MAKALAH
Oleh :
Laila Torfiah ( 20340039 )
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh bapak
Muhammad Sueb, MEI. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Ekonomi Islam
semestar 3 Universitas Sunan Giri Surabaya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka
dari itu penulis membutuhkan saran dan kritik guna membangun perbaikan
dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi orang lain.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
ABSTRAK............................................................................................................................1
ABSTACTION.......................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................5
A. PENGERTIAN WADI’AH...........................................................................................5
B. RUKUN, SYARAT DAN JENIS-JENIS AKAD WADI’AH................................................7
C. Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah................................9
D. Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah..........................................................10
BAB III...............................................................................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................................15
A. KESIMPULAN........................................................................................................15
B. SARAN..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
ii
ABSTRAK
Perekonomian Islam adalah sistem ekonomi dengan dasar hukum yang
digunakan adalah hukum Islam. Perekonomian Islam meski menggunakan dasar
hukum Islam namun hal ini tidak menghalangi masyarakat yang tidak beragama
Islam untuk turut andil dalam sistem perekonomian Islam. Pada dasarnya
ekonomi Islam memiliki tujuan untuk memakmurkan, tidak hanya mencari
keuntungan, sehingga banyak negara yang tidak bermayoritas masyarakatnya
beragama Islam ataupun bahkan negara liberal ikut menerapkan ekonomi Islam
diberbagai sisi.
1
ABSTACTION
The Islamic economy is an economic system with the legal basis used is Islamic
law. Even though the Islamic economy uses the basis of Islamic law, this does not
prevent people who are not Muslim from taking part in the Islamic economic
system. Basically, Islamic economics has the aim of prospering, not just looking
for profit, so that many countries that do not have a majority Muslim community
or even liberal countries participate in implementing Islamic economics on
various sides.
Islamic banking is basically a development of the concept of Islamic economics,
especially in the financial sector. Islamic banking in international terms is known
as Islamic Banking. Islamic banks were initially developed as a response from a
group of economists and Muslim banking practitioners who sought to
accommodate the pressures of various parties who wanted financial transaction
services to be carried out in line with the moral values and principles of Islamic
sharia. The main ones are those related to the prohibition of usury practices,
maisir (gambling) activities, Gharar (unclearness) and violations of the principle
of justice in transactions as well as the obligation to distribute investment funds in
ethical and halal business activities according to sharia.
As it is known that Islamic banks were formed as a correction to conventional
banks that operate with an interest system which is considered by some scholars
as usury. Therefore, Islamic banks operate not using an interest system but with a
profit-sharing system. Although Islamic banking through its programs has
disseminated sharia products to the general public, there are still some people
who do not understand some sharia products, even though when examined about
the benefits, all sharia products certainly have their respective functions and
roles in the economic life of the people.
Keywords: Islamic economics, Islamic banking.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wadi’ah?
2. Bagaimana rukun, syarat, dan jenis akad Wadi’ah?
3. Bagaimana Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah?
4. Bagaimana penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WADI’AH
5
Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana dengan
alasan tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain untuk
menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan
berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada orang lain bukan untuk dikuasai,
namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada suatu hal dan hal lain
yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan. Tidak ada ketentuan mengenai
alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang pasti seseorang
mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada orang lain, bagi orang
yang merima barang yang dititipkan bisa menerima ataupun menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak
diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerimaan titipan.
Akan tetapi cukup dengan menerima barang yang ditirpkan oleh pemilik barang
tersebut. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad perjanjian
kapan saja. Penerima titipan bisa saja mengembalikan barang titipan sewaktu-
waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa mengambilnya sewaktu-waktu
pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang
mempunyai harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia titipkan ,
terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat terjaga dengan aman
dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada dasarnya tidak boleh
menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik kepadanya.
Hukum Wadiah adalah suatu akad yang dibolehkan oleh syariat
berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Dalil yang menghadirkan akad ini yaitu Q.S An-Nisa: 58
artinya,
“sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
merimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya
6
kamu menetapkanya dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat”
Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti memiliki
rukun yang menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad wadiah menurut jumhur
ulama:
Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu adanya ijab
qobul (sighat), sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan hambali memiliki
tambahan syarat ialah barang tersebut harus memiliki nilai atau qimah sehingga
dapat dipandang sebagai maal.
7
Syarat-syarat Wadi’ah
1. Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus orang yang
termasuk ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan transaksi). Maka dianggap
tidak sah akad wadi’ah apabila yang dilakukan oleh anak kecil, orang tidak
waras (gila), dan mahjur alaih bi safih (orang bodoh yang tidak mengerti mata
uang). Persyaratan tersebut diperjelas dengn penambahan aqil baligh
oleh jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu Hanifah boleh bagi anak yang
belum baligh melakukan akad wadi’ah, asalkan mendapatkan izin dari orang
tua atau walinya.
2. Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad wadi’ah harus
muhtaramah, dianggap mulya oleh syara’. Meskipun barang tersebut tidak
memiliki nilai jual. Disamping itu barang yang dititipkan juga harus diketahui
indentitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara.
Jenis-jenis Wadi’ah
1. Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua
pihak (penitip dan yang dititipi) melakukan kesepakatan bahwa barang yang
dititipkan tidak digunakan dalam hal apapun oleh pika yang dititipi. Pihak
yang diberi amanah hanya menjaga keberadaan harta yang dititi
tersebut. Dalam kondisi yang seperti ini tidak ada kewajiban bagi orang yang
dititipi untuk menanggung kerugian jika barang titipan rusak, terkecuali ada
unsur kesengajaan atau karena kelalaian.
2. Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus
menanggung kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah.
8
c. Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan.
Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa orang yang dititpi barang apabila
orang tersebut menggunakan barang titipan, maka orang yang dititpi wajib
membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain
diluar kemampuanya.
Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan dengan harta
pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama sepakat bahwa
apabila pihak yang dititipi barang mencampur barang titipan dengan harta
milik pribadinya, semenstara barang titipan sulit untuk dipisahkan, maka
pemilik berhak untuk menuntut ganti rugi barang tersebut.
9
Seluruh Ulama Madzhab setuju bahwa barang yang dititipkan merupakan
sebuah ibadah sunnah bagi pihak yang dititipi, dan mendapat pahala apabila
barang tersebut di jaga dan dipelihara dengan baik.
10
Perbankan dapat mempraktekkan akad wadi’ah ini khususnya dalam
rangka untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding).
Berdasarkan akad wadi’ah ini jenis produk perbankan yang dapat
diaplikasikan diantaranya:
11
2. Tabungan wadiah yad al-dlomanah,
Adalah rekening tabungan yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik
setiap saat dan bukan tabungan berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada
dasarnya hampir sama dengan giro yang dapat ditarik setiap saat. Hal yang
membedakannya hanya pada mekanisme penarikannya saja. Sedangkan kalau
dilihat dari jenis simpanan nya sama dengan giro, maka aturan tentang
pemberian bonus atau imbalan lainnya pun sama dengan rekening giro.
Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan bank
mendapatkan keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan? Nah,
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya kalau pada akad wadiah, bank tidak
memiliki hak untuk memberikan bonus. Tetapi, umumnya Bank memberikan
keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk nasabah secara sukarela dan
dalam islam hal tersebut diperbolehkan.
Bila dilihat dari skema di atas maka barang/aset yang ditipkan diputar oleh bank
pada suatu usaha yang kemudian dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan
yang diperuntukan khusus untuk bank. Keputusan bank untuk memberikan bonus
atau tidak maka itu tergantung dari kebijakan bank itu
12
3. Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktekkan wad’iah Yad Al-
amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box. Dimana nasabah yang
membutuhkan jasa ini akan mendapatkan fasilitas penyimpanan barang berharga
mereka dalam bentuk kotak penyimpanan dengan inisial tertentu, menyimpan dan
memegang kunci sendiri. Pihak bank akan menerima upah titipan yang ditentukan
dan secara keseluruhan akan menjaga keamanan lingkungan dan ruang
penyimpanan melalui prosedur administrasi keluar dan masuk ruang penyimpanan
serta pengawasan dari karyawan yang ditunjuk.
Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses yang
lebih sederhana. Yaitu pihak penitip akan memberikan barang untuk dititipkan.
Namun, sebagai jasa atas penyimpanan maka penitip memberikan bayaran. Ini
biasanya terjadi di Bank Syariah pada produk save deposit box.
Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan pada
produk bank yang sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk yang lain yang
memudahkan seseorang untuk bertransaksi. Apakah produk tersebut? Produk
tersebut adalah e-money. Secara sederhana, e-money adalah sistem uang
elektronik yang mengkonversi uang kertas yang dimiliki masuk ke dalam sistem
e-money yang berbentuk kartu. Siapa yang tidak tahu tentang kartu multifungsi
ini.
13
Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi mereka yang
tidak terbiasa membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka akan mengkonversi
uang mereka ke dalam kartu e-money. Terlebih buat mereka yang berkendara
menggunakan transportasi umum seperti kereta yang tentunya akan lebih efisien
ketika menggunakan e-money. Namun, apakah kartu e-money itu diperbolehkan?
Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu e-money,
Ustadz Oni Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas
Ekonomi Kekinian menjelaskan bahwa kartu e-money secara syariah
diperbolehkan. Hal ini juga mengacu pada fatwa DSN No.116/DSN-MUI/IX/2017
tentang uang elektronik syariah karena dilihat dari maslahat yang hadir dengan
adanya kartu e-money.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan
menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada
benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan
dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan,
lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang
nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan
barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah
perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian,
bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta
dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.
B. SARAN
Dengan segala keterbatasan ilmu dan sumber-sumber yang kami pelajari,
saya mengakui banyaknya kekurangan dan ketidak sempurnaan kami dalam
penyusunan makalah ini. Karenanya, kami mohon maaf dengan kerendahan hati
senantiasa kami harapkan kritik dan saran dari para rekan mahasiswa, dosen dan
para ustadz guna menunjang perkembangan pembuatan makalah kami ke depan,
selanjutnya semua kami serahkan kepada Allah SWT selaku pemilik ilmu ini dan
Dia-lah dzat yang Maha Benar lagi Maha Sempurna. Semoga tugas makalah ini
dicatat sebagai amal baik kami oleh Allah Swt. Sebagai amal shalih dan
bermanfaat. Amin.
15
DAFTAR PUSTAKA
16