Anda di halaman 1dari 23

AL-QURAN DAN AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER

ILMU PENGETAHUAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas ilmu ilmiah,sosial dan budaya
dasar

Kelompok : II (Dua)
Nama/NPM : Lentera Anugrah Saputra Tarigan, Umi
Kalsum, Zariati Hasanah Damanik, Ayu
Wulandari,

Prodi/Semester : PAI/lllREG1BC2

Dosen Pembimbing : Hermawan Syahputra Lubis, MA

FAKULTAS AGAMA ISLAM DAN HUMANIORA PRODI


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN PANCA BUDI
MEDAN
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 4

A. Pengertian Sunnah................................................................................ 4
B. Pengertian Hadis................................................................................... 7
C. Bentuk-bentik Hadis............................................................................. 10
D. Kedudukan Hadis terhadap Alquran..................................................... 13
E. Fungsi Hadis terhadap Alquran............................................................ 14
F. Perbandingan hadis dengan alquran .................................................... 20

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 21

A. Kesimpulan............................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

i
BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur’an dan hadis ibarat mata air yang tidak pernah kering. Keduanya sama sama
menjadi sumber pelepas dahaga ketika ummat mengalami kekeringan spritualitas dan
kerohaniannya. Secara teologis-normatif, Al-Quran dan hadis akan senantiasa menjadi
rujukan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupannya di dunia nyata.

Sebagai sumber atau rujukan bagi ummat, Al-Quran dan hadis mengandung beragam
aspek mulai dari aspek keyakinan, ibadah, pidana sampai dengan aspek siyasah. Hal itulah
yang mendasari pernyataan banyak ulama bahwa Islam adalah agama yang mengatur seluruh
kehidupan manusia secara komperensif, integral, dan holistik.

Kandungan Al-quran dan hadis yang begitu luas memberi ruang tafsir yang luas pula.
Karena memang keduanya ibarat sebuah permata yang seisinya memancarkan sinar sehingga
setiap orang atau kelompok selalu mendasarkan argumen dan pandangannya kepada Al-quran
dan hadis.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnah
Secara etimologis, kata “sunnah” beberapa arti, antara lain tariqah yang berarti jalan,
sirah yang berarti tingkah laku atau kebiasaan yang baik maupun yang jelek, dan

‫(الس;;يرةكنتوقيحة‬jelek hidup yang baik ataupun yang buruk ). Dalam kitab At-
Ta’rifat,dinyatakan bahwa (sunnah adalah jalan yang di ridai dan (berarti pula) kebiasaan)1
Pengertian sunnah secara bahasa ini sejalan dengan hadis Nabi riwayat Jarir
ibn’abdillah bahwa rasulullah Saw. Bersabda yang artinya “barang siapa menjalani (memberi
(contoh) yang baik, kemudian orang-orang yang sesudahnya mengamalkannya, maka
dicatatkan baginya pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengamalkannya, dan tidak
dikurangi sedikitpun dari pahala mereka itu. Dan barang siapa yang menjalani (memberi
contoh) dalam Islam dengan jalan (contoh) yang buruk, kemudian orang-orang yang
sesudahnya mengamalkannya, kemudian orang-orang yang sesudahnya mengamalkannya,
maka ditentukan baginya dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengamalkannya, dan
tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.
Secara terminologis, para ulama baik ulama hadis, ulama usul fiqih, maupun ulama
fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan sunnah. Hal ini di sebabkan perbedaan persepsi
dari sudut pandang mereka terhadap Nabi. Ulama hadis memandang Nabi sebagai imam,
pemberi petunjuk, pemberi nasihat, sebagai suri teladan (Uswatun Hasanah)dan panutan
(qudwah). Bagi mereka segala yang berhubungan dengan Nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, ciri fisik, budi pekerti, baik yang terjadi sebelum kenabian atau
sesudahnya, mengandung hukum syara’atau tidak, dinamakan sunnah. Ulama ushul fiqih
memandang Nabi sebagai penetap hukum Islam (asy-syari’), dan peletak kaidah-kaidah bagi
para muztahid dalam menetapkan hukum Islam. Oleh sebab itu, tidak seua yang berhubungan
dengan Rasul dikatakan sunnah. Sementara ulama fiqih memandang dari sisi perbuatannya
yang bermuatan hukum syara’ . bagi mereka sunnah terkait dengan perbuatan mukallaf selain
wajib dan fardhu. Jelasnya, sunnah diartikan sebagai hukum suatu perbuatan dimana
pelakunya mendapat pahala, dan orang yang meninggalkannya tidak mendapat dosa.
Berangkat dari perbedaan sudut pandang diatas ulama adis mendefinisikan sunnah
dengan

1
Asy-Srarif Ibn Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat (Jedah: Al-Haramain,Tth.) hal.22

3
‫كل م ا ثر عن ا لنبي صل ا هلل عليه و سلم من قو ل ا و فعل ا ؤ صفج خلكلت ا و خلقيح ا‬
‫ؤ سير ت سؤ ا ء ا ك ن ز لك قبل ا لبعثح ف غ ر حر ا ء ا م بعد ح‬
Artinya segala yang bersumber dari Nabi Saw berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, sefat fisik dan budi pekerti, perjalanan hidup baik sebelum beliau di angkat
menjadi Rasul seperti bertahanus di gua hira atau pun sesudahnya.
Mereka mendefinisikan sunna sebagaimanadi atas karena mereka memandang diri
Rasul sebagai ushwatun hasanah (contoh teladan yang baik). Mereka menerima secara utuh
segala yang diberitakan tentang diri Rasululullah tanpa membedakan apakah yang diberitakan
itu berhubungan dengan hukum syara’ atau tidak. Mereka juga tidak memisahkan antara
sebelum di utus menjadi Rasul atau sesudanya. Segala aspek kehidupan Nabi semenjak lahir
hingga wafat, setela menjadi Nabi ataupun sebelumnya, berhubungan dengan hukum
syara’atau tidak, mereka namakan sunnah. Hal ini sejalan dengan Alquran surat al-Ahzab
ayat 21:.2

َ ‫ُس َو ةٌ َح َس نَ ةٌ لِ َم ْن َك‬
‫ان َي ْر ُج و اللَّ هَ َو ال َْي ْو َم ا آْل ِخ َر‬ ْ ‫ول اللَّ ِه أ‬
ِ ‫ان لَ ُك ْم يِف ر س‬
ُ َ َ ‫لَ َق ْد َك‬

‫َو ذَ َك َر اللَّ هَ َك ثِ ًري ا‬


Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik. Bagi ulama
usul fiqih, sunnah difahami sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad
Saw. Yang berhubungan dengan hukum Syar’a baik berupa perkataan, perbuatan maupun
persetujuan (ketetapan). Berdasarkan pemahaman seperti ini, mereka mendefinisikan dengan:
‫كل ما صدارعن الني صل هللا عليه ؤسلم غير القران الكر يم من قؤ ل ا و فعل ا ؤ تقر ير مم‬
‫يصلح ان يكؤ ن دليل لحكم ثر عي‬
Segala yang berasal dari Nabi Saw. Selain Alquran al-karim baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun persetujuan yang pantas menjadi dalil hukum syara’.
Ulama usul fiqih membatasi pengertian sunnah hanya pada segala sesuatu yang
berasal dari Nabi baik perkataan, perbuatan maupun persetujuannya yang berhubungan
dengan hukum syara’, tidak dinamakan sunna. Demikian pula segala yang bersumber dari
Nabi Saw. Sebelum beliau di angkat menjadi Rasul.

2
Muslim Ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid.I (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992), hal.205

4
Pemahaman ulamausul fiqih seperti di atas didasarkan pada argumentasi rasional
bahwa Rasulullah sebagai pembawa dan pengatur undang-undang serta menciptakan
kerangka dasar bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum Islam. Hal-hal yang tidak
mengandung misi seperti ini tidak dinamakan sunnah, karena tidak dapat dijadikan sebagai
sumber atau dasar hukum.
Pandangan yang menyatakan bahwa Nabi sebagai syari’(pembuat hukum) adalah
sejalan dengan firman Allah surat al-Hasyr ayat: 7 yang memerintahkan umat Islam agar
menerima segala yang di larangnya.
‫ؤ ما ا تا كم ا لر سؤ ل فحزؤ ه ؤ ما نها كم عنه فا نتجؤ ا‬
Apa saja yang di bawa Rasul padamu, maka terimalah dan apa yang di larangnya bagimu,
maka tinggalkanlah.
Berpedoman kepada definisi yang dikemukakan ulama usul fiqih di atas, maka sunnah
diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu:
1. Sunnah qauliyah
Sunnah qauliyah maksudnya setiap perkataan Rasulullah yang dapat dijadikan sebagai
dalil dalam menetapkan hukum syara’contonya adala perkataan Rasulullah tentang sucinya
air laut dan bangkainya halal.
‫عن ا ب حر ير ت ر ضي ا هلل عنه ق ل ق ل ر سؤ ل ا هلل صل ا هلل عليه ؤ سلم ف ا لبحر‬
‫حؤ ا لطحؤ ر م ء ح ؤ ا احل ميتته (اجر خه ا ل ر بعه ؤ ا بن ا ب شيبه ؤ صححح ا بن حز ميه ؤ‬
) ‫ا لتر مز ي‬3
Dari abu hurairah ra. Ia berkata rasulullah Saw. Bersabda tentang laut bahwa airnya
suci dan bangkainya halal. (ditakhriz oleh ulama yang empat dan ibn abi sayibah serta di
sarankan oleh ibn hujaimah khuzaimah dan at_tirmizi).
2. Sunnah fi’iliyah
Sunah fi’iliyahmaksudnya adalah setiap perbuatan Rasulullah Saw. Yang dapat di
jadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara’.Salah satu contohnya adalah sabda
Nabi:
‫صلؤ ا كم ر ا يتمؤ ني ا صلي‬4
Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat.

3
Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz.I (Bandung:Dar Al-Fikr, Tth), hal.111
4
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, Juz.II(Beirut:Dar Al-Fikr, Tth) hal.111

5
3. Sunnah taqririyah
Sunnah taqririyahadalah setiap pengakuan atau persetujuan rasulullah Saw terhadap
perkataan atau perbuatan sahabat. Persetujuannya tersebut bisa dalam bentuk diam nya beliau
tanpa mengingkarinya, atau dengan cara persetujunnya dan menyatakan kebaikan perkataan
atau perbuatan sahabat. Contohnya adalah diamnya Rasul terhadap pelaksanaan salat ‘ashar
sekalipun belum sampai di Bani Quraizah. Sementara yang lain, tidak melaksanakannya
sebelum sampai di tempat tersebut. Ketika perbedaan pendapat sahabat ini di sampaikan
kepada Rasul, beliau diam saja tanpa membenarkan atau menyalahkan salah satunya. Hal ini
terjadi karena perbedan mereka dalam memahami hadis Rasul:
‫الا يصاين ا حد ا لحصر اال فئ بنئ قر يظه‬
Janganlah seorangpun melaksanakan salat Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizah.
Ulama fiqih mendefinisikan sunnah dengan ;
‫كل ما ثبت عن ا لنبي صائ هللا عليه و سلم و لم يكن من با ب ا لفر ض ؤ ال ا لؤ ا جب‬
Segala yang ditetapkan dari Nabi Saw. Tetapi tidak termasuk fardhu dan tidak pula wajib.
Pengertian sunnah menurut ulama fiqih ini kemudian diartikan sebagai suatu
perbuatan yang pelakunya mendapatkan pahala dan orang yang meninggalkannya tidak
mendapat dosa. Berbeda dengan wajib dan fardhudimana pelakunya akan mendapat pahala,
dan yang meninggalkannya akan mendapat dosa.
B. Pengertian Hadis
Di samping sunnah, kata yang sering digunakan untuk menyebut sesuatu yang berasal
dari Nabi adalah hadis. Kata ini lebih sering digunakan untuk menyebut sesuatu yang berasal
dari Nabi adala hadis. Kata ini lebih sering digunakan baik di kalangan ulama maupun umat
Islam pada umumnya dari pada kata sunna. Kata ini tampaknya sudah sangat populer bakan
sudah masuk dalam kosa kata bahasa indonesia. Secara bahasa, kata Hadis (al-hadis)berarti
baru yaitu
‫( الجد يد من ا ال ثيا ء‬sesuatu yang baru). Bentuk jamak hadis dengan makna ini adalah
hidas, hudasa,dan hudus, dan lawan katanya qadim(sesuatu yang lama). Di samping berarti

baru, al-hadisjuga mengandung arti dekat ( ‫يب‬ ‫)القر‬ yaitu sesuatu yang dekat, yang belum

lama terjadi. Juga berarti (‫ )الخبر‬yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari

6
seseorang pada orang lain.5 Disamping arti di atas, dalam alquran kata hadis juga berarti
alquran itu sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-kafi ayat 6:
‫فلعلك با جع نفسك عل ا ش ر حم ا ن لم يؤ منؤ ا بحلد ا ا لحد يث ا ثفا‬
maka (apakah) barangkali kamu akan membunu dirimu karena bersedih hati sesudah
mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (alquran)
Dalam alquran, kata hadis yang dalam bahasa arabnya dikenl dengan sebutan al-hadis di
temukan sebanyak 23 kali dalam bentuk mufradatau tunggal , dan lima kali dalam bentuk
jamak.6 Ayat-ayat alquran ini pengertiannya meliputi konteks, komunikasi religius, cerita
duniawi, sejarah atau kisa masa lalu, percakapan aktual dan lain-lain.
Sebagai contoh dapat dilihat beberapa ayat berikut:
a. Dalam konteks komunikasi religius sebagaimana di jumpai dalam surat az-zumar ayat 23:
‫با‬ ‫هللا نز ل ا حسن ا لحد يث كتا‬
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Alquran...
b. Dalam konteks cerita duniawi sebagaimana di jumpai dalam surat al-An’am ayat 68:
‫ؤاذا رايت الذ يت خيؤ ضؤ ن في ايتنا فا عر ض عنهم حتئ حخؤ ضؤ ا في حد يث غير‬
‫ه‬
Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokan ayat-ayat Kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan yang lain.
c. Dalam konteks sejarah atau kisah masa lalu sebagaimana di jumpai dalam surat Taha ayat 9:
‫ؤهل ا تك حد يث مؤ سئ‬
Dan apakah telah sampai kepadamu kisah musa ?
d. Dalam konteks cerita atau percakapan aktual sebagaimana dijumpai dalam surat at-Tahrim
ayat 3:
‫ؤاذا اسر النبي الئ بحد ا زؤاجه حد يثا‬
Dan ingatlah ketika Nabi Saw. Membicarakan suatu rahasia kepada (Hafsah) salah
seorang dari istri-istri beliau...

Adapun pengertian hadis secaraterminologi adalah:


‫ما اضيفاائ ا لنبي صائ هللا عسلم قؤ ال ا ؤ فحال اؤ تقر يرا ؤ صفه‬7

Idri, Studi Hadis (Jakarta:Kencana, 2010), hal.6


5

6
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) , hal.32
7
Muhammad Mahfuz Ibn Abdillah At-Tirmizi, Manhaj Zawi An-Nazar (Surabaya: Ahmad Ibn Sa’ad
Ibn Nabhan, 1974), hal.8

7
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik perkataan, perbuatan,
persetujuan, maupun sifat beliau.
Definisi di atas mengandung empat unsur: perkataan, perbuatan,persetujuan dan sifat.
Semua di sandarkan kepada beliau saja, tidak termasuk yang disandarkan kepada sahabat
maupun tabi’in. Sebagai ulama hadis berpendapat bahwa pengertian hadis di atas merupakan
pengertian hadis yang sempit. Menurut mereka hadis mempunyai cakupan yang lebih luas,
tidak hanya terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi saja (hadis marfu’), dan yang di
sandarkan kepada tabi’in (hadis maqtu)
Dikalangan ulama hadis ada yang berpendapat bahwa hadis merupakan sinonim kata
sunnah, namun hadis pada umumnya digunakan untuk istilah segala sesuatu yang di
riwayatkan dari Rasulullah setelah beliau diangkat menjadi Rasul. Sebagian ulama
berpendapat bahwa hadis hanya terbatas pada ucapan dan perbuatan Nabi saja. Sedangkan
persetujuan dan sifat-sifatnya tidak termasuk hadis karena keduanya merupakan ucapan dan
perbuatan sahabat.
Selain itu hadis juga digunakan untuk sesuatu yang di sandarkan kepada Allah yang
dikenal dengan adis qudsi, yaitu hadis yang disandarkan oleh Nabi kepada Allah. Disebut
hadis karena berasal dari Rasulullah dan dikatakan qudsi karena di sandarkan kepada Allah.
Disiniterlihat pula perbedaan antara hadisdengan sunnah, sebab hadis kudsi tidak pernah
disebut sunnah qudsiah
Menurut ulama usul fiqih, hadis adalah apa yang mereka sebut dengan sunnah
qauliah, yaitu:
‫اقؤ ال الر سؤ ل صائ ا هلل عليه ؤسلم مما يصلح ان د ليلال لحكم ثر عي‬
Seluruh perkataan Rasul Saw, yang pantas untuk di jadikan dalil dalam penetapan
hukum syara’.
Dalam pandangan mereka, sunnah lebih umum dari pada hadis. Karena sunnah
meliputi perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasul yang dapat di jadikan dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Sementara hadis terbatas pada perkataan Rasul yang pantas untuk
di jadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’. Sementara hadis terbatas pada perkataan
Rasul yang pantas untuk dijadikan dalil dalam penetapan hukum syara’.
Di samping kata sunnah dan hadis, juga dikenal kata khabar untuk maksud yang
sama. Kata khabar adalah bahasa Arab yang sudah masuk kedalam perbendaharaan bahasa
Indonesia dengan sedikit perubahan dalam ucapannya menjadi kabar. Dari segi bahasa,
khabar berarti sesuatu yang dikutip atau di bicarakan. Sedang menurut terminologi jumhur

8
ahli hadis, khabar merupakan sinonim hadis, yaitu segala sesuatu yang di sandarkan kepada
Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun persetujuan (ketetapan). Menurut pendapat ini,
khabaratau hadis mencangkup hadis marfu’, mauqufdan maqtu’. Sebagian mereka
berpendapat bahwa hadis khusus untuk sesuatu yang berasal dari Nabi. Ada juga yang
berpendapat bahwa hadis mencangkup khabar, tidak sebaliknya. Hadis lebih umum dari
khabarsehingga setiap hadis dapat di katakan khabar, tetapi tidak khabardi katakan adis.
Menurut ahli fiqih khurasan, hadis yang marfu’ di sebut khabar, dan hadis yang mauquf
disebut asar.
Jika dibandingkan dengan sunnah, khabarlebih layak menjadi sinonim. Kata hadis
sebab kata tahdis (pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhbar(pemberitaan). Hadis Nabi
Saw tidak lain adalah berita yang disandarkan kepada beliau. Hanya saja penggunaan sebutan
ikhbardigunakan untuk menyebut orang yang menekuni sejarah dan seumpamanya,
sedangkan gelar muhaddisdi berikan kepada orang yang secara khusus menekuni sunnah,
untuk membedakannya dengan ikhbari.
Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut sesuatu yang berasal dari Nabi
adalah asar. Hadis dan asar merupakan dua kata yang mempunyai arti yang sama, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
Secara bahasa, ashar berarti:
‫من الثيءؤالبقيه‬ (yang tersisa dari sesuatu. Sebagaian ulama mendefinisikan asar dengan:
(sesuatu yang berasal dari saabat dan tabiin). Dengan demikian, menurut sebagian ulama,
asar khusus untuk hadis yang berasal dari sahabat (mauquf)dan tabi’in (maqtu’, dan tabi’in
(maqtu)
C. Bentuk-bentuk hadis
a. hadis Qauli segala yang di sandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Berupa perkataan atau
ucapan yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, kisah-kisah baik yang
berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlak maupun yang lainnya disebut hadis qauli, diantara
contoh hadis qauli adalah hadis tentang bacaan ringan yang dicintai Allah.8

َ َّ‫نَض ََّراللّهُا ْمرا ًء َس ِم َع ِمن‬


‫اح ِد ْيثًافَ َحفِظَةُ َحتَّىيُبَلِّ َغهُ َغ ْي َرهُفَاِنّهُ ُربَّ َحا ِملٍفِ ْق ٍهلَ ْي َسبِفَقِ ْي ٍه َو ُربَّ َحا ِملٍفِ ْق ٍها ِ لَى َم ْنهُ َواَ ْفقَهُ ِم‬
َ‫ْنهُثَال‬
ُ‫مر َولُ ُزوْ ُم ْال َج َماع ِةفَاِنَّ َد ْع َوتَهُ ْمتُ ِح ْيط‬ ْ ‫َاص َحةُ ُوالَ ِةا‬
ِ ‫ال‬ ْ ‫صالٍالَيَ ِغلُّ َعلَ ْي ِهنَّقَ ْلبُ ُم ْسلِ ٍماَبَدًااِ ْخالَص‬
َ ‫ُال َع َملِلِلّ ِه َو ُمن‬ َ ‫ثٌ ِخ‬
ْ‫ِم ْن َورائِ ِهم‬
8
. Muhyidin Yahya Ibn Syaraf An Nawawi, Riyad Ad-Shalihin (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), hal.257.

9
Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan
dariku kemudian menghafal dan menyampaikan kepada orang lain, karena banyak orang
berbicara mengenai fiqih padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang karenanya tidak
akan timbul rasa dengki dihati seorang muslim,yaitu ikhlas beramal semata-mata kepada
Allah SWT, menasihati,taat, patuh kepada pihak penguasa dan seti terhadap jama’ah.
Karena sesungguhnya doa mereka akan memberikan motivasi dan menjaganya) dari
belakang.(HR Ahmad).
b. Hadis fi’li
hadis fi’li maksudnya adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada nabi seperti cara nabi
melaksanakan wudu, shalat, haji dan lain-lain. Hadis fi’li ini tidak diketahui langsung dari
nabi, tetapi melalui informasi yang disampaikan oleh sahabat. Ketika sahabat melakukan
sesuatu,sahabat menyaksikan perbuatan tersebut kemudian lalu menyampaikan ke sahabat
yang lain atau kepada tabi’in.
Jika dilihat dari proses periwayatannya, hadis fi’litermasuk dalam katagori hadis yang
disampaikan sahabat. Artinya, para sahabat yang menyampaikan kandungan hadis yang
berupa perbuatan ini kepada para generasi sesama sahabat atau generasi berikutnya. Karena
yang menyampaikan hadis fi’liadalah sahabat, maka sekilas hadis ini tergolong hadis mauquf
namun sebenarnya tidak alasannya adalah sumber berita. Sementara hadis fi’lisumber
beritanya adalah nabi, karenanya bersifat marvu’, contohnya hadis fi’li shalat adalah hadis
nabi yang berbunyi

َ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي‬


ُ ‫صلِّي َعلَى َرا ِحلَتِ ِه َحي‬
‫ْث‬ َ ِ ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ قَا َل َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
َ‫ضةَ نَ َز َل فَا ْستَ ْقبَ َل ْالقِ ْبلَة‬
َ ‫ت فَإ ِ َذا أَ َرا َد ْالفَ ِري‬
ْ َ‫ت ََو َّجه‬
Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah melaksanakan  shalat di atas
tunggangannya menghadap ke mana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak
melaksanakan shalat yang wajib, maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat. (HR. al-
Bukhari dan Muslim).
c. Hadis Taqriri
Tidak semua materi hadis secara utuh berasal dari Nabi baik berupa perkataan
ataupun perbuatan. Sebagiannya adalah perkataan atau perbuatan sahabat, baik yang
dilakukan di depan nabi ataupun tidak kemudian dikonfirmasikan kepada nabi.hadis dalam
katagori ini disebut dengan hadis taqriri, yaitu hadis yang berupa ketetapan nabi terhadapapa
yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabatnya. Abdul wahhab khllaf dalam bukunya’
ilm usul al-fiqih menyatakan bahwa hadis Taqririadalah penetapan rasulullah atas sesuatu

10
yang dilakukan sahabat baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara mendiamkannya,
tidak menunjukkan tanda tanda ingkar, menyetujuidan menganggapnya baik. 9 Dalam hal ini
nabi tidak memberikan penegasan dalam bentuk membenarkan atau mempersalahkannya,
tetapi nabi memberikan dan mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para
sahabatnya.
Perkataan atau perbuatan sahabat di golongkan hadis Taqriri manakala perkataan
atau perbuatan sanggahan dari nabi dan disandarkan sewatu rasulullah masih hidup, erta
dilakukan oleh orang yang taat kepada agama Islam. 10 Sebab diamnya nabi terhadap apa yang
dilakukan atau diucapkan oleh para kafir atau orang munafiq bukan berarti memberi
persetujuan. Sering kali nabi mendiamkan apa apa yang dilakukan orang munafiq, lantaran
beliau tau banyak benar pet unjuk petunjuk yang tidak memberi manfaat padanya.
d. Hadis ahwali
Hadis ahwaliadalah hadis yang berupa hal ikhwal nabi yang berkenaan dengan keadaan fisik,
sifat-sifat dan keperibadiannya. Dua hal yang tergolong dalam katagori hadis ahwalipertama,
hal-hal yang bersifat fisik dan personalitas yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku
keseharian beliau, seperti cara bertutur kata, makan, minum, berjalan, menerima tamu,
bergaul bersama mayarakat, dan lain-lain. Jadi, hal hal yang berkaitan dengan etika nabi
termasuk hadis ahwali. Kedua hal hal yang terkait dengan fisik nabi tentang wajah, warna
kulit, tinggi badannya.

‫كان رسول هللا صلي هللا و سلم احسن الناس خلقا‬11


"Rasulullah saw adalah orang yang paling mulia akhlaknya".
e. hadis hammi
Sebagaimana manusia pada umumnya, Nabi juga mempunyai cita-cita . Hadis
hammi, yaitu hadis yang berupa hasrat nabi yang belum terealisasikan. Hadis katagori ini
tidak disebutkan dalam definisi hadis, baik oleh ulama hadis, ulama ushul, maupun ulama
fiqih
hadis hammi belum terwujud tetapi masih berbentuk keinginan yang
pelaksanaannya akan di lakukan pada masa sesudahnya. Oleh sebab itu hadis hammi bukan
perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat sifat nabi. Tetapi, perbuatan yang akan di
lakukan nabi padamasa-masa berikutnya seperti keinginan nabi berpuasa pada tanggal ‘9
asyura.Dalam riwayat ibn abbas dinyatakan bahwa ketika nabi berpuasa pada hari assyura
9
Abdul Wahab, Khallaf,’Ilm Ushul Fiqih (Mesir: Dar Al-Qalam, 1978), hal.36.
10
Fattchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1995),hal.10.
11
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushalalhul Hadits, (Bandung:Pt. Al-Ma’arif, 1995), hal.10

11
dan memerintahkan pada sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “wahai nabi hari ini adalah
hari yang di agungkan oleh orang orang yahudi dan nasrani” lalu nabi bersabda: yang artinya:
tahun yang akan datang InsyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.12
Hasrat nabi untuk berpuasa pada tanggal 9’ assyura tahun depan adalah untuk
menghindari waktu yang bersamaan dengan puasa orang Yahudi Dan Nasrani. Dan puasa ini
belum sempat terrealisasi karena beliau sudah wafat sebelum tiba bulan’ assyura tahun
berikutnya. Menurut imam syafii dan para pengikutnya, melaksanakan hadis hammi ini di
sunahkan sebagaimana menjelaskan sunnah sunnah lainnya.
D. Kedudukan Hadis Tehadap Alquran
Seluruh umat islam sepakat bahwa adis(sunnah) merupakan salah satu sumber
hukum islam dimana umat islam di wajibkan mengikutinya sebagai mana wajibnya
mengikuti alquran,muhammad ‘ajjaj al-khatib dalam bukunya usul al-hadis ulumuhu
wamustalahuh mengatakan:
‫فا لقر ا ن ؤ ا لسنه مصد ر ان تثر يحا ن متال زما ن ال يكن لمسلم ا ن نفهم ا لثر يهه ا ال با لر خؤ‬
‫ع ا ليهم محا ؤاال غني لمجتهد اؤ عا لم عن اهد هما‬

Al-qur’an dan asSunnah merupakan dua sumber hukum syari’at islam yang tetab
dimana orang islam tidak mungkin mampu memahami syariat mujtahid dan orang alim pun
tidak dibolehkan anya mencukupkan diri dengan salah satu keduanya.
Menurut jumhur ulama,kedudukan hadis bila ditinjau dari segi statusnya sebagai dalil
dan sumber ajaran Islam adalah menepati posisi ke dua setela al-quran. 13 Hal tersebut
terutama ditinjau dari segi wurud dan subutnyaAl-qur’an adalah qat,i, sementara hadis
kecuali yang bersttus mutawatir adalah zanni al-wurud. Oleh karenanya, yang bersifat (pasti)
di daulukan daripada yang (relatif). 14
Ditinjau dari segi tunjukan (dilalah) lafas al-qur’an dan As-sunnah, maka terbagi
kepada dua bagian, yaitu: qat’i d-dilalah dan zanni ab-dilalah.Maksudnya adalah suatu
tunjukan lapas yang bersifat pasti dan tidak membutuhkan interpretasi dan takwil sedangkan
yang satu tunjjukan lafas yang bersifat relatif yang membutuhkan interpretasi dan ta’wil.
Argumentasi lain yang di kemukakan para ulama dalm memposisikan hadis pada
posisi ke dua setelah al-qur’an adalah melihat fungsi hadis yang menjadi penjelas dan

12
Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim, hal, 506
13
Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Usul Asy-Syari’at, Juz,IV (Bireut: Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah, 1991), hal.5
14
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Pt.Mutiara Sumber Widya, 2001), hal.62

12
penjabar Al-qur’an suda nyata bawa sesuatu yang di jelaskan yaitu al-qur’an kedudukannya
lebih tinggi dari pada hadis sebagai al-bayan,karena penjelas (al-bayyan) tidak perlu ada jika
sesuatu yang dijelaskan (al-mubayyan)tidak ada,tetapi tidak sebaliknya. Sekalipun tidak ada
al-bayan,bukan berarti al-mubayyan jua tidak ada. Dengan demikian keberadaan hadis
sebagai al-bayan tergantung kepada keberadaan alquran sebagai al-mubayyan. Keadaan ini
tentu menunjukkan bahwa alquran di daulukan dari hadis dalam hal status dan tingkatannya.
Di samping itu, sikap pra sahabat yang lebih dahulu merujuk kepada alquran sebelum
hadis dalam menemukan pemecahan suatu permasalahan juga dapat di jadikan sebagai suatu
ditemuakan jawabannya dalam alquran,maka hukumnya ditetapkan sesuai dengan tunjukan
alquran.tetapi jika ketetapan ukumnya tidk di temukan dalam alquran maka barulah ukumnya
ditepkan berdasarkan hadis.
Argumentasi selanjutnya adalah hadis mu’az yang menyatakan secara tegas tentang
urutan kedudukan antara alquran dan adis (sunnah),yaitu;
‫ ا ن ر ا هلل صل هللا عليه ؤ سلم لم ا ر ا د ان يبحث محا ذ ا ا لئ ا لمين قال‬:
‫كيف تقض اذا عر ض لك قضا; ء؟‬
‫ فا‬:‫ فبسنت ر سؤ ل ا هلل صلئ ا هلل عام قل‬: ‫ق ل ا قض بكتا ب ا هلل قا ل فان لم تجد ف كتا ب ا هلل ؟قا ل‬
‫ اجتد بر ايي ؤال الؤ فضر; ب‬:‫ن لم تجد ف سنة رسؤ ل هلل صلئ هلل عبيه ؤ سلم ؤ ال ف كتا ب ا هلل؟ ق ل‬
‫ ا لحمد هلل ا لذ ي ؤ فق رسؤل ر سل ل هللا لم ير ضي ر‬:‫رسؤ ل ا هلل صل ا هلل عليه ؤسلم صد ر ه فق ل‬
‫سؤ ل ا هلل‬
(‫)ر ؤ ا ه ا بؤ د ا ؤ د ؤ التر مدي ؤ ا لنسا ئ ؤ ا لد ا ر مي‬
Bahwasanya tatkala rasulullah SAW. hendak mengutus Mu’az ibn jabal ke yaman ,beliau
bertanya kepada Mu’az, ‘’Bagaimana engkau memutuskan perkara jika dijadikan
kepadamu ? “maka mu’az menjawab, “aku akan memutuskan berdasarkan kitab Allah
(Alquran). “Rasul bertanya lagi, “apabila engkau tidak menemukan jawabannya didalam
kitab Allah ? “mu’az bertanya lagi, “bagaimana kalau engkau juga tidak menemukannya di
dalam sunnah dan tidak di dalam kitab Allah? ‘ mu’az menjawab, “aku akan berijtiad
dengan mempergunakan akalku.”Rasulullah Saw. menpuk dada mu’az seraya berkata,
“Allhamdulillah atas taufik yang tela di anugrakan Allah kepada utusan Rasul-Nya.
Beberapa argumen di atas menjelaskan bahwa kedudukan hadis menempati posisi
kedua setelah Alquran. Namun hal tersebut tidak mengurangi nilai hadis, karena pada
akikatnya Alquran dan hadis sama-sama wahyu Allah.
E. Fungsi Hadis Terhadap Alquran

13
Alquran dan hadis merupakan pedoman hidup dan sumber ajaran Islam yang tidak
dapat dipisahkan. Alquran sebagai pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umumdan
global yang perlu dijelaskan lebi lanjut dan diperinci. Oleh karena itu, disinila perlunya hadis
hadir sebagai penjelas (bayan) terhadap Alquran. dalam surat an-nahl ayat 44 Allah
berfirman:
‫ؤ ا نذ لنا ا ليك ا لذ كر لتبين للنا س ما نذ ل ا ليهم ؤ لعلهم يتفكر ؤ ن‬
Dan kami turunkan kepadamu az-zikr (Alquran) agar engkau menjelaskan kepada
manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka berfikir.

Fungsi Rasulullah Saw sebagai penjelas atau bayanAlquran bermacam-macam. Imam


malik ibn abas menyebutkan lima macam fungsi yaitu bayyan at-qakri,rbayan at-tafsir,
bayan at-tafshil, bayan al-basth, dan bayyan at-tasyr’, imam asy-safi’i menyebutkan lima
fungsi, yaitu bayan at-tafshil, bayan at-takhshish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan
bayan an-nasakh. Ahmad ibn Hanbal menyebutkan empat macam fungsi, yaitu bayyan at-
ta’qid(bayan taqri), bayan at-tafsir,bayan at-tasiri’, dan bayan at-takhshish dan taqyid.15

1. Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan at-ta dan bayan al-isbat,yaitu menetapkan
dan memperkuat apayang telah di terangkan dalam alquran. Mengungkap kembali apa yang
telah di muat dan terdapat dalam alquran,tanpa mendapat dan menjelaskan apa yang terdapat
dalam ayat tersebut.fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkuat dan memperkokoh isi
kandungan alquran.misalnya hadis nabi:

‫اذا ر ا يتهؤ فصر مؤ ا ؤ اذا ر ايمؤ ه فا فظرؤ ا‬16


Apabila kalian melihat (ru’yah)bulan maka berpuasalah,dan juga apabila melihat
(ru’yah) bulan maka berbukalah.
Hadis ini datang mentaqrir ayat alquran surat albaqarah ayat 185 yang berbunyi:
‫فمن ثهد ا اثهر فليصمه‬
Maka barang siapa yang menyaksikan bulan pada waktu itu,hendaklah ia berpuasa.
Surat al-baqorarah ayat 185 tersebut mejelaskan tentang keharusan menjalankan
puasa. ramadan bagi orang yang telah menyaksikan bulan.ketentuan dalam ayat ini diperkuat
oleh adis nabi yang menyuruh untuk menjalankan puasa ramadan apabila telah melihat
bulan.
15
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:PT.Pustaka Rizki
Putra,1998) hal.159-165
16
Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid I (Beirut: Daral-Fikr, Tth) hal.481

14
Contoh lain adalah hadis riwayat buhari dari abu urairah yang berbunyi :
‫ال ثقبل صل ة ا حد ث حتى يتؤ ض‬17
Tidak diterima salat orang yang berhadas kecuali telah ia berwudu’.
Hadis ini mentaqrir ayat alquran surat al-maidah ayat 6 tentang keharusan
berwudhu’bagi seorang yang akan menirikan shalat.ayat tersebut berbunyi :

‫يايها ا لذ ين امنؤا ا ذ ا قمتم الى الصال ة فا غسلؤ ا ؤ جؤهكم ؤ ا يد يكم الى ا لمر ا فق ؤ ا‬
‫مثحؤ ا بر و سكم وار جلكم ا لى ا لكعبين‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mendirikan salat,maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.
Surat al-maidah ayat 6 tersebut menjalankan tentang keharusan berwudu’ bagi orang
yang mendirikan salat. Orang yang mendirikan salat tanpa wudu’ dinilai tidak sah karena
wudu’merupakan salah satu syarat sah salat.hadis nabi di atas memperkuat pernyataan yang
terkandung dalam ayat tersebut yaitu salat dapat diterima allah jika dilakukan terlebih dahulu
dengan wudu’
Demikian pula ketentuan dalam hadis berikut :
‫بني ا ال سل م عى حمس ثها ا ن ال ا له ا ال ا هلل و انم محمد ا ر سؤ ل هلل و ا ق م ا‬
‫لصال ة وا يتا ء الزكا ة والحج و صو م ر مضا ن‬
Islam ditegakkan atas lima perkara ,yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain allah dan
bahwa muhammad rasul allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, haji dan berpuasa
dibualan ramadan.
Hadis tersebut mempertegas perintah allah tentang kewajiban salat,zakat pauasa dan
haji sebagaimana firman-Nya.

‫وا قيمؤ ا ا لصال ة واتو ا الزكا ة‬


Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat(Qs. al-Baqarah:83).
‫وهلل علئ ا لنا س حج ا لبيت من ا ستطا ع ا ليه سبيال‬
Mengerjakan haji merupakan kewajiban manusia teradap Allah, yaitu (bagi) orang-orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran:97)
‫يا ا يها ا لذ ين ا منؤ ا كتب عليكم الصيا م‬
17
Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I (Beirut: Dar Al-Fikr, Tth) hal.38

15
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa. (Qs al-baqarah:183).
Dalam tiga ayat tersebut dijelaskan tentang kewajiban mendirikan salat, menunaikan
haji, menjalankan puasa, dan melaksanakan ibadah haji. Ketentuan dalam ayat-ayat tersebut
diperkuat oleh hadis Nabi tentang rukun Islam di atas.
2. Bayyan at-tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat
alquran yang datang secara muzmal, ‘am,dan mutlaq. Fungsi hadis sebagai penafsir Alquran
dapat dibagi tiga, yaitu:
a. Menafsirkan serta merinci ayat-ayat yang muzmal(bersifat global). Fungsi bayan tafsir
seperti ini di sebut dengan bayan tashil, yaitu penjelasan dengan merincikandungan ayat-ayat
yang muzmal, yakniayat-ayat yang bersifat ringkas atau singkat, seingga maknanya kurang
atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapan
ayat masih bersifat global sehingga memerlukan mubayyin(penjelasan). Misalnya hadis
tentang tata cara mendirikan salat:
‫صلؤ ا كما ر ا يتمؤ ني ا صلي‬
Salatlah seperti kamu melihat aku salat”(HR.Al-Bukhari).
Nabi Saw. Telah mempraktikkan tatacara salat di hadapan
para sahabat, mulai dari hal yang sekecil-kecilnya seperti cara mengangkat tangan ketika
bertakbir sampai kepada hal-halyang harus dilakukan dan merupakan rukun salat seperti
membaca surat al-fatiha, ruku, sujud,dan lain-lain.
Hadis fi’li tersebut menjelaskan kandungan ayat Alquran yang bersifat global tentang
salat, yaitu
‫ؤ ا قيؤ ا ا لصال ت ؤ ا تؤ ا ا لذ كا ت‬
Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. (QS.al_baqarah:83).
Demikian pula hadis Nabi tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan:Allah mensyariatkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua anak perempuan. (Qs. an-Nisa’:11).
Allah mensyariatkan kepada ummat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris’,
dimana anak laki-laki mendapat satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Syariat warisan
seperti ini tidak berlaku bagi para Nabi sebagaiman penjelasan hadis.oleh sebab itu,
keumuman ayat tersebut di khususkan oleh hadis. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
secara umum, mewariskan harata peninggalan ada wajib kecuali para Nabi yang tidak
mempunyai kewajiban untuk itu

16
b. Memberikan batasan (takyid) terhadap ayat-ayat alquran yang bersifat mutlak . fungsi
hadis seperti ini disebut juga dengan bayan taqyid,yaitu penjelasan hadis dengan cara
membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata
mutlak maksudnya adalah kata yang menunjuk pada hakikat, kata itu sendiri apa adanya
tanpa memandang jumlah atau sifatnya.penjelasana Nabi berupa takid terhadap ayat alquran
yang mutlak anatara lain:
‫اتئ ا لنبي صلي ا هلل ء ليه ؤ سلم بسا ر ق فقطح يد ه من مفصل ا لكف‬
Nabi Saw. mendatangi pencuri dan memotong pergelangan tangannya.
‫ال تقطح يد ا لسا ر قه اال فئ ر بح د ينا ر فصا ءد ا‬
Tangan pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih.
Hadis diatas membatasi kadar tangan dan kadar curian yang menyebabkan pelakunya
terkena potong tangan yang tidak dijelaskan dalam ayat Alquran tentang ini
‫ؤ ا لشا ر ق ؤا لشا ر قه فاقطءؤ ا ا يد يهما‬
Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya,
(Qs. al-maidah:38).
Ayat diatas tidak menjelaskan berapa kadar curian yang menyebabkan pelakunya
dikenai hukuman potong tangan, dan sampai batas mana ukuran tangan yang harus di potong.
Ayat tersebut hanya mengruskan potong tangan bagi pencuri baik laki laki maupun
perempuan. Kemudian hadis datang menjelaskan bahwa yang wajib dikenai potong tangan
adalah pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar atau lebih, dan ukuran tangan
yang harus di potong adalah sampai batas pergelangan tangan.
3. Bayan tasyri’
Bayan tasyri’adalah penjelasan yang berupa penetapan suatu hukum atau syar’i yang
tidak dapat nashnya dala Alquran. Bayan ini disebut juga dengan bayan za’id ala al-kitab al-
karim. Dalam hal ini, Nabi Saw. menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang
muncul saat itu dengan sabdanya sendiri tanpa didsarkan tanpa ditentukan dengan ayat-ayat
Alquran. Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan kepadanya dengan
memberikan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya. Misalnya hadis Nabi:
‫ال حيبمح بين ا لمر ا ت ؤ عما تها ؤ ال بين ا لمر ا ت ؤ خا لتها‬
Seorang perempuan tidak boleh dikumpulkan (dipoligami) bersama bibinya dari pihak
ibu atau ayahnya.

17
Ketentuan hadis ini tidak di temukan di dalam Alquran. Ketentuan yang ada hanyalah
larangan terhadap suami terhadap suami untuk mengumpulkan istrinya dengan saudara
perumpuan sang istri, sebangai mana dijelaskan dalam surat an-Nisa’ayat 23 yang berbunyi:
‫ؤ ا ن تجمءؤ ا بين ا ال ختين اال ما قد سلق‬
Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara.
Alquran tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita secara bersamaan
dengan bibinya baik dari pihak ayah maupun ibunya. Memang dalam Alquran dijelaskan
beberapa kerabat (keluarga) yang haram untuk dikawini, seperti ibu kandung, anak, saudara,
bibi baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, dan lain-lain. Namun tidak ada larangan untuk
mempologami seorang perempuan bersama dengan bibinya. Dalam hal ini hadis datang
menetapkan hukum tersendiri yaitu haram hukumnya bagi seorang suami untuk
mempoligami istrinya bersama bibinya.
Terhadap fungsi hadis yang pertama dan kedua para ulama telah sepakat. Namun
terhadap fungsinya yang ketiga, yaitu fungsi tasiri’ (penetapan hukum yang tidak diatur sama
sekali oleh Alquran), para ulama berbeda pendapat. Ada yang melihatnya sebagai hukum
yang secara permulan ditetapkan oleh hadis, dan ada yang melihatnya sebagai hukum yang
asalnya tetap dari Alquran
4 bayan an-Nasakh
bayan an-Nasakhadalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuah hukum yang
terdapat dalam Alquran. Hadis yang datang setelah Alquran menghapus ketentuan-ketentuan
Alquran. Dalil syara’(alquran) yang datang lebih dahulu dan telah dihapus hukum yang
ditunjukkannya disebut mansukh. Sementara dalil syara’ yang datang kemudian untuk
menghapusnya yang dalam hal ini hadis disebut nasikh.
Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya hadis menasakh Alquran. Sebagian
mengakui dan membolehkan hadis menjadi nasikhterhadap Alquran sedangkan sebagian
yang lain tidak membolehkannya. Ulama yang membolehkan juga berbeda pendapat tentang
hadis katagori mana yang boleh menasakhAlquran. Imam hanafi membatasi fungsi bayan an-
Nasakhini hanya berlaku pada hadis-hadis yang mutawatir dan masyhur, sementara hadis
ahad ditolaknya. Salah satu contoh hadisnya adalah:
‫لا ؤ صيت لؤ ار ث‬
Tidak ada wasiat bagi ahli waris
Hadis ini menasakh isi Alquran surat al-Baqarah:180, yang berbunyi

18
‫كتب عليكم ا ذ ا حضر ا حد كم ا لمؤ ت ا ن تر ك خير ا لؤ صيه للؤ ا للد ين ؤ ا ال قر بين‬
‫با لمعر ؤ ف حقاعلى ا لمتقين‬
Di wajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf,(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
Menurut ulama yang menerima adanya naskah hadis terhadap Alquran,hadis di antara
menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris yang dalam ayat di atas di wajibkan.dengan
demikian, seorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta
kepada ahli waris,karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang
meninggal tersebut.

F. Perbandingan Hadis Dengan Alquran.


Ada tiga perbandingan hadis dengan Alquran yaitu:
a. bahwa Al Quran adalah Kalam Allah dan bersifat mukjizat. Kemukjizatan Al-Quran
tersebut di antaranya terletak pada ketinggian balaghah (kandungan sastra)-nya yang
mencapai tingkatan di luar batas kemampuan manusia, sehingga masyarakat Arab khususnya
dan manusia pada umumnya tidak mampu untuk menandinginya. Dari segi ini terlihat
perbedaan yang nyata antara Al-Quran dengan Hadits, yaitu bahwa Hadits maknanya
bersumber dari Allah (Hadits Qudsi), atau dari Rasul SAW sendiri berdasarkan hidayah dan
bimbingan dari Allah (Hadits Nabawi), dan lafadznya berasal dari Rasul SAW serta tidak
bersifat mukjizat, sedangkan Al-Quran makna dan lafadznya sekaligus berasal dari Allah
SWT, dan bersifat mukjizat."(Al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh; juz. I, hal.421-422)
b. Membaca Al-Quran hukumnya adalah ibadah, dan sah membacai ayat-ayatnya di
dalam shalat, sementara tidak demikian halnya dengan Hadits.
c. Keseluruhan ayat Al-Quran diriwayatkan oleh Rasul SAW periwayatan yang
menghasilkan ilmu yang pasti dan yakin keautentikannya pada setiap generasi dan waktu.
Ditinjau dari segi periwayatannya tersebut, maka nash-nash Al-Quran adalah bersifat pasti
wujudnya atau qath’i al-tsubut. Akanalnya Hadits, sebagian besar adalah
bersifat ahad dan zhanni al-wurud, yaitu tidak diriwayatkan secara wutawatir. Kalaupun ada,
hanya sedikit sekali yang mutawatir lafadz dan maknanya sekaligus.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah hadis dan sunnah sesungguhnya telah ada sejak zaman Nabi masih hidup dan
dipergunakan juga di dalam al-Qur’an dengan arti yang berbeda-beda secara bahasa. Pada
waktu itu, perbedaan kedua istilah ini tidaklah dipersoalkan, karena Nabi sebagi sumber
langsung masih ada dan pada waktu itu Nabi melarang untuk menulis selain al-Qur’an.
Namun setelah Nabi wafat, persoalan umat semakin kompleks dan membutuhkan landasan

20
normatif. Para sahabat memberikan jawaban-jawaban atas persoalan yang muncul secara
verbal berdasarkan apa yang mereka lihat dan dengar dari Nabi, inilah pada awalnya yang
dikenal dengan sunnah. Pada generasi tabi’in, apa yang dilakukan oleh sahabat pun dianggap
sebagi sunnah karena sahabat pasti bertindak sesuai dengan perilaku Nabi. Penafsiran-
penafsiran sahabat dan tabi’in pun pada perkembangannya termasuk juga dalam pengertian
sunnah

DAFTAR PUSTAKA
Asy-Srarif Ibn Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifatJedah: Al-Haramain
Muslim Ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid.I Beirut: Dar Al-Fikr, 1992
Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz.I, Bandung:Dar Al-Fikr 1997
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, Juz.II, Beirut:Dar Al-Fikr, 2008
Idri, Studi Hadis, Jakarta:Kencana, 2010
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001

21
Muhammad Mahfuz Ibn Abdillah At-Tirmizi, Manhaj Zawi An-Nazar, Surabaya: Ahmad Ibn
Sa’ad Ibn Nabhan, 1974
Muhyidin Yahya Ibn Syaraf An Nawawi, Riyad Ad-Shalihin, Beirut: Dar Al-Fikr, 1994
Abdul Wahab, Khallaf,’Ilm Ushul Fiqih, Mesir: Dar Al-Qalam, 1978
Fattchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif,1995
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushalalhul Hadits, Bandung:Pt. Al-Ma’arif, 1995
Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim, hal, 506
Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Usul Asy-Syari’at, Juz,IV, Bireut: Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah, 1991
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis Jakarta: Pt.Mutiara Sumber Widya, 2001
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,Semarang:PT.Pustaka Rizki
Putra,1998
Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid I, Beirut: Daral-Fikr
Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I,Beirut: Dar Al-Fikr

22

Anda mungkin juga menyukai