Anda di halaman 1dari 123

Sumber :

www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9581/1783/

BAB IV

PEMULIHAN EKONOMI

0 Keadaan Awal

Krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis di berbagai


bidang telah memberikan kesadaran baru akan adanya persoalan di
bidang ekonomi, politik, hukum serta agama dan sosial budaya yang
bersifat struktural dan terus berkembang di kalangan masyarakat.
Persoalan ketidakadilan terus dipertanyakan dan dituntut oleh
masyarakat untuk segera diperbaiki. Masyarakat menuntut reformasi
di segala bidang secara mendasar, termasuk pemulihan ekonomi
secepatnya. Langkah-langkah untuk menanggulangi krisis
secepatnya dan melaksanakan reformasi tersebut selanjutnya telah
diamanatkan rakyat Indonesia melalui Sidang Istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat bulan Nopember 1998. Namun demikian
upaya pemulihan ekonomi berjalan lambat karena situasi sosial,
politik, dan keamanaan yang kurang kondusif.

1. Menjaga Stabilitas Ekonomi Makro dan Meningkatkan

IV - 1
Pertumbuhan Ekonomi

Dalam masa krisis, gejolak perekonomian nasional dapat


dilihat dari perkembangan indikator ekonomi diantaranya turunnya
nilai tukar rupiah dan melonjaknya laju inflasi. Nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi yang cukup besar terhadap US$, yaitu secara
riil sekitar 71,6 persen dalam tahun 1998. Laju inflasi dalam tahun
tersebut mencapai 77,6 persen. Ini kemudian mendorong
peningkatan suku bunga yang mencapai tingkat tertinggi 61,8 persen
pada bulan September 1998. Tingginya suku bunga pada gilirannya
ikut mendorong kelesuan kegiatan produksi seperti dicerminkan
oleh penurunan PDB riil sebesar 13,0 persen.

Langkah-langkah stabilisasi dan reformasi ekonomi yang


dilaksanakan selama dua tahun terakhir, secara bertahap
memulihkan stabilitas ekonomi. Selama tahun 1999 proses
stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah
mengalami krisis ekonomi yang berat sejak pertengahan tahun 1997.
Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik
di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi perekonomian
internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi
pemulihan kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi
nasional. Nilai tukar rupiah menguat dan relatif stabil, antara lain
berkat terkendalinya jumlah uang beredar, yaitu dari rata-rata Rp
8.025 per US$ pada tahun 1998 menjadi sekitar Rp 7.809 per US$
pada tahun 1999, dengan fluktuasi yang lebih rendah daripada tahun
sebelumnya. Dalam periode yang sama, inflasi menurun tajam dari
77,6 persen menjadi hanya 2,0 persen dan suku bunga deposito
menurun dari rata-rata 36,8 persen menjadi 24,2 persen. Meskipun
terjadi perubahan iklim politik yang sangat penting dalam tahun
1999 antara lain sebagai hasil dari pelaksanaan pemilu, jajak
pendapat Timor Timur, dan Sidang Istimewa MPR, perekonomian
masih dapat tumbuh walaupun relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi
dalam triwulan I, II, III, dan IV tahun 1999 berturut-turut -7,7
persen, 3,7 persen, 1,2 persen, dan 5,0 persen dibandingkan dengan
triwulan yang sama tahun sebelumnya.

IV - 2
Pertumbuhan ini terutama bersumber dari konsumsi
masyarakat yang didorong oleh perkembangan harga dan nilai tukar
mata uang yang relatif stabil serta suku bunga yang menurun. Unsur
pendorong lain adalah konsumsi pemerintah yang berasal dari
kenaikan pengeluaran rutin. Selama tahun 1999, secara keseluruhan
investasi atau pembentukan modal tetap domestik bruto mengalami
kontraksi sebesar 20 persen. Penurunan terjadi pada investasi
swasta. Namun, investasi pemerintah juga belum berjalan sesuai
dengan harapan sebagaimana tercermin pada kinerja pengeluaran
pembangunan selama sembilan bulan pertama tahun fiskal
1999/2000 yang baru mencapai sekitar 54,7 persen dari anggaran.

Rendahnya kegiatan investasi juga tercermin pada kinerja


impor non migas kelompok barang modal yang menurun baik dari
sisi nilai maupun volume. Minat investasi secara umum selama
tahun 1999 belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal
ini terlihat dari jumlah proyek persetujuan penanaman modal asing
(PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Persetujuan
penanaman modal dalam negeri sedikit menurun akibat terbatasnya
sumber pembiayaan dan tersendatnya aliran pembiayaan baik dari
dalam maupun luar negeri. Sumber pembiayaan dalam bentuk kredit
masih mencatat pertumbuhan negatif akibat terganggunya fungsi
intermediasi perbankan. Ekspansi kredit baru masih sangat sedikit
dan sebagian merupakan penyaluran kredit program yang sebagian
besar dibiayai oleh Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
Dengan perkembangan tersebut, perekonomian secara keseluruhan
pada tahun 1999 tumbuh 0,3 persen.

Pada sisi produksi, beberapa sektor mulai mengalami


pertumbuhan positif. Sektor industri pengolahan yang pada tahun
sebelumnya menurun tajam telah tumbuh positif sebesar 2,6 persen
pada tahun 1999. Meskipun tidak terlalu tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan sebelum krisis, kegiatan di sektor industri
pengolahan ini ikut mendorong sektor listrik sehingga tumbuh

IV - 3
sekitar 8,2 persen. Sementara itu, panen yang cukup berhasil telah
membantu sektor pertanian tumbuh 2,1 persen.

Sektor pertambangan, bangunan, perdagangan,


pengangkutan, dan keuangan masih mengalami pertumbuhan yang
negatif namun dengan laju yang melambat. Menurunnya suku bunga
konsumsi, mengalirnya kembali kredit pemilikan rumah (KPR),
serta meningkatnya harga rumah sederhana dan rumah sangat
sederhana telah ikut memperlambat laju penurunan sektor bangunan.
Demikian pula, kegiatan perdagangan mulai tumbuh terutama
didorong oleh kenaikan konsumsi masyarakat. Menurunnya suku
bunga deposito yang mempersempit selisih negatif (negative spread)
dan mulai berjalannya restrukturisasi kredit telah memperlambat
penurunan laju pertumbuhan di sektor keuangan. Secara umum,
perkembangan masing-masing sektor dalam tahun 1999 sudah
menunjukkan tanda-tanda keluar dari krisis (bottom out).

Komposisi pertumbuhan antar sektor dalam tahun 1999


telah mengakibatkan perubahan struktur ekonomi. Peranan sektor
pertanian dan industri meningkat berturut-turut dari 17,6 persen dan
24,1 persen pada tahun 1998 menjadi 19,5 persen dan 25,4 persen
pada tahun 1999. Adapun peranan sektor pertambangan menurun
tajam dari 13,5 persen pada tahun 1998 menjadi 10,1 persen tahun
1999. Sementara itu, beberapa kendala yang menghambat program
restrukturisasi perbankan telah ikut menurunkan peranan sektor
keuangan dari 7,1 persen menjadi 6,3 persen dalam kurun waktu
yang sama.

Perkembangan tersebut meski menggembirakan, namun


masih jauh dari tercapainya pemulihan ekonomi sesungguhnya.
Parahnya keadaan yang diwarisi dewasa ini tercermin dalam
beratnya pengelolaan keuangan negara yang berkelanjutan,
pengendalian moneter dan neraca pembayaran, serta besarnya
permasalahan yang dihadapi dalam restrukturisasi perusahaan dan
perbankan.

IV - 4
Dalam pengelolaan keuangan negara, krisis ekonomi
menyebabkan beban yang besar terhadap anggaran negara. Pada
tahun 1998/99 overall balance tercatat defisit 1,5 persen terhadap
PDB. Pada pertengahan tahun 1999, ada tanda-tanda pemulihan
ekonomi namun masih dalam tahap yang sangat awal. Oleh karena
itu, terbatasnya penerimaan negara dan membengkaknya
pengeluaran negara masih mewarnai pelaksanaan tahun anggaran
1999/2000 sehingga defisit anggaran membesar. Namun demikian,
peran pemerintah dalam ikut menggerakan pemulihan ekonomi
dalam tiga triwulan pertama tahun anggaran 1999/2000 masih belum
optimal. Perkembangan tersebut mengakibatkan operasi keuangan
pemerintah untuk keseluruhan tahun 1999/2000 mengalami defisit
3,9 persen dari PDB dibandingkan target defisit sebesar 6,8 persen
dari PDB.

Secara keseluruhan, selama tiga triwulan pertama tahun


anggaran 1999/2000, penerimaan dalam negeri telah mencapai 88,7
persen dari target anggaran. Pencapaian target yang cukup tinggi ini
terutama disebabkan oleh lonjakan penerimaan migas akibat
kenaikan harga ekspor minyak dan tingginya penerimaan pajak
penghasilan, terutama pajak atas bunga simpanan dan pajak
perusahaan asing. Sementara itu, sebagai dampak belum pulihnya
kegiatan dunia usaha domestik, penerimaan pajak penghasilan
perusahaan dalam negeri masih relatif rendah.

Di sisi pengeluaran, selama masa krisis terjadi peningkatan


yang tajam untuk membiayai subsidi, pelunasan utang luar negeri,
program jaring pengaman sosial, serta program restrukturisasi
perbankan. Sementara itu, selama tiga triwulan pertama tahun
anggaran 1999/2000, jumlah pengeluaran baru mencapai 61,6
persen dari target anggaran. Faktor utama yang menyebabkan
rendahnya kinerja pengeluaran, khususnya pengeluaran
pembangunan, adalah penarikan utang luar negeri yang jauh di
bawah sasaran. Realisasi penarikan utang luar negeri baru mencapai
38,7 persen dari target anggaran. Terhambatnya penarikan utang
disebabkan oleh keputusan beberapa kreditur utama, seperti Bank

IV - 5
Dunia, untuk menunda pencairan utang berkaitan dengan masalah
Timor Timur dan merebaknya kasus-kasus perbankan.

Sumber utama utang luar negeri Indonesia berasal dari para


anggota Consultative Group for Indonesia (CGI) yang terdiri atas 19
negara dan 10 lembaga internasional. Dukungan pembiayaan dari
utang luar negeri yang tercermin pada pledge tahun 1999 mengalami
penurunan dibandingkan pledge tahun sebelumnya. Pledge bilateral
pada tahun 1999 sebesar US$ 1,64 miliar atau turun sebesar US$
667,7 juta dari tahun 1998 dan untuk multilateral sebesar US$ 4,2
miliar atau turun sebesar US$ 1.365,0 juta dari tahun 1998. Di
samping pledge CGI di atas, persetujuan fasilitas kredit ekspor
diperketat dalam rangka penanggulangan gejolak moneter.

Dengan perkembangan tersebut, dan setelah


memperhitungkan amortisasi, jumlah utang luar negeri pemerintah
pada tahun 1999 mencapai 52,9 persen PDB. Secara keseluruhan,
stok utang pemerintah mencapai 97,6 persen PDB yang didorong
oleh membengkaknya pinjaman dalam negeri untuk restrukturisasi
perbankan yang meningkat dari 16,6 persen PDB di tahun 1998
menjadi 44,7 persen PDB di tahun 1999. Sementara itu, UU No. 25
tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah sudah harus diterapkan mulai 1 Januari 2001. Untuk itu,
diperlukan langkah-langkah agar pelaksanaan desentralisasi fiskal
tetap selaras dengan upaya mengendalikan defisit anggaran dan
beban utang pemerintah.

Secara ringkas, masalah utama yang dihadapi adalah


mencapai fiscal sustainability melalui penurunan beban utang
pemerintah namun dengan tetap mampu mendukung upaya
meringankan beban masyarakat terhadap dampak krisis serta
mendorong pemulihan ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi.

Kebijakan makro lainnya yang memiliki peran sangat


penting dalam pemulihan stabilitas ekonomi adalah kebijakan
moneter yang relatif ketat selama periode krisis. Kondisi moneter

IV - 6
selama tahun 1999 relatif mantap di banding tahun 1997 dan 1998.
Pertumbuhan besaran moneter, yaitu uang primer, uang beredar
dalam arti sempit (M1), dan uang beredar dalam arti luas (M2), telah
makin terkendali ke arah sasaran yang ditentukan.

Sebagai hasil terkendalinya besaran moneter tersebut,


seperti diuraikan di atas, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat juga semakin stabil dan cenderung menguat, laju inflasi
menurun tajam dan penurunan suku bunga deposito juga terus
berlanjut. Namun demikian dalam tahun 1999 terjadi beberapa
perkembangan yang menimbulkan tekanan pada nilai tukar rupiah,
seperti belum stabilnya kondisi sosial politik di dalam negeri dan
masih lemahnya kepercayaan pasar atas prospek pemulihan
ekonomi.

Dalam hal neraca pembayaran, selama periode krisis


transaksi berjalan mengalami surplus tetapi surplus ini lebih
disebabkan oleh penurunan secara drastis dari impor non migas,
bukan karena kenaikan ekspor non migas. Di sisi lalu lintas modal,
arus modal keluar oleh swasta masih lebih besar daripada arus
modal masuk swasta. Sedangkan arus modal pemerintah yang
positif selama masa krisis lebih disebabkan oleh masuknya pinjaman
dan penjadwalan utang luar negeri.

Terdepresiasinya nilai rupiah tidak otomatis meningkatkan


nilai ekspor nasional. Berdasarkan data Bank Indonesia, dalam
tahun 1998 dan 1999, ekspor non migas masing-masing menurun
3,6 persen dan 4,6 persen. Faktor utama penyebab turunnya ekspor
non migas adalah anjloknya harga-harga komoditas ekspor utama di
pasar dunia. Namun, faktor penting lainnya yang menghambat
potensi peningkatan ekspor adalah terbatasnya pembiayaan
perdagangan ekspor dan impor (trade financing) akibat kondisi
perbankan nasional yang masih lemah dan tersendatnya
pembentukan lembaga pembiayaan ekspor. Dalam periode yang
sama, menurunnya kegiatan produksi dalam negeri berakibat pada
menurunnya nilai impor secara keseluruhan, yaitu menjadi US$ 30,6
miliar. Penurunan tersebut terutama terjadi pada impor non migas,

IV - 7
yang mencapai sekitar 8,4 persen.

Dalam neraca jasa, pariwisata merupakan salah satu andalan


bagi penerimaan devisa. Namun, berbagai gejolak sosial-politik
yang berdampak negatif terhadap citra Indonesia di luar negeri telah
mengakibatkan penurunan drastis jumlah wisatawan mancanegara
(wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Dalam tahun 1998, jumlah
wisman hanya mencapai 4,6 juta orang dengan devisa yang
dihasilkan sebesar US$ 4,3 miliar, atau masing-masing menurun
sebesar 11,2 persen dan 40,0 persen dibandingkan tahun 1997.
Melalui upaya pemulihan kepercayaan masyarakat luar negeri
terhadap Indonesia guna menarik wisman mengunjungi Indonesia,
pada tahun 1999 terlihat adanya peningkatan kunjungan wisman
sekitar 2,6 persen dibanding tahun 1998 atau menjadi sebesar 4,7
juta kunjungan dengan menghasilkan devisa sebesar US$ 4,4 miliar.

Pada tahun 1999, lalu lintas modal bersih kembali


mengalami defisit sebesar US$ 4,6 miliar, lebih besar daripada
defisit yang terjadi pada tahun 1998 yang mencapai US$ 3,9 miliar.
Defisit yang terjadi pada lalu lintas modal swasta terkait dengan
aliran modal keluar yang mencapai US$ 27,3 miliar yang terkait
dengan pembayaran utang luar negeri swasta. Utang luar negeri
swasta yang jatuh tempo pada tahun 1999 antara lain berasal dari
utang bank swasta US$ 4,0 miliar, lembaga keuangan nonbank US$
1,5 miliar, dan perusahaan swasta lainnya US$ 9,4 miliar. Sementara
itu, aliran masuk modal swasta tercatat sebesar US$ 13,9 miliar atau
menurun 2,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Penurunan
terbesar terjadi pada penanaman modal asing langsung sebesar 52,1
persen sehingga menjadi US$ 3,3 miliar. Kinerja neraca modal
swasta yang belum menunjukkan perbaikan selama tahun 1999
antara lain berkaitan dengan belum pulihnya kepercayaan
internasional terhadap prospek pemulihan ekonomi Indonesia dan
belum tuntasnya penyelesaian masalah utang luar negeri swasta non-
bank. Sekalipun demikian, arus masuk modal melalui bursa saham
mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejalan dengan

IV - 8
sentimen positif yang ditimbulkan oleh mulai membaiknya situasi
sosial politik di dalam negeri.

Sementara itu, aliran bersih modal pemerintah dalam tahun


1999 mengalami surplus sebesar US$ 5,4 miliar atau turun 46,3
persen dibandingkan surplus tahun sebelumnya yang mencapai US$
10,0 miliar. Menurunnya surplus tersebut terutama disebabkan oleh
penundaan realisasi pinjaman multilateral sebagai akibat penundaan
program pemulihan ekonomi dengan IMF.

Sekalipun lalu lintas modal masih mengalami defisit, secara


keseluruhan neraca pembayaran masih mengalami surplus sebagai
akibat surplus transaksi berjalan yang cukup besar. Dengan
demikian, posisi cadangan devisa bruto pada akhir Desember 1999
meningkat menjadi US$ 27,1 miliar atau setara dengan kebutuhan
devisa untuk membayar impor non migas selama 11,2 bulan
dibandingkan US$ 19,0 miliar atau setara dengan 6,7 bulan impor
non migas pada bulan Mei 1998.

Dalam pada itu, sejalan dengan lebih besarnya jumlah


pembayaran utang lama daripada penarikan utang baru oleh sektor
swasta, jumlah utang luar negeri Indonesia selama tahun 1999
menurun dari posisi akhir tahun sebelumnya sebesar 1,8 persen
menjadi US$ 148,1 miliar. Penurunan jumlah utang luar negeri
tersebut disebabkan oleh penurunan utang swasta, sementara utang
pemerintah masih mengalami kenaikan. Penurunan utang sektor
swasta dalam tahun 1999 disebabkan oleh pembayaran sebagian
utang yang telah jatuh tempo. Sedangkan peningkatan posisi utang
pemerintah adalah akibat dari penarikan pinjaman multilateral dan
IMF serta dampak dari menguatnya mata uang yen Jepang terhadap
dolar Amerika Serikat.

Sampai akhir Desember 1999, jumlah utang luar negeri


pemerintah (termasuk pinjaman IMF) adalah US$ 75,7 miliar
meningkat sebesar US$ 23,1 miliar (dibanding posisi Maret 1997)
yang digunakan untuk menutup biaya defisit anggaran sebesar
US$ 13,1 miliar dan memperkuat cadangan devisa sebesar US$ 10,2

IV - 9
miliar. Hingga akhir tahun 1999, posisi utang swasta lainnya (tidak
termasuk BUMN) mencapai US$ 67,4 miliar atau menurun 15,2
persen dibandingkan posisi pada akhir tahun sebelumnya. Dari total
utang luar negeri swasta tersebut, sebesar US$ 53,2 miliar
merupakan utang perusahaan swasta nonbank, US$ 10,8 miliar
utang perbankan, dan US$ 3,2 miliar merupakan surat-surat
berharga yang dimiliki investor asing.

Meskipun jumlah utang luar negeri telah menurun cukup


signifikan, beban pembayaran pokok dan bunga utang masih sangat
tinggi. Dengan tingginya beban utang sementara kegiatan ekonomi
khususnya ekspor belum sepenuhnya pulih kembali, beberapa
indikator beban utang telah jauh melewati standar internasional
pengelolaan beban utang yang sehat. Sebagai contoh, rasio
pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap ekspor atau
debt service ratio (DSR) masih sangat tinggi yaitu mencapai 56,8
persen, jauh di atas kriteria maksimum yang ditetapkan oleh Bank
Dunia sebesar 20 persen. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang
mengakibatkan country risk Indonesia masih lebih tinggi daripada
negara-negara lain sehingga minat investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya untuk investasi
yang berjangka waktu menengah dan panjang, belum sepenuhnya
pulih.

2. Mempercepat Restrukturisasi Perbankan dan


Perusahaan

Selanjutnya upaya mendesak yang telah dilakukan dalam


rangka membenahi perekonomian nasional adalah mengatasi akar
penyebab krisis, yaitu, pemulihan dunia perbankan dan dunia usaha.
Upaya pembenahan perbankan dan pemulihan dunia usaha ini
terkait satu dengan lainnya dan harus dilaksanakan bersama-sama.
Dunia usaha akan dapat bekerja, tumbuh dan berkembang jika
sistem keuangan dan perbankan dapat dipercaya, sehat dan tentunya

IV - 10
tumbuh dan berkembang pula. Sebaliknya, dunia perbankan akan
tumbuh dan berkembang jika dunia usaha dapat bergerak, bekerja,
tumbuh dan berkembang.

Perbankan nasional ambruk karena membengkaknya


kewajiban perbankan dalam bentuk valuta asing, hilangnya akses
kredit dari bank asing, ditariknya deposito dalam jumlah besar oleh
nasabah bank dan terjadinya negative spread. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, pemerintah mengambil langkah-langkah
penyehatan dan restrukturisasi terhadap perbankan nasional.
Restrukturisasi perbankan diarahkan untuk memulihkan kesehatan
perbankan, dan oleh karena itu juga kemampuan perbankan dalam
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Adapun langkah-
langkah yang telah ditempuh adalah pemberian jaminan terhadap
nasabah bank umum; penyempurnaan undang-undang perbankan
dan ketentuan kehati-hatian (prudential regulation); dan
pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
mulai beroperasi tanggal 27 Januari 1998. Tugas pokok dan fungsi
BPPN adalah menyehatkan perbankan nasional, mengelola aset
perbankan yang dialihkan ke BPPN, dan mengembalikan dana
pemerintah yang telah disalurkan kepada perbankan nasional.

Sejak mulai beroperasinya BPPN, sejumlah 49 bank swasta


terpaksa dibekuoperasikan, 13 bank swasta diambil alih, dan 7 bank
swasta direkapitalisasi, serta 4 bank pemerintah digabung. Biaya
restrukturisasi yang ditanggung pemerintah melalui penerbitan
obligasi hingga Desember 1999 sudah mencapai Rp 510,3 triliun.
Selanjutnya juga telah dialihkan kredit bermasalah dari bank-bank
tersebut kepada BPPN sejumlah Rp 234 triliun, dengan jumlah
kredit yang diterima dari debitur hingga September 1999 baru
mencapai Rp 2,8 triliun.

Kondisi awal CAR tujuh bank yang direkapitalisasi pada


bulan Desember 1999 adalah sebesar 8,5 persen dengan Non
Performing Loan (NPL) sebesar 42,8 persen. Ini menandakan bahwa
dalam kurun waktu penyehatan perbankan, CAR dari bank-bank
yang telah direkapitalisasi telah mengalami kenaikan yang cukup

IV - 11
signifikan. Sedangkan jumlah bank yang tetap beroperasi sampai
dengan bulan Desember 1999 mencapai 164 buah bank.

Meski menuju ke arah perbaikan, hingga bulan September


1999 kemajuan restrukturisasi perbankan dianggap masih lamban.
Kondisi perbaikan tersebut belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh sektor riil karena masih belum berjalannya fungsi
intermediasi perbankan.

Di sisi lain, proses restrukturisasi perusahaan melalui


mekanisme INDRA dan Prakarsa Jakarta berjalan lebih lambat lagi.
Secara keseluruhan baru sebagian kecil utang perusahaan yang telah
direstrukturisasi. Hingga Nopember 1999 hanya satu perusahaan
yang bergabung dalam INDRA, yaitu Danareksa, dan 190
perusahaan dalam Prakarsa Jakarta. Baru 46 dari 190 perusahaan
yang telah melakukan persetujuan restrukturisasi dengan kreditornya
(US$ 3,252 miliar dan Rp 2,286 triliun dari US$ 23,2 miliar)

Lambannya restrukturisasi utang perusahaan tersebut antara


lain disebabkan oleh rumitnya program restrukturisasi utang
perusahaan karena melibatkan ratusan perusahaan dalam negeri dan
kreditur di banyak negara. Masalah lainnya adalah adanya sikap
debitur dan kreditur (baik yang berasal dari dalam maupun luar
negeri) yang tidak kooperatif untuk melakukan perundingan, sistem
peradilan niaga dan undang-undang kepailitan yang dirasakan belum
berfungsi dengan baik, dan masih terhambatnya proses
restrukturisasi perbankan.

IV - 12
3. Menanggulangi Kemiskinan dan Menciptakan
Lapangan Kerja serta Meningkatkan Perlindungan
Tenaga Kerja

Tercapainya pemulihan ekonomi sangat diharapkan oleh


seluruh rakyat Indonesia, terutama masyarakat yang berpenghasilan
rendah yang mengalami dampak negatif yang paling parah dari
krisis ekonomi. Pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin
meningkat menjadi 49,5 juta jiwa (24,3 persen). Namun peningkatan
jumlah penduduk miskin ini tidak seluruhnya disebabkan oleh krisis
ekonomi. Kenaikan sebesar 12 juta orang disebabkan oleh adanya
perubahan standar perhitungan angka kemiskinan yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dari standar 1996 menjadi standar
1998. Standar 1998 menggunakan garis kemiskinan dengan cakupan
biaya hidup minimum yang diperluas, terutama untuk kelompok
bukan makanan agar ukuran kemiskinan yang dihasilkan lebih
mencerminkan standar hidup minimum yang memang sudah
semakin berkembang. Sementara kenaikan sebesar 15 juta orang
diakibatkan oleh adanya krisis. Bila standar 1998 diaplikasikan pada
tahun 1996, tingkat kemiskinan pada tahun 1996 adalah 34,5 juta
(17,7 persen).

Dampak krisis lebih terasa di daerah perkotaan dibanding di


daerah perdesaan. Hal ini dikarenakan daerah perkotaan lebih erat
terkait dengan kegiatan sektor formal yang memang lebih terpukul
akibat krisis ekonomi. Tingkat kemiskinan di perkotaan, dengan
standar 1998, meningkat dari 9,6 juta (13,7 persen) pada tahun 1996
menjadi 17,6 juta (21,9 persen) pada tahun 1998. Tingkat
kemiskinan di perdesaan untuk periode yang sama meningkat dari
24,9 juta (19,9 persen) menjadi 31,9 juta (25,7 persen).

Komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan salah


satu ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk.
Pada periode 1996-1999, porsi makanan mengalami peningkatan
yang berarti yaitu dari 55,3 persen menjadi 62,9 persen. Hal ini
diduga bahwa akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan,
penduduk lebih mengutamakan pengeluaran untuk makanan

IV - 13
dibandingkan bukan makanan. Namun, secara absolut pengeluaran
masyarakat untuk konsumsi bahan makanan pokok mengalami
penurunan dari tahun 1996 ke 1999. Penurunan mencolok terutama
terjadi pada konsumsi beras, jagung basah berkulit dan gaplek.
Meningkatnya konsumsi jagung pocelan/pipilan dan ketela pohon
pada tahun 1999 dibandingkan 1996 menunjukkan usaha
masyarakat yang tidak mampu membeli beras beralih ke jagung atau
ketela pohon.

Situasi ketenagakerjaan nasional masih diwarnai oleh


berbagai permasalahan, seperti meningkatnya angka pengangguran,
rendahnya produktivitas pekerja, serta terjadinya gejolak
ketenagakerjaan melalui berbagai macam unjuk rasa.

IV - 14
Sebagai akibat dari krisis ekonomi, jumlah pengangguran
terbuka maupun setengah pengangguran meningkat dengan cepat.
Jumlah pengangguran terbuka yang pada tahun 1997 berjumlah 4,2
juta orang atau 4,7 persen, meningkat menjadi 5,1 juta orang atau
5,5 persen pada tahun 1998. Jumlah pengangguran terbuka ini
meningkat lagi pada tahun 1999 menjadi 6,0 juta orang atau 6,3
persen. Pada tahun 1999, bila dilihat dari segi pendidikan, jumlah
penganggur terbuka terbanyak adalah mereka yang berpendidikan
SLTA dengan jumlah 1,9 juta orang. Bila dilihat dari segi usia
jumlah penganggur terbuka terbesar berumur antara 15 sampai 24
tahun.

Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja


kurang dari 35 jam per minggu serta masih mencari pekerjaan dan
bersedia pindah pekerjaan, berjumlah 10,7 juta pada tahun 1997, 8,6
juta pada tahun 1998, dan 11,9 juta pada tahun 1999. Dari segi
pendidikan, jumlah setengah penganggur terbanyak adalah mereka
yang berpendidikan sekolah dasar. Bila dilihat dari umur maka
jumlah setengah penganggur terbanyak berusia antara 15 sampai 29
tahun. Sektor pertanian merupakan sektor terbesar yang menyerap
setengah penganggur, diikuti oleh sektor perdagangan dan jasa-jasa.

Sektor industri yang pada saat puncak krisis melakukan


banyak PHK, mulai menunjukkan peningkatan jumlah pekerja dari
9,9 juta orang pada tahun 1998 menjadi 11,5 juta orang pada tahun
1999. Pekerja di sektor informal yang meningkat jumlahnya pada
saat krisis beralih kembali dengan mulai terbukanya lapangan kerja
formal. Hal ini terlihat dari meningkatnya pekerja formal dari 34,6
persen pada tahun 1998 menjadi 35,9 persen pada tahun 1999.
Meskipun daya serap tenaga kerja antara tahun 1998-1999
meningkat sebanyak 1,1 juta, namun masih banyak penganggur
terbuka yang belum terserap dalam pasar kerja.

Peluang kesempatan kerja di luar negeri yang telah


dimanfaatkan merupakan salah satu penyumbang devisa bagi
negara. Namun demikian, prosedur yang rumit, keterbatasan
keterampilan, serta perlindungan yang tidak memadai merupakan

IV - 15
hambatan bagi kelancaran pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI)
yang berarti menghilangkan peluang penerimaan devisa.

Gejolak sehubungan dengan aksi unjuk rasa dan pemogokan


sangat menonjol seiring dengan terjadinya proses reformasi. Pada
tahun 1998/99 terjadi 278 kasus pemogokan yang melibatkan sekitar
147 ribu tenaga kerja serta mengakibatkan 1,5 juta jam kerja hilang.
Guna mengatasi permasalahan tersebut dilakukan berbagai upaya
untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
berkeadilan, serta terciptanya kepastian hukum dalam pemberian
hak-hak dasar pekerja. Hingga saat ini telah diratifikasi delapan
konvensi ILO, yaitu konvensi ILO mengenai kerja paksa,
penghapusan kerja paksa, kebebasan berserikat dan perlindungan
atas hak berorganisasi, hak berorganisasi dan perlindungan bersama,
kesamaan upah bagi laki-laki dan wanita untuk jenis pekerjaan yang
sama, diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, usia minimum
untuk bekerja, serta jenis-jenis pekerjaan terburuk untuk anak.

4. Memulihkan Kegiatan Usaha: Produksi, Perdagangan,


dan Investasi

Sementara itu, dunia usaha nasional pada umumnya


mengalami dampak yang tidak menguntungkan dari krisis ekonomi.
Usaha-usaha besar, utamanya yang berorientasi dalam negeri,
banyak yang terpuruk karena beban pinjaman utang yang besar atau
menurunnya permintaan dalam negeri. Di sisi lain, usaha kecil dan
menengah juga mengalami akibat tidak langsung dari krisis
ekonomi. Usaha kecil dan menengah (UKM) yang berjumlah sekitar
36,8 juta (99,9 persen) dengan kontribusi mereka dalam
pembentukan PDB pada tahun 1998 sekitar 58,2 persen
menggambarkan pentingnya keberadaan UKM sehingga dampak
krisis ekonomi terhadap kelangsungan usaha mereka tidak dapat
diabaikan. Perkembangan koperasi, terutama koperasi produksi
yang mewadahi kegiatan usaha kecil dan mikro untuk memperoleh

IV - 16
efisiensi usaha yang lebih tinggi belum sepenuhnya berkembang.
Pada tahun yang sama, jumlah koperasi sebanyak 59,4 ribu unit
menjadi potensi besar pula untuk mengembangkan skala usaha
khususnya usaha mikro dan kecil serta untuk konsumen dalam
memenuhi kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau.

Dampak krisis ekonomi pada dunia perbankan relatif kurang


berpengaruh bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK)
karena akses UKMK terhadap perbankan memang terbatas. Modal
yang diperlukan untuk mengembangkan usaha UKMK lebih banyak
mengandalkan pada hasil usaha yang diperoleh. Dengan
menurunnya permintaan terhadap produk mereka, maka UKM
mengalami kelangkaan sumber permodalan yang menghambat
kelancaran dan kelangsungan usaha mereka. Masalah berikutnya
adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang merupakan
cerminan dari kurang berkembangnya kewirausahaan dan rendahnya
profesionalisme UKM serta lemahnya kewirakoperasian para
anggota dan pengelola koperasi. Selanjutnya adalah keterbatasan
jumlah lembaga penyedia jasa untuk memberi akses UKMK
terhadap informasi, teknologi, modal, dan pasar menjadi hambatan
utama UKMK untuk meningkatkan volume usaha, produktivitas,
dan daya saingnya.

Selain itu masih ditemukan adanya mekanisme pasar yang


distortif, termasuk regulasi dan retribusi yang dasar hukumnya
kurang kuat dan proses perizinan yang kurang transparan serta
lemahnya koordinasi antar badan/lembaga yang mengembangkan
program pembinaan UKMK. Keadaan demikian menyebabkan
UKMK menanggung beban biaya transaksi yang sangat besar.

Di samping UKMK, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)


merupakan pelaku ekonomi di Indonesia yang berperan penting dan
bergerak di berbagai sektor ekonomi. Sebelum krisis ekonomi,
jumlah BUMN mencapai 160 buah dengan total nilai aset sebesar
Rp 462 triliun dan total keuntungan Rp 11,8 triliun atau 2,6 persen
dari modal yang ditanamkan. Dibandingkan dengan badan usaha
swasta sejenis, keuntungan BUMN sangat rendah, kurang dari 25

IV - 17
persen, bahkan lebih dari 50 persen BUMN mengalami kerugian.
Kinerja BUMN belum memuaskan karena pola pembinaan dan
tanggung jawab masing-masing BUMN berada di bawah
departemen terkait dan masih kaburnya misi pokok antara
memperoleh keuntungan dan pembangunan. Dengan demikian,
keandalan pelayanan atau produk-produk BUMN secara umum
masih rendah sehingga kerugian-kerugian yang dialami BUMN
membebani keuangan negara, di samping BUMN merupakan salah
satu sumber ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Selanjutnya dalam upaya meningkatkan efisiensi usaha dan


menggerakkan sektor riil, selama periode krisis telah dilaksanakan
deregulasi di berbagai bidang, khususnya perdagangan dalam dan
luar negeri serta investasi tetapi hambatan masih sering terjadi
dalam pelaksanaannya. Guna memperlancar arus perdagangan
dalam negeri melalui UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, jumlah dan cakupan pajak serta retribusi daerah
dikurangi. Dalam implementasinya pajak dan retribusi di beberapa
daerah tidak banyak berkurang. Di samping itu, pungutan tidak
resmi masih banyak ditemui dalam pengangkutan barang dari satu
daerah ke daerah lain, khususnya untuk komoditas pertanian.
Demikian juga kuota perdagangan ternak yang sudah dihapus sejak
September 1998 masih banyak ditemukan dalam bentuk baru yang
ditetapkan oleh Dinas Peternakan tingkat propinsi. Dalam hal
perdagangan luar negeri, tingkat tarif bea masuk dan hambatan non-
tarif terus diturunkan. Namun biaya ekonomi tinggi sebagai akibat
lamanya waktu penyelesaian dokumen ekspor, prosedur yang masih
panjang, serta adanya pungutan-pungutan resmi dan tidak resmi, dan
sebagainya masih terjadi. Hal ini melemahkan daya saing produk
ekspor Indonesia untuk dapat masuk di pasar global.

Dalam bidang investasi, berbagai upaya telah dilakukan


untuk mendorong investasi baik yang berasal dari dalam maupun
luar negeri antara lain melalui penyederhanaan prosedur investasi,
desentralisasi beberapa kewenangan BKPM, serta pengurangan
daftar negatif investasi. Meskipun demikian masih terdapat beberapa

IV - 18
kelemahan yang perlu disempurnakan. Pertama, pemberian sistem
insentif bagi kegiatan investasi masih kurang konsisten dan
transparan. Kedua, masih rumitnya sistem perijinan usaha yang
pada gilirannya akan menciptakan ekonomi biaya tinggi, khususnya
bagi perusahaan kecil dan menengah. Persetujuan investasi di luar
sektor minyak dan gas, perbankan, lembaga keuangan non bank,
asuransi serta sewa guna usaha cenderung belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan. Proyek penanaman modal asing (PMA)
tahun 1999 berjumlah 1.164 proyek dengan nilai sebesar US$
10.890,6 juta, sedang tahun 1998 sejumlah 1.035 proyek dengan
nilai sebesar US$ 13.563,1 juta. Sementara itu, penanaman modal
dalam negeri (PMDN) tahun 1999 baru berjumlah 237 proyek
dengan nilai Rp 53.550,0 miliar sedang tahun 1998 berjumlah 324
proyek dengan nilai Rp 60.749,3 miliar.

Krisis ekonomi yang mulai terjadi pada pertengahan 1997,


diperparah dengan keadaan alam yang saat itu tidak
menguntungkan. Produksi pangan pokok menurun drastis karena
musim kemarau yang panjang akibat EL-Nino serta kerusakan hutan
dan kebun akibat kebakaran di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini
menyebabkan menurunnya ketahanan pangan sampai ke tingkat
rumah tangga. Menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya
harga-harga bahan pokok termasuk pangan telah menyebabkan
kemampuan masyarakat untuk mendapatkan bahan pangan pokok
semakin menurun, terutama keluarga miskin.

Di sektor pertanian, krisis yang berkepanjangan ini


mempunyai dampak terhadap sisi permintaan karena menurunnya
daya beli masyarakat dan terhadap sisi penawaran karena
menurunnya luas areal tanam akibat musim kemarau panjang dan
rendahnya produktivitas. Meskipun demikian, dengan membaiknya
keadaan alam dan upaya-upaya penanganan yang dilakukan, secara
menyeluruh pembangunan pertanian dan kehutanan masih bisa
tumbuh dibandingkan tahun sebelum terjadinya krisis yaitu sekitar
2,8 persen pada tahun 1999.

IV - 19
Namun demikian, dengan jumlah penduduk yang besar dan
terus meningkat maka keberlanjutan penyediaan pangan sangat
kritis. Upaya ini menghadapi kendala keterbatasan lahan subur
disertai terus terjadinya pengalihan fungsi lahan, dan degradasi
kualitas lingkungan. Sementara itu, pola konsumsi pangan masih
terlalu mengandalkan pada konsumsi beras. Konsumsi pangan
lainnya masih rendah, seperti konsumsi pangan hewani khususnya
ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

Sementara itu, potensi lestari sumberdaya ikan laut nasional


yang diperkirakan sebesar 6,2 juta belum sepenuhnya dapat
dimanfaatkan (potensi produksi perikanan (tangkap) laut lestari
sekitar 6,258 juta ton per tahun) namun baru bisa dimanfaatkan
sekitar 61 persen. Potensi budidaya perikanan pantai (tambak), laut
(marine culture), pariwisata bahari dan biota laut untuk
pengembangan industri pangan baru sebagian kecil dimanfaatkan.
Sebaliknya pada perairan dangkal terutama di Selat Sunda telah
mengalami tangkap lebih (over fishing). Di samping itu, pada
perairan dalam belum ada pengelolaan dan pengawasan yang
memadai sehingga banyak terjadi pencurian oleh nelayan asing dan
pemboman ikan dengan menggunakan bahan kimia.

Perkembangan produksi penangkapan dalam kurun waktu


lima tahun terakhir (1994-1998) hanya mengalami peningkatan rata-
rata 5,0 persen per tahun. Sementara pencapaian produksi perikanan
darat (pembudidayaan air payau dan tawar) dalam lima tahun
terakhir rata-rata naik sekitar 4,2 persen per tahun. Apabila
dibandingkan luas perairan Indonesia yang mencapai 70 persen dari
luas wilayah Indonesia, maka potensi perikanan laut jauh lebih besar
daripada perikanan darat.

Di sektor pertambangan, pengelolaan sumberdaya


pertambangan menghadapi berbagai kendala di tingkat produksi,
seperti masalah ganti rugi lahan, tenaga kerja dan pelestarian
lingkungan hidup serta berbagai peraturan di daerah, namun belum
sampai menurunkan tingkat kinerja produksi secara langsung.

IV - 20
Kegiatan produksi pertambangan dan energi selama krisis ekonomi
masih menunjukkan peningkatan, namun untuk mempertahankan
tingkat produksi minyak bumi, gas alam dan produk pertambangan
lainnya seperti tingkat sekarang ini perlu digiatkan kegiatan
eksplorasi, mengingat peluang untuk mendapatkan sumber cadangan
baru terutama migas masih cukup baik. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya cadangan minyak dan gas baru di kawasan Papua dan
Kalimantan Timur. Masalah lainnya yang menjadi sorotan dan
banyak dihadapi masyarakat pada saat ini adalah terutama akibat
belum dilakukannya secara konsekuen penegakan hukum dalam
upaya eksplorasi dan produksi pertambangan, khususnya yang
berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup.

Selanjutnya di sektor industri pengolahan, strategi industri


yang lebih ditekankan pada industri yang berspektrum luas (broad
based industry) mengakibatkan kurang kokohnya struktur industri
nasional, dan menimbulkan ketergantungan yang kuat terhadap
bahan baku, bahan penolong, dan barang modal yang berasal dari
impor, termasuk industri-industri andalan untuk eskpor. Selain itu,
banyak industri nasional yang berlindung dibalik proteksi sehingga
dayasaingnya lemah dan sangat tergantung kepada pasar dalam
negeri. Akibatnya industri nasional sangat rentan terhadap gejolak
nilai tukar dan situasi ekonomi dalam negeri. Selanjutnya, industri-
industri ekspor andalan sejak pertengahan tahun 1985 pada
umumnya masih merupakan industri padat karya dengan
keterampilan rendah, yang seharusnya sudah mulai beralih ke
industri padat karya dengan keterampilan lebih tinggi. Secara
keseluruhan, sejak terjadinya krisis ekonomi, banyak perusahaan
industri, utamanya yang berorientasi pasar dalam negeri dan
membutuhkan bahan baku impor yang tinggi, mengalami penurunan
kegiatan yang relatif besar bahkan tidak sedikit yang tutup.
Pemanfaatan kapasitas terpasang rata-rata berkisar antara 50-60
persen.

5. Menyediakan Prasarana dan Sarana Penunjang

IV - 21
Ekonomi

Dalam rangka mendukung upaya pembangunan ekonomi


diperlukan dukungan sarana dan prasarana fisik yang memadai.
Namun, penyediaan prasarana dan sarana umum (jalan, jembatan,
saluran irigasi, saluran air minum, listrik, dan telekomunikasi)
setelah krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan tahun 1997
pembangunannya baik yang dilakukan pemerintah, termasuk
BUMN, dan swasta mengalami penurunan secara drastis. Krisis
ekonomi telah menyebabkan kemampuan pemerintah untuk
membiayai sektor prasarana semakin terbatas. Selama krisis,
pemerintah sesuai dengan anggaran yang tersedia hanya
menyediakan biaya operasi dan pemeliharaan yang terbatas. Jika
kondisi ini terus berlanjut maka kerusakan dari prasarana dan sarana
umum yang ada akan lebih lebih parah dan memerlukan dana yang
jauh lebih besar untuk rehabilitasinya.

Prasarana pengairan yang sangat penting dalam mendukung


kegiatan pertanian masih belum berhasil mewujudkan sistem irigasi
mandiri yang dikelola secara berkelanjutan. Upaya penyerahan
jaringan irigasi kepada organisasi petani setempat serta pengenalan
iuran pelayanan irigasi (Ipair) belum menunjukkan hasil yang
memuaskan akibat berbagai hambatan dan kendala. Berbagai
permasalahan dalam pengembangan, pemanfaatan, dan pelestarian
sumberdaya air juga memerlukan reformulasi kebijakan dalam
pengelolaan sumberdaya air. Beberapa permasalahan menonjol yang
dirasakan mendesak adalah adanya berbagai kendala serta hambatan
institusi dan regulasi dalam mekanisme pengelolaan, pengawasan,
pembiayaan, serta peningkatan peranserta semua pengguna air
dalam perumusan kebijakan. Selain itu, dalam rangka pelestarian
sumberdaya air diperlukan pengendalian pencemaran industri dan
rumah tangga yang lebih efektif yang menjamin tercapainya
kelestarian sumber-sumber air.

Sementara itu, untuk sektor transportasi, kondisi pada tahun


1998 secara umum menunjukkan penurunan kinerja pelayanan jasa
IV - 22
prasarana dan sarana transportasi akibat menurunnya biaya
pembangunan, serta operasi dan pemeliharaan. Terjadinya
penurunan pelayanan angkutan umum dan terpuruknya usaha di
bidang jasa angkutan, terutama akibat dari melonjaknya harga suku
cadang dan biaya operasi yang tidak dapat diimbangi dengan
kenaikan tarif karena daya beli masyarakat yang juga semakin
menurun. Penurunan tersebut terutama terjadi pada pelayanan
angkutan bus dan angkutan udara.

Selain itu, masih diperlukan peningkatan efisiensi dan


akuntabilitas dalam penyelenggaraan jasa transportasi pada
umumnya, baik dari aspek perijinan dan birokrasi, profesionalitas
SDM dan industri jasa transportasi. Kinerja pelayanan angkutan
masih rendah karena tingkat keselamatan yang masih kurang; masih
tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas dan angkutan baik angkutan
jalan, kereta api, angkutan penyeberangan, baik akibat kurangnya
disiplin SDM transportasi yang ada; serta kurangnya penegakan
peraturan maupun kondisi kelaikan kendaraan dan kondisi fasilitas
prasarananya.

Kondisi prasarana jalan menurun karena banyak yang


mengalami rusak berat pada tahun 1998/99 yaitu meningkat 27,0
persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan
oleh terjadinya pelanggaran muatan lebih di jalan yang
mempercepat perusakan jalan dari target umur teknisnya, selain
berkurangnya jumlah anggaran biaya untuk rehabilitasi dan

IV - 23
pemeliharaan prasarana jalan. Panjang jalan arteri dan kolektor yang
direhabilitasi dalam tahun 1998/99 hanya sepanjang 16.412
kilometer atau menurun 51 persen dari tahun sebelumnya.

Demikian pula pelayanan transportasi darat bagi angkutan


umum penumpang terjadi penurunan karena jumlah armada bus
pada tahun 1998/99 turun dari 724.395 unit menjadi 628.000 unit,
dimana kondisi armada bus yang laik dan siap operasi hanya sekitar
40 persen saja. Sedangkan untuk angkutan barang, pada tahun
1998/99 jumlah armada truk mengalami kenaikan sebesar 17 persen.

Sementara itu pelayanan angkutan perkeretaapian,


khususnya angkutan kereta api penumpang mengalami kenaikan 7
persen dalam tahun 1998/99 atau menjadi 169,6 juta. Sedangkan
untuk jumlah angkutan barang melalui kereta api mengalami
penurunan pada tahun 1998/99 sebesar 4 persen dari tahun
sebelumnya.

Keadaan transportasi laut pada tahun 1998/99 tercermin


pada kondisi armada dan angkutan laut baik angkutan barang
maupun penumpang untuk tujuan dalam dan luar negeri. Peran
armada nasional dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional
masih kecil, terutama masih terjadinya defisit neraca berjalan dalam
sub sektor transportasi laut karena porsi pelayanan armada nasional
yang terbatas. Pada tahun anggaran 1998/99 pangsa pasar armada

IV - 24
laut nasional baik dalam angkutan barang dalam negeri maupun luar
negeri masih rendah yakni 53,6 persen dan 3,9 persen.

Sementara itu dalam pengembangan prasarana fasilitas


pelabuhan, selama krisis prioritas utama adalah untuk merehabilitasi
dermaga yang rusak sehingga upaya pengembangan pelabuhan
terbengkalai seperti proyek untuk mengantisipasi kecenderungan
angkutan peti kemas yang pertumbuhannya jauh lebih besar dari
pertumbuhan angkutan konvensional. Selain itu untuk sarana dan
prasarana fasilitas keselamatan pelayaran masih banyak kekurangan
khususnya untuk penerapan global maritime distress and safety
system (GMDSS), dan sarana bantu navigasi seperti menara dan
rambu suar yang kebutuhannya meningkat, sejalan dengan
disetujuinya permohonan pemerintah Indonesia untuk menetapkan
tiga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) oleh sidang International
Maritime Organization (IMO) pada 19 Mei 1998.

Kondisi jasa pelayanan transportasi udara, sejak terjadinya


krisis telah mengalami penurunan dalam jumlah pengguna
transportasi udara baik domestik maupun ke luar negeri. Tahun
1998/1999 jumlah penumpang angkutan udara dalam negeri yang
diangkut oleh perusahaan penerbangan berjadwal menurun sebesar
36,6 persen. Penurunan yang terjadi pada angkutan barang mencapai
19,7 persen. Pada penerbangan internasional juga mengalami hal
yang sama di mana jumlah penumpang dan barang yang diangkut
oleh perusahaan penerbangan nasional menurun masing-masing

IV - 25
sebesar 31,9 persen dan 37,3 persen. Jumlah pesawat udara yang
melayani penerbangan berjadwal juga menurun cukup besar. Hal ini
disebabkan antara lain umur sebagian besar pesawat udara sudah
melampaui umur ekonomis dan memerlukan biaya pemeliharaan
yang cukup besar, pendapatan perusahaan tidak mampu memenuhi
kebutuhan operasional dan pemeliharaan yang meningkat sebagai
akibat biaya komponen impor yang cukup dominan, perusahaan
penerbangan tidak mampu untuk mengoperasikan pesawat-pesawat
yang sebagian besar disewa dari luar negeri.

Kondisi sarana dan prasarana operasional meteorologi dan


geofisika, pada tahun 1998/99 masih kurang dapat mendukung
kegiatan peramalan cuaca secara baik, karena banyak fasilitas dan
peralatan yang sudah melampaui umur ekonomis. Kondisi tersebut
mengakibatkan rendahnya akurasi peramalan cuaca.

Sedangkan kondisi kemampuan tindak awal kegiatan


pencarian dan penyelamatan dalam hal terjadinya kecelakaan
(SAR), pada tahun 1998/99 masih rendah, sehingga operasi
pencarian dan penyelamatan belum dapat dilakukan dengan optimal.
Penyebab utama adalah minimnya peralatan penyelamatan,
peralatan komunikasi, dan peralatan medis.

Selanjutnya, pembangunan prasarana ketenagalistrikan


diarahkan pada daerah yang memerlukan untuk menunjang kegiatan
ekonomi masyarakat. Hingga tahun 1998, daya terpasang
pembangkit tenaga listrik mencapai 35,4 ribu MW yang terdiri dari
pembangkit PLN sebesar 20,6 ribu MW, 651 MW dari listrik swasta
dan 14,5 ribu MW non-PLN. Dengan kapasitas yang ada, produksi

IV - 26
tenaga listrik pada tahun 1998 sebesar 77,8 juta MWh dan pada
tahun 1999 meningkat menjadi 84,3 juta MWh.

Namun secara nasional kemampuan penyediaan tenaga


listrik masih terbatas. Kondisi ketenagalistrikan, terutama di luar
Pulau Jawa, masih banyak mengalami masalah terutama dari segi
kontinuitas penyediaannya. Di beberapa tempat di Sumatera dan
Kalimantan, akibat kekurangan penyediaan perlu dilakukan
pemadaman bergilir. Untuk itu, pembangunan sarana
ketenagalistrikan terutama jaringan transmisi di Jawa dan
pembangkit skala besar seperti PLTA Musi di Sumatera masih
diperlukan. Penyediaan tenaga listrik terpengaruh oleh timbulnya
gangguan keamanan di berbagai daerah. Selanjutnya, PLN sebagai
perusahaan yang menyediakan prasarana tenaga listrik mengalami
permasalahan keuangan yang berat, terutama dengan adanya
kewajiban pembelian listrik swasta. Akibatnya pembangunan tenaga
listrik banyak yang tertunda. Selain itu, akibat kenaikan harga suku
cadang yang tajam, PLN terpaksa menurunkan bahkan menunda
kegiatan pemeliharaan, yang pada gilirannya telah menurunkan
kinerja penyediaan tenaga listrik.

Dalam hal pelayanan jasa telekomunikasi, krisis ekonomi


telah mengakibatkan terhambatnya pembangunan baru fasilitas
telekomunikasi, di samping tertundanya pengoperasian jasa-jasa
baru, serta terganggunya mutu pelayanan dan pelaksanaan
kerjasama operasi (KSO) yang melibatkan partisipasi swasta, baik
dalam maupun luar negeri. Sementara itu, pihak PT. Telkom dan
mitra KSO mesti mengubah Memorandum of Understanding
(MoU), antara lain penurunan kapasitas yang harus dibangun dari
1,8 juta satuan sambungan (ss) menjadi 1,3 juta ss saja. Dalam tahun
1998/99 hanya berhasil dibangun sentral telepon sekitar 0,5 juta ss
saja atau 42 persen dari yang ditargetkan. Di samping itu,
penyediaan fasilitas telepon umum belum mencapai 3 persen dari
jumlah telepon terpasang dan pembangunan oleh mitra KSO hanya
berhasil membangun 1,4 juta ss dari 1,8 juta ss yang ditargetkan
semula.

IV - 27
Pembangunan telematika telah mengalami kemajuan yang
cukup berarti, namun masih terdapat tumpang tindih kegiatan serta
belum optimalnya pendayagunaan prasarana teknologi informasi,
aplikasi, sumber daya manusia dan informasi yang ada. Hal ini
antara lain disebabkan belum adanya kebijakan dan pedoman
nasional yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pembangunan
telematika untuk meningkatkan efektivitas, produktivitas, dan
pelayanan kepada masyarakat.

6. Menata Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya


Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup

Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang dilaksanakan


pada masa lalu lebih mengutamakan peningkatan produksi guna
mengejar perolehan devisa negara, sehingga dalam mengeksploitasi
SDA dan lingkungan kurang memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi. Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya peranan dan
kesempatan kontrol masyarakat, penggunaan teknologi yang tidak
efisien, serta masih digunakannya pendekatan bernuansa perintah
dan pengendalian (command and control).

Untuk mendukung keberlanjutan SDA, diperlukan sistem


pengawasan dan pengendalian yang baik. Namun pada
kenyataannya kelembagaan konversi SDA hayati dan lingkungan
hidup belum optimal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kapasitas
sumber daya manusia (SDM) pengelola konversi SDA dan
lingkungan hidup karena belum mantapnya program pengembangan
SDM. Selain itu belum adanya kesamaan persepsi antara pihak-
pihak terkait dalam pengelolaan konservasi SDA dan lingkungan
hidup seperti LSM, perguruan tinggi dan dunia usaha. Hal lain yang

IV - 28
dianggap menjadi penyebab kerusakan SDA hayati dan
ekosistemnya dan penurunan kualitas lingkungan hidup selama ini
adalah lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan SDA dan
pemeliharaan lingkungan hidup.

Dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan keberadaan hak


ulayat, hak masyarakat hukum adat dan komunitas lokal lainnya di
kawasan hutan negara masih kurang mendapat perlindungan dan
pemberdayaan, baik dalam peraturan perundangan maupun dalam
peruntukan dan pemanfaatannya di lapangan selaras dengan asas
keadilan, keterpaduan dan kelestarian. Akibatnya pemanfaatan
sumberdaya hutan kurang memperoleh dukungan yang memadai
dari masyarakat yang kurang dilindungi hak-haknya, sehingga
mereka cenderung kurang merasa turut memiliki dan bertanggung
jawab terhadap upaya pelestarian sumberdaya hutan. Dampak yang
terjadi antara lain adalah terdegradasinya hutan akibat perambahan,
penjarahan dan kebakaran menjadi sulit dicegah dan ditanggulangi.

Akibat pemanfaatan sumberdaya hutan yang tak terkendali


telah terjadi kerusakan hutan yang diperkirakan mencapai 1 juta
sampai dengan 1,6 juta hektar per tahun. Selain itu, akibat konversi
lahan maupun hutan menjadi lahan pertanian yang berlebihan serta
terjadinya kebakaran hutan, menyebabkan bertambahnya luas hutan
rusak dan lahan kritis setiap tahun.

Di lingkungan perdesaan telah berlangsung alih fungsi lahan


yang cukup tinggi, yaitu dari lahan pertanian menjadi lahan bukan
pertanian. Sementara itu, kerusakan lahan oleh erosi dan
penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konversi tanah
dan air telah menimbulkan lahan kritis yang diperkirakan telah
mencapai 15 juta ha. Diperkirakan dengan bertambahnya jumlah

IV - 29
penduduk dengan beragamnya aktivitas manusia kerugian akibat
kerusakan lahan (erosi) akan semakin besar.

Kondisi lingkungan perkotaan juga mengalami penurunan


kualitas yang tajam yang disebabkan oleh peningkatan pencemaran
air, udara, dan tanah, baik yang berasal dari rumah tangga, industri
maupun transportasi. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa
pencemaran udara cenderung makin meningkat. Kondisi di beberapa
kota besar mengindikasikan bahwa parameter debu (TSP) telah
melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 260 ug/m3.
Masalah perkotaan lainnya adalah sampah perkotaan dan dari
jumlah tersebut hanya sekitar 40 persen yang dapat dimanfaatkan
kembali sedangkan sisanya menjadi sampah murni. Rendahnya
prasarana sanitasi lingkungan untuk limbah rumah tangga dan
sifatnya yang masih tradisional menyebabkan banyak sumber air
yang tercemar oleh bakteri koliform, di samping masih rendahnya
akses penduduk perkotaan terhadap air bersih (32 persen penduduk
perkotaan masih sulit mendapatkan akses air bersih).

Berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya dan ekosistem


laut, khususnya ekosistem terumbu karang dan kehidupan biota di
sekitarnya telah mengalami kerusakan yang tidak dapat dipulih
kembali. Hal ini terjadi pada sekitar 75 persen kawasan perairan
nasional sebagai akibat pengelolaan potensi sumberdaya laut yang
tidak ramah lingkungan. Adanya hubungan yang erat antara
rendahnya pendidikan dan peningkatan kebutuhan hidup yang tinggi
telah memberikan dampak yang merugikan dalam pengelolaan
sumberdaya alam, terutama sumberdaya laut. Kondisi tersebut
memerlukan penanganan khusus untuk tercapainya ambang batas
daya dukung yang diperlukan bagi kelestarian ekosistem terumbu
karang dan biota di sekitarnya. Selain itu, hutan bakau, padang
lamun, dan perairan dekat pantai banyak juga telah mengalami
kerusakan atau kemerosotan kualitas akibat dari penggunaan yang
melebihi daya dukung alam.

IV - 30
B. Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang
Dicapai

Setelah berlangsungnya Sidang Umum Majelis


Permusyawaratan Rakyat pada bulan Oktober 1999, Indonesia telah
memiliki sendi-sendi demokrasi yang lebih baik. Pelaksanaan
pemilu yang baru lalu mencerminkan semakin tegaknya kedaulatan
rakyat. Pemerintah memiliki legitimasi politik yang sangat kuat
sehingga stabilitas politik yang sangat penting bagi terlaksananya
pembangunan nasional mulai tercipta. Namun demikian, kerusakan
ekonomi yang ditimbulkan selama ini adalah sedemikian besarnya.
Sehingga meski telah memiliki dukungan situasi politik yang lebih
stabil dan langkah-langkah reformasi selama dua tahun terakhir
telah memberikan landasan bagi pemulihan ekonomi, akan
diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk dapat memulihkan tingkat
kesehatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada tingkat
sebelum krisis.

Namun demikian, sesuai dengan amanat GBHN 1999,


pemerintah bertekad untuk melaksanakan langkah-langkah penting
yang akan mempercepat proses pemulihan ekonomi. Bersamaan
dengan itu diupayakan langkah-langkah untuk memberikan landasan
yang lebih kuat bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Kedua sasaran ini antara lain bertujuan agar pemulihan ekonomi
berlangsung secara cepat dengan pilar pembangunan yang makin
kokoh dan menjadi landasan bagi pencapaian sasaran-sasaran
pembangunan berikutnya.

Dengan latar belakang permasalahan dan kondisi


perekonomian seperti telah diuraikan sebelumnya, kebijakan yang

IV - 31
diambil selama satu tahun terakhir diarahkan untuk menciptakan
iklim yang kondusif untuk pemulihan perekonomian, yaitu
menciptakan keadaan ekonomi makro yang stabil dan kondusif bagi
kegiatan usaha, meningkatkan kondisi perbankan yang sehat yang
dapat berperan dalam menyalurkan dana masyarakat kepada
investasi di sektor riil, dan mempercepat restrukturisasi utang dunia
usaha. Langkah-langkah tersebut didukung oleh berbagai langkah
deregulasi di bidang investasi dan perdagangan serta pemberdayaan
UKMK dalam rangka menggerakkan sektor riil. Selain itu, upaya-
upaya untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi
pengangguran lebih ditingkatkan lagi. Sedangkan dengan dana
pembangunan yang terbatas, maka pembangunan prasarana sangat
dibatasi, sebagian besar dana diarahkan pada kegiatan operasi dan
pemeliharaan dalam rangka mengefektifkan pemanfaatan prasarana
yang ada. Selanjutnya, menyadari pentingnya ketersediaan SDA
dan lingkungan hidup yang sehat bagi tercapainya pembangunan
yang berkelanjutan dan berkeadilan, secara bertahap upaya penataan
pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup lebih
ditingkatkan lagi menjadi bagian terpadu dalam pembangunan
nasional.

1. Menjaga Stabilitas Ekonomi Makro dan Meningkatkan


Pertumbuhan Ekonomi

Mengingat kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya


pulih dan masih rentan terhadap gejolak, maka upaya dalam
menjaga stabilitas ekonomi makro dipertahankan dalam upaya
mempercepat pemulihan ekonomi. Dalam kaitan itu, strategi utama
adalah mewujudkan kebijakan ekonomi makro dan mikro yang
konsisten, baik melalui kebijakan fiskal, moneter, maupun sektor
riil, dan didukung penciptaan stabilitas sosial dan politik.

IV - 32
Keseluruhan kebijakan tersebut harus saling melengkapi sehingga
menunjang pencapaian pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dalam
jangka menengah. Hal ini juga penting untuk mengatasi
meningkatnya unsur ketidakpastian antara lain sebagai akibat
semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan pasar
global dan diterapkannya sistem nilai tukar rupiah yang
mengambang bebas sejak Agustus 1997.

Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi terus berlanjut


pada triwulan pertama tahun 2000 didorong terutama oleh
membaiknya stabilitas politik dan keamanan meskipun konflik
sosial masih terjadi di beberapa daerah. Bersama-sama dengan
pelaksanaan kebijakan moneter, stabilitas politik dan keamanan
yang relatif membaik tersebut telah mendorong stabilitas harga dan
nilai tukar mata uang yang pada gilirannya mendorong kegiatan di
sektor riil dan ekspor (Lihat Tabel 1).

Dalam merumuskan kebijakan makro, baik di bidang fiskal


maupun moneter, diupayakan secara hati-hati dan terkoordinasi
dengan baik. Selama dua tahun terakhir, 1998 dan 1999, upaya
menstabilkan nilai rupiah dan menghindari hiperinflasi ditempuh
melalui kebijakan moneter yang ketat dengan sangat membatasi
pertumbuhan jumlah uang beredar. Sementara itu posisi penerimaan
dan pengeluaran negara dirancang untuk memberikan stimulus
fiskal agar perekonomian tidak merosot lebih jauh melalui kebijakan
defisit anggaran negara.

Secara keseluruhan, perkembangan ekonomi pada triwulan


pertama tahun 2000 dapat dilihat dengan membandingkannya

IV - 33
dengan triwulan sebelumnya (triwulan keempat tahun 1999) atau
dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya (triwulan pertama
tahun 1999). Perbandingan dengan triwulan pertama tahun 1999
dimaksudkan untuk melihat kemajuan yang dicapai dengan
mengeluarkan faktor musimannya. Dibandingkan dengan triwulan
yang sama tahun sebelumnya, perekonomian pada triwulan pertama
tahun 2000 tumbuh sebesar 3,2 persen. Sedangkan apabila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, perekonomian tumbuh
sebesar 2,0 persen.

Dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya,


hampir semua sektor dalam triwulan pertama tahun 2000 mengalami
pertumbuhan yang positif kecuali sektor pertanian dan
pertambangan. Sedangkan dibanding dengan triwulan sebelumnya,
pertumbuhan triwulan pertama tahun 2000 didorong oleh kenaikan
produksi di sektor pertanian, sektor bangunan, pengangkutan, dan
jasa-jasa. Triwulan pertama tahun 2000 yang merupakan musim
panen raya mampu mendorong sektor pertanian tumbuh sebesar
15,3 persen terutama dalam produksi tanaman bahan pangan dan
peternakan. Sedangkan pertumbuhan sektor industri pengolahan
menurun sebesar 1,1 persen terutama yang terjadi pada sub sektor
industri makanan dan minuman yang pada triwulan sebelumnya
produksinya meningkat sehubungan dengan persiapan hari raya Idul
Fitri, Natal, dan Tahun Baru yang lalu.

Sementara itu, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi


dalam triwulan pertama tahun 2000 digerakkan oleh semua unsur
permintaan yaitu konsumsi baik rumah tangga maupun pemerintah,
investasi, dan ekspor neto. Semua unsur permintaan ini mengalami
pertumbuhan positif baik dibanding dengan triwulan yang sama
tahun sebelumnya maupun triwulan keempat tahun 1999. Konsumsi
meningkat antara lain didorong oleh pengeluaran yang tertunda
(delayed consumption) sebagai hasil dari penerimaan bunga yang
tinggi tahun sebelumnya serta faktor musiman berkaitan dengan
perayaan Idul Fitri, relatif stabilnya perkembangan harga dan nilai
tukar mata uang. Dibandingkan triwulan sebelumnya, peningkatan

IV - 34
konsumsi pemerintah dalam triwulan pertama tahun 2000 yang
sekaligus merupakan triwulan terakhir pelaksanaan tahun anggaran
1999/2000 mencatat pertumbuhan yang tertinggi.

TABEL 1
INDIKATOR PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO
1998 – 2000 (TRIWULAN I)
1998 1999 1999 2000
D. E. G. I. J. K. L.
Indikator Trw. Trw. Trw. Trw. Trw.
F. H. III IV M.
I II I
O. P. Q. R. S. T. U.
N. Perkiraan Indikator Pokok
Laju Inflasi
Indeks Harga Konsumen 1) 77,6 4,1 -1,3 -2,6 1,9 2,0 1,92)
Nilai Tukar Rp/US$ Nominal 3) 8.025 8.788 7.697 7.609 7.142 7.809 7.9634)
Perubahan Kurs Rupiah Riil (%) 5)
Tahunan -2,9 4,2 -21,1 29,6 -16,9 -16,9 9,4
Terhadap Januari 1997 71,6 78,8 41,2 83,0 52,1 52,1 66,4
Suku Bunga Deposito 6 Bulan (%) 3) 36,8 29,4 28.,9 21,7 16,6 24,2 13,1
SBI 3 Bulan (%) 38,0 37,8 23,3 13,1 12,6 12,6 11,1
IHSG 6) 398 394 662 548 677 677 583
Pertumbuhan ekonomi (%) -13,0 -7,7 3,7 1,2 5,0 0,31 3 ,21
PDB Nominal Perkapita (US$) 515 - - - - 689 -
Transaksi Berjalan/PDB (%) 7) 4,3 - - - - 4,0 3,4
Surplus/Defisit APBN/PDB (%) 7) -2,2 - - - - -5,4 -3,2
Stok Utang Pemerintah/PDB (%) 7) 71,2 - - - - 97,6 99,5
Utang Luar Negeri 54,6 - - - - 52,9 51,68)
Utang Dalam Negeri 16,6 - - - - 44,7 47,9 9)
Neraca Pembayaran
Transaksi Berjalan
Pertumbuhan Ekspor Non migas (%) -3,6 -17,4 -10,2 -2,3 15,0 -4,6 26,9
Pertumbuhan Impor Non migas (%) -29,8 -16,7 -5,5 -13,0 2,5 -8,4 25,1
Arus Modal
Pemerintah (miliar US$) 10,0 3,5 1,2 0,6 0,1 5,4 -1,3
Swasta (miliar US$) 13,8 -2,9 -2,0 -2,7 -2,3 -9,9 -2,0
V. Sumbangan terhadap Pertumbuhan
Pertumbuhan Riil (%) -13,0 -7,7 3,7 1,2 5,0 0,3 3,2
Konsumsi -9,2 -6,0 3,0 0,9 4,0 0,2 2,5
Masyarakat -8,5 -5,6 2,7 0,8 3,7 0,2 2,3
Pemerintah -0,7 -0,4 0,3 0,1 0,3 0,0 0,2
Investasi (termasuk perubahan stok) -2,6 -1,1 0,5 0,2 0,6 0,0 0,4
Ekspor, Neto -1,2 -0,5 0,2 0,1 0,5 0,0 0,3
Ekspor -6,7 -2,6 1,3 0,4 1,8 0,1 1,1
Impor -5,4 -2,0 1,1 0,3 1,3 0,1 0,8

Pertumbuhan PDB (%) 10)


Pertanian -0,7 8,8 9,8 -6,2 -4,0 2,1 -8,5
Industri Pengolahan -11,4 -7,1 9,0 1,1 8,5 2,6 7,2
Non migas -13,1 -8,3 9,0 0,9 8,6 2,2 7,4
Lainnya -16,7 -12,6 -0,3 3,6 6,0 -1,2 5,5

Distribusi PDB (%) 10)


Pertanian 17,6 22,3 21,3 18,4 15,9 19,5 18,5
Industri Pengolahan 24,1 24,7 24,0 26,1 27,0 25,4 25,3
Non migas 20,8 22,1 21,4 22,9 23,5 22,5 22,3
Lainnya 58,4 53,0 54,7 55,5 57,1 55,1 56,2
1) angka laju inflasi triwulanan dihitung dengan membandingkan angka indeks harga konsumen triwulan bersangkutan
dengan triwulan sebelumnya.

IV - 35
2) angka triwulan II
3) rata-rata sederhana dari rata-rata tertimbang bulanan
4) sampai dengan bulan Juni minggu ke 3
5) tanda positif menunjukkan depresiasi dan tanda negatif menunjukkan apresiasi
6) angka akhir periode
7) tahun 1999 merupakan tahun anggaran 1999/2000 (1 April 1999 – 31 Maret 2000). Untuk tahun 2000 juga berlaku
1 April 2000 – 31 Desember 2000. Angka-angka tersebut masih merupakan perkiraan.
8) angka triwulan 1 tahun 2000 dihitung berdasarkan posisi utang LN pada tanggal 31 Maret 2000.
9) angka triwulan 1 tahun 2000 dihitung berdasarkan posisi utang DN tanggal 7 April 2000.
10) angka triwulanan dihitung dengan membandingkan angka-angka triwulan yang sama tahun sebelumnya

Dengan kegiatan investasi dan ekspor yang sangat rendah


pada triwulan yang sama tahun sebelumnya, unsur permintaan yang
tumbuh pesat dalam triwulan pertama tahun 2000 adalah investasi
dan ekspor. Namun meskipun tumbuh tinggi peningkatan investasi
tersebut terutama didorong oleh investasi dalam negeri yang tidak
memiliki ketergantungan besar terhadap kredit perbankan dan utang
luar negeri. Dalam kegiatan ekspor, selain didorong oleh kinerja
yang mulai membaik pada sektor industri pengolahan dan pertanian,
meningkatnya ekspor dalam triwulan pertama tahun 2000 juga
didorong oleh tingginya harga minyak di pasar internasional.
Membaiknya kinerja ekspor ini selanjutnya mendorong impor baik
berupa bahan baku, barang setengah jadi, barang modal, dan barang
konsumsi. Keseluruhan kinerja ekonomi dalam triwulan pertama
tahun 2000 menunjukkan bahwa proses pemulihan ekonomi terus
berlangsung meskipun masih diliputi oleh suasana ketidakpastian
sebagai gambaran dari stabilitas politik dan keamanan yang belum
sepenuhnya terwujud.

Sementara itu, di bidang fiskal, kebijakan selama krisis


adalah menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai
sebagian besar defisit anggaran agar tidak menambah tekanan
inflasi. Pada saat pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional
IV - 36
terbentuk, aliran pembiayaan tersebut dalam keadaan terhenti. Oleh
karena itu, termasuk sebagai langkah utama di bidang fiskal adalah
memulihkan kembali hubungan dengan lembaga-lembaga
internasional. Langkah ini telah memungkinkan peningkatan
penyerapan dana luar negeri dari sekitar 38,7 persen nilai APBN-nya
sampai dengan triwulan III 1999/2000 menjadi 56,4 persen sampai
dengan triwulan IV. Hal ini merupakan bagian dari upaya
menggunakan kebijakan fiskal untuk meringankan beban krisis dan
mendongkrak kegiatan perekonomian nasional

Namun, pada saat yang bersamaan, disadari bahwa cara


pembiayaan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus.
Oleh karena itu, secara bertahap kebijakan fiskal beralih dari
stimulus fiskal kepada pewujudan kemampuan fiskal yang
berkelanjutan (fiscal sustainability). Langkah ini memerlukan
peningkatan efektivitas pengelolaan keuangan negara.

Di sisi penerimaan negara, peningkatan efektivitas tersebut


diwujudkan dengan pembenahan administrasi perpajakan, insentif
perpajakan, dan tarif perpajakan serta meningkatkan transparansi
pemungutan pajak dan mengurangi dana-dana off-budget.

Pembenahan administrasi perpajakan ditempuh dengan


memperbaiki audit dan penetapan sasaran untuk wajib pajak yang
besar melalui pengelompokan wajib pajak baik perusahaan maupun
perorangan ke dalam 4 kategori. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas pengumpulan pajak.

Pembenahan insentif perpajakan dilakukan dengan


mengganti tax holiday yang berlaku sejak Januari 1999 dengan
investment tax allowances. Di samping itu, juga dihapuskan
berbagai kemudahan perpajakan pada kawasan pengembangan
ekonomi terpadu (Kapet). Dengan langkah-langkah tersebut, basis
pajak akan menjadi semakin luas.

Pembenahan tarif perpajakan terutama ditujukan pada


kepabeanan dan cukai. Tarif bea masuk barang-barang modal

IV - 37
dirasionalisasikan, namun dengan mengurangi pengecualian
kewajiban pajak dan peningkatan transparansi dalam pemberian
pengecualian tersebut. Langkah ini diharapkan memberikan insentif
bagi investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan potensi
pajak, namun tanpa mengorbankan penerimaan negara secara tidak
perlu. Potensi pajak juga ditingkatkan dengan memperluas basis
pajak melalui pengenaan pajak sebesar 5 persen secara merata (flat)
terhadap semua barang yang sebelumnya dikecualikan dari pajak.
Untuk cukai, langkah yang ditempuh adalah dengan mengurangi
distorsi pemberian cukai dengan cara menyederhanakan struktur
cukai hasil tembakau. Langkah ini juga dimaksudkan untuk
meningkatkan pemenuhan kewajiban pajak produsen rokok.

Pemenuhan kewajiban pajak secara umum didorong pula


dengan transparansi kinerja kantor pajak melalui audit kantor-kantor
tersebut oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Langkah ini juga dimaksudkan untuk menurunkan
kebocoran-kebocoran dalam penerimaan pajak.

Di samping upaya meningkatkan penerimaan negara,


ditempuh pula upaya-upaya untuk mengamankan penerimaan
tersebut. Untuk itu dilaksanakan konsolidasi rekening-rekening off-
budget ke dalam APBN. Melalui Instruksi Presiden, departemen
diharapkan melaporkan rekening-rekening off-budget kepada
Menteri Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pengkajian
secara menyeluruh terhadap rekening-rekening tersebut untuk
kemudian dialihkan ke dalam APBN. Di samping itu, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan BPKP telah mulai memasukkan
semua biaya ekstra budgeter dalam audit lembaga-lembaga publik,
termasuk militer.

Di sisi pengeluaran negara, peningkatan efektivitas


pengelolaan pengeluaran negara dimulai dari perencanaan hingga
tahap pemantauan pelaksanaannya. Dalam perencanaan, prioritas
IV - 38
pengeluaran dipertajam pada hal-hal yang memang harus
dilaksanakan oleh pemerintah serta bersifat penting dan mendesak,
termasuk di dalamnya upaya untuk meringankan beban rakyat
miskin melalui program jaring pengaman sosial (JPS). Untuk
meningkatkan efektivitas program ini, peran serta masyarakat terus
ditingkatkan baik melalui LSM-LSM maupun setiap anggota
masyarakat secara langsung melalui unit-unit pengaduan masyarakat
yang ada di daerah.

Upaya meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan


negara secara lebih luas dilakukan dengan pelaksanaan
desentralisasi. Dengan mendekatkan pengambilan keputusan dengan
rakyat setempat, maka diharapkan langkah-langkah kebijakan
pemerintah akan lebih sesuai dengan aspirasi dan kondisi rakyat.

Sebagai upaya memperlancar pelaksanaan desentralisasi,


pemerintah telah menunjuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan membentuk dua sekretariat, yaitu
Sekretariat Bidang Otonomi Daerah dan Sekretariat Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Konsultasi mengenai
pelaksanaan desentralisasi ini dilakukan dengan berbagai kalangan
mulai dari pemerintah daerah, lembaga-lembaga keuangan
internasional maupun dialog dengan masyarakat secara luas.

Untuk langkah-langkah yang lebih khusus termasuk


penyiapan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian
fungsi antara pemerintah pusat dan daerah, mengenai
tanggungjawab yang tumpang tindih, restrukturisasi pemerintah
pusat, restrukturisasi pemerintah daerah, pemindahan pegawai

IV - 39
negeri sipil (PNS) dari pusat ke daerah serta manajemen keuangan
dan perimbangan keuangan.

Dalam upaya menekan peningkatan jumlah utang luar


negeri, pemerintah telah mengkaji ulang dan meninjau kembali
penggunaan pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri digunakan
hanya untuk membiayai investasi yang sangat mendasar, mendesak,
dan dapat memberikan manfaat secara langsung bagi rakyat, serta
terutama bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu,
proyek-proyek pembangunan yang sudah disepakati pendanaannya
melalui pinjaman luar negeri dan pada saat ini sedang dalam tahap
pelaksanaan namun menemui hambatan-hambatan ataupun
kinerjanya buruk maka proyek tersebut dibatalkan atau ditunda.
Kemudian, pinjaman-pinjaman baru oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah, disesuaikan dengan kemampuan anggaran
untuk membayar kembali dan penggunaannya lebih diarahkan untuk
kegiatan ekonomi yang produktif dan dilaksanakan secara
transparan, efektif, dan efisien.

Dalam sidang CGI pada tanggal 2-3 Pebruari 2000 di


Jakarta yang dihadiri pula oleh Portugal (sebagai Ketua Masyarakat
Ekonomi Eropa), Belanda dan LSM-LSM sebagai peninjau, para
peserta sepakat bahwa sidang kali ini sangat penting artinya bagi
rakyat Indonesia serta negara dan lembaga donor. Untuk tahun 2000
(April-Desember 2000), disetujui pledge sebesar US$ 4,7 miliar.
Berdasarkan sumbernya, US$ 2,0 miliar berasal dari sumber
IV - 40
bilateral dengan US$ 429,6 juta berupa hibah dan US$ 2,7 miliar
berasal dari sumber multilateral dengan US$ 106,0 juta berupa
hibah. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Jepang, Bank Dunia
dan Bank Pembangunan Asia tetap merupakan donor terbesar.
Selanjutnya, berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan,
pada tahun 2000, pemerintah melalui Keppres No. 64/2000
mengubah status 27 (dua puluh tujuh) proyek yang semula
ditangguhkan atau dikaji ulang menjadi “dapat dilanjutkan”, di
antaranya 7 (tujuh) proyek yang dibiayai fasilitas kredit ekspor.

Sampai dengan akhir Maret 2000, posisi utang luar negeri


Indonesia tercatat sebesar US$ 144,3 miliar atau mengalami
penurunan sebesar US$ 3,8 miliar dibandingkan posisi akhir tahun
1999. Posisi pinjaman pemerintah menurun sebesar US$ 0,7 miliar,
sementara posisi pinjaman luar negeri dunia usaha mengalami
sedikit penurunan sebesar US$ 2,9 miliar.

Untuk menurunkan beban pembayaran pinjaman luar negeri


sementara pada masa krisis antara lain diupayakan penjadwalan
kembali (rescheduling) utang pemerintah, terutama melalui
kesepakatan Paris Club. Melalui Paris Club II telah disepakati
penjadwalan kembali pembayaran utang Indonesia hingga Maret
2002 senilai US$ 5,9 miliar dan jatuh temponya berjangka waktu 20
tahun. Di samping melalui Paris Club II, juga dilakukan
penjadwalan kembali utang komersial pemerintah sejumlah US$
300 juta untuk tahun anggaran 2000 melalui London Club.

Sementara itu, untuk mengkoordinasikan, meng-


administrasikan, dan mengelola utang-utang pemerintah berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 101/KMK 017/2000
tertanggal 31 Maret 2000, dibentuk unit manajemen utang (Debt
Management Unit). Unit ini bertugas untuk melakukan pengkajian,
perumusan, dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah, serta

IV - 41
menyediakan data informasi dan pelaporan yang berkaitan dengan
penerbitan dan pengelolaan surat utang pemerintah. Pemerintah juga
membentuk unit monitoring (Monitoring Unit) yang bertugas untuk
memonitor secara terus menerus bank-bank yang telah
direkapitalisasi. Unit ini mulai bertugas pada tanggal 1 Juli 2000.

Kemudian dalam rangka rekapitalisasi perbankan nasional,


pemerintah menerbitkan obligasi sebagai salah satu sumber
pendanaannya. Perdagangan obligasi pemerintah ini telah dimulai
sejak 1 Pebruari 2000 dan merupakan langkah awal menuju
terciptanya pasar obligasi pemerintah. Sejauh ini minat masyarakat
terhadap obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah masih kurang.
Kurang diminatinya obligasi pemerintah antara lain karena suku
bunga yang kurang menarik dibandingkan suku bunga yang
ditawarkan oleh obligasi swasta, serta belum berkembangnya pasar
sekunder sehingga obligasi pemerintah tidak likuid dan resiko
investor menjadi lebih tinggi.

Sementara itu, dalam kebijakan moneter, arah yang dituju


adalah pencapaian kestabilan nilai rupiah yang diperlukan guna
mendukung proses pemulihan ekonomi nasional. Dengan nilai tukar
rupiah yang mengambang, upaya tersebut lebih difokuskan kepada
pencapaian sasaran tunggal laju inflasi. Secara operasional,
kebijakan ini diterapkan secara konsisten melalui pengendalian uang
primer.

Pada akhir triwulan IV tahun 1999 terjadi pelampauan


sasaran uang primer yang cukup besar yang bersifat sementara
sebagai akibat uang kartal yang didorong oleh kekhawatiran
menghadapi Masalah Komputer Tahun 2000 (Y2K) dan faktor
musiman (hari raya keagamaan), dan pada awal triwulan I tahun
2000 antara lain akibat meningkatnya rekening pemerintah dari
penerimaan hasil minyak dan pajak. Namun demikian pada bulan-
IV - 42
bulan berikutnya pertambahan jumlah uang primer dapat
dikendalikan.

Konsistensi pelaksanaan kebijakan moneter telah membawa


besaran-besaran moneter ke arah sasaran yang ditentukan.
Terkendalinya pertumbuhan besaran-besaran moneter memberikan
landasan bagi tercapainya kestabilan nilai rupiah, yang secara
berangsur-angsur telah pulih, setelah mengalami tekanan yang berat
dalam tahun sebelumnya. Secara umum, laju inflasi menurun tajam,
sementara nilai tukar rupiah semakin stabil dan cenderung menguat.
Dengan pencapaian stabilitas nilai rupiah tersebut, upaya
menurunkan suku bunga dapat terus dilanjutkan guna lebih
mendorong pemulihan ekonomi. Di samping itu, kemajuan yang
dicapai dalam memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem
perbankan turut menciptakan iklim yang kondusif bagi tercapainya
kestabilan nilai rupiah.

Namun demikian, beberapa perkembangan yang terjadi


khususnya pada triwulan kedua tahun 2000, telah menimbulkan
tekanan-tekanan yang cukup kuat terhadap kestabilan nilai rupiah.
Pada triwulan kedua tahun ini, tekanan tersebut menyebabkan upaya
penurunan suku bunga menjadi sempat tertahan. Nilai tukar rupiah
yang sebelumnya berangsur-angsur menguat, kembali melemah
sehubungan dengan terjadinya perkembangan eksternal seperti
kenaikan suku bunga Fed Fund oleh Federal Reserve Bank dan
perkembangan kondisi sosial politik dalam negeri serta tertundanya
bantuan IMF. Bersamaan dengan itu, laju inflasi mengalami
peningkatan, terutama didorong oleh melemahnya nilai rupiah dan
ekspektasi masyarakat atas kenaikan harga beberapa barang yang
dikendalikan oleh pemerintah (administered prices).

Untuk menghadapi tekanan tersebut, kebijakan moneter


Bank Indonesia tetap difokuskan kepada upaya pencapaian
kestabilan nilai rupiah yang diperlukan guna mendukung proses
pemulihan ekonomi nasional. Selain dengan tetap mengendalikan
likuiditas di pasar uang, Bank Indonesia juga secara temporer dan
berhati-hati melakukan intervensi di pasar valas. Pengendalian

IV - 43
likuditas diterapkan melalui pengendalian uang primer sebagai
sasaran operasional. Di samping pencapaian sasaran uang primer,
pengendalian likuiditas juga memperhatikan pencapaian sasaran
faktor-faktor yang mempengaruhi uang primer yaitu aktiva domestik
bersih (net domestic assets/NDA) dan posisi cadangan devisa bersih
(net international reserves/NIR) yang harus selalu berada di atas
batas bawah (floor). Dalam kaitan itu, jumlah uang primer untuk
bulan Mei dan Juni 2000 yang lebih tinggi daripada indikatif target,
perlu diwaspadai.

Pengendalian besaran moneter terutama ditempuh melalui


lelang SBI dan intervensi langsung di pasar uang rupiah (intervensi
rupiah) yang berfungsi efektif sebagai instrumen operasi pasar
terbuka (OPT). Selain itu, sterilisasi di pasar valuta asing dilakukan
untuk menyerap kembali pengeluaran pemerintah yang berasal dari
pinjaman luar negeri. Di samping membantu OPT dalam
mengendalikan ekspansi moneter, kebijakan sterilisasi juga
membantu mengurangi fluktuasi nilai tukar rupiah. Untuk dapat
memberikan efek kontraksi yang cukup besar, Bank Indonesia telah
menaikkan suku bunga SBI secara bertahap dari 10,91 persen pada
akhir Maret 2000 menjadi 12,33 persen pada akhir Juni 2000 dalam
rangka Operasi Pasar Terbuka (OPT).

Upaya kontraksi moneter melalui OPT telah meningkatkan


posisi SBI sebesar Rp 79,6 triliun dan intervensi rupiah sebesar Rp
21,8 triliun pada akhir Juni 2000. Biaya pengendalian moneter
berupa pembayaran bunga telah mencapai sekitar Rp 1 triliun per
bulan. Meningkatnya biaya OPT akibat belum pulihnya fungsi
intermediasi perbankan. Pulihnya fungsi perbankan tersebut perlu
segera diupayakan karena ekspansi uang primer akan segera
bersumber dari pembayaran bunga obligasi dalam rangka
rekapitalisasi perbankan.

Dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia


sebagai bank sentral, UU No. 23 tahun 1999 menetapkan Bank
Indonesia sebagai lembaga negara yang independen dengan tujuan

IV - 44
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai
tujuan tersebut Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan
sasaran dan pilihan instrumen kebijakan yang dapat digunakan.
Selain itu, untuk mengurangi kebocoran moneter, Bank Indonesia
dilarang memberikan kredit kepada pemerintah dan tugas pemberian
kredit program dialihkan kepada badan usaha milik negara (BUMN)
yang ditunjuk oleh pemerintah. Berkaitan dengan pengalihan kredit
program tersebut, sejak 16 November 1999 fungsi pemberian kredit
program dialihkan kepada tiga BUMN yang ditunjuk oleh
pemerintah, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan
Negara (BTN), dan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM).

Dengan konsistensi kebijakan yang ditempuh selama tahun


1999-2000, khususnya dalam mengendalikan likuiditas
perekonomian sedemikian rupa sehingga tidak melebihi kebutuhan
riilnya, tekanan laju inflasi dari sisi permintaan mengalami
penurunan. Selama enam bulan pertama tahun 2000, inflasi
mencapai 2,86 persen. Kenaikan tingkat inflasi ini terutama terjadi
pada bulan Januari 2000 (1,3 persen), yaitu ketika beberapa
perayaan hari raya keagamaan terjadi pada saat yang hampir
bersamaan, dan bulan Mei 2000 (0,8 persen) yang terutama
disebabkan oleh tekanan harga dari kelompok perumahan dan
transportasi.

Di sisi neraca pembayaran, berbagai kebijakan perdagangan


luar negeri yang diambil oleh pemerintah memberikan hasil-hasil
yang cukup menggembirakan. Selama semester I tahun 2000, net
ekspor barang dan jasa relatif beranjak naik bila dibandingkan
semester sebelumnya. Peningkatan total ekspor tersebut terutama
didorong ekspor migas sejalan dengan kenaikan harga minyak di
pasar intemasional, yang rata-rata selama 6 bulan pertama tahun
2000 mencapai sekitar US$ 26/barel dan kenaikan ekspor produk
industri pengolahan, khususnya elektronik. Sementara itu, nilai

IV - 45
ekspor gas pada semester I tahun 2000 diperkirakan mengalami
penurunan sebagai dampak meningkatnya persaingan di pasar LNG.

Sejalan dengan perkembangan ekspor dan impor, transaksi


berjalan dalam semester I tahun 2000 diperkirakan masih mencatat
surplus, sementara di sisi neraca modal mengalami defisit. Namun
secara keseluruhan neraca pembayaran mengalami surplus, sehingga
dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa meningkat
dan mencapai US$ 27,24 miliar pada 19 Juni 2000 yang jauh
meningkat dibandingkan minggu keempat bulan Juni 1998 US$
18,99 miliar atau US$ 26,89 miliar pada bulan Juni 1999.

2. Mempercepat Restrukturisasi Perbankan dan


Perusahaan

Upaya mempercepat pemulihan ekonomi memerlukan


penuntasan restrukturisasi perbankan dan perusahaan, yang
ditempuh melalui 4 langkah utama.

Pertama, mengembalikan kepercayaan masyarakat pada


sektor perbankan nasional melalui program penjaminan kewajiban
bank umum. Program penjaminan bersifat sementara dan diarahkan
untuk digantikan dengan suatu lembaga penjaminan.

Kedua, membentuk perbankan yang sehat yaitu bank-bank


yang beroperasi memiliki modal yang cukup dengan pengelolaan
IV - 46
yang sesuai dengan standar internasional dan memiliki daya saing
global. Hal ini dilaksanakan melalui program restrukturisasi dan
penyehatan perbankan.

Ketiga, menggerakkan kembali sektor riil melalui perbaikan


struktur pembiayaan perusahaan agar dapat dikembalikan ke sektor
perbankan. Hal ini dilaksanakan melalui program restrukturisasi
utang macet perusahaan dan pengembalian utang lancar ke pasar dan
perbankan. Dengan demikian akan terjadi pergerakan kembali sektor
riil yang didukung oleh pemenuhan fasilitas modal kerja dari
perbankan.

Keempat, mengembalikan sebagian utang negara yang


dipergunakan untuk restrukturisasi perbankan. Hal ini dilaksanakan
melalui program divestasi aset yang dimiliki oleh BPPN sebagai
salah satu sumber pembiayaan APBN. Proses divestasi ini
memerlukan upaya untuk menarik minat investor asing terhadap
aset nasional mengingat kemampuan investor domestik yang masih
terbatas.

Program penjaminan kewajiban bank umum telah berhasil


meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sempat menurun. Dana
masyarakat di perbankan nasional, khususnya simpanan berjangka
rupiah, yang sempat merosot dari Rp 137,5 triliun pada Oktober
1997 menjadi Rp 125,7 triliun pada Desember 1997, dapat kembali
dan terus meningkat menjadi Rp 293,7 triliun pada bulan Oktober
1999. Seiring dengan tercapainya stabilitas ekonomi, meskipun
dengan tingkat suku bunga yang cenderung menurun, jumlah
simpanan berjangka rupiah di perbankan masih meningkat menjadi
Rp 301,9 triliun pada bulan Mei 2000.

Program restrukturisasi perbankan pada tahun anggaran


2000 ini mencakup rekapitalisasi empat bank pemerintah untuk
mencapai CAR sebesar 4 persen, rekapitalisasi Bank Take Over
(BTO) dan mulai memprivatisasi BTO. Langkah-langkah yang telah
dilakukan pemerintah adalah: pertama, mengganti manajemen
utama BNI pada bulan Pebruari 2000 sebagai persyaratan untuk

IV - 47
melakukan rekapitalisasi BNI; kedua, melakukan rekapitalisasi BNI
sesuai dengan kontrak kerja yang diharapkan berakhir Juni 2000;
ketiga, merekapitalisasi Bank Mandiri yang telah diselesaikan pada
bulan Maret 2000. Sementara itu rekapitalisasi BRI hingga Juni
2000 mengalami penundaan, karena belum terbentuknya
manajemen BRI yang baru. Setiap rencana rekapitalisasi bank-bank
tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR. Dalam kaitan itu,
Bank Take Over lainnya yaitu Bank Niaga telah direkapitalisasi pada
akhir Mei 2000 melalui penerbitan obligasi pemerintah sebesar Rp
9,5 triliun. Kemudian, rencana merger 8 BTO ke Bank Danamon
diharapkan selesai pada akhir tahun 2000. Untuk keperluan tersebut
Bank Danamon telah mendapatkan tambahan dana rekapitalisasi
sebesar Rp 28,9 triliun pada bulan Juni 2000.

Sementara itu, dalam rangka membenahi peraturan dan


perundang-undangan yang terkait dengan perbankan, Bank
Indonesia mulai menerapkan master plan untuk memperbaiki sistem
pengawasan dan peraturan perbankan pada akhir tahun 2001, dengan
dibantu staf ahli internasional. Sistem ini secara berkala akan
memonitor seluruh rencana perbankan dan kondisi keuangan dari
seluruh bank swasta, termasuk tujuh bank yang direkapitalisasi
melalui dana publik. Master plan juga memfokuskan pada perbaikan
kualitas dan ketepatan waktu pelaporan data dari tiap-tiap bank.

Bank Indonesia juga sedang membenahi kerangka peraturan


perbankan. Kerangka ini dikembangkan untuk mengawasi kondisi
perbankan nasional apabila dalam kesulitan. Di samping perbaikan
peraturan dan pengawasan perbankan, pemerintah juga memperbaiki
peraturan pada lembaga keuangan bukan bank seperti: perusahaan
dana pensiun dan asuransi, lembaga pembiayaan dan pasar modal.

Kondisi tujuh bank rekapitalisasi yaitu Bank Internasional


Indonesia, Bank Lippo, Bank Universal, Bank Patriot, Bank
Artamedia, Bank Prima Ekspres dan Bukopin per April 2000, telah
meningkat yang tercermin dari kenaikan Capital Adequacy Ratio
menjadi 10,1 persen pada bulan April 2000. Selain itu Non

IV - 48
Performing Loan (NPL) pada bulan Mei 2000 turun menjadi 27,5
persen, lebih rendah dibandingkan bulan Maret 2000. Dengan
demikian, program rekapitalisasi perbankan yang dilaksanakan
pemerintah diharapkan dapat membantu program pemulihan
perekonomian Indonesia secara cepat.

Untuk mempercepat dan meningkatkan koordinasi


pelaksanaan restrukturisasi perbankan dan perusahaan telah
dibentuk Komisi Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai
oleh Menko Ekuin pada bulan Januari 2000. Tugas utama KKSK
adalah merumuskan arah kebijakan bagi penyehatan perbankan dan
restrukturisasi utang baik di BPPN maupun di Prakarsa Jakarta.

Prinsip utama dari langkah kebijakan restrukturisasi utang


perusahaan adalah mencapai penerimaan dana yang seoptimal
mungkin. Terdapat empat langkah kebijakan berkaitan dengan
restrukturisasi utang perusahaan. Pertama, berupaya untuk
menghindari pengambilalihan beban utang perusahaan oleh
pemerintah, karena hal ini dikhawatirkan akan meningkatkan biaya
pemulihan ekonomi dan mendorong perilaku tidak hati-hati (moral
hazard) dari perusahaan. Kedua, melaksanakan restrukturisasi utang
secara transparan dan tegas, dengan mekanisme pasar dan prinsip
non-diskriminatif, misalnya dengan cara memilih perusahaan-
perusahaan yang memiliki prospek pada masa mendatang. Ketiga,
menciptakan lingkungan kondusif bagi tercapainya kesepakatan
yang menguntungkan bagi pihak kreditur dan debitur, misalnya
dengan cara memperkuat kelembagaan Prakarsa Jakarta, BPPN dan
Pengadilan Niaga, dan instrumen pendukungnya; dan memastikan
proses kepailitan dengan memperbaiki proses peradilan niaga.
Keempat, menggunakan jasa lembaga lainnya (outsourcing),
misalnya dengan bantuan perbankan nasional untuk menangani
pinjaman-pinjaman yang nilainya kecil, namun jumlahnya banyak.

Berkaitan dengan langkah-langkah kebijakan yang telah


disusun di atas, maka telah diluncurkan berbagai peraturan dan
keputusan pemerintah yang berkaitan dengan restrukturisasi utang
perusahaan, antara lain KKSK meluncurkan keputusan yang

IV - 49
menjadi acuan strategis dalam pelaksanaan mediasi Prakarsa Jakarta
dan restukturisasi utang BPPN misalnya pembuatan prosedur yang
berkaitan dengan batas waktu pengembalian utang perusahaan dan
pengurangan jumlah utang (pokok dan bunga) terhadap perusahaan-
perusahaan yang berada dalam pemantauan BPPN; restrukturisasi
utang perusahaan BPPN di atas Rp 1 triliun; serta merekomendasi-
kan dilakukannya tindakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan
yang mangkir dalam membayar utang.

Selain penuntasan rekapitalisasi perbankan, juga ditempuh


langkah penyelesaian restrukturisasi utang perusahaan oleh BPPN
dan penjualan aset untuk menutup biaya penyehatan perbankan.
Hingga awal Juli 2000, jumlah keseluruhan pinjaman debitur yang
ditangani oleh BPPN mencapai sekitar Rp 280,9 triliun dengan
jumlah debitur sebanyak 136.052. Komposisinya terdiri dari
kelompok peminjam di atas Rp 50 miliar mencapai 82,6 persen nilai
pinjaman dengan jumlah debitur 1813; kelompok peminjam di
antara Rp 5 miliar sampai dengan Rp 50 miliar mencapai 12,1
persen dengan jumlah debitur 2.089; kelompok peminjam di antara
Rp 1 miliar sampai dengan Rp 5 miliar mencapai 1,9 persen dengan
jumlah debitur 2.216; dan terakhir kelompok peminjam lebih kecil
dari Rp 1 miliar mencapai 3,4 persen dengan jumlah debitur
129.934.

Dalam menangani restrukturisasi hutang debitur, unit Asset


Management Credit (AMC) di BPPN mengimplementasikan 8
(delapan) langkah restrukturisasi yaitu pertama, negosiasi awal;
kedua, penandatanganan stand still agreement; ketiga, penunjukkan
advisor/konsultan yang diperlukan; keempat, pelaksanaan due
diligence/pengumpulan data dan informasi; kelima, pelaksanaan
negosiasi restrukturisasi; keenam, penerimaan proposal
restrukturisasi; ketujuh, proses implementasi, dan kedelapan,
proses pembayaran. Sedangkan untuk menangani kewajiban dari
pemegang saham bank-bank yang dibekukan/diambil alih, langkah-
langkah yang dilaksanakan oleh Asset Management Investment
(AMI) BPPN terhadap 13 BTO/BBO dan 39 BBKU adalah

IV - 50
melakukan negosiasi dengan pemegang saham bank tersebut untuk
menghasilkan kesepakatan dalam Perjanjian Kewajiban Pemegang
Saham (PKPS) yang intinya meminta pembayaran kembali atas
hutang-hutang bank kepada negara.

Dalam pelaksanaan restrukturisasi utang hingga Juni 2000


BPPN telah menyelesaikan 35 persen restrukturisasi utang 21
obligor terbesar dengan total utang sebesar Rp 87,4 triliun. Secara
keseluruhan jumlah debitur yang telah masuk dalam tahap akhir
restrukturisasi (tahap 6,7,8) hingga Juni 2000 adalah 91 debitur
untuk 21 obligor atau 285 debitur untuk seluruh obligor. Terkait
dengan hutang debitur komersial telah dilaksanakan proses
outsourcing. Untuk penanganan pinjaman di bawah Rp 5 miliar,
KKSK telah menyetujui penghapusan denda dan bunga sebesar 100
persen bagi para debitur yang mempunyai insentif untuk melakukan
pembayaran.

Dalam hal pemulihan aset BPPN pada tahun anggaran 2000,


BPPN diharapkan menyetor dana sebesar Rp 18,9 triliun kepada
APBN. Pada tahun anggaran 1999/2000 BPPN berhasil memperoleh
dana sebesar Rp 18,0 triliun, terdiri dari dana kas sebesar Rp 13,8
triliun dan Rp 4,2 triliun berupa pengurangan stok obligasi
rekapitalisasi, melampaui target APBN sebesar Rp 17,1 triliun.
Untuk mencapai target tersebut, di samping melaksanakan
penyelesaian utang terhadap debitur yang besar, BPPN juga telah
mengusahakan penjualan aset yang dimilikinya melalui pelelangan
terbuka di pasar modal seperti penjualan sekitar 40 persen saham
Astra pada bulan April 2000, penjualan 22,5 persen saham BCA
pada bulan Mei 2000, penjualan berbagai aset non inti seperti
kendaraan bergerak, properti, dan sebagainya serta penjualan
perusahaan yang telah direstrukturisasi.

Untuk meningkatkan transaparansi dan akuntabilitas BPPN,


pada bulan Juli 2000 telah ditetapkan badan pengawasan (oversight
body) BPPN, yang anggotanya terdiri dari berbagai kalangan
independen ditambah kepala BPPN sebagai anggota ex-officio.
Selain itu, BPPN juga telah menerbitkan audit laporan

IV - 51
rekening/pembukuan BPPN untuk tahun 1999 dengan hasil audit
disclaimer. Dengan hasil tersebut maka berbagai langkah
pembenahan harus dilakukan untuk memberikan hasil audit yang
lebih baik di masa depan.

Dalam kaitannya dengan restrukturisasi utang melalui


mediasi Prakarsa Jakarta, sampai dengan bulan Juli 2000, KKSK
telah mengalihkan delapan perusahaan dengan utang yang besar
untuk dimediasi di dalam Prakarsa Jakarta. Delapan perusahaan
tersebut telah melakukan negosiasi dengan kreditur dalam batas
waktu dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Prakarsa
Jakarta. Sampai dengan akhir Juli 2000, jumlah debitur skala
korporasi yang ditangani adalah 45 perusahaan dengan nilai utang
sekitar US$ 10,4 miliar. Sedangkan jumlah kasus korporasi yang
telah selesai direstrukturisasi per periode yang sama adalah 21
debitur dengan nilai utang sekitar US$ 5 miliar. Di samping itu,
jumlah kasus usaha kecil dan menengah yang ditangani Prakarsa
Jakarta adalah 456 kasus dengan total nilai utang sekitar US$ 342
juta. Dan untuk kasus usaha kecil dan menengah tersebut, 87 kasus
telah mencapai kesepakatan dengan nilai utang sekitar US$ 41,7
juta.

3. Menanggulangi Kemiskinan dan Menciptakan


Lapangan Kerja serta Meningkatkan Perlindungan
Tenaga Kerja

Kebijakan penanggulangan kemiskinan pada dasarnya


mengacu pada pendekatan kemanusiaan yang menekankan
pemenuhan kebutuhan dasar, pendekatan kesejahteraan melalui
peningkatan dan pengembangan usaha ekonomi produktif, serta
penyediaan jaminan sosial dan perlindungan keluarga miskin.

Di samping itu, untuk mengatasi kondisi sosial ekonomi


masyarakat yang merosot sebagai akibat dari krisis ekonomi telah

IV - 52
dilaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang sifatnya
jangka pendek dan operasional. Untuk mengatasi kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang merosot sebagai akibat dari krisis
ekonomi terutama masyarakat yang berpendapatan rendah maka
pemerintah terus melanjutkan program jaring pengaman sosial (JPS)
dengan berbagai penyempurnaan guna meningkatkan efektivitas dan
mengurangi kebocoran dana JPS. Prioritas program jaring pengaman
sosial adalah peningkatan ketahanan pangan, penciptaan lapangan
kerja produktif, pengembangan usaha kecil dan menengah, dan
perlindungan sosial masyarakat dalam pelayanan dasar khususnya
kesehatan dan pendidikan.

Pada tahun anggaran 1999/2000 kebijakan penanggulangan


kemiskinan dilakukan secara khusus melalui program perluasan
jaring pengaman sosial dan penanggulangan kemiskinan (JPS-PK).
Program JPS-PK tersebut terdiri dari berbagai komponen seperti: (1)
Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
(P3DT); (2) Program Pengembangan Kecamatan (PPK); (3)
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); (4)
Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
(PDM-DKE); (5) Program Makanan Tambahan Anak Sekolah
(PMT-AS); (6) Dana Bantuan Operasional Pemeliharaan SD/MI; (7)
Bantuan Beasiswa Sekolah; dan (8) Dana Bantuan Operasional
Pemeliharaan Puskesmas. Kegiatan-kegiatan ini terus dilanjutkan
pada tahun anggaran 2000 yang sedang berjalan.

Kebijakan penanggulangan kemiskinan juga dilakukan


melalui program pembangunan sektoral, antara lain program
penyediaan prasarana dasar permukiman yang diarahkan untuk
memperbaiki kawasan kumuh perkotaan dan permukiman nelayan,
program peningkatan pendapatan petani/nelayan kecil (P4K),
program penyediaan kredit usaha tani, dan program penyediaan
bantuan modal bagi kelompok usaha bersama (Kube). Selain itu,
penanggulangan kemiskinan juga dilakukan oleh pemerintah daerah
bekerjasama dengan berbagai pihak swasta, lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dan perguruan tinggi seperti tabungan keluarga
sejahtera dan kredit usaha keluarga sejahtera.

IV - 53
Dengan pelaksanaan langkah-langkah tersebut, pada tahun
1999 jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 37,5 juta (18,2
persen). Penduduk miskin di perkotaan turun menjadi 12,4 juta (15,1
persen) dan di perdesaan menjadi 25,1 juta (20,2 persen). Tingkat
kemiskinan tahun 1999 sudah menurun dibandingkan tahun 1998,
namun kondisinya masih lebih tinggi, dan tingkat kedalamannya
serta keparahannya masih lebih buruk dibandingkan tahun 1996
(sebelum krisis). Penurunan angka kemiskinan lebih dikarenakan
penurunan harga, yang selanjutnya menurunkan garis kemiskinan.
Sementara peningkatan per kapita pengeluaran golongan bawah
lebih diakibatkan adanya transfer, termasuk program jaring
pengaman sosial (JPS) dan berbagai upaya seperti menjual/
menggadaikan barang, meminjam, menambah jam kerja dan
menambah pekerjaan. Di lain pihak, peningkatan rata-rata
pengeluaran kelompok 20 persen teratas, yang pada tahun 1999
memang lebih cepat dari golongan bawah, lebih dikarenakan adanya
penurunan harga-harga dan menurunnya minat masyarakat
menyimpan uangnya di lembaga perbankan akibat rendahnya suku
bunga tabungan. Namun dengan terus dilanjutkannya langkah di
atas dan membaiknya perekonomian, diperkirakan jumlah penduduk
miskin secara keseluruhan akan menurun dibandingkan tahun 1999.

Dalam rangka mengatasi masalah penganggur, baik


penganggur akibat PHK karena krisis maupun penganggur yang
belum terserap di pasar kerja, ditempuh langkah-langkah kebijakan
yang dapat memperluas kesempatan kerja.

Untuk menolong para masyarakat yang paling terkena


dampak krisis, termasuk penganggur karena PHK telah dilakukan
berbagai program jaring pengaman sosial (JPS). Program JPS yang
terkait langsung dengan penciptaan lapangan kerja salah satunya
adalah program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal

IV - 54
(P3DT) yang pada tahun 1999/2000 telah menyediakan lapangan
kerja setara dengan 13 juta hari orang kerja. Program lain seperti
program pengembangan ekonomi masyarakat di daerah (PEMD)
diharapkan dapat menggerakkan perekonomian rakyat di daerah.
Program ini diharapkan dapat mencakup 165 kabupaten pada tahun
2000 ini. Program JPS lain, walaupun tidak langsung menyediakan
lapangan kerja, tetapi mendukung peningkatan sumberdaya manusia
seperti program JPS kesehatan dan pendidikan, yang pada gilirannya
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Selain upaya jangka pendek, dilakukan pula upaya strategis


dalam mengembangkan kesempatan kerja. Krisis ekonomi
mengakibatkan dilakukannya penyesuaian di segala bidang
termasuk bidang-bidang usaha mana yang terlihat menjanjikan.
Untuk itu pemecahan masalah ketenagakerjaan tidak terlepas dari
kondisi ekonomi makro yang mendorong terbukanya kesempatan
kerja, seperti pertumbuhan ekonomi yang memadai, inflasi yang
rendah, serta berbagai kebijakan yang memberikan insentif bagi
mobilitas tenaga kerja.

Selama hampir satu tahun pelaksanaan kabinet Persatuan


Nasional, telah terjadi perkembangan yang cukup berarti.
Perekonomian nasional secara bertahap telah memperlihatkan
pertumbuhan ekonomi yang positif, memberi dampak terhadap daya
serap tenaga kerja di berbagai sektor dan kegiatan usaha. Sektor
industri yang waktu lalu banyak memberhentikan pekerja, telah
menunjukkan aktivitas usaha yang mulai nampak pulih.

IV - 55
Dalam rangka mengurangi penganggur yang belum dapat
terserap di pasar kerja, pemerintah melaksanakan berbagai program
pengembangan kesempatan. Langkah nyata yang telah dilakukan
dalam rangka perluasan kesempatan kerja, antara lain melalui upaya
pemberdayaan usaha kecil dan menengah, pemberdayaan bagi para
penganggur dan setengah penganggur melalui sistem padat karya,
pembinaan terhadap usaha-usaha mandiri, khususnya dalam rangka
memberikan kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja, terutama
yang mengalami PHK. Selain itu, pada saat ini sedang dikaji
program padat karya khusus wanita baik di perdesaan maupun di
perkotaan.

Bila dilihat dari komposisi penganggur terbuka maupun


setengah pengangguran yang mayoritasnya adalah lulusan SLTA ke
bawah dan berumur antara 15 sampai 29 tahun, maka dibutuhkan
pelatihan keterampilan yang sesuai dan memadai agar mereka yang
masih mencari pekerjaan dapat memperoleh pekerjaan dan bagi
mereka yang termasuk setengah penganggur dapat meningkatkan
produktivitasnya. Pelatihan keterampilan dilaksanakan dengan
melibatkan peran serta pengguna tenaga kerja dan perusahaan, mulai
dari saat perencanaan, penyusunan program sampai pada
pelaksanaan pelatihan. Dalam rangka meningkatkan kualitas hasil
pelatihan, peran serta asosiasi profesi dan keahlian serta asosiasi
perusahaan terus ditingkatkan. Dengan demikian, pelatihan
diharapkan dapat berorientasi pada kebutuhan pasar. Pada saat ini
IV - 56
sedang diupayakan pembentukan suatu badan khusus yang akan
bertugas mengkoordinasi standarisasi, kompetensi, dan sertifikasi
pelatihan profesi.

Untuk mengantisipasi kebutuhan akan tenaga kerja terampil,


produktif, dan profesional, dilakukan pemantapan pelaksanaan
program dan penataan kembali penyelenggaraan pelatihan
khususnya di Balai Latihan Kerja/Kursus Latihan Kerja (BLK/KLK)
yang berjumlah 153 buah di seluruh Indonesia. Penataan kembali
pelatihan dilaksanakan antara lain dengan mengembangkan dan
mengklasifikasi kembali jenis BLK/KLK yang ada, misalnya
disesuaikan dengan jenis industri yang berada disekitarnya atau jenis
BLK/KLK khusus berdasarkan potensi ekonomi tertentu seperti
pariwisata atau agrobisnis. Selain itu, dilakukan pula pelatihan
keliling dengan menggunakan Mobile Training Unit (MTU) bagi
usaha kecil dan menengah. Dikembangkan pula BLK/KLK yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas instruktur dan
pengembangan program pelatihan. Pada tahun anggaran 1999/2000
melalui BLK/KLK dan Balai Peningkatan Produktivitas Daerah
(BPPD) telah dilakukan pelatihan bagi sekitar 56 ribu orang.

Selain itu, dilakukan pula program pemagangan baik di


dalam maupun di luar negeri, melalui bimbingan tenaga kerja yang
sudah ahli berdasarkan standar kualifikasi keterampilan. Kerjasama
dengan negara lain, yang dituangkan dalam bentuk kerjasama di
bidang peningkatan produktivitas dan pemagangan tenaga kerja

IV - 57
serta pertukaran tenaga ahli merupakan peluang bagi pengembangan
sumberdaya tenaga kerja Indoensia. Secara operasional, program ini
dilaksanakan melalui kerjasama antar lembaga tempat kerja atau
perusahaan, lembaga penyelenggara pelatihan, dan lembaga uji
keterampilan. Aktivitas pemagangan pekerja keluar negeri
dilakukan bekerjasama dengan perusahaan di Jepang dan Korea
Selatan.

Masih dalam upaya perluasan kesempatan kerja dilakukan


pembinaan bagi angkatan kerja yang berpendidikan tinggi, seperti
sarjana, diploma, dan yang setingkat, melalui bimbingan usaha
mandiri dan pembekalan kewirausahaan. Calon pekerja ini
selanjutnya ditempatkan pada unit-unit ekonomi produktif, lembaga
mandiri yang dapat diterima masyarakat, seperti lembaga keuangan
non-bank yang dikelola untuk mendukung usaha-usaha kecil yang
baru tumbuh. Selain itu, untuk membina masyarakat di daerah
transmigrasi, telah ditempatkan tenaga motivator di beberapa daerah
transmigrasi. Sedangkan bagi masyarakat yang berpendidikan
rendah dan belum mengenal pemakaian teknologi tepat guna atau
teknologi sederhana, diperkenalkan pemakaian teknologi padat
karya yang bermanfaat untuk memberikan peluang usaha bagi
pekerja khususnya di perdesaan.

Berkaitan dengan program penempatan tenaga kerja, telah


dilakukan penempatan tenaga kerja ke bidang usaha yang

IV - 58
membutuhkan pekerja. Melalui mekanisme antarkerja antardaerah
(AKAD), selama tahun 1999/2000 jumlah pekerja yang telah
ditempatkan sekitar 12 ribu orang, tersebar pada sektor perkebunan,
kehutanan, dan industri pertanian. Selain itu, dilakukan pula
penempatan ke perusahaan yang membutuhkan, sebanyak 359
orang.

Mengingat terbukanya peluang kesempatan kerja di luar


negeri, saat ini sedang dilaksanakan penyempurnaan prosedur
pengiriman, pelatihan, pemantauan dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri. Prosedur pengiriman
disederhanakan yang didukung dengan sistem penempatan TKI serta
penyempurnaan kelembagaan pengiriman TKI. Selain kemudahan
pengiriman TKI, dilakukan pula upaya pelatihan agar keterampilan
TKI yang dikirim semakin meningkat. Berkaitan dengan masalah
perlindungan TKI di luar negeri, telah ditandangani kesepakatan
bersama antara pemerintah RI dengan perwakilan dari delapan
negara penerima TKI. Dengan demikian, diharapkan TKI yang
bekerja di luar negeri mendapatkan perlindungan yang memadai.
Pada tahun 1999/2000 telah dikirim tenaga kerja Indonesia ke luar
negeri sebanyak 427.619 orang dengan perolehan devisa lebih dari
US $ 1,2 miliar.

Proses demokratisasi yang sedang berjalan membuka


peluang bagi para pekerja untuk menyampaikan ketidakpuasan
terhadap lingkungan kerjanya. Dengan demikian, kebijakan yang

IV - 59
berkaitan dengan upaya peningkatan perlindungan dan perwujudan
hak-hak tenaga kerja menjadi semakin penting.

Sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya konvensi ILO oleh


pemerintah, dilakukan upaya penyempurnaan perundang-undangan
dalam bidang ketenagakerjaan. Pada saat ini Rancangan Undang-
Undang tentang Serikat Pekerja telah disetujui oleh DPR dan
selanjutnya akan ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam waktu
dekat pemerintah akan mengajukan Rancangan Undang-Undang
mengenai Penyelesaian Perselisihan Industrial. Seiring dengan
meningkatnya kebebasan berserikat dan membaiknya perlindungan
atas hak berorganisasi bagi para pekerja, jumlah serikat pekerja
terus bertambah.

Dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan, pemerintah


melalui lembaga kerja sama tripartit berupaya untuk menjembatani
kepentingan pemerintah, tenaga kerja, dan pengusaha melalui
dialog, konsultasi, serta musyawarah. Selain itu, dalam upaya untuk
mencegah terjadinya unjuk rasa dan pemogokan yang
berkepanjangan serta upaya untuk menciptakan ketenangan
berusaha, telah dilakukan kesepakatan Tripartit Nasional yang
ditandatangani pada tanggal 30 Maret 2000, dalam bentuk
pernyataan bersama forum komunikasi tripartit Indonesia.
Pernyataan bersama tersebut berisikan kesepakatan mengenai
terwujudnya hubungan industrial yang harmonis, terciptanya

IV - 60
kepastian hukum serta terlaksananya penegakan hukum, terciptanya
rasa aman di masyarakat, serta dukungan terhadap kebijakan
pemerintah yang konsisten sesuai dengan semangat reformasi dan
era globalisasi. Dengan makin berfungsinya lembaga
ketenagakerjaan diharapkan dapat meredam aksi unjuk rasa atau
pemogokan oleh tenaga kerja yang merasa tidak tersalurkan hak-
haknya. Dalam tahun 1999/2000, kasus pemogokan menurun
dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 149 kasus, melibatkan 52
ribu tenaga kerja, serta mengakibatkan 979 ribu jam kerja hilang.

Dalam rangka memelihara taraf hidup pekerja,


dikembangkan sistem pengupahan yang terpadu dan secara
bertahap mengacu pada tingkat kebutuhan hidup minimum. Untuk
itu dilakukan penyesuaian upah minimum regional (UMR) secara
berkala. Dengan menggunakan UMR tahun 2000, daerah tingkat II
Batam di propinsi Riau merupakan daerah dengan UMR tertinggi
yaitu sebesar Rp 350.000,00 per bulan. Sedangkan UMR terendah
terdapat di propinsi Jambi dan Bengkulu sebesar Rp 173.000,00 per
bulan. Pada prinsipnya penetapan besarnya UMR dilakukan dengan
memperhatikan kepentingan semua pihak, melalui perundingan
antara pemerintah, asosiasi perusahaan dengan serikat pekerja.
Sampai saat ini, penetapan UMR mencakup 26 Propinsi.

Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para


pekerja, program jaminan sosial tenaga kerja terus disempurnakan
serta mendorong pekerja untuk berpartisipasi dalam program

IV - 61
tersebut. Sampai bulan April tahun 2000, jumlah tenaga kerja yang
mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja berjumlah 16,4 juta
orang, dengan jumlah perusahaan sebanyak 87,7 ribu perusahaan.

4. Memulihkan Kegiatan Usaha: Produksi, Perdagangan,


dan Investasi

Dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi dan


memperkokoh ketahanan ekonomi, serta mengingat potensinya yang
besar dan menjangkau masyarakat luas, maka pemerintah bertekad
untuk menciptakan usaha kecil dan menengah yang tangguh dan
berdaya saing tinggi. Untuk itu telah dilakukan peningkatan upaya
pengembangan UKMK yang telah ada, di samping mengembangkan
upaya-upaya baru dalam rangka menghadapi tingkat persaingan
yang terus meningkat.

Tiga strategi pokok yang ditempuh untuk memberdayakan


dan mengembangkan UKMK adalah membuka kesempatan
berusaha seluas-luasnya dan memberikan kepastian berusaha agar
UKMK dapat semakin berkembang; memperluas akses UKMK
kepada sumberdaya produktif agar mereka mampu memanfaatkan
potensi sumberdaya lokal yang tersedia dan kesempatan berusaha
yang semakin terbuka; dan meningkatkan kemampuan pengusaha
kecil dan menengah agar dapat mengembangkan keunggulan
komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif sehingga mampu
memberi sumbangan terhadap peningkatan dayasaing usaha
nasional.

IV - 62
Pemberian kesempatan berusaha seluas-luasnya dilakukan
dengan memberikan iklim usaha yang kondusif antara lain melalui
stabilisasi suku bunga pinjaman yang wajar dan dapat dijangkau
oleh UKMK, penyempurnaan peraturan perundang-undangan,
penyederhanaan perizinan, peraturan daerah dan retribusi untuk
mempermudah dan memperlancar kegiatan produktif UKMK.
Perluasan akses dilakukan kepada sumberdaya produktif antara lain
ditempuh dengan penguatan dan pengembangan lembaga
pendukung usaha, baik lembaga pembiayaan, lembaga layanan
usaha, dan lembaga pengembangan sumberdaya bagi pengusaha
kecil, menengah dan koperasi. Seiring dengan pilihan strategi
tersebut dan mengingat adanya perubahan-perubahan kondisi usaha
nasional dilakukan penyempurnaan basis data usaha kecil,
menengah dan koperasi untuk keperluan peningkatan kemampuan
dan daya saing dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Berdasarkan basis data tersebut diharapkan dapat dirumuskan dan
diterapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi setempat, misalnya
melalui bantuan modal, sumberdaya manusia, manajemen,
pengembangan teknologi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi, serta
penciptaan iklim yang kondusif.

Sebagai penjabaran dari tiga strategi pokok tersebut, upaya


pertama yang dilakukan untuk menanggulangi dampak krisis
ekonomi dengan munculnya pengusaha mikro dan pengusaha kecil
baru adalah pengembangan usaha kelompok dalam wadah lembaga
ekonomi produktif yang mandiri dan mengakar di masyarakat
(LEPMM). Pada tahun 1999 telah diberikan dukungan kepada
1.000 unit LEPMM yang tersebar di 100 daerah tingkat II. Dalam
tahun 2000 akan didukung bantuan modal bagi 300 LEPMM di 30
daerah tingkat II lainnya. Untuk menyediakan modal usaha bagi
UKMK telah dilaksanakan upaya penyempurnaan skim kredit
maupun institusi pelaksananya dari 17 skim kredit yang berjalan
dalam tahun-tahun sebelumnya.

Pengembangan UKM juga didukung melalui penyediaan


modal ventura terutama untuk tahap awal pengembangan usaha
yang memilki prospek usaha yang baik. Melalui perusahaan modal

IV - 63
ventura ini selain mendapatkan bantuan modal, usaha kecil dan
menengah juga mendapatkan bimbingan usaha dan manajemen.
Pada tahun 1998 terdapat 59 perusahaan modal ventura baik yang
berasal dari swasta nasional maupun patungan, dengan rekan usaha
sebanyak 508 unit usaha. Pada bulan Juni 2000 tercatat 60
perusahaan modal ventura dengan jumlah rekan usaha sebanyak 448
unit.

Untuk memperluas kesempatan berusaha dan sebagai


pelaksanaan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat, telah dibentuk
komisi pengawas kegiatan usaha. Dengan adanya komisi tersebut
maka diharapkan undang-undang tersebut menjadi lebih efektif
untuk mengurangi dominasi usaha besar dan meningkatkan
persaingan yang sehat di pasaran sehingga UKM akan mendapatkan
kesempatan usaha yang lebih besar. Dalam kerangka ini terus
didorong pula kemitraan antara UKMK dengan usaha besar. Sampai
dengan bulan Juni 2000 terdapat 158 BUMN dengan mitra binaan
sebanyak 57,9 ribu koperasi dan 130 ribu pengusaha kecil dan
menengah.

Demikian pula, untuk memperluas akses UKMK kepada


sumberdaya produktif telah dibentuk klinik konsultasi bisnis di
daerah-daerah. Sampai saat ini telah berkembang sekitar 608 klinik
konsultasi bisnis yang sebagian besar diusahakan oleh swasta.
Selain itu, upaya untuk terus memberikan bantuan dan pelayanan
terpadu melalui inkubator bisnis juga masih terus dikembangkan.
Sampai dengan Juni 2000 telah berkembang 26 inkubator teknologi
dan bisnis yang tersebar di seluruh wilayah daerah tingkat I.

Peningkatan kualitas sumberdaya pengusaha kecil,


menengah dan koperasi ditempuh melalui pelatihan di bidang
kelembagaan, teknis produksi, teknis usaha dan pemasaran.
Peningkatan teknis produksi dilakukan baik untuk industriwan kecil,
pengusaha agribisnis, nelayan dan petani ikan, serta penambang
skala kecil. Peningkatan teknis produksi antara lain diberikan dalam

IV - 64
bentuk pelatihan, bimbingan teknis, magang dan penyuluhan.
Pengetahuan teknis produksi yang diberikan antara lain berupa
peningkatan teknologi produksi untuk meningkatkan mutu produk
usaha kecil dan menengah antara lain agar sesuai kebutuhan pasar
termasuk pengenalan ISO 9000/14000 maupun pengenalan teknis
produksi yang berwawasan lingkungan. Peningkatan teknis
produksi ini didukung pula dengan penyediaan informasi teknologi
terutama teknologi tepat guna dan teknologi yang sesuai dengan
kondisi lokasi produksi dalam rangka pengembangan komoditas
unggulan daerah. Peningkatan kemampuan usaha dan pemasaran
dilakukan melalui pelatihan kewirausahaan dan kewirakoperasian,
penyuluhan dan pendampingan. Upaya ini didukung pula dengan
penyediaan informasi pasar, bantuan promosi dan pemasaran hasil,
pengawasan dan pembinaan mutu barang.

Sebagai tindak lanjut kebijakan pengembangan dan


pemberdayaan usaha kecil dan menengah, sedang dilakukan
penyusunan dan identifikasi basis data koperasi/KUD. Dengan
tersusunnya basis data ini maka keragaan koperasi baik kualitas
kelembagaan dan perkembangan usaha koperasi dan anggotanya
dapat diketahui. Berdasarkan keragaan tersebut, faktor-faktor
penting untuk peningkatan produktivitas dan kualitas usaha koperasi
dan anggotanya yang sebagian besar dari mereka adalah pengusaha
kecil dan menengah dapat diketahui. Informasi ini kemudian dapat
dijadikan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas
kewirausahaan dan kewirakoperasian mereka. Secara kumulatif
perkembangan jumlah koperasi sampai dengan Juni 2000 sudah
mencapai 90,3 ribu koperasi dengan jumlah anggota sebanyak 22,6
juta orang.

Untuk lebih meningkatkan efektivitas upaya-upaya


pemerintah dalam pemberdayaan dan pengembangan UKMK, telah
ditingkatkan koordinasi pelaksanaan pembinaan UKMK melalui
pembentukan kelompok kerja di bidang iklim usaha, pelayanan
pengembangan usaha dan pembiayaan UKM. Kelompok-kelompok
kerja ini yang beranggotakan lembaga pemerintah dan non-
pemerintah yang membina UKMK di berbagai bidang usaha.

IV - 65
Sementara itu, sejalan dengan desentralisasi dan otonomisasi maka
telah dilaksanakan upaya untuk membentuk Forum Daerah yang
merupakan forum koordinasi antara pemerintah dan swasta untuk
pemberdayaan dan pengembangan UKMK di daerah tingkat
propinsi dan kabupaten/kota. Sejalan dengan itu, perubahan status
Departemen Koperasi dan PUKM menjadi kantor menteri negara
diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih besar pada
gerakan koperasi dan asosiasi UKM dalam pembinaan dan
pengembangan UKMK.

Peningkatan efektivitas juga dilakukan pemerintah melalui


upaya pembenahan BUMN. Pemerintah mulai merintis budaya good
corporate governance agar BUMN mampu bersaing dengan usaha
sejenis. Untuk itu, pemerintah akan berkonsentrasi sebagai pembuat
kebijakan (regulator) agar semua pelaku ekonomi mendapat
kesempatan dan perlakuan yang sama. Setiap pelaku ekonomi
didorong memasuki alam persaingan yang sehat untuk
meningkatkan efisiensi. Langkah ini sekaligus merupakan persiapan
untuk memasuki pasar bebas ASEAN (AFTA), APEC, dan ekonomi
global.

Reformasi dan restrukturisasi BUMN secara lebih spesifik


ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumberdaya sektor publik,
meningkatkan keuntungan BUMN, dan mendorong partisipasi
masyarakat dalam seluruh kegiatan ekonomi. Salah satu kegiatan
reformasi dan restrukturisasi BUMN tersebut adalah mewujudkan
transparansi di bidang keuangan. Transparansi tersebut tercermin
dari telah diauditnya 18 BUMN oleh akuntan publik dan akan
diauditnya 14 BUMN lagi. Selanjutnya, guna membantu target
APBN, sedang diupayakan divestasi 8 BUMN dengan target Rp 6,5
triliun yang sebagian hasilnya akan dimanfaatkan untuk menambah
modal atau perluasan kegiatan BUMN yang bersangkutan.

Dengan masih terbatasnya investasi dan kegiatan ekonomi


dalam negeri maka upaya untuk meningkatkan penerimaan devisa
baik melalui ekspor barang dan jasa juga investasi langsung luar

IV - 66
negeri terus ditingkatkan dan mendapatkan prioritas. Langkah utama
adalah melanjutkan dan meningkatkan upaya untuk mengurangi
hambatan berusaha di berbagai bidang. Dalam upaya mengurangi
hambatan berusaha, terdapat 3 langkah yang dapat ditempuh yaitu
penurunan hambatan ekspor dan impor, pengurangan hambatan
perdagangan dalam negeri dan penyederhanaan prosedur investasi.

Pengurangan hambatan tarif dan non-tarif terus dilanjutkan.


Selanjutnya adalah menyederhanakan administrasi prosedur ekspor,
termasuk keluar masuk barang di pelabuhan, rasionalisasi biaya,
pemberian insentif/kemudahan, pemasaran langsung ke negara
konsumen akhir, penyempurnaan penetapan harga patokan dalam
pengenaan pajak ekspor. Demikian pula dilaksanakan berbagai
upaya untuk menjamin kelancaran impor bahan baku dan modal
untuk tujuan ekspor. Pungutan tidak resmi di pelabuhan yang dapat
meningkatkan biaya ekspor dan impor sehingga menurunkan daya
saing komoditas ekspor nasional diupayakan dihilangkan.

Guna mendukung upaya meningkatkan citra kepariwisataan


Indonesia maka fokus program dan kegiatan tahun 2000 dititik
beratkan pada upaya pemulihan citra pariwisata Indonesia sebagai
daerah wisata yang aman dan nyaman untuk dikunjungi. Langkah-
langkah kebijakan yang telah dilakukan dalam upaya memulihkan
kepercayaan masyarakat luar negeri kepada kepariwisataan
Indonesia antara lain adalah meningkatkan kegiatan promosi dan
pemasaran terutama ke luar negeri; meningkatkan pengembangan
dan pembinaan objek dan daya tarik wisata; mengembangkan
sumberdaya manusia melalui peningkatan kemandirian sekolah
tinggi atau akademi pariwisata negeri; serta meningkatkan
partisipasi dan kemitraan masyarakat dalam upaya pemberdayaan
ekonomi rakyat.

Bersamaan dengan itu dilakukan langkah-langkah untuk


mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dalam negeri, dalam
pembelian, penjualan, dan lalu-lintas perdagangan semua
komoditas, untuk melancarkan perdagangan lintas batas propinsi

IV - 67
dan kabupaten/ kota. Upaya daerah untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah perlu didukung, namun tidak dengan menetapkan
berbagai pungutan yang dapat menghambat perdagangan bebas
antardaerah tersebut. Perdagangan bebas antardaerah akan
meningkatkan kegiatan ekonomi daerah yang secara langsung dan
tidak langsung pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan asli
daerah.

Sedangkan di bidang investasi dilanjutkan perubahan yang


menyeluruh dalam sistem perijinan investasi dan usaha melalui
perubahan yang menyeluruh dalam sistem perijinan investasi dan
usaha untuk menghilangkan hambatan-hambatan dengan
penyempurnaan sistem insentif, penyederhanaan proses perijinan,
serta peningkatan kepekaan terhadap berbagai keluhan dari
masyarakat yang timbul. Selanjutnya dibentuk suatu sistem
pemantauan yang mampu mengidentifikasi timbulnya praktik-
praktik yang menghambat investasi. BKPM terus mengembangkan
peranannya menjadi suatu badan yang bertanggung jawab, bersama
dengan sektor swasta, untuk mendorong investasi, baik dalam negeri
maupun luar negeri. Desentralisasi kewenangan BKPM dari pusat
ke daerah dipercepat sesuai dengan terbitnya PP No. 25 tahun 2000
dan disesuaikan dengan kesiapan daerah yang bersangkutan. Selain
itu, beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri juga telah
diberikan kewenangan untuk memproses perijinan investasi.

Dengan langkah-langkah tersebut dan didukung oleh


membaiknya situasi keamanan nasional dan situasi perekonomian
dunia, berdasarkan data Bank Indonesia, ekspor non migas dalam
triwulan I tahun 2000 menunjukkan peningkatan yang tajam yaitu
tumbuh sekitar 26,9 persen dibandingkan triwulan yang sama tahun
sebelumnya. Sedangkan impor non migas telah mulai membaik
dengan pertumbuhan sekitar 25,1 persen dibandingkan triwulan
yang sama tahun sebelumnya. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh
IV - 68
data BPS pada periode Januari-April 2000, nilai ekspor meningkat
36,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun 1999. Bila dikaji
lebih lanjut, peningkatan ekspor pada periode ini diperoleh dari
kenaikan ekspor non migas sebesar 28,4 persen dan kenaikan ekspor
migas sebesar 72,3 persen.

Peningkatan ekspor tersebut juga didorong kenaikan ekspor


migas sejalan dengan kenaikan harga minyak di pasar internasional.
Sedangkan kinerja ekspor barang non migas terlihat mulai membaik
terutama pada sektor industri manufaktur dan pertanian.
Peningkatan industri manufaktur ini didorong oleh peningkatan pada
beberapa komoditas andalan seperti tekstil, produk kayu, dan
elektronik sebagai dampak positif dari kembali meningkatnya
permintaan dunia. Pada sisi ekspor jasa, pada triwulan I tahun 2000
secara umum masih belum mengalami perubahan. Tingkat
kunjungan turis mancanegara bila dibandingkan triwulan
sebelumnya hanya sedikit mengalami peningkatan, di mana terlihat
pada posisi Januari-April 2000 jumlah kunjungan wisman mencapai
1,3 juta. Meskipun demikian, dengan semakin mantapnya situasi
sosial politik dan keamanan, maka diperkirakan jumlah kunjungan
wisman ke Indonesia akan terus meningkat.

Di sisi impor, meski relatif lambat, total impor barang dan


jasa juga mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terutama
bersumber dari impor barang non migas yakni impor barang
setengah jadi dan barang modal. Sedangkan nilai impor barang
konsumsi kembali meningkat bila dibandingkan triwulan
sebelumnya terutama melalui impor produk makanan dan minuman.
Salah satu faktor yang mendorong meningkatnya impor produk
makanan ini adalah dampak dari kebijakan dibukanya perijinan
impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sementara itu, sebagai hasil langkah-langkah di sektor


pariwisata adalah telah tersedia website pariwisata serta bahan
promosi dalam upaya meningkatkan promosi dan pelayanan
informasi kepariwisataan. Selain itu, telah diikuti bursa-bursa
pariwisata internasional dan pengiriman misi kesenian antara lain ke

IV - 69
Perancis, Amerika Serikat, Korea Utara, dan Cina. Kemudian, telah
terjalin kerjasama kepariwisataan baik secara bilateral, regional,
maupun multilateral, antara lain IMT-GT; PATA; ASEANTA;
WTO; ICCA, APEC dan dilaksanakan proyek-proyek percontohan
homestay di kawasan wisata Taman Nasional Kerinci Seblat; desa
wisata di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Jawa Timur.

Selanjutnya, kebijakan pembangunan industri secara umum


diarahkan pada pengembangan industri yang mempunyai
keunggulan komparatif menuju berkeunggulan kompetitif seiring
dengan penguatan industri kecil dan rnenengah dalam rangka
mewujudkan struktur industri nasional yang berdaya saing.
Kebijakan industri secara umum dikembangkan melalui upaya
penguatan industri di daerah yang bertumpu pada sumberdaya
masing-masing daerah, pemberdayaan masyarakat, dan persaingan
usaha yang sehat. Kebijakan ini memerlukan dukungan kegiatan
perdagangan melalui pengembangan sistem distribusi yang dapat
menjamin peningkatan penggunaan atau pemanfaatan kapasitas
produksi industri tersebut. Kebijakan pembangunan industri juga
dilakukan melalui upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
pemanfaatan peluang pasar dalam dan luar negeri berdasarkan
potensi obyektif melalui penguatan industri hasil pertanian (agro-
based industry) didukung penerapan pengetahuan teknis
(knowledge-based industry) dan teknologi bangsa sendiri.

Dengan tetap memperhatikan kondisi obyektif lingkungan


sosial-politik dan ekonomi yang mulai kondusif, langkah-langkah
kebijakan pembangunan industri jangka pendek adalah sebagai
IV - 70
berikut: pertama, pengamanan ketersediaan bahan baku dan
keterjangkauan kebutuhan pangan dengan memprioritaskan
pengadaan bahan baku keperluan vital masyarakat dan suku cadang
dan komponen kendaraan, dan peralatan pabrik, sedangkan untuk
memenuhi kebutuhan pangan kebijakan pangan diarahkan melalui
pengembangan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri)
dengan didukung oleh kegiatan perdagangan hasil pertanian olahan
(agribisnis); serta kedua, pemberdayaan dan penguatan kegiatan
industri berskala kecil dan menengah yang didukung oleh
pengembangan kegiatan perdagangan berskala kecil dan menengah
melalui pemanfaatan teknologi terapan, peningkatan ekspor hasil
produk, dan kerjasama lintas daerah dan negara, dan penguatan
bantuan modal yang dilakukan secara sinergi dalam rangka
memperkokoh peranan industri kecil dan menengah dalam
pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Dalam jangka panjang,
langkah-langkah tersebut mencakup: pertama, pengembangan
industri yang berdayasaing kuat dan berbasis pada potensi
sumberdaya ekonomi daerah, penciptaan substitusi bahan baku
impor, dan pengolahan bahan baku baru; kedua, penguatan struktur
industri-hulu dan struktur industri-antara dalam rangka
meningkatkan kemandirian industri-hilir. Selaras dengan penguatan
struktur industri ini, maka dikembangkan pemanfaatan teknologi
informasi untuk membantu ekspor seperti melalui fasilitasi sistem
informasi manajemen perdagangan berbasis teknologi informatika
(e-commerce). Selain itu dikembangkan pula kebijakan keterkaikan
industri logam, mesin, elektronika, dan aneka yang menghasilkan
produk-produk unggulan yang bernilai tambah tinggi guna
meningkatkan nilai tambah industri bagi industri-industri yang
sudah ada; ketiga, peningkatan kandungan teknologi melalui
pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan pengembangan; dan
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia industri melalui jalur
bimbingan dan penyuluhan; serta keempat, penataan kelembagaan
pembangunan industri dalam rangka pengamanan proses
industrialisasi di era perdagangan bebas. Penataan kelembagaan
diperlukan untuk menjamin proses industrialisasi yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan serta sesuai dengan standar
nasional/internasional.

IV - 71
Seiring dengan mulai tumbuhnya kepercayaan masyarakat
dunia terhadap kondisi perekonomian di Indonesia saat ini,
perkembangan sektor industri dalam tahun 1999/2000 ditandai
dengan peningkatan volume produksi di beberapa kelompok industri
khususnya produksi industri yang telah mempunyai akses pasar di
luar negeri dan berpotensi ekspor. Pembangunan industri juga
diharapkan mampu menopang pertumbuhan ekonomi di daerah, hal
ini sejalan dengan semangat pembangunan daerah dalam
meningkatkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki seiring
dengan pelaksanaan otonomi daerah.

Dengan semakin dekatnya pelaksanaan globalisasi di


berbagai bidang, sektor industri diharapkan telah siap menghadapi
era tersebut. Tantangan utama adalah mewujudkan pengelolaan
sumberdaya secara efisien dan efektif sehingga proses pengelolaan
sumberdaya bersifat berkelanjutan dan tetap memperhatikan aspek
mutu dan standar industrinya serta aspek lingkungan. Untuk itu,
ditetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan, baik dalam bentuk
undang-undang maupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
departemen-departemen terkait, yang salah satunya adalah peraturan
tentang standar nasional Indonesia (SNI) dan Keppres tentang
penyusunan, penerapan, dan pengawasan SNI.

Berbagai isu dapat menjadi ancaman serius dalam


persaingan di masa mendatang, seperti isu politik, teknologi,
ekonomi dan yang sedang hangat-hangatnya saat ini adalah isu
lingkungan. Proses industrialisasi pada saat ini, khususnya di negara
berkembang kurang atau bahkan tidak memperhatikan aspek
lingkungan. Di masa mendatang, hal itu harus menjadi perhatian
pemerintah, pengusaha dan pihak terkait. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, dalam tahun 1999 telah dikeluarkan peraturan yang terkait
dengan kepedulian lingkungan oleh beberapa instansi, salah satunya
berupa peraturan tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun. Selain itu, sebagai bagian dari kesepakatan yang tertuang
dalam Letter of Intent dengan Dana Moneter International (LoI-
IMF) mengenai kebijakan industri otomotif telah ditetapkan

IV - 72
pemberian kemudahan dan restrukturisasi bea masuk impor, baik
untuk kendaraan dalam keadaan utuh (CBU) atau untuk keperluan
bahan baku pembuatan komponen, serta pemberian kemudahan
relaksasi entreport tujuan ekspor. Peraturan yang dikeluarkan
tersebut merupakan strategi untuk mengefisienkan dan
mengembangkan pasar domestik, kemampuan industri komponen,
dan pasar ekspor industri otomotif nasional.

Sementara itu, untuk kelompok industri kimia, agro, dan


hasil hutan, pada tahun 1999 menunjukkan rata-rata utilisasi
kapasitas produksinya meningkat, yaitu mencapai 3,0 persen
dibandingkan tahun sebelumnya dan diperkirakan terus meningkat
pada tahun 2000. Pada tahun 1999 rata-rata perkembangan produksi
industri kimia, agro, dan hasil hutan menunjukkan pertumbuhan
yang sangat berarti dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan
produksi agroindustri yang mengalami peningkatan besar adalah
buah-buahan dan sayur-sayuran dalam kaleng, kertas, ban kendaraan
bermotor roda empat, ban sepeda motor roda dua, margarine, dan
ban sepeda yaitu sebesar 78,4 persen, 66,5 persen, 50,3 persen, 44,0
persen, 24,8 persen, dan 22,6 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Perkembangan produksi industri barang-barang dari
kimia rata-rata dapat bertahan bahkan mampu meningkatkan
produksinya dengan cara memanfaatkan peluang pasar ekspor pada
saat nilai tukar rupiah melemah. Produksi kelompok industri kimia
yang mengalami peningkatan produksi sangat besar, antara lain
adalah industri pigmen sebesar 40,6 persen, ethylene dichloride
(EDC) sebesar 39,9 persen, bahan peledak sebesar 31,0 persen,
methanol sebesar 25,6 persen, dan vinyl chloride monomer (VCM)
sebesar 21,9 persen, carbon black sebesar 19,6 persen dibandingkan
tahun 1998. Industri kimia lain yang mengalami peningkatan
produksi antara lain adalah industri bahan kimia tekstil, alkyl
benzine sulfonat (ABS) dan sorbitol. Sedangkan pada kelompok
industri barang galian bukan logam produksi yang mengalami
peningkatan paling besar adalah kaca lembaran, yaitu sebesar 81,0
persen.

IV - 73
Selain terjadi peningkatan utilitas kapasitas produksi,
perkembangan kelompok industri logam, mesin dan elektronika
pada tahun 1999 menunjukkan pertumbuhan yang sangat berarti
dibandingkan tahun 1998. Pertumbuhan terjadi pada kelompok
industri logam dasar, industri permesinan, dan industri mesin, alat
listrik, dan elektronika rata-rata meningkat sekitar 8 persen, 11
persen, dan 15 persen. Peningkatan terbesar di kelompok industri
logam adalah baja lembaran canai panas (HRC) sebesar 27,6 persen,
kelompok industri permesinan adalah whell loader sebesar 20,0
persen dan pada industri mesin, alat berat dan elektronika adalah
mesin jahit dan VHF/UHF single channel sebesar 34,3 persen dan
32,0 persen.

Atas dasar harga konstan tahun 1993, pertumbuhan sektor


industri, termasuk industri pengolahan migas, pada tahun 1999
meningkat 2,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan
kontribusinya terhadap PDB mencapai sebesar 25,4 persen.
Sedangkan pertumbuhan industri pengolahan non migas pada
periode yang sama meningkat 2,2 persen, dan sumbangannya
mencapai 22,4 persen. Peningkatan kinerja industri antara lain
disebabkan oleh mulai membaiknya sektor industri migas pada
periode tersebut. Sedangkan kontribusi terbesar industri pengolahan
non migas diberikan oleh kelompok industri makanan, minuman dan
tembakau sebesar 13,5 persen, industri pupuk kimia dan barang
kimia dari karet sebesar 2,9 persen, industri semen dan bahan galian
non logam sebesar 4,1 persen, dan industri tekstil , barang kulit, dan
alas kaki sebesar 1,9 persen.

IV - 74
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan produksi
industri yang belum stabil, nilai dan volume ekspor sektor industri
non migas pada tahun 1999 mengalami penurunan 5,1 persen dan
5,5 persen, atau meliputi US$ 40,9 miliar dan 170,6 juta ton menjadi
US$ 38,8 miliar dan 161,2 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan perkembangan nilai ekspor industri kecil dan menengah
tahun 1999 menurun dibandingkan tahun 1998. Pada tahun 1999
nilai ekspor industri kecil dan menengah mencapai US$ 2,5 miliar
atau menurun 29,9 persen dibandingkan nilai ekspor tahun 1998
sebesar US$ 3,6 miliar. Sedangkan volume ekspornya tahun 1999
mengalami peningkatan 42,5 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Peningkatan volume ekspor industri kecil dipengaruhi
perubahan jenis produksi yang diekspor. Di bidang investasi,
penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri
(PMDN) sektor industri masih menunjukkan adanya kegairahan
para investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Pada
tahun 1999, jumlah PMA sektor industri yang disetujui mengalami
kenaikan 29 proyek, walaupun nilainya menurun dibandingkan
tahun sebelumnya, sedangkan nilai PMDN yang disetujui untuk
sektor industri mengalami peningkatan 4,1 persen dengan nilai
mencapai Rp 46.745,5 miliar dari nilai tahun 1998 yang sebesar
Rp 44.908,0 miliar. Peningkatan terbesar PMDN dialami oleh
industri logam dasar, industri tekstil, industri makanan, dan industri
kertas.

Selanjutnya dalam upaya mengatasi masalah kebutuhan

IV - 75
pangan dan memperkuat ketahanan pangan, pembangunan pangan
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan nasional dalam
mencukupi kebutuhan pangan masyarakat secara adil dan merata
baik dalam jumlah maupun mutu gizinya serta terjangkau oleh daya
beli masyarakat. Pembangunan pangan yang diharapkan adalah
makin mantapnya ketahanan pangan yaitu berupa terpeliharanya
kemantapan swasembada pangan secara dinamis. Swasembada
pangan tersebut tidak hanya terbatas pada swasembada beras, tetapi
juga mencakup penyediaan bahan pangan lainnya yang berupa
sumber karbohidrat, protein, lemak, dan gizi mikro.

Kebijakan yang ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut


adalah mengupayakan peningkatan ketahanan pangan yang meliputi
peningkatan produksi, distribusi dan kemampuan menyediakan
pangan dengan harga yang stabil; meningkatkan keamanan pangan
untuk melindungi masyarakat dari pangan yang berbahaya untuk
kesehatan dan bertentangan dengan keyakinan; mendorong
diversifikasi pangan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang pentingnya pola pangan yang beraneka ragam untuk
meningkatkan gizi; dan mengembangkan kelembagaan pangan yang
efektif dan efisien dengan jalan meningkatkan keterpaduan dan
koordinasi pembangunan pangan antara pemerintah dan masyarakat
serta antar kelompok masyarakat.

Hasil program pemantapan swasembada pangan sampai


dengan triwulan I tahun 2000, harga rata-rata gabah di perdesaan
turun sekitar 18,6 persen dari harga rata-rata tahun 1999. Sedangkan
perbedaan harga rata-rata gabah pada musim panen di perdesaan
pada tahun 2000 melonjak tajam. Pada tahun 2000 harga beras di
perkotaan di musim panen meningkat sebesar 1,3 persen
dibandingkan keadaan beras pada akhir 1998/99. Selama April 1999
sampai dengan Maret 2000, pemerintah tidak menaikkan harga dasar
gabah kering panen (GKP), gabah kering simpan (GKS) dan gabah
kering giling (GKG) dengan tetap memberlakukan Inpres No. 32
tahun 1998.

IV - 76
Pada tahun 2000, pengadaan beras dalam negeri tidak
mencukupi untuk memenuhi sarana penyangga sehingga
kekurangannya dipenuhi melalui impor. Turunnya nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing sebagai akibat tidak stabilnya politik dan
keamanan dalam negeri menyebabkan harga beras impor menjadi
sangat tinggi sehingga untuk memelihara stabilitas nasional dalam
jangka pendek, penyediaan beras impor tersebut masih memerlukan
subsidi dari pemerintah.

Penyaluran beras selama tahun 1999/2000 mencapai jumlah


4.790 ribu ton yang terdiri dari golongan anggaran sebesar 1.791
ribu ton, operasi pasar murni sebesar 273 ribu ton, operasi pasar
khusus sebesar 2.559 ribu ton, dan lain-lain sebesar 167 ribu ton.
Jumlah penyaluran tersebut lebih besar dibandingkan tahun
sebelumnya yang berjumlah 4.768 ribu ton dengan dilaksanakannya
program operasi pasar khusus untuk keluarga miskin dan rawan
pangan. Stok akhir per 31 Maret 2000 berjumlah 948 ribu ton yang
diperkirakan cukup aman untuk menghadapi kemungkinan buruk
yang mungkin terjadi pada bulan-bulan berikutnya.

Dalam kerangka program JPS di bidang pangan, telah


dilakukan operasi pasar khusus (OPK) melalui penjualan langsung
bahan pokok kepada keluarga miskin. Kebijakan OPK juga
merupakan langkah untuk menghapus subsidi beras dari yang
bersifat subsidi kepada konsumen umum menjadi subsidi kepada
anggota masyarakat tertentu.

Sedangkan dalam rangka memperkuat sektor pertanian,


kebijakan pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi
dan kualitas hasil pertanian untuk memelihara kemantapan
swasembada pangan, meningkatkan penyediaan bahan baku secara
berkesinambungan untuk pengembangan industri, serta meraih
peluang dan meningkatkan pangsa pasar; meningkatkan kemampuan
usaha pertanian rakyat, mempersempit kesenjangan ekonomi dan
mengeliminasi kemiskinan, serta memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup; meningkatkan produktivitas tenaga kerja
pertanian serta memperluas kesempatan kerja produktif di perdesaan
melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian,

IV - 77
peningkatan penguasaan teknologi dan pengembangan jaringan
kelembagaan petani yang berorientasi agrobisnis.
Hasil rata-rata padi pada tahun 1999 mencapai 4,3 ton per
hektar atau turun 1,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Produksi palawija umumnya mengalami peningkatan, khususnya
produksi ubi kayu dan kedelai. Pada tahun 1999, produksi jagung,
ubi jalar dan kacang tanah turun masing-masing sebesar 9,8 persen,
5,9 persen dan 6,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang
disebabkan oleh meningkatnya harga-harga sarana produksi dan
berkurangnya penyediaan kredit usaha tani.

Pada tahun 1999 jumlah populasi ternak yang meningkat


terutama adalah sapi perah, domba, ayam petelur dan itik.
Perkembangan populasi ternak dan unggas yang meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya antara lain adalah sapi perah,
domba, ayam petelur dan itik yang masing-masing 3,1 persen, 1,4
persen, 17,3 persen dan 6,7 persen. Sementara itu, perkembangan
produksi perikanan selama tahun 1999 meningkat sebesar 18,2
persen per tahun. Produksi perikanan laut dan perikanan darat
masing-masing meningkat per tahun sebesar 14,3 persen dan 33,0
persen.

Perluasan kesempatan kerja di sektor pertanian terutama


didukung oleh meningkatnya luas panen dan luas areal komoditas
pertanian. Selama tahun 1999, sektor pertanian telah menyerap
tenaga kerja rata-rata sekitar 108 juta orang atau 58,4 persen dari
tenaga kerja nasional.

Luas areal komoditas penting perkebunan pada tahun 1999


yang berupa kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, lada, kakao, tebu, dan
tembakau masing-masing adalah sebesar 5,9 juta hektar, 1,7 juta
hektar, 2,8 juta hektar,0,5 juta hektar, 0,08 juta hektar, 0,5 juta
hektar, 1,5 juta hektar, dan 0,1 juta hektar. Sementara untuk
memperoleh manfaat optimal dari pengembangan usaha perkebunan
di suatu wilayah, baik pada areal yang telah ada maupun areal
bukaan baru, telah ditempuh kebijakan pengembangan perkebunan
IV - 78
dalam suatu kawasan industri masyarakat perkebunan (Kimbun).
Saat ini telah masuk sejumlah usulan Kimbun sebanyak 293 lokasi
di 16 propinsi.

Di sektor kehutanan pada tahun 1999, produksi kayu bulat


sebesar 20,6 juta m3 yang berasal dari hutan alam, areal konversi,
kayu rakyat, hutan tanaman, dan hutan tanam industri (HTI).
Sedangkan produksi kayu olahan pada tahun 1999 sebesar 4,0 juta
m3 yang berupa kayu lapis, kayu gergajian, veneer, pulp, dan kayu
olahan lainnya. Selanjutnya produksi hasil hutan non kayu yang
berupa rotan, damar dan hasil hutan non-kayu lainnnya pada tahun
1999 sebesar 137,3 ribu ton.

Sesuai kesepakatan dengan IMF telah disiapkan program


kehutanan nasional (National Forest Programme) dan telah
dikeluarkan Keppres No. 80 Tahun 2000 tentang Komisi
Antardepartemen Bidang Kehutanan untuk menangani masalah-
masalah bidang kehutanan yang dihadapi. Demikian pula dengan
tuntutan reformasi pembangunan yang ada, telah dilakukan
restrukturisasi penguasaan lahan perkebunan dan kehutanan antara
lain melalui pencabutan kebun kelas IV dan V seluas 173,65 hektar
di 17 propinsi, pencabutan SK pelepasan kawasan hutan seluas 1,07
juta hektar yang tersebar di 15 propinsi yang dikuasai oleh 118
perusahaan.

Sementara itu, volume ekspor beberapa komoditas pertanian


pada tahun 1999 mengalami peningkatan cukup tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya seperti kelapa sawit, teh, kulit ternak, dan rumput
laut yang masing-masing naik sebesar 106,3 persen, 45,8 persen,
6,2 persen, dan 382 persen. Sementara volume ekspor palawija,
karet, kopi dan lada turun masing-masing sebesar 55,2 persen, 9,2
persen, 1,3 persen, dan 6,2 persen. Penurunan ekspor tersebut
diakibatkan oleh ketidakpastian kondisi ekonomi dan keamanan
dalam negeri. Dalam tahun 1999, volume ekspor ikan segar dan
udang segar/awetan menurun masing-masing sebesar 13,1 persen
dan 22,5 persen dibandingkan tahun 1998. Penurunan ini terjadi
karena menurunnya permintaan ekspor kedua komoditas tersebut.

IV - 79
Pembangunan sektor kelautan pada dasarnya ditujukan
untuk kesejahteraan rakyat dengan memperluas kesempatan kerja
dan usaha melalui pembangunan ekonomi yang didukung oleh
industri kelautan dengan memanfaatkan, mendayagunakan, serta
meningkatkan potensi yang dimiliki seperti sumberdaya manusia,
ilmu pengetahuan dan teknologi, data dan informasi, sarana dan
prasarana, serta organisasi dan kelembagaan dengan memperhatikan
kelestarian dan daya dukung lingkungan yang didukung oleh hukum
dan peraturan yang efektif.

Beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam bidang


kelautan terutama dalam pemanfaatan sumberdaya laut serta hasil-
hasil yang dicapai diantaranya adalah kegiatan survei dan pemetaan
sumberdaya laut yang dilakukan berbagai lembaga dan departemen.
Kegiatan ini adalah salah satu upaya yang dilakukan sehubungan
dengan telah diratifikasinya UNCLOS 1982. Di bidang eksplorasi
sumberdaya laut telah dilakukan survei spesifik, pengeboran
eksplorasi, perluasan eksplorasi, dan pengembangan sisipan.
Kegiatan seismik rata-rata 64.9 kilometer per tahun, dan pengeboran
eksplorasi rata-rata 177 buah sumur pertahun. Ekstensifikasi
eksplorasi di Kawasan Timur Indonesia dilakukan pada 1-2
cekungan sedimen laut dalam. Dalam bidang sistem informasi
sumberdaya laut dilakukan penyediaan data dan informasi yang
dikenal dengan SIGK (Sistem Informasi Geografi Kelautan) dan
SIG-Kemla (Sistem Geografi Keamanan Laut).

Sementara itu dalam upaya pengembangan dan peningkatan


kemampuan serta kelembagaan sumberdaya laut telah dilakukan
penataan organisasi dan kelembagaan kelautan, pemanfaatan
Bakormia dan Pankorwilnas, penyempurnaan peraturan
perundangan dan penyusunan perundang-undangan. Upaya
pengembangan kemampuan Iptek dilakukan pengkajian teknologi
inderaja untuk perkiraan cadangan ikan, pengembangan teknologi
budidaya ikan laut, eksplorasi sumberdaya mineral dan energi laut,
pengkajian gelombang sebagai sumber energi dan peningkatan
kerjasama internasional.

IV - 80
Di sektor pertambangan selama satu tahun terakhir telah
dilakukan upaya-upaya pengembangan informasi geologi
sumberdaya mineral, pemantapan penyediaan komoditas mineral
dan energi untuk kebutuhan di dalam negeri serta peningkatan
ekspor, dan peningkatan penyediaan sumberdaya manusia yang
berkualitas serta pelestarian fungsi lingkungan hidup. Langkah
penting lainnya adalah berkaitan dengan restrukturisasi di bidang
pertambangan dan energi.

Dalam kaitannya dengan penyediaan energi, harga energi


rata-rata secara bertahap diarahkan kepada pembentukan harga yang
mengikuti mekanisme pasar dengan memperhatikan aspek optimasi,
pemanfaatan sumberdaya energi, peningkatan dayasaing ekonomi,
perlindungan konsumen dan pemenuhan asas pemerataan. Untuk itu
subsidi BBM secara bertahap akan dikurangi. Pemberian subsidi
selain dinilai sangat membebani anggaran pemerintah juga tidak
tepat sasaran, karena relatif hanya dinikmati oleh sebagian
masyarakat yang tidak berhak. Dampak negatif lainnya masyarakat
cenderung mengkonsumsi secara boros dan tidak efisien. Usulan
pemerintah kepada DPR untuk menurunkan subsidi BBM masih
ditolak jadwal pelaksanaannya.

Dalam upaya mewujudkan tugas Pemerintah sebagai


pengayom dan pelindung masyarakat, maka dirasakan bahwa UU
Migas dan pertambangan yang berlaku dinilai telah tidak sesuai lagi,
sehingga perlu digantikan oleh UU baru yang lebih sesuai dengan

IV - 81
upaya pembaharuan yang memberikan peran nyata untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat, memberikan jaminan
kepastian hukum dalam berusaha serta menghilangkan usaha yang
bersifat monopoli. Untuk itu, saat ini sedang dibahas RUU minyak
dan gas bumi beserta petunjuk pelaksanaanya, dan akan segera
disampaikan kepada DPR-RI dalam waktu dekat untuk mendapat
persetujuan. Perangkat regulasi yang baru di bidang minyak dan gas
bumi ini akan mampu meningkatkan penyediaan sarana dan
prasarana serta menjamin pasokan energi dan bahan baku bagi
sektor industri, melayani kebutuhan masyarakat dengan harga yang
bersaing dan terjangkau, serta mampu menyediakan energi yang
bersih dan akrab lingkungan.

Dengan langkah-langkah yang dilakukan di sektor


pertambangan, maka berbagai produksi pertambangan terus
meningkat. Produksi minyak bumi masih meningkat dari 511,1
juta barel dalam tahun 1998/99 menjadi 541,3 selama tahun
1999/2000, yaitu naik sebesar 5,9 persen. Kenaikan produksi juga
diikuti oleh melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia
hingga mencapai sekitar US$ 30 per barel. Keadaan ini diharapkan
dapat semakin mendorong masuknya investasi asing di bidang
perminyakan. Produksi LNG tahun 1999/2000 juga meningkat
sebesar 6 persen dari tahun 1998/1999, yaitu meningkat dari 28,3
juta ton menjadi 30,0 juta ton. Saat ini juga sedang dibangun jalur
pipa gas untuk mengalirkan gas dari lapangan Natuna Barat dan dari
lapangan gas di Sumatera tengah melalui Batam ke Singapura. Hal
ini akan menjadi penunjang peningkatan ekspor gas alam di masa
depan. Produksi pertambangan utama lainnya meliputi batubara,
tembaga. timah, nikel dan emas dalam tahun 1999/2000 masih
menunjukkan peningkatan. Peningkatan produksi ini juga diikuti

IV - 82
oleh peningkatan ekspornya baik harga maupun volumenya, hanya
perak yang produksinya relatif menurun jika dibanding dengan
produksi tahun 1998/99. Sejalan dengan mulai pulihnya kegiatan
ekonomi, produksi bahan galian terutama yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri juga
meningkat.

5. Menyediakan Prasarana dan Sarana Penunjang


Ekonomi

Sebagai pendukung pelaksanaan program pembangunan


pangan dan pertanian tak dapat lepas dari kinerja program
pembangunan pengairan. Upaya reformulasi kebijakan
pembangunan pengairan diarahkan pada penajaman pelaksanaan
program-program pembangunan. Pelaksanaan reformasi
pembangunan pengairan ditujukan untuk pemantapan kelembagaan
di tingkat nasional untuk pengembangan dan pengelolaan
sumberdaya air; pembentukan kelembagaan pengelola sumberdaya
air di tingkat wilayah sungai; penyempurnaan pengelolaan kualitas
air yang mencakup peraturan, kelembagaan maupun
implementasinya; dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan
jaringan irigasi.

Hasil pembangunan pengairan dalam tahun 1999/2000


antara lain berupa penyelesaian pembangunan 5 unit waduk, 38 unit
embung, 78 kilometer saluran air baku, 57 unit bendung irigasi, 1
unit bendung air baku, serta sekitar 10.560 hektar pencetakan sawah
baru. Untuk penanggulangan bencana akibat daya rusak air, telah
diselesaikan pula pembangunan 52 unit dam pengendali dan kantung
lahar, perbaikan alur sungai sepanjang 122 kilometer serta
pengamanan pantai sepanjang 4 kilometer.

Selanjutnya, sektor pengairan dikelola melalui dua institusi


guna memisahkan tugas-tugas yang menyangkut kebijakan dan
kegiatan pelaksanaan pembangunan. Yang bersifat kebijakan antara

IV - 83
lain berupa penyusunan kebijakan pengelolaan, pengembangan dan
konservasi sumberdaya air pada Menteri Negara Pekerjaan Umum
dan yang menyangkut pelaksanaan pada Departemen Permukiman
dan Pengembangan Wilayah melalui program-program
pengembangan dan konservasi sumberdaya air, penyediaan dan
pengelolaan air baku, pengelolaan sungai, danau dan sumber air
lainnya, pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi,
pengembangan dan pengelolaan daerah rawa, dan pembinaan daerah
pantai.

Di sektor transportasi, kebijaksanaan yang ditempuh dalam


mendukung upaya penanggulangan krisis dan pemulihan kondisi
perekonomian adalah: mendukung program sektor-sektor ekonomi
strategis; mempertahankan tingkat pelayanan, keamanan, dan
keselamatan transportasi serta peningkatan efisiensi dan efektivitas
pelayanan jasa transportasi.

Langkah-langkah yang telah dilaksanakan untuk


mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi, yaitu melalui
pembangunan, rehabilitasi dan peningkatan prasarana transportasi
baik untuk moda transportasi jalan, kereta api, penyeberangan, laut
dan udara. Selain itu, menghubungkan pusat-pusat produksi dengan
daerah pemasarannya guna menjamin kelancaran distribusi sampai
ke seluruh pelosok daerah yang terpencil, dan penyediaan lapangan
pekerjaan bagi usaha menengah kecil dan koperasi, namun tetap
memperhatikan kualitas hasil pekerjaannya. Selain itu, dilakukan
upaya optimalisasi kapasitas prasarana dan sarana yang ada, dan
penajaman prioritas pelaksanaan program dan proyek-proyek
pembangunan.

Program reformasi pembangunan sektor transportasi untuk


meningkatkan efisiensi ekonomi, dilaksanakan melalui peningkatan
transparansi dan kompetisi yang sehat serta peletakan landasan iklim

IV - 84
yang lebih kondusif agar mendorong peran serta swasta dan
masyarakat di bidang pembangunan dan pelayanan jasa prasarana
transportasi.

Selain itu tetap dilaksanakannya proses desentralisasi dalam


sektor transportasi dan meredefinisi peran pemerintah, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) serta peran serta swasta dan masyarakat baik
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan
pengelolaan dan penyelenggaraan jasa transportasi agar tercapai
sistem transportasi nasional yang efisien, terpadu dengan
pengembangan wilayah/daerah serta terjangkau, namun tetap dan
dalam kerangka untuk mendukung persatuan dan kesatuan wilayah
Indonesia.

Hasil-hasil yang telah dilaksanakan dalam rangka


peningkatan keselamatan angkutan jalan terutama melalui
pembangunan rambu lalu lintas, pagar pengaman jalan, delineator,
marka jalan dan lampu lalu lintas. Selain itu, guna mendukung
mobilitas manusia dan distribusi barang di wilayah terpencil dan
kawasan pedalaman, telah dilaksanakan pula penyediaan subsidi
operasi angkutan bis perintis di 12 propinsi, serta upaya koordinasi
antar instansi dalam upaya mengatasi permasalahan kelebihan
muatan di jalan. Produktivitas lalu lintas angkutan jalan telah
meningkat pada tahun 1999/2000, yaitu terjadi kenaikan jumlah
armada bus sebesar 2,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi
645.000 unit, dan juga armada truk mengalami kenaikan 2 persen
dari tahun sebelumnya.

Program pembangunan perkeretaapian, selama tahun


1999/2000 telah melaksanakan rehabilitasi jalan kereta api
sepanjang 24 kilometer, pembangunan tubuh ban sepanjang 5
kilometer dan pembangunan jalan kereta api sepanjang 54,5
kilometer diantaranya adalah pembangunan kembali jalur kereta api
di Daerah Istimewah Aceh secara bertahap. Di samping itu, telah
dibangun jembatan, pemasangan sinyal serta instalasi 13 buah
fasilitas stasiun kereta api. Pada tahun 1999/2000, produktivitas
angkutan perkeretaapian mengalami kenaikan 9 persen

IV - 85
dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 184,0 juta
penumpang; sedangkan angkutan barang naik 8 persen menjadi 19,7
juta ton.

Selama tahun 1999/2000, program angkutan sungai, danau


dan penyeberangan telah selesai membangun 5 buah dermaga
penyeberangan, melanjutkan pembangunan 15 dermaga
penyeberangan, pembangunan 1 buah dermaga danau, 4 buah
dermaga sungai, dan lanjutan penyelesaian pembangunan 9 buah
kapal penyeberangan serta subsidi pengoperasian kapal perintis di
64 lintas untuk melayani wilayah terpencil dan pedalaman. Pada
tahun 1999/2000, jumlah angkutan penumpang, barang dan
kendaraan melalui penyeberangan naik dari tahun sebelumnya, yaitu
angkutan penumpang naik 13,0 persen menjadi 70,2 juta orang,
angkutan barang naik 11,6 persen menjadi 27,8 juta ton dan
angkutan kendaraan naik 30,2 persen menjadi 9,6 juta unit.

Pada tahun 1999/2000 dan 2000, telah dilaksanakan


langkah-langkah kebijakan untuk mengevaluasi kembali proyek-
proyek pembangunan yang ada di subsektor transportasi laut. Dari
evaluasi tersebut proyek-proyek yang tidak mendesak dan tujuannya
meningkatkan kapasitasnya ditunda. Di bidang pengembangan
armada pelayaran telah diupayakan untuk memperkuat armada
pelayaran nasionalnya. Usaha tersebut diwujudkan dengan
dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) No. 82 tahun 1999
tentang angkutan di perairan yang ditujukan untuk memperkuat
armada pelayaran nasional. PP tersebut bersama-sama dengan
ketentuan 3 ALKI dapat digunakan untuk menegakkan asas
“cabotage” karena kapal-kapal asing hanya boleh berlayar di ketiga
alur pelayaran tersebut. Apabila ada kapal asing yang mengangkut

IV - 86
cargo dalam negeri yang melakukan pelayaran di luar 3 alur
tersebut, kapal tersebut bisa ditahan dan dikenai denda. Untuk
menerapkan ketentuan ALKI tersebut, pemerintah diwajibkan
memasang beberapa sarana bantu navigasi di ketiga alur tersebut.
Pada tahun 2000 telah ditandatangani bantuan dari Jerman (KfW)
pada tanggal 3 Mei 2000 (L.A. No, 1999.65.450) untuk pengadaan
sarana bantu navigasi.

Sementara itu sasaran program keselamatan pelayaran


kebijakannya adalah mempertahankan tingkat kedalaman alur
pelayaran dan merehabilitasi baik sarana bantu navigasi maupun
kapal-kapal navigasi serta melengkapi sarana bantu navigasi yang
diperlukan di ketiga ALKI yang telah ditetapkan. Dalam rangka
menunjang keselamatan pelayaran, pada tahun 1999/2000 dibangun
15 unit rambu suar dan pada tahun 2000 baru dibangun 1 unit rambu
suar. Sedangkan rehabilitasi kapal-kapal navigasi telah dilakukan
masing-masing sebanyak 1 unit pada tahun 1999/2000 dan tahun
2000. Di samping itu pada tahun 2000 telah diadakan 4 unit
pelampung suar.

Pada tahun 1999 jumlah armada pelayaran nusantara


sebanyak 4.339 unit dengan ukuran 4.934.178 DWT atau
meningkat sejumlah 252 unit (284.364 GRT). Sedangkan jumlah
pelayaran rakyat yang pada tahun 1999 sebanyak 2.613 dengan
ukuran 384.970 GRT, pada tahun 1999 jumlah tersebut mengalami
peningkatan menjadi 2.613 unit dengan ukuran 317.986 GRT. Pada

IV - 87
tahun 2000 jumlah unit kapal pelayaran nusantara dan rakyat ini
masih tetap. Sementara itu, armada pelayaran luar negeri pada tahun
1998 sebanyak 21 unit dengan total 357.470 DWT meningkat
menjadi 23 unit namun dengan kapasitas yang menurun menjadi
410.370 DWT.

Untuk angkutan penumpang PT. PELNI menunjukkan


peningkatan, yaitu: pada tahun 1999 menjadi 22 unit dengan
kapasitas angkut penumpang sebesar 29.600 penumpang.
Selanjutnya pada tahun 2000 jumlah armada PT. PELNI menjadi 24
unit dengan kapasitas angkut penumpang sebesar 33.600
penumpang. Sedangkan jumlah armada pelayaran perintis belum
mengalami peningkatan, yaitu masih sebanyak 37 unit dengan total
22.600 DWT dari tahun 1998 hingga tahun 2000.

Pembangunan dermaga baru telah dilakukan sepanjang 830


m pada tahun 1999/2000 serta sepanjang 70 m pada tahun 2000.
Sedangkan rehabilitasi dermaga pada tahun 1999/2000, dan tahun
2000 masing-masing telah dilakukan seluas 1.914 m2 dan 280 m2.

Pada tahun 1999/2000 telah dibangun lapangan


penumpukan seluas 14.642 m2 namun pada tahun 2000 (hingga saat
ini) belum dilakukan tambahan pembangunan lapangan
penumpukan baru. Sementara itu, pada tahun 1999/2000 telah
dibangun terminal penumpang seluas 1.150 m2 sedangkan pada

IV - 88
tahun 2000 (hingga saat ini) belum ada tambahan pembangunan
terminal penumpang.

Kebijakan yang dilakukan dalam meningkatkan pelayanan


angkutan udara kepada masyarakat pengguna maupun penyedia jasa
transportasi udara adalah mempertahankan tingkat pelayanan
melalui rehabilitasi prasarana bandar udara, fasilitas keselamatan
dan keamanan penerbangan, pengawasan terhadap kelaikan pesawat
udara, Di samping itu, melanjutkan pengoperasian penerbangan
perintis dengan prioritas pada lokasi terpencil dan pedalaman yang
belum dapat dilayani oleh moda transportasi lain. Pengembangan
prasarana transportasi udara dilakukan secara selektif dalam upaya
memenuhi kapasitas beberapa bandar udara, dan pemasangan
peralatan navigasi dan telekomunikasi penerbangan serta peralatan
pengatur lalu lintas penerbangan dalam rangka meningkatkan
keselamatan dan keamanan penerbangan. Pembangunan bandar
udara pada daerah terpencil dan pedalaman juga mendapat perhatian
dalam upaya membuka aksesibilitas masyarakat untuk kegiatan
ekonomi maupun pemerintahan.

Kinerja jasa pelayanan dihasilkan pada penerbangan


berjadwal dalam negeri tahun 1999/2000 masih mengalami
penurunan dibandingkan tahun 1998/1999. Jumlah penumpang yang
diangkut tahun 1999/2000 dibandingkan tahun 1998/1999 menurun
16 persen. Meskipun terjadi penurunan, tetapi faktor muatan
penumpang yang merupakan perbandingan kapasitas dengan
produksi menunjukan peningkatan dari 59 persen pada tahun
1998/1999 menjadi 61 persen pada tahun 1999/2000. Demikian pula
untuk angkutan barang tahun 1999/2000 juga menurun sebesar 5,6
persen dibandingkan tahun sebelumnya. Faktor muatan pada

IV - 89
angkutan barang mengalami sedikit kenaikan dari 53 persen pada
tahun 1998/1999 menjadi 54 persen pada tahun 1999/2000.

Pada penerbangan internasional berjadwal yang dilakukan


oleh perusahaan penerbangan nasional juga menurun. Jumlah
penumpang yang diangkut pada tahun 1999/2000 menurun 3,9
persen dibandingkan tahun 1998/1999. Meskipun terjadi penurunan
dalam jumlah penumpang, tetapi faktor muatan penumpang
menunjukan peningkatan dari 59 persen pada tahun 1998/1999
menjadi 71 persen pada tahun 1999/2000. Jumlah barang yang
diangkut pada tahun 1999/2000 juga menurun sebesar 15,3 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Faktor muatan pada angkutan
barang juga mengalami kenaikan dari 51 persen pada tahun
1998/1999 menjadi 60 persen pada tahun 1999/2000.

Kenaikan faktor muatan pada angkutan penumpang dan


barang baik pada penerbangan dalam negeri maupun penerbangan
internasional menunjukan adanya peningkatan efisiensi penyediaan
kapasitas. Namun di lain pihak meningkatnya faktor muatan
mengakibatkan berkurangnya kemudahan pengguna dalam
memperoleh jasa transportasi udara.

Dalam hal penyediaan pesawat udara, pemerintah telah


memberikan kebebasan kepada perusahaan penerbangan untuk
menentukan jenis pesawat yang dipergunakan dengan tetap
memperhatikan standar kelaikan dan keselamatan penerbangan
nasional maupun internasional. Kebijaksanaan ini merupakan
IV - 90
perubahan kebijaksanaan sebelumnya di mana sejak tahun 1980
perusahaan penerbangan diharuskan menggunakan produk dalam
negeri dan pengecualian dari ketentuan yang berlaku harus
mendapat persetujuan pemerintah. Selain itu, juga telah dilakukan
kebijaksanaan berupa dibukanya kesempatan yang lebih luas dan
sama kepada perusahaan pemerintah maupun swasta nasional untuk
mendirikan perusahaan penerbangan baik yang beroperasi di dalam
negeri maupun ke luar negeri.

Kebijaksanaan ini telah mendapat sambutan yang positif


dari pengusaha nasional dengan bertambahnya 7 perusahaan
penerbangan nasional berjadwal sehingga jumlah perusahaan
penerbangan nasional berjadwal menjadi 12 perusahaan.
Bertambahnya jumlah perusahaan penerbangan akan berdampak
terhadap persaingan yang keras dan terdapat kekhawatiran
perusahaan penerbangan hanya mengutamakan pada rute-rute yang
menguntungkan. Perusahaan penerbangan juga dituntut untuk lebih
efisien dan efektif dalam pengelolaan perusahaan sehingga
masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang memuaskan dan tarif
yang menguntungkan. Namun dilain pihak dengan semakin
dekatnya pemberlakuan pasar global yang cenderung terbentuknya
aliansi perusahaan penerbangan dunia, kebijaksanaan yang
ditempuh dikhawatirkan justru memperlemah daya saing perusahaan
penerbangan nasional.

Program reformasi dan restrukturisasi kelembagaan untuk


meningkatkan efisiensi dan kinerja BUMN serta kejelasan peran
pemerintah dan BUMN sektor transportasi, tetap dilanjutkan
penerapan pola pendanaan Public Service Obligation (PSO),
Infrastructure Maintenance and Operation (IMO), dan Track Access
Charges (TAC) di bidang perkeretaapian serta restrukturisasi
organisasi PT Kereta Api Indonesia (Persero) guna meningkatkan
efisiensi, akuntabilitas serta untuk meningkatkan peluang bagi peran

IV - 91
serta swasta. Unit-unit usaha untuk angkutan udara juga telah
dilaksanakan proses unbundling menjadi beberapa unit bisnis
strategis sehingga menjadi lebih terfokus, independent dan
menguntungkan. Privatisasi armada angkutan udara dilakukan
dengan strategic placement atau Initial Public Offering (IPO) untuk
mencapai skema yang kompetitif dan menguntungkan negara.
Selanjutnya program swastanisasi BUMN di bidang transportasi laut
untuk operasi terminal peti kemas pelabuhan laut di Tanjung Perak
dan Tanjung Priok telah diupayakan dalam rangka menciptakan
kompetisi dalam pelayanan jasa kepelabuhanan.

Walaupun belum memenuhi kebutuhan, namun selalu


diupayakan pengadaan, pembangunan dan rehabilitasi sarana dan
prasarana operasional meteorologi dan geofisika. Sedangkan
program pencarian dan penyelamatan, secara terus menerus
peralatan pertolongan dan penyelamatan, peralatan komunikasi dan
peralatan medis ditingkatkan jumlahnya. Selain itu, juga
ditingkatkan latihan-latihan SAR baik yang bersifat lokal maupun
internasional untuk meningkatkan kemampuan petugas-petugas
SAR.

Dalam program pembangunan kelistrikan, upaya mendesak


dalam jangka pendek adalah menjaga tingkat pelayanan prasarana
tenaga listrik agar tetap pada tingkat yang wajar dengan
melaksanakan program jaminan pasokan tenaga listrik bagi

IV - 92
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan untuk menunjang program
tersebut antara lain memberikan bantuan melalui APBN untuk
sambungan rumah tangga terutama di luar Jawa. Selain itu, telah
dilaksanakan intensifikasi sambungan pada rumah tangga di daerah
perdesaan. Pasokan tenaga listrik yang memadai tersebut akan
membuat keamanan dan ketentraman lebih terjaga.

Kebijakan lain yang ditempuh adalah mengkaji kembali


proyek-proyek pembangunan prasarana tenaga listrik berskala besar.
Kebijakan ini ditempuh untuk menjaga agar antara kebutuhan dan
penyediaan tenaga listrik dapat seimbang. Dengan pengkajian
tersebut, maka beberapa proyek yang memang sangat mendesak
untuk dilaksanakan dapat tetap dilanjutkan. Dengan pengkajian ini,
maka pembangunan PLTA Musi (210 MW) dapat dilanjutkan untuk
menanggulangi kekurangan daya di Sumatera bagian selatan. Selain
itu untuk menghindari bottleneck penyaluran tenaga listrik di Jawa,
pembangunan jaringan transmisi 500 kV selatan Jawa dari Paiton
(Jawa Timur) sampai dengan Depok (Jawa Barat) tetap
dilaksanakan.

Pembangkit yang dimiliki PLN tidak mengalami


peningkatan, bahkan sedikit menurun. Apabila kapasitas pembangkit
PLN tahun 1998 sebesar 20,59 ribu MW, pada bulan April tahun
2000 jumlah kapasitas pembangkit PLN sekitar 20,38 ribu MW.
Penurunan ini disebabkan adanya pembangkit disel tua skala kecil
yang sudah tidak dioperasikan lagi. Selain itu, mengingat
keterbatasan keuangan Pemerintah, maka pada kurun waktu tersebut
tidak ada investasi pembangkit baru. Ketersediaan kapasitas tenaga
listrik yang dimiliki PLN hingga saat ini telah menjangkau 51,34
persen dari seluruh rumah tangga yang ada di Indonesia. Dari
jumlah desa yang ada, 83,14 persen telah mendapat pelayanan
listrik.

IV - 93
Langkah kebijakan lainnya adalah mengupayakan
penyediaan suku cadang bagi pembangkit dan jaringan penyaluran
tenaga listrik. Untuk itu, pemerintah mengupayakan pinjaman luar
negeri guna menunjang pembelian suku cadang peralatan listrik. Hal
ini dimaksudkan untuk menjaga kinerja pasokan tenaga listrik agar
dapat tetap melayani masyarakat. Kebijakan lain yang harus
dilakukan dalam jangka menengah adalah melaksanakan
perampingan manajemen dan reorganisasi PT. PLN (Persero).
Kegiatan ini dilakukan guna meningkatkan efisiensi di dalam
pelaksanaan operasi penyediaan tenaga listrik untuk masyarakat
luas. Dengan langkah ini diharapkan kinerja pelayanan PT. PLN
akan meningkat dan dapat menekan kerugian, sehingga dapat
melaksanakan pembangunan tenaga listrik yang berkesinambungan.

Bersamaan dengan langkah di atas, di sektor kelistrikan


secara bertahap dilaksanakan restrukturisasi sektor tenaga listrik.
Empat tujuan pokok yang akan dicapai dari program restrukturisasi
ini adalah pemulihan kelayakan keuangan, kompetisi, transparansi,
serta partisipasi swasta yang efisien. Dalam kaitan dengan listrik
swasta, pada saat ini telah dibentuk Tim Restrukturisasi dan
Rehabilitasi PLN yang didukung oleh beberapa tenaga ahli hukum
dan ahli lainnya. Hingga saat ini tim tersebut telah menyelesaikan
beberapa kontrak dengan pengembang listrik swasta serta telah
membentuk tim kerja untuk memformulasikan kerangka dasar guna
perundingan secara komersial dalam jangka panjang.
IV - 94
Di sektor telekomunikasi, selama satu tahun terakhir
pemerintah terus melaksanakan deregulasi terhadap faktor-faktor
yang menghambat investasi, produksi, distribusi, dan perdagangan,
serta menciptakan penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih
kompetitif dan transparan dengan menghilangkan praktek-praktek
monopoli dan persaingan tidak sehat berdasarkan pelaksanaan UU
No. 36/1999 yang menggantikan UU No. 3/1989. Dari sisi
penyelenggara juga telah dilakukan beberapa langkah untuk
mengurangi dampak krisis, antara lain berupa penundaan dan
bahkan penghentian proyek yang tidak cepat menghasilkan, serta
pengembangan inovasi produk jasa telekomunikasi yang disesuaikan
dengan kondisi ekonomi masyarakat. Di samping itu, pemerintah
telah membatalkan lisensi yang bernuansa KKN dan melaksanakan
pemberian lisensi secara terbuka.

Guna memanfaatkan proses konvergensi antara teknologi


telekomunikasi dan informatika untuk menunjang sektor ekonomi,
pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi Telematika Indonesia
(TKTI) melalui Keppres No. 50 Tahun 2000. Diharapkan TKTI ini
melanjutkan pengembangan telematika (telekomunikasi dan
informatika) guna mengantisipasi kebutuhan masyarakat terhadap
kemajuan telematika dan daya saing dunia usaha.

Selanjutnya, upaya pengembangan telematika ditempuh


antara lain melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya
manusia, penataan kelembagaan, peningkatan akses terhadap

IV - 95
informasi, serta pengembangan dan peningkatan pemanfaatan
prasarana telematika. Untuk meningkatkan efektivitasnya, telah
diterbitkan Keppres No. 50 Tahun 2000 sebagai pengganti Keppres
No. 186 Tahun 1998 tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia,
serta sedang disusun kebijakan dan strategi teknologi informasi
nasional. Jumlah lembaga pendidikan tinggi, mahasiswa dan lulusan
di bidang telematika semakin meningkat. Demikian pula jumlah
pengguna Internet, dan penyajian informasi melalui multimedia
yang telah meningkatkan akses terhadap informasi.

6. Menata Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya


Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup

Dalam hal pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan


pelestarian lingkungan hidup, telah dilaksanakan langkah-langkah
berikut. Di bidang pengendalian pencemaran air, telah dilaksanakan
penetapan baku mutu air, evaluasi program kali bersih (Prokasih)
agar pelaksanaannya lebih efektif, dan pengawasan pencemaran laut
akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan
akibat transportasi. Dalam pengendalian pencemaran udara, program
langit biru diteruskan serta diususunnya baku mutu udara ambien
dan emisi yang diperbarui. Sementara itu, untuk meningkatkan
kualitas udara di perkotaan yang 80 persen tercemar oleh gas buang
kendaraan bermotor, telah diupayakan pengadaan bahan bakar yang
lebih bersih, terutama penghapusan secara bertahap bensin
bertimbal. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini terkait dengan
berbagai instansi di bawah payung program langit biru sumber
bergerak yang telah diluncurkan pada tahun 1996. Sebagai
komitmen atas LoI IMF Januari 2000, pemerintah telah menetapkan
bahwa bensin bertimbal akan dihapuskan secara bertahap di
IV - 96
Jabotabek pada 1 Januari 2001, Pulau Jawa pada 1 Januari 2002, dan
Indonesia pada 1 Januari 2003. Di bidang pengendalian pencemaran
udara secara global, telah dilakukan penghapusan penggunaan
bahan-bahan perusak ozon dan inventarisasi emisi gas rumah kaca.

Selain itu juga dilaksanakan pengendalian pencemaran


limbah padat dan bahan berbahaya dan beracun (B3) melalui
penetapan baku mutu dan pembuatan pedoman pengolahan dan
pemanfaatan limbah B3. Teknologi pengendalian pencemaran
lingkungan hidup tetap dilanjutkan di samping pengembangan
teknologi pencegahan pencemaran lingkungan hidup dengan
meminimalkan limbah, pelaksanaan produksi bersih, AMDAL, dan
teknologi ramah lingkungan. Program-program sukarela yang
mendukung seperti ekolabel, standardisasi lingkungan (ISO 14000)
terus dikembangkan dan program seperti verifikasi teknologi
lingkungan (VTL) mulai diperkenalkan.

Untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan


lingkungan hidup telah disusun Sistem Informasi Profil Lingkungan
Hidup Daerah serta laporan mengenai status kualitas lingkungan
hidup nasional berdasarkan standar yang ditentukan UNEP.
Sementara itu untuk meningkatkan peran masyarakat telah dibuat
kebijakan tentang transparansi dan kemudahan akses terhadap
informasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Sebagai bagian
yang tak terlepaskan dalam pengelolaan lingkungan hidup, telah
juga dilakukan upaya penegakan dan penataan hukum lingkungan
hidup melalui penindaklanjutan kasus-kasus sengketa lingkungan
hidup, pelaksanaan kerjasama antara Kepolisian Republik Indonesia
dengan KMNLH tentang penegakan hukum dan lingkungan hidup
yang ditandatangani pada tanggal 24 Mei 2000.

Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan UU No. 23/1997


tentang Lingkungan Hidup, telah dikeluarkan beberapa peraturan
pelaksanaan UU tersebut. Peraturan tersebut antara lain adalah PP
No. 19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut;

IV - 97
PP No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara; PP No.
27/1999 tentang Amdal; PP No. 18/1999, PP No. 85/1999 tentang
Pengelolaan Limbah B3; dan PP No. 54/2000 tentang Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan. Peraturan-peraturan yang masih berbentuk rancangan
atau yang belum dibuat dan belum disahkan yang merupakan
peraturan pelaksanaan UU No. 23 adalah Pasal 8 ayat (3); Pasal 13
ayat (2) tentang penyerahan urusan pada pemerintah daerah; Pasal
14 ayat (3) tentang baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan,
dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya;
Pasal 16 ayat (2) tentang ketentuan limbah hasil usaha dan atau
kegiatan; Pasal 20 ayat (5) tentang pembuangan limbah ke
lingkungan hidup, khususnya untuk pengendalian pencemaran air;
serta Pasal 37 ayat (3) tentang ketentuan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan penderitaan
masyarakat.

Kebijakan yang ditempuh dalam pembangunan kehutanan


selama satu tahun terakhir lebih banyak diarahkan pada usaha-usaha
memperbaiki kondisi hutan yang sudah semakin parah akibat
eksploitasi hutan yang berlebihan dan kurangnya usaha konservasi.
Selain itu, kebijakan lain yang terkait dengan pembangunan bidang
kehutanan adalah upaya penegakan hukum dan reformasi aparatur,
pemulihan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat dan
ketahanan budaya, serta konservasi SDA hayati dan ekosistem
penyangga kehidupan.

IV - 98
Dalam penegakan bidang hukum, untuk menjabarkan UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan melengkapi
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, saat ini sedang disusun
delapan (8) Rancangan Peraturan pemerintah (RPP) dan tiga (3)
RPP untuk UU No.5 Tahun 1990 tentang Sistem Penyangga
Kehidupan dan tentang Cagar Biosfir. Disamping itu sedang
disiapkan konsep-konsep Keputusan Menteri mengenai pedoman,
kriteria, standard, prosedur dan norma sebagai pelaksanaan lebih
lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. Penegakan
hukum juga telah dilaksanakan dalam penyelewengan terhadap
penggunaan dana reboisasi, baik yang dilakukan untuk pemetaan
hutan maupun pembangunan HTI, proses pinjam pakai dan tukar
menukar kawasan hutan untuk keperluan non hutan. Selain itu juga
dilakukan penanggulangan illegal logging (penebangan liar) yang
terjadi di daerah Tanjung Puting, Taman Nasional Gunung Leuser
dan daerah perbatasan Kalimantan-Malaysia. Sedangkan dalam
rangka menindaklanjuti kesepakatan dengan Dana Moneter
Internasional (IMF), maka telah dibentuk suatu Komite Antar
Departemen Bidang Kehutanan melalui Keppres No. 80 tahun 2000
yang mempunyai tujuh tugas, diantaranya adalah merumuskan
program kehutanan nasional, menunda konversi hutan alam,
menghitung ulang nilai tukar sumberdaya hutan dan
mendesentralisasikan tugas dan kewenangan bidang kehutanan
sebagai instrumen pengelolaan dan konservasi sumberdaya hutan
secara lestari.

Seiring dengan usaha pemerintah dalam memberantas


praktek kolusi, korupsi dan nepotisme di bidang pengusahaan hutan
(HPH) maka sampai dengan tahun 2000 pemerintah telah
memeriksa ijin 51 HPH yang dinilai melakukan penyimpangan
prosedur, 14 HPH belum diberi ijin operasi dan 2 HPH diarahkan
untuk dicabut. Demikian pula pemeriksaan terhadap aparat
Departemen Kehutanan dan Perkebunan serta 68 HPH dari
kelompok usaha besar yang dinilai tidak melaksanakan kegiatan
sesuai ketentuan. Kegiatan-kegiatan lainnya yang telah dilaksanakan
dalam rangka pemberantasan KKN di bidang kehutanan adalah
pencabutan perjanjian pengelolaan mutiara di Pulau Komodo,

IV - 99
pemeriksaan kegiatan kredit usaha tani konservasi daerah aliran
sungai (KUKDAS), kredit usaha hutan rakyat (KUHR), dan kredit
usaha persuteraan alam (KUPA). Hasil yang diperoleh dari
pemeriksanan tersebut adalah ditemukannya kredit macet KUKDAS
sebesar Rp 9.293,6 juta dan KUPA sebesar Rp 460,46 juta.

Sementara itu, hasil-hasil pembangunan kehutanan dalam


rangka pemulihan ekonomi dilaksanakan melalui pemberdayaan
koperasi serta perorangan dalam pengelolaan hutan, restrukturisasi
BUMN Kehutanan, penataan kembali pengelolaan hutan produksi di
luar Pulau Jawa, penyesuaian tarif dana reboisasi bagi peningkatan
penerimaan negara. Dalam rangka memperkuat struktur ekonomi
nasional maka telah dikembangkan hubungan kemitraan dalam
bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan
menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMN serta usaha
kecil, menengah dan besar melalui kredit kepada masyarakat seperti
KUHR, KUPA, dan KUKDAS.

Dalam upaya membangun komitmen politik di antara para


pihak, pemerintah telah membentuk Komite Kehutanan
Antardepartemen (IDCF) melalui Keppres No.80 tahun 2000.
Kegiatan-kegiatan komite yang telah dilaksanakan meliputi
penyusunan Rencana Strategis Kehutanan dan Perkebunan tahun
2001-2005; menyiapkan National Forest Program sebagai tindak
lanjut kesepakatan dengan IMF; menerbitkan Surat Keputusan
Menhutbun No. 146/Kpts-II/2000 tentang evaluasi tindak lanjut
pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya
perkebunan; menyiapkan Master Plan Rehabilitasi dan Reboisasi
Hutan Nasional; melakukan kajian terhadap kemungkinan
penerapan Clean Development Mechanism; dan menyiapkan konsep
rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang perencanaan
kehutanan sebagai penjabaran Undang-undang No. 41 Tahun 1999.
Menindaklanjuti penataan ruang dalam UU No. 24 Tahun 1992
melalui paduserasi antara tata guna hutan kesepakatan (TGHK)
dengan tata ruang wilayah di masing-masing propinsi. Dari 26
propinsi yang telah disepakati paduserasinya sebanyak 17 propinsi

IV - 100
telah ditunjuk tata guna hutan dan yang masih dalam proses
penyelesaian sebanyak 9 propinsi.

Dalam program peningkatan kesejahteraan rakyat dan


ketahanan budaya langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan
antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
melalui kegiatan pengembangan hutan rakyat, pengembangan hutan
kemasyarakatan, dan pengembangan aneka usaha kehutanan.
Namun langkah kebijakan tersebut belum dilaksanakan secara
optimal. Sedangkan kegiatan reboisasi yang ditujukan untuk
memulihkan fungsi perlindungan tata air dan tanah, yang
diutamakan pada daerah aliran sungai (DAS) telah dilaksanakan
pada areal hutan seluas 5.419 hektar di 17 propinsi pada tahun
1999/2000. Hutan kemasyarakatan yang merupakan pola pendekatan
dalam pengelolaan hutan untuk menciptakan hubungan yang serasi
dan saling menguntungkan antara hutan dengan masyarakat
sekitarnya telah dilaksanakan pada areal sekitar 9.000 hektar di 14
propinsi pada tahun 1999/2000. Kegiatan penghijauan dan
konservasi tanah di luar kawasan hutan yang ditujukan untuk
memelihara keadaan tata air dan tanah di bagian DAS telah dapat
direalisasikan seluas 368.250 ha yang dilaksanakan melalui upaya-
upaya: pembuatan unit percontohan usaha pelestarian sumberdaya
alam (UPSA); susaha pertanian menetap (PM); pembangunan
kebun bibit desa dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta
rehabilitasi teras. Pengembangan aneka usaha kehutanan melalui
diversifikasihasi hasil hutan non-kayu seperti lebah madu, sutera
alam, tanaman obat-obatan, rotan dan lain-lain.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama 10 tahun


terakhir ini cukup mengkhawatirkan. Pada tahun 2000 sampai
dengan bulan Mei, tercatat 450 hektar kawasan hutan dan 6.822
hektar kebun terbakar dengan perkiraan kerugian sebesar Rp 8
miliar. Dalam pada itu, upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam
rangka penanggulangan kebakaran tersebut antara lain adalah
meningkatkan koordinasi dengan instansi dan masyarakat dalam
mengatasi kebakaran hutan; mengembangkan sistem peringatan dan
deteksi dini dengan teknologi sederhana maupun teknologi tinggi

IV - 101
seperti pembangunan stasiun NOAA dan GMS Himawari; menjalin
kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam negeri maupun
lembaga internasional; dan memberikan sanksi administrasi kepada
pengusaha hutan yang melakukan pembakaran hutan pada areal
usahanya dalam pembukaan lahan dan juga diupayakan untuk dapat
diproses secara yuridis.

W. Tindak Lanjut yang Diperlukan

X. Tanda-tanda pemulihan ekonomi semakin tampak.


Stabilitas ekonomi terkendali dan kegiatan sektor riil telah
meningkat. Namun demikian keadaan ekonomi masih sangat rentan
terhadap gejolak, baik internal maupun eksternal, dan masih jauh di
bawah keadaan pemulihan ekonomi yang diharapkan. Berbagai
tindak lanjut diperlukan untuk mencapai pemulihan ekonomi
sepenuhnya. Beban ekonomi rakyat sudah semakin berat, sehingga
lambatnya pemulihan ekonomi cenderung memicu timbulnya
gejolak sosial yang akan membahayakan proses pemulihan ekonomi
itu sendiri. Proses pemulihan ekonomi yang berjalan lambat juga
menghadapi ancaman munculnya gejolak ekonomi lainnya baik dari
dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat membuat Indonesia
menjadi lebih terpuruk. Dengan momentum reformasi yang ada saat
ini, upaya keras harus dilanjutkan dan ditingkatkan, sedangkan
kekurangan-kekurangan yang ada diperbaiki.

1. Menjaga Stabilitas Ekonomi Makro dan Meningkatkan


Pertumbuhan Ekonomi

Prospek perekonomian nasional di tahun 2000-2001


diperkirakan terus mengalami perbaikan. Namun demikian, terdapat
beberapa tantangan dan permasalahan yang perlu segera diatasi.

IV - 102
Permasalahan tersebut antara lain mencakup potensi gejolak inflasi
sesaat dari sisi penawaran, lambatnya proses restrukturisasi
perbankan dan utang luar negeri, besarnya defisit keuangan negara,
dan kendala yang dihadapi ekspor. Dalam kaitan itu, perlu
ditingkatkan koordinasi yang lebih baik antarkebijakan dan insitusi
terkait.

Dalam hal keuangan negara, upaya mencapai


kesinambungan anggaran akan terus dilanjutkan melalui upaya-
upaya meningkatkan penerimaan negara, mengurangi subsidi,
membatasi peningkatan belanja pegawai dan mengamankan tahapan
desentralisasi yang sesuai dengan kestabilan ekonomi makro.

Sementara itu, jumlah utang luar negeri pemerintah yang


semakin besar mengakibatkan beban pembayaran pokok dan bunga
semakin membengkak sehingga upaya-upaya untuk mengurangi
beban tersebut, khususnya melalui program restrukturisasi utang,
menjadi tantangan tersendiri. Penyelesaian masalah utang tersebut di
atas merupakan faktor pendukung pemulihan ekonomi nasional.
Mengingat beban utang luar negeri yang besar dan untuk
memberikan landasan yang mantap dan kejelasan bagi terciptanya
kelembagaan dan hubungan kelembagaan dalam pengelolaan
pinjaman luar negeri, perlu disusun UU Pinjaman Luar Negeri.
Melalui UU ini nantinya diharapkan akan ada prinsip-prinsip dasar
dan sanksi yang jelas dalam pencarian, penerimaan, penggunaan
(penilaian) pinjaman luar negeri, dan hubungan kelembagaan yang
jelas dalam pengelolaan dan pengendalian pinjaman luar negeri.

Masalah lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah


masih besarnya potensi tekanan inflasi beberapa bulan mendatang
terutama sebagai dampak dari penyesuaian administered prices.
Kebijakan moneter pada dasarnya hanya dapat mempengaruhi

IV - 103
tekanan inflasi dari sisi permintaan, sehingga apabila terjadi gejolak
di sisi penawaran akan sulit diakomodasi oleh kebijakan moneter
dalam jangka pendek tanpa menimbulkan efek negatif terhadap
kegiatan perekonomian. Tekanan inflasi juga akan berasal dari
peningkatan kegiatan ekonomi beberapa sektor produksi penting
serta faktor eksternal. Faktor ini tercermin dari kecenderungan
melemahnya nilai tukar rupiah beberapa bulan terakhir dan potensi
kenaikan harga komoditas dunia terhadap kenaikan inflasi dalam
negeri. Untuk mengatasi masalah ini, maka uang primer akan
dikendalikan secara ketat agar tetap berada di dalam target.
Selanjutnya dalam rangka pengendalian inflasi misalnya agar
kebutuhan pokok masyarakat tetap terjangkau perlu dilaksanakan
kebijakan yang konsisten dan saling mendukung antar institusi yang
mengatur arus perdagangan, membangun prasarana fisik, dan yang
meningkatkan produksi bahan-bahan pokok, termasuk dalam
menghadapi hal-hal khusus seperti menyongsong hari-hari besar
(lebaran, natal, dan sebagainya).

Dari sisi moneter, kebijakan terus difokuskan pada


pengendalian nilai rupiah. Dalam rangka menjaga kestabilan nilai
rupiah, khususnya pencapaian sasaran laju inflasi, Bank Indonesia
telah menetapkan sasaran-sasaran moneter khususnya uang primer.
Ekspansi uang primer akan dikendalikan sehingga tidak akan
melebihi 8,3 persen pada akhir tahun 2000. Penetapan sasaran uang
primer tersebut dilakukan bersama-sama dengan penetapan net
domestic asset (NDA) dan net international reserve (NIR). Pada
akhir tahun 2000, NIR diupayakan tetap berada di atas US$ 16,2
miliar dan posisi NDA tidak boleh lebih ekspansif dari negatif Rp
211 triliun. Namun demikian, Bank Indonesia dan pemerintah
sepakat bahwa penetapan sasaran-sasaran moneter tersebut
disesuaikan kembali apabila pemerintah melakukan penyesuaian
harga-harga barang dan jasa yang dikendalikan (administered price).
Dalam pelaksanaan pengendalian moneter, Bank Indonesia akan
terus mengambil langkah-langkah guna meningkatkan efektivitas
piranti pengendalian moneter yang dimiliki terutama OPT.
Sehubungan dengan mulai diperdagangkannya obligasi pemerintah,
IV - 104
Bank Indonesia akan menjajaki kemungkinan penggunaan obligasi
tersebut sebagai alternatif instrumen OPT.

Untuk dapat mendukung kebijakan moneter yang efektif dan


pengembangan sistem perbankan yang sehat, maka arah kebijakan
di bidang sistem pembayaran akan tetap difokuskan pada langkah
penciptaan sistem pembayaran yang efisien, cepat, dan aman. Untuk
itu, pelaksanaan real time gross settlement (RTGS) akan dipercepat
dan penanggulangan peredaran uang palsu diprioritaskan.

Selanjutnya, untuk mengatasi masalah beban pengendalian


moneter maka perlu dilakukan upaya untuk lebih meningkatkan
fungsi intermediasi perbankan. Hal ini memerlukan langkah-langkah
yang tepat untuk dapat mempercepat proses restrukturisasi di sektor
perbankan maupun sektor riil.

2. Mempercepat Restrukturisasi Perbankan dan


Restrukturisasi Perusahaan

Pelaksanaan restrukturisasi perbankan yang belum berjalan


seperti yang diharapkan merupakan salah satu faktor yang
menghambat percepatan restrukturisasi dunia usaha. Selain itu,
belum pulihnya sektor perbankan mengakibatkan kebijakan moneter
menjadi tidak efektif karena proses transmisi kebijakan moneter ke
sektor riil melalui intermediasi sistem perbankan tidak berjalan.
Upaya mempercepat pelaksanaan restrukturisasi perbankan ini akan
menentukan kinerja perekonomian mendatang.

Upaya ini akan ditempuh dengan lebih mengefektifkan


forum koordinasi yang melibatkan pihak-pihak yang terkait dalam
pelaksanaan restrukturisasi perbankan, khususnya program
rekapitalisasi dan restrukturisasi kredit. Dalam rangka mencegah
terulangnya kembali krisis perbankan pada tahun-tahun mendatang,
pemerintah mendukung upaya Bank Indonesia untuk terus
memantapkan ketahanan sistem perbankan melaiui penciptaan

IV - 105
lingkungan perbankan yang kondusif, peningkatan kualitas
pengelolaan bank (good governance), serta pemantapan pengawasan
bank. Pemantapan pengawasan bank dilakukan antara lain dengan
lebih menitikberatkan kegiatan pengawasan pada identifikasi risiko
yang dihadapi (risk based supervision), dan mengupayakan
tercapainya CAR perbankan nasional sebesar 8 persen sesuai dengan
standar internasional pada akhir tahun 2001. Selanjutnya, BI akan
mendorong pemulihan fungsi intermediasi bank terutama melalui
peningkatan pembiayaan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan
pemberian bantuan teknis untuk pengembangan UKM dan
pengembangan peranan bank yang sudah mempunyai keahlian di
bidang pembiayan UKM.

Restrukturisasi utang luar negeri swasta yang berjalan


lambat menjadi kendala utama bagi dunia usaha untuk kembali
menjalankan aktivitas usahanya secara optimal. Proses penyelesaian
utang swasta tersebut semakin berat akibat lemahnya koordinasi
antar instansi terkait. Untuk penuntasan restrukturisasi utang
perusahaan, beberapa langkah tindak lanjut perlu dilakukan antara
lain adalah memperkuat institusi yang berkaitan dengan
restruksturisasi utang perusahaan, antara lain Prakarsa Jakarta,
BPPN, dan Pengadilan Niaga; dan instrumen-instrumen dasar,
antara lain perangkat peraturan yang berkaitan dengan upaya
penyelesaian utang perusahaan. Sedangkan untuk mencegah
terulangnya pinjaman swasta yang tidak terkendali diperlukan
penyempurnaan sistem pemantauan utang luar negeri swasta
termasuk BUMN, perluasan cakupan data pokok posisi utang luar
negeri, dan penyempurnaan sistem pelaporan utang luar negeri.

3. Menanggulangi Kemiskinan dan Menciptakan


Lapangan Kerja serta Meningkatkan Perlindungan
Tenaga Kerja

IV - 106
Selanjutnya, sebagai masalah pokok nasional dalam
pembangunan nasional, pelaksanaan penanggulangan kemiskinan
harus terus ditingkatkan dan tidak dapat ditunda dengan dalih
apapun. Sesuai dengan prinsip keadilan, penanggulangan
kemiskinan merupakan salah satu upaya strategis dalam
mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan. Dalam kaitan itu tindak
lanjut yang perlu diupayakan adalah melanjutkan berbagai upaya
untuk melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang
mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis
ekonomi dan melakukan berbagai upaya untuk membantu
masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, memberdayakan
mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan
usaha, dan mencegah terjadinya kemiskinan baru.

Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan


multidimensional sehingga memerlukan strategi penanggulangan
yang komprehensif. Karena itu, kedua strategi penanggulangan
tersebut di atas, perlu didukung oleh kebijakan makro seperti
stabilisasi harga dan kebijakan pro-poor growth, sektoral seperti
pembangunan pertanian dan pengembangan UKMK, pendidikan dan
kesehatan, dan lintassektoral seperti pengembangan perdesaan.

Sesuai dengan otonomi daerah, maka berbagai kebijakan


penanggulangan kemiskinan tersebut akan dilaksanakan dengan
prinsip desentralisasi, yaitu mendelegasikan proses pengambilan
keputusan, tanggung jawab dan kewenangan sedekat mungkin
dengan kelompok sasaran. Pemerintah daerah berperan untuk

IV - 107
mengkoordinasikan dan memfasilitasi semua kegiatan
penanggulangan kemiskinan di daerahnya dan secara umum
bertanggungjawab atas keberhasilan pelaksanaan kebijakan di
daerahnya sedangkan pemerintah pusat berperan dalam
pengembangan sistem informasi yang didasarkan pada data dasar
yang lengkap, akurat, dan mutakhir mengenai kondisi penduduk
miskin.

Di sektor ketenagakerjaan, tindak lanjut yang diperlukan


adalah memperluas kesempatan kerja dalam berbagai bidang usaha,
menciptakan tenaga kerja mandiri dalam rangka mengurangi
pengangguran baik di perdesaan maupun di perkotaan. Berbagai
kebijakan yang dibuat seyogyanya mendorong penciptaan pasar
kerja yang fleksibel dan responsif terhadap peluang-peluang yang
tersedia. Krisis ekonomi membawa perubahan kepada prospek usaha
yang memerlukan mobilitas tenaga kerja yang memadai.

Terkait dengan perluasan kesempatan kerja, diperlukan


peningkatan kemandirian dan kompetensi tenaga kerja. Untuk itu,
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang memadai dan sesuai
dengan permintaan pasar perlu ditingkatkan. Salah satu pilar penting
adalah untuk secepatnya membentuk lembaga pengembangan
standarisasi dan sertifikasi kompetensi profesi. Selain itu, perlu
ditingkatkan kualitas dan relevansi pelatihan kerja melalui
pembinaan dan pemberdayaan lembaga pelatihan kerja agar
menghasilkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan.

IV - 108
Khusus untuk pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, perlu
disempurnakan mekanisme pengiriman, pembinaan, bimbingan, dan
seleksi yang lebih ketat. Keterbatasan keterampilan mengakibatkan
tenaga kerja yang dikirim banyak bekerja pada sektor informal, di
masa datang diharapkan tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri
mempunyai keterampilan yang lebih tinggi. Selain itu, perlu
diupayakan pernyempurnaan perlindungan yang lebih baik terhadap
tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Dalam program perlindungan tenaga kerja, perlu


ditindaklanjuti peraturan dan perundang-undangan sebagai
konsekuensi diratifikasinya delapan konvensi ILO oleh pemerintah
Indonesia. Hal ini agar secepatnya terwujud hubungan industrial
yang serasi dan saling menguntungkan antara pekerja dan
pengusaha. Upaya peningkatan pengawasan keselamatan dan
kesehatan kerja serta jaminan sosial bagi pekerja perlu ditingkatkan.
Dalam bidang jaminan sosial tenaga kerja, perlu disempurnakan
berbagai kebijakan agar perusahaan dan pekerja yang mengikuti
program jaminan sosial tenaga kerja dapat benar-benar merasakan
manfaatnya sehingga tingkat partisipasi dalam program jaminan
sosial tenaga kerja dapat meningkat.

4. Memulihkan Kegiatan Usaha: Produksi, Perdagangan,


dan Investasi

IV - 109
Pemberdayaan dan pengembangan UKMK memerlukan
upaya yang besar, proses dan waktu, serta komitmen segenap
komponen masyarakat. Upaya lanjutan yang perlu dilakukan antara
lain adalah penyempurnaan peraturan-peraturan untuk mendukung
desentralisasi dan otonomi, termasuk mewaspadai agar di masing-
masing daerah tidak muncul peraturan maupun pungutan/retribusi
daerah yang dapat menghambat kelancaran usaha, khususnya
UKMK, termasuk arus barang dan jasa antardaerah dan wilayah.

Selanjutnya, untuk meningkatkan pembinaan usaha kecil


dan menengah yang mandiri, perlu terus dikembangkan layanan
pengembangan bisnis baik lembaga maupun tatanan antar
kelembagaannya, terutama untuk menumbuhkan lebih luas lembaga
layanan tersebut di daerah. Untuk lebih mendorong swasta dalam
menyediakan pelayanan bisnis kepada UKMK perlu dikaji sistem
insentif yang wajar. Pelayanan pengembangan bisnis baik di bidang
teknis produksi, usaha maupun pemasaran perlu terus ditingkatkan
mutu pelayanannya, baik mutu materi maupun cara pelayanannya,
sesuai dengan kebutuhan UKMK. Dengan makin meningkatnya
mutu pelayanan sesuai kebutuhan tersebut, maka peran masyarakat
dapat meningkat menjadi lembaga layanan yang dapat berkembang
secara mandiri.

Seiring dengan upaya tersebut, terus ditingkatkan pula


penguasaan teknologi informasi termasuk teknologi proses dan
produk agar dayasaing UKM semakin meningkat. Demikian juga,
pelaksanaan kemitraan antara UKM dengan usaha besar masih perlu
terus didorong untuk memperluas jaringan usahanya, baik di dalam
maupun luar negeri. Upaya ini dapat dipercepat melalui
pemasyarakatan transaksi dagang melalui sistem elektronik
(e-commerce) sehingga usaha kecil dan menengah dapat
memanfaatkan peluang usaha ini, termasuk mewaspadai bahaya
serta kerugian yang mungkin timbul dari transaksi tersebut.

Berkenaan dengan aspek pembiayaan, bersamaan dengan


peninjauan kembali terhadap faktor-faktor penghambat efektivitas
IV - 110
kredit dan penyederhanaan skim kredit bagi UKMK, maka
pengembangan skim dan lembaga penjaminan kredit UKMK perlu
ditindaklanjuti serta penyederhanaan peraturan yang menghambat
pengembangan lembaga pembiayaan alternatif. Yang perlu
dilakukan juga adalah penguatan dan peningkatan corporate
governance lembaga pembiayaan untuk usaha kecil, menengah, dan
koperasi ini.

Dalam hal BUMN, terus diupayakan langkah-langkah untuk


memperbaiki kinerja BUMN yang antara lain adalah: pertama,
menerapkan dan membudayakan corporate governance dengan
kaidah fairness, transparansi, accountability, dan responsibility;
kedua, memisahkan kegiatan bisnis dari fungsi pelayanan
pemerintah sehingga BUMN yang bersangkutan dapat memperoleh
keuntungan yang maksimal yang memungkinkan perluasan dan
peningkatan jaringan pelayanan yang sejalan dengan kaidah-kaidah
ekonomi dan bisnis; ketiga, meningkatkan upaya restrukturisasi dan
privatisasi BUMN; serta keempat, menanamkan prosedur yang adil
(fair) dan transparan dalam manajemen tenaga kerja serta pengadaan
barang dan jasa.

Peluang peningkatan ekspor non migas sangat terbuka.


Peluang tersebut antara lain tercermin dari perkembangan nilai tukar
yang relatif stabil, masih kuatnya permintaan dunia, dan
membaiknya harga sejumlah komoditas ekspor non migas. Dalam
upaya meningkatkan penerimaan devisa baik dari penerimaan
ekspor barang terutama non migas maupun ekspor jasa seperti TKI,
pariwisata, jasa angkutan, dan jasa lainnya, pemerintah terus
mengurangi hambatan-hambatan dalam perdagangan dan investasi.
Selain itu juga diperlukan upaya untuk mendorong efektivitas
lembaga pembiayaan perdagangan ekspor dan impor (trade
financing) seperti Bank Ekspor Indonesia (BEI) yang antara lain
melalui perubahan status BEI, meningkatkan promosi ekspor ke luar
negeri termasuk upaya pemulihan citra masyarakat internasional
terhadap Indonesia. Demikian pula diplomasi perdagangan dan
pariwisata ke luar negeri lebih digalakkan agar hambatan
perdagangan yang dihadapi para eksportir dapat dikurangi.

IV - 111
Selanjutnya, diperlancar distribusi bahan baku dan produk ekspor di
dalam negeri, khususnya dari dan ke kawasan penghasil ekspor
andalan, untuk menjamin kelancaran ekspor, mengembangkan
potensi pariwisata, dan mempermudah pemberian ijin usaha
pariwisata. Upaya untuk mengikuti bursa kepariwisataan
internasional dan menjalin kerjasama dengan lembaga
kepariwisataan internasional perlu terus ditingkatkan. Dalam hal
perundang-undangan, untuk mendukung pariwisata maka perlu
dilakukan perubahan UU No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan
yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kepariwisataan saat ini. Demikian pula, sedang dipersiapkan
penyusunan RUU tentang Kesenian.

Pengaruh gejolak moneter dan musim yang tidak menentu


selama tahun 1999/2000 memberikan dampak terhadap tidak
stabilnya ketersediaan pangan baik sebagai sumber energi maupun
protein. Perkembangan komposisi energi yang berasal dari padi-
padian semakin menjauhi komposisi yang dianjurkan dalam
penilaian skor mutu PPH. Dengan demikian sesuai dengan mutu gizi
seimbang sasaran konsumsi masih diperlukan upaya peningkatan
baik dari aspek budaya maupun ketersediaan sumber energi yang
berasal dari bahan pangan lainnya. Untuk peningkatan mutu pangan
diperlukan komposisi yang seimbang dengan tersedianya energi dan
protein dengan cara diversifikasi pangan dan pemanfaatan teknologi
mutakhir serta bibit-bibit unggul hasil terakhir.

Dampak krisis ekonomi dan moneter saat sekarang


merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk kembali
mengandalkan pembangunan yang berbasis pertanian dan perdesaan.
Momentum ini merupakan kesempatan untuk lebih mewujudkan
kelestarian swasembada pangan, mengembangkan agrobisnis
produk-produk pertanian dan kehutanan, sekaligus mendukung
upaya program percepatan penghapusan kemiskinan. Program ini
dilaksanakan melalui pendekatan pertanian rakyat terpadu dengan
titik berat kegiatan pada upaya-upaya meningkatkan produktivitas
usaha tani melalui peningkatan mutu dan perluasan areal

IV - 112
intensifikasi, menjamin ketersediaan dan distribusi benih unggul dan
sarana produksi, memperbaiki pengelolaan pasca panen dengan
pengembangan dan penggunaan alat dan mesin pertanian, serta
meningkatkan penerapan teknologi konservasi.

Di sektor kelautan, upaya-upaya yang akan dilakukan dalam


pengelolaan sumberdaya laut di masa mendatang adalah penguasaan
teknologi kelautan dan perikanan, pemanfaatan sumberdaya laut,
pengelolaan lingkungan hidup laut, pembinaan daerah pantai,
penataan ruang, inventarisasi dan evaluasi potensi kelautan, serta
peningkatan efisiensi dan kapasitas aparatur negara.

Sesuai dengan perkembangan era reformasi, restrukturisasi


kegiatan dan bidang usaha di sektor pertambangan akan terus
dilanjutkan untuk mencapai dasar-dasar pengusahaan yang
menghapuskan monopoli dan terbuka bagi masyarakat luas. Dengan
demikian pengusahaan di sektor pertambangan dan energi dapat
dilakukan secara efisien, transparan dan sesuai dengan cara dan
sistem pengelolaan usaha pertambangan dan energi yang modern,
serta hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas dalam bentuk
pelayanan yang lebih baik dan harga yang bersaing. Selanjutnya,
dalam rangka otonomi daerah, secara bertahap kewenangan
pemerintah pusat akan didelegasikan kepada pemerintah daerah
secara bertangungjawab, hal ini diharapkan dapat mewujudkan iklim
yang kondusif untuk masuknya investasi baru. Selain itu perlu
tindak lanjut dari penyelesaian berbagai masalah secara hukum
meliputi penyelundupan BBM, kegiatan pertambangan tanpa izin
(Peti), penghapusan KKN di lingkungan BUMN pertambangan dan
energi.

Penyesuaian harga BBM perlu menjadi salah satu agenda


yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan. Berdasarkan
perhitungan, kenaikan harga BBM dinilai tidak akan terlalu
membebani golongan miskin, karena kepada rakyat miskin
pemerintah masih akan memberikan subsidi langsung dalam bentuk
harga untuk minyak tanah dan subsidi angkutan umum untuk kelas
ekonomi. Sebaliknya, dipertahankannya harga BBM akan

IV - 113
meningkatkan subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Hal ini akan berdampak kepada besarnya beban APBN, rendahnya
tingkat efisiensi konsumsi dan tertundanya upaya diversifikasi
energi.

5. Menyediakan Prasarana dan Sarana Penunjang


Ekonomi

Dalam hal prasarana pengairan, untuk mencapai


pendayagunaan sumberdaya air yang berkelanjutan dengan
mempertimbangkan pula UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta peraturan lain yang masih
berlaku di sektor pengairan, diperlukan tindak lanjut untuk mengatur
kembali peranan pemerintah dan peningkatan peran serta
masyarakat. Langkah-langkah yang diperlukan antara lain adalah
penyiapan berbagai prosedur dan perangkat pengaturan yang
berkaitan dengan semakin meningkatnya kompetisi pemanfaatan
sumber air; pengaturan kembali peranan pemerintah pusat yang akan
dibatasi hanya pada kegiatan pengaturan; pembinaan, peningkatan
partisipasi peran swasta dan masyarakat di masing-masing daerah,
serta penyerahan pengelolaan sumberdaya air ke masing-masing
pemerintah daerah; penyiapan prosedur dan peraturan dalam rangka
penyerahan kewenangan pelaksanaan pembangunan pengairan
kepada pemerintah daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten;
reorganisasi struktur pemerintah daerah di tingkat propinsi untuk
menjamin optimalisasi pelayanan pemenuhan kebutuhan air di
tingkat kabupaten sampai ke tingkat desa.

Reformasi pembangunan transportasi harus terus


dilanjutkan melalui deregulasi ataupun regulasi untuk penghapusan
berbagai bentuk restriksi yang dapat menghambat upaya
peningkatan efisiensi pelayanan jasa transportasi, pelaksanaan
IV - 114
reformasi hukum, kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang
transportasi dalam menciptakan kelembagaan yang efisien,
bertanggung jawab, dan aparat yang bersih dan upaya pemerataan
kesempatan berusaha melalui peningkatan keikutsertaan usaha kecil
dan menengah/ koperasi dalam pengadaan barang dan jasa
transportasi.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi perlu


diupayakan peningkatan peran serta masyarakat dan swasta baik
melalui kerjasama operasi dengan BUMN, proses privatisasi serta
restrukturisasi kejelasan tugas, kewajiban, dan peran antara
pemerintah dan BUMN, baik dalam pelaksanaan pembangunan
maupun pengelolaan jasa transportasi. Penerapan sistem kebijakan
tarif angkutan perlu diupayakan lebih transparan dan lebih
kompetitif melalui perbaikan mekanisme penetapan yang lebih
mendekati keseimbangan daya beli dan keinginan pasar dan
mekanisme sistem subsidi yang efisien dan tepat sasaran agar
kepentingan pelayanan umum dapat diprioritaskan.

Program pengembangan fasilitas lalu lintas angkutan jalan


perlu dilanjutkan untuk menjamin terselenggaranya sistem lalu
lintas angkutan jalan yang lancar, terpadu, aman dan nyaman,
sehingga mampu meningkatkan efisiensi pergerakan orang dan
barang serta memperkecil kesenjangan antarwilayah sekaligus
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya,
pembangunan perkeretaapian perlu terus dikembangkan untuk

IV - 115
meningkatkan pelayanan angkutan kereta api secara cepat, murah,
aman dan nyaman sehingga tidak saja mampu berperan sebagai
alternatif angkutan jalan yang handal tetapi juga menunjang
pergerakan orang dan barang secara massal dan efisien. Begitu pula
angkutan sungai/danau, perlu terus ditingkatkan untuk
meningkatkan pelayanan angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan yang diharapkan dapat berperan sebagai tulang
punggung pengembangan ekonomi daerah, khususnya di kawasan
terpencil dan pedalaman maupun untuk menghubungkan kesatuan
wilayah dan pulau-pulau melalui suatu sistem jaringan transportasi
yang terpadu.

Untuk menjamin lancar dan amannya pelayaran di perairan


Indonesia serta menegakkan asas cabotage dan UNCTAD Code of
Conduct of Liner Conference, maka tindak lanjut yang diperlukan
adalah : peningkatan kemampuan daya saing usaha transportasi laut;
peningkatan investasi dan partisipasi swasta; peningkatan
kemampuan SDM dan manajemen khususnya untuk pelaut
Indonesia melalui pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan
STCW 1995; penataan regulasi/ peraturan perundang-undangan dan
kelembagaan; pembangunan, pemeliharaan prasarana, sarana dan
sistem jaringan; pengolahan lingkungan hidup, pemanfaatan
teknologi dan konservasi energi; dan peningkatan pengoperasian dan
pelayanan jasa transportasi laut.

IV - 116
Untuk meningkatkan jasa pelayanan transportasi udara,
kepada masyarakat dan menghadapi era pasar global, diperlukan
upaya-upaya yang bertujuan mempertahankan kelangsungan usaha
dan daya saing nasional melalui penciptaan iklim usaha yang
kondusif; meningkatkan keselamatan dan keamanan transportasi
melalui pembangunan fasilitas bandar udara, fasilitas navigasi
penerbangan dan telekomunikasi yang memenuhi persyaratan
penerbangan; melakukan pengawasan operasional dan kelaikan di
bidang bandar udara, pengaturan lalu lintas penerbangan dan
pesawat udara; mengupayakan agar perusahaan penerbangan juga
berminat dan ikut mempunyai tanggung jawab melayani rute-rute
yang kurang menguntungkan, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia dalam pengelolaan bandar udara, peralatan navigasi dan
telekomunikasi penerbangan. Sejalan dengan pelaksanaan UU No.
22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, maka perlu dilakukan
perubahan fungsi pemerintah pusat dengan lebih memberdayakan
daerah untuk lebih berperan dalam penyediaan transportasi udara.

Selanjutnya dalam pembangunan meteorologi dan geofisika,


perlu ditingkatkan kemampuan peramalan cuaca untuk mendukung
keselamatan transportasi khusunya dan kegiatan masyarakat pada
umumnya. Di samping itu meningkatkan sarana dan prasarana
operasional, serta rehabilitasi terhadap prasarana dan sarana
meteorologi dan geofisika.

IV - 117
Demikian pula dalam program pencarian dan penyelamatan,
perlu ditingkatkan kemampuan operasi SAR terutama di daerah-
daerah rawan bencana, memasyarakatkan ketrampilan SAR kepada
masyarakat dengan cara melatih potensi-potensi SAR dalam
masyarakat. Di samping itu juga berusaha mempersingkat tindak
awal sehingga korban bencana dan kecelakaan transportasi dapat
diminimalkan.

Mengingat kebutuhan investasi prasarana ketenagalistrikan


yang sangat besar di masa mendatang, maka prioritas perlu
dilakukan untuk mendukung restrukturisasi utang, restrukturisasi
korporat dan sektor dalam mengemban misi sosial dan komersial,
rasionalisasi listrik swasta serta mengurangi beban pemerintah
melalui partisipasi swasta. Kebijakan lain yang diperlukan adalah
pengaturan harga energi yang kompetitif, penghematan konsumsi
energi serta untuk mendukung penganekaragaman penggunaan
energi, yaitu mengutamakan pembangunan pembangkit tenaga
listrik non BBM, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA),
pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), serta pembangkit listrik
tenaga panas bumi (PLTP). Restrukturisasi ketenagalistrikan harus
ditindaklanjuti dengan perangkat perundang-undangan untuk
menjamin aturan main bagi terselenggaranya pelayanan jasa
kelistrikan secara efisien, kompetitif, handal, dan terjangkau melalui
pengembangan secara bertahap struktur pasar yang kompetitif yang
terbuka sepenuhnya. Dalam upaya mengurangi beban PLN di dalam
penyediaan tenaga listrik, maka secara bertahap tarif listrik untuk
konsumen besar dan industri akan dinaikkan. Selain itu untuk

IV - 118
menjamin tersedianya listrik di perdesaan, perlu dibuat suatu aturan
yang jelas bagi koperasi untuk dapat menyediakan tenaga listrik di
perdesaan melalui kerjasama PLN dengan KUD. Langkah penting
lainnya adalah mempersiapkan tenaga kerja yang memadai melalui
peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan dan pelatihan.
Dengan peningkatan SDM yang memadai maka ketergantungan
terhadap teknologi asing dapat dikurangi.

Dalam hal pembangunan prasarana telekomunikasi,


pemerintah yang merupakan pemegang saham mayoritas
mempersiapkan program privatisasi bagi PT. Telkom dan PT.
Indosat. Untuk mendukung pelaksanaan UU No. 36 tahun 1999
yang akan dimulai pada September 2000, pemerintah tengah
mempersiapkan regulasi pendukung. Hingga saat ini pemerintah
tengah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) Interkoneksi, PP
Frekuensi dan Orbit Satelit, cyber law (Undang-undang tentang
Pemanfaatan Jasa Internet), serta PP tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi. Pemerintah juga tengah mempersiapkan peraturan
tentang tarif dan interkoneksi jaringan serta penyelesaian jangka
panjang menyangkut masalah KSO. Untuk mendukung
penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif, PT. Telkom dan
PT. Indosat harus segera merestrukturisasi usaha dengan
mengurangi kepemilikan bersama pada sejumlah perusahaan afiliasi.
Guna meningkatkan transparansi, pemerintah juga akan melakukan
audit khusus (special audit) terhadap PT. Telkom.

IV - 119
Khusus untuk menunjang penyelengaraan telematika
termasuk untuk peningkatan pelayanan publik, upaya yang ditempuh
mencakup penyiapan perangkat hukum dasar dan master plan,
serta pembentukan lembaga koordinasi yang mantap.

6. Menata Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya


Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup

Dengan telah diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, UU


No. 25 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan
PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka perlu
diupayakan langkah-langkah dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumberdaya hutan seperti kelestarian ekosistem, kelestarian
ekonomi dan kelestarian sosial budaya masyarakat setempat.

Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang


sumberdaya alam yang telah ditetapkan dan sekaligus mengatasi
permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi kebijakan
yang ditempuh adalah: (1) Menerapkan pendekatan berimbang
antara mekanisme pasar, tata nilai dan regulasi berkeadilan dengan
pola kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi; (2)
Menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi
sumberdaya alam, adanya kepastian hukum atas pemilikan,
pengelolaan, serta pemanfaatan nilai tambah sumberdaya alam
termasuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal;
(3) Menerapkan teknologi yang terbaik dan tersedia termasuk
teknologi tradisional, untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi

IV - 120
sumberdaya alam; (4) Mengintegrasikan prinsip-prinsip
keberlanjutan ekonomi, ekologi dan sosial dalam pemanfaatan
sumberdaya alam; (5) Menata kelembagaan, termasuk
pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam
secara bertahap kepada pemerintah daerah; (6) Melakukan
pembenahan terhadap sistem hukum yang ada menuju sistem hukum
yang responsif yang didasari prinsip-prinsip keterpaduan,
pengakuan hak-hak asasi manusia, keseimbangan ekologis,
ekonomis, kesetaraan gender dan desentralisasi; dan (7) Melakukan
reorientasi paradigma pembangunan yang mengakui kesetaraan
posisi antarpihak, melembagakan hak-hak publik terhadap
pengelolaan sumberdaya alam.

Institusi pelaksana pengelolaan lingkungan hidup di pusat


dan di daerah perlu diperkuat kapasitas dan perannya agar
pengelolaan lingkungan berjalan lebih efektif, dibutuhkan
peningkatan peran masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat
lokal, pengakuan hak-hak adat dan penguatan kontrol masyarakat.
Sementara itu, pengembangan kualitas aparat pemerintah perlu terus
dilakukan dan penegakan hukum masih perlu ditingkatkan melalui
penataan peraturan perundangan, pengembangan sumberdaya
manusia (SDM) di bidang hukum lingkungan, seperti penyidik PNS
dan aparat penegak hukum, serta penyelesaian sengketa lingkungan
yang menguntungkan berbagai pihak.

Dalam melaksanakan strategi kebijakan tersebut, ditetapkan


5 (lima) program pokok pembangunan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup dalam lima tahun mendatang. Kelima program
tersebut saling terkait satu sama lain dengan tujuan akhirnya adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi
dalam kualitas lingkungan hidup yang semakin baik dan sehat.
Program-program tersebut adalah program pengembangan dan

IV - 121
peningkatan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan
hidup; program peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi dan
rehabilitasi sumberdaya alam; pencegahan perusakan dan
pencemaran lingkungan hidup; penataan kelembagaan dan
penegakan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
lingkungan hidup; dan peningkatan peranan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup.

Sementara itu, untuk kehutanan, sebagai tindak lanjut bagi


kebijakan yang telah ditempuh dalam upaya penegakan hukum dan
reformasi aparatur adalah menginventarisasi berbagai peraturan
perundangan dibidang kehutanan, mulai undang-undang sampai
dengan keputusan menteri, guna memberi arahan hukum
pembangunan kehutanan, yang disertai dengan penegakan hukum
secara adil, transparan, dan konsisten. Demikian pula dalam rangka
pemberantasan KKN dalam pembangunan kehutanan, terus
dikembangkan pemeriksaan KKN.

Dalam rangka pemulihan ekonomi, tindak lanjut yang perlu


dilaksanakan antara lain adalah pemantapan status hukum kawasan
hutan guna memberikan iklim kondusif dan investasi pembangunan
kehutanan; dan pemantapan standard, kriteria, norma, dan pedoman
pengelolaan hutan guna mendukung dan mempercepat kebijakan
otonomi daerah dan terwujudnya kelestarian fungsi hutan bagi
kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dan


ketahanan budaya, upaya tindak lanjut yang akan dilaksanakan
adalah pemberdayaan masyarakat melalui penciptaan iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang; peningkatan
pendidikan, keterampilan, pengenalan teknologi ramah lingkungan;
dan perlindungan terhadap persaingan yang tidak seimbang. Usaha
lainnya adalah pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis hutan;
pengembangan partisipasi masyarakat melalui kegiatan
pengembangan berbasis masyarakat; pengembangan hutan
kemasyarakatan; mempercepat penyusunan RPP tentang

IV - 122
Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Reklamasi Hutan, RPP tentang
Peranserta Masyarakat Dalam Pembangunan Kehutanan, dan RPP
tentang Hutan Kota; serta mengevaluasi dan mengkaji kebijakan
pemberian kredit sesuai dengan kebijakan baru dalam hal
penggunaan dana reboisasi.

Pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang


berdasarkan pada pengakuan hak terhadap para pihak (stakeholders)
merupakan salah satu upaya tindak lanjut dalam rangka
pembangunan daerah. Upaya lainnya adalah penyusunan kebijakan,
standard, tata ruang dan tata guna lahan yang dilakukan secara
partisipatif, transparan dan berkeadilan; penyesuaian teknik-teknik
budidaya sesuai kondisi sosial budaya setempat; dan pemantapan
mekanisme koordinasi dan keterpaduan pembangunan kehutanan
dengan pembangunan daerah secara konsisten bagi kepentingan para
pihak sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang tersedia.

IV - 123

Anda mungkin juga menyukai