Anda di halaman 1dari 14

1

SEBAB-SEBAB YANG MENCEDERAI KEADILAN PERAWI

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Kawasan

Oleh:

Hasbul Hadi
NIM: 02040620007

Dosen Pengampu:

Dr. Muhid, M.Ag


NIP. 196310021993031002

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021
2

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah pencipta dan pengatur alam semesta
yang telah memberikan nikmat dan karunianya kepada seluruh makhluk. Shalawat
dan salam untuk baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai suri
tauladan bagi seluruh manusia di muka bumi.

Dengan izin Allah, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah yang disusun merupakan rangkaian tulisan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Kajian Kritik Hadis, Pascasarjana Program Magister Ilmu Hadis Universitas
Sunan Ampel Surabaya yang diampu oleh bapak Dr. Muhid, M.Ag selaku dosen yang
telah mendampingi, mengarahkan serta membimbing proses penyusunan makalah ini.
Penyusun sangat mengetahui terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini, maka dari itu kritik dan saran sangat membantu dalam perbaikan dan
pembangunan kedepan.

Semoga makalah yang telah disusun dapat menjadi ilmu yang bermanfaat
didunia dan diakhirat.

Penulis,

Jambi, 27 Oktober 2021


3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesungguhnya Allah membentengi agama dengan pondasi yang luar biasa


yaitu Alquran dan Sunnah Nabawiyah sebagai utama sandaran agama. Diantara faktor
yang sangat penting dalam menjaga sunnah nabi adalah kehadiran para ulama yang
mengeluarkan segala kemampuannya untuk menjaga dan mengembangkan hadis
nabi.

Perkembangan ilmu Hadis dari zaman ke zaman terus berkembang mulai dari
masa sahabat dan kemudian para tabi‟in yang mana pada tahun abad kedua dan ketiga
Hijriah merupakan masa keemasan dalam perkembangan ilmu Hadis yang mana
ulama memaksimalkan dalam upaya menjaga hadis Rasulullah dengan berbagai cara
salah satunya adalah dengan menyusun ilmu jarh wa ta‟dil dan menetapkan berbagai
kaidah periwayatan dan standar kriteria perawi yang diterima hadisnya.

Dalam bidang ilmu hadis, hadis dibagi menjadi dua macam berdasarkan dari
segi diterima atau ditolaknya hadis tersebut, yaitu hadis ṣaḥīḥ, hadis ḥasan dan hadis
ḍa‟if. Secara umum, hadis maqbul adalah hadis yang memiliki lima syarat, yaitu
bersambung sanadnya, perawinya thiqah, perawinya ḍābiṭ, tidak memiliki „illah dan
tidak shādh. Salah satu syarat terpenting diterimanya suatu hadis adalah perawi hadis
harus memiliki sifat „adalah.

Terkait hal itu maka pembahasan makalah pada kali ini berfokus pada ilmu
kritik hadis dengan tema Sebab-Sebab Hadis Dhaif : Sebab yang mencederai
keadilan Perawi.
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tha’ni al-Rawi (Tercelanya /cacatnya perawi)

Banyak diantara perawi hadis memiliki kekurangan atau cacat pada dirinya.
Kekurangan itu bisa dari keadilannya, ingatan, maupun ketelitiannya. Hal ini
menyebabkan kredibilitas terhadap rawi tersebut berkurang. pada umumnya
kecacatan pada diri seorang perawi terbagi menjadi dua, yaitu kecacatan pada „adalah
seorang perawi dan kecacatan pada keḍabṭan seorang perawi, sebagaimana yang
dingkapkan oleh Mahmud al Thahhan bahwa tha‟n fi al-rawi adalah:1

‫ وهي ًاحیت ضبط و حفظه و یقظه‬,‫ والتكلّن فیه هي ًاحیت عذالت ودیٌه‬,‫جرح في الراوي باللساى‬

menyacat rawi dengan mengkritiknya sebab faktor yang menciderai keadilan dan
keḍabiṭan atau hafalan rawi tersebut.2

B. Kualifikasi perawi sebagai perawi yang adil

Para ulama muhaddisun menjelaskan beberapa syarat penetapan keadilan


pada seorang Rawi Hadits, Menurut Mahmud At-Thahan, definisi keadilan adalah:

"‫أى كل راو هي رواته اتصف بكوًه هسلوا بالغا عاقال غیر فاسق وغیر هخروم الوروءة‬."

1. Beragama Islam, yaitu seorang perawi hadits harus merupakan seorang yang
beragama Islam, maka daripada itu secara ijma' ulama periwayatan seorang
kafir tidak diperkenankan

2. Baligh, maka periwayatan anak kecil walaupun mumayyiz yakni seorang yang
belum baligh dengan ciri belum mimpi basah atau dengan cara yang
semisalnya tidak dapat diterima periwayatannya karena mereka termasuk
kategori yang belum dibebankan beban syariah
1
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,(Riyadh: Maktabah almaarif, 2010), 69
2
Tajul Arifin, Ulumul Hadis, (Gunung Djati Press: Bandung, 2014), 167
5

3. Salamah min al Fisq (terhindar dari kefasikan) yaitu terbebas dari sebab-
sebab yang menimbulkan sifat fasik pada diri seseorang yaitu berupa
perbuatan dosa besar atau banyak (sering) berbuat dosa kecil

4. Terpelihara muruah-nya yaitu terbebas dari segala perbuatan tercela yang


berpotensi menjatuhkan kehormatan diri, sehingga tidak mengakibatkan
kualitas pribadinya menurun yang menjadikannya terkena jarḥ yang mana
dalam hal ini ketentuannya adalah al urf atau adat, maka daripada itu hal ini
sangat berkaitan dengan perbedaan subjek, tempat serta waktu kejadian,
karena bisa jadi suatu perbuatan akan menjatuhkan secara langsung
kehormatan seseorang pada daerah atau situasi tertentu yang mana tidak
menjatuhkan kehormatannya pada ditempat lain atau waktu yang berbeda.3

Terkait dengan kriteria yang disebutkan ini Ibnu Shalah menukil tentang
adanya ijma' jumhur ulama dari kalangan muhaddis dan ahli fiqih dalam standarisasi
sifat-sifat „adalah tersebut.4

Adapun penetapan tentang kecacatan seorang rawi menurut Muhadditsin juga


dapat diterima menggunakan dua metode yang pertama adalah dengan mendengarkan
berita tentang yang kemasyhuran terkait aibnya seperti seseorang yang terkenal akan
kefasikannya di antara masyarakat sehingga hal ini tidak perlu dipersoalkan lagi dan
yang kedua adalah berdasarkan tajrih dari para ulama kritik hadis yang mana mereka
mengetahui sebab-sebab akan kecacatannya minimalnya harus di tajriih oleh dua
orang yang adil. 5

C. Sebab-sebab yang menjadikan cacat perawi dari segi keadilannya

Banyak diantara perawi hadis memiliki kekurangan atau cacat pada dirinya.
Kekurangan itu bisa dari keadilannya, ingatan, maupun ketelitiannya. Hal ini

3
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,111
4
Farsat Abdullah Yahya Warmely, Mafhum al „Adalah wa Dhawabithuha „Inda al Muhaddutsin (Iraq,
2013), 285
5
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (IAIN PO Press: Ponorogo, 2018) 168
6

menyebabkan kredibilitas terhadap rawi tersebut berkurang. pada Umumnya


kecacatan pada diri seorang perawi terbagi menjadi dua, yaitu kecacatan pada „adalah
seorang perawi dan kecacatan pada keḍabṭan seorang perawi. Terkait kecacatan pada
sisi „adalah seorang perawi dapat menjadikan perawi tersebut termasuk kepada salah
satu dari lima kategori sebab-sebab gugurnya „adalah perawi, yaitu pendusta, tertuduh
berdusta, fasik, bid‟ah dan jahhalah.6 Adapun sebab-sebab yang menggugurkan
Keadilan seorang perawi adalah sebagai berikut:

1. Al Kadzib ( Dusta)

Yang dimaksud dengan kadzib adalah seseorang telah pernah berbuat


dusta pada riwayat suatu hadis atau pernah membuat hadis yang palsu . Dari
hal ini diketahui bahwa seseorang yang pernah berdusta dalam suatu hadis
walaupun hanya sekali saja dalam seumur hidupnya maka tidak diterima
riwayat hadisnya walaupun setelahnya ia bertaubat kepada Allah, lain halnya
dengan seorang yang pernah membuat kesaksian palsu maka ketika ia
bertaubat riwayatnya akan tetap diterima.

Dalam menetapkan kepalsuan atau tidaknya suatu hadits yang diriwayatkan


oleh seseorang yang pernah memalsukan hadits diharuskan berdasar kepada
keyakinan yang kuat bukan sebatas prasangka saja, dikarenakan seringkali
ditemukan seseorang yang pernah berdusta di suatu waktu itu mungkin
melakukan periwayatan yang jujur dan benar pada kondisi lain.

Terkait hukum hadits palsu maka para ulama telah ber‟ijma bahwa
hadis dari seorang pendusta atas nama rasul tidak boleh diterima sebagaimana
mereka telah menyepakati atas dosa besar bagi yang berdusta atas nama
Rasulullah. Namun, dalam perihal diterima atau tidak diterima taubatnya, hal
itu diperselisihkan oleh para ulama.

sebagaimana pendapat Ahmad dan Abu Bakar Al Humaidi bahwa


periwayatan orang tersebut tidak diterima walaupun ia telah bertaubat, di sisi

6
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,69
7

lain Imam Nawawi membolehkan periwayatan setelah ia bertobat yang mana


keadaan ini dianalogikan kepada keadaan seorang kafir yang masuk Islam.7

Adapun Hadis yang diriwayatkan oleh seorang pendusta disebut


sebagai hadis mawḍū‟. Hadis mawḍu‟ adalah hadis yang dibuat-buat atau
8
dikarang dan disandarkan kepada Rasulullah. Terkait hal ini ijma‟ ulama
bahwa meriwayatkan sebuah hadis yang mawḍu‟ dengan mengetahui tentang
kepalsuannya dan tidak jelaskan bahwa hadis tersebut adalah hadis yang
mawḍu‟ maka hukumnya haram dan berdosa. Akan tetapi, jika hadis tersebut
diriwayatkan dengan memberikan penjelasan bahwa hadis tersebut adalah
hadis yang mawḍu‟, maka hal tersebut adalah boleh karena termasuk dalam
upaya untuk membersihkan hadis-hadis yang mawḍu‟ dari penyebaran secara
bebas di masyarakat.9

2. At Tuhmah bi al-Kazb (tertuduh berbohong)

Pengertian dari tuhmah bil kadzib adalah bahwa seorang perawi telah
terkenal dengan kebohongan dalam pembicaraannya namun di sisi lain belum
dapat dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam meriwayatkan hadis. 10

Hadits Seperti ini dikenal dengan Hadits matruk atau matrukul hadits.
Dalam definisinya, hadis matruk adalah hadis yang di dalam sanadnya
terdapat seorang perawi yang dituduh berdusta.11 Menurut al-Suyuti, hadis
matruk adalah hadis yang tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat
dan perawinya tertuduh berdusta karena hadis tersebut tidak diriwayatkan
kecuali hanya melalui jalurnya saja atau perawinya banyak kesalahannya atau
fasik atau sering lupa. Hadis matrūk adalah hadis yang terburuk kedua setelah
hadis mawḍu‟.

7
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009),178
8
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis, 70
9
Ibid, 70
10
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,178
11
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis, 73
8

Terkait kriteria perawi seperti ini apabila ia bertaubat maka hadisnya


dapat diterima akan tetapi jumhur ulama berpendapat apabila seseorang
diketahui pernah berdusta walaupun hanya sekali saja tetap tidak diterima
hadisnya.

Adapun sebagian ulama lainnya memperbolehkan untuk menerima


hadis dari perawi yang hanya satu kali saja berdusta kepada khalayak umum
dalam hal ini apabila ia bertaubat dan setelahnya diketahui ia konsisten
dengan kejujurannya maka pendapat jumhur ulama taubatnya diterima
begitupun dengan riwayat hadisnya.12

3. Al Fisq

Pengertian dari fusuq adalah kefasikan dalam amalan yaitu amalan


lahiriyah bukan dalam hal aqidah atau itikad, karena kefasikan di dalam hal
itikad termasuk dari kategori penganut bid'ah.

Fisq berbeda dengan dusta walaupun keduanya termasuk kategori


maksiat akan tetapi dalam hal ini para ulama memisahkan antara keduanya
karena kecacatan yang disebabkan dusta lebih jelas dan nyata untuk dijadikan
13
dasar menolak suatu hadis dibandingkan dengan fisq. Terkait hal ini
terdapat pernyataan Ibnu Katsir menegaskan bahwa orang yang diterima
riwayatnya adalah orang Islam, berakal,terpercaya lagi kokoh ingatan
terhadap riwayat, bersih dari hal atau sebab yang manfasikkan dan dari segala
hal yang dapat menggugurkan muruahnya.14

Adapun Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang fasik


disebut sebagai hadis munkar. Secara istilah, hadis munkar sendiri adalah
hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang banyak kesalahannya atau
12
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 179
13
Ibid
14
Ibid, 180
9

sering lupa atau nampak kefasikannya dan periwayatannya menyendiri


sehingga matn hadis yang ia riwayatkan tidak ditemui kecuali hanya melalui
jalur sanadnya meskipun riwayatnya tidak menyalahi riwayat lainnya yang
lebih thiqah. Adapun menurut Ibn Hajar, hadis munkar adalah periwayatan
perawi yang ḍa‟īf yang bertentangan dengan periwayatan perawi yang
thiqah.15

4. Al Jahaalah (asing/tidak dikenal keadaannya)

Pengertian dari Al jahalah yaitu perawinya tidak diketahuinya kondisi atau


status seorang perawi, namanya dan pribadinya apakah termasuk orang yang
dapat dipercaya ataukah sebaliknya seperti ungkapan seorang perawi yang
berkata “akhbarana rajulun” “telah mengabarkan kepada kami seorang
lelaki...”

Adapun orang yang tidak disebut namanya merupakan hadis mubham, hadits
mubham tidak dapat diterima kecuali seseorang yang mubham itu adalah
seorang sahabat.

Begitu juga para perawi yang disebut dengan lafaz yang menunjukkan kepada
kepercayaan seperti dikatakan “haddatsana tsiqotun” (telah diceritakan
kepada kami oleh seorang yang terpercaya), atau “akhbaroni „adlun” maka
dalam hal ini hadis tersebut juga tidak dapat diterima dalam pendapat yang
lebih Shahih.16

Jahalah dibagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, majhul al-dhzt. Majhūl al-dhāt adalah perawi yang tidak disebutkan
namanya atau sesuatu yang ia dikenal dengannya. Hadis yang memiliki
perawi yang tidak diketahui namanya disebut dengan hadis mubham.

15
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,
16
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,180
10

Periwayatan yang di dalamnya terdapat perawi yang mubham tidak diterima


hingga dijelaskan siapa perawi yang tidak diketahui tersebut.

Kedua, majhūl al-„ain. Majhul al-„ain adalah perawi yang disebutkan namanya
dan diketahui orangnya tetapi ia termasuk orang yang periwayatan hadisnya
hanya sedikit sehingga hanya ditemukan satu orang saja yang meriwayatkan
hadis darinya. Ulama berbeda pendapat terkait diterima atau tidaknya
periwayatan perawi yang majhul al-„ayn. Sebagian berpendapat bahwa
periwayatannya tidak diterima sama sekali. Sebagian yang lain berpendapat
bahwa periwayatannya diterima secara mutlak. Adapula yang berpendapat
bahwa periwayatannya diterima dengan persyaratan, seperti ia hanya
meriwayatkan dari perawi yang adil atau ia terkenal sebagai orang yang zuhd
dan lainnya.

Ketiga, majhul al-ḥal. Majhūl al-ḥal adalah seorang perawi yang diketahui
orangnya karena periwayatan dua perawi darinya tetapi mereka tidak
menthiqahkannya ataupun mencelanya sehingga tidak diketahui apakah ia
adalah orang yang adil atau tidak. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang diterima atau ditolaknya periwayatan seorang perawi yang
majhūl al-ḥal.17

5. Al Bid‟ah

Pengertian dari al bid‟ah ialah mempunyai suatu kepercayaan yang


menyalahi al-quran dan sunnah dengan tidak sengaja sebab suatu kesamaran
atau salah pengertian sedangkan apabila dikarenakan unsur kesengajaan maka
termasuk kufur, maka daripada itu periwayatan hadis dari para Ahlul bid'ah
banyak dibahas oleh muhadiisin di mana mereka mempunyai pendapat yang
dikhawatirkan masuk dengan pemikiran Ahlussunnah.

17
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,, 93
11

Hukum hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahli bid'ah menurut


pendapat jumhur ulama tidak dapat diterima akan tetapi sebagian muhaddisun
berpendapat bahwa jika yang meriwayatkan itu adalah orang yang benar-
benar jujur maka diterima. Sebagian lain berpendapat bahwa jika ahli bid‟ah
mengingkari suatu hukum yang bersifat Mutawatir barulah riwayatnya ditolak
namun jika sebaliknya maka riwayatnya tetap diterima, walaupun dikafirkan
oleh orang-orang yang menentangnya dengan syarat ingatannya kuat dan
mempunyai sifat taqwa dan terhindar dari dusta.18

Dalam hal ini Nuruddin „Itr menjelaskan bahwa pada umumnya para ulama
membagi keadaan Ahlul Bid'ah menjadi dua kategori itu bid'ah mukaffirah
dan bid'ah ghairu mukaffirah,

terkait bagian pertama yaitu bid'ah mukaffirah maka dalam hal ini hadis
riwayat nya tidak dapat diterima dan ini merupakan kesepakatan para
ulama,tetapi harus diperhatikan tentang kepastian perbuatan kufur yang
dituduhkan kepadanya sehingga tidak boleh seseorang segera dihukumi atas
kekufuran sebagaimana yang dilakukan kan oleh orang-orang yang yang
mengkafirkan tanpa ada dasar yang pasti.19Terkait hal ini Ibnu Hajar
rahimahullah menjelaskan bahwa Pada dasarnya tidak ditolak atas setiap yang
yang dikafirkan sebab bid‟ahnya, dikarenakan setiap kelompok mengaku dan
mengklaim bahwasanya kelompok yang menyelisihinya juga termasuk
kategori ahli bid‟ah yang mana apabila hal ini dipegang maka secara otomatis
semua kelompok akan saling mengkafirkan. Jadi menurut ibnu hajr dalam hal
ini riwayat yang ditolak adalah terkait perkara yang mutawatir di dalam
syariat yang seharusnya setiap muslim tidak mungkin mengingkari hal
20
tersebut begitu juga sebaliknya. Kemudian yang kedua adalh bi‟dah ghaur
mukaffirah maka riwayatnya tetap diterima walaupun terjadi perselisihan

18
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 180
19
Nur al-Din „Itr, Ushul al Jarh wa al Ta‟dil wa „Ilm Rijal, (Damaskus, 2007),148
20
Ibid,48
12

yang kuat antara ulama terkait hal itu sebagaimana yang diungkapkan Khatib
al Baghdadi.21

Selain itu ulama juga berpendapat bahwa tidak boleh seseorang menerima
hadis dari Ahlul Bid'ah apabila ke bidahannya itu menggiring kepada
kekufuran, begitu juga jika ia memperbolehkan dusta walaupun ia tidak
dikufurkan lantaran bid'ahnya.22

Terkait hal ini terdapat perselisihan ulama Al-hafizh Ibnu Katsir berkata:

“Dalam soal ini telah terjadi perselisihan lama sekali, menurut pendapat
kebanyakan ulama harus dipisahkan antara seseorang yang menyerukan
manusia kepada bid‟ahnya dengan yang tidak melakukan hal tersebut
demikianlah yang dinukil dari Imam Syafi'i”

Kemudian menurut Hasbi ash Shiddiqi pendapat yang terpilih ialah kalau ia
seseorang yang memprogandakan bid'ah nya maka akan ditolak dan jika tidak
maka hadisnya tetap diterima kecuali jika riwayatnya itu menguatkan
bidahnya.23

Jadi dapat ditinjau menurut kenyataan dari perjalanan ulama hadis


bahwa kita boleh menerima riwayat ahli bid'ah kalau yang diriwayatkan itu
tidak bersangkut paut dengan bid'ahnya dan dia bukan termasuk kelompok
yang menghalalkan dusta. Maka dari pada itu para ulama menerima hadis
hadis dari riwayat seorang syi‟ah yang terkenal benar dan terpercaya, maka
secara garis besar para ulama hadis berselisih mengenai penerimaan hadits
dari ahli bid'ah. Sebagian ulama hadis menerima hadis dari kelompok
khawarij, syi‟ah dan lain sebagainya dan sebagian yang lain tidak menerima
hadis dari kelompok-kelompok yang telah disebutkan. 24

21
Ibid, 149
22
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,181
23
Ibid, 180
24
Ibid, 181
13

BAB III

KESIMPULAN

Seorang perawi harus memiliki „adalah yaitu keadilan dalam bentuk kelurusan
dalam beragama dengan melakukan semua ketaatan dan menjauhi semua maksiat,
maka dari itu hal ini mengharuskan perawi yang tidak melakukan kedustaan dalam
periwayatan hadis atau tidak terdapat indikasi kebohongan ini padanya, atau tidak
termasuk kategori orang fasik serta bukan dari golongan Mubtadi‟ bid‟ah Mukaffirah.
Terkait kecacatan pada sisi „adalah seorang perawi yang dapat menjadikan perawi
tersebut termasuk kepada salah satu dari lima kategori sebab-sebab gugurnya „adalah
perawi, yaitu pendusta, tertuduh berdusta, fasik, bid‟ah dan jahhalah.
14

DAFTAR PUSTAKA

Al Thahhan, Mahmud. Taysir Musthalah al Hadis,(Riyadh: Maktabah


almaarif, 2010)

Arifin Tajul. Ulumul Hadis. (Gunung Djati Press: Bandung, 2014)

Farsat Abdullah Yahya Warmely. Mafhum al „Adalah wa Dhawabithuha


„Inda al Muhaddutsin (Iraq, 2013)

Rofiah, Khusniati. Studi Ilmu Hadis, (IAIN PO Press: Ponorogo, 2018)

Al Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:


Pustaka Rizki Putra,2009)

„Itr, Nur al-Din. Ushul al Jarh wa al Ta‟dil wa „Ilm Rijal, (Damaskus, 2007)

Anda mungkin juga menyukai