Kritik Ilmu Hadis (Hasbul Hadi)
Kritik Ilmu Hadis (Hasbul Hadi)
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Kawasan
Oleh:
Hasbul Hadi
NIM: 02040620007
Dosen Pengampu:
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah pencipta dan pengatur alam semesta
yang telah memberikan nikmat dan karunianya kepada seluruh makhluk. Shalawat
dan salam untuk baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai suri
tauladan bagi seluruh manusia di muka bumi.
Dengan izin Allah, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah yang disusun merupakan rangkaian tulisan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Kajian Kritik Hadis, Pascasarjana Program Magister Ilmu Hadis Universitas
Sunan Ampel Surabaya yang diampu oleh bapak Dr. Muhid, M.Ag selaku dosen yang
telah mendampingi, mengarahkan serta membimbing proses penyusunan makalah ini.
Penyusun sangat mengetahui terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini, maka dari itu kritik dan saran sangat membantu dalam perbaikan dan
pembangunan kedepan.
Semoga makalah yang telah disusun dapat menjadi ilmu yang bermanfaat
didunia dan diakhirat.
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu Hadis dari zaman ke zaman terus berkembang mulai dari
masa sahabat dan kemudian para tabi‟in yang mana pada tahun abad kedua dan ketiga
Hijriah merupakan masa keemasan dalam perkembangan ilmu Hadis yang mana
ulama memaksimalkan dalam upaya menjaga hadis Rasulullah dengan berbagai cara
salah satunya adalah dengan menyusun ilmu jarh wa ta‟dil dan menetapkan berbagai
kaidah periwayatan dan standar kriteria perawi yang diterima hadisnya.
Dalam bidang ilmu hadis, hadis dibagi menjadi dua macam berdasarkan dari
segi diterima atau ditolaknya hadis tersebut, yaitu hadis ṣaḥīḥ, hadis ḥasan dan hadis
ḍa‟if. Secara umum, hadis maqbul adalah hadis yang memiliki lima syarat, yaitu
bersambung sanadnya, perawinya thiqah, perawinya ḍābiṭ, tidak memiliki „illah dan
tidak shādh. Salah satu syarat terpenting diterimanya suatu hadis adalah perawi hadis
harus memiliki sifat „adalah.
Terkait hal itu maka pembahasan makalah pada kali ini berfokus pada ilmu
kritik hadis dengan tema Sebab-Sebab Hadis Dhaif : Sebab yang mencederai
keadilan Perawi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak diantara perawi hadis memiliki kekurangan atau cacat pada dirinya.
Kekurangan itu bisa dari keadilannya, ingatan, maupun ketelitiannya. Hal ini
menyebabkan kredibilitas terhadap rawi tersebut berkurang. pada umumnya
kecacatan pada diri seorang perawi terbagi menjadi dua, yaitu kecacatan pada „adalah
seorang perawi dan kecacatan pada keḍabṭan seorang perawi, sebagaimana yang
dingkapkan oleh Mahmud al Thahhan bahwa tha‟n fi al-rawi adalah:1
وهي ًاحیت ضبط و حفظه و یقظه, والتكلّن فیه هي ًاحیت عذالت ودیٌه,جرح في الراوي باللساى
menyacat rawi dengan mengkritiknya sebab faktor yang menciderai keadilan dan
keḍabiṭan atau hafalan rawi tersebut.2
"أى كل راو هي رواته اتصف بكوًه هسلوا بالغا عاقال غیر فاسق وغیر هخروم الوروءة."
1. Beragama Islam, yaitu seorang perawi hadits harus merupakan seorang yang
beragama Islam, maka daripada itu secara ijma' ulama periwayatan seorang
kafir tidak diperkenankan
2. Baligh, maka periwayatan anak kecil walaupun mumayyiz yakni seorang yang
belum baligh dengan ciri belum mimpi basah atau dengan cara yang
semisalnya tidak dapat diterima periwayatannya karena mereka termasuk
kategori yang belum dibebankan beban syariah
1
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,(Riyadh: Maktabah almaarif, 2010), 69
2
Tajul Arifin, Ulumul Hadis, (Gunung Djati Press: Bandung, 2014), 167
5
3. Salamah min al Fisq (terhindar dari kefasikan) yaitu terbebas dari sebab-
sebab yang menimbulkan sifat fasik pada diri seseorang yaitu berupa
perbuatan dosa besar atau banyak (sering) berbuat dosa kecil
Terkait dengan kriteria yang disebutkan ini Ibnu Shalah menukil tentang
adanya ijma' jumhur ulama dari kalangan muhaddis dan ahli fiqih dalam standarisasi
sifat-sifat „adalah tersebut.4
Banyak diantara perawi hadis memiliki kekurangan atau cacat pada dirinya.
Kekurangan itu bisa dari keadilannya, ingatan, maupun ketelitiannya. Hal ini
3
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,111
4
Farsat Abdullah Yahya Warmely, Mafhum al „Adalah wa Dhawabithuha „Inda al Muhaddutsin (Iraq,
2013), 285
5
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (IAIN PO Press: Ponorogo, 2018) 168
6
1. Al Kadzib ( Dusta)
Terkait hukum hadits palsu maka para ulama telah ber‟ijma bahwa
hadis dari seorang pendusta atas nama rasul tidak boleh diterima sebagaimana
mereka telah menyepakati atas dosa besar bagi yang berdusta atas nama
Rasulullah. Namun, dalam perihal diterima atau tidak diterima taubatnya, hal
itu diperselisihkan oleh para ulama.
6
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,69
7
Pengertian dari tuhmah bil kadzib adalah bahwa seorang perawi telah
terkenal dengan kebohongan dalam pembicaraannya namun di sisi lain belum
dapat dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam meriwayatkan hadis. 10
Hadits Seperti ini dikenal dengan Hadits matruk atau matrukul hadits.
Dalam definisinya, hadis matruk adalah hadis yang di dalam sanadnya
terdapat seorang perawi yang dituduh berdusta.11 Menurut al-Suyuti, hadis
matruk adalah hadis yang tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat
dan perawinya tertuduh berdusta karena hadis tersebut tidak diriwayatkan
kecuali hanya melalui jalurnya saja atau perawinya banyak kesalahannya atau
fasik atau sering lupa. Hadis matrūk adalah hadis yang terburuk kedua setelah
hadis mawḍu‟.
7
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009),178
8
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis, 70
9
Ibid, 70
10
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,178
11
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis, 73
8
3. Al Fisq
Adapun orang yang tidak disebut namanya merupakan hadis mubham, hadits
mubham tidak dapat diterima kecuali seseorang yang mubham itu adalah
seorang sahabat.
Begitu juga para perawi yang disebut dengan lafaz yang menunjukkan kepada
kepercayaan seperti dikatakan “haddatsana tsiqotun” (telah diceritakan
kepada kami oleh seorang yang terpercaya), atau “akhbaroni „adlun” maka
dalam hal ini hadis tersebut juga tidak dapat diterima dalam pendapat yang
lebih Shahih.16
Pertama, majhul al-dhzt. Majhūl al-dhāt adalah perawi yang tidak disebutkan
namanya atau sesuatu yang ia dikenal dengannya. Hadis yang memiliki
perawi yang tidak diketahui namanya disebut dengan hadis mubham.
15
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,
16
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,180
10
Kedua, majhūl al-„ain. Majhul al-„ain adalah perawi yang disebutkan namanya
dan diketahui orangnya tetapi ia termasuk orang yang periwayatan hadisnya
hanya sedikit sehingga hanya ditemukan satu orang saja yang meriwayatkan
hadis darinya. Ulama berbeda pendapat terkait diterima atau tidaknya
periwayatan perawi yang majhul al-„ayn. Sebagian berpendapat bahwa
periwayatannya tidak diterima sama sekali. Sebagian yang lain berpendapat
bahwa periwayatannya diterima secara mutlak. Adapula yang berpendapat
bahwa periwayatannya diterima dengan persyaratan, seperti ia hanya
meriwayatkan dari perawi yang adil atau ia terkenal sebagai orang yang zuhd
dan lainnya.
Ketiga, majhul al-ḥal. Majhūl al-ḥal adalah seorang perawi yang diketahui
orangnya karena periwayatan dua perawi darinya tetapi mereka tidak
menthiqahkannya ataupun mencelanya sehingga tidak diketahui apakah ia
adalah orang yang adil atau tidak. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang diterima atau ditolaknya periwayatan seorang perawi yang
majhūl al-ḥal.17
5. Al Bid‟ah
17
Mahmud Al Thahhan, Taysir Musthalah al Hadis,, 93
11
Dalam hal ini Nuruddin „Itr menjelaskan bahwa pada umumnya para ulama
membagi keadaan Ahlul Bid'ah menjadi dua kategori itu bid'ah mukaffirah
dan bid'ah ghairu mukaffirah,
terkait bagian pertama yaitu bid'ah mukaffirah maka dalam hal ini hadis
riwayat nya tidak dapat diterima dan ini merupakan kesepakatan para
ulama,tetapi harus diperhatikan tentang kepastian perbuatan kufur yang
dituduhkan kepadanya sehingga tidak boleh seseorang segera dihukumi atas
kekufuran sebagaimana yang dilakukan kan oleh orang-orang yang yang
mengkafirkan tanpa ada dasar yang pasti.19Terkait hal ini Ibnu Hajar
rahimahullah menjelaskan bahwa Pada dasarnya tidak ditolak atas setiap yang
yang dikafirkan sebab bid‟ahnya, dikarenakan setiap kelompok mengaku dan
mengklaim bahwasanya kelompok yang menyelisihinya juga termasuk
kategori ahli bid‟ah yang mana apabila hal ini dipegang maka secara otomatis
semua kelompok akan saling mengkafirkan. Jadi menurut ibnu hajr dalam hal
ini riwayat yang ditolak adalah terkait perkara yang mutawatir di dalam
syariat yang seharusnya setiap muslim tidak mungkin mengingkari hal
20
tersebut begitu juga sebaliknya. Kemudian yang kedua adalh bi‟dah ghaur
mukaffirah maka riwayatnya tetap diterima walaupun terjadi perselisihan
18
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 180
19
Nur al-Din „Itr, Ushul al Jarh wa al Ta‟dil wa „Ilm Rijal, (Damaskus, 2007),148
20
Ibid,48
12
yang kuat antara ulama terkait hal itu sebagaimana yang diungkapkan Khatib
al Baghdadi.21
Selain itu ulama juga berpendapat bahwa tidak boleh seseorang menerima
hadis dari Ahlul Bid'ah apabila ke bidahannya itu menggiring kepada
kekufuran, begitu juga jika ia memperbolehkan dusta walaupun ia tidak
dikufurkan lantaran bid'ahnya.22
Terkait hal ini terdapat perselisihan ulama Al-hafizh Ibnu Katsir berkata:
“Dalam soal ini telah terjadi perselisihan lama sekali, menurut pendapat
kebanyakan ulama harus dipisahkan antara seseorang yang menyerukan
manusia kepada bid‟ahnya dengan yang tidak melakukan hal tersebut
demikianlah yang dinukil dari Imam Syafi'i”
Kemudian menurut Hasbi ash Shiddiqi pendapat yang terpilih ialah kalau ia
seseorang yang memprogandakan bid'ah nya maka akan ditolak dan jika tidak
maka hadisnya tetap diterima kecuali jika riwayatnya itu menguatkan
bidahnya.23
21
Ibid, 149
22
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,181
23
Ibid, 180
24
Ibid, 181
13
BAB III
KESIMPULAN
Seorang perawi harus memiliki „adalah yaitu keadilan dalam bentuk kelurusan
dalam beragama dengan melakukan semua ketaatan dan menjauhi semua maksiat,
maka dari itu hal ini mengharuskan perawi yang tidak melakukan kedustaan dalam
periwayatan hadis atau tidak terdapat indikasi kebohongan ini padanya, atau tidak
termasuk kategori orang fasik serta bukan dari golongan Mubtadi‟ bid‟ah Mukaffirah.
Terkait kecacatan pada sisi „adalah seorang perawi yang dapat menjadikan perawi
tersebut termasuk kepada salah satu dari lima kategori sebab-sebab gugurnya „adalah
perawi, yaitu pendusta, tertuduh berdusta, fasik, bid‟ah dan jahhalah.
14
DAFTAR PUSTAKA
„Itr, Nur al-Din. Ushul al Jarh wa al Ta‟dil wa „Ilm Rijal, (Damaskus, 2007)