Anda di halaman 1dari 5

TENAGA KERJA INDONESIA

A. Definisi
Tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15
tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Sebelum tahun
2000, Indonesia menggunakan patokan seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas (lihat
hasil Sensus Penduduk 1971, 1980 dan 1990). Namun sejak Sensus Penduduk 2000 dan
sesuai dengan ketentuan internasional, tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15
tahun atau lebih. (Data Statistik Indonesia, 2010)

B. Tenaga Kerja dan Permasalahannya


Permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi Indonesia saat ini sangat sulit,
terutama dalam penempatan tenaga kerja baik dalam maupun luar negeri. Masalah
kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini berangkat dari beberapa faktor, yaitu:
1. Lapangan pekerjaan semakin sedikit
2. Tingginya jumlah penggangguran
3. Rendahnya tingkat pendidikan
4. Minimnya perlindungan hukum
5. Upah kurang layak
6. Faktor eksternal (seperti krisis global)
7. Kurangnya kreativitas dan inovasi

C. Outsourcing (Tenaga Kerja Kontrak)


Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka pengangguran dan juga
meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja di Indonesia. Namun dilema pemerintah
adalah antara tenaga kerja atau kepada pengusaha, si pemiliki lapangan pekerjaan. Salah
satu upaya untuk mengatasinya adalah dikeluarkan undang-undang No 12 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, kemudian pada beberapa pasalnya yaitu pasal 64, 65, dan 66
memungkinkan perusahaan melakukan outsourcing.
Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum
diberlakukannya outsourcing di Indonesia, membagi outsourcing menjadi dua bagian,
yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada
perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan outsourcing mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena
lebih condong ke arah subcontracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan
pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan
outsourcing dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut
outsourcing adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4
ayat).
1. Pasal 64
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
2. Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
· penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
· pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1)
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Ø dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
Ø dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
Ø merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
Ø tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
· perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
· perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam
· keputusan menteri (ayat 5);
· hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
· hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada
perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
· bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan
yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan
lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
3. Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain:
• adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja;
• perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
• perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
• perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “alih daya”. Outsourcing
mempunyai nama lain yaitu “contracting out” merupakan sebuah pemindahan operasi
dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya
produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal lain. Di negara-negara maju
seperti Amerika & Eropa, pemanfaatan Outsourcing sudah sedemikian mengglobal
sehingga menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada core businessnya
sehingga lebih fokus pada keunggulan produk servicenya.
Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di
Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti
penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan
utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki
oleh perusahaan.
Disinlah mulai ada pergeseran mengenai fungsi outsourcing, yang seharusnya
hanya diberikan untuk pekerjaan-pekerjaan bukan inti, seperti cleaning services atau
satpam. Namun dalam perkembangannya Outsourcing seringkali mengurangi hak-hak
karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan permanen (kesehatan,
benefit dkk). Outsourcing pada umumnya menutup kesempatan karyawan menjadi
permanen. Posisi outsourcing selain rawan secara sosial (kecemburuan antar rekan) juga
rawan secara pragmatis (kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan pensiun). Bahkan
di beberapa perusahaan justru memberikan pekerjaan inti kepada karyawan dari
outsourcing seperti PT KAI, yang memperkerjakan tenaga outsourcing untuk bagian
penjualan tiket, porter, administrasi dan penjaga pintu masuk. Padahal pekerjaan-
pekerjaan tersebut terkait langsung dengan jasa angkutan kereta api. Kemudian banyak
perusahaan lainnya yang melakukan pelanggaran seperti ini. Umumnya tenaga kerja di
outsource untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak
berkewajiban menanggung kesejahteraan mereka. Tenaga outsource juga tidak harus
diangkat sebagai karyawan tetap sehingga beban perusahaan berkurang.
Inilah yang menjadi pemikiran bagi para karyawan, dimana outsourcing hanya
dianggap sebagai suatu upaya bagi perusahaan untuk melepaskan tanggungjawabnya
kepada kayawan, dengan alas an efesiensi dan efektifitas pekerjaan, outsourching ini
dilakukan.
Maka dalam outsourcing sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain
dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business)
dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen
tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing
perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing,
dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang
memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang
merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani
perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan
pengguna outsourcing.

D. Pemecahan Masalah: Kewirausahaan Sosial


Terlepas dari berbagai permasalahan yang terkait dengan tenaga kerja. Sudah
sepatutnya kita harus menjadi anak bangsa yang memiliki kreatifitas dan inovasi.
Terutama mahasiswa yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan ingin maju serta
ingin memecahkan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya, karena
itulah mahasiswa sering disebut sebagai agent of change. Maka diperlukan spirit
kewirausahaan sosial pada para agen perubahan tersebut. Dengan jiwa social
entrepreneurship, akan mendorong masyarakat untuk membangun dan mengembangkan
inovasi-inovasi baik yang diadopsi dari luar maupun lokal dan tentunya tanpa harus
menanggalkan jati diri bangsa. Tentu dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan
sosial di Indonesia, seperti masalah pengangguran tadi.
Namun di indonesia, social entrepreneurship ini masih belum mendapatkan
perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan para tokoh masyarakat karena
memang belum ada keberhasilan yang menonjol secara nasional. Bahkan dari pihak
swasta melalui coorporate social responsibility (CSR) belum bisa menumbuhkan
entrepeneur-entrepeneur muda, karena CSR yang dikeluarkan lebih ditujukan untuk
mengamankan perusahaan bukan memberdayakan masyarakat sekitarnya.
Maka diperlukan banyak terobosan, dibutuhkan upaya-upaya untuk memadukan
berbagai inisiatif. Oleh karena itu persoalan kita lebih pada bagaimana menemukan spirit
daripadanya. Bagaimana agar kinerja wirausaha itu semakin memiliki dampak sosial
yang besar. Karena baik Muh. Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial tak kan
mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens
dengan kemiskinan. Maka upaya untuk memasyarakatkan Social Entrepreneurship harus
mendapatkan dukungan semua pihak yang mendambakan terwujudnya kesejahteraan
rakyat yang merata, dan diharapkan tidak hanya berhenti dalam seminar ini saja tetapi
dilanjutkan dengan rencana aksi yang nyata sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh
masyarakat.
Dengan demikian, kewirausahaan sosial merupakan salah satu upaya untuk
memperkenalkan solusi baru pada masalah-masalah sosial. Para wirausahawan sosial
dengan komitmen kerja dan moral yang tinggi, merupakan kesegaran di tengah-tengah
pembangunan yang terasa mengimpit. Dengan segala keterbatasaanya wirausahaan sosial
dapat memberikan peluang-peluang di masyarakat untuk maju bersama. Kemudian
dengan pentingnya posisi wirausahaan sosial yang dapat bersinegi dalam pencapaian
MDGs, pemerintah dapat memberikan dukungan penuh dengan mengeluarkan regulasi
yang memberikan iklim kondusif bagi pertumbuhan kewiausahaan sosial di Indonesia.

Sumber:
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/801/801/
http://blogs.unpad.ac.id/ramadhan_peksos/?p=27
http://visijobs.com/beta/news/detail/2009/11/01/Pemerintah-Identifikasi-Empat-Masalah-
Tenaga-Kerja

Anda mungkin juga menyukai