Anda di halaman 1dari 7

PERBAIKAN LAHAN PADAS MENGGUNAKAN MIKROORGANISME

RHIZOBAKTER GUNA AGROWISATA

ARTIKEL ILMIAH BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

Oleh :

Julia Muna Arsa 512017008


Julio Cesar Lourdy M 512017011
Teresha Elena Surya P 512017035
Alisa Lestari 512017036
Velian Sandy Wardana 512017050

FAKULTAS PERTANIAN DAN BISNIS


UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2020
ABSTRAK
Tanah Padas yang seringkali dibiarkan kosong dikarenakan tanah yang miskin akan
kandungan hara, sehingga sulit untuk ditanami tanaman dan menjadikan tanah ini sulit
dimanfaatkan untuk masyarakat, oleh sebab itu dilakukan perbaikan struktur tanah supaya
dapat digunakan, salah satunya dengan menjadikan agrowisata yang akan memanfaatkan
lokasi tanah padas dengan sektor pertanian dari awal sampai dengan produk pertanian dalam
berbagai sistem, skala dan bentuk dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan,
pemahaman, pengalaman, dan rekreasi di bidang pertanian. Untuk itu cara yang dapat
dilakukan dengan penambahan bahan mineral ke dalam tanah sebagai penyedia rhizosfer bagi
mikroorganisme yang tentunya berperan sebagai pembenah tanah.sehingga tanah padas yang
semula miskin akan hara akan dibenahi oleh Mikroorganisme rhizosfer seperti rhizobakter,
sehingga tanah padas akan menjadi subur dan dapat ditanaman dengan vegetasi tanaman dan
akan menambah nilai keindahan pada tempat agrowisata.
Kata kunci : Agrowisata, Mikroorganisme, Rhizobakteri, Rhizosfer, Tanah Padas

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara dengan struktur tananhnya terdiri dari berbagai macam genus
tanah. Salah satunya adalah tanah padas yang membentang luas di berbagai wilayah di
Indonesia, tanah padas merupakan merupakan salah satu jenis tanah yang mempunyai sifat
padat, bahkan sangat padat. Kepadatan tanah ini terjadi karena kandungan mineral yang ada
di dalamnya dikeluarkan oleh air yang terdapat pada lapisan tanah yang berada di atasnya.
Sehingga tanah ini tadi menjadi tanah yang kosong tanpa kandungan yang ada di dalam tanah
tersebut dan hanya bersisa lapukan dari batuan induk. Dimana tanah tersebut susah di tanami
tanaman maupun digunakan oleh manusia karena kandungan dari tanah padas sendiri miskin
akan kandungan hara yang dapat digunakan oleh tanaman. Tanah padas yang sering menjadi
tanah kosong ini tidak memberikan hasil apapun bagi masyarakat sekitar. Upaya yang dapat
dilakukan untuk menjadikan lahan tersebut tidak menjadi kosong adalah merubah menjadi
agrowisata.
Agrowisata sendiri merupakan rangkaian aktivitas perjalanan wisata yang memanfaatkan
lokasi atau kawasan dan sektor pertanian mulai dari awal sampai dengan produk pertanian
dalam berbagai sistem, skala dan bentuk dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan,
pemahaman, pengalaman, dan rekreasi di bidang pertanian. Pembuatan agrowisata di lahan
padas memiliki kendala yaitu ketika penanaman vegetasi. Kendala ini muncul karena kondisi
tanah yang miskin hara dan keras. Selain menambahkan bahan mineral ke dalam tanah
terdapat cara lain untuk memperbaiki kondisi tanah adalah dengan memanfaatkan
rhizobakteri sebagai mikroorganisme penyubur tanah.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk membahas lebih lanjut mengenai
pemanfaatan lahan padas sebagai agrowisata melalui pembenahan kualitas tanah dengan
rhizobakteri.
ISI DAN PEMBAHASAN
Tanah padas merupakan lapisan tanah yang tidak mempunyai kandungan bahan- bahan
organik yang tinggi. Dengan kata lain, kandungan bahan organik yang ada dalam tanah
tersebut berjumlah sangat rendah. Karena kandungan bahan organik yang rendah inilah tanah
padas merupakan tanah yang tidak cocok untuk bercocok tanam. Hal ini karena kandungan
organik yang rendah tersebut menandakan bahwa tanah padas ini bukanlah jenis tanah yang
subur. Rendahnya kualitas tanah ini sering menjadi kendala jika ingin merubah lahan padas
menjadi agrowisata.
Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas tanah itu sendiri adalah dengan
penambahan bahan mineral ke dalam tanah. Penambahan mineral dalam tanah berfungsi
sebagai penyediaan rhizosfer bagi mikroorganisme yang akan membantu dalam perbaikan
kondisi tanah. Menurut Simatupang (2008), rhizosfer merupakan bagian tanah yang berada di
area sekitar perakaran tanaman. Populasi mikroorganisme di area rhizosfer umumnya lebih
banyak dan beragam dibandingkan pada tanah nonrhizosfer. Aktivitas mikroorganisme
rhizosfer dipengaruhi oleh nutrisi yang dihasilkan oleh perakaran tanaman budidaya.
Beberapa mikroorganisme rhizosfer berperan dalam siklus hara, kualitas tanah, proses
pembentukan tanah, memengaruhi aktivitas mikroorganisme, pertumbuhan tanaman, serta
sebagai pengendali hayati terhadap penyakit pada akar. Setelah terbentuknya rhisozfer
dengan penambahan mineral ditambahkan mikroorganisme tanah yang bersifat sebagai
pembenah tanah. Mikroorganisme tanah yang dapat dimanfaatkan salah satunya rhizobakteri.
Penelitian yang dilakukan Antaya dan Callahan (1997), menyatakan bahwa aktifitas
rhizobakteri berperan penting dalam kesuburan tanah dan produktifitas tanaman, dimana
aktifitasnya selalu berubah-ubah. Kemampuan tanah untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman didasarkan pada keberadaan dan keseimbangan banyak senyawa seperti Fosfor (P),
Kalsium (K), Sulfur (S), dan Natrium (Na). Bakteri bermanfaat untuk merombak dan
mendaur ulang senyawa-senyawa ini. Jumlah bakteri di dalam tanah dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhannya, seperti suhu, kelembapan, aerasi
dan sumber energi atau nutrisi berupa bahan organik. Tetapi secara umum populasi bakteri
yang terbesar terdapat di bagian permukaan atau 15 cm – 25 cm dari permukaan tanah.
Mikroorganisme tanah lebih banyak ditemukan pada permukaan tanah karena banyak tersedia
bahan organik. Oleh karena itu, mikroorganisme lebih banyak berada pada lapisan tanah yang
paling atas (Alexander, 1977).
Populasi mikroba tanah merupakan salah satu komponen terpenting dari tanah.
Perannya sangat aktif dalam meningkatkan stabilisasi agregat dan mem-perbaiki porositas
tanah, sehingga kondisi tanah mendukung tanaman agar tumbuh normal (Ghose 2005).
Aktivitas mikroba dapat menurun, ketika kondisi tanah mulai terganggu seperti terjadi pada
lahan bekas penambangan. Dalam keadaan aktif, mikroba tanah mendukung agregasi tanah
stabil, sebaliknya bila aktivitas mikroba menurun terjadi pemadatan dan agregasi tanah yang
rendah (Edgerton et al. 1995).
Stabilitas agregat pada umumnya meningkat dengan makin banyaknya jumlah
mikroorganisme (Lynch,1987). Hal ini dapat dilihat dari penambahan jumlah bakteri
(Azotobacter chroococcum dan Pseudomonas sp.) dan ragi (Lypomyces starkeyi) yang
ternyata meningkatkan stabilitas agregat terhadap kekuatan air. Sebaliknya tanah yang
ditambah jenis jamur (Mucor hiemalis) menunjukkan hasil yang berbeda. Berbeda dengan
kasus jamur, dengan adanya jamur perekatan ini tidak terjadi, karena hifa jamur akan
menghalangi kontak antara partikel tanah dengan bakteri disekelilingnya. Namun dalam
kondisi yang lain, hifa jamur dapat melindungi agregat primer yang dibentuk oleh perekatan
bakteri untuk membentuk agregat sekunder. Di alam,bahan perekat yang dijumpai jarang
yang berupa mikroorganisme saja, tetapi umumnya berkombinasi dengan ikatan asam
organik (Hillel, 1982).
Mikroorganisme perombak bahan organik atau biodekomposer adalah mikroorganisme
pengurai serat, lignin, dan senyawa organik yang mengandung nitrogen dan karbon dari
bahan organik (sisa-sisa organik dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati).
Mikroba perombak bahan organik terdiri atas Trichoderma reesei, T. harzianum, T. koningii,
Phanerochaeta crysosporium, Cellulomonas, Pseudomonas, Thermospora, Aspergillus niger,
A. terreus, Penicillium, dan Streptomyces. Fungi perombak bahan organik umumnya
mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam mengurai sisa-sisa tanaman
(hemiselulosa, selulosa dan lignin). Umumnya mikroba yang mampu mendegradasi selulosa
juga mampu mendegradasi hemiselulosa (Alexander 1977). Menurut Eriksson et al. (1989),
kelompok fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling nyata, yang dapat segera
menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa organik sederhana, yang berfungsi
sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan hara di sekitar tanaman.
Mikroba perombak bahan organik secara alami atau sengaja diinokulasikan untuk
mempercepat pengomposan dan meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis
mikroorganime turut menentukan keberhasilan proses dekomposisi atau pengomposan. Di
dalam ekosistem, mikroorganisme perombak bahan organik memegang peranan penting
karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam
tanah dalam bentuk hara mineral N, P, K, Ca, Mg, dan atau dalam bentuk gas yang dilepas ke
atmosfer berupa CH4 atau CO2. Dengan demikian terjadi siklus hara yang berjalan secara
alamiah, dan proses kehidupan di muka bumi dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Beberapa enzim yang terlibat dalam perombakan bahan organik antara lain adalah β-
glukosidase, lignin peroksidase (LiP), manganese peroksidase (MnP), dan lakase, selain
kelompok enzim reduktase yang merupakan penggabungan dari LiP dan MnP, yaitu enzim
versatile peroksidase. Enzimenzim ini dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, P. ostreatus, dan
Bjekandera adusta (Lankinen 2004). Selain mengurai bahan berkayu, sebagian besar fungi
menghasilkan zat yang besifat racun, sehingga dapat dipakai untuk menghambat
pertumbuhan/perkembangan organisme pengganggu, seperti beberapa strain T. harzianum
yang merupakan salah satu anggotaAscomycetes. Apabila kebutuhan karbon (C) tidak
tercukupi, fungi tersebut akan menghasilkan racun yang dapat menggagalkan penetasan telur
nematoda. Meloidogyn javanica (penyebab bengkak akar), sedangkan bila kebutuhan C
tercukupi akan bersifat parasit pada telur atau larva nematoda tersebut. Fungi Zygomycetes
(Mucorales) sebagian besar berperan sebagai pengurai amylum, protein, lemak, dan hanya
sebagian kecil yang mampu mengurai selulosa dan khitin. Inokulan perombak bahan organik
telah tersedia secara komersial dengan berbagai nama, seperti EM-4, Starbio, M-Dec,
Stardek, dan Orgadek.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa rhizobakteri dari kelompok Bacillus spp. dan
Pseudomonas spp., mampu melarutkan fosfat (Sutariati, 2006), sedangkan kelompok
Serratia spp., selain mampu meningkatkan ketersediaan P (Posfat) juga dapat memfiksasi
nitrogen dan mampu menyintesis IAA (Gholami, A, A. Biari, S. Nezarat., 2008). Isolat
Bacillus spp. dan P. Fluorescens juga dilaporkan mampu menyintesis hormon tumbuh IAA
(Sutariati, 2006), sitokinin (Timmusk S, N. Grantcharova, E.G.H. Wagner., 2005), dan
giberelin (Joo GJ, Kim YM, Kim JT, Rhee IK, Kim JH, Lee IJ., 2005).
Tidak hanya itu rizhobakteri juga bermanfaat sebagai biofertilizer, dimana Biofertilizer
(pupuk hayati) adalah formulasi mikroorganisme atau organisme hidup yang bila diterapkan
pada pembibitan tanaman, permukaan tanaman atau tanah, akan membentuk koloni dibagian
rhizosfer atau bagian dalam tanaman dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan
menambah ketersediaan nutrisi utama untuk tanaman (Vessey, 2003). Sehingga dengan di
tambahkannya rhizobakteri pada tanah di daerah tanah padas dapat membuat tanah menjadi
lebih subur, tidak hanya itu dengan di tambahkannya rhizobakteri juga dapat menghemat
biaya untuk pemupukan tanaman karena hasil dari olahan bakteri rhizobakteri dapat dijadikan
sebagai pupuk hayati. Sehingga tanah padas dapat di tanami tanaman berbagai varietas yang
dapat mempercantik keindahan tempat agrowisata.
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dengan demikian, dapat di ketahui bahwa tanah padas yang kandungan bahan
organiknya rendah juga bisa di jadikan tempat agrowisata. Caranya dengan penambahan
bahan mineral ke dalam tanah sehingga dapat menyediakan organisme yang berada di
rhizosfer seperti rhizobakter yang akan membantu dalam perbaikan kondisi tanah menjadi
lebih subur dan dapat membantu perbaikan pada tanaman. Sehingga tanah padas dapat di
tanami tanaman berbagai varietas yang dapat mempercantik keindahan tempat agrowisata.
B. SARAN
Menurut pendapat penulis. Perbaikan tanah padas untuk dijadikan agrowisata ini
seharusnya perlu dilakukan peneliti lagi dan di kembangkan dalam semua bidangnya. Seperti
halnya meneliti tentang seberapa lama bakteri tersebut dapat menguraikan tanah padas
sehingga dapat di jadikan tempat agrowisata, meneliti tanaman volunter guna untuk
mengetahui tanaman apa saja yang dapat di kembangkan di tanah padas tersebut. Dan perlu
tahu tentang komposisi (dosis) yang perlu di terapkan untuk membuat media tanamnya. Oleh
karena itu artikel ini merupakan ide baru yang harus dikembangkan lagi untuk agrowisata.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977 . Introduction to Soil Microbiology. 2nd Edition. John Wiley and
Sons. New York.
Antaya, K., dan J.L. Callahan. 1997. Nontarget Bacteria Inhibited by Fungicides. Golf
Course Superintendents Association of America (GCSAA). Amerika
Erikson, Erik H. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia, Bunga Rampai I. Jakarta: PT.
Gramedia.
Gholami A, Biari A, Nezarat S. 2008. Effect Of Seed Priming With Growth Promoting
Rhizobacteria At Different Rhizosphere Condition On Growth Parameter Of
Maize. International Meeting On Soil Fertility Land Management and
Agroclimatology. Turkey P: 851-856.
Ghosh M., and Singh S.P., 2005, A review on Phytoremediation of Heavy Metals and
Utilization of Its Byproducts, Biomass and Waste Management Laboratory,
School of Energy and Environmental Studies, Faculty of Engineering Sciences,
Devi Ahilya University, Indore, India.3, 1-18.
Hillel, D. 1982. Introduction to Soil Physics.Departement of Plant and Soil Sciences
.Armest. University of Massachusets. Terjemahan Susanto, R., H. dan Purnomo,
Rahmad., H. 1996. Pengantar Fisika Tanah. Fakultas Pertanian, Universitas
Sriwijaya. Indralaya. 675 hlm.
J. M. Lynch, 1983. Blackwell scientific Pub., London. Pp.107-120.
Joo G.J., Kim YM., Kim J.T., Rhee I.K., Kim J.H., and Lee I.J. 2005. Gibberellins
producing rhizobacteria increase endogenous gibberellins content and promote
growth of red peppers. J. Microbiol. 43:510-515.
Lankinen, P. 2004. Ligninolytic Enzymes of The Basidiomycetous Fung Agaricus
bisporus and Phlebia radiata on Lignocellulose-Containing Media. [Dissertation].
Finland: University of Helsinki.
Lynch, J. M. 1983. “Plant Growth Regulators and Phytotoxins from Micro-Organisms”. In:
Soil Biotechnology. Microbiological factors in Crop productivity.
Simatupang, DS. 2008. Berbagai Mikroorganisme Rhizosfer pada Tanaman Pepaya
(Carica papaya L.). Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT).
Sutariati, GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S. 2006. Pengaruh perlakuan rhizobakteri
pemacu pertumbuhan tanaman terhadap viabilitas benih serta pertumbuhan
bibit tanaman cabai. Bul. Agron. 34(1): 46-54.
Timmusk S, Grantcharova N, Wagner EGH. 2005. Paenibacillus polymyxa invades
plant roots and forms biofilms. Applied and Environmental. J Microbiology.
71(11): 7292–7300.
Vessey, J. K. 2003. Plant Growth Promoting Rhizobacteria as Biofertilizer. Plant Soil.255:
571-586.

Anda mungkin juga menyukai