Anda di halaman 1dari 2

Analisis Dampak Covid-19 dengan Krisis Moneter 1998 di Perekonomian Indonesia

Pandemi virus corona (Covid-19) telah memberikan tekanan terhadap kondisi perekonomian global.
Bahkan pada tahun ini banyak Lembaga dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global bakal
mencatatkan sejarah kontraksi terdalam sejak Depresi Besar atau masa Perang Dunia II. Organisasi Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD)
memperkirakan ekonomi global bakal terkontraksi hingga 4,2 persen pada tahun 2020. Sementara Bank
Dunia memperkirakan perekonomian global bakal mengalami kontraksi hingga 5,2 persen pada tahun
2020 ini. Indonesia sendiri tidak terlepas dari dampak pandemi. Resesi ekonomi karena pandemi atau
dampak pandemi, untuk pertama kalinya sejak krisis moneter 1998. Mengacu pada data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II dan kuartal III tahun 2020
mengalami pertumbuhan minus, yaitu minus 5,32 persen dan minus 3,49 persen. Telah terjadi
pelambatan pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut. Kita pun berada di jurang resesi akibat
dampak pandemi Covid-19 tersebut. Pertumbuhan ekonomi tercatat negatif dalam dua kuartal berturut-
turut.

Dulu waktu Krisis moneter 1998 disebabkan karena terganggunya stabilitas system keuangan. Pada saat
itu, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Juda Agung, menceritakan tentang keadaan pada
saat krisis moneter ekonomi pada tahun 1998 itu disebabkan karena adanya tingkat inflasi yang tinggi
sehingga mencapai 70%. Tingginya tingkat laju inflasi yang tinggi ini sangat berkaitan dengan
meningkatnya harga barang yang memiliki kandungan impor tinggi sebagai akibat krisis nilai tukar.
Selain itu juga disebabkan karena adanya fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
yang sangat tinggi dari Rp2.500 nyungsep sampai Rp17.000 per USD, sehingga akibatnya perekonomian
Indonesia mengalami krisis.

Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tenor 1 bulan sempat mencapai 70%/tahun saat
terjadi krisis moneter (krismon) pada 1998. Harga-harga barang yang melonjak serta terjadinya
kerusuhan hampir di seluruh wilayah Indonesia memicu inflasi lebih dari 70% membuat suku bunga
melambung tinggi. Ekonomi domestik mengalami kontraksi (tumbuh negatif) lebih dari 13% membuat
nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi hingga di atas Rp 15.000/dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi
tersebut jauh berbeda dengan kondisi saat ini meskipun rupiah saat ini hampir mencapai Rp 15
ribu/dolar AS. Laju inflasi saat ini sangat terkendali di level 3,2%, suku bunga acuan meskipun mengalami
kenaikan masih di 5,5% dan ekonomi domestik masih tumbuh sekitar 5%. Selain itu, cadangan devisa
Bank Indonesia sebesar US$ 117,93 miliar, atau sekitar lima kali lipat lebih besar dibanding saat krisis
yang hanya sekitar US$ 18 miliar. Bank Indonesia lantas mengeluarkan kebijakan yang mengatur
interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi, yang dikenal dengan kebijakan makroprudensial.
Kebijakan tersebut diterbitkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung kestabilan
perekonomian Indonesia. BI disini turut berperan dan berfungsi aktif untuk terus berkomitmen menjaga
stabilitas sistem keuangan Indonesia dalam segala kondisi, termasuk saat ini yang berkondisi sangat baik
dan mempunyai daya tahan yang tinggi.

Di tengah pandemi Covid-19 saat ini , Heru Kristiyana Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), menyatakan kondisi perbankan nasional saat ini dalam kondisi stabil. “Perbankan
kita selalu siap menghadapi berbagai krisis dan menyokong pertumbuhan ekonomi. Tak lepas dari peran
OJK, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS,” kata Heru dalam diskusi yang dimoderatori oleh
CEO Tempo Digital, Wahyu Dhyatmika.Heru menambahkan, peran perbankan dalam mengatasi pandemi
luar biasa. Didorong oleh POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional serta
POJK Nomor 48 /POJK.03/2020, hingga kini perbankan menggelontorkan restrukturisasi kredit atau
pembiayaan hampir mencapai seribu triliun rupiah.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuka peluang memperpanjang restrukturisasi atau penundaan kredit
perbankan dan lembaga pembiayaan (multifinance) hingga tahun depan.Awalnya, kelonggaran kredit
diberikan hingga akhir Desember 2020 dengan mengasumsikan dampak pandemi dirasakan setahun.
Kenyataannya, covid-19 masih belum berakhir dan pemulihan ekonomi diperkirakan baru bisa
berlangsung 2021.Secara umum, kredit yang bisa diringankan oleh bank diatur dalam Peraturan OJK
nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical
Dampak Penyebaran Covid-19. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pada
dasarnya dua aturan tersebut mengatur relaksasi kredit mulai dari kredit kepemilikan rumah (KPR),
kredit usaha hingga kredit kendaraan bermotor. Terkait KPR sendiri, debitur dapat memperoleh
keringanan penangguhan pembayaran kredit baik dengan syarat tempat bekerja maupun kegiatan usaha
debitur tersebut terdampak pandemi corona. Hal ini juga diatur dalam POJK 11/2020 di mana penerima
fasilitas restrukturisasi kredit adalah debitur yang terdampak pandemi covid-19 langsung dan tak
langsung, mulai dari usaha di sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan,
pertanian, hingga pertambangan.

Pentingnya peran OJK dalam upaya pemulihan ekonomi nasional yaitu dengan mengeluarkan kebijakan
restrukturisasi kredit dan pembiayaan demi menjaga stabilitas sektor jasa keuangan, serta memberi
ruang gerak bagi sektor usaha dan masyarakat untuk bertahan di masa pandemi Covid-19. Tak sampai di
situ, OJK pun mengeluarkan beragam kebijakan sebagai dukungan atas upaya pemulihan ekonomi
nasional. Berbagai kebijakan itu difokuskan untuk meredam volatulitas pasar keuangan, memberi ruang
gerak sektor riil, menjaga stabilitas, dan optimalisasi peran serta memberi kemudahan bagi sektor jasa
keuangan.

Saat pandemi, gaya hidup masyarakat berubah. Transaksi keuangan banyak dilakukan dari rumah, serba
online. Salah satunya lewat fintech. Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Niki Luhur menyebut,
peran fintech mampu mendukung pemulihan ekonomi, khususnya selama diberlakukannya Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB). Semua itu berkat kontribusi fintech bagi individu dan UMKM untuk
bertransaksi. “Fintech memegang peranan penting. Kami mencatat 55 inisiatif dari 52 perusahaan
fintech menyasar masyarakat sebanyak 47,3%, UMKM sebesar 45,4%, pemerintah 5%, dan 1,8% lainnya
guna mengurangi dampak Covid-19,” ungkapnya. Dukungan lainnya terlihat dari kontribusi bagi lembaga
keuangan seperti memfasilitasi pelaku bisnis untuk memiliki alat pembayaran, penyelesaian dan kliring.
Selain itu, mewujudkan implementasi investasi yang lebih efisien, memitigasi risiko dari sistem
pembayaran konvensional serta menabung dan mendanai. Meski begitu krisis keuangan di Indonesia
dinilai paling buruk di antara negara lainnya. Bahkan situasi tersebut mampu memberikan trauma
tersendiri bagi masyarakat yang pernah mengalaminya. Tragedi ini akan selalu dikenang sebagai salah
satu momen paling kelam bagi bangsa Indonesia. Kabar baiknya, dari tragedi tersebut Indonesia bisa
mengambil hikmah yaitu dengan selalu berusaha untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Terbukti,
kini pengawasan terhadap likuiditas perbankan sudah diatur secara ketat juga transparan. Kewajiban
rasio ketercukupan likuiditas perbankan pun telah memiliki regulasi sendiri.

Anda mungkin juga menyukai