Anda di halaman 1dari 12

KONSEP TAHLIL DALAM PANDANGAN ULAMA

Di Susun Oleh :
LIYA NI’MATURROHMAH
SHOFIYATUL MAULA

FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AR-ROSYID
TA : 2021/2022
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, kami haturkan ke hadirat Allah SWT, yang telah


memberi taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah
menunjukkan kita jalan yang lurus (Agama Islam) yang diridhai Allah SWT,
sehingga penulisan karya tulis yang berjudul “ konsep tahlil menurut pandangan
ulama’ ” ini dapat terselesaikan. Karya tulis ini diajukan dalam rangka memenuhi
salah satu tugas yang diberikan pada mata .
Karya tulis yang ditulis dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan
ini, tentu tidak luput dari kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena
ituselalu terbuka bagi adanya kritik dan saran serta penyempurnaan. Namun
demikian penulis akan terus mencoba dan berusaha agar pada waktu yang akan
datang dapat lebih menyempurnakan pengetahuan penulis di bidang ilmu agama.
Dalam proses penyusunan karya tulis ini penulis banyak menerima bantuan
perhatian dari banyak pihak. Terima kasih yang dalam penulis sampaikan kepada
mereka yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT.
Melimpahkan berkat serta karunia-Nya kepada mereka sekalian. Amin.
Akhir kata semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jombang, .....................2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………..............................i


Daftar Isi ………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan …………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan …………………………………………..............................2
Bab III. Penutup ………………………………………………. ...........................7
Daftar Pustaka ………………………………………………...............................8
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahlilan merupakan tradisi yg dilakukan sebagian umat muslim
khususnya di Indonesia,akan tetapi banyak masyarakat awam yg belum tahu
mengenai apa sebenarnya makna tahlilan itu sendiri. Menurut sebagian umat islam
di Indonesia tahlilan merupakan konsep ibadah bahwa pahala dari bacaan mereka
akan sampai kepada si mayat yg akan mendapat pahala atau logikanya seperti ini
kita yang beramal,orang lain (si mayat) yang mendapat pahala. Padahal,dengan
jelas rasullulah menegaskan jika manusia meninggal akan terputus amalannya
kecuali 3 hal yaitu sedekah jariyah,ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh
yang mendoakannya.
B. Masalah
1. Pandangan muhammadiyah mengenai tradisi tahlilan setelah orang
meninggal
2. Pandangan NU mengenai tradisi tahlilan setelah orang meninggal
3. Akibat yang ditimbulkan dalam melakukan tradisi tahlilan setelah orang
meninggal
4. Dalil mengenai tahlilan
5. Hukum tahlilan menurut 4 m adzhab
C. Tujuan
Untuk mengetahui makna tahlilan yang menjadi tradisi sebagian
umat muslim di Indonesia dan berusaha mengajak masyarakat awam untuk
meninggalkan tradisi ini dengan cara menjelaskan apa itu makna tahlilan yang
sebenarnya.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pandangan Muhammadiyah Mengenai Tradisi Tahlilan Setelah


Orang Meninggal
Muhammadiyah, mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan Kematian)
adalah perkara bid'ah, dan harus ditinggalkan. Dari Thalhah: "Sahabat Jarir
mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi
mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita
kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya?
Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn
Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin
Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq:
"Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga
mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd
al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550.
dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad
Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah
al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau
berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan
perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjarydan Syekh
Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia
pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara' adalah dianjurkan,
namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara
menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang
melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari
kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau
keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal
hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan
makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam
penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya biayanya
berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad
al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Imam Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh
keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama
sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah
Muhadzab, juz 5 hal 286).
Mestinya tetangga yang meringankan beban keluarga si mayit dengan
membuatkan makanan untuk keluarga si mayit, bukan malah membebani keluarga
si mayit untuk memberi makan orang banyak yang berkumpul di rumahnya. Bahkan
hal tersebut dilakukan tidak hanya sekali tetapi berulang, seperti hitungan tujuh, 40,
100, 1000 hari dan lainnya.
Lalu, yang jadi pertanyaan adalah, mengapa harus tujuh, 40, 100, atau 1000
hari? Dalam Islam tidak ada penetapan yang demikian. Maka satu-satunya alasan
yang tepat adalah hal ini merupakan tradisi yang berasal di luar konteks Islam.

2. Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama Nahdatul Ulama (NU)


Kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa tahlilan tidak ada
dalil yang menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis, namun kenapa mereka
masih melaksanakan acara tahlilan tersebut karena kaum muslimin Nahdatul Ulama
mempunyai pendapat lain bahwa tahlilan dilaksanakan dikeluarga yang meninggal
mempunyai tujuan-tujuan tertentu di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Tahlilan dilakukan untuk menyebar syiar islam, karena sebelum
dilakukantahlilan seorang imam melakukan ceramah keagamaan.
2. Isi dari tahlilan adalah dzikir dan do’a dengan kata lain melaksanakan
tahlilan berarti mendo’akan kepada yang meninggal dunia.
3. Menghibur keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain, kaum
muslimin yang berada di sekitar rumah yang ditinggal, maka terjalinlah silaturahmi
diantara umat islam.
Dari uraian tersebut di atas, bahwa kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU)
walaupun tidak ada dalil yang kuat di dalam Al-Quran dan hadis namun
melakanakan acara tahlilan dengan tujuan yang baik dan tidak menyimpang dari
hadis-hadis lainnya.

3. Akibat Yang Ditimbulkan Dalam Melakukan Tradisi Tahlilan


Setelah Orang Meninggal
Mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedan. Hukum
menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada
mayit. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala
bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Pertama, ulama mazhab
Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab
Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat
thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang
mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan: ‫اب‬ َ ‫سانَ لَهُ أ َ إن يَجإ عَ َل ث َ َو‬ ِ ‫أ َ َّن إ‬
َ ‫اْل إن‬
َ ‫آن أَ إو إاْلَذإك‬
‫َار إلَى‬ ٍ ‫صدَقَةً أَ إو قِ َرا َءة َ قُ إر‬
َ ‫ص إو ًما أ َ إو َح ًّجا أ َ إو‬ َ ،‫سنَّ ِة َو إال َج َما َع ِة‬
َ ‫ص ََلة ً َكانَ أ َ إو‬ ُّ ‫ ِع إندَ أ َ إه ِل ال‬،ِ‫َع َم ِل ِه ِلغَي ِإره‬
ِ ِ‫ص ُل ذَلِكَ إلَى إال َمي‬
ُ‫ت َويَ إنفَعُه‬ ِ َ‫ َوي‬،‫ َغي ِإر ذَ ِلكَ ِم إن َج ِميعِ أ َ إن َواعِ إالبِ ِر‬Bahwa seseorang diperbolehkan
menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal
Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau
sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan
bermanfaat baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh
Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131). Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki
ِ ِ‫ص َل ِل إل َمي‬
menyebutkan: ُ‫ت أَجإ ُره‬ َ ‫ َو َح‬، َ‫ َجازَ ذَلِك‬،ِ‫اب قِ َرا َءتِ ِه ِل إل َم ِيت‬
َ ‫ َوأ َ إهدَى ث َ َو‬،ُ‫الر ُجل‬
َّ َ ‫ َوإِ إن قَ َرأ‬Jika
seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada
mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit.
(Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas
Syarhil Kabir, juz 4, h. 173). Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi
dari mazhab Syafi’i menuturkan: ُ‫ َويَدإع إُو ِل َم إن يَ ُز إو ُره‬،‫س ِل َم َعلَى إال َمقَابِ ِر‬ َ ُ‫لزائِ ِر أَ إن ي‬ َّ ‫َويُ إست َ َحبُّ ِل‬
‫آن َما‬ ِ ‫ َويُ إست َ َحبُّ أَ إن يَ إق َرأ َ ِمنَ إالقُ إر‬،ِ‫ض ُل أ َ إن يَ ُك إونَ الس َََّل ُم َوالدُّ َعا ُء ِب َما ثَبَتَ ِفي إال َح ِد إيث‬
َ ‫ َواْل َ إف‬،ِ‫َو ِل َج ِميإعِ أ َ إه ِل إال َم إقبَ َرة‬
‫ َو َيدإعُو لَ ُه إم َع ِق َب َها‬،‫ ت َ َيس ََّر‬Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan
salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua
penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah
ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah
dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-
Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311). Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali
juga menuturkan: ،‫ أ َ َّما الدُّ َعا ُء‬.ُ‫َّللا‬
َّ ‫إن شَا َء‬‫ إ‬، َ‫ نَفَعَهُ ذَلِك‬،‫ت إال ُم إس ِل ِم‬
ِ ‫ َو َجعَ َل ث َ َوابَ َها ِل إل َم ِي‬،‫ي قُ إربَ ٍة فَعَلَ َها‬
ُّ َ ‫َوأ‬
ِ ‫ َوأَدَا ُء إال َو‬،ُ‫صدَقَة‬
‫ فَ ََل أ َ إعلَ ُم فِي ِه ِخ ََلفًا‬،ِ‫اجبَات‬ َّ ‫ َوال‬،‫ار‬ ُ َ‫ َو ِاِل إستِ إغف‬Dan apapun ibadah yang dia kerjakan,
serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat
untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban
maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya). (Lihat:
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h. 79). Di
antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan
kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab
Majmu’ul Fatawa disebutkan: ‫اء‬ ِ ‫علَ َم‬ ُ َ‫ع بَيإن‬ َ ‫صد َ َقة ُ َو َغي ُإر ُه َما ِم إن أ َ إع َما ِل إال ِب ِر َف ََل نِزَ ا‬
َّ ‫َوأ َ َّما إال ِق َرا َءة ُ َوال‬
ُ َ‫ص ُل إ َل إي ِه أَ إيضًا الدُّ َعا ُء َو ِاِل إستِ إغف‬
‫ار‬ ِ ‫صدَقَ ِة َو إال ِعتإ‬
ِ ‫ َك َما َي‬،‫ق‬ َّ ‫ت إال َما ِليَّ ِة كَال‬ ِ ‫ب إال ِع َبادَا‬ِ ‫صو ِل ث َ َوا‬ ُ ‫سنَّ ِة َو إال َج َما َع ِة فِي ُو‬ ُّ ‫ال‬
ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫ص إو ِم َوال‬
َّ ‫كَال‬ ،‫صو ِل إاْل َ إع َما ِل إال َبدَ ِنيَّ ِة‬
ُ ‫ َوتَنَازَ عُوا ِفي ُو‬.ِ‫ص ََلة ُ إال ِجنَازَ ِة َوالدُّ َعا ُء ِع إندَ قَب ِإره‬
َ ‫علَ إي ِه‬
َ ُ ‫ص ََلة‬
َّ ‫َوال‬
‫ص ُل إلَ إي ِه‬ِ َ‫إال َج ِمي َع ي‬ ‫ص َوابُ أَ َّن‬ َّ ‫ َوال‬.ِ‫ َو إال ِق َرا َءة‬Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya,
berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan
pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga,
pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama
berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan
bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit. (Lihat:
Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h. 366). Kedua,
sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an
dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak
diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis: ‫ضيحِ فِي‬ ِ ‫َقا َل فِي التَّ إو‬
َ‫ش إي ُخ ا إبنُ أَبِي َج إم َرة‬ ُّ ِ‫ت َحكَاهُ إالقَ َراف‬
َّ ‫ي فِي قَ َوا ِع ِد ِه َوال‬ ِ ِ‫َص ُل ِل إل َمي‬
ِ ‫ إال َمذإهَبُ أ َ َّن إال ِق َرا َءةَ َِل ت‬:ِ‫ب إال َحج‬
ِ ‫ بَا‬Penulis
kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti
dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit.
Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu
Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud
Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173). Dari paparan di atas, para ulama berbeda
pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah
kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama
mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu
Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain
melarangnya. Baca juga: Pentingnya Mengenal Fiqih Perbandingan
2. Hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan
kalimat thayyibah.
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk
beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat
atau setelah melaksanakan shalat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadis
riwayat Ibnu Umar: َ‫سلَّ َم يَأ إ ِت إي َمس ِإجد‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ إي ِه َو‬ ُّ ِ‫ َكانَ النَّب‬:َ‫ي هللاُ َع إن ُه َما قَال‬
َ ‫ى‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ع َم َر َر‬
ُ ‫َع ِن اب ِإن‬
ُ‫ي هللاُ َع إن ُه َما يَ إفعَلُه‬
َ ‫ض‬ َّ ُ‫ َو َكانَ َع إبد‬.‫ت َما ِشيًا َو َرا ِكبًا‬
ِ ‫َّللاِ َر‬ َ ‫قُبَاءٍ ُك َّل‬. Dari Ibnu Umar radhiyallahu
ٍ ‫س إب‬
anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid
Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar
radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya. Mengomentari hadits tersebut,
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan
mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh,
dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari,
juz 4, h. 197). Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-
turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau
malam lainnya untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, hukumnya
boleh.
3. Hukum bersedekah untuk mayit.
Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan
pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah
radhiyallahu anha: ،‫َت نَ إف َس َها‬ ‫ي ا إفت ُ ِلت إ‬ ُ ُ ‫ َيا َر‬:َ‫سلَّ َم فَقَال‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ إي ِه َو‬ َّ ‫أ َ َّن َر ُجَلً أَت َى النَّ ِب‬
َ ‫َّللاِ ِإ َّن أ ِم‬
َّ ‫سو َل‬ َ ‫ي‬
َ َ ‫ أَفَلَ َها أَجإ ٌر إِ إن ت‬.‫ت‬
‫ قَا َل نَعَ إم‬.‫صدَّ إقتُ َع إن َها‬ ‫صدَّقَ إ‬َ َ‫ت ت‬ ‫ظنُّ َها لَ إو ت َ َكلَّ َم إ‬
ُ َ ‫وص َوأ‬
ِ ُ ‫ َولَ إم ت‬Seseorang mendatangi
Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya
ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa
seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah
dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda:
“Ya.” Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, hadits ini menjelaskan
bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya.
Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. (Lihat:
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, h.
90). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tahlilan diperbolehkan dalam
Islam, sebab mayoritas ulama menegaskan kebolehan menghadiahkan pahala
bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit, sebagaimana mereka
menyatakan kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an
dan kalimat thayyibah. Para ulama juga sepakat akan kebolehan bersedekah untuk
mayit. Wallahu A’lam.
g berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal :
1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk
menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga
mayat akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang
dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga
yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka
cita, bukan sebaliknya.
4. Dalil Mengenai Tahlilan
Dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata: Setelah datang berita kematian
Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah
datang, kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka (HR Tirmidzi juz 2, hal
234, dia berkata hadist ini hasan). Imam Nawawi mengatakan bahwa penyediaan
hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ
tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan
(Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
5. Hukum Tahlilan
Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab
Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para
syuhada.
berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukanSunnah.
Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa dikerjakan, sebab
ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan dosa, kalau dikerjakan atau
ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada
nilainya.
Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan Haram.
Makruh apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. Haram :
Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pandangan muhammadiyah tahlilan merupakan sesuatu
yang mengandung unsur takhayul,bid’ah dan khurafat adalah sesuatu yang wajib di
tinggalkan karena tidak ada nilainya atau manfaatnya serta tidak ada dalil dan
sunnah rasullah yang mengatakan untuk melakukan tahlilan setelah orang
meninggal.Jadi,kita sebagai umat muslim hendaknya meninggalkan tradisi seperti
ini.
B. Saran
Setelah menguraikan secara sistematis, penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saran penulis kepada pembaca agar
dapat memahami dan mempelajari makalah ini dengan sebaik mungkin dan dapat
menerapkan dan memahami apa itu tahlilan dan bagaimana cara kita menyikapinya
dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

www.yahoo.com
www.pandanganmuhammadiyah.com
https://islam.nu.or.id/post/read/115055/hukum-tahlilan-menurut-
mazhab-empat

Anda mungkin juga menyukai