Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016 || 15

MEMAHAMI TEORI KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER


Oleh : Aimie Sulaiman

Abstrak
Usaha Berger untuk mendefinisi ulang hakekat dan peranan sosiologi pengetahuan, pertama, usaha
mendefinisikan pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan”. Gejala-gejala sosial itu ditemukan da-
lam pengalaman bermasyarakat yang terus menerus berproses, dihayati dalam kehidupan bermas-
yarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif).
Dengan kata lain, kenyataan sosial itu tersirat dalam pergaulan sosial, diungkapkan secara sosial
dalam berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat bentuk-ben-
tuk organisasi sosial. Kenyataan sosial semacam ini ditemukan dalam pengalaman intersubyektif.
Konsep intersubyektif menunjuk pada dimenasi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual
dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi.
Kedua, bagaimana cara meneliti pengalaman intersubyektf sehingga kita dapat melihat adanya kon-
truksi sosial atas kenyataan ? Dengan kata lain pertanyaan ini juga mempersoalkan bagaimana cara
mempersiapkan penelitian sosiologis sehingga ditemukan esensi masyarakat dalam gejala-gejala
sosial tersebut
Ketiga, pilihan logika manakah yang perlu diterapkan dalam usaha memahami kenyataan sosial
yang memiliki ciri khas seperti bersifat pluralis, dinamis, dalam proses perubahan terus menerus itu
? Logika ilmu-ilmu sosial yang seperti apa yang perlu dikuasai agar interpretasi sosiologis itu rele-
van dengan struktur kesadaran umum maupun struktur kesadaran individual.
Abstract
Peter Berger attempt to redefine the nature and role of the sociology of knowledge, the first attempt to
define the notion of “reality” and “knowledge”. Social phenomena were found in the experience of
community that a continuous process, lived in the society as a whole in all its aspects (cognitive, psy-
chomotor, emotional and intuitive). In other words, the social reality is implied in social interaction,
social expressed in various social actions such as communicating through language, working through
forms of social organization. This kind of social reality found in intersubjective experience. Intersub-
jective concept refers to the structure dimenasi public consciousness to individual consciousness in a
special group who were with each other and interact.
Second, how to examine the experience intersubyektf so we can see their social construction of real-
ity? In other words, this question also questioned how to prepare the sociological research that found
the essence of society in social phenomena.
Third, the choice of logic which one needs to be applied in an effort to understand the social reality
that have characteristics such as pluralist, dynamic, in the process of continuous change that ? The
logic of the social sciences are what need to be controlled so that it is relevant to the interpretation of
the sociological structure of public awareness as well as the structure of the individual consciousness.
16 || Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016

Pendahuluan kaitan dengan berbagai perbedaan yang terdapat


Orang awam menghuni suatu dunia yang di antara kedua masyarakat. Di pihak lain, filsuf
baginya adalah “nyata, meskipun dalam ka- diwajibkan oleh profesinya untuk tidak meneri-
dar yang berbeda, dan ia “tahu”, dengan kadar ma apa-apa begitu saja, dan untuk memperoleh
keyakinan yang berbeda-beda, bahwa dunia ini kejelasan yang maksimal mengenai status paling
memiliki karateristik-karateristik yang berbeda dasar dari apa yang oleh orang awam dianggap
pula. Namun berbeda jika seorang filsuf men- sebagai “kenyataan” dan “pengetahuan”.
gajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai status Sebagai contoh, ketika orang awam atau fil-
paling dasar (ultimate status) dari “kenyataan” suf atau sosiolog ditanya tentang konsep “kebe-
dan “pengetahuan. Apa yang nyata itu? Bagaima- basan” dan “tanggung jawab” ? Pasti akan mun-
na kita tahu ? Ini merupakan dua di antara per- cul perbedaan makna berdasarkan interpretasinya
tanyaan-pertanyaan yang paling tua, tidak han- masing-masing. Orang awam mungkin berang-
ya bagi penelitian yang sifatnya filosofis, tetapi gapan bahwa ia memiliki “kehendak bebas” dan
juga dalam pemikiran manusia itu sendiri. Justru oleh karena itu “bertanggungjawab” atas tinda-
karena itulah maka ikut campurnya ahli sosiologi kan-tindakannya. Sementara itu, seorang filsuf
dalam wilayah intelektual yang secara tradision- dengan metode apapun akan menyelidiki status
al dianggap terhormat agaknya akan membuat ontologis dan epistimologis dari konsepsi-kon-
pemahaman awam berubah, dan tidak menutup sepsi tersebut. Seperti: apakah manusia itu be-
kemungkinan akan menimbulkan tentangan dari bas? Apa itu tanggungjawab? dimana batas-batas
sang filsuf. Karena itu penting untuk menjelaskan tanggung jawab? Dan, seterusnya. Berbeda den-
bagaimana istilah-istilah itu digunakan dalam gan sosiolog, mungkin sosiolog akan bertanya :
konteks sosiologi. apa sebabnya paham tentang “kebebasan” diteri-
Pemahaman sosiologis mengenai “kenyata- ma, sebagai sudah sewajarnya dalam masyarakat
an” dan “pengetahuan” kira-kira terletak diten- yang satu dan tidak dalam masyarakat lainnya ;
gah-tengah antara pemahaman orang awam dan bagaimana “kenyataan”-nya dipertahankan da-
pemahaman filsuf. Orang awam biasanya tidak lam masyarakat yang satu dan bagaimana “ken-
berpusing-pusing memikirkan apa yang su- yataan” ini bisa hilang bagi seseorang atau bagi
dah “nyata” baginya dan mengenai apa yang ia kolektivitas secara keseluruhan.
“tahu”, kecuali jika secara tiba-tiba saja ia berh- Dengan demikian, perhatian sosiologi terh-
adapan dengan semacam masalah, ia menerima adap pertanyaan-pertanyaan mengenai “kenyata-
begitu saja (taken for gtanted) “kenyataan” nya an” dan “pengetahuan”, pada mulanya dibenar-
dan “pengetahuan”nya. kan oleh fakta relativitas sosialnya. Apakah yang
Seorang sosiolog mempunyai kesadaran “nyata” bagi seorang ulama mungkin saja tidak
yang sistematis mengenai fakta bahwa orang- “nyata” bagi seorang mahasiswa. “Pengetahuan”
orang awam menerima begitu saja “berbagai seorang penjahat berbeda dengan “pengetahuan”
kenyataan” yang sangat berbeda antara mas- seorang ahli kriminologi. Ini bearti bahwa kum-
yarakat yang satu dengan lainnya. Oleh logika pulan-kumpulan spesifik dari “kenyataan” dan
disiplinnya itu seorang sosiolog dipaksa untuk “pengetahuan” berkaitan dengan konteks-kon-
bertanya, setidaknya, apa perbedaan antara kedua teks sosial yang spesifik, dan bahwa hubun-
“kenyataan” itu mungkin dapat dipahami dalam gan-hubungan itu harus dimasukkan ke dalam
Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016 || 17

suatu analisa sosiologis yang memadai mengenai 3. Makna tersebut disempurnakan di saat pros-
konteks-konteks tersebut. es interaksi sosial berlangsung.
Maka dari itu, sosiologi pengetahuan harus Bagi Garfinkel, setiap orang bergulat untuk
menekuni apa saja yang dianggap sebagai “pen- menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa
getahuan”, dalam suatu masyarakat, terlepas dari sehingga pengalaman itu “punya arti”. Etnomet-
persoalan kesahihan atau ketidaksahihan yang odologi Garfinkel menyangkut isu realitas com-
paling dasar (menurut kriteria apa pun) dari “pen- mon sense di tingkat individual. Hal itu berbeda
getahuan” itu. Dan, sejauh semua “pengetahuan” dengan Berger, yang menganalisa tingkat kolektif.
manusia itu dikembangkan, dialihkan, dan dipe- Berger banyak “berhutang budi” pada
lihara dalam berbagai situasi sosial, maka sosi- fenomenologi Alfred Schutz –sebagaimana juga
ologi pengetahuan harus memahami bagaimana Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan”
proses-proses itu dilakukan sedemikian rupa se- dan makna. Schutz menjelaskan tiga unsur pen-
hingga akhirnya terbentuklah “kenyataan” yang getahuan yang membentuk pengertian manusia
dianggap sudah sewajarnya oleh orang awam. tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari,
Inilah yang menjadi fokus kajian dalam sosiologi sosialitas, dan makna (Novri Susan, 2003:46).
pengetahuan, bagaimana pembentukan kenyata- Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari
an oleh masyarakat (social contruction of reality) kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi
itu dijabarkan. dunia yang paling fundamental dan esensial bagi
Pernyataan-pernyataan diatas mengantarkan manusia. Sosialitas berpijak pada teori tindakan
kita pada pemahaman bahwa “kenyataan” dan sosial Max Weber. Social action yang terjadi se-
“pengetahuan” yang lahir dari kontruksi sosial tiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau,
atas realitas sehari-hari sangat dipengaruhi oleh berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan
individu memahami sesuatu berdasarkan ke- sosial, dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai
biasaan (habitus) dan cadangan pengetahuannya makna yang “bersembunyi”/ ”melekat”.
(stock of knowledge). Penafsiran yang muncul Sumbangan Schutz yang utama bagi ga-
sebagai efek relitivitas sosial menjadikan sesuatu gasan fenomenologi, terutama tentang makna
berarti berdasarkan definisi diri atas suatu objek. dan bagaimana makna membentuk struktur so-
Penjelasan selanjutnya akan membantu pemaha- sial, adalah tentang “makna” dan “pembentu-
man bagaimana proses “kenyataan” dan “penge- kan makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah
tahuan” itu muncul dan dikontruksi. dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi
Selain konsep diri atau self, makna adalah pengertian manusia adalah common sense (dun-
istilah yang sentral dari sosiologi humanis. Pem- ia akal sehat). Dunia akal sehat terbentuk dalam
bahasan mengenai makna sangat nampak dalam percakapan sehari-hari. Common sense merupa-
Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu kan pengetahuan yang ada pada setiap orang
pada tiga premis utama yang melibatkan makna; dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu ber- individu secara sosial melalui sosialisasi–dari
dasarkan makna-makna yang ada pada ses- orang-orang sebelumnya, terlebih dari significant
uatu itu bagi mereka. others. Common sense terbentuk dari tipifikasi
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi so- yang menyangkut pandangan dan tingkah laku,
sial yang dilakukan dengan orang lain.
18 || Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016

serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena yataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam
individu-individu yang terlibat dalam komunika- fenomena-fenomena yang memiliki keberadaan
si melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian (being) yang tidak tergantung kepada kehendak
membangun semacam sistem relevansi kolektif. individu manusia (yang kita tidak dapat menia-
dakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan”
Sosiologi Pengetahuan. adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu
Walaupun Berger berangkat dari pemikiran nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakter-
Schutz, Berger jauh keluar dari fenomenologi istik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil
Schutz –yang hanya berkutat pada makna dan (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyekti-
sosialitas. Karena itu garapan Berger tak lagi vasi manusia terhadap pengetahuan –dalam ke-
fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan. hidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana,
Namun demikian, Berger tetap menekuni mak- eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowl-
na, tapi dalam skala yang lebih luas, dan (sekali edge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya.
lagi) menggunakan studi sosiologi pengetahuan. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumula-
Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan si dari common sense knowledge (pengetahuan
makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legit- akal-sehat). Common sense adalah pengetahuan
imasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi yang dimiliki individu bersama individu-indivi-
secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan du lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan
dan membenarkan tatanan sosial (Berger, 1991: sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan
36). Legitimasi merupakan obyektivasi makna sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990: 34).
tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan: se-
berdimensi kognitif dan normatif karena tidak buah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan
hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai- Berger dan Luckmann (1990) merumuskan teori
nilai moral. Legitimasi, dalam pengertian funda- konstruksi sosial atau sosiologi pengetahuan-
mental, memberitakan apa yang seharusnya ada/ nya. Fokus kajian dari tulisan ini terdiri atas ;
terjadi dan mengapa terjadi. Berger mencontoh- dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan se-
kan, tentang moral-moral kekerabatan, “Kamu hari-hari, masyarakat sebagai realitas obyektif,
tidak boleh tidur dengan X”, karena “X adalah dan masyarakat sebagai realitas subyektif.
saudarimu, dan kamu adalah saudari X” (Berg-
er, 1991: 37) Jika dikaitkan dengan norma dalam Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan
Islam, maka legitimasi itu misalnya, “Kamu ti- Sehari-hari
dak boleh ‘berhubungan’ dengan X, karena dia Kehidupan sehari-hari telah menyimpan dan
bukan istrimu, dan jika engkau melakukan itu, menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan
maka engkau telah berzina, telah melakukan per- yang membimbing perilaku dalam kehidupan
buatan dosa yang besar”. sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan
Penelitian makna melalui sosiologi peng- realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu,
etahuan, mensyaratkan penekunan pada “reali- atau memiliki makna-makna subyektif. Di sisi
tas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang ’lain’, kehidupan sehari-hari merupakan suatu
menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Peter dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tin-
L. Berger dan Thomas Luckmann (1990). “Ken- dakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai
Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016 || 19

’yang nyata’ oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar- berlanjut ke masa depan. Bahasa memungkink-
dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui an menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi
obyektivasi dari proses-proses (dan makna-mak- tatap muka.
na) subyektif yang membentuk dunia akal-sehat
intersubyektif (Berger,1990:29). Pengetahuan Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan
akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki ber- Subyektif.
sama (oleh individu dengan individu-individu Manusia berbeda dengan binatang. Binatang
lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal (da- telah dibekali insting oleh Tuhan, sejak dilahirkan
lam kehidupan sehari-hari). hingga melahirkan sampai mati. Manusia secara
Realitas kehidupan sehari-hari merupakan biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang,
taken for granted. Walaupun ia bersifat memak- karenanya ia terus belajar dan berkarya memban-
sa, namun ia hadir dan tidak (jarang) diperma- gun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi
salahkan oleh individu (Misalnya; civitas kam- itulah yang kemudian menuntut manusia men-
pus FISIP UBB jarang, bahkan belum pernah, ciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial mer-
menanyakan; mengapa gedung FISIP di Gedung upakan produk manusia yang berlangsung terus
Timah I, mengapa kantor dekan di lantai satu, menerus sebagai keharusan antropologis yang
mengapa kantinnya di sebelah timur. Hal itu berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu
sudah dianggap alamiah, sehingga tak perlu di- bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan
buktikan kebenarannya). Selain itu, realitas ke- kedirian manusia secara terus menerus ke dalam
hidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan; dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mental-
realitas sosial yang bersifat khas (dan individu nya (Berger, 1991: 4-5).
tak mungkin untuk mengabaikannya), dan totali- Masyarakat sebagai realitas obyektif meny-
tas yang teratur, terikat struktur ruang dan waktu, iratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelem-
dan obyek-obyek yang menyertainya (Samuel, bagaan (institusionalisasi) diawali oleh ekster-
1993: 9). nalisasi yang dilakukan berulang-ulang sehingga
Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi terlihat polanya dan dipahami bersama- yang
oleh obyektivasi, juga memuat signifikasi. Sig- kemudian menghasilkan pembiasaan (habitu-
infikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh ma- alisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung
nusia, merupakan obyektivasi yang khas, yang memunculkan pengendapan dan tradisi. Pen-
telah memiliki makna intersubyektif walaupun gendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan
terkadang tidak ada batas yang jelas antara sig- ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah
nifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda meliputi terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan,
sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik badan termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian
yang berpola, sistem berbagai perangkat arte- pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut.
fak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai Jadi, peranan mempresentasikan tatanan kelem-
sistem tanda-tanda suara, merupakan sistem tan- bagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan
da yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua adalah representasi diri sendiri. Peranan mem-
ini merupakan sarana untuk memelihara realitas presentasikan suatu keseluruhan rangkaian per-
obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa ilaku yeng melembaga, misalnya peranan hakim
lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan dengan peran-peran lainnya di sektor hukum.
20 || Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016

Masyarakat sebagai realitas obyektif juga lah proses penerimaan definisi situasi yang dis-
menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi ampaikan orang lain tentang dunia institusional.
merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut,
merupakan pengetahuan yang berdimensi kogni- individu pun bahkan hanya mampu mamaha-
tif dan normatif karena tidak hanya menyangkut mi definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut
penjelasan tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi ber- mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses
fungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif
melembaga menjadi masuk akal secara subyektif. sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus peru-
Perlu sebuah universum simbolik yang bah masyarakat.
menyediakan legitimasi utama keteraturan
pelembagaan. Universum simbolik menduduki Metodologi.
hirarki yang tinggi, mentasbihkkan bahwa semua Menurut Hanneman Samuel, metodologi
realitas adalah bermakna bagi individu, dan in- Sosiologis Berger mengacu pada tiga poin pent-
dividu harus melakukan sesuai makna itu. Agar ing dalam kerangka teori Berger yang berkaitan
individu mematuhi makna itu, maka organisasi dengan arti penting makna yang dimiliki aktor
sosial diperlukan, sebagai pemelihara univer- sosial, yakni: “semua manusia memiliki mak-
sum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organ- na dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia
isasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum yang bermakna”. Makna manusia pada dasarnya
simbolik (teori/legitimasi). Di sisi lain, manusia bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya sendiri,
tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain.
pada situasi tertentu universum simbolik yang Terhadap makna, beberapa kategorisasi
lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggal- dapat dilakukan, pertama, makna dapat digolong-
kan. Kemudian manusia melalui organisasi so- kan menjadi makna yang secara langsung dapat
sial membangun universum simbolik yang baru. digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemi-
Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk liknya; dan makna yang tidak segera tersedia
melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legiti- secara ’at-hand’ bagi individu untuk keperluan
masi sebagai legitimasi lembaga sosial” menuju praktis membimbing tindakan dalam kehidupan
”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus sehari-hari. Kedua, makna dapat dibedakan men-
berlangsung, dan dialektik. Dialektika ini terus jadi makna hasil tafsiran orang awam, dan mak-
terjadi, dan dialektika ini yang berdampak pada na hasil tafsiran ilmuwan sosial. Ketiga, makna
perubahan sosial. dapat dibedakan menjadi makna yang diperoleh
Masyarakat sebagai kenyataan subyektif melalui interaksi tatap muka, dan makna yang di-
menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsi- peroleh tidak dalam interaksi (misalnya melalui
ri secara subyektif oleh individu. Dalam proses media massa).
menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Inter- Sosiolog menekuni dan memahami makna
nalisasi adalah proses yang dialami manusia un- pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger
tuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni menjadikan interaksi sosial sebagai subject mat-
sesamanya (Samuel,1993:16). Internalisasi ber- ter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan
langsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, individu dengan masyarakat. Individu adalah
baik primer maupun sekunder. Internalisasi ada- acting subject, makhluk hidup yang senantiasa
Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016 || 21

bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tin- menyimpan pengalaman tentang jihad sebagai
dakan individu dilandaskan pada makna-mak- pengetahuan dan realitas sosial mereka.
na subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan Mengikuti konstruksi sosial Berger, realitas
yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk sosial jihad menjadi teperlihara dengan ter’ba-
mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang hasa’kannya dalam Alquran, hadits, buku-buku/
melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan manuskrip ulama yang terpelihara hingga kini.
itu dilaksanakan. Masyarakat merupakan suatu Agama (Islam) berhasil melegitimasikan jihad,
satuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari terlebih dengan menjadikan agama sebagai ide-
relasi-relasi antar manusia yang (relatif) besar ologi negara. Alhasil, bersatunya dua kekuatan
dan berpola (Samuel, 1993: 3). besar (agama dan negara) selama berabad-abad
Interaksi sosial sebagai subject matter ada- (selama imperium Islam) menjadikan jihad se-
lah interaksi sosial dengan dimensi horisontal dan bagai realitas social yang tak terbantahkan, bah-
vertikal. Horisontal tak hanya bermakna interak- kan mustahil untuk dihilangkan.
si antar individu dengan individu lainnya, tetapi Sosialisasi jihad terus berlangsung seiring
meliputi kelompok dan struktur sosial. Karena itu sosialisasi Islam. Jihad terus diinternalisasi oleh
faktor kultural, ekonomi, dan politik tak dapat di- individu muslim, sehingga menjadi realitas su-
abaikan. Perjalanan sosial manusia tak lepas dari byektif. Realitas subyektif itu terus dieksternal-
masa lalu dan masa mendatang, sehingga aspek isasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena
vertikal (sejarah) menjadi penting. Hal ini tidak jihad memiliki makna yang luas, sehingga dapat
berarti menghilangkan sosiologi sebagai disiplin dieksternalisasikan dalam setiap detik dan ruang
ilmiah dan menyatu dengan ilmu sejarah, tapi so- kehidupan kaum muslim. Jihad mengisi keseh-
siologi meminjam data sejarah untuk meningkat- arian rakyat Palestina yang mengangkat senjata
kan pemahamannya tentang realitas masa kini. melawan Israel, menjadi titik tolak muslimin Irak
mengusir Amerika dan sekutunya, menjadi jalan
Jihad sebagai Konstruksi Sosial. (Sebuah Con- muslimin Amerika menyebarkan Islam rahmatan
toh analisa sederhana dengan Sosiologi Pengeta- lil-’alamiin. Jihad juga menjadi ruh dakwah
huan). mubaligh-mubaligh Muhammadiyah dan kyai-
Sejak jihad dieksternalisasikan Nabi Mu- kyai NU, perjuangan kader-kader partai politik
hammad dan kaumnya empat belas abad silam, Islam, dan perjuangan menegakkan syariat Islam
sejak itu jihad menjadi isu dan amalan penting bagi para mujahid-mujahid organisasi pemuda
yang bertahan hingga kini. Sejak itu pula jihad . Jihad adalah sahabat umat Islam saat menun-
menjadi fenomena sosial yang menyejarah seka- aikan sholat, puasa, dan haji, saat bekerja meng-
ligus fenomenal. Jihad tak hanya menjadi realitas hidupi keluarga, saat membantu mengentaskan
bagi kaum muslimin, tetapi juga umat yang lain. rakyat miskin, dan saat mengkhidmatkan dirinya
Jihad telah menjadi makanan sehari-hari umat Is- dalam ibadah, dimana pun dan kapan pun. Tak
lam. Sehingga umat Islam di luar Arab tak perlu pelak, jihad memiliki kenyataan obyektif yang
lagi menerjemahkan jihad dalam bahasa ibunya. tak bisa dinihilkan. Namun di sisi lain, jihad ada-
Kata jihad sudah mendarah daging sebagaimana lah kenyataan subyektif yang relatif, plural, dan
kata Islam itu sendiri. Karena itu fenomena ji- dinamis. Jihad qital bisa menjadi nyata bagi se-
had selalu tergambar nyata. Bahkan umat Islam bagian orang, tapi bisa tidak menjadi ’nyata’ bagi
22 || Jurnal Society, Volume VI, Nomor I, Juni 2016

sebagian yang lain. Jihad memiliki keragaman gi, Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer,
makna (subyektif), tiap individu memiliki penaf- Yogyakarta: Gadjah Mada University press,
siran sendiri-sendiri, dan penafsiran (makna su- 1995
byektif) itu terus berproses dan memungkinkan  
untuk berubah.

Daftar Pustaka
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penera-
pan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2003.
Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspek-
tif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi,
Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, In-
teraksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi
Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi
Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia, 2002.
Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Is-
lam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta:
Mizan, 1988.
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Re-
alitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991.
____________, dan Thomas Luckmann,
Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta:
LP3ES, 1990.
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori
Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Ken-
cana, 2004
Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi:
menyingkap kepentingan Pengetahuan ber-
sama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Pener-
bit Buku Baik, 2004.
Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Ja-
karta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Jakarta, 1985
Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbo-
lik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakar-
ta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002
Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiolo-

Anda mungkin juga menyukai