MAKALAH
Dosen Pembimbing:
Sa’adah Mukarromatil Arifah,Lc.,M.H.I
WONOREJO – LUMAJANG
2021/2022
KATA PENGANTAR
Wonorejo,18September 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
A. KESIMPULAN............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas , dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai
berikut :
C. TUJUAN MASALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita mencoba menganalisa labih jauh tentang konsep agama yang
berkaitan dengan kemunculan dan perkembangannya. Maka di sini terlebih
dahulu penulis ingin memaparkan tentang apa itu agama? Hal ini dilakukan
agar dapat memahami agama secara komprehensif. Tujuannya adalah
memberikan pemahaman lebih dari sekedar tahu. Sebagaimana Mahfud,
pemaknaan terhadap agama, jangan dimaknai dengan hanya berlandaskan pada
pengertian secara etimologi. Namun agama harus mampu dipahami sebagai
wujud dalam konteks fenomena keagamaan. Fenomena keagamaan yang
dimaksud di sini dapat didefinisikan dalam berbagai bentuk seperti praktik,
simbol, benda, orang, pengalaman, tempat, doktrin dan cerita yang digunakan
untuk menunjuk sesuatu yang diyakini sebagai realitas mutlak.1
1
Choirul Mahfud, “Harmonisasi Agama dan Budaya.” Emperisma Jurnal Pemikiran dan
Kebudayaan Islam. Vol 16. No. 2. Juli, (2007), 157.
2
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 13.
3
Definisi agama sampai saat ini belum menemukan kata sepakat, karena
agama memiliki arti yang berbeda-beda berdasarkan perspektifnya masing-
masing. Cicero, secara sederhana mendefinisikan agama sebagai the pious
worship of god (beribadah dengan tawakal kepada Tuhan). Formulasi yang
lebih komplek dikemukakan oleh Frederich Schleir Macher (seorang filusuf
abad 18), mendefinisikan agama adalah feeling of total dependence (perasaan
tergantung/pasrah secara keseluruhan). Teolog abad 20, Paul Tillich,
mengemukakan bahwa agama adalah that wich involves man‟s ultimate
concern (apa yang melibatkan tujuan akhir manusia). Menurut Roberth H.
Thouless (1992), agama adalah sikap atau cara penyesuaian diri terhadap dunia
yang mencakup acuan menunjukkan lingkungan lebih luas dari pada
lingkungan dunia fisik yang terkait ruang dan waktu (the spatio-temporal
physical world). Selanjutnya Thouless mengemukakan bahwa dalam
masyarakat industri modern, menartikan agama sebagai: (1) seperangkat idea
(nilai dan kepercayaan). (2) suatu lembaga (seperangkat hubungan sosial).3
3
Surawan, Psikologi Perkembangan Agama (Yogyakarta: K-Media, 2020), 14.
4
Surawan, 15.
4
pedoman hidup tersebut maka dia akan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia
dan alam keabadian.
Salah satu syarat utama dalam kehidupan manusia adalah keyakinan yang
oleh sebagian orang dianggap sebagai Agama. Agama bertujuan untuk
mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan jasmani. Dan untuk mencapai
kedamaian ini harus diikuti dengan satu syarat, yaitu: percaya dengan adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan dan memberikan
perlindungan serta memelihara semua yang ada di alam ini. Namun kemudian
satu permasalahan mendorong para filosof dan ilmuwan, yaitu untuk
menelusuri asal usul Agama.
1. Teori Tylor
5
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 40.
6
Surawan, Psikologi Perkembangan Agama, 16–17.
5
“dukun, paranormal, atau pawang”. Kepercayaan ini disebut Animisme,
yaitu kepercayaan manusia tentang adanya jiwa termasuk pada mahluk
hidup, mahluk halus dan benda-benda mati seperti matahari, bulan, bintang
dan lain-lain.
2. Teori Marett
3. Teori Frazer
4. Teori Schmidt
5. Teori Durkheim
6
bakti, dan lain-lain. Untuk menjaga emosi keagamaan dan sentimen
kemasyarakatan diperlukan tujuan yang sama, maka disinilah diperlukan
upacara-upacara dan lambanglambang keagamaan.
6. Teori Nixon
7
Endang Kartikowati, Psikologi Agama dan Psikologi Islam (Jakarta: Prenada Media, 2016), 17–
27.
7
1. Teori Monistik
8
lainya. Yang membuat manusia menjadi terkejut, kaget, merasa kecil dan
tak berdaya. Sehingga timbul pengakuan terhadap “Maha Lain” atau mesteri
illahi yang menawan, memikat serta menentramkan hatinya.
9
William Mac Dougall (1909) mengemukakan bahwa tidak ada
instink khusus yang menjadi sumber jiwa beragama. Adapun yang menjadi
sumbernya adalah berasal dan kumpulan beberapa instinkdi antaranya rasa
takut, rasa kagum, rasa hormat dan lain-lain.31 Pada diri manusia terdapat
empat belas instink. Maka agama timbul dari dorongan instink secara
terintegrasi.
2.Teori Fakulty
b. W.H.. Thomas
8
Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 66.
10
Masih dalam kategori penganut teori fakulti, ia mengemukakan
bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan
dasar yang melekat dalam jiwa manusia, yaitu :
11
pengalaman subyektif. Yang kedua berasal dari sumber eksternal yaitu
dari reaksi manusia, terhadap kekuatan alam.9
Gordon Allport10 membagi orintasi religius ini menjadi dua macam yaitu
orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik. Pembagian ini
berdasarkan pada aspek motivasional atau kebutuhan yang mendasari perilaku
keagamaan seseorang.
12
sebagai motif utama dalam hidup. Cara beragama dalam orientasi ini juga
sangat menghormati ritual-ritual keagamaan yang dilakukan, berusaha
dengan sungguh-sungguh menjalani ajaran agama yang dianut dan
mengikutinya secara penuh. Berupaya agar hidupnya senantiasa sejalan
dengan agama yang dianut tersebut. Menempatkan kepentingan pribadi di
bawah nilai yang ada dalam agamanya.
Pada dasarnya Islam sedikit banyak juga setuju dengan pendapat para
pakar terdahulu yang menyebutkan bahwa sumber kejiwaan agama itu dilatar
belakangi oleh beberapa hal. Pada pembahasan diatas telah disinggung
beberapa teori yang disajikan oleh para filosof dan pakar dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Dalam Islam kita mengenal adanya „iman‟, Al-
Qur‟an menerangkan bahwa manusia semenjak lahir sudah mempunyai
kecenderungan akan Tuhan, ini berarti bahwa sifat cenderungnya manusia pada
13
Tuhan juga membawa manusia harus beragama karena untuk menghargai zat
yang diagungkannya. Hal ini senada dengan anggapan bahwa salah satu
perbedaan utama ajaran-ajaran Islam dengan ajaran agama-agama lain dan
aliran-aliran filsafat modern adalah tentang sifat asal manusia. Islam
mempercayai bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah
sesuatu yang telah menjadi bawaannya sejak lahir atau keadaan mula-mula.
Para ulama berpendapat Allah telah menciptakan kecenderungan alamiah
dalam diri manusia untuk condong kepada Tuhan, cenderung kepada kesucian,
kebenaran,dankebaikan(Qs.30:30):11
11
Surawan, Psikologi Perkembangan Agama, 22.
12
14
Manusia mempunyai keinginan beragama sudah sejak lahir, dalam
keadaan bersih dan fitrah kalaupun dalam perkembangannya manusia berada
diluar jalur yang benar itu semua disebabkan karena lingkungan keluarga
maupun diluar keluarga. Sejahat apapun manusia dan seburuk apapun
perilakunya dimungkinkan untuk kembali kepada kesucian, kebaikan, dan
kebenaran yang hakiki. Fuad Nashori mencontohkan sosok Fir‟aun yang
sifatnya sombong sekali (egoistis), tapi keinginannya kembali kepada Allah,
kesucian, kebenaran, dan kebaikan sejati muncul saat terjebak dan tenggelam
di Laut Merah.
15
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Ada dua teori sumber jiwa keberagamaan yakni teori monistik , teori
monistik berarti sumber jiwa keberagamaan berasal dari satu sumber , dan teori
fakulty, yakni mencakup cipta, rasa dan karsa .
16
DAFTAR PUSTAKA
17