Anda di halaman 1dari 19

AKAD WADI’AH

MAKALAH

Makalah ini disusun untuk memenuhui mata kuliah Ekonomi Islam


Dosen Pengampu:
Mohammad Sueb, MEI

Oleh :
Laila Torfiah ( 20340039 )

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa


memberi kita nikmat iman dan sehat. Berkat rida-Nya, penulis akhirnya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul AKAD WADI’AH. Sholawat
serta salam tak lupa penulis ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
yang telah memperjuangkan umat manusia ke jalan yang benar dan menjadi
pelajaran bagi kita semua.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu
Mata Kuliah Ekonomi Islam yang sekaligus menjadi Pembimbing dalam
penyusunan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
waktu.

Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh bapak
Muhammad Sueb, MEI. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Ekonomi Islam
semestar 3 Universitas Sunan Giri Surabaya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka
dari itu penulis membutuhkan saran dan kritik guna membangun perbaikan
dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi orang lain.

Penulis

Sidoarjo, 7 Oktober 2021

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
ABSTRAK............................................................................................................................1
ABSTACTION.......................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................5
A. PENGERTIAN WADI’AH...........................................................................................5
B. RUKUN, SYARAT DAN JENIS-JENIS AKAD WADI’AH................................................7
C. Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah................................9
D. Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah..........................................................10
BAB III...............................................................................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................................15
A. KESIMPULAN........................................................................................................15
B. SARAN..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

ii
ABSTRAK
Perekonomian Islam adalah sistem ekonomi dengan dasar hukum yang
digunakan adalah hukum Islam. Perekonomian Islam meski menggunakan dasar
hukum Islam namun hal ini tidak menghalangi masyarakat yang tidak beragama
Islam untuk turut andil dalam sistem perekonomian Islam. Pada dasarnya
ekonomi Islam memiliki tujuan untuk memakmurkan, tidak hanya mencari
keuntungan, sehingga banyak negara yang tidak bermayoritas masyarakatnya
beragama Islam ataupun bahkan negara liberal ikut menerapkan ekonomi Islam
diberbagai sisi.

Perbankan syariah pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep


ekonomi Islam, terutama dalam bidang keuangan. Perbankan syariah dalam
peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking. Bank syariah pada
awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi
perbankan muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak
yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan
sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syariah Islam. Utamanya adalah
yang berkaitan dengan pelarangan praktek riba, kegiatan maisir (perjudian),
Gharar (ketidakjelasan) dan pelanggaran prinsip keadilan dalam transaksi serta
keharusan penyaluran dana investasi pada kegiatan usaha yang etis dan halal
secara syariah.

Sebagaimana diketahui bahwa bank syariah dibentuk adalah sebagai


koreksi atas bank konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga yang
dianggap oleh sebagian ulama sebagai riba. Oleh karena itu dengan bank syariah
dioperasikan tidak menggunakan sistem bunga melainkan dengan sistem bagi
hasil. Kendati perbankan syariah melalui program-programnya telah
mensosialisasikan produk syariah ke masyarakat umum, namun masih ada
sebagian masyarakat yang belum memahami beberapa produk syariah, padahal
apabila dikaji tentang manfaatnya, semua produk syariah tentunya mempunyai
fungsi dan perannya masing-masing dalam kehidupan ekonomi umat.

Kata kunci : ekonomi islam, perbankan syari’ah.

1
ABSTACTION
The Islamic economy is an economic system with the legal basis used is Islamic
law. Even though the Islamic economy uses the basis of Islamic law, this does not
prevent people who are not Muslim from taking part in the Islamic economic
system. Basically, Islamic economics has the aim of prospering, not just looking
for profit, so that many countries that do not have a majority Muslim community
or even liberal countries participate in implementing Islamic economics on
various sides.
Islamic banking is basically a development of the concept of Islamic economics,
especially in the financial sector. Islamic banking in international terms is known
as Islamic Banking. Islamic banks were initially developed as a response from a
group of economists and Muslim banking practitioners who sought to
accommodate the pressures of various parties who wanted financial transaction
services to be carried out in line with the moral values and principles of Islamic
sharia. The main ones are those related to the prohibition of usury practices,
maisir (gambling) activities, Gharar (unclearness) and violations of the principle
of justice in transactions as well as the obligation to distribute investment funds in
ethical and halal business activities according to sharia.
As it is known that Islamic banks were formed as a correction to conventional
banks that operate with an interest system which is considered by some scholars
as usury. Therefore, Islamic banks operate not using an interest system but with a
profit-sharing system. Although Islamic banking through its programs has
disseminated sharia products to the general public, there are still some people
who do not understand some sharia products, even though when examined about
the benefits, all sharia products certainly have their respective functions and
roles in the economic life of the people.
Keywords: Islamic economics, Islamic banking.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang


berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk
memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan
kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami
antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong menolong (ta’awul), serta
untuk mempererat silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf
(perkenalan). Namun dari beberapa tujuan muamalat tersebut, tidak
sepenuhnya terlaksana. Masih banyak masalah-masalah yang terjadi
karena proses muamalat tersebut. Diantaranya masih banyak orang yang
dirugikan dalam suatu proses muamalat tersebut. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui
dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang
merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.

Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam


diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah
itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah
dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai
sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.

Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud


yaitu bahwa kita selaku umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang
bersangkutan dengan muamalah. Seperti dalam rukun muamalat-jual beli
harus ada akad (ijab dan qabul). Dalam akad muamalat terdapat beberapa
transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, akad
Al-Wakalah, dan Al-Kafalah, dsb. Dalam hal ini pemakalah mencoba
menjelaskan salah satu bagian dari mumalat tersebut yaitu akad tentang
Wadi’ah (titipan).

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wadi’ah?
2.  Bagaimana rukun, syarat, dan jenis akad Wadi’ah?
3.  Bagaimana Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah?
4. Bagaimana penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Mencoba mengedepankan sebuah topik salah satu akad dalam fiqh


muamalah yaitu Wadi’ah (titipan).
2. Mengetahui tata cara pelaksanaan akad Wadi’ah.
3. Dapat memahami proses pelaksanaan akad Wadi’ah. Dan,
4. Tentunya sebagai tugas bagi mahasiswa guna mencari, mempelajari

dan memahami fiqh muamalah khususnya tentang akad wadi’ah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WADI’AH

Secara etimologi wadi’ah ( ‫ )الودعة‬berartikan titipan (amanah). Kata Al-


wadi’ah memiliki bentuk masdar dari fi’il madi wada’a yang dapat  diartikan
sebagai  meninggalkan atau meletakan. Yaitu meletakan sesuatu  kepada orang
lain untuk dijaga dan dipelihara. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah
sesuatu yang dititipkan. Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi,
maliki dan hambali.
Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
1. Ulama Hanafiyah :
‫تسليط الغير على حفظ مال‬
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan
yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”

2. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :


‫توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”

Secara harfiah, wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada orang lain


untuk menjaga dan memelihara harta atau barangnya dengan cara terang-terangan
ataupun dengan isyarat yang semakna dengan itu.
Sementara itu Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang
dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara
pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau
uang. Sedangkan secara terminologi wadi’ah ialah memberikan kekuasaan kepada
orang lain untuk menjaga dan memelihara harta atau barangnya dengan cara
terang-terangan ataupun dengan isyarat yang semakna dengan itu.

5
Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana dengan
alasan tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain untuk
menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan
berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada orang lain bukan untuk dikuasai,
namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada suatu hal dan hal lain
yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan. Tidak ada ketentuan mengenai
alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang pasti seseorang
mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada orang lain, bagi orang
yang merima barang yang dititipkan bisa menerima ataupun menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak
diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerimaan titipan.
Akan tetapi cukup dengan menerima barang yang ditirpkan oleh pemilik barang
tersebut. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad perjanjian
kapan saja. Penerima titipan bisa saja mengembalikan barang titipan sewaktu-
waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa mengambilnya sewaktu-waktu
pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang
mempunyai harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia titipkan ,
terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat terjaga dengan aman
dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada dasarnya tidak boleh
menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik kepadanya.
Hukum Wadiah adalah suatu akad yang dibolehkan oleh syariat
berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Dalil yang menghadirkan akad ini yaitu Q.S An-Nisa: 58

artinya,
“sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
merimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya

6
kamu  menetapkanya dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat”

Kemudian pada Q.S Al-Baqarah: 283


......ِّ‫اؤتُ ِمنَ الَّ ِذي فَ ْليُؤَ د‬
ْ ُ‫ق أَ َمانَتَه‬
ِ َّ‫او ْليَت‬
َ َ ‫هَّلل‬.....
artinya 
“ Dan hendaklah   yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertaqwalah kepada Allah “
Diperkuat juga  dengan hadits Nabi SAW, “ Tunaikanlah amanah kepada orang
yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh syaikh al-
Albani dalam Al Irwaa, 5/381).
Ijma’ para ulama  dari zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad
wadi’ah  sangat diperlukan manusia dalam kehidupan muamalah.

B. RUKUN, SYARAT DAN JENIS-JENIS AKAD WADI’AH

Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti memiliki
rukun yang menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad wadiah menurut jumhur
ulama:

1. Mudi, (orang yang menitipkan barang)


2. Wadii’ (orang yang dititipi barang)
3. Wadi’ah ( barang yang dititipkan)
4. Sighat titipan (ijab-qobul)

Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu adanya ijab
qobul (sighat), sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan hambali memiliki
tambahan syarat  ialah barang tersebut harus memiliki nilai atau qimah sehingga
dapat dipandang sebagai maal.

7
Syarat-syarat Wadi’ah
1. Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus orang yang
termasuk ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan transaksi). Maka dianggap
tidak sah akad wadi’ah apabila yang dilakukan oleh anak kecil, orang tidak
waras (gila), dan mahjur alaih bi safih (orang bodoh yang tidak mengerti mata
uang). Persyaratan tersebut diperjelas dengn penambahan aqil baligh
oleh  jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu Hanifah boleh bagi anak yang
belum baligh melakukan akad wadi’ah, asalkan mendapatkan  izin dari orang
tua atau walinya.
2. Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad wadi’ah harus
muhtaramah, dianggap mulya oleh syara’. Meskipun barang tersebut tidak
memiliki nilai jual. Disamping itu barang yang dititipkan juga harus diketahui
indentitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara.

Jenis-jenis Wadi’ah

1. Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua
pihak (penitip dan yang dititipi) melakukan kesepakatan bahwa barang yang
dititipkan tidak digunakan dalam hal apapun oleh pika yang dititipi. Pihak
yang diberi amanah hanya menjaga keberadaan harta yang dititi
tersebut.  Dalam kondisi yang seperti ini tidak ada kewajiban bagi orang yang
dititipi untuk menanggung kerugian jika barang titipan rusak, terkecuali ada
unsur kesengajaan atau karena kelalaian.
2.  Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus
menanggung kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah.

Namun, saja bisa berubah menjadi dhamanah dengan sebab-sebab berikut ini;

a. Barang tidak dipelihara dengan baik oleh penerima titipan. Apabila


seseorang merusak barang titipan, dan pihak yang dititipi tahu dan tidak
berusaha untuk mencegah hal tersebut padahal ia mampu, maka pihak yang
dititipi wajib menanggung kerugian.
b. Barang titipan kemudian dititipkan kepada orang lain yang tidak termasuk
keluarga deket dan tidak dibawah tanggung jawabnya.

8
c. Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan.
Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa orang yang dititpi barang apabila
orang tersebut menggunakan barang titipan, maka orang yang dititpi wajib
membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain
diluar kemampuanya.

Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan dengan harta
pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama sepakat  bahwa
apabila pihak yang dititipi barang  mencampur barang titipan dengan harta
milik pribadinya, semenstara barang titipan  sulit untuk dipisahkan, maka
pemilik berhak untuk menuntut ganti rugi barang tersebut.

d. Penerima barang titipan melanggar syarat-syarat yang telah disepakati.


Misalnya, ketika akad wadi’ah dilaksanakan, kedua belah pihak  sepakat bahwa
barang yang dititipkan ditaruh dibrankas. Akan tetapi pihak penerima titipan
tidak melakukannya. Maka jika barang titipan rusak atau hilang pemilik barang
berhak menuntut ganti rugi.

Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadi’ah yang semula merupakan


amanah berubah menjadi dhamanah. Dimana pihak yang dititipi punya
tanggungjawab penuh terhadap keberadaan harta titipan tersebut. Berawal dari
logika seperti inilah akad wadi’ah di terapkan pada Lembaga Keuangan Syariah

C. Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penjagaan barang dapat dilakukan


oleh orang dalam tanggunganya semisal istri, anak, pembantu ataupun orang yang
diberi upah untuk menjaga barang tersebut. Namun barang tersebut tidak
diperbolehkan  untuk ditipi kepada keluarga yang baru semisal istri yang baru
dinikahi, pembantu atau pegawai yang baru saja diterima dan menjadi karyawan.
Adapun menurut pendapat  ulama Syafi’iyyah  tentang penjaggaan barang
ialah barang tersebut harus dijaga sendiri oleh pihak yang diberi amanah, pihak
tersebut tidak diperkenankan untuk meninggalkan barang tersebut kepada
siapapun bahkan kepada istri, anak kecuali ada izin dari pihak penitip.

9
Seluruh Ulama Madzhab setuju bahwa barang yang dititipkan merupakan
sebuah ibadah sunnah bagi pihak yang dititipi, dan mendapat pahala apabila
barang tersebut di jaga dan dipelihara dengan baik.

Ada beberapa kondisi yang menjadi penyebab terputusnya wadi’ah yaitu;


1. Pengembalian barang yang dititipi kepada pihak penitip baik diminta oleh
penitip ataupun tidak.
2. Meninggalnya pihak yang dititipi barang/harta atau penitip barang/harta.
3. Salah satu dari pihak penitip atau penerima dititipan dalam keadaan koma
yang berkepanjangan,  menjadi tidak waras (gila), maupun dalam keadaan
stress berat dalam beberapa waktu dan hal ini merusak akad titipan.
4.  Terjadinya ‘hajr’ atau legal restriction yang terjadi pada penitip seperti
hilang kompetensi, dan pada pihak yang dititipi mengalami kebangkrutan
atau pailit, maka akad tititpan tersebut putus.

D. Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah

Wadiah terkait dengan praktek dalam perbankan pada awalnya


hanyalah sebuah akad amanah yang sederhana dikemas sedemikian rupa oleh
perbankan dalam rangka mengakomodasi uang tabungan nasabah yang ada
dalam bank. Dengan alasan untuk menghindari riba akad ini digunakan untuk
mengakomodasi nasabah yang berkeinginan uangnya aman. Bank siap
menerima titipan uang.

Mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga mediasi


permodalan. Tentunya uang yang ada di dalam bank tidak di diamkan begitu
saja, namun juga digunakan dengan tujuan investasi atau pembiayaan, yang
secara otomatis bercampur dengan uang milik bank yang lain. Karena dengan
praktek ini, pihak bank mendapatkan keuntungan, maka bank dengan sukarela
memberikan sebagian keuntungannya kepada nasabah. Titik Inilah yang
disebut munculnya perkembangan dalam akad wadi’ah

10
Perbankan dapat mempraktekkan akad wadi’ah ini khususnya dalam
rangka untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding).
Berdasarkan akad wadi’ah ini jenis produk perbankan yang dapat
diaplikasikan diantaranya:

1. Giro wadi’ah bank.


Yang dapat diartikan sebagai bentuk simpanan yang penarikannya
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan yang didasarkan pada
prinsip titipan. Dalam giro wadi’ah nasabah tidak mendapatkan keuntungan
berupa bunga, melainkan bonus yang nilainya tidak boleh diperjanjikan di
awal akad. Sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No. 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro wadi’ah yang dapat dipraktekkan
oleh perbankan syari’ah adalah giro wadi’ah yang memenuhi persyaratan
bersifat titipan, titipan bisa diambil kapan saja (on call), tidak ada imbalan
yang diisyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai titipan
wadi’ah yad al-dlamanah.  Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh bank
sebagai penerimaan titipan selama dana tersebut mengendap di bank. Tetapi
bank punya kewajiban untuk membayarnya setiap saat jika nasabah
mengambil titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan
oleh bank syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa dari pemanfaatan dana
yang mengendap di bank dalam bentuk bonus. Akan tetapi bonus yang akan
diterima kan oleh pihak bank kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan di
awal titik pihak nasabah harus memahami bahwa bonus yang kemungkinan
diterima adalah hak penuh pihak bank untuk memberikannya atau tidak.

11
2. Tabungan wadiah yad al-dlomanah, 
Adalah rekening tabungan yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik
setiap saat dan bukan tabungan berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada
dasarnya hampir sama dengan giro yang dapat ditarik setiap saat. Hal yang
membedakannya hanya pada mekanisme penarikannya saja. Sedangkan kalau
dilihat dari jenis simpanan nya sama dengan giro, maka aturan tentang
pemberian bonus atau imbalan lainnya pun sama dengan rekening giro.

Skema Akad Wadiah al-dlomanah:

Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan bank
mendapatkan keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan? Nah,
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya kalau pada akad wadiah, bank tidak
memiliki hak untuk memberikan bonus. Tetapi, umumnya Bank memberikan
keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk nasabah secara sukarela dan
dalam islam hal tersebut diperbolehkan.

Bila dilihat dari skema di atas maka barang/aset yang ditipkan diputar oleh bank
pada suatu usaha yang kemudian dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan
yang diperuntukan khusus untuk bank. Keputusan bank untuk memberikan bonus
atau tidak maka itu tergantung dari kebijakan bank itu

12
3. Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktekkan wad’iah Yad Al-
amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box. Dimana nasabah yang
membutuhkan jasa ini akan mendapatkan fasilitas penyimpanan barang berharga
mereka dalam bentuk kotak penyimpanan dengan inisial tertentu, menyimpan dan
memegang kunci sendiri. Pihak bank akan menerima upah titipan yang ditentukan
dan secara keseluruhan akan menjaga keamanan lingkungan dan ruang
penyimpanan melalui prosedur administrasi keluar dan masuk ruang penyimpanan
serta pengawasan dari karyawan yang ditunjuk.

Skema Akad Wadiah Al-amanah:


 

 
Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses yang
lebih sederhana. Yaitu pihak penitip akan memberikan barang untuk dititipkan.
Namun, sebagai jasa atas penyimpanan maka penitip memberikan bayaran. Ini
biasanya terjadi di Bank Syariah pada produk save deposit box.

Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan pada
produk bank yang sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk yang lain yang
memudahkan seseorang untuk bertransaksi. Apakah produk tersebut? Produk
tersebut adalah e-money. Secara sederhana, e-money adalah sistem uang
elektronik yang mengkonversi uang kertas yang dimiliki masuk ke dalam sistem
e-money yang berbentuk kartu. Siapa yang tidak tahu tentang kartu multifungsi
ini.

13
Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi mereka yang
tidak terbiasa membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka akan mengkonversi
uang mereka ke dalam kartu  e-money. Terlebih buat mereka yang berkendara
menggunakan transportasi umum seperti kereta yang tentunya akan lebih efisien
ketika menggunakan e-money. Namun, apakah kartu e-money itu diperbolehkan?
Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu e-money,
Ustadz Oni Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas
Ekonomi Kekinian menjelaskan bahwa kartu e-money secara syariah
diperbolehkan. Hal ini juga mengacu pada fatwa DSN No.116/DSN-MUI/IX/2017
tentang uang elektronik syariah karena dilihat dari maslahat yang hadir dengan
adanya kartu e-money.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan
menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada
benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan
dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan,
lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang
nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan
barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah
perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian,
bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta
dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.

B. SARAN
Dengan segala keterbatasan ilmu dan sumber-sumber yang kami pelajari,
saya mengakui banyaknya kekurangan dan ketidak sempurnaan kami dalam
penyusunan makalah ini. Karenanya, kami mohon maaf dengan kerendahan hati
senantiasa kami harapkan kritik dan saran dari para rekan mahasiswa, dosen dan
para ustadz guna menunjang perkembangan pembuatan makalah kami ke depan,
selanjutnya semua kami serahkan kepada Allah SWT selaku pemilik ilmu ini dan
Dia-lah dzat yang Maha Benar lagi Maha Sempurna. Semoga tugas makalah ini
dicatat sebagai amal baik kami oleh Allah Swt. Sebagai amal shalih dan
bermanfaat. Amin.

15
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid. 2009. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga


Keuangan Syari’ah. Yogyakarta: Logung Pustaka
Herdianto, Dendy. 2019. Akad Wadiah dalam Ekonomi Islam : Pengertian, Dalil,
Rukun dan Contoh. Diakses dari https://qazwa.id/blog/akad-wadiah/ pada 23
Maret 2020.
Setyaningsih,  Sulis. 2018. Pengertian Muamalah, Beserta Prinsip dan
Penerapannya dalam Berbisnis. Diakses
dari https://www.wajibbaca.com/2018/05/muamalah-adalah.html pada 23 Maret
2020.
Pengertian, Macam dan Aplikasi Wadiah dalam perbankan. Diakses
dari http://seruansantri.blogspot.com/2016/11/makalah-wadiah-pengertian-
macam-dan.html pada 21 maret 2020
file:///C:/Users/MyBook14G/Downloads/5103-15438-1-PB.pdf
http://repository.uin-suska.ac.id/19330/8/8.%20BAB%20III_2018700MUA.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai