Anda di halaman 1dari 56

PEMBUATAN KEBIJAKAN KESEHATAN

“Naskah Akademik Peraturan Daerah


Pengendalian Konsumsi Satwa Liar
di Provinsi Sulawesi Utara”

Disusun oleh:

Finci Ommi Sikatta 1906430320

Iyana Putri 1906335981

Surya Dina Amri 1906430831

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS INDONESIA

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................2

1.1. Latar Belakang......................................................................................................2

1.2. Identifikasi Masalah..............................................................................................6

1.3. Tujuan...................................................................................................................7

1.4. Metodologi............................................................................................................7

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS........................................................9

2.1. Kajian Teoritis......................................................................................................9

2.1.1. Penyakit Infeksi Emerging..........................................................................9

2.1.2. Zoonosis....................................................................................................10

2.1.3. Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksi Emerging (PIE).................15

2.1.4. Satwa Liar.................................................................................................18

2.1.5. Konsumsi..................................................................................................19

2.2. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Terkait Penyusunan Norma................................29

2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang ada, serta


Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat....................................................................31

2.4. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan diatur Terhadap
Aspek Kehidupan dan Beban Keuangan Negara.........................................................34

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TERKAIT.................................................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................46

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia kaya akan biodiversitas hayati, artinya potensi keanekaragaman virusnya


juga melimpah. Masih banyak hutan di Indonesia belum terjamah yang mungkin disana
adalah tempatnya virus-virus unik bersirkulasi di antara hewan-hewan penghuni hutan. Disisi
lain, seiring meningkatnya jumlah penduduk, exploitasi alam pun meningkat akibat tingginya
kebutuhan lahan baru untuk pertanian, perkebunan dan pertambangan. Pembakaran hutan
terjadi setiap tahun sehingga hewan-hewan (termasuk serangga yang membawa virus)
kehilangan habitat alaminya. Akhirnya hewan itu bergerak mendekat ke wilayah pemukiman
dan hidup berdampingan dengan manusia. Peningkatan jumlah penduduk juga meningkatkan
kebutuhan protein yang berdampak pada peningkatan jumlah produksi ternak. Banyaknya
hewan ternak memberikan peluang bagi virus untuk menginfeksi inang yang baru, contohnya
pada kasus flu burung dan virus Nipah dan Rabies. Selain itu, faktor budaya berburu dan
mengonsumsi hewan liar di beberapa wilayah Indonesia yang diduga turut menyumbang
resiko penularan zoonosis. Kombinasi semua faktor-faktor ini adalah resep yang pas untuk
hotspot kemunculan virus zoonosis.

Penelitian zoonosis dilakukan karena bukti-bukti ancaman zoonosis semakin nyata


yang menjadi kekhawatiran dunia. Virus-virus baru bermunculan selama 20 tahun terakhir,
sebut saja Hendra, Nipah, Hanta, SARS, MERS-CoV, Influenza H5N1, Ebola, Rabies, Zika,
dan baru – baru ini yang menyerang 210 negara di dunia yakni Corona Virus Diseases 19
(Covid-19) adalah sebagai dampak dari perubahan lingkungan akibat pola hidup manusia.
Menurut data Indohun ada sebanyak 60 % penyakit menular manusia yang ada adalah
Zoonosis dan 70 % penyakit menular yang muncul pada manusia (termasuk Ebola, HIV, dan
Influenza) berasal dari hewan. Selain itu juga ada sebanyak 80 % agen potensial bioterorisme
adalah pathogen Zoonosis, dan sebanyak 20% dari semua penyakit manusia disebabkan oleh
faktor lingkungan.

2
Wabah zoonosis banyak menelan korban jiwa, seperti di Malaysia. Lebih dari 80
orang meninggal dunia diduga akibat penyakit yang berasal dari babi, yang ditandai dengan
peradangan otak (ensefalitis) yang ditularkan oleh nyamuk. WHO juga mencatat terdapat 310
kasus avian influenza (AI) atau flu burung dengan 189 kematian pada manusia. Wabah flu
babi juga telah melanda Amerika Serikat dan Meksiko dengan korban meninggal di Meksiko
68 orang, 20 orang positif flu babi, dan 1.004 orang dinyatakan terinfeksi.

Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang
antara dua benua dan dua samudera, dengan kondisi alam yang memiliki berbagai
keunggulan antara lain keanekaragaman hayati (flora dan fauna). Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku dan budaya yang berbeda.
Hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki potensi bencana, baik
bencana alam, bencananonalam dan bencana sosial. Zoonosis merupakan penyakit hewan
secara alami dapat menular ke manusia atau sebaliknya. Pada kondisi tertentu zoonosis
berpotensi menjadi wabah atau pandemi yang perlu dikendalikan. Ancaman zoonosis di dunia
dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia cenderung terus mengalami peningkatan
dan berimplikasi pada aspek kesehatan, sosial, ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan rakyat.
Penyakit Infeksi Emerging (PIE) adalah penyakit infeksi yang bersifat cepat menyebar pada
suatu populasi manusia dapat berasal dari virus, bakteri atau parasit. Penyakit Infeksi
Emerging (PIE) mencakup new emerging (baru muncul) dan re-emerging (muncul kembali).
Sebagian besar Penyakit Infeksi Emerging (PIE) bersifat zoonosis dan berpotensi
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)/Wabah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Indonesia dianggap memiliki risiko tinggi untuk masuknya penyakit zoonotik dari
negara tetangga, dan dianggap sebagai hotspot untuk PIB di Asia. Karena itu Indonesia
memerlukan pendekatan yang terintegrasi, komprehensif dan efektif untuk deteksi dini,
pencegahan tertarget dan respon cepat. Untuk mentargetkan penggunaan sumberdaya dalam
menangani risiko wabah dengan efektif, dibutuhkan penilaian risiko potensial patogen
manusia dan/atau hewan. Pencegahan dan pengendalian zoonosis dan PIB bergantung pada
deteksi dini agen penyebab penyakit. Deteksi dini patogen ini memainkan peran penting
dalam pembuatan kebijakan untuk pencegahan penyakit, terutama untuk pengendalian dan
pencegahan (FAO, 2018)

3
Hubungan dengan negara lain di Asia Tenggara juga membuat Sulawesi rentan
terhadap masuknya penyakit baru. Perilaku masyarakat di Sulawesi Utara yang berinteraksi
secara dekat dengan satwa liar sebagai bagian dari budaya mereka. Konsumsi satwa liar
masih sangat umum di Sulawesi Utara dan pasar Beriman di kota Tomohon diidentifikasikan
sebagai pusat perdagangan hewan dan satwa liar reservoir Zoonosis. Pasar tradisional
Tomohon yang awalnya sebagai tempat orang-orang membeli bahan kebutuhan pokok
berkembang menjadi salah satu objek wisata budaya di Kota Tomohon. Sebagai salah satu
objek wisata, pasar tradisional Tomohon memiliki keunikan yang membuatnya bertahan dan
mendapat perhatian dari wisatawan. Keunikan sebagai atraksi wisata yang tersedia di pasar
tradisional Tomohon seperti adanya lapak untuk menjual hewan-hewan yang tidak biasa
terutama bagi orang dari luar Minahasa. Di lapak tersebut biasanya dipajang hewan-hewan
seperti ular, anjing, tikus hutan, kelelawar, kadal, babi hutan dan lainlain. Karena kegiatan
jual beli hewan-hewan di atas, pasar tradisional Tomohon juga terkenal dengan ekstreme
culinary. Selain itu, pasar tradisional Tomohon masih menyediakan suasana tradisional
seperti interaksi tawar menawar dan jualan seperti kue-kue tradisional dan produk-produk
tradisional hasil karya orang-orang Minahasa. Di pasar tradisional Tomohon juga terdapat
jualan berupa bunga-bunga potong dan bunga hias yang memperkuat citra Kota Tomohon
sebagai kota bunga. Selain itu, juga terdapat rempah-rempah khas orang Minahasa sebagai
ramuan untuk meracik makanan tradisional. Pesona ekstrim kuliner dan suasana tradisional
membuat pasar tradisional diperhitungkan sebagai objek wisata andalan Kota Tomohon yang
mampu untuk disandingkan dengan pesona alam. Menurut pada persoalan penelitian dalam
penulisan ini yaitu mengenai Pasar Tradisional di Kota Tomohon atau Pasar Beriman, di
mana pasar ini disebut-sebut menggambarkan budaya orang Minahasa. Pengamatan awal
yang dilakukan penulis, unsur-unsur tersebut sangat mempengaruhi dorongan mobilisasi
kunjungan masyarakat baik dari dalam kota Tomohon, maupun masyarakat Kab/Kota yang
ada di sekitar kota Tomohon termasuk juga pengunjung/wisatawan domestic dan
mancanegara. dari luar negeri.datang berkunjung ke pasar Tomohon. Eksotis dan
‘’keekstriman’’ pasar tersebut sepertinya menambah nilai plus sebagai tujuan wisata
(Rompas, 2013)

4
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diperoleh data bahwa ada sebanyak 4 satwa
liar yang termasuk sebagai hewan reservoir zoonosis yang diperjualbelikan di pasar Beriman
Kota Tomohon, terdiri dari : babi hutan, tikus hutan, ular patola (sanca), dan paniki
(kelelawar). Dari hasil penelitian ini diketahui juga bahwa satwa liar tersebut didatangkan
bukannya hanya provinsi Sulawesi Utara yakni Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang
Mongondow dan Kota Kotamobagu tapi juga didatangkan dari provinsi Gorontalo, dan
Sulawesi Selatan. Dari 24 responden terdapat 8 orang (33,33%) yang membeli satwa liar
untuk konsumsi, 3 orang (12,50%) untuk dijadikan obat, dan 13 orang (54,17%) untuk
komsumsi dan juga dijadikan obat. Bagian satwa liar yang dimanfaatkan berupa daging
(62,50 %), daging dan empedu (25%), darah (8,33%), dan lemak (4,17%) (Sahiu,
Pangemanan, Nurmawan, & Lasut, 2017)

Selain itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengumumkan hasil


survei yang dilakukan secara online pada 27 Mei-8 Juni 2020 tentang persepsi masyarakat
tentang kaitan COVID-19, zoonosis, dan satwa liar. Hasilnya, pengetahuan masyarakat
tentang korelasi tiga hal itu masih rendah. Survei tersebut melibatkan 2.871 responden yang
tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, tetapi hanya 2.603 responden yang datanya valid
dan dapat dianalisis. Terkait kebijakan pemerintah menghadapi COVID-19, sebanyak 43,3
persen responden menjawab pemda melakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar
(PSBB) dan 42,1 persen menjawab pelarangan mudik. Cuma 7,9 persen responden yang
menyatakan bahwa pemda melarang konsumsi satwa liar. Pada bagian survei kualitatif, LIPI
mendapatkan bahwa bahkan kesepakatan tentang makna satwa liar belum banyak dipahami
oleh masyarakat. Begitu pula apa itu zoonosis. Minimnya persepsi responden terhadap
keterkaitan satwa liar dan penularan virus Corona itu menjadi catatan tersendiri oleh LIPI.
Sebab, peneliti bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Taufik Nugraha mengatakan
satwa liar merupakan inang alami dari virus Corona pemicu COVID-19. Bahkan, sejak tahun
1940 hingga 2000, 70 persen penyakit infeksi baru berasal dari satwa liar. Satwa liar dulunya
terisolasi, namun karena perubahan lingkungan menyebabkan mereka tak lagi terisolasi.
Adapun faktor pendorong perubahan lingkungan itu antara lain urbanisasi, modernisasi,
fragmentasi habitat, perambahan hutan, dan perubahan iklim. Pemanfaatan langsung, berupa
perdagangan, konsumsi, hobi, dan ekshibisi, satwa liar juga bisa menyebabkan zoonosis.
Makanya, dibutuhkan protokol kesehatan agar kegiatan itu tidak berbahaya.

5
Dari survei yang dibuat LIPI pemerintah telah mengatur perdagangan satwa liar,
penelitian, pemeliharaan, perburuan, dan pertunjukan namun lebih banyak masyarakat yang
mempersepsikan pemerintah tak memiliki aturan tentang konsumsi satwa liar. Ada aturan
pemerintah tentang satwa liar yang tumpang tindih. Sehingga diharapkan diterapkannya
pendekatan one health. Yakni, metode yang menekankan pemahaman dan hubungan antara
lingkungan, keanekaragaman hayati, masyarakat, dan penyakit manusia dengan menyatukan
kesehatan publik, serta ilmu kedokteran hewan dan lingkungan.

1.2. Identifikasi Masalah

Pemerintah telah mengatur penyakit baru dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun
2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons
Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia. Inpres
tertanggal 17 Juni 2019 tersebut mengamanatkan sejumlah kementerian, lembaga, dan jajaran
pemerintah daerah untuk melakukan upaya pencegahan, deteksi, dan respons terhadap
kedaruratan kesehatan masyarakat. Namun, belum adanya kebijakan terkait pengendalian
kosumsi satwa liar menjadi permasalahan penting.

Identifikasi masalah dalam Naskah Akademik ini mencakup 4 (empat) pokok


masalah, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah permasalahan yang dihadapi dan solusi permasalahan terkait


pengendalian konsumsi satwa liar di Provinsi Sulawesi Utara?
2. Mengapa diperlukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi
Satwa Liar di Provinsi Sulawesi Utara sebagai dasar pemecahan masalah yang
dihadapi?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi Satwa
Liar di Provinsi Sulawesi Utara?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah
pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi
Satwa Liar di Provinsi Sulawesi Utara?

6
1.3. Tujuan

Tujuan umum dilakukannya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang


Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di Provinsi Sulawesi Utara adalah untuk memberikan
kepastian hukum dalam upaya pengendalian Penyakit Infeksi Emerging (PIE) mencakup new
emerging (baru muncul) dan re-emerging (muncul kembali). Selanjutnya agar Rancangan
Peraturan Daerah ini dapat memenuhi landasan berfikir secara logis, yuridis maupun
akademis dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan naskah akademik.

Tujuan khusus penyusunan naskah akademik sebagai kelengkapan Rancangan


Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di Provinsi Sulawesi Utara
adalah untuk:

1. Merumuskan permasalahan terkait pengendalian konsumsi satwa liar di Provinsi


Sulawesi Utara dan solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di Provinsi
Sulawesi Utara dan solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di Provinsi
Sulawesi Utara.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian
Konsumsi Satwa Liar di Provinsi Sulawesi Utara.

1.4. Metodologi

Naskah Akademik ini disusun berdasarkan sumber-sumber informasi yang didapatkan


melalui penelusuran berbagai literatur, tinjauan naskah dokumen tentang organisasi dan
prosedur, tugas pokok dan fungsi terhadap lembaga atau instansi yang terkait di bidang
zoonosis dan pengendalian konsumsi satwa liar. Penelusuran informasi terkait melalui media
elektronik dan non elektronik, peraturan perundang-undangan di Indonesia serta kajian
zoonosis dan pengendalian konsumsi satwa liar di berbagai negara.

Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian


sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode
7
penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode
yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan
penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang
menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan
pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis
empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau
penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan
observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor
nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang
diteliti.

8
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1. Kajian Teoritis

2.1.1. Penyakit Infeksi Emerging

Mulai dari severe acute respiratory syndrome (SARS) hingga avian ainfluenza A
(H7N9), abad keduapuluh satu telah melihat kemunculan banyak penyakit baru, yang
menarik perhatian banyak orang. Penyakit ini – disebut emerging infectious disease (EIDs) –
menjadi kekhawatiran khusus dalam kesehatan masyarakat. Tidak hanya karena penyakit ini
bisa memnyebabkan kematian pada manusia dalam jumlah besar saat ini menyebar, tapi
karena penyakit ini juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar dalam dunia yang
telah saling berhubungan saat ini. Sebagai contoh, perkiraan biaya langsung yang
ditimbulkan SARS di Kanada dan negara-negara Asia adalah sekitar 50 miliar dolar AS.
Selain itu, dampak dari penyakit infeksi baru ini relatif lebih besar di negara-negara
berkembang yang memiliki sumber daya yang lebih sedikit. Dalam 30 tahun terakhir, telah
muncul lebih dari 30 EIDs. Asia, sayangnya, seringkali menjadi episentrumnya (Kemenkes,
2020).

EIDs adalah penyakit yang muncul dan menyerang suatu populasi untuk pertama
kalinya, atau telah ada sebelumnya namun meningkat dengan sangat cepat, baik dalam hal
jumlah kasus baru didalam suatu populasi, atau penyebaranya ke daerah geografis yang baru.
Yang juga dikelompokkan dalam EIDs adalah penyakit yang pernah terjadi di suatu daerah di
masa lalu, kemudian menurun atau telah dikendalikan, namun kemudian dilaporkan lagi
dalam jumlah yang meningkat. Kadang-kadang sebuah penyakit lama muncul dalam bentuk
klinis baru, yang bisa jadi lebih parah atau fatal. Penyakit ini disebut dengan penyakit lama
(re-emerging), contoh terbaru adalah chikungunya di India (Kemenkes, 2020).

Kebanyakan penyakit emerging dan re-emerging asalnya adalah zoonotik, yang


artinya penyakit ini muncul dari seekor hewan dan menyeberangi hambatan spesies dan
menginfeksi manusia. Sejauh ini sekitar 60% dari penyakit infeksi pada manusia telah
dikenali, dan sekitar 75% EIDs, yang menyerang manusia dalam tiga dekade terakhir, berasal
dari hewan. Beberapa negara WHO kawasan Asia Tenggara memiliki kondisi yang
mengundang kemunculan penyakit ini, banyak diantaranya adalah penyakit yang dapat

9
mematikan dan menyebar dengan cepat. Riset ilmiah terhadap 335 penyakit baru diantara
tahun 1940 dan 2004 mengindikasikan bahwa besar kemungkinan beberapa daerah di dunia
mengalami kemunculan EIDs ini. Beberapa “hotspot” global untuk EIDs adalah negara-
negara yang berhubungan dengan Dataran Indo-Gangga dan DAS Mekong. Virus Nipah,
demam berdarah Crimean-Congo dan avian influenza (H5N1) merupakan contoh penyakit
yang telah muncul baru-baru ini dan menyerah WHO Kawasan Asia Tenggara (Kemenkes,
2020).

Ada banyak faktor yang mempercepat kemunculan kemudahan penyakit baru, karena
faktor-faktor ini menyebabkan agen infeksi berkembang menjadi bentuk ekologis baru, agar
dapat menjangkau dan beradaptasi dengan inang yang baru, dan agar dapat menyebar lebih
mudah diantar inang-inang baru. Faktor-faktor ini termasuk urbanisasi dan penghancuran
habitat asli, yang menyebabkan hewan dan manusia hidup dalam jarak dekat, perubahan
iklim dan perubahan ekosistem; perubahan dalam populasi inang reservoir atau vektor
serangga perantara; dan mutasi genetik mikroba.  Akibatnya dampak dari penyakit baru sulit
untuk diprediksi namun bisa signifikan, karena manusia mungkin hanya memiliki sedikit
kekebalan terhadap penyakit ini atau tidak sama sekali (Kemenkes, 2020).

Walaupun sistem kesehatan masyarakat yang kuat menjadi syarat untuk memerangi
KLB EIDs, KLB ini juga dapat mengganggu sistem tersebut secara signifikan. Karena itu
memperkuat kesiapsiaggan, surveilans, penilaian resiko, komunikasi resiko, fasilitas
laboratorium dan kapasitas respon di Kawasan merupakan hal yang sangat penting. Dan yang
juga sama pentingnya adalah membangun mitra di antara sektor kesehatan hewan, pertanian,
kehutanan dan kesehatan di tingkat nasional, regional dan global (Kemenkes, 2020).

2.1.2. Zoonosis

WHO pada tahun 1959 mendefinisikan zonosis sebagai penyakit dan infeksi yang
secara natural ditransmisikan antara hewan dan manusia. Pedoman untuk zoonosis
meneruskan definisi ini dan menspesifikasikan agen yang dapat menyebabkan zoonosis:
bakteri, jamur, dan parasit. Zoonosis dapat diklasifikasikan sesuai dengan arah transmisinya
yakni: anthropozoonosis (dari manusia ke hewan), zooanthroponosis (dari hewan ke manusia)
dan amphixenosis (dapat terjadi dua arah) (Smulders dan Collins, 2002). Sebagian besar
infeksi yang muncul beberapa dekade terakhir merupakan zoonosis. Zoonosis disebabkan
oleh infeksi yang dibagi antara hewan dan manusia. Beberapa mikroba zoonotik telah

10
berpindah dari hewan ke manusia dan menjadi major pathogen manusia (seperti simian virus
yang telah berevolusi menjadi HIV) (Bennett, Dolin dan Blaser, 2015; CDC, 2017).

Perubahan rapid dalam perilaku manusia, pemanfaatan sumber daya, dan faktor
lingkungan ekstrinsik lainnya terus mengancam distribusi beberapa penyakit endemik dan
zoonosis di berbagai daerah di seluruh dunia. Ada banyak contoh penyakit zoonosis yang
beredar di wilayah geografis yang relatif lokal untuk beberapa waktu, sebelum muncul ke
daerah baru sebagai hasil perubahan dinamika manusia, lingkungan, atau perilaku (Okello
dan Welburn, 2014).

Kemunculan zoonosis seringkali menjadi perhatian dikarenakan beberapa faktor


yakni:

a. Zoonosis biasanya merupakan penyakit baru yang secara medis tidak siap untuk
diobati;
b. Zoonosis tidak dapat diprediksi dan memilliki dampak yang bervariasi pada kesehatan
manusia dan hewan;
c. Outbreak dari zoonosis terus meningkat;
d. Karena meningkatnya perdagangan, perjalanan, dan pergerakan dari binatang,
zoonosis dapat muncul dimana saja dan menyebar dengan cepat di seluruh dunia;
e. Penyebaran dari penyakit zoonosis dapat menyebabkan pengaruh besar ekonomi pada
berbagai industri, dan dapat mengancam perdamaian dan stabilitas ekonomi yang
secara langsung maupun tidak secara langsung berhubungan dengan outbreak
penyakit tersebut (Keusch et al., 2009).

Sebuah laporan dalam Journal of American Medical Association menyimpulkan


bahwa 80% patogen umum yang mungkin digunakan dalam biowarfare adalah zoonosis.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) saat ini mengklasifikasikan
penyakit/agen bioterorisme yang paling mungkin digunakan untuk keperluan bioterorisme ke
dalam kategori A, B, dan C, dengan A memiliki prioritas tertinggi. Dari penyakit menular
yang ada dalam sistem klasifikasi CDC, mayoritas Kategori A adalah zoonosis, yakni
sebanyak lebih dari 80%. Kategori C yang mencakup emerging disease sekitar 75% adalah
zoonosis. Mayoritas agen biologis (terutama tipe A) paling efektif digunakan sebagai aerosol.
Pengiriman agen aerosol yang efektif mensyaratkan bahwa ukuran partikel menjadi 1 sampai
10 mikron untuk dapat mencapai bronkiolus dan alveoli terminal. Semprotan aerosol adalah

11
metode yang paling mungkin digunakan dalam serangan bioterorisme potensial karena ini
adalah cara penyebaran diseminasi yang paling efektif.

Zoonosis telah banyak menghantui sejarah militer. Penyakit hewan adalah agen utama
dala biowarfare. Salah satu keuntungan dari biowarfare adalah bisa membunuh masal musuh,
sekaligus membiarkan peralatan dan persediannya tetap utuh. Karena itu diperlukan strategi
yakni:

a. Tenaga Kesehatan Masyarakat harus membangun upaya pengawasan dan intervensi


aktif untuk mendeteksi dan mengendalikan wabah penyakit yang sedang berlangsung
pada populasi hewan domestik dan satwa liar.
b. Mengintegrasikan upaya survailans kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan dalam
menangani bioterorisme. Upaya ini sangat penting dan membutuhkan peningkatan
komunikasi dan kolaborasi di dalamnya.
c. Dokter dan dokter hewan harus bekerja sama dalam pada kasus klinis, kesehatan
masyarakat, dan penelitian. Pengobatan komparatif melihat pada proses penyakit
melintasi spesies, dan sebagian besar penyakit tidak terbatas pada satu spesies saja.
d. Prinsip epidemiologi dan kriteria diagnostik cenderung serupa terlepas dari spesies
hewan yang terlibat.
e. Identifikasi awal kejadian penyakit zoonosis, melalui pemantauan sistem surveilans
manusia dan hewan secara simultan, sangat penting untuk melindungi kesehatan di
kedua populasi.
f. Upaya terkoordinasi dan kohesif oleh para ilmuwan, penyedia layanan kesehatan,
dokter hewan, dan ahli epidemi diperlukan untuk mengendalikan dampak global
biowarfare. Hewan memegang beberapa petunjuk epidemiologis untuk kemungkinan
bioterorisme (Ryan, 2008).

GHSA dalam hal ini menetapkan target 5 tahun dengan hasil akhir untuk mengadopsi
perilaku, kebijakan dan / atau praktik terukur yang diukur yang meminimalkan pelepasan
penyakit zoonosis dari hewan (lower animals) ke populasi manusia. Pencapaian target diukur
dengan mengidentifikasi 5 penyakit zoonosis / patogen dari masalah kesehatan masyarakat
terbesar dan memperkuat sistem surveilans yang ada untuk zoonosis yang diprioritaskan.

Program ini diharapkan memiliki dampak nasional untuk implementasi panduan dan
model perilaku, kebijakan dan praktik untuk meminimalkan keterpaparan, penyebaran, dan
kemunculan penuh penyakit zoonosis masuk atau keluar dari populasi manusia sebelum

12
pengembangan transmisi manusia-ke-manusia yang efisien. Bangsa-bangsa akan
mengembangkan dan menerapkan kerangka kerja operasional - berdasarkan pada standar
internasional, pedoman, dan model yang ada - yang menentukan tindakan yang diperlukan
untuk mempromosikan One Health mendekati kebijakan, praktik dan perilaku yang dapat
meminimalkan risiko munculnya penyakit zoonosis dan menyebar (Global Health Security
Agenda, 2017).

Adapun jenis penyakit zoonosis prioritas di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Rabies (24 provinsi tertular dari 34 provinsi)


b. Flu burung (33 provinsi tertular dari 34 provinsi)
c. Antraks (11 provinsi tertular dari 34 provinsi)
d. Brucellosis (20 provinsi tertular dari 34 provinsi)
e. Leptospirosis (5 provinsi tertular dari 34 provinsi) (Adisasmoto et al., 2015)

Kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting dalam mencegah


penularan zoonosa dan pengamanan produksi bahan makanan asal hewan dan bahan asal
hewan lainnya, untuk kepentingan kesehatan masyarakat (Sudradjat dan Pambudy, 2000).
Kebijakan kesehatan hewan yang terencana memiliki potensi kontribusi yang signifikan
untuk perkembangan ekonomi suatu negara melalui kerjasama kontrol penyakit manusia dan
hewan,peningkatan hasil produksi yang mempengaruhi pasar regional dan akses untuk
memingkatkan nutrisi dari populasi masyarakat. Meskipun demikian, kebijakan kesehatan
hewan sering disepelekan oleh sektor kesehatan dan pembangunan lain yang serupa, terutama
mengenai perannya dalam pencegahan kemunculan dan kemunculan kembali penyakit
zoonosis (Okello dan Welburn, 2014).

Untuk mewujudkan keberhasilan ilmu pengetahuan ke dalam kebijakan dan tindakan


yang efektif di lapangan, diperlukan dukungan Pemerintah di tingkat tertinggi. Seperti pada
kasus Neglected Zoonosis Disease (NZD) di Bangladesh, Profesor Be-Nazir Ahmed, dari
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga di Bangladesh menggambarkan
bagaimana dukungan menteri pada tingkat nasional dari segi finansial dan koordinasi
terhadap program rabies di Bangladesh menghasilkan peningkatan pesat program
pengendalian rabies secara nasional di Bangladesh. Meskipun ada keterbatasan sumber daya,
dan seringkali memerlukan bantuan dari luar, perubahan drastis dalam pengendalian
Neglected Zoonosis Disease (NZD) pada skala nasional dapat dicapai melalui dedikasi tinggi,
dukungan finansial dan koordinasi.

13
Dukungan politis pada struktur nasional dapat membantu memfasilitasi dan
mempromosikan surveilans, intervensi, dan hubungan lintas sektoral di semua wilayah.
Tanpa komitmen politik tingkat tinggi, sebuah negara tidak dapat mencapai kontrol atau
eliminasi penyakit apapun. Namun, banyak juga negara yang memiliki strategi pengendalian
yang sudah tertulis tapi tidak diimplementasikan, karena itu butuh bimbingan dalam tingkat
pelaksanaan program dan memperlihatkan adanya bukti kasus yang sukses (WHO, 2014).

Karantina merupakan filter atau penyaring masuknya penyakit hewan menular.


Penerapan prosedur tindak karantina yang rigid akan melindungi suatu daerah dari masuknya
penyakit hewan dari luar dan dalam waktu yang bersamaan, daerah itu akan dapat
dipertahankan status bebas penyakitnya. Dalam kondisi status bebas penyakitnya. Dalam
kondisi status daerah bebas penyakit seperti ini, daerah akan mendapat keuntungan kompetitif
di bidang ekonomi, sosial dan politik. Hal ini sangat berarti bagi percepatan pembangunan
wilayah, karena transaksi perdagangan di bidang peternakan di daerah tersebut tidak akan
mengalami hambatan atau teknis apapun. Sebaliknya, bila penerapan Tindak Karantina
menjadi demikian elastis, peluang lolosnya (escape) agen penyakit dari produk peternakan
yang terbawa dari luar akan mencemari wilayah kerja karantina (Sudradjat dan Pambudy,
2000).

Kerugian ekonomi dari akibat yang ditimbulkannya dapat dihitung dalam skala lokal,
regional dan nasional melalui pendekatan Analisa Resiko. Monte carlo simulation model
dapat dipakai seagai salah satu tekik perhitungan untuk memprediksi nilai resiko kerugian
yang ditimbulkan (Sudradjat dan Pambudy, 2000).

Selain peternakan dan hewan peliharaan, risiko munculnya zoonosis yang disebabkan
oleh perburuan dan konsumsi satwa liar juga menjadi perhatian global terkait dengan
peningkatan populasi manusia, perdagangan global, dan kontak antara manusia dan hewan.
Salah satunya yakni pasar tradisional dan makanan lokal di beberapa negara dikaitkan dengan
kemunculan zoonosis baru. Pasar hewan hidup atau dikenal sebagai pasar basah (wet market)
merupakan tempat utama dalam mengomersialisasikan unggas dan spesies hewan lainnya.
Sebagai contoh adalah epidemi avian influenza di Asia Tenggara pada 2004 dikaitkan secara
langsung dengan penjualan burung hidup terinfeksi di pasar tradisional. Perdagangan satwa
liar memungkinkan penularan penyakit yang mengancam manusia, peternakan, perdagangan
internasional, populasi satwa liar asli, dan kesehatan ekosistem. Perdagangan satwa liar

14
mencakup barter lokal hingga internasional baik secara ilegal informal maupun formal
(Hidayat, 2011).

Dalam wilayahnya sendiri, Indonesia telah memiliki peraturan yang mendukung


pencegahan penyebaran penyakit zoonosis diantaranya pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Selain itu diatur juga pedoman dalam budi daya hewan, salah satu
contohnya yakni Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
31/Permentan/OT.140/2/2014 tentang Pedoman Budi Daya Ayam Pedaging dan Ayam
Petelur yang Baik yang salah satu poin di dalamnya membahas jarak terdekat antara kandang
ayam pedaging dan petelur dengan bangunan lain bukan kandang yakni 25 (dua puluh lima)
meter. Pedoman ini dapat membantu dalam rangka pencegahan penyakit zoonosis dan
merupakan salah satu bukti bahwa Pemerintah turut mendukung pencegahan penyebaran
penyakit zoonosis. Namun hal tersebut dirasa belumlah cukup degan terus terjadinya mutasi
patogen dan kemunculan penyakit baru yang terus terjadi.

2.1.3. Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksi Emerging (PIE)

Pengendalian Zoonosis adalah rangkaian kegiatan yang meliputi manajemen


pengamatan, penidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan
sumber zoonosis. Pengendalian Zoonosis dilaksanakan oleh instansi pemerintah, baik pusat
maupun daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing – masing secara terkoordinasi, dan
treintegrasi dalam satu kesatuan dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang –
undangan dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat, dunia usaha, organisasi profesi,
perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya.

Strategi Pengendalian Zoonosis dilakukan dengan:

a. Mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan meningkatkan


upaya pengendalian zoonosis pada sumber penularan;
b. Penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka membangun system pengendalian
zoonosis, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan, strategi dan program;
c. Perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan,

15
penanggulangan Kejadian Luas Biasa/Wabah dan Pandemi serta pemusnahan
Kejadian Luar Biasa/Wabah dan Pandemi serta pemusnahan sumber zoonosis pada
hewan apabila diperlukan;
d. Penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis baru;
e. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis;
f. Penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, logistic,
pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran
pengendalian zoonosis;
g. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis;
h. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihak – pihak lain.

Pengendalian zoonosis selama ini masih dilakukan secara sectoral, baik pada sektor
kesehatan manusia maupun sektor kesehatan hewan. Sektor lain seperti pemerintahan daerah,
sektor perlindungan atau konservasi hewan liar, sektor transportasi, sektor pendidikan, sektor
swasta dan sektor lainnya belum secara intens memiliki kegiatan yang terfokus untuk
mendukung pengendalian zoonosis. Dalam rangka percepatan pengendalian zoonosis maka
diperlukan langkah – langkah komprehensif dan terpadu dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dunia usaha, organisasi profesi, lembaga non pemerintah, perguruan tinggi, dan
lembaga internasional serta seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, dalam rangka
mengantisipasi dan menanggulangi situasi kedaruratan akibat wabah zoonosis, perlu diambil
langkah – langkah operasional dari berbagai sektor yang cepat dan tepat dalam satu sistem
komando pengendalian nasional terintegrasi.

Penyakit infeksi emerging adalah penyakit infeksi yang bersifat cepat menyebar pada
suatu populasi manusia, dapat berasal dari virus, bakteri, atau parasit. Sebagian besar (75%)
penyakit infeksi emerging ditularkan ke manusia dari hewan (penyakit zoonosa).

Ada tiga jenis penyakit infeksi emerging yaitu:

a. Penyakit infeksi yang muncul dan menyerang suatu populasi manusia untuk pertama
kalinya (new emerging infectious diseases).
b. Penyakit infeksi yang telah ada sebelumnya namun kasusnya meningkat dengan
sangat cepat atau menyebar meluas ke daerah geografis baru.
c. Penyakit infeksi di suatu daerah yang kasusnya sudah sangat menurun atau terkontrol,
tapi kemudian meningkat lagi kejadiannya, kadang dalam bentuk klinis lebih berat
16
atau fatal (re-emerging infectious diseases). Penyakit infeksi emerging menjadi
ancaman penting bagi keamanan kesehatan global, karena dapat menimbulkan
kejadian luar biasa (KLB) yang tidak hanya menyebabkan kematian yang banyak tapi
juga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Sebagai contoh
kejadian severe acute respiratory syndrome (SARS) pada tahun 2002 telah
menginfeksi >6500 orang yang tersebar di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara
dan mengakibatkan kerugian ekonomi kurang lebih sebesar 12,3-28,4 Milliar dolar
AS. Mobilitas dari dan ke negara terjangkit merupakan faktor risiko penyebaran
penyakit lintas negara. Pada masa belum ada kasus suatu penyakit baru di tingkat
global dan belum ada di Indonesia, maka kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini
menjadi faktor kunci. Ketika sudah terdapat kasus konfirmasi dan/atau penularan
lokal, maka respon menjadi faktor kunci disamping tetap melakukan kesiapsiagaan
dan kewaspadaan dini.

Respon yang diperlukan pada kondisi ini terutama adalah :

1. Penemuan kasus dan penelusuran kontak


2. Isolasi dan tatalaksana kasus
3. Mobilisasi sosial
4. Pemulasaran jenazah yang aman.

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menugaskan Pemerintah yang


diwakili oleh Kementerian Kesehatan untuk melakukan upaya pencegahan termasuk
kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
serta akibat yang ditimbulkannya. Selain itu, pada peraturan kesehatan internasional yang
disebut International Health Regulation (IHR (2005)) mensyaratkan negara- negara yang
menyepakatinya agar memiliki kapasitas inti minimal untuk melakukan kesiapsiagaan dan
kewaspadaan dini dalam hal surveilans dan respon atas setiap kejadian (termasuk kejadian
penyakit infeksi emerging) yang berpotensi menjadi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
Meresahkan Dunia/KKMMD.

17
2.1.4. Satwa Liar

Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Diperkirakan


sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia,
walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia nomer satu dalam hal
kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak
45% ikan di dunia, hidup di Indonesia. Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa
endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik
Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan ampibi 173 jenis (IUCN, 2013).
Keberadaan satwa endemik ini sangat penting, karena jika punah di Indonesia maka itu
artinya mereka punah juga di dunia. Satwa liar Indonesia dalam hukum dibagi dalam dua
golongan yaitu jenis dilindungi dan jenis yang tidak dilindungi. Menurut Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya,
perdagangan satwa dilindungi adalah tindakan kriminal yang bisa diancam hukuman penjara
5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Indonesia memiliki berbagai jenis satwa liar, 511 spesies mamalia (12% dari total
spesies mamalia dunia, 165 spesies di antaranya khas Indonesia), 1531 spesies burung (16%
dari total spesies burung dunia, 259 spesies diantaranya khas Indonesia), 511 spesies reptil
(10% dari total spesies reptil, 150 spesies diantaranya khas Indonesia), 270 spesies amfibi
(7% dari total spesies amfibi, 100 spesies diantaranya khas Indonesia), 7.000 spesies ikan
(25% dari total spesies ikan dunia), memiliki peringkat internasional dalam hal jumlah
spesies yang masuk dalam daftar genting dan terancam punah. Sementara itu untuk Sulawesi
bagian Utara memiliki banyak juga satwa liar seperti, 89 dari 103 spesies burung yang
endemik bagi Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, 13 spesies endemik bagi Sulawesi
bagian utara, 20 dari 24 spesies kelelawar buah, 4 dari 8 spesies celurut, dan 17 dari 38
spesies tikus dan mancit.

Dari beberapa pulau di Indonesia, Sulawesi memegang peranan penting dalam sejarah
alam kawasan Wallacea sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia Sulawesi dipandang
dapat mewakili keanekaragaman hayati dan merupakan kawasan penting dalam melakukan
penelitian (Saroyo dan Tallei 2010). Salah satu keanekragaman hayati di Indonesia yang
memiliki banyak keberagaman jenisnya ialah satwa, dimana satwa ini digolongkan menjadi
dua yaitu satwa liar dan satwa peliharaan. Kemudian satwa digolongkan lagi menjadi dua
yaitu satwa endemik adalah hewan persebarannya yang terbatas pada daerah tertentu saja,

18
dan hewan atau tumbuhan yang persebaraanya luas. Jenisjenis dari satwa tersebut mempunyai
banyak ragam baik itu satwa jenis burung, satwa jenis mamalia, reptilia, serta spesies-spesies
jenis lain yang tentunya karena keunikan dan kekhasannya mempunyai nilai ekonomi yang
cukup tinggi pula. Sehingga tidak heran banyak dari penjuru dunia berkunjung ke Indonesia
baik itu para ilmuan dan/atau peneliti, maupun wisatawan untuk melihat potensi kekayaan
alam yang ada (Wijana, 2014).

2.1.5. Konsumsi

2.1.5.1. Pengertian Konsumsi Menurut Para Ahli


a. Suherman Rosyidi

Konsumsi diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara


langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Konsumsi atau lebih tepatnya pengeluaran
konsumsi pribadi adalah pengeluaran oleh rumah tangga atas barang-barang akhir dan jasa.

b. N. Gregory Mankiw

Konsumsi merupakan pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga. Barang
meliputi pembelanjaan rumah tangga pada barang yang tahan lama seperti kendaraan, alat
rumah tangga, dan barang tidak tahan lama seperti makanan, pakaian. Jasa meliputi barang
yang tidak berwujud seperti potong rambut, layanan kesehatan.

c. Muhamad Abdul Halim

Pengeluaran konsumsi rumah tangga yaitu pengeluaran yang dilakukan oleh rumah
tangga untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam
suatu periode tertentu.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsumsi merupakan pengeluaran


yang dikeluarkan oleh rumah tangga atau masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa
pada periode tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Barang dan jasa yang
digunakan dalam proses produksi tidak termasuk konsumsi, karena barang dan jasa itu tidak
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia melainkan untuk memproduksi barang
lain. Untuk dapat mengkonsumsi, seseorang harus mempunyai pendapatan, besar kecilnya
pendapatan seseorang menentukan tingkat konsumsinya.

Tindakan konsumsi dilakukan setiap hari oleh siapapun, tujuannya adalah untuk
memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam arti

19
terpenuhi berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang
mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Tingkat konsumsi memberikan
gambaran tingkat kemakmuran seseorang atau masyarakat. Adapun pengertian kemakmuran
disini adalah semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang maka semakin makmur, sebaliknya
semakin rendah tingkat konsumsi seseorang berarti semakin miskin.

2.1.5.2. Perilaku Konsumen


Perilaku konsumen merupakan proses, tindakan, dan hubungan social yang dilakukan
oleh individu, kelompok, dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu produk
komoditas, jasa atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk,
pelayanan, dan sumber lainnya. Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan individu
yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang atau jasa
termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-
tindakan tersebut.

Berkaitan dengan perilaku konsumen ada tiga variable dalam mempelajarinya, yaitu
variable stimulus, variable respons, dan variable antara.

a. Variable stimulus
Variable stimulus merupakan variable yang berada di luar diri individu (factor
eksternal) yang sangat berpengaruh dalam proses pembelian. Contohnya: merk dan
jenis barang, iklan, pramuniaga, penataan barang, dan ruangan.
b. Variable respons
Variable respons merupakan hasil aktivitas individu sebagai reaksi dari
variable stimulus. Variable respons sangat bergantung pada factor individu dan
kekuatan stimulus. Contohnya: kepuasan membeli barang, pemberi penilaian terhadap
barang, perubahan sikap terhadap suatu produk.
c. Variable intervening
Variable intervening adalah variable antara stimulus dan respons. Variable ini
merupakan factor internal individu termasuk motif membeli, sikap terhadap suatu
peristiwa, dan persepsi terhadap suatu barang.

Cara terbaik untuk memamahi perilaku konsumen adalah dengan tiga langkah yang
berbeda:

20
a. Preferensi konsumen; langkah pertama adalah menemukan cara yang praktis untuk
menggambarkan alasan-alasan mengapa orang lebih suka satu barang dari pada barang yang
lain.

b. Keterbatasan anggaran, sudah pasti konsumen juga mempertimbangkan harga.

c. Pilihan-pilihan konsumen, dengan mengetahui preferensi dan keterbatasan


pendapatan mereka, konsumen memilih untuk membeli kombinasi barang-barang yang
memaksimalkan kepuasan mereka.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen.Ada dua kekuatan dari faktor


yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu:

a. Kekuatan Sosial Budaya

1) Faktor Budaya

Budaya adalah sebagai hasil kreativitas manusia dari satu generasi ke generasi
berikutnya yang sangat menentukan bentuk perilaku dalam kehidupannya sebagai anggota
masyarakat. Contohnya seperti pergeseran budaya yang begitu cepat menuntut masyarakat
untuk mengikutinya.

2) Faktor Kelas Sosial

Kelas sosial didefinisikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari sejumlah orang
yang mempunyai kedudukan yang seimbang dalam masyarakat. Dimana setiap masyarakat
memiliki kelas sosial yang berbeda-beda, sehingga perilaku mereka berbeda.

3) Faktor Pengaruh Kelompok

Kelompok anutan adalah suatu kelompok orang yang dapat mempengaruhi sikap,
pendapat, norma dan perilaku konsumen. Pengaruh kelompok anutan terhadap perilaku
konsumen antara lain dalam menentukan produk dan merek yang mereka gunakan yang
sesuai dengan aspirasi kelompok.

4) Faktor Keluarga

Keluarga adalah suatu unit masyarakat terkecil yang perilakunya sangat


mempengaruhi dan menentukan dalam pengambilan keputusan membeli. Keluarga
merupakan pengaruh terbesar dalam perilaku konsumen karena biasanya untuk membeli
suatu barang seseorang akan bertanya dulu kepada keluarganya.

21
b. Kekuatan Faktor psikologis

1) Faktor Pengalaman Belajar

Belajar adalah suatu perubahan perilaku akibat pengalaman sebelumnya. Perilaku


konsumen dapat dipelajari karena sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya.
Pengalaman belajar konsumen akan menentukan tindakan dan pengambilan keputusan
membeli

2) Faktor Kepribadian

Kepribadian adalah suatu bentuk dari sifat-sifat yang ada pada diri individu yang
sangat menentukan perilakunya. Kepribadian konsumen akan mempengaruhi persepsi dan
pengambilan keputusan dalam membeli. Kepribadian konsumen biasanya ditentukan oleh
faktor internal yang ada pada dirinya (motif, IQ, emosi, cara berfikir, persepsi) dan faktor
eksternal dirinya ( keluarga, masyarakat, sekolah, dll)

3) Faktor Sikap dan Keyakinan

Sikap adalah sebagai suatu penilaian kognitif seseorang terhadap suka atau tidak suka,
perasaan emosional yang tindakannya cenderung kearah bebagai objek atau ide. Dalam
hubungannya dengan perilaku konsumen, sikap dan keyakinan sangat berpengaruh dalam
menentukan suatu produk, merek dan pelayanan.

4) Konsep Diri atau Self Concept

Konsep diri adalah sebagai cara kita melihat diri sendiri dan dalam waktu tertentu
sebagai gambaran tentang apa yang kita pikirkan. Dalam hubungannya dengan perilaku
konsumen, pedagang harus mampu menciptakan situasi yang sesuai dengan yang diharapkan
oleh konsumen. Agar konsumen dapat menentukan keputusan untuk membeli.

2.1.5.3. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Masyarakat


Menurut Suparmoko terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi konsumsi selain
dari pendapatan, meliputi:

a. Selera

Konsumsi masingmasing individu berbeda meskipun individu tersebut mempunyai


umur dan pendapatan yang sama, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan selera pada
tiap individu.

b. Faktor Sosial Ekonomi


22
Faktor sosial ekonomi misalnya umur, pendidikan, dan keadaan keluarga juga
mempunyai pengaruh terhadap pengaluaran konsumsi. Pendapatan akan tinggi pada
kelompok umur muda dan mencapai puncaknya pada umur pertengahan dan akhirnya turun
pada umur tua.

c. Kekayaan

Kekayaan secara eksplisit maupun implisit sering dimasukan dalam fungsi agregat
sebagai faktor yang menentukan konsumsi. Seperti dalam pendapatan permanen yang
dikemukakan oleh Friedman, Albert Ando dan Franco Modigliani menyatakan bahwa hasil
bersih dari suatu kekayaan merupakan faktor penting dalam menetukan konsumsi. Beberapa
ahli ekonomi yang lain memasukan aktiva lancar sebagai komponen kekayaan sehingga
aktiva lancar memainkan peranan yang penting pula dalam menentukan konsumsi.

d. Keuntungan atau Kerugian Capital

Keuntungan capital yaitu dengan naiknya hasil bersih dari kapital akanmendorong
tambahnya konsumsi, selebihnya dengan adanya kerugian kapital akan mengurangi
konsumsi.

e. Tingkat Bunga

Ahli-ahli ekonomi klasik menganggap bahwa konsumsi merupakan fungsi dari tingkat
bunga. Khususnya mereka percaya bahwa tingkat bunga mendorong tabungan dan
mengurangi konsumsi.

f. Tingat Harga

Sejauh ini dianggap konsumsi riil merupakan fungsi dari pendapatan riil. Oleh karena
itu naiknya pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan proposi
yang sama tidak akan merubah konsumsi riil.

Selain faktor diatas dalam buku lain menyebutkan bahwa faktor-faktor penentu
jumlah konsumsi adalah (1) pendapatan disposabel (pendapatan siap dikonsumsi), (2)
pendapatan permanen (pendapatan tahun ini saja yang digunakan dalam konsumsi), (3)
Kekayaan.

2.1.5.4. Konsumsi Rumah Tangga


Rumah tangga atau bisa dikatakan dengan keluarga. Keluarga adalah unit satuan
masyarakat yang terkecil sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat.

23
Keluarga biasanya terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya. Menurut Ki Hajar Dewantara,
Keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu
mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, enak dan
berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing
anggotanya. Sedangkan menurut Durkheim keluarga adalah lembaga social hasil faktor-
faktor politik, ekonomi dan lingkungan.

Menurut Badan Pusat Statistik Rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu rumah
tangga biasa dan rumah tangga khusus.

a. Rumah tangga biasa adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu
dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan
sehari-hari bersama menjadi satu. Ada bermacam-macam bentuk rumah tanga biasa,
diantaranya : (1) orang yang tinggal bersama istri dan anaknya; (2) orang yang
menyewa kamar atau sebagian bangunan sensus dan mengurus makannya sendiri; (3)
keluarga yang tinggal terpisah di dua bangunan sensus, tetapi makannya dari satu
dapur, asal kedua bangunan sensus tersebut masih dalam satu segmen; (4) Rt yang
menerima pondokan dengan makan (indekos) yang pemondoknya kurang dari 10
orang. (5) pengurus asrama, panti asuhan, lembaga permasyarakatan dan sejenisnya
yang tinggal sendiri maupun bersama anak, istri serta art lainnya, makan dari satu
dapur yang terpisah dari lembaga yang diurusnya; (6) masing-masing orang yang
bersama-sama menyewa kamar atau sebagian bangunan sensus tetapi mengurus
makannya sendiri-sendiri.
b. b. Rumah tangga khusus adalah orang-orang yang tinggal di asrama, tangsi, panti
asuhan, lembaga permasyarakatan, atau rumah tahanan yang pengurusan kebutuhan
sehari-harinya dikelola oleh suatu yayasan atau lembaga, dan kelompok orang yang
mondok dengan makan (indekos) dan berjumlah 10 orang atau lebih. Rumah tangga
khusus tidak dicakup dalam Susenas.

Sebuah keluarga memiliki beberapa fungsi yang harus di penuhi dalam keluarga
tersebut diantaranya yaitu:

a. Fungsi Biologis

Dengan fungsi ini diharapkan agar keluarga dapat menyelenggarakan persiapan-


persiapan perkawinan bagi anak-anaknya. Karena dengan perkawinan akan terjadi proses
24
kelangsungan keturunan. Dan setiap manusia pada hakikatnya terdapat semacam tuntutan
biologis bagi kelangsungan hidup keturunannya, melalui perkawinan.

b. Fungsi Pemeliharaan

Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggota-anggotanya dapat terlindung


dari gangguan-gangguan yang membahayakan.

c. Fungsi Ekonomi

Keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan manusia yang pokok yaitu (1)


kebutuhan makan dan minum, (2) kebutuhan pakaian untuk menutup tubuhnya, (3)
kebutuhan tempat tinggal. Berhubung dengan fungsi penyelenggaraan kebutuhan pokok ini
maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat
cukup makan dan minum, cukup pakaian serta tempat tinggal.

d. Fungsi Keagamaan

Setiap keluarga diwajibkan untuk menjalani dan mendalami serta mengamalkan


ajaran-ajaran agama dalam pelakunya sebagai manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

e. Fungsi Sosial

Dalam fungsi ini keluarga berusaha untuk mempersiapkan anak-anaknya bekal-bekal


selengkapnya dengan memperkenalkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang dianut oleh
masyarakat serta mempelajari peranan-peranan yang diharapkan akan mereka jalankan kelak
bila sudah dewasa. Dengan fungsi ini diharapkan agar di dalam keluarga selalu terjadi
pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai kebudayaan seperti sopan-santun, bahasa, cara
bertingkah laku, ukuran tentang baik buruknya perbuatan, dll.

Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsumsi rumah tangga adalah
tingkat pengeluaran yang harus dipenuhi oleh keluarga guna untuk menjalankan fungsi dari
sebuah keluarga dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2.1.5.5. Jenis-jenis Konsumsi


Masyarakat dalam menentukan dan memilih jenis konsumsi sangat berbeda dan
beraneka ragam, hal itu tergantung dari tingkat penerimaan keluarga yang diperoleh. Suatu
keluarga dapat menentukan jenis konsumsi menurut tingkat yang disesuaikan dengan tingkat

25
kemampuan. Sedangkan tingkat kemampuan ini digambarkan oleh tingkat pendapatan yang
diterima keluarga dalam memenuhi kebutuhan konsumsi.

Kebutuhan manusia beraneka ragam dan berlangsung secara terus menerus, manusia
merasa belum puas walaupun satu kebutuhan telah terpenuhi, karena biasanya akan diikuti
oleh kebutuhan lain seperti kebutuhan sekunder. Kebutuhan manusia akan bertambah terus,
baik macam, jumlah, maupun mutunya. Penyebab ketidak terbatas kebutuhan manusia secara
keseluruhan, antara lain pertambahan penduduk, kemajuan teknologi, taraf hiidup yang
semakin meningkat, keadaan lingkungan dan tingkat kebudayaan manusia yang semakin
meningkat pula.

Adapun jenis-jenis konsumsi menurut tingkatannta adalah: konsumsi barang-barang


kebutuhan pokok disebut kebutuhan primer, konsumsi sekunder, dan konsumsi barang-
barang mewah.

Konsumsi pokok dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan primer, minimal yang


harus dipenuhi untuk dapat hidup. Konsumsi yang harus dimiliki oleh seseorang untuk jenis
konsumsi pokok adalah makanan, pakaian, dan perumahan.

Konsumsi sekunder adalah kebutuhan yang kurang begitu penting untuk dipenuhi.
Tanpa terpenuhi kebutuhan ini, manusia masih dapat hidup, misalnya kebutuhan akan meja,
kursi, radio, buku-buku bacaan. Kebutuhan ini akan dipenuhi apabila kebutuhan pokok sudah
terpenuhi. Oleh karena itu, kebutuhan ini sering disebut kebutuhan kedua atau kebutuhan
sampingan.

Selanjutnya, yaitu kebutuhan akan barang-barang mewah. Konsumsi ini dipenuhi


apabila konsumsi kebutuhan pokok dan sekunder telah terpenuhi. Seseorang akan
membutuhkan barang-barang mewah, misalnya mobil, berlian, barang-barang elektronik dan
sebagainya jika mempunyai kelebihan yang maksimal. Keinginan untuk memenuhi barang-
barang mewah ditentukan oleh penghasilan seseorang dan lingkungannya. Orang yang
bertempat tinggal di lingkungan orang kaya, biasanya berhasrat atau berkeinginan memiliki
barang-barang mewah seperti yang dimiliki orang dilingkungannya.

2.1.5.6. Konsumsi Pangan


Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan (baik bentuk asal maupun olahan)
yang dikonsumsi oleh seseorang/ penduduk dalam jangka waktu tertentu (maupun konsumsi
normatif) untuk hidup sehat dan produktif.

26
Dalam Undang-Undang (UU) Pangan No. 18 tahun 2012, pangan didefinisikan segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyimpanan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Dari definisi ini, cakupan pangan
sangat luas, tidak hanya pangan pokok yang umumnya sumber karbohidrat, tetapi juga
pangan sumber protein, vitamin, dan mineral. Tidak hanya berupa bahan baku, tetapi juga
bahan tambahan pangan dan lainnya.

UU tersebut mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung


jawab atas ketersediaan pangan. Penyediaan pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan
dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara
berkelanjutan. Ketentuan dari sisi konsumsi pangan, diamanatkan sebagai berikut:
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan masyarakat melalui antara lain (1) penyediaan pangan yang
beragam, bergizi seimbang, aman, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat; dan (2) pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam
pola konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang, bermutu, dan aman.

Pangan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia.
Setiap individu memiliki hak bebas dari rasa lapar dan kelaparan. Pangan memiliki dimensi
yang sangat kompleks, tidak saja dari sisi kehidupan dan kesehatan, tetapi juga dari sisi
sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, perwujudan ketahanan pangan dan gizi tidak
dapat dilepaskan dari upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan individu dan
masyarakat, peningkatan daya saing SDM, yang selanjutnya menjadi daya saing bangsa.
Pangan dapat dikatakan sebagai produk budaya karena pangan merupakan hasil adaptasi aktif
antara manusia/masyarakat dengan lingkungannya, sehingga perwujudan ketahanan pangan
harus bertumpu pada sumber daya dan kearifan lokal, sehingga ia dapat menjadi media dalam
mengembangkan budaya dan peradaban bangsa (Suryana, 2011).

Protein sebagai sumber pembangunan jaringan baru/pertumbuhan yang sangat


dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak balita. Kualitas konsumsi protein hewani lebih baik
dibandingkan protein nabati karena asam amino yang terkandung didalamnya lebih lengkap
dan daya serap dalam tubuh juga lebih tinggi. Menurut Hariyadi (2015), pangan hewani

27
merupakan sumber berbagai zat gizi mikro penting bagi tumbuh kembang balita, seperti zat
besi, vitamin B12, dan seng. Selanjutnya dikatakan bahwa kekurangan zat gizi mikro dapat
berdampak pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) mulai dari penurunan dan/atau
ganggunan kognitif serta sistem kekebalan tubuh, yang akhirnya mengakibatkan penurunan
produktivitas SDM. Oleh karena itu, Suryana (2014), menyatakan bahwa kecukupan pangan
merupakan investasi pembentukan SDM yang lebih baik dan prasyarat bagi pemenuhan
hakhak dasar lainnya seperti pendidikan, pekerjaan dan lainnya.

2.1.5.7. Pengendalian Konsumsi


Indonesia terus berupaya untuk memantapkan ketahanan pangan melalui berbagai
kebijakan. Sebagai gambaran, dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia atau dikenal dengan MP3EI (Kemenko Bidang Perekonomian, 2011)
disebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan prasyarat penting mendukung keberhasilan
pembangunan Indonesia. Kebijakan ketahanan pangan yang dibangun berdasarkan prinsip-
prinsip antara lain sebagai berikut: (1) memperhatikan dimensi konsumsi dan produksi; (2)
pangan tersedia secara mencukupi dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang sehat dan produktif; (3) upaya diversifikasi konsumsi pangan terjadi
jika pendapatan masyarakat meningkat dan produk pangan dihargai sesuai dengan nilai
ekonominya; dan (4) diversifikasi produksi pangan, terutama tepungtepungan, disesuaikan
dengan potensi produksi pangan daerah.

Dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2011–2014 (Dewan Ketahanan Pangan,


2011) disebutkan bahwa kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan
antara lain menata pertanahan dan tata ruang wilayah, antisipasi perubahan iklim (adaptasi
dan mitigasi), dan meningkatkan produksi domestik (proteksi dan promosi). Pengembangan
sistem distribusi pangan dilakukan dengan memperlancar sistem distribusi pangan, menjaga
keterjangkauan dan stabilitas harga pangan, meningkatkan aksesibilitas atas pangan, dan
menangani kerawanan pangan kronis dan transien. Peningkatan kualitas konsumsi pangan
dilakukan dengan mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan, mendorong perilaku
konsumsi pangan, meningkatkan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan, dan
memfasilitasi pengembangan industri pangan UMKM.

Kebijakan pangan ke depan harus mempertimbangkan keterkaitan antara dua sektor


utama, yaitu sektor pertanian dan sektor kesehatan. Sementara itu, Alexandratos and
Bruinsma (2012) menyatakan bahwa perubahan pola makanan akan terus berlangsung dengan

28
kecenderungan untuk mengurangi jumlah konsumsi makanan pokok seperti umbi-umbian dan
serealia, yang diimbangi oleh peningkatan konsumsi produk pangan asal ternak, minyak
sayur, buah-buahan, dan sayuran.

2.2. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Terkait Penyusunan Norma

Asas-asas yang menjadi landasan dalam melakukan pembentukan norma dalam


menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di
Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2020, adalah sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain:

1. Kemanusiaan; termanifestasi dalam peraturan pengendalian konsumsi satwa liar


sehingga rancangan peraturan daerah ini memberikan pelindungan dan penghormatan
hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
2. Keadilan; bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam peraturan pengendalian
konsumsi satwa liar harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
3. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; bahwa materi muatan
ketentuan dalam peraturan pengendalian konsumsi satwa liar tidak boleh berisi hal-hal
yang membedakan latar belakang, seperti agama, suku, ras, golongan, gender, atau
status sosial.
4. Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian; keseimbangan artinya bahwa materi
muatan ketentuan dalam peraturan pengendalian konsumsi satwa liar mencerminkan
keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan. Keselarasan materi muatan ketentuan
dalam peraturan pengendalian konsumsi satwa liar mencerminkan keselarasan tata
kehidupan dan lingkungan. Keserasian bahwa materi muatan ketentuan dalam
peraturan pengendalian konsumsi satwa liar mencerminkan keserasian lingkungan dan
kehidupan sosial masyarakat.
5. Ketertiban dan kepastian hukum; bahwa materi muatan ketentuan dalam peraturan
pengendalian konsumsi satwa liar harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
6. Kebersamaan; bahwa peraturan pengendalian konsumsi satwa liar pada dasarnya
menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang
dilakukan secara gotong royong.

29
7. Kelestarian lingkungan hidup; dan bahwa materi muatan ketentuan dalam peraturan
pengendalian konsumsi satwa liar mencerminkan kelestarian lingkungan untuk
generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan
negara.
8. Ilmu pengetahuan dan teknologi, bahwa dalam peraturan pengendalian konsumsi
satwa liar harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal
sehingga mempermudah dan mempercepat proses pengendalian konsumsi satwa liar,
baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi penyebaran penyakit akibat konsumsi
satwa liar, maupun pada tahap pasca penyebaran/pasca penyembuhan.

Beberapa prinsip dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian


Konsumsi Satwa Liar, yaitu:

1. Cepat dan tepat; bahwa dalam pengendalian konsumsi satwa liar harus dilaksanakan
secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2. Prioritas; bahwa apabila terjadi penyakit menular akibat konsumsi satwa liar, kegiatan
penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan
penyelamatan jiwa manusia.
3. Koordinasi dan keterpaduan; bahwa peraturan pengendalian konsumsi satwa liar
didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Keterpaduan bahwa
pengendalian konsumsi satwa liar dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang
didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4. Berdaya guna dan berhasil guna; bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
Berhasil guna bahwa kegiatan pengendalian konsumsi satwa liar harus berhasil guna,
khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5. Transparansi dan akuntabilitas; transparansi bahwa pengendalian konsumsi satwa liar
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas adalah
bahwa pengendalian konsumsi satwa liar dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6. Kemitraan, bahwa terkait dengan pengendalian konsumsi satwa liar diperlukan
kerjasama dalam hal sumber informasi, upaya pencegahan, penanggulangan, dan
penanganan. Kerjasama dilakukan oleh berbagai pihak meliputi lembaga kesehatan,

30
badan konservasi, pendidikan, keagamaan, LSM, militer, polisi, profesi, sosial, dinas
terkait serta media cetak dan elektronika.
7. Pemberdayaan; upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan lembaga
kesehatan dalam pencegahan, penanggulangan, dan penanganan akibat yang
ditimbulkan dari mengkonsumsi satwa liar.
8. Nondiskriminatif bahwa negara dalam pengendalian konsumsi satwa liar tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan
aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan
darurat wabah penyakit, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat
pertolongan korban.

2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang ada, serta


Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat

Indonesia dianggap memiliki risiko tinggi untuk masuknya penyakit zoonotik dari
negara tetangga, dan dianggap sebagai hotspot untuk PIB di Asia. Karena itu Indonesia
memerlukan pendekatan yang terintegrasi, komprehensif dan efektif untuk deteksi dini,
pencegahan tertarget dan respon cepat. Untuk mentargetkan penggunaan sumberdaya dalam
menangani risiko wabah dengan efektif, dibutuhkan penilaian risiko potensial patogen
manusia dan/atau hewan. Pencegahan dan pengendalian zoonosis dan PIB bergantung pada
deteksi dini agen penyebab penyakit. Deteksi dini patogen ini memainkan peran penting
dalam pembuatan kebijakan untuk pencegahan penyakit, terutama untuk pengendalian dan
pencegahan.(FAO, 2018).

Hubungan dengan negara lain di Asia Tenggara juga membuat Sulawesi rentan
terhadap masuknya penyakit baru. Perilaku masyarakat di Sulawesi Utara yang berinteraksi
secara dekat dengan satwa liar sebagai bagian dari budaya mereka. Konsumsi daging satwa
liar masih sangat umum di Sulawesi Utara dan salah satu tempat yang menjual produk satwa
liar itu adalah pasar Beriman di kota Tomohon diidentifikasikan sebagai pusat perdagangan
hewan dan satwa liar reservoir Zoonosis. Pasar tradisional Tomohon yang awalnya sebagai
tempat orang-orang membeli bahan kebutuhan pokok berkembang menjadi salah satu objek
wisata budaya di Kota Tomohon. Sebagai salah satu objek wisata, pasar tradisional Tomohon
memiliki keunikan yang membuatnya bertahan dan mendapat perhatian dari wisatawan.
31
Keunikan sebagai atraksi wisata yang tersedia di pasar tradisional Tomohon seperti adanya
lapak untuk menjual hewan-hewan yang tidak biasa terutama bagi orang dari luar Minahasa.
Di lapak tersebut biasanya dipajang hewan-hewan seperti ular, anjing, tikus hutan, kelelawar,
kadal, babi hutan dan lain -lain. Karena kegiatan jual beli hewan-hewan di atas, pasar
tradisional Tomohon juga terkenal dengan ekstreme culinary. Pesona ekstrim kuliner dan
suasana tradisional membuat pasar tradisional diperhitungkan sebagai objek wisata andalan
Kota Tomohon yang mampu untuk disandingkan dengan pesona alam. Menurut pada
persoalan penelitian dalam penulisan ini yaitu mengenai Pasar Tradisional di Kota Tomohon
atau Pasar Beriman, di mana pasar ini disebut-sebut menggambarkan budaya orang
Minahasa. Pengamatan awal yang dilakukan penulis, unsur-unsur tersebut sangat
mempengaruhi dorongan mobilisasi kunjungan masyarakat baik dari dalam kota Tomohon,
maupun masyarakat Kab/Kota yang ada di sekitar kota Tomohon termasuk juga
pengunjung/wisatawan domestic dan mancanegara. dari luar negeri.datang berkunjung ke
pasar Tomohon. Eksotis dan ‘’keekstriman’’ pasar tersebut sepertinya menambah nilai plus
sebagai tujuan wisata.(Rompas, 2013).

Kasus Zoonosis yang terbanyak di Provinsi Sulawesi Utara adalah Rabies. Dalam
rentang waktu tahun 2010 hingga Maret 2018 total ada 28.787 kasus gigitan anjing, 12.997
gigitan yang mendapat vaksin anti rabies, dan hingga tahun 2018 ada 199 kasus lyssa atau
kematian pada manusia karena rabies. Daerah dengan kasus tertinggi adalah Minahasa
menyusul Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Manado, Bitung,
Tomohon. Sesuai data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara tahun 2019 kasus lyssa
sebanyak 17 jiwa. Penyebaran kasus Zoonosis Rabies di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2018
dan 2019 adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1 Rekapitulasi Data Kasus GHPR dan Lyssa per Kab/Kota
di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2018
(Dinas Kesehatan Prov. Sulut, 2018)

Jumlah Spesimen
Spesimen
No Kab/Kota Kasus Lyssa Hewan yang
Positif
GHPR diperiksa
1. Bolaang Mongondow 143 0 1 0
2 Minahasa 1079 0 53 14
3. Kep. Sangihe 305 3 0 0
4. Kep. Talaud 92 0 0 0
5. Minahasa Selatan 815 6 37 20
6. Minahasa Utara 634 2 54 34

32
7. Bolaang Mongondow Utara 118 0 0 0
Jumlah Spesimen
Spesimen
No Kab/Kota Kasus Lyssa Hewan yang
Positif
GHPR diperiksa
8. Kep. Siau Tagulandang Biaro 145 0 2 2
9. Minahasa Tenggara 264 0 2 0
10. Bolaang Mongondow Selatan 33 0 0 0
11. BolaangMongondow Tiimur 157 0 0 0
12. Manado 828 6 36 12
13. Bitung 521 0 26 18
14. Tomohon 259 0 7 2
15. Kotamobagu 30 0 1 1
Jumlah 5423 17 219 103

Tabel 1.2 Rekapitulasi Data Kasus GHPR dan Lyssa per Kab/Kota
di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2019
(Dinas Kesehatan Prov. Sulut, 2019)

Jumlah Spesimen
Spesimen
No Kab/Kota Kasus Lyssa Hewan yang
Positif
GHPR diperiksa
1. Bolaang Mongondow 210 1 1 0
2 Minahasa 1404 1 53 14
3. Kep. Sangihe 484 9 0 0
4. Kep. Talaud 65 0 0 0
5. Minahasa Selatan 338 1 37 20
6. Minahasa Utara 831 2 54 34
7. Bolaang Mongondow Utara 157 1 0 0
8. Kep. Siau Tagulandang Biaro 322 0 2 2
9. Minahasa Tenggara 224 1 2 0
10. Bolaang Mongondow Selatan 36 0 0 0
11. BolaangMongondow Tiimur 151 0 0 0
12. Manado 748 1 36 12
13. Bitung 598 0 26 18
14. Tomohon 282 0 7 2
15. Kotamobagu 1 0 1 1
Jumlah 5851 17 219 103

Dengan spesimen hewan yang positif tahun 2019 sebanyak 279 sesuai data Dinas
Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara.

33
2.4. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan diatur Terhadap
Aspek Kehidupan dan Beban Keuangan Negara

Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di Provinsi


Sulawesi Utara ini, terutama dengan penerapan sistim baru dalam penanggulangan penyakit
menular diharapkan akan berimplikasi terhadap:

1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat;


Jika derajat kesehatan meningkat maka masyarakat menjadi sejahtera. Masalah
penyakit itu bukan hanya bidangnya kesehatan melainkan ada aspek sosial, budaya,
ekonomi, teknologi, agama dan bahkan politik. Mengendalikan konsumsi masyarakat
terhadap satwa liar sehingga mampu mencegah dan menanggulangi terjadinya
Penyakit Infeksi Emerging (PIE) mencakup new emerging (baru muncul) dan re-
emerging (muncul kembali);
2. Melindungi masyarakat dari risiko penularan zoonosis yang disebabkan oleh bahan
pangan satwa liar yang tidak terjamin keamanannya untuk dikonsumsi;
3. Menjamin keamanan bahan pangan satwa liar dengan dilakukannya pemeriksaan
kesehatan terlebih dahulu;
4. Mengawasi jalur masuk dan keluar dari bahan pangan satwa liar yang terdistribusi di
pasar Beriman Kota Tomohon;
5. Dengan materi muatan dan sistem yang baru dalam RaPerDa tentang Pengendalian
Konsumsi Satwa Liar di Provinsi Sulawesi Utara ini, maka dalam penerapannya tentu
akan memerlukan dana dan ini pasti akan membebani keuangan negara. Oleh karena
itu perlu dihitung secara cermat dan tepat berapa dana yang diperlukan, jangan sampai
operasional terhambat atau macet sama sekali karena dana yang diperlukan sangat
besar. Ketersediaan dana diperlukan untuk:
a. Pendanaan bagi kuantitas maupun kualitas (kompetensi dan profesionalisme) dari
SDM pada dinas teknis terkait;
b. Pendanaan untuk fasilitas pemeriksaan kesehatan bahan pangan satwa liar;
c. Upaya pemberdayaan masyarakat. Dana untuk memberdayakan masyarakat
diperlukan untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan kesehatan.

34
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Pengaturan tentang pengendalian konsumsi satwa liar di Provinsi Sulawesi Utara


terkait dengan beberapa ketentuan perundang-undangan, mulai dari konstitusi, perundang-
undangan yang secara khusus mengatur bidang kesehatan maupun ketentuan undang-undang
lainnya. Beberapa peraturan perundang-undangan organik yang dibuat untuk menjalankan
amanat Konstitusi khususnya Pasal 28 H UUD Tahun 1945. Selain itu, tertuang juga dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang secara keseluruhan dapat diuraikan sebagai
berikut:

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Hak konstitusional masyarakat dalam bidang kesehatan tertuang dalam Pasal 28 H


UUD Tahun 1945, mengamanatkan setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.

- Implikasi untuk Perda


Menjadi dasar bahwa Kesehatan sebagai hak. Lingkungan hidup, sebagai salah satu
faktor resiko penyakit menular, yang baik merupakan hak setiap orang. Oleh karena
itu tugas Pemda juga menjada lingkungan hidup. Tugas Pemda meyediakan
pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi salah satu
dasar hukum berbagai ketentuan yang mengatur tentang hak dalam pelayanan kesehatan,
Pasal 1 butir 1 berbunyi sebagai berikut:

”Hak azasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan
keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

35
Selanjutnya pada butir 2 disebutkan bahwa:

”Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak


dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia”.

Ketentuan lebih jelas termuat pada Pasal 9 undang-undang ini yang menyebutkan bahwa:

1) ”Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya;
2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan
batin;
3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa hak hidup sehat jasmani
dan rohani, terbebas dari penyakit dan ancaman penyakit merupakan hak dasar yang harus
dipenuhi.

3. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan

Pasal 44 ayat (1) penyusunan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik


pennyusunan perundang-undangan.

4. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(RPJP) Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (RPJP) pada bagian Lampiran Bab. IV. 1.2.
menetapkan Arah, tahapan dan prioritas PJP yakni ”Mewujudkan Bangsa yang Berdaya
Saing”. Program ini memuat rencana untuk ”Membangun Sumber Daya Manusia Yang
Berkualitas”, yang agendanya adalah sebagai berikut:

”Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan


kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setingi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan
kemandirian, adil dan merata, serta pengutaman dan manfaat dengan perhatian
khusus pada penduduk rentan antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut
(manula) dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui
peningkatan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia

36
kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang disertai oleh peningkatan
pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan..”

5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

 Pasal 10 ayat (5): pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan


urusan tertentu selain yang 6 kewenangan pemerintah pusat.
 Pasal 13, kewenangan wajib bagi Pemda Propinsi untuk melaksanakan urusan
kesehatan.
 Pasal 14. kewenangan wajib bagi Pemda kabu/Kota untuk melaksanakan urusan
kesehatan.

6. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur bahwa:

1) Pasal (4)-(5): Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak
yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Setiap
orang juga mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau. Pelayanan kesehatan yang dimaksud terdiri dari pelayanan
kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
2) Pasal (6): Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian
derajat kesehatan
3) Pasal (9): Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi
upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan
berwawasan kesehatan.
4) Pasal (10): Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya
memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. Setiap orang
berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan,
memajukan, kesehatan yang setinggi – tingginya.
5) Pasal (11): Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan
bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya

37
6) Pasal (14) ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang
merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Sejalan dengan Undang-undang Dasar Tahun 1945, diatur dalam Undang-undang


Kesehatan, Pasal 3 dinyatakan bahwa:

“Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan


kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi."

Pada Pasal 62 Undang-Undang Kesehatan menyatakan bahwa:

1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh


Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan
kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain
untuk menunjang tercapainya hidup sehat.
2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
3) Pemerintah dan Pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
diatur dengan peraturan Menteri.

Pengaturan khusus tentang pemberantasan penyakit pada UU Kesehatan dirumuskan


Pada Bab X memuat ketentuan tentang pemberantasan penyakit menular dan tidak menular.
Untuk penyakit menular dirumuskan pada bagian pertama Pasal 152. Sedangkan ketentuan
pada bagian kedua mengatur tentang penyakit tidak menular.

Pasal 152 mengatur bahwa:

1) Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan


upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat
yang ditimbulkannya.
2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari
38
tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal
dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.
3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative bagi individu atau masyarakat.
4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus berbasis
wilayah.
6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui lintas
sektor.
7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah dapat
melakukan kerjasama dengan Negara lain.
8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- Implikasi untuk Perda
1. Pendekatan komprehensif dan kemanfaatan dari pembangunan kesehatan,
khususnya dengan Menyusun Perda
2. Asas hak untuk Perda, Asas Komprehensif dan ruang lingkup pengaturan
3. Pengaturan lingkungan untuk pencegahan faktor resiko penyakit. Apa saja
pengaturan yang dibutuhkan didasarkan kebutuhan daerah dengan
memperhatikan aspek teknis.
4. Dasar untuk melakukan tindakan persuasif maupun koersif dalam mengatur
lingkungan
5. Dasar untuk melakukan tindakan persuasive maupun koersif dalam mengatur
perilaku
6. Dasar untuk melakukan tindakan persuasive maupun koersif dalam menjalankan
pengendalian penyakit menular

7. Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah dan Penyakit Menular

Pasal (5) Upaya penganggulangan wabah meliputi:

39
a. Penyelidikan epidemiologis;
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk Tindakan
karantina;
c. Pencegahan dan pengebalan;
d. Pemusnahan penyebab penyakit;
e. Penanganan jenazah akibat wabah;
f. Penyuluhan kepada masyarakat;
g. Upaya penanggulangan lainnya.
- Implikasi untuk Perda
Dijadikan dasar operasional dalam pelaksanaan penanggulangan wabah. Keterkaitan
dengan UU No 36 dimana Pemda menjamin dan menyediakan fasilitas, melakukan
upaya, maka harus tercermin dalam Perda dan turunannya bagaimana
mengoperasikan point (a) sd (g); siapa melakukan apa, pembiayaan; tata kelola;
sistem rujukan; sistem informasi; reward-punishment.

Pasal (6) Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1)
dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.

- Implikasi untuk Perda


Upaya penanggulangan wabah yang disebabkan oleh prilaku masyarakat, maka
masyarakat juga harus berperan aktif terutama meminimalisir prilaku kontak
langsung dengan budaya konsumsi satwa liar

8. Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis

Pasal 3 Strategi Pengendalian Zoonosis dilakukan dengan:

a. Mengutamakan prinsip pencegahan dan penularan kepada manusia dengan


meningkatkan upaya pengendalian zoonosis pada sumber penularan;
b. Penguatan koordinasi lintas sector dalam rangka membangun sistem pengendalian
zoonosis, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan, strategi dan program;
c. Perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan,
penanggulangan Kejadian Luar Biasa/wabah dan pandemi serta pemusnahan sumber
zoonosis pada hewan apabila diperlukan;

40
d. Penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis
baru;
e. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis;
f. Penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, logistik,
pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran
pengendalian zoonosis;
g. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis;
h. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihak - pihak lain.
- Implikasi untuk Perda
Operasionalisasi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait : Siapa melakukan
apa, Dinas- dinas yang terlibat, bagaimana koordinasi, komunikasi, sistem informasi
yang dibangun, eksekusi berkaitan dengan penegakan peraturan hukum.

9. Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan

Pada bagian Menimbang huruf d disebutkan bahwa dengan meningkatnya lalu lintas
hewan, ikan, dan tumbuhan antar negara dan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia, baik dalam rangka perdagangan, pertukaran, maupun
penyebarannya semakin membuka peluang bagi kemungkinan masuk dan menyebarnya hama
dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan yang
berbahaya atau menular yang dapat merusak sumberdaya alam hayati. Pasal 11 ayat (2)
menyatakan bahwa Pemeriksaan terhadap hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan,
dan ikan dapat dilakukan koordinasi dengan instansi lain yang bertanggung jawab di bidang
penyakit karantina yang membahayakan kesehatan manusia.

10. Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Dalam Pasal 57 ayat (1) mengamanatkan Menteri bahwa menteri yang


menyelenggarakan urusan kesehatan menetapkan jenis zoonosis yang memerlukan prioritas
pengendalian dan penanggulangan. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis harus
dilakukan secara terkoordinasi dengan menteri terkait (Pasal 57 ayat (3)).

11. Peraturan Pemerintah No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner
dan Kesejahteraan Hewan

41
Kesehatan Masyarakat Veteriner merupakan rantai penghubung antara kesehatan
Hewan dan produk Hewan, kesehatan manusia, serta kesehatan lingkungan. Kesehatan
Masyarakat Veteriner, sebagai salah satu unsur dari kesehatan Hewan dalam arti luas, adalah
segala urusan kesehatan Hewan dan produk Hewan yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kesehatan manusia. Penyakit Hewan yang dapat menular kepada manusia
melalui Hewan dan/atau produk Hewan adalah penyakit Hewan yang masuk dalam kategori
Zoonosis. Oleh karena itu penyelenggaraan Kesehatan Masyarakat Veteriner menjadi bagian
penting dari aktivitas masyarakat untuk melindungi kesehatan dan ketentraman batin
masyarakat melalui penjaminan Higiene dan Sanitasi pada rantai produksi produk Hewan,
penjaminan produk Hewan dalam hal kehalalan bagi yang dipersyaratkan, keamanan,
kesehatan, dan keutuhan, serta Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.

 Pada Pasal (2) disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai: a.
Kesehatan Masyarakat Veteriner; b. Kesejahteraan Hewan; dan c. penanganan Hewan
akibat Bencana Alam.
 Kemudian pada Pasal (3) disebutkan bahwa Kesehatan Masyarakat Veteriner
meliputi: a. penjaminan Higiene dan Sanitasi; b. penjaminan produk Hewan; dan c.
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.
 Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3)
ayat (1) huruf c dilakukan melalui: a. penetapan Zoonosis prioritas; b. manajemen
risiko; c. kesiagaan darurat; d. Pemberantasan Zoonosis; dan e. partisipasi masyarakat.
 Pada Pasal (61) disebutkan bahwa Penetapan Zoonosis dilakukan berdasarkan hasil
analisis risiko Zoonosis. Analisis risiko Zoonosis dilakukan berdasarkan informasi
hasil Pengamatan Zoonosis pada Hewan dan produk Hewan yang dilakukan oleh
Otoritas Veteriner di kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya.
 Sedangkan pada Pasal (62) Ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal Otoritas Veteriner di
bidang konservasi sumber daya alam hayati untuk Satwa Liar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum ada, pengamatan atau kegiatan lain terkait Zoonosis dilakukan
oleh Otoritas Veteriner Kementerian berkoordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang konservasi sumber daya alam
hayati.

42
Berdasarkan uraian diatas, belum ditemukan adanya pengaturan terkait pengendalian
konsumsi satwa liar pada PP Nomor 95 Tahun 2012 ini.

12. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya

 Pada Pasal (5) disebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a. perlindungan sistem penyangga
kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya; c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
 Pada Pasal 36 (1) disebutkan bahwa Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat
dilaksanakan dalam bentuk: a. pengkajian, penelitian dan pengembangan; b.
penangkaran; c. perburuan; d. perdagangan; e. peragaan; f. pertukaran; g. budidaya
tanaman obat-obatan; h. pemeliharaan untuk kesenangan. (2) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

13. Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Pasal 67 mengatur bahwa:

1) Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman, higienis,


bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat.
2) Keamanan Pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia.

Pasal 68 mengatur bahwa:

1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan


Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.
2) Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.
3) Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan wajib menerapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).

43
4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala
usaha Pangan.
5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan
penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 86 mengatur bahwa:

1) Pemerintah menetapkan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.


2) Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan wajib memenuhi
standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
3) Pemenuhan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui penerapan sistem jaminan Keamanan Pangan dan Mutu
Pangan.
4) Pemerintah dan/atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh Pemerintah dapat
memberikan sertifikat Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
5) Pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara bertahap
sesuai dengan jenis Pangan dan/atau skala usaha.
6) Ketentuan mengenai standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 108 mengatur bahwa:

“Dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pangan, Pemerintah berwenang melakukan


pengawasan.”
Pasal 112 mengatur bahwa:

“Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


108 sampai dengan Pasal 110 diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

14. Ketentuan Internasional

International Health Regulation (IHR) Tahun 2005, mewajibkan kepada negara


anggota untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit menular baik dalam
lingkungan negara yang bersangkutan maupun diperbatasan dengan harapan meningkatkan
kesehatan masyarakat. Pada Article 3 Point 4, dirumuskan bahwa: Negara anggota, sesuai
dengan Piagam PBB dan hukum internasional, memiliki kedaulatan untuk membuat dan

44
melaksanakan undang-undang sesuai dengan kebijakan kesehatannya. Dalam menerapkan
kedaulatannya, tujuan IHR harus senantiasa diperhatikan.

45
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

4.1. Landasan Filosofis

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


menegaskan bahwa salah satu tujuan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, bumi dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3). Landasan filosofis
pembentukan peraturan daerah di Indonesia saat ini merujuk pada recht idee yang tercantum
dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Inti landasan filosofis adalah
jika landasan peraturan yang digunakan memiliki nilai bijaksana yakni memiliki nilai benar
(logis), baik dan adil. Menemukan filosofis berarti melakukan pengkajian secara mendalam
untuk mencari dan menemukan hakekat sesuatu yang sesuai dan menggunakan dengan nalar,
nalar sehat. Menurut sistem demokrasi modern, kebijakan bukanlah berupa cetusan pikiran
atau pendapat dari pejabat negara atau pemerintahan yang mewakili rakyat akan tetapi juga
opini publik (suara rakyat) yang memiliki porsi sama besarnya untuk mencerminkan
(terwujud) dalam kebijakan-kebijakan publik.

Nilai-nilai hakiki dan luhur yang hidup dalam masyarakat yang terangkum dalam
Pancasila merupakan landasan bagi pengaturan tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar
di Provinsi Sulawesi Utara. Nilai-nilai Pancasila ini dijabarkan dalam hukum yang dapat
menunjukan nila-nilai keadilan, ketertiban dan kesejahteraan. Rumus Pancasila ini yang
merupakan dasar hidup Negara Indonesia dituangkan dalam pembukaan UUD Republik
Indonesia. Ditekankan dalam dasar Negara Indonesia, bahwa Indonesia adalah Negara hukum
(rechstaat) bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat). Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia mempunyai tugas antara lain
melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu unsur kesejahteraan
umum dari tujuan nasional ini adalah tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Untuk itu, pemerintah mengupayakan penyelenggaraan kesehatan bangsa Indonesia untuk
mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduknya melalui pembangunan kesehatan.

46
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral pembangunan nasional.
Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita bangsa jika diselenggarakan
oleh sumberdaya manusia yang cerdas dan sehat serta dukungan perencanaan kesehatan dan
pembiayaan terpadu dengan justifikasi kuat dan logis. Pembangunan nasional yang
berwawasan kesehatan harus mempunyai kontribusi positif terbentuknya lingkungan dan
perilaku yang sehat. Jika derajat kesehatan bangsa Indonesia meningkat maka meningkat pula
derajat kecerdasan bangsa kita. Oleh karenanya negara perlu menjamin agar warganya
mendapat kepastian, keadilan, dan manfaat dalam upaya pencegahan, penanggulangan, dan
pemberantasan/penanganan terhadap suatu Penyakit Infeksi Emerging (PIE) mencakup new
emerging (baru muncul) dan re-emerging (muncul kembali).

4.2. Landasan Sosiologis

Negara berkembang pada umumnya kurang menjadikan program pengendalian


penyakit sebagai prioritas terutama penyakit yang bersumber dari binatang. Di sisi yang lain
pergerakan penduduk dari suburban ke daerah urban semakin meningkat. Potensi
pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan cepatnya penularan penyakit. Faktor
sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang kotor mendorong terjadinya
peningkatan infeksi terutama penyakit yang berasal dari satwa liar. Agen penyakit dapat lebih
infeksius atau lebih ganas bahkan dapat mengalami resistensi terhadap obat – obatan.
Tantangan penting yang dihadapi adalah menciptakan kondisi pemerintahan yang lebih baik
sehingga kesejahteraan penduduknya meningkat untuk mencegah munculnya penyakit dan
wabah (Gummow, 2010).

Mulai dari severe acute respiratory syndrome (SARS) hingga avian ainfluenza A


(H7N9), abad keduapuluh satu telah melihat kemunculan banyak penyakit baru, yang
menarik perhatian banyak orang. Penyakit ini – disebut emerging infectious disease (EIDs) –
menjadi kekhawatiran khusus dalam kesehatan masyarakat. Tidak hanya karena penyakit ini
bisa memnyebabkan kematian pada manusia dalam jumlah besar saat ini menyebar, tapi
karena penyakit ini juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar dalam dunia yang
telah saling berhubungan saat ini. Sebagai contoh, perkiraan biaya langsung yang
ditimbulkan SARS di Kanada dan negara-negara Asia adalah sekitar 50 miliar dolar AS.
Selain itu, dampak dari penyakit infeksi baru ini relatif lebih besar di negara-negara
berkembang yang memiliki sumber daya yang lebih sedikit. Dalam 30 tahun terakhir, telah

47
muncul lebih dari 30 EIDs. Asia, sayangnya, seringkali menjadi episentrumnya (Kemenkes,
2020).

Faktor yang memicu munculnya emerging dan re-emerging adalah translokasi


manusia dan ternaknya, kontak antara satwa liar, hewan domestik dan manusia serta
penerapan praktik peternakan modern yang didukung dengan mekanisme transportasi yang
semakin berkembang dan globalisasi perdagangan menjadi media dalam penyebaran penyakit
diberbagai negara di dunia. Ada banyak faktor yang mempercepat kemunculan kemudahan
penyakit baru, karena faktor-faktor ini menyebabkan agen infeksi berkembang menjadi
bentuk ekologis baru, agar dapat menjangkau dan beradaptasi dengan inang yang baru, dan
agar dapat menyebar lebih mudah diantar inang-inang baru. Faktor-faktor ini termasuk
urbanisasi dan penghancuran habitat asli, yang menyebabkan hewan dan manusia hidup
dalam jarak dekat, perubahan iklim dan perubahan ekosistem; perubahan dalam populasi
inang reservoir atau vektor serangga perantara; dan mutasi genetik mikroba.  Akibatnya
dampak dari penyakit baru sulit untuk diprediksi namun bisa signifikan, karena manusia
mungkin hanya memiliki sedikit kekebalan terhadap penyakit ini atau tidak sama sekali
(Padaga dkk., 2018).

Diantara interaksi manusia dan satwa liar, perburuan hewan liar, pemotongan hewan
dan konsumsi dagingnya merupakan sumber kontaminasi yang penting. Ebola adalah contoh
penyakit zoonosis yang terkenal akibat aktivitas tersebut, namun HIV (simpanse), antraks
(ungulate), dan virus Simian foamy (gorilla) juga berasal dari perburuan dan konsumsi satwa
liar (Espinosa et al., 2020). Indonesia dianggap memiliki risiko tinggi untuk masuknya
penyakit zoonotik dari negara tetangga, dan dianggap sebagai hotspot untuk PIB di Asia.
Karena itu Indonesia memerlukan pendekatan yang terintegrasi, komprehensif dan efektif
untuk deteksi dini, pencegahan tertarget dan respon cepat. Untuk mentargetkan penggunaan
sumberdaya dalam menangani risiko wabah dengan efektif, dibutuhkan penilaian risiko
potensial patogen manusia dan/atau hewan. Pencegahan dan pengendalian zoonosis dan PIB
bergantung pada deteksi dini agen penyebab penyakit. Deteksi dini patogen ini memainkan
peran penting dalam pembuatan kebijakan untuk pencegahan penyakit, terutama untuk
pengendalian dan pencegahan (FAO, 2018).

Hubungan dengan negara lain di Asia Tenggara juga membuat Sulawesi rentan
terhadap masuknya penyakit baru. Perilaku masyarakat di Sulawesi Utara yang berinteraksi
secara dekat dengan satwa liar sebagai bagian dari budaya mereka. Konsumsi daging satwa

48
liar masih sangat umum dan beberapa pasar di Sulawesi Utara yang diidentifikasikan sebagai
pusat perdagangan hewan dan satwa liar reservoir Zoonosis, salah satunya pasar Beriman
kota Tomohon.

4.3. Landasan Yuridis

Perlindungan negara terhadap rakyatnya di bidang kesehatan menjadi salah satu


program pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan. Hal ini tertuang dalam pasal
28H UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahi
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Penjelasan UU Wabah Tahun 1984 terkait
pembangunan kesehatan ditujukan pada peningkatan keadaan gizi rakyat, peningkatan
pengadaan air minum, peningkatan kebersihan dan kesehatan lingkungan, perlindungan
rakyat bahaya narkotika dan penggunaan obat yang tidak memenuhi syarat, peningkatan
pemberantasan penyakit menular serta penyuluhan kesehatan masyarakat untuk
memasyarakatkan perilaku hidup sehat yang dimulai sedini mungkin. Meningkatkan
pemberantasan terhadap penyakit menular dengan melaksanakan upaya penanggualangannya.
Dalam upaya penanggulanagn Pemerintah berkewajiban menjamin kesehatan masyarakat dan
menyediakan fasilitas untuk melaksanakan upaya penanggulangan serta mengikutsertakan
masyarakat secara aktif. Masyarakat harus berperan aktif karena faktor sosial budaya yang
melekat dalam masyarakat dapat dikendalikan untuk meminimalisir prilaku yang berisiko yang
menyebabkan penyakit menular.

Dengan demikian maka pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan kesehatan,


berkewajiban dalam melakukan peningkatan pemberantasan penyakit menular dan penyakit
rakyat sebagai bagian dari pembangunan nasional dengan melaksanakan upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit sebagai mana diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan bahwa peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan
melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang
tercapainya hidup sehat. Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.

Pembangunan kesehatan diselenggarkan berdasarkan prinsip kemanusuan,


pemberdayaan, kemandirian, adil dan merata. Pembangunan kesehatan dilaksanakan harus

49
menjangkau setiap lapisan masyarakat dengan aspek sosial, ekonomi, budaya yang berbeda-
beda. Untuk itu dibutuhkan kerjasama pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan
kesehatan di daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud Pasal 13 bahwa kewenangan wajib bagi Pemerintah Daerah Provinsi untuk
melaksanakan urusan kesehatan. Masalah kesehatan yang ada di setiap daerah di Indonesia
berbeda-beda dipengaruhi oleh aspek lingkungan ekonomi politik agama sosial dan budaya
setempat. Hal ini menjadi implikasi dibentuknya peraturan perundang-undangan setingkat
Perda di Provinsi Sulawesi Utara karena peraturan ini dibuat agar dapat mengendalikan
perilaku masyarakat berisiko yang erat kaitannya dengan faktor budaya setempat yaitu
budaya konsumsi satwa liar. Dalam mengatur konsumsi pangan yang aman bagi masyarakat
juga diatur dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 68 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan
Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu dengan menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis,


strategi pengendalian zoonosis dilakukan dengan Penguatan koordinasi lintas sektor seperti,
sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan,
strategi dan program. Dalam melaksanakan upaya pengendalian konsumsi satwa liar
dibutuhkan operasionalisasi di tingkat Provinsi yaitu mengatur pelaksanaan peraturan mulai
dari stakeholder yang terlibat, koordinasi komunikasi setiap lembaga, sistem informasi yang
akan dibangun serta eksekusi berkaitan dengan kepastian hukum. Konteks dalam upaya
pengendalian dilaksanakan sesuai tugas pokok dan fungsi setiap lembaga untuk mengatur dan
menjamin kelayakan dan keamanan konsumsi satwa liar di masyarakat. Lembaga memiliki
wewenang melaksanakan sesuai tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan serta bertanggung
jawab kepada Pemerintah dan Pemerintah daerah.

50
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan

Jangkauan pengaturan Raperda ini adalah berupaya memberikan payung hukum yang
jelas terhadap pengendalian konsumsi satwa liar yang berada di daerah Provinsi Sulawesi
Utara yang sekaligus memberikan kepastian hukum atas peran pemerintah daerah. Maka
sangatlah penting untuk membentuk sebuah produk hukum yang berupa Peraturan Daerah
sebagai landasan hukum yang sekaligus memberikan suatu aturan yang komprehensif
terhadap pengendalian konsumsi satwa liar. Dengan harapan tujuan akhir adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah Provinsi Sulawesi Utara.

Arah yang akan diwujudkan dari pengaturan pengendalian konsumsi satwa liar ini
adalah adanya suatu sistem pengaturan yang terintegrasi antara Dinas teknis yang bertugas
terdiri dari Dinas Pertanian dan Perternakan, Dinas Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan,
Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan Dinas Pasar di Provinsi Sulawesi Utara dalam
pengendalian zoonosis yang bersumber dari satwa liar. Persoalan zoonosis tidak saja
menyangkut persoalan kesehatan tetapi juga menyangkut dengan persoalan hukum, politik,
ekonomi, sosial dan budaya, agama, serta keamanan.

5.2. Ruang Lingkup Materi Muatan

Bagian ini berisi materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di Provinsi Sulawesi Utara, antara lain:

1. Ketentuan Umum

Dalam ketentuan umum ini, dimuat tentang pengertian dan istilah-istilah umum yang
dimuat di dalam Peraturan Daerah, antara lain:

1. Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya
guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan secara langsung.

51
2. Satwa liar yang diperjualbelikan dan dikonsumsi di Sulawesi Utara adalah babi hutan;
tikus hutan; ular patola (sanca),; paniki (kelelawar); panoa; yaki (monyet); dan babi rusa.
3. Pengendalian zoonosis adalah rangkaian kegiatan yang meliputi manajemen pengamatan
pengidentifikasian, pencegahan, tatalaksana kasus, dan pembatasan penularan, serta
pemusnahan sumber zoonosis.
4. Penyakit Infeksi Emerging (PIE) berdasarkan WHO adalah penyakit baru atau penyakit
lama yang muncul kembali dengan tingkat insidensi yang tinggi dan menyebabkan
kematian pada manusia serta berada di area geografis baru.
5. Pengawasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menjamin dan
mmemelihara penyelenggaraan, pengendalian konsumsi satwa liar di Sulawesi Utara yang
terkendali.
6. Pengujian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menguji keamanan dan
mutu produk hewan terhadap unsur bahaya (hazard) dan cemaran.
7. Perizinan adalah pemberian legalitas terhadap konsumsi produk satwa liar yang sudah
memenuhi persyaratan kesehatan.
8. Distribusi adalah rangkaian kegiatan pemasukan atau pengeluaran produk pangan
bersumber satwa liar dari dan ke Pasar Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara.
9. Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
otonom.
10. Dinas teknis terkait terdiri dari; Dinas Pertanian dan Perternakan Provinsi Sulawesi Utara;
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara; Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi
Utara; Balai Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah Sulawesi Utara; dan Dinas Pasar
yang peraturannya dilimpahkan kepada kabupaten/kota.

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Peraturan Daerah tentang Pengendalian Konsumsi Satwa Liar di


Provinsi Sulawesi Utara meliputi:

a. Pengujian;

b. Penjaminan Mutu;

c. Perizininan Distribusi;

d. Pengawasan Distribusi;

52
e. Ketentuan Sanksi.

3. Maksud dan Tujuan

(1) Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah Pengendalian Penyakit Infeksi
Emerging (PIE) yang bersumber dari satwa liar di Daerah Provinsi Sulawesi Utara.

(2) Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk mendukung penegakan hukum
yang optimal terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
Pengendalian Penyakit Infeksi Emerging (PIE) di Daerah Provinsi Sulawesi Utara.

(3) Sasaran yang hendak dicapai dari Peraturan Daerah ini adalah terwujudnya suatu sistem
pengaturan yang terintegrasi antara Dinas teknis yang bertugas terdiri dari Dinas Pertanian
dan Perternakan, Dinas Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam, dan Dinas Pasar di Provinsi Sulawesi Utara dalam pengendalian zoonosis yang
bersumber dari satwa liar.

4. Pengujian

5. Penjaminan Mutu

6. Perizinan Distribusi

7. Pengawasan Distribusi

8. Ketentuan Sanksi

9. Ketentuan Penutup

53
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmoto, W., Artama, W.T., Pribadi, E.S., Budiharta, S., Sumiarto, B., Djohan, T.S.,
Husodo, A.H., Mukti, A.G., Widiasih, D.A., Amir, V.R., Hermiyanti, N.M., Suatan,
A.T., Retmanasari, A., 2015. Kolaborasi Multi-Sektoral Riset&Surveilans Zoonosis
untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan, Ketahanan dan Keamanan Pangan, serta
Kemandirian Ekonomi Indonesia.

Bennett, J.E., Dolin, R., Blaser, M.J., 2015. Principles and Practice of Infectious Disease, 8th
ed. Elseiver Inc, Philadelphia.

Dinas Kesehatan Prov. Sulut, B. P. dan P. (2018). Rekapitulasi Data Kasus GHPR dan Lyssa.
Sulawesi Utara.

Dinas Kesehatan Prov. Sulut, B. P. dan P. (2019). Rekapitulasi Data Kasus GHPR dan Lyssa.
Sulawesi Utara.

Espinosa R, Tago D, Treich N. Infectious Diseases and Meat Production. Environ Resour
Econ [Internet]. 2020 Aug 1 [cited 2020 Nov 16];76(4):1019–44. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32836843/

FAO, E. C. for T. A. D. (ECTAD). (2018). Laporan Tahunan 2017 Melindungi Manusia dan
Hewan. Jakarta, Indonesia: Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.

Global Health Security Agenda. 2017. https://www.ghsagenda.org/about. Diakses pada


Tanggal 23 Oktober 2020 Pukul 13.30 WIB.

Gummow B. Challenges posed by new and re-emerging infectious diseases in livestock


production, wildlife and humans. Livest Sci [Internet]. 2010 May [cited 2020 Nov
27];130(1–3):41–6. Available from: /pmc/articles/PMC7102749/?report=abstract

https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=BSGJDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=konsumsi+satwa+liar+dan
+dampak+kesehatan+masyarakat&ots=GnAdneYiAV&sig=So-
sSj6cp6pCMzzOl8Ea4dIOIQE&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=BSGJDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=konsumsi+satwa+liar+dan
+dampak+kesehatan+masyarakat&ots=GnAdneYiAV&sig=So-
sSj6cp6pCMzzOl8Ea4dIOIQE&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

https://www.jogloabang.com/kesehatan/permenkes-59-2016-pembebasan-biaya-pasien-
penyakit-infeksi-emerging-tertentu

54
Kemenkes RI. 2020. Mengenal Penyakit Infeksi Emerging. Infeksi Emerging: Media
Informasi Resmi Terkini Penyakit Infeksi Emerging.
https://covid19.kemkes.go.id/pengantar-infeksi-emerging/#.X5Ls2EfivIU. Diakses
pada Tanggal 23 Oktober 2020 Pukul 13.30 WIB.

Keusch, G.T., Pappaioanou, M., Gonzalez, M.C., Scott, A.K., Tsai, P., 2009. Sustaining
Global Surveillance and Response to Emerging Zoonotic Disease. The National
Academies Press, Washington D.C.

Mengenal Penyakit Infeksi Emerging » Info Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan RI


[Internet]. [cited 2020 Nov 14]. Available from:
https://covid19.kemkes.go.id/pengantar-infeksi-emerging/#.X6-Qe8gzbIU

Okello Anna L. dan Welburn Susan C. 2014. The importance of veterinary policy in
preventing the emergence and re-emergence of zoonotic disease: examining the case
of human African trypanosomiasis in Uganda. Frontiers in public health. November
2014 | Volume 2 | Article 218 doi: 10.3389/fpubh.2014.00218.

Padaga M, Aulanni’am, Herawati, Ani S, Fatmawati M. Penyakit Zoonosa Strategis di


Indonesia: Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner [Internet]. UB Press; 2018 [cited
2020 Nov 14]. 1–11 p. Available from: https://books.google.co.id/books?
id=BSGJDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=ZOONOSIS+DAN+PENYAKIT+I
NFEKSI+EMERGING&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiO6LzYtoHtAhXRWisKHZX
dBm4Q6AEwAXoECAMQAg#v=onepage&q&f=false

Peraturan Presiden Republik Indonesia No 30 tahun 2011. Pengendalian Zoonosis.


www.bkp.go. Id

Rompas, G. M. H. (2013). Pasar tradisional tomohon ( suatu kajian antropologi ). Holistik,


Journal of Social and Culture, 6(11), 1–14.

Sahiu, R., Pangemanan, E., Nurmawan, W., & Lasut, M. . (2017). Jenis Satwa Liar dan
Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara. In COCOS (Vol.
1).

Smulders Frans J. M., dan Collins John Daniel. 2002. Food safety assurance and
veterinarinary public health: volume 1: Food safety assurance in the pre-harvest
phase. Wageningen Academic Publishers: Netherlands. Page 127.

Sudradjat Sofyan dan Pambudy Rachmat. 2000. Peduli Peternak Rakyat. Yayasan Agrindo
Mandiri: Jakarta.

Tirtaningtyas, F. (2018). Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita : Mongabay.co.id.


Retrieved June 3, 2020, from Mongabay Situs Berita Lingkungan website:
https://www.mongabay.co.id/2018/04/03/waspada-ada-penyakit-zoonosis-di-sekitar-
kita/

WHO. 2014. The Control of Neglected Zoonotic Diseases: Report of the fourth international
meeting held at WHO headquarters, Geneva, Switzerland 19-20 November 2014.
http://www.who.int/neglected_diseases/ISBN9789241508568_ok.pdf. Diakses pada
Tanggal 23 Oktober 2020 Pukul 13.30 WIB.
55

Anda mungkin juga menyukai