Anda di halaman 1dari 8

AHWAL

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu:
M. Solahudin,S.Hum., M.Ag

Disusun Oleh :

Naufal Fahzuri (21402102)


Hana Fifiana (21402110)
Yuyun Desi Pratama (21402129)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2021
PEMBAHASAN

A. Definisi Ahwal
Ahwal adalah jamak daripada kata "hal" yang artinya keadaan, yakni keadaan
hati yang dialami oleh para ahli sufi dalam menempuh jalan untuk dekat dengan
Tuhan. Ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan
atas dasar usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat. Ahwal
bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekatkan diri dengan Tuhan. Ada banyak definisi berkaitan dengan ahwal yang
bermunculan di berbagai rujukan sufi, hal demikian memang dirumuskan oleh para
sufi, diantaranya seperti pandangan Al-Thusi yaitu:
Ahwal adalah keadaan hati yang selalu berzikir, dan bukanlah hal itu dilihat
dari metodologi mujahadah dan latihan-latihan seperti yang telah disebutkan
sebagaimana terdahulu. Ahwal tersebut seperti merasa diawasi Allah SWT, perasaan
dekat dengan Allah SWT, rasa cinta takut, harap, rindu. tenang, yakin dan yakin
lainnya.1
Senada dengan Al-thusi yaitu Al-Junaidi menjelaskan Ahwal adalah sesuatu
yang datang dan singgah ke dalam hati, namun tidak pernah menetap.2Sedangkan al-
Qusyairi merumuskan bahwa ahwaladalah suatu anugerah Allah SWT atau keadaan
yang datang tanpa wujud kerja atau usaha.3 Meskipun hal merupakan kondisi yang
bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehinya tetap harus
melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Menurut Harun
Nasution, hal atau Ahwal merupakan keadaan jiwa, seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut
(al-khauf), rendah hati (al-tawadhu), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman(al-uns), gembira
hati (al-Wajd), berterima kasih (al-syukr)4

B. Macam-Macam Ahwal

1
Al-Sarraj al-Tusi, al-Luma; suntingan „Tahqiq al-Halim Mahmud dan Abd al-Baqi (Mishr: Dar al-Haditsah,
1960), hlm. 66
2
M. Idrus H.Ahmad, Studi Ilmu Tasawuf dan Akhlak, (Banda Aceh:Ushuluddin Publishing, 2013) Cetakan ke-I,
hlm. 66-67
3
Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyyah fi Ilm al-Tashawwuf, hlm. 57
4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta:Rajawali Pers,2013), hlm 177
Dalam pembagian ahwal terdapat banyak perdebatan di kalangan sufi, namu
yang paling sering muncul adalah sebagai berikut:
1. Mawas diri (muraqabah)
Mawas diri adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan yang
telah dilakukan setiap hari sudah sesuai dengan aturan-aturan-Nya atau malah
menyimpang dari yang dikehendaki-Nya5. Menurut Imam al-Qusyairy an-
Naisabury secara bahasa muraqabah adalah mengamati tujuan. Sedangkan secara
terminologi muraqabah yaitu keyakinan seorang sufi dengan kalbunya bahwasanya
Allah SWT. melakukan pengamatan kepadanya dalam gerak dan diamnya sehingga
membuat ia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya. Adapun menurut Abu
Nasrh as-Sarraj muraqabah adalah pengetahuan dan keyakinan seorang hamba,
bahwa Allah SWT. selalu Melihat apa yang ada dalam hati dan nuraninya dan
Maha Mengetahui. Maka dalam kondisi ini ia terus meneliti dan mengkoreksi
bersitan-bersitan hati atau pikiran-pikiran tercela yang hanya akan menyibukkan
hati sehingga lupa mengingat Tuhannya6. Allah SWT berfirman yang Artinya:
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa’: 1).
2. Cinta (Mahabbah)
Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau
kecantikan. Menurut al-Ghazali adalah kecenderungan jiwa pada-Nya karena
keberadaan-Nya sebagai suatu kelezatan pada-Nya. Menurut al-Qusyairi cinta
adalah suatu hal yang mulia. Allah Yang Maha Suci menyaksikan cinta hamba-
Nya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Kecintaan
seorang hamba kepada Allah tidak mengandung suatu kecenderungan. Bagaimana
mungkin mengandung, sedangkan hakikat ketinggian Allah tidak bisa bertemu
dengan-Nya. Karena itu seorang hamba yang mencintai Allah akan tenggelam
dalam cinta-Nya7.
Sahl bin Abdullah berpendapat bahwa mahabbah adalah kecocokan hati
dengan Allah SWT. dan senantiasa cocok dengan-Nya, serta SAW. dengan
senantiasa mencintai yang sangat mendalam untuk selalu berdzikir (mengingat)
Allah SWT. dan menemukan manisnya bermunajat kepada Allah SWT. Rabiah al
Adawiyyah al-Basriyyah (wafat 185 H / 801 M) dianggap sebagai Sufi pertama

5
Hana Widayani, Maqamat (Tingkatan spiritualitas dalam proses bertasawuf), El-Afkar Vol. 8 No. 1, 2019, hlm.
18-19
6
Arrasyid Arrasyid, Konsep-konsep tasawuf dan relevansinya dalam kehidupan, El-Afkar Vol. 9 No. 1, hlm. 54-
55
7
Hana Widayani, Op.Cit, hlm. 19
yang menyatakan cintanya kepada Allah dan mengemukakan teori komprehensif
tentang Cinta Ilahi. Cinta bagi Rabi’ah sukar didefinisikan, karena cinta berisi
perasaan kerinduan kepada yang dicinta. Meski demikian, Rabi’ah telah membuat
rumusan analisis melalui serangkaian kata-katanya yang sangat terkenal, sebagai
berikut:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena Diri-Mu
Cinta karena diriku
Adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena Diri-Mu
Adalah Keadaan-Mu menyingkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu8.
3. Berharap dan Takut (raja’ dan khauf)
Menurut kalangan para sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Raja’ atau optimisme adalah perasaan senang hati karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ menunut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau
hayalan. Setiap orang yang berharap pasti juga merasa takut (khauf), khauf adalah
bayangan perasaan terhadap sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa dirinya. Jadi
khauf ini bisa mencegah seseorang berbuat maksiat karena takut akan siksaan yang
akan ia dapatkan jika melakukan hal tersebut9.
4. Rindu (shauq)
Menurut al-Qusyairi, rindu adalah kegoncangan hati untuk menemui yang
dicintai. Kerinduan tergantung dalamnya cinta. Selama masih ada cinta, shauq
tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa rindu hidup dengan subur,
yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan
bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih
berbahaya daripada maut10.

8
Arrasyid Arrasyid, Op.cit., hlm. 55
9
Hana Widayani, Op.cit., hlm. 19-20
10
Ibid., hlm. 20
5. Karib (uns)
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman,
tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak
ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah.
Segenap jiwa terpusat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari
dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya.
Seorang hamba yang merasakan Uns, dibedakan menjadi tiga kondisi; Pertama,
seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa
gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat
dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah
terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan
menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi
melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan
mengagungkan disertai dengan suka cita11.
Jadi seseorang yang berada pada kondisi spiritual ‘Uns akan merasakan
kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, serta sukacita yang meluap-luap. Kondisi
spiritual seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan
Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelembutan,
keindahan, serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk
dilukiskan. Dengan demikian ‘Uns adalah kondisi spiritual di mana seorang sufi
merasakan kesukacitaan hati atau kebahagiaan hati karena bisa akrab dengan
Tuhan12.
6. Ketenangan (Thuma’ninah)
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak
ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat
kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan
thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih
ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia
dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga
tingkatan; Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan
ketika seorang hamba berzikir. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus.
Mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas
cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus.

11
Ibid., hlm. 21
12
Arrasyid Arrasyid, Op.Cit., hlm. 57
Ketenangan ini didapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati
mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-
Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya13.
7. Penyaksian (Musyahadah)
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala.
Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang
dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah.
Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah
telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak
menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu
Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di
mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya
tersebut maka timbullah rasa cinta kasih14.
8. Kepastian (yaqin)
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan
adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang
mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari
pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Dalam pandangan al-
Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah
dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki15.
Adapun definisi lain dari yakin yaitu selamat dari keraguan dan syubhat,
serta penguasaan atas pengetahuan yang akurat, tepat, dan benar, tanpa
mengandung keraguan sama sekali. Para sufi biasanya membahas yakin dalam tiga
bagian:pertama, Ilm al-yaqin: yaitu pencapaian iman dan ketundukan terkuat yang
berhubungan dengan hal-hal yang ingin dicapai dengan memperhatikan dalil-dalil
dan petunjuk yang jelas.Kedua, ‘Ain al-yaqin: yaitu pencapaian makrifat
melampaui batasan definisi yang dilakukan oleh ruh melalui penyingkapan,
musyahadah, persepsi dan kesadaran.Ketiga, Haqq al-yaqin: yaitu anugerah berupa
kebersamaan (ma’iyyah) yang mengandung banyak rahasia, tanpa tirai dan

13
Hana Widayani, Op.Cit., hlm. 21-22
14
Ibid., hlm. 22
15
Ibid.,
penghalang, yang melampaui imajinasi manusia serta tanpa kammiyyah ataupun
kaifiyyah16

16
Arrasyid Arrasyid, Op.Cit, hlm. 57-58
DAFTAR PUSTAKA

, Al-Qusyairi. (n.d.). Al-Risalah al-Qusyairiyyah fi Ilm al-Tasawwuf. 57.


al-Thusi, Abu Nasr al-Sarraj. (1960). In T. A. Mahmud, & A. al-Baqi, Al-Luma (p. 25).
Mishr: Dar al-Haditsah.
Arrasyid, Arrasyid. (2020). Konsep-konsep Tasawuf dan relevannya dalam kehidupan. El-
Afkar Vol. 9 No. 1, 54-58.
H. Ahmad, M. Idrus;. (2013). Studi Ilmu Tasawuf dan Akhlak . Banda Aceh: Ushuluddin
Publishing.
Nata, Abuddin. (2013). In Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (p. 177). Jakarta: Rajawali
Pers.
Widayani, Hana. (2019). Maqamat (Tingkatan Spititualis dalam proses bertasawuf). El-Afkar
Vol.8 No.1, 18-22.

Anda mungkin juga menyukai