Anda di halaman 1dari 4

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM

MATCH DAY 26
ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 2)

B. ANTROPOLOGI HUKUM
Antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-
pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun
masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan. Kekhasan
antropologi hukum tampaknya memang terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan secara
menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Inilah yang menempatkan antropologi, tentunya
juga terapannya dalam antropologi hukum, untuk mendapatkan hasil studi yang lebih
mempunyai nilai universal baik dalam hubungannya dengan waktu maupun tempat. Atau
paling tidak sasarannya ke arah itu.1
Dalam literatur lain disebutkan bahwa dari optik ilmu hukum, antropologi hukum
pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiric (empirical study of law) yang
memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan
antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi
budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam
masyarakat secara luas dikenal sebagai studi antropologis tentang hukum (anthropological
study of law).2
Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal balik secara empirik
antara hukum dengan berbagai fenomena sosial dalam masyarakat; bagaimana hukum
berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat
pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan dan ketertiban
sosial (legal order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi mengenai hukum
dengan menggunakan pendekatan antropologis memfokuskan kajiannya pada segi-segi
kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai
sarana pengendalian sosial untuk menjaga keteraturan dan keteriban sosial. Karena itu,
antropologi hukum secara spesifik memberi perhatian pada kajian mengenai proses-proses

1
Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke-13, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.
54-55.
2
I Nyoman Nurjaya, 2007, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara Dalam Masyarakat
Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum” dalam kumpulan tulisan Menuntaskan Agenda Reformasi:
Dinamika Pemabgunan Hukum di Indonesia, 2008, Setara Press dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang, hlm. 96.
sosial dimana pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan,
dirobah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan dalam masyarakat.3
Antropologi hukum ini mengalami perkembangan dari masa ke masa. Awal pemikiran
yang diarahkan untuk mempelajari hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis
dimulai dari studi-studi yang dilakukan oleh para ahli antropologi, bukan dari kalangan
sarjana hukum. Awal perkembangan sub disiplin antropologi hukum biasanya dikaitkan
dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law, yang diterbitkan
pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis
tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai
masyarakat dan hukum, yang secara ringkas menjelaskan bahwa hukum berkembang
seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat (ubi societas ubi ius), bermula dari
masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) kemudian
berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent
dalam kehidupan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya
berkembang ke bentuk contract.4
Tema kajian pada fase awal studi-studi antropologi hukum lebih difokuskan pada
fenomena eksistensi hukum dalam masyarakat bersahaja (primitive), tradisonal (traditional),
dan kesukuan (tribal) dalam skala evolusi bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang
mengiringi perkembangan masyarakat manusia. Metode yang digunakan adalah metode
kajian hukum dari belakang meja (armchair methodology). Pada awal abad ke-20, armchair
methodology mulai ditinggalkan dan memasuki perkembangan dengan menggunakan
metode studi lapangan (fieldwork methodology) yang terus digunakan atau menjadi metode
khas dalam studi-studi antropologi hukum. Dalam perkembangannya kemudian, sejak
dekade 1940-an sampai 1950-an, tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke
arah untuk memahami mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement)
dalam masyarakat. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi lebih memberi
perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism phenomenon) dalam
masyarakat. Tema kajian pluralisme hukum pada awalnya difokuskan pada fenomena
kemajemukan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat melalui mekanisme dan
institusi tradisional yang dikenali masyarakat setempat (folk institution of dispute
settlement). Sejak tahun 1970-an tema studi-studi antropologi hukum secara sistematis
difokuskan pada korelasi antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional

3
Ibid., hlm. 96-97.
4
Ibid., hlm. 97.
dalam masyarakat menurut hukum rakyat (folk law) dan menurut institusi penyelesaian
sengketa menurut hukum negara (state law).5
Fase selanjutnya, studi pluralisme mekanisme penyelesaian sengketa mulai
ditinggalkan dan mulai diarahkan kepada studi-studi pluralisme hukum di luar penyelesaian
sengketa. Karya Sally F. Moore (1978) misalnya, mengenai kemajemukan hukum yang
mengatur persoalan agraria dalam kehidupan suku Kilimanjaro di Afrika dan mekanisme
dalam proses produksi di satu pabrik garment terkenal di Amerika. Kemudian, studi-studi
pluralisme hukum mulai difokuskan pada pemahaman mengenai proses, mekanisme dan
institusi-institusi yang berkaitan dengan fenomena jaminan sosial (social security) dalam
masyarakat, mengenai dinamika pasar dan perdagangan, mekanisme pengaturan masalah
irigasi pertanian dalam kehidupan petani di pedesaan, institusi koperasi dan perkreditan
rakyat di negara-negara sedang berkembang, yang dilakukan dan dikembangkan di Agrarian
Law Departement-Wageningen Agriculture University, Belanda.6
Fase perkembangan tema pluralisme hukum yang menyoroti topik-topik
penyelesaian sengketa maupun non sengketa, relasi dan interaksi antara pemberlakuan
hukum negara (state law) di satu sisi dengan hukum rakyat (folk law/indigenous law) dan
hukum agama (religious law) disebut oleh F.von Benda-Beckman (1989) sebagai fase
perkembangan the anthropology of legal pluralism.7
Sejak tahun 1990-an, tema studi-studi antropologi hukum cenderung lebih diarahkan
untuk memberi pemahaman mengenai fungsi dan peran hukum dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Pada bulan April 2002 The Commission on Folk Law and
Legal Pluralism menyelenggarakan the XIIIth International Congress and Symposium di
Chiang Mai, Thailand yang bertajuk Legal Pluralism and Unofficial Law in Social, Economic,
and Political Development. Dalam kongres tersebut hal-hal yang dibahas antara lain Asian
Resources Management in Transition: Implication for Customary Law, Crisis in South East
Asia’s Fisheries: A Legal Pluralism Perspective dan beberapa pembahasan mengenai Legal
Complexity and Irrigation Water Resources.8
Selanjutnya pada bulan Juni 2006 lalu di Universitas Indonesia, The Commission on
Folk Law and Legal Pluralism kembali mengadakan kongres dan simposium dengan tema
Law, Power, and Culture: Transnational, National, and Local Process in the Context of Legal
Pluralism. Pada simposium ini terlihat perkembangan topik-topik kajian hukum yang selain
berfokus pada kemajemukan pengelolaan dan hak penguasaan masyarakat adat atas

5
Ibid., hlm. 98-99.
6
Ibid., hlm. 100.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 101.
sumber daya alam, juga dibahas topik kajian hukum berperspektif jender, agama, dan
kemajemukan hukum, regulasi hak asasi manusia, perlindungan hak atas kekayaan
intelektual, masalah jaminan sosial (social security), diskriminasi perlakuan dan kekerasan
terhadap wanita, penanggulangan perdagangan manusia, hak atas kesehatan reproduksi,
sampai aspek hukum penanggulangan bencana alam.9
MP7™

9
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai