NOTULENSI MODUL 1 BLOK 2.1 Salinan
NOTULENSI MODUL 1 BLOK 2.1 Salinan
Nim : 200610041
Kelompok : 4 (Empat)
1. Imunologi
Merupakan cabang ilmu biomedis yang mempelajari respons organisme terhadap pajanan
antigenic, pengenalan diri sendiri dan bukan dirinya, serta semua efek biologis, serologis, dan
kimia fisika dari fenomena imun.(Kamus Dorland)
2. Inflamasi
Inflamasi atau radang merupakan proses fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya
organisme maupun gangguan lain. Inflamasi merupakan suatu reaksi dari jaringan hidup guna
melawan berbagai macam rangsangan.
3. Methyprednisolon
Merupakan obat golongan kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi dan biasanya juga
digunakan dalam terapi arthritis dan gagal jantung.
4. Dipenhydramin
Diphenhydramine adalah antihistamin terutama digunakan untuk mengobati alergi. Dapat
juga digunakan untuk insomnia , gejala flu biasa , tremor pada parkinsonisme , dan mual.
melalui mulut, disuntikkan ke pembuluh darah , disuntikkan ke otot , atau dioleskan ke kulit.
Efek maksimal biasanya sekitar dua jam setelah dosis, dan efeknya bisa bertahan hingga tujuh
jam.
5. Anafilaktik
Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dah phylaxis yang
berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan perlindungan. Reaksi
anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang berlebihan terhadap suatu bahan
dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut.
6. Biopsi
Biopsi adalah pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
jaringan tersebut bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit atau mencocokkan jaringan
organ sebelum melakukan transplantasi organ. Risiko yang dapat ditimpulkan oleh kesalahan
proses biopsi adalah infeksi dan pendarahan.
7. Sel datia
Sel berinti banyak yang dibentuk makrofag yang banyak dan berperan penting dalam berbagai
proses fisiologi dan patologis
8. Pneumoconosis
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel
(debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru.
9. Kardiomegali
Kardiomegali adalah sebuah keadaan anatomis (struktur organ) di mana besarnya jantung
lebih besar dari ukuran jantung normal yakni lebih besar dari 55% besar rongga dada, namun
umumnya kardiomegali diakibatkan oleh pembesaran ventrikel kiri jantung (ventrikel kardia
sinistra)
10. Dekortikasi
Merupakan salah satu teknik bedah yang menjadi metode pilihan ketika paru-paru pada
dasarnya tidak mampu mengembang karena inflamasi yang tebal. Teknik ini telah terbukti
secara substansial meningkatkan kapasitas vital dan volume ekspirasi paksa pada detik
pertama.
JUMP 2 & 3 : Rumusan Masalah dan Hipotesa
3. Mengapa kelompak Ny. Asma, bengkak, panas dan tebal dan mengganggu pandangan ketika
tersengat tawon?
= ditawon terdapat toksin, menyebabkan reaksi local pada tubuh. Gejala ini ringan dan
berbeda tiap individu seperti pembekakan dan iritasi.
5. Mengapa Ny. Asma bentol dan kemerahan disekujur tubuh dan apa yang sebenarnya terjadi?
= Dikarenakan sengatan lebah memiliki toksin yg dapat memicu Reaksi Anafilaktik (syok
Anafilaktik), yaitu reaksi alergi berat yang dapat mengancam nyawa. Gejala-gejala reaksi
anafilaktik yaitu ruam dan gatal seluruh tubuh, pembengkakan tenggorokan, sesak nafas,
jantung berdebar, tekanan darah menurun, gelisah, keringat dingin, mual muntah, hingga
kesadaran menurun. Reaksi ini terjadi beberapa detik sampai beberapa menit setelah digigit
atau disengat serangga. Racun yang dikeluarkan serangga dan masuk kedalam tubuh sebagai
alergen (zat perangsang reaksi alergi). Jika tidak ditangani dengan cepat, reaksi ini dapat
menimbulkan kematian.
8. Apa saja yang menyebabkan bercak merah pada wajah dan leher saat beraktivitas diluar
rumah?
= diantara perilaku hidup bersih sehat, sanitasi lingkungan, penularan dapat karena interaksi
komponen pada lingkungan, dan juga kepadatan individu di lingkungan, serta termasuk udara,
hewan juga berpengaruh, dll.
imunologi &
inflamasi
hipersensitivitas
adaptasi sel kematian sel radang akut radang kronis
dan autoimun
Pertahanan Humoral
Komplemen. Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan
parasit dengan jalan opsonisasi (Gambar 3).
I. Komplemen dapat menghancurkan sel membran banyak bakteri (C89)
II. Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke
tempat bakteri (C5-6-7)
III. Komplemen dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag untuk
mengenal (opsonisasi) dan memakannya (C3b, C4b). Kejadian-kejadian tersebut di atas
adalah fungsi sistem imun nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respons imun
spesifik.
Interferon. Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia
yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon
mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang tel terserang
virus tersebut. Di samping itu, interferon dapat pula meng tifkan natural killer cell/ sel NK
untuk membunuh virus dan sel neoplasma (Gambar 4).
Sel NK membunuh sel terinfeksi virus intraselular, sehingga dapat menyingkirkan reservoir
infeksi.
Sel NK memberikan respons terhadap IL-12 yang diproduksi makrofag dan melepas IFN- Y
yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakannya.
C-Reactive Protein (CRP). CRP dibentuk tubuh pada infeksi. Peranannya ialah sebagai
opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen.
Pertahanan Selular
Fagosit/makrofag, sel NK dan sel mast berperan dalam sistem irnun nonspesifik selular.
Fagosit. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, sel utama yang
berperan pada pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta
sel polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut berasal dari sel
hemopoietik yang sama.
Fagositosis dini yang efektifpada invasi kuman, akan dapat mencegah timbulnya penyakit.
Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut: kemotaksis, menangkap,
membunuh dan mencerna.
Natural Killer cell (sel NK). Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem imun
spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu disebut juga sel non B non T atau
sel populasi ke tiga atau null cell. Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granul
besar, oleh karena itu disebutjuga Large Granular Lymphocyte/LGL. Sel NK dapat
menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma. Interferon mempercepat
pematangan dan meningkatkan efek sitolitik sel NK.
Sel mast. Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam pertahanan pejamu yang
jumlahnya menurun pada sindrom imunodefisiensi. Sel mast juga berperan pada imunitas
terhadap parasit dalam usus dan terhadap invasi bakteri. Berbagai faktor nonimun seperti
latihan
jasmani, tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan menimbulkan
degranulasi sel mast.
Sistem Imun Spesifik
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan
untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang perlama timbul
dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun
tersebut. Bila sel sistem tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir
akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut
spesifik.
Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang
berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi,
komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Komplemen turut diaktifkan dan ikut
berperan dalam menimbulkan inflamasi yang terjadi pada respons imun.
Sistem Imun Spesifik Humoral
1. Sistem imun spesifik humoral. Berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah
limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten dalam sumsum tulang.
Pada unggas sel asal tersebut berdiferensiasi menjadi sel B di dalam alat yang disebut Bursa
FabriCius yang letaknya dekat cloaca. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi.
Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah
mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan menetralisasi toksin.
2. Sistem imun spesifik selular. Berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit
T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah:
membantu sel B dalam memproduksi antibodi
mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan proliferasinya terjadi dalam
kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. Sembilan puluh sampai sembilan
puluh lima persen semua sel timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan
meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Fungsi utama
sistem imun selular ialah pertahanan terhadap mikroorganisme yang hidup intraselular seperti
virus, jamur, parasit dan keganasan. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel
subset seperti sel T naif, Th l, Th2, T Delayed Type Hypersensitivity (Tdth), Cytotoxic T
Lymphocyte (CTL) atau T cytotixic atau T cytolytic (Tc) dan T supresor (Ts) atau T
regulator (Tr).
Sel T naif (virgin). Sel T naif adalah sel limfosit yang meninggalkan timus, namun belum
berdiferensiasi, belum pernah terpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan
CD45RA. Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel T naif yang terpajan dengan
antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang selanjutnya dapat berkembang menjadi sel
efektor Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan atas dasar jenis-jenis sitokin yang diproduksinya.
Sel Th0 memproduksi sitokin dari ke 2 jenis sel tersebut seperti IL-2, IFN dan IL-4.
Sel T (Thi dan Th2). Sel T naif CD4+ masuk sirkulasi dan menetap di dalam organ limfoid
seperti kelenjar getah bening untuk bertahun-tahun sebelum terpajan dengan antigen atau
mati. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-Il oleh
APC dan berkembang menjadi subset sel Thl atau sel Tdth (Delayed IYpe Hypersensitivity)
atau Th2 yang tergantung dari sitokin lingkungan. Dalam kondisi yang berbeda dapat
dibentuk dua subset yang berlawanan (Gambar 6).
FN-Y dan IL-12 yang diproduksi APC seperti makrofag dan sel dendritik yang diaktifkan
mikroba merangsang diferensiasi sel CD4+ menjadi Th l/Tdth yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas lambat (reaksi tipe 4 Gell dan Coombs). Sel Tdth berperan untuk
mengerahkan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe lambat.
Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, 10, IL-13 yang dilepas sel mast yang terpajan dengan
antigen atau cacing. Th0 berkembang menjadi sel Th2 yang merangsang sel B untuk
meningkatkan produksi antibodi. Kebanyakan sel Th adalah yang mengenal antigen yang
dipresentasikan di permukaan sel APC yang berhubungan dengan molekul MHC-II.
Sel T (Cytotoxic T Lymphocyte / CTL / Tcytotoxic / Tcytolytic/ Tc). Sel T CD8+ naif yang
keluar dari timus disebut juga CTL/Tc. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan
bersama molekul MHCI yang ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi
utamanya ialah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus dengan
menghancurkan sel yang mengandung virus tersebut. Sel CTL/Tc akan juga menghancurkan
sel ganas dan sel histoimkompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Dalam
keadaan tenentu, CTL/Tc dapat juga menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular.
Istilah sel T inducer digunakan untuk menunjukkan aktivitas sel Th dalam mengaktifkan sel
subset T lainnya.
Sel Ts (T supresor) atau sel Tr (T regulator). Sel Ts (supresor) yang juga disebut sel Tr
(regulator) atau Th3 berperan menekan aktivitas sel efektor T yang lain dan sel B. Menurut
fungsinya, sel Ts dapat dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts
nonspesifik.Tidak ada petanda unik pada sel ini, tetapi penelitian menemukan adanya petanda
molekul . Molekul kadang dapat pula supresif.
Kerja sel T regulator diduga dapat mencegah respons sel Thi. APC yang mempresentasikan
antigen ke sel T naif akan melepas sitokin IL-12 yang merangsang diferensiasi sel T naif
menjadi sel efektor Thl. Sel Thi memproduksi IFN-yyang mengaktifkan makrofag dalam fase
efektor. Sel T regulator dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme yang belum jelas
(kontak yang diperlukan antara sel regulator dan sel T atau APC). Beberapa sel T regulator
melepas sitokin imunosupresif seperti TL- I C ) yang mencegah fungsi APC dan aktivasi
makrofag dan TGF-I) 8/7 mencegah proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.
ANTIGEN DAN ANTIBODI Antigen
Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan berat molekul lebih dari 40.000
dalton dan kompleks polisakarida mikrobial. Glikolipid dan lipoprotein dapat juga ber-sifat
imunogenik, tetapi tidak demikian halnya dengan lipid yang dimurnikan. Asam nukleat dapat
bertindak sebagai imunogen dalam penyakit autoimun tertentu, tetapi tidak dalam keadaan
normal.
Pembagian Antigen
1. Pembagian antigen menurut epitope
Unideterminan, univalen. Hanya satu jenis determinan/epitop pada satu molekul.
Unideterminan, multivalen. Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau lebih
determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.
Multideterminan, univalen. Banyak epitop yang bermacammacam tetapi hanya satu
dari setiap macamnya (kebanyakan protein).
Multideterminan, multivalen. Banyak macam determinan dan banyak dari setiap
macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks
secara kimiawi). (Gambar 7)
2. Pembagian antigen menurut spesifisitas :
Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies
Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu
Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies
Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
3. Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
T dependen, yang memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk dapat
menimbulkan respons antibodi. Kebanyakan antigen protein termasuk dalam
golongan ini
T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk membentuk
antibodi. Kebanyakan antigen golongan ini berupa molekul besar polimerik yang
dipecah di dalam tubuh secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida,ficoll,
dekstran, levan,
4. flagelin polimerik bakteri Pembagian antigen menurut sifat kimiawi
Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya imunogenik. Glikoprotein
yang merupakan bagian permukaan sel banyak mikroorganisme dapat menimbulkan
respons imun terutama pembentukan antibodi. Contoh lain adalah respons imun yang
ditimbulkan golongan darah ABO, sifat antigen dan spesifisitas imunnya berasal dari
polisakarida pada permukaan sel darah merah
Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat protein
pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah sfingolipid
Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila
diikat protein molekul pembawa. DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak
imunogenik. Respons imun terhadap DNA terjadi pada pasien dengan Lupus
Eritematosus Sistemik (LES)
Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan
dan univalen.
Imunogen dan Hapten. Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan yang dapat
merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada
tanpa memperhatikan kemampuannya untuk merangsang produksi antibodi. Secara
fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Bahan kimia ukuran kecil seperti
dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel
B (tidak imunogenik). Untuk memacu respons antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh
molekul besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) dan molekul besar
(disebut carrier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai
imunogen. Contoh hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan Obat lainnya dengan berat
molekul kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B, sedangkan molekul pembawa oleh sel T.
Molekul pembawa sering digabung dengan hapten da-lam usaha memperbaiki imunisasi.
Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem imun dan
merangsang pembentukan antibodi (Gambar 8).
Respons sel B terhadap hapten yang memerlukan protein pembawa (carrier) untuk dapat
dipresentasikan ke sel Th.
Epitop. Epitop atau determinan antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat
kontak fisik dengan reseptor antibodi, meng-induksi pembentukan antibodi; dapat diikat
dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat
memiliki berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi antibodi spesifik yang
berbeda. Paratop ialah bagian dari antibodi yang mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi
terhadap semua golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat
(Gambar 9).
Lokasi epitop dan paratop (bagian dari antibodi) dalam interaksi antara antigen dan TCR dan
reseptor sel B. Epitop adalah bagian dari antigen yang membuat kontak fisik dengan reseptor
Ab = antibodi; Ag = antigen.
Superantigen. Superantigen (Gambar 10) adalah molekul yang sangat poten terhadap mitogen
sel T. Mungkin lebih baik bila disebut supermitogen, oleh karena dapat memacu mitosis sel
CD4• tanpa bantuan APC. Superantigen berikatan dengan berbagai regio dari rantai reseptor
sel T. Ikatan tersebut merupakan sinyal poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan sejumlah
besar populasi sel T. Sampai 20% dari semua sel T dalam darah dapat diaktifkan oleh satu
molekul superantigen. Contoh superantigen adalah enterotoksin dan toksin yang
menimbulkan sindrom syok toksin yang diproduksi stafilokokus aureus. Molekul tersebut
dapat memacu penglepasan sejumlah besar sitokin seperti IL-I dan TNF dari sel T yang
berperan dalam patologi jaringan lokal pada syok anafilaktik oleh stafilokokus.
ANTIBODI
Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma
(proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi ditemukan dalam serum
danjaringan dan mengikat antigen secara spesifik. Bila serum protein dipisahkan secara
elektroforetik. Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin g meskipun ada beberapa yang
ditemukan juga dalam fraksi globulin a dan b.
Semua molekul Ig mempunyai 4 polipeptid dasar yang teridiri atas 2 rantai berat (heavy
chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik, dihubungkan satu dengan Iainnya oleh
ikatan disulfida (Gambar I l).
Unit dasar antibodi yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan yang identik, diikat
menjadi satu oleh ikatan disulfida yang dapat dipisahpisah dalam berbagai fragmen.
A = rantai berat (berat molekul: 50.000-77.000) B = rantai ringan (berat molekul: 25.000)
C = ikatan disulfida
Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230 asam amino serta 5 jenis
rantai berat yang tergantung pada kelima jenis imunoglobulin, yaitu lgM, IgG, IgE, IgA dan
IgD (Gambar 12).
lgG
IgG merupakan komponen utama (terbanyak) imunoglobulin serum, dengan berat molekul
160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/ml merupakan 75% dari semua Ig. IgG
ditemukan juga dalam berbagai cairan Iain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin.
IgG dapat menembus plasenta dan masuk kejanin dan berperan pada imunitas bayi sampai
umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan komplemen, meningkatkan pertahanan badan
melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi. IgG mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh
karena monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat
mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Selanjutnya opsonisasi dibantu
reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG terdiri atas 4 subkelas yaitu Igl. Ig2,
Ig3 dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil.
lgA
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi
saluran napas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, Iudah dan kolostrum Iebih
tinggi sebagai IgA sekretori (slgA). Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat
menetralisir toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat
sasaran. slgA diproduksi lebih dulu dari pada IgA dalam serum dan tidak menembus plasenta.
slgA melindungi tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari
patogen potensial sehingga mencegah adherens dan kolonisasi patogen tersebut dalam sel
pejamu.
IgA juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit dan makrofag memiliki
reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan
menetralisir toksin. IgA juga diduga berperan pada imunitas cacing pita.
lgM
IgM (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig
terbesar. Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen.
IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena
itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini.
Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa oleh karena
IgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel
B nya dirangsang
oleh infeksi intrauterin seperti sifilis kongenital, rubela, toksoplasmosis dan virus
sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan
antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibodi heterofll adalah IgM. IgM
dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan
aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibodi yang dapat mengikat
komplemen dengan kuat dan tidak menembus plasenta.
lgD
IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah (1% dari total imunoglobulin
dalam serum). IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap
antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen nukleus. Selanjutnya IgD
ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi sel B.
lgE
IgE ditemukan dalam serum dalamjumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikat mastosit,
basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk
fraksi FC dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran
napas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing,
skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan
pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin.
Lo 2 : Konsep Dasar dan Penyakit
a) Hipersensitivitas dan autoimun
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena
dapat menimbulkan kerusakanjaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi
dałam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat
terjadi sendiri-sendiri, tetapi di dałam klinik dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi
bersamaan.
Reaksi Tipe I atau Reaksi Cepat
Reaksi Tipe I yang disebutjuga reaksi cepat, reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal
sebagai
reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dałam tubuh. Istilah alergi yang pertama
kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah”
bila terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih.
Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke
sel Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE
akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel mast, basofil dan
eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh
akan diikat IgE (spesifik) pada permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast.
Degranulasi tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin yang didapat
dałam granul-granul sel dan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.
Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma
bronkial, rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di samping histamin, mediator Iain seperti
prostagladin dan leukotrin (SRSA) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan
pada fase Iambat dari reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan
alergen.
Adapun penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe 1 adalah :
- Konjungtivitis
- Asma
- Rinitis
- Anafilaktis shock
Reaksi Tipe Il atau Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena dibentuk antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibodi dengan
antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan
menimbulkan lisis (Gambar 14). Lisis sel dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK sebagai
efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Contoh reaksi tipe II adalah
destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi
yang baru dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun
seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II.
Anemia hemolitik dapat ditimbulkan Oleh Obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid.
Contoh penyakit-penyakit reaksi hipersensitivitas tipe 2 :
- Goodpasture (Perdarahan paru, anemia)
- Myastenia gravis
- Immune Hemolytic (anemia hemolitik)
- Immune thro,bocytopenia purpura
- Thyrotoxicosis(graves’ disease)
Reaksi Tipe Ill atau Reaksi Kompleks Imun
Reaksi tipe Ill yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan kompleks
antigen-antibodi dalamjaringan atau pembuluh darah. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau
IgM. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai
mediator terutama macrophage chemotacticfactor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat
tersebut akan merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Antigen dapat berasal dari infeksi
kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (sporajamur yang menimbulkan
alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut
disertai dengan antigen dalamjumlah yang berlebihan, tetapi tidak disenai dengan respons
antibodi efektif. Pembentukan kompleks imun yang terbetuk dalam pembuluh darah.
Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun. Selanjutnya kompleks
imun mengaktifkan C yang melepas C3a dan C5a dan merangsang basofil dan trombosit
melepas berbagai mediator antara lain histamin yang meningkatkan permeabilitas vaskular.
Sebab-sebab reaksi tipe Ill dan alat tubuh yang sering merupakan sasaran penyakit kompleks
imun.
Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama
dalam hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran
kompleks imun merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan
cepat dimusnahkan dalam hati. Kompleks yang larut terjadi bila antigen ditemukan jauh lebih
banyak dari pada antibodi yang sulit untuk dimusnahkan dan oleh karena itu dapat lebih lama
ada dalam sirkulasi. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu
lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun menembus
dinding pembuluh darah dan mengendap di jaringan. Gangguan fungsi fagosit diduga dapat
merupakan sebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan.
Penyakit dari reaksi hipersensitivitas tipe 3 :
- The protozoans that cause malaria
- The worm that cause schistosomiassis and filariasis - The virus that cause hepatitis B,
demam berdarah - Systemic lupus erythematosus (SLE)
- “Farmer’s Lung” (batuk, sesak nafas)
Reaksi Tipe IV atau Reaksi Hipersensitivitas Lambat
Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpajan dengan antigen. Dewasa ini, reaksi Tipe 4 dibagi dalam Delayed IYpe
Hypersensitivity yang terjadi melalui sel dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui
sel .
Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Pada DTH, sel Th1 yang mengaktifkan makrofag
berperan sebagai sel efektor. Th1 melepas sitokin (IFN-Y) yang mengaktifkan makrofag dan
menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag
yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin
proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-contoh reaksi
DTH adalah sebagai berikut: 1 ). Reaksi tuberkulin. Reaksi tuberkulin adalah reaksi dermal
yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan
antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear (50% adalah limfosit dan sisanya
monosit). Setelah 48 jam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar sekitar pembuluh
darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi
tuberkulin dapat berlanjut.
Autoimun
Kadang-kadang sistem imun gagal membedakan antara antigen-asing dan antigen-diri serta
melakukan serangan yang merusak terhadap satu atau lebih jaringan tubuh sendiri. Suatu
keadaan ketika sistem imun gagal untuk mengenali dan menoleransi antigen-diri yang
berkaitan dengan jaringan tertentu dikenal sebagai penyakit autoimun (auto artinya "sendiri").
Autoimunitas mendasari lebih dari 80 penyakit, yang banyak di antaranya telah dikenal luas.
Contoh-contohnya adalah multipel sklerosis, reumatoid artritis, diabetes melitus tipe 1, dan
Psoriasis. Sekitar 50 juta orang Amerika menderita suatu jenis penyakit autoimun, dengan
insiden sekitar tiga kali lebih tinggi pada wanita daripada pria.
Penyakit autoimun dapat timbul karena berbagai penyebab:
1. Antigen-diri normal mungkin dimodifikasi oleh faktor-faktor seperti obat, bahan
kimia lingkungan, virus, atau mutasi genetik sehingga tidak lagi dikenal dan
ditoleransi oleh sistem imun.
2. ajanan antigen-diri yang dalam keadaan normal tidak dapat diakses kadang- kadang
memicu serangan imun terhadap antigen-antigen tersebuț Karena biasanya tidak
pernah terpajan berbagai antigen-diri yang tersembunyi, sistem imun tidak ”belajar”
toleran terhadapnya. Pemajanan secara tak-disengaja antigen yang secara normal tidak
dapat diakses oleh sistem imun karena kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh
cedera atau penyakit dapat memicu serangan imun cepat terhadap jaringan yang
terkena, seolah-olah protein-diri ini adalah benda asing. Penyakit Hashimoto, yang
melibatkan pembentukan antibodi terhadap tiroglobulin dan rusaknya kemampuan
keîenjar tiroid menghasilkan hormon, adalah salah satu contohnya.
3. Terpajannya sistem imun ke suatu antigen asing yang secara struktural hampir identik
dengan suatu antigen-diri dapat memicu produksi antibodi atau mengaktifkan limfosit
T yang tidak saja berinteraksi dengan antigen asing tersebut, tetapi juga bereaksi-
silang dengan antigen tubuh yang mirip. Salah satu contoh kemiripan molekul ini
adalah bakteri streptokokus penyebab "radang tenggorokan". Bakteri ini memiliki
antigen-antigen yang strukturnya sangat mirip dengan antigen-diri di jaringan yang
melapisi katup jantung sebagian orang. Pada kasus ini, antibodi yang terbentuk
terhadap organisme streptokokus juga dapat berikatan dengan jaringan jantung ini.
Respons peradangan yang terjadi merupakan penyebab lesi katup jantung yang
berkaitan dengan demam reumatik.
4. Studi-studi baru mengisyaratkan adanya kemungkinan Iain sebagai pemicu penyakit
autoimun, yang dapat menjelaskan mengapa banyak penyakit ini lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria. Para ilmuwan berspekulasi bahwa bias jenis kelamin pada
penyakit autoimun agaknya berkaitan dengan perbedaan hormon. Namun, temuan-
temuan terakhir menunjukkan bahwa lebih tingginya insiden penyakit destruksi-diri
ini pada wanita mungkin berkaitan dengan kehamilan. Para peneliti telah mempelajari
bahwa sel janin, yang sering mendapat akses ke aliran darah ibu sewaktu trauma
persalinan dan pelahiran, kadang beredar di tubuh ibu selama beberapa dekade setelah
kehamilan. Sistem imun biasanya membersihkan sel-sel ini dari tubuh ibu setelah
kelahiran, tetapi studi-studi mengenai wanita dengan penyakit autoimun ini lebih
besar kemungkinannya mengalami sel janin yang persisten di dalam darah mereka
dibandingkan dengan wanita sehat. Menetapnya antigen janin yang serupa tetapi tidak
identik tetapi tidak dibersihkan secara dini sebagai benda asing ini mungkin memicu
serangan imun yang samar secara bertahap yang akhirnya berbalik menyerang
antigen-antigen ibu yang mirip. Contohnya, fenomena ini mungkin menjadi pemicu
yang mendasari bagi lupus eritematosus sistemik, serangan autoimun melawan DNA,
suatu kondisi yang memengaruhi banyak organ, biasanya kulit, persendian, dan ginjal.
A. Penyakit autoimun
Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus eritematosus sistemik (SLE), atau hanya lupus (lupus = enam serigala), adalah suatu
penyakit peradangan autoimun kronik yang mengenai banyak sistem tubuh. Lupus ditandai
oleh periode penyakit aktif dan remisi; gejala berkisar dari ringan hingga mengancam nyawa.
Lupus paling sering timbul antara usia 15 dan 44 serta 10-15 kali lebih sering pada wanita
dibanding pria. Penyakit ini juga 2-3 untuk lebih sering pada orang Amerika Afrika,
keturunan Spanyol, Amerika Asia, dan Amerika Asli daripada Amerika Eropa. Meski
penyebabnya belum diketahui, predisposisi genetik terhadap penyakit dan faktor lingkungan
(infeksi, antibiotik, sinar ultraviolet, stress dan hormon) mungkin memicunya. Hormon seks
tampaknya memengaruhi perkembangan SLE. Penyakit sering terjadi pada wanita yang
memperlihatkan kadar androgen yang sangat rendah.
Gejala dan tanda SLE mencakup nyeri sendi, nyeri otot, nyeri dada ketika bernapas dalam,
nyeri kepala, jari tangan atau kaki pucat atau keunguan, disfungsi ginjal, hitung sel darah
rendah, disfungsi sarat dan atau otak, demam ringan, lesu, ulkus oral, penurunan berat badan.
dan pembengkakan tungkai atau di sekitar mata, pembesaran kelenjarlimfe dan limpa,
fotosensitivitas, kerontokan rambut kepala yang drastis, dan kadang erupsi melintasi
jembatan hidung dan pipi yang an disebut "ruam kupu-kupu". Sifat erosif dari sebagian lesi
kuit SLE nal dahulu diduga mirip dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh gigitan
Dua gambaran imunologis pada SLE adalah pengaktifan berlebihan ini sel B dan
pembentukan autoantibodi terhadap DNA (antibodi anti- DNA) yang tidak sesuai dan
komponen-komponen lain nukleus sel misalnya protein histon. Pemicu pengaktifan sel B
diperkirakan adalah berbagai bahan kimia dan obat, antigen virus dan bakteri, dan pajanan ke
sinar matahari. Kompleks autoantibodi abnormal dan "antigen nya dalam darah menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh Kerusakan ginjal terjadi karena kompleks terperangkap
di membran basal kapiler ginjal, menghambat filtrasi darah. Gagal ginjal adalah penyebab
tersering kematian.
Belum ada kesembuhan bagi lupus, tetapi terapi obat dapat mengurangi gejala, meredakan
peradangan, dan mencegah kekambuhan. Obat lupus yang paling sering digunakan adalah
pereda nyeri (obat anti-inflamasi nonsteroid misalnya aspirin dan ibuprofen) obat antimalaria
(hidroksiklorokuin), dan kortikosteroid (prednison dan hidrokortison) .
B. Imunodefisiensi
Istilah imunodefisensi sering kita dengar.Namun, apakah sebenarnya imunodefisiensi itu?
Imunodefisiensi adalah kondisi dimana salah satu atau beberapa komponen respon imun
mengalami penurunan jumlah atau fungsi.
Imunodefisensi sendiri bisa dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
imunodefisiensi primer
Imunodefisiensi primer adalah kondisi imunodefisien yang dibawa sejak lahir atau
disebabkan karena faktor genetik, bukan dipengaruhi lingkungan
imunodefisiensi sekunder.
Imunodefisiensi sekunder adalah kondisi imunodefisien yang disebabkan karena
faktor dari luar tubuh, seperti infeksi virus, malnutrisi, dll.
LO 3 : Adaptasi sel dan jejas sel.
Mekanisme Adaptasi Sel
Agar sel terus menjalankan fungsinya maka sel harus melakukan mekanisme adaptasi
saat mendapatkan cidera sehingga sel dapat bertahan hidup. Ditinjau dari beban kerja
sel, maka adaptasi sel dapat dibagi menjadi:
1.Adaptasi terhadap peningkatan beban kerja sel
2.Adaptasi terhadap penurunan beban kerja sel
2) Bahan kimia
Bahan kimia termasuk obat-obatan menyebabkan perubahanterhadap berbagai fungsi
sel, seperti fungsi penghasil energy, mencerna lipid dan protein sehingga sel menjadi
rusak dan mati.Sebagai contoh ulkus lambung (luka pada lambung) yang sering
terjadi karena sering mengkonsumsi obat analgetik dan kortikosteroid. Hal tersebut
menyebabkan sel mukosa lambung cidera dan rusak dan akhirnya terjadi ulkus (luka).
3) Agen fisik
Agen fisik seperti traumamekanik, suhu rendah dan suhu terlalu tinggi, radiasi dan
trauma listrik. Semua agen fisik tersebut dapat menyebabkan perubahan atau
pergeseran struktur sel yang mengakibatkan terganggunya fungsi sel yang akhirnya
menyebabkan kematian sel.
4) Agen mikrobiologi
Agen mikrobiologi adalah berbagai jenis bakteri, virus, mikoplasma, klamida, jamur
dan protozoa yang mengeluarkan eksotoksin yang dapat merusak dinding sel sehingga
dinding fungsi sel terganggu dan akhirnya menyebabkan kematian sel.
5) Mekanisem imun
Reaksi imun sering menjadi penyebab kerusakan pada sel. Sebagai contoh penyakit
alergi yang sering dialamipasien usia lanjut atau karena reaksi imun lain yang
menimbulkan gatal atau kerusakan sel kulit.
LO 4 : FARMAKOLOGI OBAT SISTEM IMUN
Ada tiga kelompok obat yang digunakan pada sistem imun
1. ANTI HISTAMIN
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses fisiologik dan patologik,
maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Epinefrin merupakan
antagonis fisiologik . pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus
antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak
berbeda. Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan .tripelenamin
dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema, eritem dan · pruritus tetapi tidak dapat
melawari efek . hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di
golongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Sesudah tahun 1972,
ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu burimamid, metiamid dan simetidin yang dapat
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Kedua jenis antihistamin Ini bekerja
secara kompetitif, yaitu dengan menghambat antihistamin dan reseptor histamin H1 ·atau:
H2.
FARMAKODINAMIK
Antagonlsme terhadap histamin. AH1 ·menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus dan bermacam-macam otot polos: selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan
bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan
marmot. Permeabllltas kapller. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin,
dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksl anafllaksls dan alergl. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap
pemberian AH1, karena di sini bukan histamin saja yang berperan tetapi autakoid lain yang
dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya · reaksi hipersensitivitas berbeda-beda,
tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrln. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat
dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan
ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan
lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat
histamin.
Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan.
yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 Dalam dosis terapi; AH1. biasanya ialah
insomnia; gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan inl juga dapat terjadi pada keracunan AH1
Dosls terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya
kantuk,. berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Golongan etanolamin
misalnya difenhidramln paling jelas menjmbulkan kantuk akan tetapi kepekaan paslen
berbeda-beda untuk masing-masing obat.
Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapl; AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada
sistem kardlovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi
miokard berdasarkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, kan sifat.anestetik
lokalnya.
FARMAKOKINETIK.
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30
menit setelah pemberian oral dan nembus sawar darah otak sehingga pada kebanyak-
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi 1 setela pemberian dosis tunggal
umumnya. 4-6 jam, sedangkan beberapa derivat piperizin seperti meklizin dan hidroksizin
memiliki masa kerja. Dalam golongan ini termasuk yang lebih panjang,
EFEK SAMPING.
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius
dan kadang-kadang hilang bila pengobatan Diteruskan.Terdapat variasi yang besar dalam
toleransi terhadap obat antar individu, kadang kadang efek samping ini sangat mengganggu
sehingga terapi perlu dihentikan. Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru
menguntungkan pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek
ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggl sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain
mungkin dapat mengurangi efek sedasi lni. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak. atau
kurang rrienimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 lalah vertigo, tinltus, lelah, penat,
lnikoordinasl, penglihatan kabur, dlplopia, euforia, gelisah, lnsomnia dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering· juga ditemukan lalah nafsu makan berkurang,· mual,
muntah, keluhan pada epigastrlum, konstipasi atau diare; efek samping ini akan berkurang
bila AH1 dlberlkan sewaktu makan. Penggunan astemizol, suatu antlhlstamln non-sedatlf, se!
ama leblh darl 2 minggu dilaporkan dapat menyebabkan bertambahmya nafsu makan dan
berat badan.
Efek samping lain yang mungkln timbul .oleh AH1 ialah mulut kerlng, disuria, palpltasl,
hlpotensl, sakit kepala, rasa berat dan ·lemah pada tangan. lnsidens efek samping karena efek
antlkolinergik tersebut kurang pada paslen yang mendapat antihistamin nonsedatlf.
ANTAGONIS RESEPTOR H2 (AH2)
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burimamid dan metiamid
merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan,, namun karena toksik tidak
digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin,
famotidin, dan nizatidin. ·
FARMAKODINAMIK.
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan
reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau
ranitidin sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan ranitidin
terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi
asam lambung pada keadaan basal, simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi asam
lambung akibat. perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan
ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lamburig.
FARMAKOKINETIK.
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM.
lkatan protein plasmanya hanya 20% .. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan,
sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang · efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutarria terjadi pada
menit ke 60-90. Simetidin masuk ke . dalam SSP dan kadamya dalam cairan spinal 10-20%
dari kadar serum. Sekitar 50-80 % dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi
dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan. secara oral sekitar 50% dan meaingkat pada pasien
penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1, 7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada
orang tua dan pada pasien gagal ginjal.
EFEK SAMPING.
lnsidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan
penghambatan terhadap reseptor H2; beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan
penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia,
mual, diare, -konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten. Simetidin
mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin
tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan
menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang
sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik
secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil
2. Kortikosteroid
Fungsi fisiologik kelenjar adrenal yang penting dikenal sejak tahun 1855 ketika Addison
melihat gejala klinik pasien dengan kerusakan kelenjar hipofisis dancortex adrenal,yang
kemudian disebut sebagai Addison disease. Foster dan Smith (1926) mengamati bahwa
hipofisektomi pada hewan menyebabkan terjadinya atrofi korteks adrenal dan keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian ekstrak hipofisis anterior yang dibuktikan dengan
pertambahan berat, perubahan kimia danmorfologi korteks adrenal. Cushing (1932 )
menemukan gejala hiperkortisisme akibat hipersekresi kortikosteroid atau penggunaan
kortikosteroid berlebihan, gejala tersebut dikenal sebagai sindrom Cushing. Hench (1949)
adalah orang pertama yang berhasil memperlihatkan efek terapi kortison dan ACTH pada
artritis rheumatoid. (Suherman, 2007, 496).
3. Adrenergik
Obat-obat yang merangsang sistem saraf simpatis disebut dengan adrenergic, agonis
adrenergic atau simpatomimetik karena obat-obat ini menyerupai neurotransmitter simpatis
(norepinefrin dan epinefrin). Obat-obat ini bekerja pada satu tempat atau lebih dari reseptor
adrenergic yang terdapat pada sel-sel otot polos, seperti pada jantung, dinding bronkiolus,
saluran GI, kandung kemih dan otot siliaris pada mata. Ada empat reseptor adrenergic: alfa1,
alfa-2, beta-1 dan beta-2, yang menjadi perantara respons utama.
obat-obat simpatomimetik yang merangsang reseptor adrenergic diklasifikasikan ke dalam 3
golongan berdasarkan efeknya pada sel-sel organ: (1) simpatomimetik yang bekerja
langsung, yang langsung merangsang reseptor adrenergic (contoh epinefrin atau
norepinefrin), (2) simpatomimetik yang bekerja tidak langsung, yang merangsang pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf terminal (contoh, amfetamin) dan (3) simpatomimetik yang
bekerja campuran (baik langsung maupun tidak langsung), yang merangsang reseptor
adrenergic dan merangsang pelepasan norepinefrin dari ujung saraf terminal.
Katekolamin adalah struktur kimia dari suatu senyawa (baik endogen maupun sintetik) yang
dapat menghasilkan respon simpatomimetik. Contoh-contoh dari katekolamin endogen
adalah E, NE dan dopamine. Katekolamin sintetik adalah isoproterenol dan dobutamin. Ada
juga nonkatekolamin. contoh fenilefrin, metaproterenol, dan albuterol) yang merangsang
reseptor adrenergic. Kebanyakan nonkatekolamin mempunyai masa kerja ebih panjang
daripada katekolamin endogen atau sintetik. Terminasi kerja katekolamin adalah ambilan
kembali ke dalam ujung saraf dan metabolisme oleh enzim COMT dan MAO
Epinefrin. Banyak obat-obat adrenergic merangsang lebih dari satu tempat reseptor
adrenergic. Salah satu contohnya adalah epinefrin (adrenalin), yang bekerja pada tempat
reseptor adrenergic alfa-1, beta-1 dan beta-2. Respons dari tempat-tempat ini adalah
meningkatkan tekanan darah, dilatasi pupil, meningkatkan denyut jantung (takikardia), dan
bronkodilatasi. Pada syok jenis-jenis tertentu (yaitu: kardiogenik, anafilaktik), epinefrin
adalah obat yang berguna karena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan aliran
udara melalui paru-paru melalui bronkodilatasi. Karena epinefrin mempengaruhi 3 reseptor
adrenergic yang berbeda, maka epinefrin tidak mempunyai selektivitas, dengan kata lain
dianggap nonselektif terhadap satu reseptor. Efek samping terjadi jika dihasilkan lebih
banyak respons daripada yang diinginkan.
LO 5 : Radang akut dan radang kronik serta mekanisme pemulihan
Inflamasi atau radang merupakan proses fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya
organisme maupun gangguan lain. Inflamasi merupakan suatu reaksi dari jaringan hidup guna
melawan berbagai macam rangsangan (Soenarto, 2014).
Fenomena yang terjadi dalam proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular,
meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit menuju jaringan radang (Chen et al,
2018). Tanda-tanda dari inflamasi yaitu kemerahan (rubor), panas (kalor), bengkak (tumor),
nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi (function laesa) (Soenarto, 2014).
Reaksi radang meskipun membantu menghilangkan infeksi dan stimulus yang
membahayakan serta memulai proses penyembuhan jaringan, reaksi radang dapat pula
mengakibatkan kerugian dikarenakan mengakibatkan jejas pada jaringan normal misalnya
pada inflamasi dengan reaksi berlebihan (infeksi berat), berkepanjangan, autoimun, atau
kelainan alergi (Zhang et al, 2019).
Jenis-jenis Inflamasi
Jenis inflamasi dibedakan menjadi dua macam:
1. Inflamasi akut
Pada inflamasi akut proses berlangsung singkat beberapa menit hingga beberapa hari, dengan
gambaran utama eksudasi cairan dan protein plasma serta emigrasi sel leukosit terutama
neutrofil. Rubor, kalor, dan tumor pada inflamasi akut terjadi karena peningkatan aliran darah
dan edema. Inflamasi akut biasanya terjadi tiba-tiba, ditandai oleh tanda-tanda klasik, dimana
proses eksudatif dan vaskularnya dominan (Mitchell et al, 2015).
(A) Pada pembuluh darah yang normal. (B) Manifestasi utama pada radang akut. (1)
Dilatasi pembuluh darah menyebabkan eritema dan hangat, (2) ekstravasasi cairan
plasma dan protein (edema), dan (3) emigrasi dan akumulasi leukosit di tempat jejas.
2. Inflamasi Kronik
Inflamasi kronik terjadi bila penyembuhan pada radang akut tidak sempurna, bila
penyebab jejas menetap atau bila penyebab ringan dan timbul berulang-ulang. Dapat
pula diakibatkan oleh reaksi immunologik. Radang berlangsung lama (berminggu-
minggu, berbulan- bulan). Radang kronik ditandai dengan lebih banyak ditemukan sel
limfosit, sel plasma, makrofag, dan biasanya disertai pula dengan pembentukan
jaringan granulasi yang menghasilkan fibrosis (Mitchell et al, 2015).
Aktivitas selular dimulai setelah peningkatan aliran darah ke bagian yang mengalami
cedera. Leukosit dan trombosit tertarik ke daerah tersebut karena bahan kimia yang
dilepaskan oleh sel cedera, sel mast, melalui pengaktifan komplemen dan produksi
sitokin setelah antibodi berikatan dengan antigen. Trombosit yang masuk ke daerah
cedera merangsang pembekuan untuk mengisolasi infeksi dan mengontrol perdarahan.
Penarikan leukosit yang meliputi neutrofil dan monosit ke daerah cedera disebut
kemotaksis. Sel-sel yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan berperan melakukan
penyembuhan (Carrillo et al, 2017). Urutan kejadian ekstravasasi leukosit dari lumen
vaskular ke ekstravaskular: (1) marginasi dan rolling, (2) adhesi dan transmigrasi
antar sel endotel, dan (3) migrasi pada jaringan intertitial terhadap suatu rangsang
kemotaktik. Mediator kimiawi kemoatraktan dan sitokin tertentu memengaruhi proses
ini dengan mengatur ekspresi permukaan atau aviditas molekul adhesi (Mitchell et al,
2015).
Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh terhadap selaput membran
sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim lisosomal terutama
metabolit asam arakidonat. Sebagian metabolit asam arakidonat dirubah oleh enzim
COX menjadi prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin. Sebagian lain hasil
metabolit asam arakidonat diubah oleh enzim lipoxygenase menjadi leukotrien.
Leukotrien merupakan produk akhir dari metabolisme asam arakidonat pada jalur
lipoxygenase (Robert et al, 2015).
Saat ini dikenal dua isoenzim COX (cyclooxygenase), yaitu COX-1 dan COX-2.
Enzim COX-1 berfungsi sebagai enzim konstitutif yaitu mengubah PGH2 menjadi
berbagai jenis prostaglandin (PGE1, PGE2) dan tromboksan yang dibutuhkan dalam
fungsi homeostatis. Enzim COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (makrofag dan
lainnya), sel endotel pembuluh darah, dan fibroblast sinovial sangat mudah diinduksi
oleh berbagai mekanisme sehingga akan mengubah PGH2 menjadi PGE2.
Prostaglandin E2 (PGE2) akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskular, sehingga aliran darah akan meningkat dan pori-pori kapiler
juga membesar. Pori-pori kapiler yang membesar akan menyebabkan protein plasma
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan yang meradang. Akumulasi
protein yang bocor pada jaringan interstitial akan meningkatkan tekanan osmotik
koloid dalam jaringan interstitial dan akan meningkatkan tekanan darah kapiler.
Peningkatan tekanan osmotik koloid dan tekanan kapiler cenderung akan
memindahkan cairan keluar kapiler dan megurangi reabsorbsi cairan di kapiler.
Akhirnya terjadi penumpukan cairan di jaringan interstitial yang akan menyebabkan
edema lokal (Mitchell et al, 2015).