Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jagung Prolifik
Salah satu upaya peningkatan produksi jagung adalah memaksimalkan potensi genetik
jagung yang salah satu diantaranya adalah jagung prolifik atau tanaman jagung yang
menghasilkan lebih dari satu tongkol dalam satu tanaman. Sutoro (2012) mengemukakan
karakteristik varietas jagung yang dapat digunakan untuk memproduksi jagung semi
diantaranya yaitu umur panen pendek, hasil panen tinggi, jumlah tongkol tiap tanaman
banyak (prolifik), dan tongkol berkualitas baik dalam hal rasa, ukuran, dan warnanya.
Menurut Sutoro (2015), varietas jagung yang banyak digunakan sebagai benih jagung
babycorn di Indonesia antara lain adalah jagung hibrida varietas C-1 dan C-2, Pioneer-1, 2,7,
dan 8, CPI-1, Bisi-2 dan Bisi-3, IPB-4, serta Semar-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9.
Hasil penelitian Vargas et al. (2004) menunjukkan bahwa jagung hibrida yang prolifik
cenderung memberikan hasil lebih tinggi dibanding jagung non prolifik. Produksi tanaman
jagung prolifik yang tinggi ditunjang dengan bobot dan jumlah biji yang besar per tanaman
terutama yang disumbangkan oleh tongkol sekundernya (tongkol kedua). Saat ini, varietas
kormersil jagung prolifik di Indonesia hanya varietas Bisi 2, namun tongkolnya kecil dan
potensi prolifiknya sudah menurun karena degradasi secara genetik sehingga hanya mampu
mencapai 30% pada kondisi lingkungan optimal.
Tanaman jagung prolifik yang ideal sebaiknya memiliki tongkol dua yang terletak di
nodus yang berbeda dan memiliki ukuran tongkol yang hampir samaantara tongkol primer
dan sekunder jika kondisi lahan sesuai kebutuhan tanaman. Umumnya genotipe jagung yang
memiliki potensi genetik prolifik memiliki ukuran tongkol yang tidak seragam atau tongkol
sekundernya tidak menghasilkan biji (baren), sehingga perlu perbaikan dan pemantapan.
Menurut Carena et al. (2018), dalam rangka perbaikan dan pemantapan galur-galur jagung
yang prolifik sebaiknya dilakukan dengan seleksi secara langsung baik pada kepadatan
populasi tanaman yang padat maupun optimum.
2.2 Sapi Potong
Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil
daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi pedaging
adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum, laju
pertumbuhan cepat, cepat mencapai dewasa, efisiensi pakannya tinggi, dan mudah dipasarkan
(Santosa, 1995). Menurut Abidin (2006) sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara
untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas
daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara
intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk
dipotong.
Sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem
pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif semua aktivitasnya
dilakukan di padang penggembalaan yang sama. Sistem semi intensif adalah memelihara sapi
untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau
gabungan dari sistem ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah pemeliharaan
sapi-sapi dengan cara dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak
(Susilorini, 2008). Kriteria pemilihan sapi potong yang baik adalah sapi dengan jenis kelamin
jantan atau jantan kastrasi, umur sebaiknya 1,5--2,5 tahun atau giginya sudah poel satu, mata
bersinar, kulit lentur, sehat, nafsu makan baik, bentuk badan persegi panjang, dada lebar dan
dalam, temperamen tenang, dari bangsa yang mudah beradaptasi dan berasal dari keturunan
genetik yang baik (Ngadiyono, 2007).
2.3 Silase
Silase adalah pakan yang berbahan baku hijauan, hasil samping pertanian atau bijian
berkadar air tertentu yang telah diawetkan dengan cara disimpan dalam tempat kedap udara
selama kurang lebih tiga minggu. Penyimpanan pada kondisi kedap udara tersebut
menyebabkan terjadinya fermentasi pada bahan silase. Tempat penyimpanannya disebut silo.
Silo bisa berbentuk horizontal ataupun vertikal. Silo yang digunakan pada peternakan skala
besar adalah silo yang permanen, bisa berbahan logam berbentuk silinder  ataupun lubang
dalam tanah (kolam beton). Silo juga bisa dibuat dari drum atau bahkan dari plastik.
Prinsipnya, silo memungkinkan untuk memberikan kondisi anaerob pada bahan agar terjadi
proses fermentasi. Bahan untuk pembuatan silase bisa berupa hijauan atau bagian-bagian lain
dari tumbuhan yang disukai ternak ruminansia, seperti rumput, legume, biji bijian, tongkol
jagung, pucuk tebu, batang nanas dan lain-lain. Kadar air bahan yang optimal  untuk dibuat
silase adalah 65-75% . Kadar air tinggi menyebabkan pembusukan dan kadar air terlalu
rendah sering menyebabkan terbentuknya jamur. Kadar air yang rendah juga meningkatkan
suhu silo dan meningkatkan resiko kebakaran (Heinritz, 2011).
  Teknologi silase adalah suatu proses fermentasi mikroba merubah pakan menjadi
meningkat kandungan nutrisinya (protein dan energi) dan disukai ternak karena rasanya
relatif manis. Silase merupakan proses mempertahankan kesegaran bahan pakan dengan
kandungan bahan kering 30 – 35% dan proses ensilase ini biasanya dalam silo atau dalam
lobang tanah, atau wadah lain yang prinsifnya harus pada kondisi anaerob (hampa udara),
agar mikroba anaerob dapat melakukan reaksi fermentasi. Keberhasilan pembuatan silase
berarti memaksimalkan kandungan nutrien yang dapat diawetkan. Selain bahan kering,
kandunganm gula bahan juga merupakan faktor penting bagi perkembangan bakteri
pembentuk asam laktat selama proses fermentasi (Khan et al., 2004).
Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi hijauan
dengan kandungan uap air yang tinggi. Pembuatan silase tidak tergantung kepada musim jika
dibandingkan dengan pembuatan hay yang tergantung pada musim (Sapienza dan Bolsen,
1993).
2.4 Integrasi Tanaman Dan Ternak
Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering di sebut dengan pertanian
terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah
menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering
disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan
limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman
dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki
kondisi kesuburan tanah.
Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan
saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan
meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya. Sebagai contoh sederhana pertanian terpadu
adalah apabila dalam suatu kawasan ditanam jagung, maka ketika jagung tersebut panen,
hasil sisa tanaman merupakan limbah yang harus dibuang oleh petani. Tidak demikian halnya
apabila di kawasaan tersebut tersedia ternak ruminansia, limbah tersebut akan menjadi
makanan bagi hewan ruminansia tersebut. Hubungan timbal balik akan terjadi ketika ternak
mengeluarkan kotoran yang digunakan untuk pupuk bagi tanaman yang ditanam di kawasan
tersebut.
Konsep Sistem Pertanian terpadu adalah konsep pertanian yang dapat dikembangkan
untuk lahan pertanian terbatas maupun lahan luas. Pada lahan terbatas atau lahan sempit yang
dimiliki oleh petani umumnya konsep ini menjadi sangat tepat dikembangkan dengan pola
intensifikasi lahan. Lahan sempit akan memberikan produksi maksimal tanpa ada limbah
yang terbuang percuma. Sedangkan untuk lahan lebih luas konsep ini akan menjadi suatu
solusi mengembangkan pertanian agribisnis yang lebih menguntungkan. Melalui sistem yang
terintegrasi ini akan bermanfaat untuk efisiensi penggunaan lahan, optimalisasi produksi,
pemanfaatan limbah, subsidi silang untuk antisipasi fluktuasi harga pasar dan kesinambungan
produksi.
Reijntjes (1999) mengatakan, hewan atau ternak bisa beragam fungsi dalam sistem
usaha tani lahan sempit, hewan memberikan berbagai produk, seperti daging, susu, telur, wol,
dan kulit. Selain itu, hewan juga memiliki fungsi sosiokultural, misalnya sebagai mas kawin,
untuk pesta upacara dan sebagai hadiah atau pinjaman yang memperkuat ikatan sosial. Dalam
kondisi input luar rendah, integrasi ternak ke dalam sistem pertanian penting,
khususnya untuk :
1. Meningkatkan jaminan subsistem dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk
menghasilkan pangan bagi keluarga petani.
2. Memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk
kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan penarik.
2.5 Integrasi Tanaman Dan Ikan
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Budidaya Tanaman Jagung
 Teknis Penanaman Jagung
keberhasilan budidaya jagung juga ditentukan oleh teknis, budidaya, hingga proses
panen. kemudian keberadaan mikroba didalam tanahnya juga menjadi salah satu factor
keberhasilan menanam jagung. Untuk lebih jelasnya berikut uraian teknik budidaya tanaman
jagung yang baik dan benar agar menghasilkan produksi jagung yang tinggi.
 Pemilihan Benih Jagung
Pilihlah benih jagung hibrida yang telah bersertifikat. Pada setiap provinsi di
Indonesia telah tersedia benih jagung jenis unggul ini. Biasanya benih jagung telah diberi
perlakuan seed treatment, yaitu dengan melapisi fungisida pada benih yang berfungsi agar
tanaman terlindung dari berbagai serangan penyakit dan mempermudah syarat tumbuh
tanaman jagung.
 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
Pada umumnya tanaman jagung dapat tumbuh di berbagai kondisi lingkungan.
Namun untuk hasil yang maksimum, ada beberapa syarat tumbuh tanaman jagung. Berikut
adalah syarat tumbuh tanaman jagung:
 Iklim
1. Beriklim subtropis atau tropis dan didaerah terletak antara 0-500 LU hingga 0-400
LS.
2. Curah hujan ideal adalah 85-200 mm/bulan dan harus merata.
3. Suhu optimimum yang baik adalah 21-34 C
4. Intensitas cahaya matahari langsung, minimal 8 jam per hari
5. Tanaman jagung tidak ternaungi, agar pertumbuhan tidak terhambat atau merusak biji
bahkan tidak membentuk buah.
 Media Tanah
1. Memiliki tekstur tanah yang gembur (lakukan proses pembajakan agar tekstur tanah
gembur).
2. Mengandung cukup kandungan unsur hara.
3. pH tanah 5,5-7,5 (apabila pH tanah asam atau < 5,5 sebaiknya taburkan dolomit/kapur
pertanian).
4. Jenis tanah yang dapat ditoleran ditanami jagung adalah andosol, latosol dengan
syarat pH harus memadai untuk ditanami.
5. Memiliki ketersediaan air yang cukup.
6. Kemiringan tanah kurang dari 8%.
 Ketinggian
1. Memiliki Ketinggian antara 1000-1800 m dpl dengan ketinggian optimum antara 50-
600 m dpl (diatas permukaan laut).
 Waktu dan Cara Menanam Jagung Yang Benar
Pada kondisi musim yang normal, waktu yang tepat saat menanam jagung adalah
dibulan Mei-Juli. Karena pada saat itu intensitas curah hujan telah berkurang bahkan telah
selesai, sehingga pada bulan-bulan tersebut sangat cocok untuk melakukan budidaya
jagung.  Taburi lahan dengan pupuk kandang/kompos/bokashi sebanyak 10-20 ton per hektar.
Kemudian semprot dengan GDM Black Bos sebanyak 5 kg per ha. Hal ini bertujuan untuk
mempercepat proses remediasi tanah dari residu pupuk kimia, pestisida kimia dan sisa-sisa
bahan organik (jerami, daun-daunan, dll) agar tanah menjadi gembur dan subur. Bakteri
(mikroba) yang terkandung dalam Black Bos mampu menghasilkan enzim dan antibiotik
yang berfungsi untuk menekan perkembangan penyakit tular tanah (busuk akar, busuk
batang, bulai, dll).
Setelah itu lakukan proses olah tanah saat 5 hari sebelum tanam, dengan cara
dibajak/traktor dengan kedalaman 20-30 cm, yang bertujuan untuk membalik dan membuat
struktur tanah agar menjadi gembur, menambah oksigen dalam tanah, memudahkan
perakaran tanaman masuk ke dalam tanah dan menyerap unsur hara serta memperbaiki aerasi
tanah.
 Jarak Tanam Jagung
Pada kondisi tanah yang berjenis tanah becek, sebaiknya dibuatkan
bedengan/guludhan agar benih tidak tergenang air dan tidak busuk. Sehingga benih akan
tumbuh cepat dan maksimal. Lebar bedengan adalah 100 cm  dan jarak antar bedengan
adalah 50 cm. Sedangkan jarak didalam barisnya adalah 20-25 cm, sehingga jarak tanam
jagung, baik menggunakan bedengan ataupun yang tidak mengunakan bedengan adalah 75cm
x 25cm atau 75cm x 20cm.
Setelah itu buatlah lubang tanam dengan cara tugal sedalam 5-10 cm kemudian
masukkan benih jagung dan tutup dengan bokashi. Setelah itu, semprot dengan POC GDM
pada bekas lubang tanam. Ini berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dan
melindungi tanaman dari serangan penyakit.

 Pemupukan Tanaman Jagung


Setelah tanaman jagung tumbuh ,lakukan penyemprotan dengan pupuk organik cair
GDM spesialis tanaman pangan sayur setiap 10 hari sekali dengan dosis 2 gelas air mineral
pada tanaman dan daerah perakaran untuk memaksimalkan pertumbuhan
tanaman. Sedangkan pupuk kimia diberikan pada saat tanaman jagung berumur 10, 21 dan 50
HST dengan memberikan 400 Kg pupuk NPK dan 200-300 pupuk kandungan Nitrogen.
 Pemeliharaan Tanaman Jagung
Pemeliharaan tanaman jagung dapat dilakukan dalam berbagai tahap, yaitu:
1. Penjarangan dan Penyulaman
Proses ini dilakukan pada saat tanam ada dua atau lebih benih jagung yang
tertanam, sehingga tumbuh dua atau lebih tanaman jagung. Oleh sebab itu, harus
dilakukan penjarangan.Proses penyulaman tanaman jagung dilakukan apabila ada
tanaman yang mati dengan mengantikan tanaman baru.
2. Penyiangan
Melakukan proses pembersihan tanaman yang pengganggu di sekitar tanaman
jagung, seperti rumput, krokot, keladi dan tanaman pengganggu lainnya.
3. Pembumbunan
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara bersamaan saat proses penyiangan
dengan tujuan memperkuat akar tanaman serta membantu mempercepat pertumbuhan.
 Panen Dan Pasca Panen
Tanaman jagung siap panen terlihat dari daun klobotnya yang mulai
mengering dan bewarna kecoklatan. Umumnya tanaman jagung bisa dipanen sekitar
100 HST.
 Ciri-Ciri Tanaman Jagung Siap Panen :
1. Tanaman jagung dapat di panen saat kondisi masak fisiologis berumur 100-110 HST
pada dataran rendah dan tergantung dari jenis varietasnya.
2. Kulit klobotnya telah berwarna coklat.
3. Rambut jagung pada tongkol telah kering dan berwarna hitam.
4. Jumlah populasi untuk klobot kering mencapai 90%.
5. Tekstur keras pada biji jagung dengan ditandai apabila ditekan kuku tidak
hancur/keras.
6. Terdapat titik hitam (black layer) pada bagian ujung biji jagung.

3.2 Proses Pembuatan Silase


3.3 Model Sistem Integrasi Jagung dan Sapi
DAFTAR PUSTAKA

Santosa, U. 1995. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Cetakan I. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai