Anda di halaman 1dari 5

KAPAN PASIEN COVID-19 BOLEH MASUK KANTOR LAGI ?

*Nur Samsu

Pertanyaan yang sering dan penting dari seorang pasien yang terkonfirmasi COVID-19 adalah: ‘Dok,
kapan saya boleh masuk kerja lagi?’ pertanyaan berikutnya ‘Apakah saya masih menularkan virus ke
orang lain atau keluarga saya?’
Pada saat ini - setidaknya sampai tulisan ini dibuat - , pasien-pasien yang telah sembuh dari COVID-19,
bisa jadi tidak serta-merta merasa senang telah dapat melewati fase akut dari penyakitnya. Karena pada
fase berikutnya mereka masih harus menunggu lagi untuk jadwal dilakukannya swab ulangan, dengan
tujuan untuk memastikan apakah virusnya masih positif ataukah sudah negatif atau dengan kata lain
masih menularkan virus apa sudah aman. Selama waktu tunggu itu, mereka harus diisolasi, tidak boleh
masuk kerja dengan stigma sebagai seseorang yang dapat menjadi sumber penularan virus bagi orang
lain, baik di rumah atau di lingkungan tempatnya bekerja, sehingga tidak boleh dekat-dekat, harus
menjauh atau dijauhi. Oleh karenanya, bisa jadi hal-hal demikian ini menjadi beban psikologis yang
cukup berat bagi seseorang yang telah sembuh dari COVID-19, dan pada banyak pasien (yang sakitnya
hanya ringan atau yang tidak bergejala) mungkin dirasakan jauh lebih berat dibandingkan dengan
penyakit COCID-19-nya itu sendiri. Dilain pihak, tes swab ulangan dengan hasil yang diharapkan negatif
tidak bisa dipastikan kapan waktunya, entah sampai berapa kali swab, karena tidak ada jaminan bahwa
setelah sekian kali swab hasilnya akan negatif, bisa jadi hasil tetap positif setelah berkali-kali swab. WHO
menyatakan hasil test swab bisa tetap positif selama berminggu-minggu setelah terinfeksi, sedangkan
berdasarkan rilis CDC pada bulan agustus 2020 menunjukkan bahwa seseorang yang pulih dari COVID-19
jika dites ulang dalam waktu 3 bulan setelah terinfeksi, dapat terus mendapatkan hasil tes yang positif.
Yang menjadi pertanyaan apakah memang demikian kenyataannya, bahwa hasil test swab yang positif
identik dengan sumber penularan virus, sehingga syarat seseorang untuk dapat kembal beraktifitas
seperti sebelumnya hasil swab yang negatif menjadi suatu hal yang mutlak ? Apakah ada bukti bahwa
seseorang dengan hasil swab tetap positif adalah sumber penularan virus SAR-COV-2 ?

Bagaimana Risiko Transmisi Virus SAR-CoV-2 ?


Penyakit COVID-19 adalah infeksi virus yang sangat mudah menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2.
Setelah seseorang terpapar virus SAR-C0V-2 ini, RNA virus dapat terdeteksi pada pasien 1-3 hari sebelum
timbulnya gejala. Pada saluran pernapasan bagian atas, viral load mencapai puncaknya dalam minggu
pertama infeksi (tertinggi pada 4 hari setelah gejala dimulai), diikuti dengan penurunan bertahap dari
waktu ke waktu. Pada tinja dan saluran pernapasan bagian bawah, viral load mencapai puncaknya pada
minggu kedua penyakit. Ada kecenderungan tetap terdeteksinya RNA virus yang lebih lama pada pasien
yang sakit dengan gejala yang lebih berat dan pada pasien dengan gangguan kekebalan. Risiko
penularan terkait dengan onset gejala. Risiko penularan tertinggi adalah pada atau sekitar waktu onset
gejala dan dalam 5 hari pertama sakit. Pada umumnya 5-10 hari setelah terinfeksi SARS-CoV-2, individu
yang terinfeksi mulai memproduksi antibodi penetral secara bertahap. Pengikatan antibodi penetral ini
terhadap virus dapat mengurangi risiko penularan virus. Jadi berdasar riwayat alaminya, setelah 10 hari
sakit, risiko menularkan virus pasien COVID-19 pada orang lain adalah rendah.

Apakah RT-PCR RNA virus SAR-CoV-2 yang Positif Masih Menularkan Virus ?
Infeksi virus penyebab COVID-19 (SARS-CoV-2) ini dipastikan dengan adanya RNA virus yang terdeteksi
melalui tes molekuler, biasanya RT-PCR. Terdeteksinya RNA virus pada seseorang tidak selalu berarti

1
bahwa orang tersebut infeksius sehingga dapat menularkan virus ke orang lain. Ada faktor-faktor yang
menentukan risiko penularan yaitu kemampuan virus untuk bereplikasi, pasien yang masih memiliki
gejala, seperti batuk, yang dapat menyebarkan droplet infeksius, dan kondisi serta faktor lingkungan
yang terkait dengan individu yang terinfeksi.
Pada banyak penyakit virus (misalnya SARS-CoV, MERS, virus influenza, virus Ebola, dan virus Zika) telah
diketahui dengan baik bahwa RNA virus-nya dapat dideteksi dalam waktu yang lama setelah virus yang
menular sudah tidak ada lagi. Virus campak misalnya, RNA virus-nya masih dapat dideteksi 6–8 minggu
setelah virus yang menular sudah hilang. Sistem kekebalan dapat menetralkan virus yang mencegah
infeksi berikutnya tetapi tidak menghilangkan asam nukleat, yang tetap dapat terdeteksi dengan RT-
PCR, yang akan menurun perlahan seiring waktu (Atkinson dan Petersen, 2020).
Pada penyakit COVID-19, durasi pelepasan virus yang infeksius sangat bervariasi dan kemungkinan
tergantung pada beratnya penyakit dan kondisi kekebalan pasien. Suatu penelitian mendapatkan tes
RNA virus ulangan dengan hasil yang negatif pada 90% kasus dengan penyakit yang ringan, sedangkan
penyakit yang berat didapatkan hasil yang positif dengan jangka waktu yang lebih lama (Liu Y et al,
2020). Zhou dkk melaporkan median durasi pelepasan virus pada pasien COVID-19 yang kondisinya
berat atau kritis adalah 31 hari (kisaran, 18-48 hari) (Zou B, 2020). Wolfel et al melaporkan pasien
COVID-19 dengan gejala yang ringan sampai sedang, ternyata tidak ditemukan virus SARS-CoV-2 yang
dibiakkan dari sampel saluran nafas setelah hari ke-8 sejak timbulnya gejala. Penelitian lain dengan
derajat penyakit yang bervariasi menunjukkan ketidakmampuan untuk membiakkan virus setelah hari ke
7 sampai 9 dari onset gejala (Bullard et al, 2020; CDC, update Juni, 2020). Suatu penelitian pada 129
pasien COVID-19 dengan kondisi yang kritis, dengan 30 pasiennya merupakan pasien
immunocompromised, didapatkan durasi rata-rata pelepasan virus yang diukur dengan kultur adalah 8
hari setelah onset, kisaran interkuartil 5-11 hari. Kemungkinan terdeteksinya virus pada kultur adalah
kurang dari 5% setelah 15,2 hari dari gejala (Van Kampen et al, 2020). Penelitian ini serta beberapa
penelitian lain yang dilaporkan telah menggambarkan korelasi antara penurunan infektivitas dengan
penurunan viral load dan peningkatan antibodi penetral. Meskipun RNA virus dapat dideteksi dengan
RT-PCR bahkan setelah gejala hilang, jumlah RNA virus yang terdeteksi secara substansial berkurang dari
waktu ke waktu dan umumnya di bawah ambang batas kemampuan virus untuk bereplikasi. Oleh karena
itu, kombinasi waktu antara saat timbulnya gejala sampai dengan hilangnya gejala tersebut merupakan
pendekatan yang aman berdasarkan data-data yang ada saat ini.

Kapan Dapat Kembali Bekerja Setelah Terkonfirmasi COVID-19 ?


Pada tanggal 27 Mei 2020, WHO menerbitkan panduan tentang manajemen klinis COVID-19 dan
memberikan rekomendasi terbaru tentang kriteria untuk penghentian isolasi pasien COVID-19. Kriteria
yang diperbarui didasari oleh temuan-temuan baru bahwa pasien yang sudah tidak bergejala, ternyata
masih menunjukkan hasil tes positif virus COVID-19 (SARS-CoV-2) dengan RT-PCR selama berminggu-
minggu. Meskipun hasil tes-nya masih positif, ternyata tidak dapat menularkan pada orang lain. Kriteria
untuk penghentian isolasi ini berlaku untuk semua kasus COVID-19, tidak tergantung lokasi isolasi
maupun derajat beratnya penyakit dan tanpa memerlukan pemeriksaan swab ulangan, yaitu:
1. Untuk pasien bergejala: 10 hari setelah onset gejala, ditambah setidaknya 3 hari tambahan tanpa
gejala (termasuk tanpa panas dan tanpa gejala pernapasan)
2. Untuk kasus asimtomatik : 10 hari setelah tes positif SARS-CoV-2
Rekomendasi WHO terbaru ini (27 Mei) berbeda dan sekaligus merevisi rekomendasi sebelumnya (12
Januari), bahwa penghentian isolasi pasien didasarkan pada pulihnya kondisi pasien secara klinis dan

2
didapatkan dua hasil RT-PCR yang negatif pada sampel sekuensial yang diambil setidaknya dengan
selang waktu 24 jam.
Berdasarkan CDC, pada prinsipnya ada 3 strategi yang direkomendasikan untuk penghentian isolasi pada
pasien COVID-19, yaitu ‘strategi berbasis gejala’, ‘strategi berbasis waktu’ dan ‘strategi berbasis tes’.
‘Strategi berbasis gejala’ merupakan rilis terbaru CDC yang merevisi pedoman sebelumnya untuk
menghentikan isolasi bagi pasien COVID-19 yang bergejala. Bahwa seseorang dapat menghentikan
isolasinya dan dapat kembali bekerja jika ketiga kondisi berikut telah terpenuhi:
1. Setidaknya 10 hari sejak gejala pertama kali muncul; dan
2. Setidaknya 24 jam sejak demam terakhir tanpa menggunakan obat penurun demam; dan
3. Semua gejala terkait COVID (misalnya batuk, sesak napas) telah membaik.

Untuk "strategi berbasis waktu" tetap berlaku untuk pasien dengan hasil test swab positif tetapi tidak
bergejala (yaitu, penghentian isolasi 10 hari sejak tanggal tes positif), serta untuk pasien (termasuk
profesi kesehatan) dengan penyakit yang berat hingga kritis atau yang sangat terganggu sistem
kekebalannya, maka durasi isolasi setidaknya 10 hari hingga 20 hari setelah onset gejala. Sedangkan
"strategi berbasis tes” tidak lagi direkomendasikan oleh CDC (kecuali pada pasien immunocompromised
yang berat). Alasan tidak lagi direkomendasikannya strategi berbasis tes adalah, karena hanya akan
mengakibatkan isolasi pada pasien yang berkepanjangan karena tetap terdeteksinya RNA virus SARS-
CoV-2 tetapi tidak lagi menularkan virus (CDC, update 10 Agustus).

KESIMPULAN
Berdasarkan bukti yang menunjukkan bahwa virus tidak lagi dapat dibiakkan (tidak ada kemampuan
untuk berreplikasi) setelah 9 hari sejak timbulnya gejala (terutama pada pasien dengan penyakit yang
ringan), maka aman untuk menghentikan isolasi pasien COVID-19 berdasarkan kriteria klinis dengan
waktu isolasi minimal 13 hari sejak onset gejala, dan bukan secara ketat mendasarkan pada hasil PCR
berulang. Sedangkan pada pasien dengan gejala berat atau kritis, serta dengan gangguan kekebalan
yang berat, pendekatan berbasis laboratorium (pengukuran viral load dan antibodi penetral) mungkin
dapat membantu dalam pengambilan keputusan tentang perlu tidaknya seseorang untuk dilakukan
isolasi yang berkepanjangan.

PERSPEKTIF
Berdasarkan bukti-bukti penelitian dan rekomendasi WHO serta CDC diatas, tentunya akan
memunculkan suatu keyakinan bahwa kriteria swab negatif sebagai acuan seseorang untuk dapat
menghentikan isolasinya dan boleh untuk kembali bekerja sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan
karena memang tidak ada dasar rasional untuk menggunakan acuan swab negatif untuk dianggap
sembuh dari COVID-19.

Kadang-kadang tenaga profesional yang sudah terbiasa berpikir kritis yang selalu mengedepankan pada
bukti (evidenced based) menjadi lupa akan hal tersebut. Bisa jadi hal tersebut dilandasi oleh adanya
kekhawatiran dan rasa takut tertular yang berlebihan sehngga pada akhirnya lebih mengedepankan
opini yang tidak berdasar dan tidak lagi mempertimbangkan dampak ikutan sebagai akibat penerapan
panduan yang tidak tepat.

Didunia ini tidak ada orang yang sama, setiap orang mempunyai keunikan masing-masing. Begitu juga
tidak ada suatu diagnosis penyakit yang sama, yang akan memberikan outcome yang sama pula. Sudah
umum diketahui dikalangan medis, bahwa dalam manajemen suatu penyakit harus menerapkan prinsip

3
personalized medicine dan individualized treatment approach. Menerapkan suatu tindakan harus
bersifat personal atau individual dan sesuai dengan kondisi pada saat itu. Begitu juga pada pasien yang
terkonfirmasi COVID-19, sebelum diputuskan langkah selanjutnya (misalnya lama waktu untuk isolasi,
kebutuhan akan swab ulang untuk evaluasi), harus dilakukan evaluasi kondisi masing-masing secara
individual, terutama ada tidaknya gejala (ringan, sedang, berat atau kritis), ada tidaknya gejala sisa yang
mungkin menggambarkan derajat beratnya komplikasi yang terjadi, ada tidaknya kondisi komorbid dan
lain sebagainya. Sehingga sumber daya yang ada, yang umumnya terbatas, akan benar-benar dapat
digunakan secara efektif dan efisien dan dapat dialokasikan pada kebutuhan lain yang lebih sesuai, dan
dari sisi pasien, ada rasa kepuasan telah mendapatkan perawatan yang semestinya, yang memang sudah
disesuaikan dengan kondisi masing-masing.

Kalaupun masih menerapkan ketentuan harus swab negatif sebagai syarat untuk dianggap tidak
menularkan virus, maka mestinya hal ini tidak menjadi penghalang seseorang untuk dapat beraktivitas
kembali sembari menunggu hasil swab ulangan. Orangnya (‘pasiennya’) sudah jelas, pernah
terkonfirmasi COVID-19, maka dengan status yang jelas tersebut lebih mudah untuk dapat menerapkan
pola-pola pencegahan transmisi yang lebih ketat misalnya dengan penggunaan masker N95 atau yang
setara terutama saat merawat pasien bagi tenaga Kesehatan. Penerapan pola pencegahan transmisi
yang lebih ketat dalam periode waktu tertentu pada pasien yang terkonfirmasi COVID-19 terasa lebih
manusiawi sembari menunggu jadwal pemeriksaan laboratorium (bila memang diperlukan) daripada
dilakukan isolasi.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian terkait ketentuan swab negatif semata adalah risiko kekurangan
staf/tenaga profesional untuk merawat pasien, terutama bila terjadi lonjakan kasus terkonfirmasi positif
COVID-19 yang signifikan yang mengenai para tenaga medis professional. Sekaligus untuk antisipasi hal
ini, maka fasilitas kesehatan sudah harus siap menghadapi potensi kekurangan staf dan mempunyai
rencana serta proses untuk mengatasinya, termasuk dengan penerapan rekomendasi terbaru WHO
maupun CDC.

WHO memang tidak melarang bila suatu negara tetap menggunakan rekomendasi yang dikeluarkan
pada awal-awal pandemi, yaitu 2 kali swab negatif dengan jarak setidaknya 24 jam sebagai kriteria untuk
menghentikan isolasi. Di lain pihak, kita semua pasti sepakat bahwa sarana dan prasarana yang kita
miliki terkait COVID-19 ini masih sangat terbatas, masih jauh dari minimal kebutuhan yang seharusnya.
Oleh karena itu penggunaan laboratorium yang canggih dan mahal seperti pemeriksaan RT-PCR RNA
virus SAR-CoV-2 mestinya harus tepat sasaran, dialokasikan secara tepat guna, sehingga dapat lebih
menjangkau pada target pasien yang lebih banyak. Berapa biaya yang dapat dihemat, bila pemeriksaan
RT-PCR hanya dilakukan sekali saja pada setiap pasien hanya untuk keperluan diagnostik, tanpa
pemeriksaan ulang yang mungkin perlu berkali-kali dengan target hasil swab negatif semata ?
Pendekatan berbasis laboratorium mungkin masih ada tempat untuk pasien COVID-19, tetapi tentunya
selektif, hanya pada pasien dengan kondisi tertentu berdasarkan evaluasi dokter yang berkompeten
untuk itu.

Pada akhirnya pilihan ada ditangan kita, apakah akan mengejar sesuatu yang tidak jelas manfaatnya
(tetap mengalokasikan dana untuk tes swab dengan biaya yang tidak murah ini dan mengabaikan
produktifitas tenaga professional dengan melakukan isolasi yang lama), ataukah kita akan
mengoptimalkan sumber daya yang kita miliki yang serba terbatas ini untuk sesuatu yang lebih jelas
manfaatnya (yaitu dapat menjangkau lebih banyak tes swab pada orang-orang yang memang

4
membutuhkan) ??? Negara kita adalah negara yang termasuk kategori low-middle income country
dengan sumber dayanya yang terbatas, sehingga kalau ada pilihan yang baik dan dengan biaya yang jauh
lebih murah, tentunya itu yang akan kita pilih.

*Penulis adalah dosen pada FK Universitas Brawijaya, Malang

REFERENSI:
Arons MM, Hatfield KM, Reddy SC, et al. Presymptomatic SARS-CoV 2 infections and transmission in a
skilled nursing facility. N Engl J Med. 2020; 382: 2081-90.
Atkinson B, Petersen E. SARS-CoV-2 shedding and infectivity. Lancet. 2020; 395(10233): p.1339-40.
Bullard J, Dusk K, Funk D, et al. Predicting infectious SARS-CoV-2 from diagnostic samples, Clin Infect
Dis. 2020 doi: 10.1093/cid/ciaa638.
Centers for Disease Control and Prevention, Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Symptom-Based
Strategy to Discontinue Isolation for Persons with COVID-19.  Website, accessed on 12 June 2020.
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/community/strategy-discontinue-isolation.html.
Li TZ, Cao ZH, Chen Y et al. Duration of SARS -CoV-2 RNA shedding and factors associated with
prolonged viral shedding in patients with COVID-19. J Med Virol. 2020;1–7.
Liu Y, Yan LM, Wan L, Xiang TX, Le A, Liu JM, et al. Viral dynamics in mild and severe cases of COVID-
19. Lancet Infect Dis. 2020 Mar 19.
Van Kampen JJA, Van de Vijner DAMC, Fraaij PLA, et al. Shedding of infectious virus in hospitalized
patients with coronavirus disease 2019 (COVID-19): duration and key determinants. (Preprint) Medrxiv.
2020 doi: 10.1101
Van Kampen JJA, Van de Vijner DAMC, Fraaij PLA, et al. Shedding of infectious virus in hospitalized
patients with coronavirus disease 2019 (COVID-19): duration and key determinants. (Preprint) Medrxiv.
2020 doi: 10.1101/2020.06.08.20125310.
Wolfel R, Corman VM, Guggemos W, et al. Virological assessment of hospitalized patients with COVID-
19. Nature. 2020; 581: 465-69.
Wolfel R, Corman VM, Guggemos W, et al. Virological assessment of hospitalized patients with COVID-
19. Nature. 2020; 581: 465-69.
World Health Organization. Clinical management of COVID-19 (Interim Guidance)
https://www.who.int/publications-detail/clinical-management-of-covid-19, published 27 May 2020.
World Health Organization. Coronavirus disease (COVID-19) Situation Report – 129. 28 May 2020.
Available at: https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200528-covid-19-
sitrep-129.pdf?sfvrsn=5b154880_2
Zeng T, Huan Z, Chen Y et al. Duration of SARS‐CoV‐2 RNA shedding and factors associated with
prolonged viral shedding in patients with COVID‐19. J Med Virol. 2020;1–7.
Zhou B, She J, Wang Y, Ma X. The duration of viral shedding of discharged patients with severe COVID-
19. Clin Infect Dis. 2020 Apr 17.
Zhou F, Yu T, Du R, Fan G, Liu Y, Liu Z, et al. Clinical course and risk factors for mortality of adult
inpatients with COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort study. Lancet. 2020 Mar 11.

Anda mungkin juga menyukai