Anda di halaman 1dari 20

TEORI TENTANG SUMBER JIWA KBERAGAMAAN

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Psikologi Agama”

Dosen Pembimbing:
Sa’adah Mukarromatil Arifah,Lc.,M.H.I

Disusun Oleh Kelompok 2:

Azizah Shoffiyyaturrohmah (2020100320197)

Yuliani Wulandari (2020100320200)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN

WONOREJO – LUMAJANG

2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat


Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya yang tak
terhingga sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga
shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman
yang terang benderang ini.

Dalam makalah ini yang berjudul “TEORI TENTANG SUMBER JIWA


KBERAGAMAAN” yang mana kami membuatnya guna memenuhi tugas mata
kuliah “Psikologi Agama” yang diampu oleh Ibu Sa’adah Mukarromatil Arifah,
Lc.,M.H.I Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat untuk kita
semua serta dapat menambah wawasan bagi kita semua.

Kami yakin tanpa bantuan, motivasi, bimbingan, serta petunjuk bagi


semua pihak tentunya penulisan makalah ini mengalami hambatan-hambatan.
Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Sa’adah
Mukarromatil Arifah, Lc.,M.H.I selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Agama yang telah mencurahkan ilmunya kepada kami selaku penulis. Selain itu,
kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat


bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari dalam makalah ini masih banyak
sekali kekurangan, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun demi perbaikan makalah ini menuju yang lebih baik lagi.

Wonorejo,18September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3

A. Definisi dan Makna Agama ................................................................. 3


B. Asal Usul Agama ......................................................................................... 5
C. Teori Tentang Sumber Jiwa Keberagamaan.................................................. 7
1.Teori Monistik............................................................................................ 8
2.Teori Fakulty.............................................................................................. 10
D. Teori Allport Mengenai Sumber Jiwa Keberagamaan................................... 12
E. Sumber Kejiwaan Agama dalam Pandangan Islam....................................... 13
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 16

A. KESIMPULAN............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Keberagamaan adalah kegiatan yang berkaitan dengan agama dan juga


suatu unsur kesatuan yang komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut
sebagai orang beragama dan bukan sekedar mengaku mempunyai agama. Hal
penting dalam beragama adalah memiliki keimanan. Keimanan sendiri
memiliki banyak unsur, unsur yang paling penting adalah komitmen untuk
menjaga hati agar selalu berada dalam kebenaran. Secara praktis, hal ini
diwujudkan dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua
larangan Allah dan Rasul-Nya. Seseorang yang beragama akan merefleksikan
pengetahuan agamanya dalam sebuah tindakan keberagamaan, melaksanakan
ibadah dan mengembangkan tingkah laku yang terpuji.

Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah


individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan
kedalam peribadatan kepada-Nya, baik bersifat hablumminallah maupun
hablumminannas. Manusia dalam hidupnya selalu merindukan kebahagiaan.
Kebahagiaan yang hakiki ternyata bukanlah berasal dari pola hidup bebas
seperti burung, melainkan justru diperoleh melalui pola hidup yang konsisten
mentaati suatu aturan tertentu, yaitu agama. Sebagai langkah 2 awal dalam
mencari kebahagiaan, manusia harus menyadari makna keberadaannya di dunia
ini. Peranan agama adalah sebagai pendorong atau penggerak serta mengontrol
dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaranajaran agamanya, sehingga tercipta
ketertiban sosial. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma dan
sebagai sosial kontrol sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai
pengawas sosial secara individu ataupun kelompok.

Ada beberapa teori mengenai sumber jiwa keberagamaan pada manusia ,


yang mana penulis akan menelaah di dalam makalah ini.

1
B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas , dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai
berikut :

1. Bagaimana Definisi dan Makna dari Agama ?

2. Bagaimana Asal Usul Adanya Agama ?

3. Bagaimana Teori Tentang Sumber Jiwa Keberagamaan ?

C. TUJUAN MASALAH

1. Mengetahui dan Memahami Definisi Serta Makna dari Agama

2. Mengetahui dan Memahami Asal Usul Adanya Agama

3. Mengetahui dan Memahami Teori Tentang Sumber Jiwa Keberagamaan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Makna Agama

Sebelum kita mencoba menganalisa labih jauh tentang konsep agama yang
berkaitan dengan kemunculan dan perkembangannya. Maka di sini terlebih
dahulu penulis ingin memaparkan tentang apa itu agama? Hal ini dilakukan
agar dapat memahami agama secara komprehensif. Tujuannya adalah
memberikan pemahaman lebih dari sekedar tahu. Sebagaimana Mahfud,
pemaknaan terhadap agama, jangan dimaknai dengan hanya berlandaskan pada
pengertian secara etimologi. Namun agama harus mampu dipahami sebagai
wujud dalam konteks fenomena keagamaan. Fenomena keagamaan yang
dimaksud di sini dapat didefinisikan dalam berbagai bentuk seperti praktik,
simbol, benda, orang, pengalaman, tempat, doktrin dan cerita yang digunakan
untuk menunjuk sesuatu yang diyakini sebagai realitas mutlak.1

Dengan demikian, definisi agama secara etimologi dan terminologi sangat


diperlukan dalam kaitannya untuk memahami agama itu sendiri. Hal ini
disebabkan pengertian agama dari sudut pandang etimologi dan terminologi
sangatlah berbeda. Menurut Dadang Kahmad, berdasarkan sudut pandang
kebahasaan, bahasa Indonesia pada umumnya “agama” dianggap sebagai kata
yang berasal dari bahasa sangsakerta yang artinya “tidak kacau”. Agama
diambil dari dua suku kata, a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti
“kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan
yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti maknanya
yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion, dalam bahasa
ingris, religie dalam bahasa belanda keduanya berasal dari bahasa latin, religio
dari akar kata religare yang berarti mengikat.2

1
Choirul Mahfud, “Harmonisasi Agama dan Budaya.” Emperisma Jurnal Pemikiran dan
Kebudayaan Islam. Vol 16. No. 2. Juli, (2007), 157.
2
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 13.

3
Definisi agama sampai saat ini belum menemukan kata sepakat, karena
agama memiliki arti yang berbeda-beda berdasarkan perspektifnya masing-
masing. Cicero, secara sederhana mendefinisikan agama sebagai the pious
worship of god (beribadah dengan tawakal kepada Tuhan). Formulasi yang
lebih komplek dikemukakan oleh Frederich Schleir Macher (seorang filusuf
abad 18), mendefinisikan agama adalah feeling of total dependence (perasaan
tergantung/pasrah secara keseluruhan). Teolog abad 20, Paul Tillich,
mengemukakan bahwa agama adalah that wich involves man‟s ultimate
concern (apa yang melibatkan tujuan akhir manusia). Menurut Roberth H.
Thouless (1992), agama adalah sikap atau cara penyesuaian diri terhadap dunia
yang mencakup acuan menunjukkan lingkungan lebih luas dari pada
lingkungan dunia fisik yang terkait ruang dan waktu (the spatio-temporal
physical world). Selanjutnya Thouless mengemukakan bahwa dalam
masyarakat industri modern, menartikan agama sebagai: (1) seperangkat idea
(nilai dan kepercayaan). (2) suatu lembaga (seperangkat hubungan sosial).3

Talcott Parsons mengemukakan bahwa agama sebagai perangkat simbol


yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir (ultimate conditions)
daripada keberadaannya. Dia juga berpendapat agama adalah titik artikulasi
antara sistem kultural dan sosial, dimana nilai-nilai dari sistem budaya terjalin
dalam sistem sosial dan diwariskan serta diinternalisasikan dari generasi
dahulu ke generasi selanjutnya dengan kata lain agama juga merupakan sarana
internalisasi nilai budaya yang terdapat di masyarakat kepada sistem
kepribadian individu. 4

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa


agama adalah seperangkat pedoman hidup yang diyakini bersifat sakral dan
berasal dari Dzat Yang Maha Tinggi dengan perantaraan seorang manusia yang
dipilih-Nya. Dimana pedoman hidup tersebut berisi tentang tata aturan tentang
perbuatan yang seharusnya dilakukan maupun perbuatan yang seharusnya
ditinggalkan oleh para pemeluknya, dan barang siapa yang mentaati tata aturan

3
Surawan, Psikologi Perkembangan Agama (Yogyakarta: K-Media, 2020), 14.
4
Surawan, 15.

4
pedoman hidup tersebut maka dia akan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia
dan alam keabadian.

B. Asal Usul Agama

Salah satu syarat utama dalam kehidupan manusia adalah keyakinan yang
oleh sebagian orang dianggap sebagai Agama. Agama bertujuan untuk
mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan jasmani. Dan untuk mencapai
kedamaian ini harus diikuti dengan satu syarat, yaitu: percaya dengan adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan dan memberikan
perlindungan serta memelihara semua yang ada di alam ini. Namun kemudian
satu permasalahan mendorong para filosof dan ilmuwan, yaitu untuk
menelusuri asal usul Agama.

Menurut Koentjoroningrat5 bahwa para ahli yang pertama meneliti dan


membahas tentang asal usul agama adalah: ahli sejarah C. De Brosses, ahli
filsafat August Comte, ahli filologi F. Max Muller, kemudian muncul teori dari
para ahli antropologi seperti: E.B. Tylor, R.R. Marett, J.G. Frazer, E.
Durkheim, W. Schmidt, Nixon, dan David Home. Pendapat para ahli tersebut
adalah sebagai berikut.6

1. Teori Tylor

Tylor berpendapat bahwa asal mula agama adalah kepercayaan manusia


terhadap adanya Jira atau anima. Hal ini ditandai dengan adanya: peristiwa
hidup dan mati yang ditandai dengan adanya Jira atau hilangnya jiwa,
peristiwa mimpi ketika tubuh manusia dalam keadaan diam maka jiwa
gentayangan kemana-mana berupa mimpi. Jiwa yang sudah lepas dari tubuh
itulah yang disebuh dengan roh halus, spirit, jin, hantu, dan lain-lain yang
berada di hutan, sungai, kuburan, rumah kosong dan lain-lain. Manusia yang
lemah jiwanya atau anak-anak akan mudah kesurupan. Untuk mengusir
mahluk halus yang masuk kedalam jiwa manusia tersebut, diperlukan
upacara dan ada orang yang ahli memimpin upacara tersebut disebut

5
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 40.
6
Surawan, Psikologi Perkembangan Agama, 16–17.

5
“dukun, paranormal, atau pawang”. Kepercayaan ini disebut Animisme,
yaitu kepercayaan manusia tentang adanya jiwa termasuk pada mahluk
hidup, mahluk halus dan benda-benda mati seperti matahari, bulan, bintang
dan lain-lain.

2. Teori Marett

Marett berpendapat bahwa masyarakat yang budayanya masih sangat


rendah belum mengenal jiwa-jiwa keagamaan muncul karena rasa rendah
diri. Untuk mengatasinya, maka manusia mempercayai adanya kekuatan
yang bersifat supranatural di luar manusia.

3. Teori Frazer

Frazer berpendapat bahwa, agama berasal dari ketidakmampuan akal dan


pikiran manusia untuk memecahkan permasalahan. Kemudian mereka
menggunakan magic, atau ilmu gaib atau sihir untuk memecahkan masalah
tersebut. Namun ketika kekuatan magic juga tidak mampu, barulah manusia
percaya pada adanya kekuatan Tuhan yang mengendalikan alam beserta
seluruh isinya.

4. Teori Schmidt

Schmidt berpendapat bahwa agama sudah dikenal manusia sejak zaman


purba. Dimana dalam budayanya yang masih sangat sederhana, manusia
sudah percaya akan adanya Dewa Tunggal/ Penguasa Tunggal. Namun
karena tangan-tangan manusia yang menyebabkankepercayaan kepada
Tuhan itu menjadi rusak, hal ini dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemujaan
manusia kepada makhluk halus, kepada roh dan dewa yang diciptakan oleh
akal pikir manusia itu sendiri.

5. Teori Durkheim

Durkheim menjelaskan bahwa munculnya agama disebabkan oleh adanya


suatu getaran jiwa yang menimbulkan emosi keagamaan. Emosi keagamaan
yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan seperti rasa cinta, rasa

6
bakti, dan lain-lain. Untuk menjaga emosi keagamaan dan sentimen
kemasyarakatan diperlukan tujuan yang sama, maka disinilah diperlukan
upacara-upacara dan lambanglambang keagamaan.

6. Teori Nixon

Nixon berpendapat bahwa pada awalnya manusia tidak pernah


memikirkan soal agama dan Tuhan pada khususnya. Hal ini karena
kesederhanaan pola pikir dan budaya mereka. Namun kemudian mereka
melakukan ritual keagamaan sebagai upaya mengusir roh jahat dikarenakan
rasa jengkel mereka terhadap roh-roh jahat yang sering mengganggu
mereka. Unsur inilah yang kemudian menjadi unsur agama manusia.

7. Teori David Home

David home berpendapat, bahwa sesungguh-nya manusia sejak 1700 tahun


yang lalu berada dalam keadaan menyembah berhala, patung-patung, dan
arca. Kemudian sedikit demi sedikit mulai memiliki pengertian yang lebih
tinggi dalam memahami soal ketuhanan. Tetapi masih secara meraba-raba
dan mengira-ngira. Lama kelamaan timbul pikiran yang agak pasti tentang
Tuhan dengan sifatsifat yang terbatas, sekalipun sifat-sifat itu masih jauh
dari sempurna. Demikianlah selanjutnya, berkat lamanya masa sampailah
manusia mengenal Tuhan yang sempurna menurut ukuran dan pendapat
mereka pada masa itu.

C. Teori Tentang Sumber Jiwa Keberagamaan

Fitrah manusia adalah menyembah dan mengabdikan dirinya kepada


Tuhan Yang Maha Esa sebagai dzat yang memiliki kekuasaan tertinggi. Lalu
muncullah sebuah pertanyaan, “apakah yang menjadi sumber pokok yang
mendasari timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan itu?”
atau lebih singkatnya “apa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu? Untuk
memberikan jawaban itu ada beberapa teori yaitu sebagai berikut:7

7
Endang Kartikowati, Psikologi Agama dan Psikologi Islam (Jakarta: Prenada Media, 2016), 17–
27.

7
1. Teori Monistik

Teori monistik ini berpendapat bahwa yang menjadi sumber


kejiwaan agama itu adalah satu sumber kejiwaan. Adapun sumber yang
paling dominan menjadi sumber kejiwaan itu dikemukakan para pakar
dibawah ini. Thomas Van Aquino mengatakan bahwa sumber jiwa
beragarna adalah berfikir. Manusia bertuhan karena manusia menggunakan
kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari
kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pendapat ini juga didukung oleh
seorang filosof Jerman, yaitu Fredrick Hegel.

Adapun Fredrick Schleimacher mengatakan bahwa rasa


ketergantungan yang mutlak (sense of depend) adalah sumber pokok jiwa
beragama. Dengan adanya rasa ketergantungan ini, manusia merasakan
dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu bergantung
hidupnya pada kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa
ketergantungan ini timbul konsep “Tuhan”. Manusia tak berdaya
menghadapi tantangan alam maka menggantungkan harapannya kepada
suatu kekuasaan yang mereka anggap mutlak adanya. Implikasi dan rasa
ketergantungan ini adalah timbulnya upacara-upacara agama sebagai alat
untuk meminta perlindungan pada kekuasaan yang dianggap mutlak itu.
Rudolf Otto menegaskan bahwa rasa kagum yang berasal dari
sesuatu yang lain (the wolly Others) adalah menjadi sumber jiwa
keberagamaan. Jika seseorang dipengaruhi oleh rasa kagum terhadap
sesuatu yang dianggap lain atau berada dalam keadaan numious disaat itulah
jiwanya itu berhadapan dengan Tuhan.Ungkapan perasaan kekaguman yang
dengan sengaja ditujukan kepada yang kudus sebagai obyeknya, oleh Otto
disebut sebagai perasaan numinosum. Struktur numinosum terdiri dari
istilah mysterium tremendum (misteri yang menggemparkan) yang
didalamnya memuat tremendum (menggetarkan) dan fascianans
(menggetarkan, menarik, mengasikkan, mempesonakan). Obyek-obyek
numineus itu umumnya bersifat tak terhampiri, dahsyat, murka seperti
diperlihatan pada peristiwa anginribut, kilat petir, guntur, halilintar dan

8
lainya. Yang membuat manusia menjadi terkejut, kaget, merasa kecil dan
tak berdaya. Sehingga timbul pengakuan terhadap “Maha Lain” atau mesteri
illahi yang menawan, memikat serta menentramkan hatinya.

Dalam karangannya yang terkenal Das Heilige (terjemaham


Inggris, The Idea of The Holy), Rudolf Otto (1889-1937) mengetengahkan
bahwa, dalam psikhe manusia tidak hanya terdapat struktur-struktur apriori
yang rasional, namun juga struktur apriori yang irasional. Struktur apriori
itu misalnya dapat dijelaskan dengan contoh penerapan kategori kausalitas
(sebab akibat). Adapun apriori irasional terletak di bidang perasaan hati.
Salah satu struktur apriori yang irasional ialah keinsyafan beragama (sensus
re-ligiousus), yaitu kepekaan terhadap yang kudus atau illahi. Sensus
religiousus membuat kita mengalami hal-hal duniawi sebagai tanda dan hal-
hal illahi.

Menurut pendapat Freud, unsur kejiwaan yang menjadi sumber


kejiwaan agama adalah Libido Sexuil (naluri seksual). Berdasarkan libido
ini tumbuhlah ide tentang ketuhanan dan upacara kegamaan setelah melalui
proses: 1) Oedipoes Complex, yaitu mitos Yunani kuno yang menceritakan
bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipus (nama seorang
pria) membunuh ayahnya sendiri karena cemburu. Setelah membunuh
ayahnya, maka timbullah rasa bersalah yang teramat dalam pada anak itu.2)
Father Image (citra Bapak): Setelah membunuh ayahnya, pemuda itu
dihantui rasa bersalah yang teramat dalam. Persaan itu menimbulkan ide
untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahannya. Kemudian
muncullah ide untuk menyembah arwah ayahnya karena khawatir akan
terjadi pembalasan. Realisasi dari pemujaan itu sebagai asal dari upacara
keagamaan. Jadi menurut Freud, agama muncul dari ilusi (khayalan)
manusia. Freud semakin yakin akan kebenaran pendapatnya berdasarkan
kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan dilingkungannya yang
beragama Nasrani, Freud menyaksikan kata “Bapak” dalam unataian do’a
mereka

9
William Mac Dougall (1909) mengemukakan bahwa tidak ada
instink khusus yang menjadi sumber jiwa beragama. Adapun yang menjadi
sumbernya adalah berasal dan kumpulan beberapa instinkdi antaranya rasa
takut, rasa kagum, rasa hormat dan lain-lain.31 Pada diri manusia terdapat
empat belas instink. Maka agama timbul dari dorongan instink secara
terintegrasi.

2.Teori Fakulty

Teori ini berpendapat bahwa tingkah-laku manusia itu tidak


bersumber pada suatu faktor yang tunggal, namun terdiri atas beberapa
unsur antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi
cipta (reason), rasa (emotion) dan karsa (will).

Cipta berperanan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran


suatu agama berdasarkan pertimbangan intelektual seseorang. Rasa
menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati
kebenaran ajaran agama. Dan karsa yang menimbulkan amalan-amalan atau
doktrin keagamaan yang benar dan logis.

Dalam menelusuri pemikiran kelompok penganut teori fakulti


maka secara lebih jauh akan dibicarakan tokoh-tokoh yang berada dalam
barisan ini.

a. GM. Straton mengemukakan teori konflik.8

Ia mengatakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama


adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang
berlawanan seperti: baik-buruk, moral-immoral, kepasipan-keaktifan,
rasa rendah diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik)
dalam diri manusia. Jika konflik itu sudah demikian mencekam manusia
dan mempengaruhi kehidupan kejiwaannya, maka manusia itu mencari
pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tertinggi (Tuhan).

b. W.H.. Thomas

8
Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 66.

10
Masih dalam kategori penganut teori fakulti, ia mengemukakan
bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan
dasar yang melekat dalam jiwa manusia, yaitu :

(1) Keinginan untuk keselamatan (security)

(2) Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognation)

(3) Keinginan untuk ditanggapi (response)

(4) Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience)


Didasarkan atas keempat keinginan dasar itulah pada umumnya
manusia itu menganut agama. Karena melalui ajaran agama yang teratur,
maka keempat keinginan itu akan tersalurkan. Dengan menyembah dan
mengabdi kepada Tuhan, keinginan untukkeselamatan akan terpenuhi.
Pengabdian menimbulkan perasaan mencintai dan dicintai. Demikian
pula keinginan untuk mendapatkan penghargaan. Maka ajaran agama
mengindoktrinasikan konsep akan adanya balasan bagi setiap amal, baik
dan buruk. Agama juga memberikan penghargaan kepada penganutnya
yang setia dan ikhlas (kaum ulama, pendeta dan pemimpin lainnya)
melebihi penghargaan yang diberikan kepada penganut awam lainnya.
Kharisma para pemimpim keagamaan merupakan gambaran batin
(remuneration) dalam kehidupan seorang penganut agama yang mereka
dambakan berdasarkan keinginan untuk dihargai (recognation).
Selanjutnya penelitian dan penelaahan ajaran-ajaran keagamaan dapat
menyalurkan kebutuhan manusia akan keinginan pengalaman dan
pengetahuan yang baru seperti pada mujadid dan reformer dalam bidang
keagamaan.

c. N.D. Fustel de Coulanges

Dalam karya pionir klasiknya, The Ancieat City berbicara tentang


dua sumber agama. Yang pertama adalah internal yang lahir dari
proyeksi psikologis manusia dan dari pengungkapan berbagai endapan

11
pengalaman subyektif. Yang kedua berasal dari sumber eksternal yaitu
dari reaksi manusia, terhadap kekuatan alam.9

D. Teori Allport Mengenai Sumber Jiwa Keagamaan

Gordon Allport10 membagi orintasi religius ini menjadi dua macam yaitu
orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik. Pembagian ini
berdasarkan pada aspek motivasional atau kebutuhan yang mendasari perilaku
keagamaan seseorang.

“some people have a religious orientation that is primarily extrinsic, a self


serving, instrumental approach confirming to social convention others, in
contras, have intrinsic religious orientation, religion provides them with a
meaning endowing framework in terms of which all life is understood.”

Yang berarti sebagian orang memiliki orientasi religius ekstrinsik, yang


bersifat untuk melayani diri sendiri, dijadikan sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan sosial, menyediakan status rasa aman. Sebaliknya, orintasi religius
intrinsik berarti pandangan seseorang terhadap agama untuk dijadikan sebagai
dasar kebermaknaan (pedoman) dalam hidupnya.

1) Orientasi religius intrinsic

Seseorang yang mempunyai tipe orientasi ini menggunakan agama


sebagai pedoman utama dalam hidupnya.Walaupun ada kebutuhan lain yang
menyertainya namun tetap bisa dikesampingkan kebutuhan tersebut, sadar
bahwa agama perlu dihayati ajaran agamanya dan diamalkan sesuai dengan
tuntunan aturan yang sudah tercantum dalam agama tersebut. Sehingga akan
berusaha untuk menginternalisasi dan mengikutinya secara keseluruhan,
sehingga bisa menghidupkan agama dalam hidupnya. Orientasi religius
intrinsik ini merupakan cara beragama yang memperhatikan komitmen
dalam beragama, memperlakukan atau menjalani komitmen tersebut dengan
sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir dan ketaatan beragama dijadikan
9
Thomas F Q’dea, Sosiologi Agama (Jakarta: Rajawali Press, 1992), 26–27.
10
Dewi Rakhmawati Mushtofa,Skripsi :” Hubungan Orientasi Religius Intrinsik dengan
Psychologycal Well-Being (Kesejahteraan Psikologis) Pada Guru Honorer Sekolah Dasar di
Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang” (Semarang : UIN Walisongo,2017),32-35.

12
sebagai motif utama dalam hidup. Cara beragama dalam orientasi ini juga
sangat menghormati ritual-ritual keagamaan yang dilakukan, berusaha
dengan sungguh-sungguh menjalani ajaran agama yang dianut dan
mengikutinya secara penuh. Berupaya agar hidupnya senantiasa sejalan
dengan agama yang dianut tersebut. Menempatkan kepentingan pribadi di
bawah nilai yang ada dalam agamanya.

2) Orientasi religius ekstrinsik

Seseorang yang mempunyai tipe orientasi religius ini menggunakan


agama untuk berbagai kepentingan, untuk memperoleh keamanan,
mengatasi kebingungan, memperoleh perlindungan, status dan pembenahan
diri. Memilih-milih dari ajaran agama yang dianutnya untuk dilakukan
dengan tujuan agar menguntungkan diri sendiri sesuai dengan kebutuhan
yang diperlukan. Hal ini berarti seseorang yang menghadap Allah SWT,
tanpa menjauh dari kepentinga dirinya sendiri (menguntungkan dirinya,
bersifat pribadi). Menurut Wulf, seseorang yang mempunyai tipe orientasi
religius ekstrinsik ini menganut ajaran agama secara lemah, jika ada ajaran
agama yang menghambat kepentingan atau kebutuhan lainnya yang lebih
penting, maka ajaran agama tersebut akan cenderung ditinggalkan.
Seseorang yang memiliki tipe orientasi religius yang ekstrinsik ini tidak
benar-benar menaati seluruh ajaran agama yang dianutnya hanya beberapa
saja yang dianggap menguntungkan, maka akan tetap dilaksanakan ajaran
tersebut asalkan menguntungkan diri pribadi.

E. Sumber Kejiwaan Agama dalam Pandangan Islam

Pada dasarnya Islam sedikit banyak juga setuju dengan pendapat para
pakar terdahulu yang menyebutkan bahwa sumber kejiwaan agama itu dilatar
belakangi oleh beberapa hal. Pada pembahasan diatas telah disinggung
beberapa teori yang disajikan oleh para filosof dan pakar dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Dalam Islam kita mengenal adanya „iman‟, Al-
Qur‟an menerangkan bahwa manusia semenjak lahir sudah mempunyai
kecenderungan akan Tuhan, ini berarti bahwa sifat cenderungnya manusia pada

13
Tuhan juga membawa manusia harus beragama karena untuk menghargai zat
yang diagungkannya. Hal ini senada dengan anggapan bahwa salah satu
perbedaan utama ajaran-ajaran Islam dengan ajaran agama-agama lain dan
aliran-aliran filsafat modern adalah tentang sifat asal manusia. Islam
mempercayai bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah
sesuatu yang telah menjadi bawaannya sejak lahir atau keadaan mula-mula.
Para ulama berpendapat Allah telah menciptakan kecenderungan alamiah
dalam diri manusia untuk condong kepada Tuhan, cenderung kepada kesucian,
kebenaran,dankebaikan(Qs.30:30):11

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (islam),


(sesuai) fitrah Allah , disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)itu .
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah , (itulah) agama yang lurus , tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama


tauhid. Hanna Djumhana Bastaman berpendapat bahwa fitrah manusia adalah
suci dan beriman. Kecenderungan kepada agama merupakan sifat dasar
manusia, sadar atau tidak sadar manusia selalu merindukan Tuhan dan
seterusnya. Sejak kelahirannya, manusia telah diciptakan oleh Allah membawa
potensi keberagamaan yang benar, yang diartikan para Ulama‟ sebagai agama
Tauhid. Atau dengan kata lain melalui fitrah dalam diri manusia tedapat sejenis
bawaan potensi dasar, yang berisi keyakinan terhadap Allah, yang biasa disebut
potensi atau disebut ahli psikologi agama dengan istilah religious instinct
(naluri keagamaan).12

11
Surawan, Psikologi Perkembangan Agama, 22.
12

14
Manusia mempunyai keinginan beragama sudah sejak lahir, dalam
keadaan bersih dan fitrah kalaupun dalam perkembangannya manusia berada
diluar jalur yang benar itu semua disebabkan karena lingkungan keluarga
maupun diluar keluarga. Sejahat apapun manusia dan seburuk apapun
perilakunya dimungkinkan untuk kembali kepada kesucian, kebaikan, dan
kebenaran yang hakiki. Fuad Nashori mencontohkan sosok Fir‟aun yang
sifatnya sombong sekali (egoistis), tapi keinginannya kembali kepada Allah,
kesucian, kebenaran, dan kebaikan sejati muncul saat terjebak dan tenggelam
di Laut Merah.

Selain itu, akal juga mempunyai peranan dalam mendorong manusia


untuk beragama, penggunaan akal untuk berpikir akan mengantarkan manusia
pada pribadi yang unggul. Kecenderungan untuk berpikir akan membawa
manusia pada hal-hal yang lebih baik. Disaat manusia sudah sampai pada titik
stagnan bahwa sebenarnya mereka lemah maka mereka akan mencoba mencari
suatu kekuasaan yang melebihi mereka dan itu hanya terdapat pada sifat-sifat
Allah. Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
sumber kejiwaan agama menurut pandangan Islam juga sama dengan sumber
kejiwaan menurut para filosof dan psikolog pada umumnya melainkan ada
tambahan yakni akal dan wahyu (Iman), semua ini sudah diciptakan oleh Allah
sejak manusia dilahirkan.

Semua ilmu pengetahuan bersumber dari Sang Maha Pencipta dan


diajarkan kepada umat manusia melalui Al-Qur‟an. Mulai dari matematika,
fisika, kimia, astronomi, dan termasuk juga psikologi semua bersumber dari al-
Qur‟an. Komponen jiwa manusia yang sering disebut terdiri dari akal, kalbu,
ruh, nafsu, gadhab, syahwat, dan bashirah. Sedangkan macam-macam
komponen tersebut sering diartikan sebagai jiwa dalam beberapa ayat Al-
Qur‟an. Fungsi jiwa sering kali berubah-ubah maka dari itu kita memerlukan
banyak istilah yang berbeda untuk menandai perubahan, keadaan dan
fungsinya itu.

15
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Agama adalah seperangkat pedoman hidup yang diyakini bersifat sakral


dan berasal dari Dzat Yang Maha Tinggi dengan perantaraan seorang manusia
yang dipilih-Nya.Sumber jiwa keberagamaan adalah dasar yang menjadikan
timbulnya kecenderungan pada suatu agama yang dimiliki oleh hati nurani
manusia .

Ada dua teori sumber jiwa keberagamaan yakni teori monistik , teori
monistik berarti sumber jiwa keberagamaan berasal dari satu sumber , dan teori
fakulty, yakni mencakup cipta, rasa dan karsa .

Dalam agama islam sendiri sumber kejiwaan agama menurut pandangan


Islam juga sama dengan sumber kejiwaan menurut para filosof dan psikolog
pada umumnya melainkan ada tambahan yakni akal dan wahyu (Iman), semua
ini sudah diciptakan oleh Allah sejak manusia dilahirkan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaluddin. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.


Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Kartikowati, Endang. Psikologi Agama dan Psikologi Islam. Jakarta: Prenada
Media, 2016.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Q’dea, Thomas F. Sosiologi Agama. Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Surawan. Psikologi Perkembangan Agama. Yogyakarta: K-Media, 2020.

17

Anda mungkin juga menyukai