Disusun oleh :
KELOMPOK 6/KELAS A
2021
KATA PENGGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " konsep medis dan
asuhan keperawatan apedisitis dan priodisitis" dengan tepat waktu.
- Bagi Perawat Dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan pasca
operasi laparatomy diharapkan juga melakukan pendekatan psikologisnya untuk
memperhatikan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan untuk masa penyembuhan
luka.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bu Siti Damawiyah, S.Kep, Ns, M.Kep
selaku dosen pembibing matkul kulia keperawatan medikal bedah. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR PUSTAKA
COVER / JUDUL
KATA PENGHANTAR ..........................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB1 PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN...........................................................................................3
2.1 Devinisi apendisitis..............................................................................................3
2.2 Etiologi apendisitis...............................................................................................4
2.3Tanda dan gejala apendisitis.................................................................................4
2.4 Patofisiologi apendisitis.......................................................................................5
2.5Pengobatan dan pemeriksaan penunjang apendisitis...........................................5
2.6 Penatalaksaan asuhan keperawatan......................................................................6
2.7 Pengkajian dan analisis data apendititis..............................................................6
2.8 Intervensi keperawatan.........................................................................................10
2.9 Devinisi peritonitis...............................................................................................15
3.1 Etiologi peritonitis................................................................................................16
3.2 Tanda dan gejala peritonitis.................................................................................16
3.3 Patofisiologi peritonitis........................................................................................17
3.4 Pengobatan dan pemeriksaan penunjang peritonitis...........................................17
3.5 Penatalaksaan asuhan keperawatan peritonitis.....................................................18
3.6 Pengkajian dan analisis data peritonitis..............................................................19
3.7 intervensi keperawatan ........................................................................................25
BAB 3 PENUTUP ....................................................................................................31
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................31
3.2 Saran.....................................................................................................................32
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh benda asing batu
feses kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks
verivormis (Nugroho, 2011). Apendisitis merupakan peradangan yang berbahaya
jika tidak ditangani segera bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams &
Wilkins, 2011). Apendisitis adalah suatu peradangan yang berbentuk cacing yang
berlokasi dekat ileosekal (Reksoprojo, 2010). Apendisitis adalah peradangan
akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan
peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010).
Insiden appendicitis pada tahun 2018 mencapai 7 dari populasi penduduk dunia.
Di Amerika Serikat appendicitis merupakan kedaruratan bedah abdomen yang
paling sering dilakukan, dengan jumlah penderita pada tahun 2017 sebanyak
734.138 orangdan meningkat pada tahun 2018 yaitu sebanyak 739.177 orang
(WHO, 2018). Hasil survey pada tahun 2018 Angka kejadian apendikitis di
sebagian besar wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia,
jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari
jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan salah
satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi
kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendiksitis di Indonesia menempati urutan
tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes, 2018). Jawa Tengah
tahun 2018, jumlah kasus apendikitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177
diantaranya menyababkan kematian.
Peritonitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri yang menginvasi atau masuk
kedalam rongga peritonium pada saluran makan yang mengalami perforasi.
1
Kuman yang paling sering adalah bakteri E Colli, streptokokus α dan β hemolitik,
strapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium
wechii. Salah satu penanganan peritonitis adalah operasi laparatomy, yaitu
pembedahan perut sampai membuka selaput perut atau peritonium (Padila 2012,
h.198). Pelaksanaan operasi laparatomy dapat dilakukan apabila ada beberapa
indikasi yang mendasarinya, seperti terjadi trauma abdomen (tumpul atau tajam),
perdarahan saluran pencernaan (internal blooding), sumbatan pada usus halus dan
usus besar, terdapat massa pada abdomen dan terjadi peritonitis atau inflamasi
lapisan peritonium (Padila 2012, h.198).
1.3 Tujuan
3. Untuk mengetahui apa saja tanda dan gejala dari Apendisitis dan Peritonitis
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Apendisitis merupakan inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan kecil yang
berukuran sekitar 4 inci (10 cm) yang buntu pada sekum. Apendiks dapat
terobstruksi oleh masa feses yang keras, yang akibatnya akan terjadi inflamasi,
infeksi, gangren, dan mungkin perforasi. Apendiks yang ruptur merupakan gejala
serius karena isi usus dapat masuk ke dalam abdomen dan menyebabkan
peritonitis atau abses (Caroline &Kowalski,2017).
Apendisitis merupakan masalah yang serius yang harus dicegah sedini mungkin
dan salah satu cara untuk menyembuhkan apendisitis adalah dengan apendiktomi
atau bedah mayor pada apendiks (Price & Wilson, 2006). Apendisitis akut pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar dalam diagnosis apendisitis
dengan tingkat akurasi sebesar 76- 80%. Disamping itu kemampuan dokter dalam
menegakkan diagnosis apendisitis serta membedakan antara apendisitis akut dan
3
apendisitis perforasi secara klinis sangat diperlukan, karena keduanya memiliki
penanganan yang berbeda. Gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas akan
menyulitkan dokter dalam menegakkan diagnosis, sehingga dokter akan
melakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Salah satu
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hitung jumlah
leukosit.6 8 Jumlah leukosit umumnya meningkat pada apendisitis akut yakni
sekitar 10.000-18.000 sel/mm. Jumlah leukosit yang kurang dari 18.000 sel/mm3
umumnya terjadi pada apendisitis simpel dan leukosit yang lebih dari 18.000
sel/mm menunjukkan adanya perforasi(Agus, 2011)
Penyakit usus buntu terjadi karena rongga usus buntu mengalami infeksi. Dalam
kondisi ini, bakteri berkembang biak dengan cepat sehingga membuat usus buntu
meradang, bengkak, hingga bernanah. Banyak faktor yang diduga membuat
seseorang mengalami radang usus buntu, di antaranya:
Kondisi medis, seperti tumor pada perut atau inflammatory bowel disease.
Kendati demikian, penyebab penyakit usus buntu tetap belum dapat dipastikan.
Berbagai mitos yang menyebabkan bahwa makanan tertentu, seperti biji cabai,
dapat memicu terjadinya usus buntu juga belum terbukti kebenarannya. Berbagai
cara mencegah usus buntu juga belum terbukti efektif sepenuhnya dan siapa pun
bisa terkena penyakit ini.
4
2.4 Patofisiologi apendisitis
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
fses yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa
apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang rendah serat. Pada stadium
awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian
berlanjut ke submukosa dan melibatkan peritoneal. Cairan eksudat
fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa
permukaan peritoneal yang bersebelahan. Dalam stadium ini mukosa glandular
yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen yang menjadi distensi dengan pus.
Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks
yang kurang suplai darah menjadi nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi
yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses local akan terjadi (Burkit, Quick &
Reed, 2007).
a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembekakan (swelling) rongga
perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
2) Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign)
yang mana merupakan kunci dari apendiksitis akut.
3) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/ tungkai
diangkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah
(psoas sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu tdubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axsila),
lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.
6) Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif
dan tanda perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan
bila apendiks terletak di rongga pelvis maka Obturator sign akan
positif dan tanda perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.
b. Pemeriksaan laboratorium
Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-
18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka
kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah)
c. Pemeriksaan radiologi
d. Ultrasonografi (USG)
5
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendik, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari
apendik yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85%
dan 92%.
1. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
2) Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG
abdomen dan apendikogram.
4. Jika train terpasang pada area insisi, pantai secara ketat adanya tanda-tanda
obstruksi usus halus hemoragik sekunder, atau abses sekunder ( mis;
takikardi, dan peningkatan jumlah leukosit).
6
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang dikaji dimulai dari keluhan yang dirasakan
pasien sebelum masuk rumah sakit,ketika mendapatkan perawatan di
rumah sakit sampai dilakukannyapengkajian. Pada pasien post operasi
apendiktomi biasanya didapatkan adanya keluhan seperti nyeri pada
luka insisi operasi. Keluhan nyeri dikaji menggunakan PQRST : P
(provokatif), yaitu faktor yang mempengaruhi berat atau ringannya
nyeri. Q (Quality), yaitu kualitas dari nyeri, seperti apakah rasa tajam,
tumpul atau tersayat. R (Region), yaitu daerah / lokasi perjalanan
nyeri.S (Severity), yaitu skala/ keparahan atau intensitas nyeri.T
(Time), yaitu lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien tentang
penyakit apa saja yang pernah di derita, riwayat operasiserta
tanyakan apakah pernah masuk rumah sakit sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada pasien mengenai riwayat penyakit keluarga seperti
(Diabetes Melitus, Hipertensi, Asma) dan penyakit menular.
6. Riwayat Psikososial
Pada pasien post operasi apendiktomi didapatkan kecemasan akan
nyeri hebat atau akibat respons pembedahan. Pada beberapa pasien
juga didapatkan mengalami ketidakefektifan koping berhubungan
dengan perubahan peran dalam keluarga (Mutaqqin, Arif & kumala
sari, 2011).
7. Pola sehari-hari
a. Nutrisi
Nafsu makan menurun dan porsi makan menjadi kurang
b. Eliminasi
- Alvi : Kadang terjadi diare/ konstipasi pada awal post operasi
- Urine : Pada pasien post operasi apendiktomi mengalami
penurunan haluaran urin.
8. Tidur/istirahat
Pola tidur dapat terganggu maupun tidak terganggu, tergantung
bagaimana toleransi klien terhadap nyeri yang dirasakannya
a. Personal Hygiene
Upaya untuk menjaga kebersihan diri cenderung kurang.
b. Aktavitas
9. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
7
Keadaan umum klien mulai saat pertama kali bertemu dengan
klien dilanjutkan mengukur tanda-tanda vital. Pada pasien post
operasi apendiktomi mencapai kesadaran penuh setelah
beberapa jam kembali dari ruang operasi.
b. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
umumnya pasien mengalami takikardi, peningkatan tekanan
darah, dapat juga terjadi hipotensi.
10. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Kepala
b. Pemeriksaan Muka
Pasien nampak meringis menahan nyeri pada luka bekas
operasi. tidak ada nyeri tekan, tidak ada edema.
c. Pemeriksaan Mata
Keadaan pupil isokor, palperbra dan refleks cahaya tidak ada
gangguan, konjungtiva tidak anemis
d. Pemeriksaan Hidung
e. Bersih, tidak terdapat polip, tidak ada nyeri tekan, tidak
terdapat nafas cuping hidung
f. Pemeriksaan Mulut
g. Mukosa bibir kering karena adanya pembatasan masukan oral,
mengamati bibir ada tidaknya kelainan kogenital (bibir
sumbing), sianosis atau tidak, pembengkakkan atau tidak, lesi
atau tidak, amati adanya stomatitis pada mulut atau tidak, amati
jumlah dan bentuk gigi, gigi berlubang, warna, plak, dan
kebersihan gigi.mengkaji terdapat nyeri tekan atau tidak pada
pipi dan mulut bagian dalam
h. Pemeriksaan Telinga
Pada klien post operasi apendiktomi fungsi pendengaran tidak
mengalami gangguan, inspeksi bentuk dan kesimetrisan telinga,
kebersihan telinga.
i. Pemeriksaan Thorak
1. Paru-paru
ii. Inspeksi : Pergerakan dada simetris, Pasien post operasi
apendiktomi akan mengalami penurunan dan
peningkatan frekuensi nafas
iii. Palpasi : Kaji ada tidaknya nyeri tekan, vokal fremitus
sama antara kanan dan kiri.
iv. Perkusi : Terdengar sonor
8
v. Auskultasi : Normalnya terdengar vasikuler pada kedua
paru, tidak terdapat suara tambahan
j. Jantung
i. Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
ii. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 & 5 mid
clavicula sinistra.
iii. Perkusi : Normalnya terdengar pekak
iv. Auskultasi : Normalnya terdengar tunggal suara jantung
pertama dan suara jantung kedua.
k. Abdomen
i. Inspeksi :Terdapat luka bekas operasi tertutup kasa,
bentuk dan ukuranluka, terlihat mengencang (distensi).
ii. Auskultasi : Bising usus menurun
iii. Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada abdomen bekas
operasi
iv. Perkusi :Kaji suara apakah timpani atau hipertimpani
l. Ekstremitas
Secara umum klien post operasi apendiktomi dapat mengalami
kelemahan karena tirah baring pasca operasi. Kekakuan otot
akan berangsur membaik seiring dengan peningkatan toleransi
aktivitas klien.
m. Integritas kulit
Terdapat luka sayatan pada bekas operasi, warna kulit,
kelembaban, akral hangat, CRT (Capilary Refil Time)< 2 detik,
turgor kulit menurun.
n. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi.
ii. Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan
11. Analisa data
Data yang telah dikumpulkan dari data subjektif dan data objektif
kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Analisa
merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan menyeleksi data,
mengklarifikasi, mengelompokkan data, mengaitkan dan menentukan
kesenjangan informasi, membandingkan dengan standar,
menginterprestasikan serta akhirnya membuat diagnosa
keperawatan( Herdman dan Kamitsuru, 2015).
9
12. Diagnosa Keperawatan
10
fisik (mis. terapi, teknik
Abses, imajinasi
trauma, terbimbing, kompres
amputasi, hangat/dingin,distra
terbakar, ksi, relaksasi
terpotong, (genggam jari,
mengangkat benson))
berat,proseu 2. Control lingkungan
r yang memperberat
operasi,trau rasa nyeri (mis.
ma, latihan Suhu ruang,
fisik pencahayaan,
berlebihan kebisingan)
3. Fasilitasiistirahat dan
tidur
3. Edukasi.
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
4. Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian analgesik
jika perlu
11
menurun 10% meningkat Identifikasi makanan
dibawah nilai idea perasaan cepat yang disukai
kenyang Identifikasi
menurun kebutuhan kalori dan
nyeri abdomen jenis nutrient
menurun Identifikasi perlunya
berat badan penggunaan selang
membaik nasogastrik
•Indeks massa Monitor asupan
tubuh membaik makanan
•nafsu makan Monitor berat badan
membaik Monitor hasil
pemeriksaan
Terapeutik
Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu
Fasilitasi
menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
Berikan makan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
Berikan suplemen
makanan, jika perlu
Hentikan pemberian
makan melalui
selang nasigastrik
jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi
12
pemberian medikasi
sebelum makan (mis.
Pereda nyeri,
antiemetik), jika
perlu
Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika
perlu
13
lama kolaborasi
f. Ketuban pecah 1.kolaborasi pemberian
sebelum waktunya imunisasi
g. Merokok
h. Statis cairan
tubuh
- Ketidak
adekuatan
pertahanan tubuh
sekunder :
a. Penurunan
hemoglobin
b. Imununosupresi
c. Leukopenia
d. Supresi respon
inflamasi
e. Vaksinasi tidak
adekuat
14
2.9 Devinisi peroinitis
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritonium yang disebabkan oleh infiltrasi isi
usus dari suatu kondisi seperti ruptur apendiks, perforasi/trauma lambung dan
kebocoran anastomosis (Padila 2012, h.191). Berdasarkan kedua penjelasan di
atas, penulis dapat menyimpulkan peritonitis adalah peradangan peritonium yang
diakibatkan oleh penyebaran infeksi dari organ abdomen seperti apendisitis,
pankreatitis, ruptur apendiks, perforasi/trauma lambung dan kebocoran
anastomosis.
Peritonitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri yang menginvasi atau masuk
kedalam rongga peritonium pada saluran makanan yang mengalami perforasi.
Kuman yang paling sering adalah bakteri E Colli, streptokokus α dan β hemolitik,
strapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium
wechii. Salah satu penanganan peritonitis adalah operasi laparatomy, yaitu
pembedahan perut sampai membuka selaput perut atau peritonium (Padila 2012,
h.198). Pelaksanaan operasi laparatomy dapat dilakukan apabila ada beberapa
indikasi yang mendasarinya, seperti terjadi trauma abdomen (tumpul atau tajam),
perdarahan saluran pencernaan (internal blooding), sumbatan pada usus halus dan
15
usus besar, terdapat massa pada abdomen dan terjadi peritonitis atau inflamasi
lapisan peritonium (Padila 2012, h.198).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2008, jumlah pasien yang
menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di
Indonesia atau sekitar 199.000 orang. Sedangkan berdasarkan data Dinas
Kesehatan Jawa Tengah tahun 2009, jumlah kasus peritonitis dilaporkan sebanyak
7.785 dan 270 diantaranya menyebabkan kematian (Dinkes Jateng, 2009)
1. Peritonitis primer paling sering terjadi karena sirosis hati yang disertai
penumpukan cairan di rongga perut (asites). Namun, kondisi lain yang
juga dapat menyebabkan asites, seperti gagal jantung atau gagal ginjal,
turut bisa menyebabkan peritonitis primer Selain itu, prosedur medis cuci
darah untuk gagal ginjal yang dilakukan dengan memasukkan cairan ke
dalam rongga perut (CAPD) juga merupakan penyebab umum peritonitis
primer.
Menurut Price (1995) tanda dan gejala peritonitis yaitu sakit perut (biasanya terus
menerus), mual dan muntah, abdomen yang tegang, kaku, nyeri, demam,
leukositosis dan dehidrasi. Menurut Long (1996) kemerahan, adema, dehidrasi.
Menurut Mubin (1994) pasien tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri tekan
abdomen, bunyi usus berkurang atau menghilang, syok (neurogenik, hipovolemik
atau septik) terjadi pada penderita peritonitis umum, bising usus tidak terdengar
pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi
peritonitisnya, nausea, vomiting, penurunan peristaltik (Padila 2012, h.193).
16
3.3 Patofisiologi peritonitis
17
3.4 Pemeriksaan atau pengobatan Peritonitis
1. Pemeriksaan peritonitis
2. Pengobatan Peritonitis
Pada pasien yang menjalani CAPD, dokter akan menyuntikkan obat langsung
ke dalam rongga peritoneum, melalui kateter yang sudah terpasang
sebelumnya. Pasien juga disarankan untuk menghentikan aktivitas CAPD dan
18
menggantinya dengan cuci darah biasa untuk sementara, sampai pasien
sembuh dari peritonitis.
a. Pengumpulan data
1. Identitas
o Identitas klien
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, status
perkawinan, suku/bangsa, agama, tanggal masuk rumah sakit,
tanggal pengkajian, nomor medrec, diagnosis medis, dan
alamat.
o Identitas penanggung jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, hubungan dengan
klien, alamat.
2. Riwayat kesehatan
o Keluhan utama
Keluhan utama pada klien pasca laparotomi adalah rasa sakit,
mual muntah, dan demam (Jitowiyono, Kristiyanasari, 22010
o Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pada klien pasca operasi laparatomi mengeluh nyeri
yang dirasakan sangat berat dan biasanya pada klien pasca
operasi laparatomi mengeluh nyeri yang dirasakan lokal atau
pun menyeluruh nyeri dirasakan, tiba-tiba atau bertahap,
seberapa lama gejala dirasakan. Biasanya pada klien pasca
operasi laparatomi mengeluh nyeri dirasakan ketika bergerak
(Doenges, 2014) (Nikmatur, Saiful, 2012)
3. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya terjadi pada klien yang memiliki riwayat adanya
trauma penetrasi abdomen, contoh luka tembak/tusuk atau
trauma tumpul pada abdomen ; perforasi kandung
kemih/rupture, penyakit saluran GI appendicitis, perforasi,
gangrene/ruptur kandung empedu, perforasi kardsinoma gaster,
19
perforasi gaster/duodenal, obstruksi gangrenosa usus, perforasi
diverticulum, hernia strangulasi (Doenges, 2014).
4. Kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan
adanya penyakit keturunan, kecenderungan alergi, dalam satu
keluarga, dan penyakit yang menular akibat kontak langsung
maupun tak langsung antar anggota keluarga (Nikmatur, Saiful,
2012).
5. Pola fungsi kesehatan
Kolom prioritas pada pola fungsi kesehatan yang berhubungan
dengan perubahan fungsi/anatomi tubuh menurut (Nikmatur,
Saiful, 2012), antara lain:
a) Pola nutrisi dan metabolisme. Pola fungsi yang diisi
dengan kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan
nutrisi sebelum sakit sampai dengan saat sakit (saat
ini) yang meliputi: jenis makanan dan minuman yang
dikonsumsi, frekuensi makan, porsi makan yang
dihabiskan, makanan selingan, makanan yang disukai,
alergi makanan, dan makanan pantangan. Keluhan
yang berhubungan dengan nutrisi seperti anoreksia,
mual, muntah (Doenges, 2014).
b) Pola eliminasi
Pada pasca operasi biasanya dijumpai
ketidakmampuan defekasi dan flatus (Doenges, 2014).
c) Pola aktivitas dan kebersihan diri
Pada pasca operasi biasanya klien tidak dapat
melakukan personal hygine secara mandiri karena
pembatasan gerak akibat nyeri dan kelemahan
(Doenges, 2014).
d) Pola istirahat tidur
Pada pasca operasi biasanya klien memiliki gangguan
pola tidur karena nyeri (Doenges,2014)
6. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan fisik yang dipatkan sesuai dengan
menifestasi klinik yang muncul. Pada surve umum klien
terlihat lemah dan kesakitan, TTV mengalami
perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik. Bila telah terjadi peritonitis bakterial,
suhu badan klien akan naik > 38,5ºC dan terjadi
takikardi, hipotensi, klien tampak latergi, serta intra
vaskuler disebabkan oleh anoreksia dan muntah,
demam, serta kerugian ruang ketiga kerongga
20
peritoneum. Dengan dehidrasi yang progesif, klien
mungkin menunjukan adanya penurunan urine output,
dan dengan peritonitis berat. Pada pemeriksaan fisik
fokus akan didapatkan :
b. Inspeksi : klien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi
abdomen didapatkan pada hampir semua klien
peritonitis dengan menunjukan peningkatan kekuatan
dinding perut. Perut sering menggembung disertai tidak
adanya bising usus. Temuan ini mencerminkan
ileusumum. Terkadang, pemeriksaan perut juga
mengungkapkan peradangan massa.
c. Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus
merupakan salah satu ileus obstruftif. Palpasi : nyeri
tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh.
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum
akan memberikan tanda – tanda rangsangan
peritoneum. Rangsangan peritenium akan memberikan
nyeri tekan dan defans muscular. Pekak hati dapat
menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma.
Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri tekan
abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin
mengindikasikan apendiksitis dan apabila bagian
anterior penuh dapat mengidentifikasi sebuah abses.
d. Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi akibat
adanya flatulen. Ketika mengevaluasi klien dengan
dugaan peritonitis, melakukan pemeriksaan fisisk secara
lengkap adalah penting. Penyeberan proses infeksi ke
toraks dengan iritasi diafragma (misalnya : epiema).
Proses penyebaran ekstraperitoneal ( misalnya :
pielonefritis, sistitis, hematoma) dapat meniru tanda –
tanda tertentu dan gejala peritonitis. Sebagai bahan
temuan pada pemeriksaan klinis mungkin sama sekali
tidak meyakinkan atau tidak dapat diandalkan pada
klien dengan imunosupresi (misalnya : diabetes berat,
penggunaan steroid, setelah transplantasi organ, HIV)
(muttaqin,2009)
7. Keadaan umum
Keadaan umum pada klien dengan gangguan sistem
pencernaan dapat dilakukan selintas pandang dengan
menilai keadan fisik. Tiap bagian tubuh perlu dinilai
secara umum kesadaran klien compos mentis, apatis,
samnolen, sopor dan soporokomatus, atau koma,
21
seorang perawat perlu mempunyai pengalaman
pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum
sehingga dengan cepat mampu menilai kedaan umum,
kesadaran, dan pengukuran GCS. Bila kesadaran klien
menurun yang memerlukan kecepatan dan ketetapan
penilaian. Pada pemeriksaan keadaan umum klien
dengan gangguan system pencernaan dan akan berubah
sesuai tingkat gangguan yang melibatkan parfusi system
saraf pusat (muttaqin, 2009).
8. Pemeriksaan persistem
1. Sistem pernapasan
Biasanya klien mengalami pernapasan dangkal dan
takipneu (Doenges, 2014).
1. Sistem kardiovaskularUmumnya klien mengalami
takikardi, berkeringat, pucat dan hipotensi sebagai
indikasi terjadinya syok (Doenges, 2014).
2. Sistem persyarafan
a. Nervus olfaktorius (N.I)
Nervus olfaktorius merupakan saraf
sensorik yang fungsinya hanya satu,
yaitu mencium bau. Kerusakan saraf ini
menyebabkan hilangnya penciuman
(anosmia), atau berkurangnya penciuman
(hiposmia).
b. Nervus optikus (N.II)
Penangkap rangsang cahaya ialah sel
batang dan kerucut yang terletak
diretina, impuls alat kemudian
dihantarkan melalui serabut saraf yang
membentuk nervus optikus.
c. Nervus Okulomotorius, Trochearis,
Abduscen (N III, N IV, N VI) Fungsi
nervus ini saling berkaitan dan diperiksa
bersama-sama. Fungsinya ialah
menggerakan otot mata ekstraokuler, dan
mengangkat kelopak mata. Serabut
otonom nervus III mengatur otot pupil.
d. Nervus trigeminus (N.V)
22
motoric (porsio minor). Bagian motoric
mengurus otot mengunyah.
23
Perpindahan sejumlah besar cairan dan elektrolit
dari lumen usus ke rongga peritoneal dan
menurunkan cairan dalam ruang vaskuler
menyebabkan penurunan haluaran urine menjadi
pekat/ gelap, distensi kandung kemih dan retensi
urine (Doenges, 2014).
5. Sistem integument
Akan tampak adanya luka operasi diabdomen
karena insisi bedah. Turgor kulit akan membaik
seiring dengan peningkatan intake oral,
membrane mukosa kering (Doenges, 2014).
6. Sistem musculoskeletal
Kelemahan dan kesulitan ambulasi terjadi akibat
nyeri berat diabdomen yang menyebabkan
kekakuan pada otot (Doenges, 2014).
9. Data psikologi
24
Diisi dengan nilai-nilai dan kepercayaan klien terhadap sesuatu
dan menjadi sugesti yang amat kuat sehingga mempengaruhi
gaya hidup klien, dan berdampak pada kesehatan klien.
Termasuk, praktik ibadah yang dijalankan klien sebelum sakit
sampai saat sakit (Nikmatur, Saiful, 2012).
b. Analisa data
c. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencederaan fisik (inflamasi)
dibuktikan dengan pasien mengeluh nyeri, dan tampak meringis
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan
dengan suhu tubuh diatas nilai normal
25
pencederaan fisik nyeri menurun - Identifikasi kualitas,
(inflamasi) dengan kriteria lokasi, lokasi, skala,
dibuktikan dengan hasil : karakteristik, dan durasi
pasien mengeluh • Keluhan nyeri durasi, menit.
nyeri, dan tampak menurun frekuensi, 2. Intervensi
meringi •Meringis kualitas. dini pada
menurun - Identifikasi control nyeri
• Gelisah menurun skala nyeri memudahkan
• Kesulitan tidur - Identifikasi pemulihan
menurun respon nyeri non otot/jaringan
• Frekuensi nadi verbal dengan
membaik - Identifikasi menurunkan
• Pola nafas factor yang tegangan otot
membaik memperberat dan
• Pola tidur dan memperbaiki
membaik memperingan sirkulasi.
nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan
tentang nyeri
- Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri
- Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup
- Monitor
keberhasilan
terapi
konmplementer
yang sudah
diberikan
- Monitor efek
samping
pemberian
analgetik
• Terapeutik
- Berikan Teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri (mis.
hipnosis, terapi
music, terapi
pijat,
26
aromaterapi,
Teknik
imajinasi)
- Control
lingkungan yang
memperberat
rasa nyeri (mis.
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi
istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan
strategi
meredakan
nyeri.
• Edukasi
- Jelaskan
penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan
strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan
monitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
- Ajarkan Teknik
nonformakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri.
• Kolaborasi
-Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu.
B.Pemberian
analgesik
27
•Observasi
- Identifikasi
karakteristik
nyeri (mis.
pencetus,
Pereda, kualitas,
lokasi, frekuensi,
durasi)
- Identifikasi
alergi obat
- Identifikasi
kesesuaian jenis
analgesik (mis.
narkotika, non-
narkotik, atau
NSAIO) dengan
tingkat
keparahan nyeri
- Monitor tanda-
tanda sebelum
dan sesudah
pemberian
analgesik
- Monitor
efektifitas
analgesik
• Terapeutik
- Diskusikan
jenis analgesik
yang disukai
untuk mencapai
analgesia, jika
perlu
- Pertimbangkan
penggunaan
infus kontinu,
atau bolus opoid
untuk
mempertahankan
kadar dala serum
- Tetapkan target
efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan
respons pasien
-
Dokumentasikan
respons terhadap
28
efek analgesik
dan efek yang
tidak diinginkan
• Edukasi
-Jelaskan efek
terapi dan efek
samping obat
•Kolaborasi
-Kolaborasi
pemberian dosis
dan jenis
analgesik, jika
perlu.
29
pakaian
- Basahi dan
kipasi
permukaan
tubuh
- Berikan cairan
oral
- Ganti linen
setiap hari atau
lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis
(keringat
berlebihan)
- Lakukan
pendinginan
eksternal (mis.
Selimut
hipotermia atau
kompres dingin
pada dahi, leher,
dada, abdomen,
aksila)
- Hindari
pemberian
antipiretik atau
aspirin
- Berikan
oksigen jika
perlu
• Edukasi
-Anjurkan tirah
baring
•Kolaborasi
-Kolaborasi
pemberian
cairan dan
elektrolit
intravena, jika
perlu
30
BAB 3
PENUTUP
3.1Kesimpulan
3.2Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
Siti Waisani, K. K. (2020 , April ). Penurunan Intensitas Skala Nyeri Pasien Appendiks Post
Appendiktomi, Ners Muda,, Vol 1 No 1, 14-20 .
Smeltzer, S. C. (2016). In N. S. Eka Anisa Mardela (Ed.), Keperawatan Medikal Bedah (Vol.
Edisi 12 , pp. 446-450).
32