bersamaan
dengan pengobatan fraktur untuk menghindari keluhan-keluhan yang muncul seperti edema,
kesemutan, atropi otot dan kontraktur sendi. Mobilisasi pasca operasi fraktur dilakukan
bertahap setelah penyembuhan post operasi. Selain itu pasien beserta keluarganya juga perlu
diberikan edukasi tentang tata cara perawatan dan rehabilitasi post operasi aga r
proses penyembuhan maksimal.
Pada pasien Tn. H ini dilakukan tindakan operasi dengan metode orif. Open
reduction internal fixation (ORIF) merupakan suatu jenis operasi dengan pemasangan
internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup
dengan close reduction, untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur.
Operasi dengan metode orif memiliki keunggulan dalam hal mengembalikan keselarasan
posisi tulang lebih baik dibandingkan dengan metode yang lain. Sehingga tindakan orif lebih
direkomendasikan terhadap fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas. Pada
pasien Tn. H ini didapatkan kerusakan jaringan dibuktikan dengan adanya bengkak dan
keluhan nyeri. Penelitian Jansenn et all juga menunjukan bahwa malaligment tibia, cendrung
lebih banyak terjadi pada pasien pasca operasi dengan metode selain orif. Indikasi dilakukan
tindakan operasi orif pada pasien Tn. H adalah kegagalan reduksi oref sehingga
menimbulkan malalignment. Harapan dari dilakukannya tindakan orif pada Tn. H
adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pada
pasien pasca orif dan mobilisasi dapat segera dilakukan. Selain itu pada pasien yang
menjalani orif penyatuan tulang yang fraktur lebih cepat, memiliki reduksi yang akurat dan
stabilitas reduksi yang tinggi, serta pemeriksaan struktur neurovascular dapat dilakukan lebih
mudah.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, baik secara teoritis maupun secara tinjauan kasus
didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Diagnosa keperawatan yang berhubungan pada
pasien dengan fraktur tibia dengan tindakan Orif ada enam diagnosa keperawatan, yaitu
Nyeri b.d Terputusnya jaringan inkontinuitas jaringan, Cemas b.d interpretasi yang salah
dengan prosedur pembedahan, Resiko infeksi area pembedahan b.d tindakan invasive,
Resiko hipotermi b.d tindakan perioperatif, Resiko cidera positioning b.d tindakan
perioperatif, Resiko infeksi b.d prosedur infasif dan Nyeri b.d Insisi pembedahan.
Intervensi dan implementasi yang diberikan kepada pasien disesuaikan dengan kondisi
pasien saat pre, intra dan post operasi. Adapun evaluasi yang dilakukan selama
pemberian asuhan keperawatan sudah sesuai dengan intervensi yang disusun oleh
penulis.
5.2 Saran
1. Pasien
Diharapkan pasien dapat mengetahui cara menjaga luka operasi dan selalu
memperhatikan petunjuk dokter/perawat serta dukungan keluarga sangat penting
dalam proses penyembuhan pada pasien dengan fraktur tibia dengan tindakan Orif.
2. Perawat
Perawat maupun tim medis lainya harus terampil dalam melakukan asuhan
keperawatan perioperative dan harus memperhatikan konsep aspetik untuk mencegah
terjadinya resiko infeksi pada pasien.
Daftar Pustaka