Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

KONSEP MEDIS DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT

APENDISITIS DAN PERITONITIS

Disusun oleh :

KELOMPOK 6/KELAS A

1. Elsa Andini (1150020009)


2. Devy Putri Endang P (1150020028)
3. Ratih Widhiah Ningrum (1150020033)
4. Nur Mawaddah (1150020034)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS NAHDATUL ULAMA SURABAYA

2021
KATA PENGGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " konsep medis dan
asuhan keperawatan apedisitis dan priodisitis" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran KMB (keperawatan


medikal bedah. Selain itu, makalah ini bertujuan

- Bagi Institusi PendidikanMemberikan kemudahan untuk mengembangkan ilmu


pengetahuan dan keterampilannya dalam menjalani praktik dan pembuatan asuhan
keperawatan.

- Bagi Lahan Praktik Meningkatkan mutu pelayanan untuk klien dengan


melibatkan peran aktif keluarga sehingga asuhan keperawatan dapat tercapai
sesuai tujuan dan memberikan kenyamanan pada klien.

- Bagi Perawat Dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan pasca
operasi laparatomy diharapkan juga melakukan pendekatan psikologisnya untuk
memperhatikan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan untuk masa penyembuhan
luka.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bu Siti Damawiyah, S.Kep, Ns, M.Kep
selaku dosen pembibing matkul kulia keperawatan medikal bedah. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR PUSTAKA
COVER / JUDUL
KATA PENGHANTAR ..........................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB1 PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN...........................................................................................3
2.1 Devinisi apendisitis..............................................................................................3
2.2 Etiologi apendisitis...............................................................................................4
2.3Tanda dan gejala apendisitis.................................................................................4
2.4 Patofisiologi apendisitis.......................................................................................5
2.5Pengobatan dan pemeriksaan penunjang apendisitis...........................................5
2.6 Penatalaksaan asuhan keperawatan......................................................................6
2.7 Pengkajian dan analisis data apendititis..............................................................6
2.8 Intervensi keperawatan.........................................................................................10
2.9 Devinisi peritonitis...............................................................................................15
3.1 Etiologi peritonitis................................................................................................16
3.2 Tanda dan gejala peritonitis.................................................................................16
3.3 Patofisiologi peritonitis........................................................................................17
3.4 Pengobatan dan pemeriksaan penunjang peritonitis...........................................17
3.5 Penatalaksaan asuhan keperawatan peritonitis.....................................................18
3.6 Pengkajian dan analisis data peritonitis..............................................................19
3.7 intervensi keperawatan ........................................................................................25
BAB 3 PENUTUP ....................................................................................................31
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................31
3.2 Saran.....................................................................................................................32

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Apendisitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh benda asing batu
feses kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks
verivormis (Nugroho, 2011). Apendisitis merupakan peradangan yang berbahaya
jika tidak ditangani segera bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams &
Wilkins, 2011). Apendisitis adalah suatu peradangan yang berbentuk cacing yang
berlokasi dekat ileosekal (Reksoprojo, 2010). Apendisitis adalah peradangan
akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan
peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010).

Insiden appendicitis pada tahun 2018 mencapai 7 dari populasi penduduk dunia.
Di Amerika Serikat appendicitis merupakan kedaruratan bedah abdomen yang
paling sering dilakukan, dengan jumlah penderita pada tahun 2017 sebanyak
734.138 orangdan meningkat pada tahun 2018 yaitu sebanyak 739.177 orang
(WHO, 2018). Hasil survey pada tahun 2018 Angka kejadian apendikitis di
sebagian besar wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia,
jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari
jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan salah
satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi
kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendiksitis di Indonesia menempati urutan
tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes, 2018). Jawa Tengah
tahun 2018, jumlah kasus apendikitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177
diantaranya menyababkan kematian.

Peritonitis adalah inflamasi membran peritonium. Peritonium adalah kantong


berlapis dua yang semipermeabel dengan cairan bervolume 1.500 ml. Kantong ini
membungkus semua organ yang ada di dalam rongga perut. Oleh karena itu
diinervasi oleh saraf somatik, stimulus peritonium parietal yang membungkus
rongga perut dan pelvis menyebabkan nyeri yang tajam dan terlokalisasi (Black &
Hawks 2014, h.1041 ). Inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viserela. Biasanya akibat dari infeksi bakteri seperti
organisme yang berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita
dari organ reproduksi internal (Brunner & Sudarth 2002, dikutip dalam Nurarif &
Kusuma 2015, h.59).

Peritonitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri yang menginvasi atau masuk
kedalam rongga peritonium pada saluran makan yang mengalami perforasi.

1
Kuman yang paling sering adalah bakteri E Colli, streptokokus α dan β hemolitik,
strapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium
wechii. Salah satu penanganan peritonitis adalah operasi laparatomy, yaitu
pembedahan perut sampai membuka selaput perut atau peritonium (Padila 2012,
h.198). Pelaksanaan operasi laparatomy dapat dilakukan apabila ada beberapa
indikasi yang mendasarinya, seperti terjadi trauma abdomen (tumpul atau tajam),
perdarahan saluran pencernaan (internal blooding), sumbatan pada usus halus dan
usus besar, terdapat massa pada abdomen dan terjadi peritonitis atau inflamasi
lapisan peritonium (Padila 2012, h.198).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa konsep medis dari Apendisitis dan Peritonitis ?

2. Apa etiologi dari Apendisitis dan Peritonitis ?

3. Apa saja tanda dan gejala dari Apendisitis dan Peritonitis ?

4. Bagaimana askep dari Apendisitis dan Peritonitis ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa konsep medis dari Apendisitis dan Peritonitis

2. Untuk mengetahui apa etiologi dari Apendisitis dan Peritonitis

3. Untuk mengetahui apa saja tanda dan gejala dari Apendisitis dan Peritonitis

4. Untuk mengetahui bagaimana askep dari Apendisitis dan Peritonitis

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis akibat infeksi pada


usus buntu atau umbai cacing (appendiks). Infeksi ini menyebabkan peradangan
akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya (Wijaya & Putri, 2013:88). Apendisitis adalah salah
satu penyakit akut abdomen dimana terjadi inflamasi pada apendiks vermiformis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri sebagai penyebab utamanya (Zulfikar et al.
2015).

Apendisitis merupakan inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan kecil yang
berukuran sekitar 4 inci (10 cm) yang buntu pada sekum. Apendiks dapat
terobstruksi oleh masa feses yang keras, yang akibatnya akan terjadi inflamasi,
infeksi, gangren, dan mungkin perforasi. Apendiks yang ruptur merupakan gejala
serius karena isi usus dapat masuk ke dalam abdomen dan menyebabkan
peritonitis atau abses (Caroline &Kowalski,2017).

Penyakit Apendisitis Menurut Kementrian Kesehtan Survey di 15 provinsi


Indonesia tahun 2014 menunjukan jumlah apendisitis yang dirawat di rumah Sakit
sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236 orang. Penyakit Apendisitis Menurut
Kementrian Kesehtan Survey di 15 provinsi Indonesia tahun 2014 menunjukan
jumlah apendisitis yang dirawat di rumah Sakit sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini
meningkat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236
orang (KEMKES, 2012). (Indri, 2014) berpendapat bahwa risiko jenis kelamin
pada kejadian penyakit apendisitis terbanyak berjenis kelamin laki-laki dengan
presentase 72,2% sedangkan berjenis kelamin perempuan hanya 27,8%. Hal ini
dikarenakan laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah
untukbekerja dan lebih cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji, sehingga
hal ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus yang
bisa menimbulkan masalah pada sistem pencernaan salah satunya yaitu
apendisitis.

Apendisitis merupakan masalah yang serius yang harus dicegah sedini mungkin
dan salah satu cara untuk menyembuhkan apendisitis adalah dengan apendiktomi
atau bedah mayor pada apendiks (Price & Wilson, 2006). Apendisitis akut pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar dalam diagnosis apendisitis
dengan tingkat akurasi sebesar 76- 80%. Disamping itu kemampuan dokter dalam
menegakkan diagnosis apendisitis serta membedakan antara apendisitis akut dan

3
apendisitis perforasi secara klinis sangat diperlukan, karena keduanya memiliki
penanganan yang berbeda. Gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas akan
menyulitkan dokter dalam menegakkan diagnosis, sehingga dokter akan
melakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Salah satu
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hitung jumlah
leukosit.6 8 Jumlah leukosit umumnya meningkat pada apendisitis akut yakni
sekitar 10.000-18.000 sel/mm. Jumlah leukosit yang kurang dari 18.000 sel/mm3
umumnya terjadi pada apendisitis simpel dan leukosit yang lebih dari 18.000
sel/mm menunjukkan adanya perforasi(Agus, 2011)

2.2 Etiologi apendisitis

Penyakit usus buntu terjadi karena rongga usus buntu mengalami infeksi. Dalam
kondisi ini, bakteri berkembang biak dengan cepat sehingga membuat usus buntu
meradang, bengkak, hingga bernanah. Banyak faktor yang diduga membuat
seseorang mengalami radang usus buntu, di antaranya:

a. Hambatan pada pintu rongga usus buntu


b. Penebalan atau pembengkakan jaringan dinding usus buntu karena infeksi
di saluran pencernaan atau di bagian tubuh lainnya
c. Tinja atau pertumbuhan parasit (misalnya infeksi cacing kremi atau
ascariasis) yang menyumbat rongga usus buntu
d. Cedera pada perut.

Kondisi medis, seperti tumor pada perut atau inflammatory bowel disease.
Kendati demikian, penyebab penyakit usus buntu tetap belum dapat dipastikan.
Berbagai mitos yang menyebabkan bahwa makanan tertentu, seperti biji cabai,
dapat memicu terjadinya usus buntu juga belum terbukti kebenarannya. Berbagai
cara mencegah usus buntu juga belum terbukti efektif sepenuhnya dan siapa pun
bisa terkena penyakit ini.

2.3 Tanda dan Gejala apenditis

Menurut Wijaya AN dan Putri (2013), gejala-gejala permulaan pada apendisitis


yaitu nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti anoreksia, nausea
dan muntah, ini berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri
bergeser ke nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik Mc. Burney, nyeri rangsangan peritoneum tidak
langsung, nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan, nyeri
pada kuadran kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, dan mengedan, nafsu makan menurun, demam yang tidak terlalu
tinggi, biasanya terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare.

4
2.4 Patofisiologi apendisitis

Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
fses yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa
apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang rendah serat. Pada stadium
awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian
berlanjut ke submukosa dan melibatkan peritoneal. Cairan eksudat
fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa
permukaan peritoneal yang bersebelahan. Dalam stadium ini mukosa glandular
yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen yang menjadi distensi dengan pus.
Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks
yang kurang suplai darah menjadi nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi
yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses local akan terjadi (Burkit, Quick &
Reed, 2007).

2.5 Pengobatan atau pemeriksaan Apendisitis

a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembekakan (swelling) rongga
perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
2) Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign)
yang mana merupakan kunci dari apendiksitis akut.
3) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/ tungkai
diangkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah
(psoas sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu tdubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axsila),
lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.
6) Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif
dan tanda perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan
bila apendiks terletak di rongga pelvis maka Obturator sign akan
positif dan tanda perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.
b. Pemeriksaan laboratorium
Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-
18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka
kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah)
c. Pemeriksaan radiologi

Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang membantu).

d. Ultrasonografi (USG)

5
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendik, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari
apendik yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85%
dan 92%.
1. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
2) Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG
abdomen dan apendikogram.

2.6 Penatalaksanaan keperawata asuhan keperawatan apendisitis

1. Tujuan keperawatan mencakup upaya meredakan nyeri mencegah defisit


volume cairan, menurunkan asietas, mengatasi infeksi yang disebabkan
oleh gangguan potensial atau aktual pada saluran GI mempertahankan
integritas kulit dan mencapai nutrisi yang optimal.

2. Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani pembedahan, mulai jalur


if, berikan antibiotik, dan masukkan selang nasogastrik (bila terbukti ada
ileus paralistrik. Jangan berikan enema atau laksatif ( dapat menyebabkan
perforasi ).

3. Setelah operasi, posisikan pasien fowler tinggi, berikan analgesik narkotik


sesuai program, berikan cairan oral apabila dapat ditoleransi, berikan
makanan yang disukai pasien pada hari pembedahan jika dapat
ditoleransi). Jika pasien dehidrasi sebelum pembedahan, berikan cairan IV.

4. Jika train terpasang pada area insisi, pantai secara ketat adanya tanda-tanda
obstruksi usus halus hemoragik sekunder, atau abses sekunder ( mis;
takikardi, dan peningkatan jumlah leukosit).

2.7 Pengkajian apendititis

Pengkajian pada pasien post operasi apendiktomi menurut (Bararah &


Jauhar, 2013 dalam saputro, 2018) ; mutaqqin & kumala sari, (2011)
antara lain :
1. Data umum pasien
Meliputi nama pasien, umur (remaja - dewasa), jenis kelamin (Laki –
laki lebih berisiko daripada perempuan), suku bangsa, pekerjaan,
pendidikan, alamat, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Pasien dengan post operasi apendiktomi biasanya merasakan nyeri
pada luka insisi/operasi

6
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang dikaji dimulai dari keluhan yang dirasakan
pasien sebelum masuk rumah sakit,ketika mendapatkan perawatan di
rumah sakit sampai dilakukannyapengkajian. Pada pasien post operasi
apendiktomi biasanya didapatkan adanya keluhan seperti nyeri pada
luka insisi operasi. Keluhan nyeri dikaji menggunakan PQRST : P
(provokatif), yaitu faktor yang mempengaruhi berat atau ringannya
nyeri. Q (Quality), yaitu kualitas dari nyeri, seperti apakah rasa tajam,
tumpul atau tersayat. R (Region), yaitu daerah / lokasi perjalanan
nyeri.S (Severity), yaitu skala/ keparahan atau intensitas nyeri.T
(Time), yaitu lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien tentang
penyakit apa saja yang pernah di derita, riwayat operasiserta
tanyakan apakah pernah masuk rumah sakit sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada pasien mengenai riwayat penyakit keluarga seperti
(Diabetes Melitus, Hipertensi, Asma) dan penyakit menular.
6. Riwayat Psikososial
Pada pasien post operasi apendiktomi didapatkan kecemasan akan
nyeri hebat atau akibat respons pembedahan. Pada beberapa pasien
juga didapatkan mengalami ketidakefektifan koping berhubungan
dengan perubahan peran dalam keluarga (Mutaqqin, Arif & kumala
sari, 2011).
7. Pola sehari-hari
a. Nutrisi
Nafsu makan menurun dan porsi makan menjadi kurang
b. Eliminasi
- Alvi : Kadang terjadi diare/ konstipasi pada awal post operasi
- Urine : Pada pasien post operasi apendiktomi mengalami
penurunan haluaran urin.
8. Tidur/istirahat
Pola tidur dapat terganggu maupun tidak terganggu, tergantung
bagaimana toleransi klien terhadap nyeri yang dirasakannya
a. Personal Hygiene
Upaya untuk menjaga kebersihan diri cenderung kurang.
b. Aktavitas

Biasanya pasien post operasi apendiktomi mengalami


kelemahan

9. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum

7
Keadaan umum klien mulai saat pertama kali bertemu dengan
klien dilanjutkan mengukur tanda-tanda vital. Pada pasien post
operasi apendiktomi mencapai kesadaran penuh setelah
beberapa jam kembali dari ruang operasi.
b. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
umumnya pasien mengalami takikardi, peningkatan tekanan
darah, dapat juga terjadi hipotensi.
10. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Kepala

Kebersihan kepala, warna rambut, tidak ada kelainan bentuk


kepala, tidak ada nyeri tekan.

b. Pemeriksaan Muka
Pasien nampak meringis menahan nyeri pada luka bekas
operasi. tidak ada nyeri tekan, tidak ada edema.
c. Pemeriksaan Mata
Keadaan pupil isokor, palperbra dan refleks cahaya tidak ada
gangguan, konjungtiva tidak anemis
d. Pemeriksaan Hidung
e. Bersih, tidak terdapat polip, tidak ada nyeri tekan, tidak
terdapat nafas cuping hidung
f. Pemeriksaan Mulut
g. Mukosa bibir kering karena adanya pembatasan masukan oral,
mengamati bibir ada tidaknya kelainan kogenital (bibir
sumbing), sianosis atau tidak, pembengkakkan atau tidak, lesi
atau tidak, amati adanya stomatitis pada mulut atau tidak, amati
jumlah dan bentuk gigi, gigi berlubang, warna, plak, dan
kebersihan gigi.mengkaji terdapat nyeri tekan atau tidak pada
pipi dan mulut bagian dalam
h. Pemeriksaan Telinga
Pada klien post operasi apendiktomi fungsi pendengaran tidak
mengalami gangguan, inspeksi bentuk dan kesimetrisan telinga,
kebersihan telinga.
i. Pemeriksaan Thorak
1. Paru-paru
ii. Inspeksi : Pergerakan dada simetris, Pasien post operasi
apendiktomi akan mengalami penurunan dan
peningkatan frekuensi nafas
iii. Palpasi : Kaji ada tidaknya nyeri tekan, vokal fremitus
sama antara kanan dan kiri.
iv. Perkusi : Terdengar sonor

8
v. Auskultasi : Normalnya terdengar vasikuler pada kedua
paru, tidak terdapat suara tambahan
j. Jantung
i. Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
ii. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 & 5 mid
clavicula sinistra.
iii. Perkusi : Normalnya terdengar pekak
iv. Auskultasi : Normalnya terdengar tunggal suara jantung
pertama dan suara jantung kedua.
k. Abdomen
i. Inspeksi :Terdapat luka bekas operasi tertutup kasa,
bentuk dan ukuranluka, terlihat mengencang (distensi).
ii. Auskultasi : Bising usus menurun
iii. Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada abdomen bekas
operasi
iv. Perkusi :Kaji suara apakah timpani atau hipertimpani
l. Ekstremitas
Secara umum klien post operasi apendiktomi dapat mengalami
kelemahan karena tirah baring pasca operasi. Kekakuan otot
akan berangsur membaik seiring dengan peningkatan toleransi
aktivitas klien.
m. Integritas kulit
Terdapat luka sayatan pada bekas operasi, warna kulit,
kelembaban, akral hangat, CRT (Capilary Refil Time)< 2 detik,
turgor kulit menurun.
n. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi.
ii. Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan
11. Analisa data

Data yang telah dikumpulkan dari data subjektif dan data objektif
kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Analisa
merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan menyeleksi data,
mengklarifikasi, mengelompokkan data, mengaitkan dan menentukan
kesenjangan informasi, membandingkan dengan standar,
menginterprestasikan serta akhirnya membuat diagnosa
keperawatan( Herdman dan Kamitsuru, 2015).

9
12. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keparawatan yang muncul pada pasien post operasi


apendiktomi menurut (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)antara lain :

a. Nyeri akut b.d agen cidera fisik


b. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi makanan
c. Risiko infeksi b.d prosedur invasif

2.8 Intervensi keperawatan

N Diagnose Tujuan dan kriteria Intervensi


o keperawatan hasil (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1. Nyeri akut Tingkat Nyeri : Manajemen Nyeri:
Definisi: Tingkat nyeri 1. Observasi.
Pengalaman menurun dengan a. Lokasi, karakteristik,
sensorik atau kriteria hasil: durasi, frekuensi,
emosional yang 1. Keluhan nyeri kualitas, intensitas
berkaitan dengan menurun nyeri.
kerusakan jaringan 2. Fokus membaik b. Identitas skala nyeri
aktual atau 3. Meringis c. Identitas respon
fungsional, dengan menurun nyeri non verbal
onset mendadak 4. Sifat protektif d. Identitas faktor yang
atau lambat dan menurun memperberat dan
berintensitas ringan 5. Gelisah memperingan nyeri
hingga berat yang menurun e. Identitas
berlangsung kurang 6. Kemampuan pengetahuan dan
dari 3 bulan. menuntaskan keyakinan tentang
aktivitas nyeri
Penyebab : meningkat f. Identifikasi
1. 1.Agen 7. Kesulitan tidur pengaruh nyeri pada
pencedera menurun kualitas hidup
fisiologis 8. berfokus pada g. Monitor
(mis. diri sendiri keberhasilan terapi
Inflamasi, menurun komplementer yang
iskemia, 9. Diaforesis sudah diberikan
neoplasma). menurun
2. Agen 10. Frekuensi nadi 2. Terapeutik.
pencedera membaik 1. Berikan teknik
kimiawi nonfarmakologis
(mis. untuk mengurangi
Terbakar, rasa nyeri (mis.
bahan kimia TENS, hypnosis,
iritasi). akupresur, terapi
3. 3.Agen musik, biofeedback,
pencedera terapi pijat, aroma

10
fisik (mis. terapi, teknik
Abses, imajinasi
trauma, terbimbing, kompres
amputasi, hangat/dingin,distra
terbakar, ksi, relaksasi
terpotong, (genggam jari,
mengangkat benson))
berat,proseu 2. Control lingkungan
r yang memperberat
operasi,trau rasa nyeri (mis.
ma, latihan Suhu ruang,
fisik pencahayaan,
berlebihan kebisingan)
3. Fasilitasiistirahat dan
tidur

3. Edukasi.
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri

4. Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian analgesik
jika perlu

N Diangnosa Tujuan dan kriteria Intervensi


o keperawatan hasil (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
2. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
berhubungan intervensi selama 1 x Observasi
dengan 24 jam maka status  Identifikasi status
ketidakmampuan nutrisi membaik nutrisi
mencerna makanan dengan kriteria hasil  Identifikasi alergi
dibuktikan dengan  porsi makanan dan intoleransi
berat badan yang dihabiskan makanan

11
menurun 10% meningkat  Identifikasi makanan
dibawah nilai idea  perasaan cepat yang disukai
kenyang  Identifikasi
menurun kebutuhan kalori dan
 nyeri abdomen jenis nutrient
menurun  Identifikasi perlunya
 berat badan penggunaan selang
membaik nasogastrik
 •Indeks massa  Monitor asupan
tubuh membaik makanan
 •nafsu makan  Monitor berat badan
membaik  Monitor hasil
pemeriksaan

Terapeutik
 Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu
 Fasilitasi
menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
 Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
 Berikan makan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
 Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian
makan melalui
selang nasigastrik
jika asupan oral
dapat ditoleransi

Edukasi
 Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi
 Kolaborasi

12
pemberian medikasi
sebelum makan (mis.
Pereda nyeri,
antiemetik), jika
perlu
 Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika
perlu

N Diangnosa Tujuan dan kriteria


o keperawatan hasil Intervensi
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
3. Resiko infeksi Resiko infeksi : Pencegahan infeksi
Definisi : Tingkat resiko infeksi Tindakan
Berisiko menurun dengan Observasi
mengalami kriteria hasil : 1.Monitor tanda dan gejalan
peningkatan 1. Demam menurun infeksi local sistemik
terserang 2. Kemerahan menurun Terapeutik
organisme 3. Bengkaka menurun 2. Batasi jumlah pengujung
patogenik 4. Vesikel menurun 3. Berikan perawatan kulit
5. Cairan berbau pada area edema
Faktor resiko busuk , menurun 4. Cuci tangan sebelum dan
- Penyakit kronis sputum berwarna hijau sesudah kontak dengan
- Efek prosedur menurun pasien dan lingkungan
invansi 6. Periode menggigil pasien
- Malnutrisi menurun 5. Pertahanakan teknik
- Peningkatan 7. Kultur darah aseptic pada pasien berisiko
paparan organisme membaik tinggi
pathogen 8. Kultur urune
lingkungan membaik Edukasi
- Ketidak 9. Kultur luka membaik 1. Jelaskan tanda dan gejala
adekuatan 10. Nafsu makan infeksi
pertahanan tubuh membaik 2. ajarkan cara mencuci
primer tangan dengan benar
a. Gagguan 3. ajarkan etika batuk
peristaltic 4. ajarkan cara memeriksaka
b. Kerusakan kondisi luka atau luka
intergritas kulit operasi
c. Perubahan 5. ajarkan meningkatkan
sekresi PH asupan nutrisi
d. Penurunan kerja 6. ajarkan meningkatkan
siliaris asupan cairan
e. Ketuban pecah

13
lama kolaborasi
f. Ketuban pecah 1.kolaborasi pemberian
sebelum waktunya imunisasi
g. Merokok
h. Statis cairan
tubuh
- Ketidak
adekuatan
pertahanan tubuh
sekunder :
a. Penurunan
hemoglobin
b. Imununosupresi
c. Leukopenia
d. Supresi respon
inflamasi
e. Vaksinasi tidak
adekuat

14
2.9 Devinisi peroinitis

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, yaitu selaput tipis yang


membatasi dinding perut bagian dalam dan organ-organ perut. Peradangan ini
umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur. Jika tidak ditangani, infeksi
pada peritonitis dapat menyebar ke seluruh tubuh Peritonitis adalah peradangan
peritonium yang merupakankomplikasi berbahaya akibat penyebaran infeksi dari
organ abdomen (apendisitis, pankreatitis, dll) ruptur saluran cerna dan luka
tembus abdomen (Padila 2012, h.191).

Peritonitis adalah inflamasi rongga peritonium yang disebabkan oleh infiltrasi isi
usus dari suatu kondisi seperti ruptur apendiks, perforasi/trauma lambung dan
kebocoran anastomosis (Padila 2012, h.191). Berdasarkan kedua penjelasan di
atas, penulis dapat menyimpulkan peritonitis adalah peradangan peritonium yang
diakibatkan oleh penyebaran infeksi dari organ abdomen seperti apendisitis,
pankreatitis, ruptur apendiks, perforasi/trauma lambung dan kebocoran
anastomosis.

Peritonitis adalah inflamasi membran peritonium. Peritonium adalah kantong


berlapis dua yang semipermeabel dengan cairan bervolume 1.500 ml. Kantong ini
membungkus semua organ yang ada di dalam rongga perut. Oleh karena itu
diinervasi oleh saraf somatik, stimulus peritonium parietal yang membungkus
rongga perut dan pelvis menyebabkan nyeri yang tajam dan terlokalisasi (Black &
Hawks 2014, h.1041 ). Inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viserela. Biasanya akibat dari infeksi bakteri seperti
organisme yang berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita
dari organ reproduksi internal (Brunner & Sudarth 2002, dikutip dalam Nurarif &
Kusuma 2015, h.59).

Peritonitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri yang menginvasi atau masuk
kedalam rongga peritonium pada saluran makanan yang mengalami perforasi.
Kuman yang paling sering adalah bakteri E Colli, streptokokus α dan β hemolitik,
strapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium
wechii. Salah satu penanganan peritonitis adalah operasi laparatomy, yaitu
pembedahan perut sampai membuka selaput perut atau peritonium (Padila 2012,
h.198). Pelaksanaan operasi laparatomy dapat dilakukan apabila ada beberapa
indikasi yang mendasarinya, seperti terjadi trauma abdomen (tumpul atau tajam),
perdarahan saluran pencernaan (internal blooding), sumbatan pada usus halus dan

15
usus besar, terdapat massa pada abdomen dan terjadi peritonitis atau inflamasi
lapisan peritonium (Padila 2012, h.198).

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2008, jumlah pasien yang
menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di
Indonesia atau sekitar 199.000 orang. Sedangkan berdasarkan data Dinas
Kesehatan Jawa Tengah tahun 2009, jumlah kasus peritonitis dilaporkan sebanyak
7.785 dan 270 diantaranya menyebabkan kematian (Dinkes Jateng, 2009)

3.1 Etiologi peritonitis

1. Peritonitis primer paling sering terjadi karena sirosis hati yang disertai
penumpukan cairan di rongga perut (asites). Namun, kondisi lain yang
juga dapat menyebabkan asites, seperti gagal jantung atau gagal ginjal,
turut bisa menyebabkan peritonitis primer Selain itu, prosedur medis cuci
darah untuk gagal ginjal yang dilakukan dengan memasukkan cairan ke
dalam rongga perut (CAPD) juga merupakan penyebab umum peritonitis
primer.

2. peritonitis sekunder biasanya terjadi karena adanya robekan atau lubang


di saluran pencernaan. Berikut ini adalah beberapa kondisi yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya peritonitis sekunder:

a. Cedera pada perut, misalnya akibat tusukan atau tembakan


b. Radang usus buntu, divertikulitis, atau tukak lambung yang bisa pecah
atau robek
c. Kanker di saluran atau organ pencernaan, misalnya hati dan usus besar
d. Peradangan di pankreas (pankreatitis)
e. Penyakit radang panggul
f. Peradangan di saluran pencernaan, seperti penyakit Crohn
g. Infeksi pada kantung empedu, usus kecil, atau aliran darah
h. Operasi pada rongga perut
i. Penggunaan selang makan

3.2 Tanda dan gejala

Menurut Price (1995) tanda dan gejala peritonitis yaitu sakit perut (biasanya terus
menerus), mual dan muntah, abdomen yang tegang, kaku, nyeri, demam,
leukositosis dan dehidrasi. Menurut Long (1996) kemerahan, adema, dehidrasi.
Menurut Mubin (1994) pasien tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri tekan
abdomen, bunyi usus berkurang atau menghilang, syok (neurogenik, hipovolemik
atau septik) terjadi pada penderita peritonitis umum, bising usus tidak terdengar
pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi
peritonitisnya, nausea, vomiting, penurunan peristaltik (Padila 2012, h.193).

16
3.3 Patofisiologi peritonitis

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga


abdomen, biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau
perforasi tumor (Dahlan 2004, dikutip dalam padila 2012, h.195). Awalnya
mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen adalah steril tetapi dalam
beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edema jaringan dan
pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan
bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas, di ikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.

Timbulnya peritonitis adalah komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat


penyebaran infeksi. Reaksi awal peritonium terhadap invasi bakteri adalah
keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa yang kelak dapat
mengakibatkan obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritonium dapat menimbulkan peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit
menghilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi syok, gangguan
sirkulasi dan oligouria, perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus sehingga
menyebabkan obstruksi usus. Gejala berbeda- beda tergantung luas peritonitis,
beratnya peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Gejala
utamanya adalah sakit perut (biasanya terus menerus), muntah dan abdomen yang
tegang, kaku, nyeri dan tanpa bunyi, dan demam (Price 1995, dikutip dalam
Padila 2012, h.195).

Peritonitis (peradangan dari peritonium) terjadi akibat apendik yang mengalami


perforasi, secara cepat perlengketan terbentuk dalam usaha untuk membatasi
infeksi dan membantu untuk menutup daerah peradangan, membentuk suatu
abses. Ketika penyembuhan terjadi, perlengketan fibrosa dapat terbentuk dan
mengakibatkan obstruksi usus. Reaksi-reaksi lokal dari peritonium meliputi
kemerahan, edema, dan produksi cairan dalam jumlah besar berisi elektrolit dan
protein. Jika infeksi tidak teratasi dapat terjadi hipovolemia, ketidakseimbangan
elektolit, dehidrasi dan akhirnya syok. Peristaltik usus dapat terhenti dengan
infeksi peritonium yang berat (Long 1996, dikutip dalam Padila 2012, h.195).

17
3.4 Pemeriksaan atau pengobatan Peritonitis

1. Pemeriksaan peritonitis

Untuk memperkuat diagnosis sekaligus mencari kemungkinan penyebab


peritonitis, dokter akan menjalankan pemeriksaan penunjang, seperti:

a. Pemeriksaan hitung darah lengkap, untuk melihat tanda infeksi dan


peradangan
b. Kultur darah, untuk mengetahui apakah bakteri sudah menyebar ke aliran
darah
c. Pemeriksaan urine, untuk memastikan tidak adanya masalah pada ginjal
d. Uji pencitraan dengan foto Rontgen atau CT scan perut, untuk memeriksa
apakah terdapat lubang atau robekan pada saluran pencernaan
e. Analisis sampel cairan peritoneum (paracentesis), untuk melihat apakah
ada tanda-tanda infeksi atau peradangan
f. Kultur cairan peritoneum, untuk mengetahui jenis mikroorganisme
penyebab infeksi
g. Pada pasien yang menjalani CAPD, dokter dapat memastikan peritonitis
dengan melihat warna cairan yang keluar dari peritoneum

2. Pengobatan Peritonitis

Peritonitis merupakan kondisi serius yang harus segera ditangani, terutama


bila pasien menderita sirosis. Berdasarkan penelitian, persentase kematian
akibat peritonitis pada penderita sirosis mencapai 40%, sedangkan persentase
kematian akibat peritonitis sekunder berada dalam kisaran 10%. Penderita
peritonitis harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Beberapa metode
penanganan bagi pasien adalah:

a. Pemberian antibiotik atau obat antijamur melalui infus, untuk mengobati


infeksi dan mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh
b. Prosedur bedah untuk membuang jaringan yang terinfeksi, menutup
robekan pada organ dalam, dan mencegah penyebaran infeksi
c. Pemberian obat pereda nyeri, oksigen, atau transfusi darah, tergantung
gejala yang dialami pasien

Pada pasien yang menjalani CAPD, dokter akan menyuntikkan obat langsung
ke dalam rongga peritoneum, melalui kateter yang sudah terpasang
sebelumnya. Pasien juga disarankan untuk menghentikan aktivitas CAPD dan

18
menggantinya dengan cuci darah biasa untuk sementara, sampai pasien
sembuh dari peritonitis.

3.5 Pengkajian peritonitis

Klien dengan post Laparatomi eksplorasi biasanya terdapat gangguan


nyeri akut dan kaji skala nyeri klien, anjurkan tehnik relaksasi ( Tucker
dan wells, 2010). Pengkajian yang khas pada pasca operasi laparatomi
Eksplorasi meliputi, sistem pernapasan, sirkulasi, tingkat kesadaran, rasa
nyaman, dan psikologis (Jitowiyono, Kristiyanasari, 2010) Adapun
komponen-komponen pengkajian yaitu :

a. Pengumpulan data
1. Identitas
o Identitas klien
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, status
perkawinan, suku/bangsa, agama, tanggal masuk rumah sakit,
tanggal pengkajian, nomor medrec, diagnosis medis, dan
alamat.
o Identitas penanggung jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, hubungan dengan
klien, alamat.
2. Riwayat kesehatan
o Keluhan utama
Keluhan utama pada klien pasca laparotomi adalah rasa sakit,
mual muntah, dan demam (Jitowiyono, Kristiyanasari, 22010
o Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pada klien pasca operasi laparatomi mengeluh nyeri
yang dirasakan sangat berat dan biasanya pada klien pasca
operasi laparatomi mengeluh nyeri yang dirasakan lokal atau
pun menyeluruh nyeri dirasakan, tiba-tiba atau bertahap,
seberapa lama gejala dirasakan. Biasanya pada klien pasca
operasi laparatomi mengeluh nyeri dirasakan ketika bergerak
(Doenges, 2014) (Nikmatur, Saiful, 2012)
3. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya terjadi pada klien yang memiliki riwayat adanya
trauma penetrasi abdomen, contoh luka tembak/tusuk atau
trauma tumpul pada abdomen ; perforasi kandung
kemih/rupture, penyakit saluran GI appendicitis, perforasi,
gangrene/ruptur kandung empedu, perforasi kardsinoma gaster,

19
perforasi gaster/duodenal, obstruksi gangrenosa usus, perforasi
diverticulum, hernia strangulasi (Doenges, 2014).
4. Kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan
adanya penyakit keturunan, kecenderungan alergi, dalam satu
keluarga, dan penyakit yang menular akibat kontak langsung
maupun tak langsung antar anggota keluarga (Nikmatur, Saiful,
2012).
5. Pola fungsi kesehatan
Kolom prioritas pada pola fungsi kesehatan yang berhubungan
dengan perubahan fungsi/anatomi tubuh menurut (Nikmatur,
Saiful, 2012), antara lain:
a) Pola nutrisi dan metabolisme. Pola fungsi yang diisi
dengan kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan
nutrisi sebelum sakit sampai dengan saat sakit (saat
ini) yang meliputi: jenis makanan dan minuman yang
dikonsumsi, frekuensi makan, porsi makan yang
dihabiskan, makanan selingan, makanan yang disukai,
alergi makanan, dan makanan pantangan. Keluhan
yang berhubungan dengan nutrisi seperti anoreksia,
mual, muntah (Doenges, 2014).
b) Pola eliminasi
Pada pasca operasi biasanya dijumpai
ketidakmampuan defekasi dan flatus (Doenges, 2014).
c) Pola aktivitas dan kebersihan diri
Pada pasca operasi biasanya klien tidak dapat
melakukan personal hygine secara mandiri karena
pembatasan gerak akibat nyeri dan kelemahan
(Doenges, 2014).
d) Pola istirahat tidur
Pada pasca operasi biasanya klien memiliki gangguan
pola tidur karena nyeri (Doenges,2014)
6. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan fisik yang dipatkan sesuai dengan
menifestasi klinik yang muncul. Pada surve umum klien
terlihat lemah dan kesakitan, TTV mengalami
perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik. Bila telah terjadi peritonitis bakterial,
suhu badan klien akan naik > 38,5ºC dan terjadi
takikardi, hipotensi, klien tampak latergi, serta intra
vaskuler disebabkan oleh anoreksia dan muntah,
demam, serta kerugian ruang ketiga kerongga

20
peritoneum. Dengan dehidrasi yang progesif, klien
mungkin menunjukan adanya penurunan urine output,
dan dengan peritonitis berat. Pada pemeriksaan fisik
fokus akan didapatkan :
b. Inspeksi : klien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi
abdomen didapatkan pada hampir semua klien
peritonitis dengan menunjukan peningkatan kekuatan
dinding perut. Perut sering menggembung disertai tidak
adanya bising usus. Temuan ini mencerminkan
ileusumum. Terkadang, pemeriksaan perut juga
mengungkapkan peradangan massa.
c. Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus
merupakan salah satu ileus obstruftif. Palpasi : nyeri
tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh.
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum
akan memberikan tanda – tanda rangsangan
peritoneum. Rangsangan peritenium akan memberikan
nyeri tekan dan defans muscular. Pekak hati dapat
menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma.
Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri tekan
abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin
mengindikasikan apendiksitis dan apabila bagian
anterior penuh dapat mengidentifikasi sebuah abses.
d. Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi akibat
adanya flatulen. Ketika mengevaluasi klien dengan
dugaan peritonitis, melakukan pemeriksaan fisisk secara
lengkap adalah penting. Penyeberan proses infeksi ke
toraks dengan iritasi diafragma (misalnya : epiema).
Proses penyebaran ekstraperitoneal ( misalnya :
pielonefritis, sistitis, hematoma) dapat meniru tanda –
tanda tertentu dan gejala peritonitis. Sebagai bahan
temuan pada pemeriksaan klinis mungkin sama sekali
tidak meyakinkan atau tidak dapat diandalkan pada
klien dengan imunosupresi (misalnya : diabetes berat,
penggunaan steroid, setelah transplantasi organ, HIV)
(muttaqin,2009)
7. Keadaan umum
Keadaan umum pada klien dengan gangguan sistem
pencernaan dapat dilakukan selintas pandang dengan
menilai keadan fisik. Tiap bagian tubuh perlu dinilai
secara umum kesadaran klien compos mentis, apatis,
samnolen, sopor dan soporokomatus, atau koma,

21
seorang perawat perlu mempunyai pengalaman
pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum
sehingga dengan cepat mampu menilai kedaan umum,
kesadaran, dan pengukuran GCS. Bila kesadaran klien
menurun yang memerlukan kecepatan dan ketetapan
penilaian. Pada pemeriksaan keadaan umum klien
dengan gangguan system pencernaan dan akan berubah
sesuai tingkat gangguan yang melibatkan parfusi system
saraf pusat (muttaqin, 2009).
8. Pemeriksaan persistem
1. Sistem pernapasan
Biasanya klien mengalami pernapasan dangkal dan
takipneu (Doenges, 2014).
1. Sistem kardiovaskularUmumnya klien mengalami
takikardi, berkeringat, pucat dan hipotensi sebagai
indikasi terjadinya syok (Doenges, 2014).
2. Sistem persyarafan
a. Nervus olfaktorius (N.I)
Nervus olfaktorius merupakan saraf
sensorik yang fungsinya hanya satu,
yaitu mencium bau. Kerusakan saraf ini
menyebabkan hilangnya penciuman
(anosmia), atau berkurangnya penciuman
(hiposmia).
b. Nervus optikus (N.II)
Penangkap rangsang cahaya ialah sel
batang dan kerucut yang terletak
diretina, impuls alat kemudian
dihantarkan melalui serabut saraf yang
membentuk nervus optikus.
c. Nervus Okulomotorius, Trochearis,
Abduscen (N III, N IV, N VI) Fungsi
nervus ini saling berkaitan dan diperiksa
bersama-sama. Fungsinya ialah
menggerakan otot mata ekstraokuler, dan
mengangkat kelopak mata. Serabut
otonom nervus III mengatur otot pupil.
d. Nervus trigeminus (N.V)

Terdiri dari dua bagian yaitu bagian


sensorik, (porsio mayor) dan bagian

22
motoric (porsio minor). Bagian motoric
mengurus otot mengunyah.

e. Nervus Facialis (N.VII)


Nervus facialis merupakan saraf motoric
yang menginervasi otot-otot ekspresi
wajah. Juga membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan
lakrimalis. Termasuk sensasi pengecapan
2/3 bagian anterior lidah.
f. Nervus Audtorius (N.VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat
pendengaran yang membawa rangsangan
dari telinga keotak. Saraf ini memiliki 2
buah kumpulan serabut saraf yaitu
rumah keong (koklea) disebut akar
tengah adalah saraf untuk mendengar
dan pintu halaman (vetibulum), disebut
akar tengah adalah saraf untuk
keseimbangan.
g. Nervus Glasofaringeus (N.X)
Sifatnya majemuk (sensorik+motorik),
yang mensarafi faring, tonsil dan lidah.
h. Nervus Vagus (N.IX)
Sifatnya majemuk (sensorik+motorik),
untuk refleks menelan dan muntah.
i. Nervus Assesorius (N.XI)
Saraf ini menginversi
sternocleidomastoideus dan trapezius
menyebabkan gerakan menoleh (rotasi)
pada kepala.
j. Nervus Hipoglosus (N.XII)
Saraf ini mengandung saraf serabut
somato sensorik yang menginversi otot
intrinsic dan otot ekstrinsik lidah.
3. Sistem pencernaan
Biasanya pada klien pasca operasi ditemukan
distensi abdomen, kembung, kekakuan
abdomen, nyeri tekan, mukosa bibir kering,
penurunan peristaltic usus, muntah, dan
konstipasi akibat pembedahan (Doenges, 2014).
4. Sistem perkemihan

23
Perpindahan sejumlah besar cairan dan elektrolit
dari lumen usus ke rongga peritoneal dan
menurunkan cairan dalam ruang vaskuler
menyebabkan penurunan haluaran urine menjadi
pekat/ gelap, distensi kandung kemih dan retensi
urine (Doenges, 2014).
5. Sistem integument
Akan tampak adanya luka operasi diabdomen
karena insisi bedah. Turgor kulit akan membaik
seiring dengan peningkatan intake oral,
membrane mukosa kering (Doenges, 2014).
6. Sistem musculoskeletal
Kelemahan dan kesulitan ambulasi terjadi akibat
nyeri berat diabdomen yang menyebabkan
kekakuan pada otot (Doenges, 2014).

9. Data psikologi

Diisi hanya pada klien yang sudah dapat mengungkapkan


perasaan yang berhubungan dengan kesadaran akan dirinya
meliputi :

a) Gambaran diri : sikap seseorang terhadap tubuhnya


secara sadar dan tidak sadar. Gangguan body image
pada pasien pasca op laparatomi karena adanya
perubahan sehubungan dengan pembedahan
(Jitowiyono, Kristiyanasari, 2010).
b) Ideal diri : persepsi individu tentang bagaimana ia
harus berprilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan,
atau personal tertentu.
c) Harga diri : penilaian pribadi terhadap hasil yang
dicapai dengan menganalisis seberapa jauh perilaku
memenuhi ideal diri.
d) Peran diri : sikap dan perilaku, niali dan tujuan yang
diharapkan dari seseorang berdasarkan posisi
dimasyarakat.
e) Identitas diri : kesadaran akan diri sendiri yang
bersumber dari observasi dan penilaian yang
merupakan sintesis dari semua aspekkonsep diri
sebagai suatu kesatuan yang utuh.
10. Pola nilai dan kepercayaan

24
Diisi dengan nilai-nilai dan kepercayaan klien terhadap sesuatu
dan menjadi sugesti yang amat kuat sehingga mempengaruhi
gaya hidup klien, dan berdampak pada kesehatan klien.
Termasuk, praktik ibadah yang dijalankan klien sebelum sakit
sampai saat sakit (Nikmatur, Saiful, 2012).

11. Pola peran-berhubungan

Diisi dengan hubungan klien dengan anggota keluarga,


masyarakat pada umumnya, perawat dan tim kesehtan,
termasuk juga pola komunikasi yang digunakan klien dalam
berhubungan dengan orang lain (Nikmatur, Saiful, 2012).

12. Data penunjang

Data penunjang ini terdiri atas farmakoterapi/ obat-obatan yang


diberikan, serta prosedur diagnostik yang dilakukan kepada
klien seperti pemerikaan laboratorium serta pemeriksaan
rontgen. (Nikmatur, Saiful, 2012).

b. Analisa data

Analisa data adalah kemampuan kognitif perawat dalam


pengembangan gaya pikir dan penalaran yang dipengaruhi oleh latar
belaknag ilmu dan pengetahuan, pengalaman dan pengertian tentang
subtansi ilmu keperawatan dan proses penyakit. Tahap terakhir dari
pengkajian adalah analisa data untuk menentukan diagnose
keperawatan. Analisa data dilakukan melalui pengesahan data,
pengelompokan data, menafsirkan adanya ketimpangan atau
kesenjangan serta membuat kesimpulan tentang masalah yang ada
(Nikmatur, Saiful, 2012).

c. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencederaan fisik (inflamasi)
dibuktikan dengan pasien mengeluh nyeri, dan tampak meringis
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan
dengan suhu tubuh diatas nilai normal

3.6 Intervensi keperawatan

No Diagnose Tujuan dan Intervensi


keperawatan kriteria hasil SLKI Rasional
SDKI SIKI
1. Nyeri akut Setelah dilakuakan A. Management 1.Ingin
berhubungan Intervensi 1 x 24 nyeri mengetetaui
dengan agen jam maka tingkat • Observasi pemberat,

25
pencederaan fisik nyeri menurun - Identifikasi kualitas,
(inflamasi) dengan kriteria lokasi, lokasi, skala,
dibuktikan dengan hasil : karakteristik, dan durasi
pasien mengeluh • Keluhan nyeri durasi, menit.
nyeri, dan tampak menurun frekuensi, 2. Intervensi
meringi •Meringis kualitas. dini pada
menurun - Identifikasi control nyeri
• Gelisah menurun skala nyeri memudahkan
• Kesulitan tidur - Identifikasi pemulihan
menurun respon nyeri non otot/jaringan
• Frekuensi nadi verbal dengan
membaik - Identifikasi menurunkan
• Pola nafas factor yang tegangan otot
membaik memperberat dan
• Pola tidur dan memperbaiki
membaik memperingan sirkulasi.
nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan
tentang nyeri
- Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri
- Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup
- Monitor
keberhasilan
terapi
konmplementer
yang sudah
diberikan
- Monitor efek
samping
pemberian
analgetik
• Terapeutik
- Berikan Teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri (mis.
hipnosis, terapi
music, terapi
pijat,

26
aromaterapi,
Teknik
imajinasi)
- Control
lingkungan yang
memperberat
rasa nyeri (mis.
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi
istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan
strategi
meredakan
nyeri.
• Edukasi
- Jelaskan
penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan
strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan
monitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
- Ajarkan Teknik
nonformakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri.
• Kolaborasi
-Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu.

B.Pemberian
analgesik

27
•Observasi
- Identifikasi
karakteristik
nyeri (mis.
pencetus,
Pereda, kualitas,
lokasi, frekuensi,
durasi)
- Identifikasi
alergi obat
- Identifikasi
kesesuaian jenis
analgesik (mis.
narkotika, non-
narkotik, atau
NSAIO) dengan
tingkat
keparahan nyeri
- Monitor tanda-
tanda sebelum
dan sesudah
pemberian
analgesik
- Monitor
efektifitas
analgesik
• Terapeutik
- Diskusikan
jenis analgesik
yang disukai
untuk mencapai
analgesia, jika
perlu
- Pertimbangkan
penggunaan
infus kontinu,
atau bolus opoid
untuk
mempertahankan
kadar dala serum
- Tetapkan target
efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan
respons pasien
-
Dokumentasikan
respons terhadap

28
efek analgesik
dan efek yang
tidak diinginkan
• Edukasi
-Jelaskan efek
terapi dan efek
samping obat
•Kolaborasi
-Kolaborasi
pemberian dosis
dan jenis
analgesik, jika
perlu.

No Diangnosa Tujuan dan Intervensi


keperawatan kriteria hasil SIKI Rasional
SDKI SLKI
2. Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen Ingin
berhubungan intervensi 1 x 24 hipertermia megetahui
dengan proses jam maka suhu • Observasi pnyebab
penyakit tubuh membaik - Identifikasi meningkatnya
dibuktikan dengan dengan kriteria penyebab suhu tubuh
suhu tubuh diatas hasil : hipertermia pasien
nilai normal • Suhu tubuh (mis. Dehidrasi
membaik terpapar
• Suhu kulit lingkungan
membaik panas,
• Tekanan darah penggunaan
membaik inkubator)
• Takikardi - Monitor suhu
menurun tubuh
- Monitor kadar
elektrolit
- Monitor
haluaran urine
- Monitor
komplikasi
akibat
hipertermia
• Terapeutik
- Sediakan
lingkungan yang
dingin
- Longgarkan
atau lepaskan

29
pakaian
- Basahi dan
kipasi
permukaan
tubuh
- Berikan cairan
oral
- Ganti linen
setiap hari atau
lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis
(keringat
berlebihan)
- Lakukan
pendinginan
eksternal (mis.
Selimut
hipotermia atau
kompres dingin
pada dahi, leher,
dada, abdomen,
aksila)
- Hindari
pemberian
antipiretik atau
aspirin
- Berikan
oksigen jika
perlu
• Edukasi
-Anjurkan tirah
baring
•Kolaborasi
-Kolaborasi
pemberian
cairan dan
elektrolit
intravena, jika
perlu

30
BAB 3

PENUTUP

3.1Kesimpulan

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis akibat infeksi pada


usus buntu atau umbai cacing (appendiks). Infeksi ini menyebabkan peradangan
akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya.Dan memiliki Tanda dan Gejala pada Apendisitis
antara lain. Nyeri di kuadran kanan bawah, nyeri pantul.

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, yaitu selaput tipis yang


membatasi dinding perut bagian dalam dan organ-organ perut. Peradangan ini
umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur. Jika tidak ditangani, infeksi
pada peritonitis dapat menyebar ke seluruh tubuh. Dan memiliki tanda dan gejala
antara lain Anoreksia, mual, dan muntah terjadi dan peristaltis menghilang Suhu
dan nadi meningkat, hipotensi dapat terjadi.

3.2Saran

- Bagi Institusi PendidikanMemberikan kemudahan untuk mengembangkan


ilmu pengetahuan dan keterampilannya dalam menjalani praktik dan
pembuatan asuhan keperawatan.
- Bagi Lahan Praktik Meningkatkan mutu pelayanan untuk klien dengan
melibatkan peran aktif keluarga sehingga asuhan keperawatan dapat
tercapai sesuai tujuan dan memberikan kenyamanan pada klien.
- Bagi Perawat Dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
pasca operasi laparatomy diharapkan juga melakukan pendekatan
psikologisnya untuk memperhatikan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan
untuk masa penyembuhan luka.

31
DAFTAR PUSTAKA

Mizar Erianto1, N. F. (2020). Perforasi pada Penderita Apendisitis Di RSUD DR.H.Abdul,


Vol.11 No.1 Juni 2020, 450-453.

Siti Waisani, K. K. (2020 , April ). Penurunan Intensitas Skala Nyeri Pasien Appendiks Post
Appendiktomi, Ners Muda,, Vol 1 No 1, 14-20 .

Smeltzer, S. C. (2016). In N. S. Eka Anisa Mardela (Ed.), Keperawatan Medikal Bedah (Vol.
Edisi 12 , pp. 446-450).

32

Anda mungkin juga menyukai